Anda di halaman 1dari 18

…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…

FILSAFAT ILMU FILSAFAT IDOLA MASA DEPAN

Rosichin Mansur
Universitas Islam Malang

Abstrak: Ilmu terus berkembang, dan manusia yang melakukan


dengan akal pikir dan kemampuan yang dimilikinya. Salah
satu karakter manusia yang sehat yaitu berpikir, yang pada
gilirannya menghasilkan ilmu. Ilmu sangat berarti bagi hidup
dan kehidupan manusia karena ilmu menjadi salah satu alat
untuk mengatasi permasalah hidup dan kehidupan manusia.
Ilmu yang kebenarannya relative memiliki karakteristik
empiris, sistematis, objektif, analitis, verifikatif, progresif, kritis
dan perwujudan timbal balik teori dan praktik. Ilmu terus
mengembangkan dirinya bersama perkembangan jaman dan
masyarakat. Ilmu dalam perkembangannya mencari kebenaran
tak bisa lepas dari benturan dengan masalah hakikat, dan saat
itulah ilmu akan meminta bantuan dan solusi pada filsafat ilmu
yang selalu berusaha menyingkap hakikat yang ada dibalik
tabir ilmu. Kemudian filsafat ilmu pun menjadi idola ilmu-ilmu
di masa depan.
Kata Kunci: Filsafat, Ilmu, Masa depan.

A. Pendahuluan
Waktu terus berjalan, dunia semakin mengglobal, dan manusia
pun berpikir cepat secepat kilat di atas langit mendung. Manusia
berpikir tentang diri sendiri, berpikir tentang alam dan Tuhan,
disamping berpikir masa lalu, masa kini dan masa datang; pendeknya
berpikir segala yang ada, dan berpikir sepanjang hidupnya. Manusia
yang berpikir segala yang ada secara mendalam sampai ke akar-akarnya
menunjukkan manusia tersebut telah memasuki pintu gerbang dunia
filsafat. Poedjawijatna mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang
segala sesuatu yang menyelidiki keterangan atau sebab yang sedalam-
dalamnya (Poedjawijatna, 1980:8). Manusia yang berpikir tentang inti
sari, esensi dan substansi atau berpikir hakikat sesuatu yang ada, berarti
manusia itu telah keluar dari bingkai lingkaran atau batas penjelajahan
ilmu (science), dan telah menginjakkan kakinya di lingkaran dunia
filsafat, dunia cinta kebijaksanaan.
Lingkaran dan penjelajahan ilmu yang merupakan karya
manusia hanya dalam batasan dunia empirik dan partikular, ilmu tidak
mampu menembus sesuatu yang ada dibalik dunia empirik. Meskipun

39
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
demikian ilmu mampu mengubah dunia yang lebih maju, dan
mengubah manusia untuk lebih berbudaya dan beradab serta
mempermudah perjalanan hidup manusia menuju titik tujuan yang
diinginkan. Tetapi manakala ilmu menghadapi problema dinding tebal
hakikat atau masalah yang ada di balik kenyataan yang dalam hidup
dan kehidupan keilmuan, Ilmu akan menyerahkan kapling problema itu
ke filsafat ilmu untuk memecahkannya dan mendapat titik terang
jawaban.

B. Pembahasan
1. Percikan Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu menjadi pahlawan pemecah kebuntuan
problema yang dihadapi ilmu, karena ilmu tak bisa mengatasi
benturan, tak mampu memecahkan problema yang dihadapinya,
khususnya tentang hakikat ilmu. Jujun S. Suriasumantri mengatakan:
filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mangkaji hakekat ilmu
(pengetahuan ilmiah) (Suriasumantri, 2010:33). Peter Caws
berpendapat: Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang
mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan
pada seluruh pengalaman manusia. Sedang May Brodbeck
merumuskan filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan
filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu
(Gie, 2012:10,21). Hal senada dikatakan Mohar, Filsafat ilmu ialah
suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat asas menuju
penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar (Akhadiah
dan Listyasari, 2011:109). Berdasar rumusan di atas, dapat diartikan
filsafat ilmu ialah bagian filsafat yang mengkaji hakekat ilmu, atau
ilmu yang membahas landasan ilmu secara filsafati. Jelas kiranya
landasan atau hakekat ilmu bukanlah ladang bahasan atau kajian
ilmu yang bingkai-bingkai bahasannya keluar jauh dari pangalaman
manusia, melainkan menjadi lingkup bahasan filsafat ilmu yang
selalu mencoba meng”atas”i ilmu hasil pikir dan rekayasa manusia.
Dengan kata lain filsafat ilmu selalu membuka pintu, menerima
dengan tangan terbuka dan senyum manis untuk memecahkan
problema yang diserahkan ilmu, seperti masalah landasan atau
hakekat ilmu.
Hakekat ilmu atau landasan ilmu yang menjadi kapling dan
garapan filsafat ilmu, akan dapat dipahami melalui tiga aspek yang

40
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
ada dalam ilmu, seperti aspek ontologi (apa), epistemologi
(bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Aspek ontologi mengenai
apa yang dikaji ilmu atau tentang ada sebagai obyek ilmu, aspek
epistemologi mengenai bagaimana proses mendapatkan ilmu, dan
aspek aksiologi mengenai untuk apa ilmu itu digunakan. Dengan
kata lain ketiga aspek itu menjadi landasan filsafat ilmu dan
teropong untuk melihat tentang hakikat ilmu, proses ilmu, dan
kegunaan ilmu. Ketiga aspek tersebut saling berkait, bila membahas
masalah epistemologi ilmu maka tidak bisa lepas membahas
ontologinya dan aksiologinya; begitu pula sebaliknya namun aspek
ontologi yang mendasari dari kedua aspek yang lain dalam
membahas sesuatu masalah yang muncul dalam hidup dan
kehidupan ilmu.
Filsafat ilmu sebagai ilmu tentulah memiliki tujuan yang
hendak dicapai. Menurut Martini Djamaris tujuan filsafat ilmu yaitu:
1. Memperdalam unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara
menyeluruh dapat dipahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu; 2.
Memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan serta kemajuan
ilmu di berbagai bidang sehingga dapat diperoleh gambaran proses
penemuan ilmu sejak xaman Yunani Kuno sampa xaman
postmodern; 3. Mempertegas bahwa antara ilmu dan agama tidak
ada pertentangan (Akhadiah dan Listyasari, 2011:113). Kiranya dapat
dipahami tujuan filsafat ilmu yaitu memahami sumber, hakikat, dan
tujuan ilmu serta sejarah tumbuh kembang ilmu.
Filsafat ilmu yang merupakan cabang filsafat menjadi hal
wajar bilamana memiliki persamaan dan perbedaan. Martini
Djamaris mengungkapkan persamaaan dan perbadaan filsafat dan
filsafat ilmu, persamaannya: 1. filsafat dan filsafat ilmu mencari
rumusan yang sebaik-baiknya dalam melakukan penyelidikan objek
telaahannya secara tuntas, selengkap-lengkapnya sampai ke akar-
akarnya; 2. Filsafat dan filsafat ilmu memberikan pemahaman
tentang hubungan atau koherensi antara kejadian-kejadian yang ada
dan dialami manusia serta menunjukkan penyebabnya; 3. Keduanya
berusaha memberikan sintesis yaitu suatu pandangan yang saling
berhubungan dan berkaitan; 4. Keduanya mempunyai sistem dan
metode penelaahan; 5. Keduanya berusaha memberikan penjelasan
tentang kenyataan secara menyeluruh yang timbul dari hasrat ingin
manusia dan pengetahuan yang mendasarinya. Sedang
perbedaanya: 1. Objek material filsafat bersifat universal yaitu segala

41
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
sesuatu yang ada dalam realita, sedang objek filsafat ilmu bersifat
khusus dan empiris. 2. Objek formal atau sudut pandang filsafat
bersifat non-fragmentaris karena mencari pengertian dari segala
sesuatu yang ada secara luas, mendalam, dan mendasar, sedang ilmu
bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif; 3. Filsafat dilaksanakan
dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi,
pemikiran kritis, dan pengamatan, sedang ilmu menggunakan
pendekatan riset (Akhadiah dan Listyasari, 2011:112). Kiranya dapat
dipahami persamaan filsafat dan filsafat ilmu yaitu filsafat dan
filsafat ilmu mencari rumusan yang terbaik dalam penelaahan,
memberikan pemahaman tentang hubungan antara kejadian yang
ada, memiliki sistem dan metode penelaahan, dan memberikan
penjelasan secara menyeluruh. Sedang perbedaan filsafat dan filsafat
ilmu yaitu objek material filsafat bersifat universal, sedang objek
filsafat ilmu bersifat khusus dan empiris, objek formal filsafat bersifat
non-fragmentaris, sedang ilmu bersifat fragmentaris dan spesifik,
filsafat menonjolkan daya spekulasi, dan pemikiran kritis, sedang
ilmu dengan pendekatan penelitian.

2. Ilmu dan Karakteristiknya


Menurut Edwin C. Kemble, ilmu adalah suatu kumpulan
pengetahuan teratur dan teruji yang didasarkan pengamatan cermat.
Senada dengan Louis Pasteur, ilmu adalah pengetahuan yang
diperoleh pengamatan sistematis, percobaan, dan penalaran (Gie,
2012:73,75). Tidak jauh berbeda dengan Anshari, ilmu adalah usaha
pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai
kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum
tentang hal ikhwal yang diselidiki sejauh yang dapat dijangkau daya
pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu, yang
kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental (Anshari,
1981:47,46). Sedang Ahmad Tafsir mengatakan bahwa pengetahuan
sain ialah pengetahuan yang rasional dan didukung bukti empiris
(Tafsir, 2006:6). Berdasar pada pemikiran di atas dapat diartikan ilmu
ialah kumpulan pengetahuan empiris yang disusun secara
sisitematis yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan
percobaan.
Ilmu sebagai karya manusia memiliki karakteristik atau ciri-
ciri tersendiri. The Liang Gie mengungkapkan lima ciri ilmu
pengetahuan, yaitu:

42
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
a. Empiris: pengetahuan ini diperoleh berdasarkan pengalaman,
pengamatan dan percobaab atau eksperimen.
b. Sistematis: berbagai informasi dan data yang dihimpun sebagai
pengetahuan itu mememiliki hubungan ketergantungan dan
teratur.
c. Obyektif: ilmu harus bebas dari prasangka orang perorangan dan
interes pribadi.
d. Analitis: pengeyahuan ilmiah selalu berusaha membeda-bedakan
secara jelas dalam bagian-bagian rinci permasalahan, dengan
maksud agar kita bisa melihat pelbagai sifat, relasi, dan peranan
dari bagian-bagian itu.
e. Verifikatif: pengetahuan ilmiah dapat diperiksa kebenarannya.
Sedang A.G.M. van Melsen mengemukakan ciri dari suatu
ilmu antara lain:
a. Secara metodis ilmu pengtahuan harus mencapai suatu
pemahaman atau keseluruhan yang koheren. Itu mengandaikan
adanya suatu sisyem kerja (netode) dan juga adanya susunan
logis.
b. Ilmu harus hadir tanpa pamrih karena ini berkaitan erat dengan
tanggung jawab ilmuwan.
c. Ilmu pengetahuan bersifat universal (universalitas)
d. Obyektivitas: setiap ilmu dibimbing oleh obyek dan bukan
didasarkan pada anggapan atau prasangka-prasangka subyektif.
e. Ilmu harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah dalam
kaitan dengan ilmu bersangkutan dan oleh karena itu ilmu
bersifat intersubyektif dan dapat dikomunikasikan.
f. Sikap maju (progresifitas): suatu jawaban ilmiah haruslah selalu
mengundang jawaban dan penemuan-penemuan baru dan bisa
menimbukan banyak permasalahan baru. Dengan demikian ilmu
itu dinamis dan selalu berubah.
g. Kritis yang berarti setiap teori selalu terbuka kemungkinan
untuk dikriik berdasarkan penemuan-penemuan baru.
h. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan
hubungan timbal balik antara teori dan praktik (Kebung, 2011:69-
70).
Merujuk pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
karakteristik atau ciri-ciri ilmu yaitu empiris, sistematis, objektif,
analitis, verifikatif, progresif, kritis dan perwujudan timbal balik
teori dan praktik.

43
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
3. Lingkup Kajian Ilmu
Ilmu (ilmu pengetahua) yang merupakan hasil usaha atau
hasil karya manusia, kini berkembang pesat dan menjadi salah satu
senjata manusia guna memerangi / mengatasi permasalahan-
permasalahan manusia yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Kehidupan manusia penuh dengan kejadian dan lika-liku yang oleh
paham fatalisme kejadian itu sebagai nasib yang telah ditentukan
lebih dahulu, menjadi fenomena yang menarik untuk ditelaah lebih
dalam; selain alam yang mengherankan. Langit yang tiada satupun
pilar penyangga, disiang hari nampak matahari yang bercahaya
menyinari bumi, kadang megapun menghias manis. Di malam hari
bulan dan bintang menghias langit dan menerangi bumi. Benda-
benda langit itu rapi bergerak dijalannya, tak ada yang benturan,
bertabrakkan. Manakala kita melihat bumi, maka tampak gunung
yang menjulang tinggi di tumbuhi pohon-pohon dan rerumputan,
dihiasi sungai dengan penuh bebatuan yang airnya bermuara di
lautan. Laut yang penuh gelombang menggulung, binatang laut
yang beribu nama dan jenis, dan ikan yang sering menari-nari berlari
menggoda nelayan di kapalnya, dan pada gilirannya ikan hasil
tangkapannya diperjuabelikan di antara manusia.
Manusia yang memiliki akal, berpikir, bersikap dan
bertingkah laku. Manusia yang hidup dalam suatu dunia yang
dipenuhi dengan barang-barang. Manusia yang bisa mencipta
barang dan menghilangkannya. Manusia yang membutuhkan air,
udara, dan api; dan manusia yang terdiri atas badan dan jiwa. Semua
itu merupakan bahan kajian ilmu. Pendeknya alam dan manusia
dengan segala unsurnya sepanjang pengalaman dan kemampuan
indera manusia menjadi obyek atau lingkup kajian ilmu. Endang
Saifuddin Anshari menulis : pada garis besarnya obyek ilmu
pengetahuan ialah ilmu alam dan manusia (Anshari, 1981:48).
Lingkup penjelajahan ilmu menjadi jelas tiada lain alam dan
manusia. Alam yang tertib, rapi dan seimbang, alam yang penuh
energi dan materi serta misteri, alam yang terhampar luas yang
menurut Demokritos tersusun dari atom-atom, sangat menakjubkan
manusia yang memiliki cipta, rasa dan karsa. Sehingga manusia
sebagai mahkluk yang mengaktualisasi diri mempunyai kebebasan
berkehendak. Disinilah paham indeterminisme dijunjung tinggi.
Sebaliknya paham determinisme mendukung tidak adanya
kebebasan berkehendak bagi manusia. Dan paham probabilisme

44
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
menjadi paham jalan tengah di antara paham determinisme dan
indeterminisme. Alam dan manusia yang mengalami evolusi tidak
lepas dari ruang dan waktu. Dengan kata lain alam dan manusia
selalu terikat ruang dan waktu, ruang yang mewadahi dan ruang
yang menyertai. Ruang dan waktu yang abstrak adanya, menurut
Newton ruang dan waktu bersifat mutlak. Sedangkan menurut
Einstein tidak ada ruang yang mutlak dan tidak ada waktu yang
mutlak (Kattsoff, 2007:245, 253). Lepas dari perbedaan pandangan
kedua tokoh di atas, ruang dan waktu merupakan kenyataan yang
ada, ada di antara barang-barang yang ada; dan menjadi persemaian
barang yang ada.
Ruang dan waktu yang selalu ada diantara barang-barang
yang ada, tidak berlaku untuk Tuhan (Tuhan tidak terikat oleh ruang
dan waktu). Tuhan merupakan prima causa dari segala yang ada,
Tuhan yang trasenden dan immanen. Persoalan Tuhan bukan meteri
kajian/bahasan ilmu, karena sudah di luar batas penjelajahan ilmu,
seperti masalah sorga dan neraka, malaikat dan setan/iblis, semua
itu bukan menjadi kapling pembahasan ilmu melainkan pembahasan
agama yang didasarkan wahyu, dan filsafatpun membahasnya
berdasar akal pikir. Wahyu yang datang dari Tuhan kebenarannya
tidak perlu diragukan, dan tidak harus diuji, dibuktikan melalui
pengalaman dan eksperimen. Kebenaran wahyu berkait dengan
keyakinan hati dan iman manusia kepada Tuhan. Kebenaran wahyu
pun rasional atau logis, kalaupun ada yang tidak logis atau tidak
bisa diterima akal di antara isi wahyu disebabkan pemikiran
manusialah yang belum mampu dan mencapai titik jawaban atau
belum penemuan pemikiran atas isi wahyu yang tidak rasional atau
tidak logis.
Kebenaran wahyu berbeda dengan kebenaran ilmu,
kebenaran ilmu harus diuji melalui pengalaman manusia, penelitian
atau percobaan, dan manusia jugalah yang menemukannya. “Ilmu
adalah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem
mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan
hukum-hukum tentang hak ikhwal yang diselidiki sejauh yang dapat
dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu,
yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental”
(Anshari, 1981:47,46). Pengalaman, kemampuan pemikiran dan
indera manusia menjadi faktor penentu batas pengkajian ilmu,
dengan kata lain objek kajian ilmu itu sebatas dunia empirik atau

45
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
pengalaman indera. Dan kebenaran sebagai tujuan yang dicapai
ilmu.

4. Sumber-sumber Ilmu
Sumber ilmu pengetahuan tidak berbeda dengan sumber
pengetahuan, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan merupakan
kumpulan pengetahuan. Rasionalisme berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah
rasio (akal). sedangkan empirisme berpendapat, bahwa empiris atau
pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Baik
pengalaman yang batiniah maupun yang lahiriah (Hadiwijono,
2010:18). Rasio (akal) dan pengalaman menjadi sumber pengetahuan.
Manusia lewat rasio dan empirik dapat melahirkan dan memperoleh
pengetahuann sebagai produk sebuah rangkaian penalaran.
Selain rasio dan empriik sebagai sumber pengetahuan, intuisi
dan wahyu menjadi sumber pengetahuan. Jujun S. Suriasumantri
mengatakan bahwa wahyu dan intuisi adalah sumber pengetahuan
(Suriasumantri, 2010:44). Wahyu merupakan pengetahuan yang
disampaikan Tuhan Yang Esa kepada manusia. sementara intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui penalaran
tertentu dan pola berpikir tertentu. Bagi Maslow penalaran ini
merupakan pengetahuan yang puncak, sedangkan bagi Nietzhe
ntuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi (Suriasumantri,
2010:53). Melalui wahyu dan intuisi manusia dapat memperoleh
pengetahuan yang didapat sebagai pengetahuan produk nonanalitik
yang tak punya pola tertentu, tetapi diakui suatu hal yang benar.
Dengan demikian rasio, empirik, intuisi dan wahyu merupakan
sumber pengetahuan, yang pada gilirannya dengan diramu atau
diracik dengan metode ilmiah melahirkan pengetahuan ilmiah atau
ilmu, dan itu merupakan suatu kenyataan yang ada yang tidak bisa
dipungkiri. Dan bila diruntut asal muasal Tuhan adalah prima causa
segala yang ada; Tuhan sebagai sumber pengetahuan, sumber ilmu
pengetahuan.

5. Metodologi Ilmu
Kebenaran menejadi titik tujuan ilmu pengetahuan. Untuk
mencapai tujuannya tentu menggunakan cara dan menempuh
prosedur tertentu, yang dinamakan metode ilmu atau metode
ilmiah. Metode ilmiah ada dua macam, yaitu: 1. Metode ilmiah

46
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
bersifat umum. Metode ini ada dua: metode analitiko – sintesa dan
metode non - deduksi. 2. Metode penyelidikan ilmiah. Metode ini
ada dua: metode siklus – empirik dan metode linier (Soemargono,
1983:10). Metode analitiko-sintesa maksudnya cara pengkajian
sesuatu obyek (ilmiah) tertentu dengan menggunakan metode
analisa dan metode sintesa secara silih berganti atau bersama-sama.
Sedangkan metode non-deduksi merupakan cara pengkajian sesuatu
obyek (ilmiah) tertentu dengan menggunakan metode deduksi dan
metode induksi secara silih berganti atau bersama-sama. Metode
analisa ialah cara penanganan terhadap sesuatu obyek ilmiah
tertentu dengan jalan memilah-milahkan antara pengertian yang
satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh kejelasan
mengenai halnya. Metode sintesa ialah cara penanganan terhadap
sesuatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan menggabung-gabungkan
pengertian yang satu dengan pengertian yang lain, untuk
memperoleh pengetahuan yang baru.
Sementara metode deduksi ialah cara penanganan sesuatu
obyek ilmiah dengan jalan pertama-tama menetapkan sesuatu
ketentuan umum dan kemudian berdasarkan atas ketentuan umum
tadi menarik kesimpulan-kesimpulan khusus mengenai barang
sesuatu atau sesuatu kasus tertentu. Dan metode induksi ialah cara
penanganan terhadap sesuatu obyek ilmiah tertentu yang dengan
bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau kasus-kasus yang
sejenis, kemuudian menarik sesuatu kesimpulan yang bersifat
umum. Keempat metode bo1eh dikata selalu digunakan dalam
setiap aktifitas ilmiah, baik diterapkan secara sendiri dan silih
berganti atau bersama-sama, dengan mempertimbangkan bahan-
bahan penelitian dalam penetapan metode. Metode analisa metode
yang memilah-milah, dan metode sintesa metode yang menggabung-
gabungkan dapat diterapkan pada bahan-bahan yang bersifat apriori
dan yang aposteriori. Juga metode deduksi dan induksi dapat
diterapkan pada bahan-bahan yang bersifat kealaman dan kejiwaan/
kerohanian. Dengan perkataan lain metode analisa, sintesa, deduktif
dan induktif yang merupakan metode ilmiah tak pernah berhenti
dalam aktifitas menuju pencapaian pengetahuan ilmiah atau ilmu.
Metode siklus-empirik ialah cara penanganan dalam
penyelidikan ilmiah terhadap obyek ilmiah yang bersifat empirik
dan yang prosesnya mengambil bentuk lingkaran atau perulangan-
perulangan. Dan metode linier ialah cara penanganan dalam

47
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
penyelidikan ilmiah terhadap obyek ilmiah yang bersifat
kejiwaan/kerohanian yang prosesnya mengambil bentuk garis lurus
secara bertahap. Di antara metode siklus-empirik dan metode linier
tampak ada perbedaan dalam penerapan, metode siklus-empirik
penerapannya dilingkungan ilmu yang bersifat kealaman, sedang
metode linier penerapannya dilingkungan ilmu yang bersifat
kejiwaan/ kerohanian.
Penerapan metode ilmiah di atas tidaklah bersifat mutlak,
hanya untuk memudahkan dalam mengambil titik awal penelitian
atau pengkajian, dengan bahan-bahan penelitian menjadi bahan
pertimbangan dalam penerapan metode ilmiah. Pada dasarnya
metode ilmiah itu sama bagi semua disiplin ilmu, baik dilingkungan
ilmu alam atau dilingkungan ilmu sosial/ilmu kemanusiaan. Jujun S.
Suriasumantri menulis: Metode ilmiah pada dasarnya adalah sama
bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu
alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila terdapat perbedaan dalam
kedua kelompok keilmuan ini maka perbedaan tersebut sekadar
terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur
berpikir atau aspek metodologisnya. 'Teknis pengumpulan data
mengenai gejala gunung berapi jelas akan berbeda dengan teknik
pengumpulan data tentang sikap kaum remaja mengenai keluarga
berencana. Demikian juga teknik pengamatan bintang-bintang di
langit akan berbeda dengan teknik pengamatan anak taman kanak-
kanak yang sedang belajar mengeja (Suriasumantri, 2010:132).
Dengan demikian jelas bahwa tidak ada perbedaan untuk penerapan
metode ilmiah dalam penelitian atau pengkajian ilmiah, baik dalam
kelompok ilmu alam ataupun dalam kelompok ilmu sosial/ilmu
kemanusiaan; hanya berbeda dalam penggunaan teknik-tekniknya
yang dikaitkan dengan bahan atau obyek penelitian ilmiah.
Menurut The Liang Gie, teknik adalah sesuatu cara
operasional yang seringkali bercorak rutin, mekanis atau spesialistis
untuk memperoleh dan menangani data dalam penelitian. Sedang
metode ilmiah adalah berbagai prosedur yang mewujudkan pola-
pola dan tata langkah dalam pelaksanaan sesuatu penelitian ilmiah
(Gie, 2012:58). Jadi dapat dimengerti bahwa teknik yang merupakan
cara operasional dan spesialis menjadi bagian daripada metode
ilmiah yang memiliki pola pola dan langkah-langkah tertentu dalam
rangka penemuan ilmu. Langkah-langkah yang cukup umum dalam
metode ilmiah, yaitu: penentuan masalah, perumusan hipotesis,

48
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan verifikasi hasil (Gie,
2012:54). Langkah-langkah di atas merupakan langkah minimal yang
harus ada, dan menjadi pola yang cukup umum dalam proses
penemuan pengetahuan ilmiah. Dan langkah ini tidak menutup
kemungkinan terhadap masuknya langkah tambahan dari yang telah
ada.
Ada langkah atau pola lain yang tidak banyak berbeda,
langkah ini merupakan langkah dalam metode ilmiah yang
berintikan proses logico-hypotheticoverifikasi, yaitu:
a. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai
obyek empiris yang jelas batas-batas serta dapat diidentifikasi
faktor-faktor terikat di dalamnya;
b. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang
mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait
dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini
disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang
telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor
empiris yang relevan dengan permasalahan;
c. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau
dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya
merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan;
d. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta
yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk
memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak;
e. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah
hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya
dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang
mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya
sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang
cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak.
Hipotesis, yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian
dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan
keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan konsisten
dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji
kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan

49
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat
fakta yang menyatakan sebaliknya (Suriasumantri, 2010:128).
Kelima langkah di atas merupakan langkah pokok, yang
masih membuka pintu kemungkinan berkembangnya langkah atau
pola variasi yang relevan yang menjadi pendukung dan penjelas.
Maka boleh dikata belum ada kesamaan langkah/pola pasti pada
metode ilmiah. Tata langkah atau pola dalam metode ilmiah
meskipun “belum ada kepastian mengenai jumlah, bentuk dan
urutan langkah” (Gie, 2012:54). Namun pola itu merupakan ide,
konsep dan ungkapan pikiran teratur serta sarana menuju penemuan
pengetahuan ilmiah dan kebenaran (ilmiah).
Metode ilmiah beserta tekniknya yang relevan menjadi
tuntutan dalam rangka pencapaian pengetahuan ilmiah, bila tanpa
adanya metode ilmiah maka sulit pengetahuan ilmiah yang
disebutnya ilmu akan ditemukan, karena metode ilmiah merupakan
jalan yang harus dilalui dengan memperhatikan teknik-teknik yang
relevan. Bila tanpa adanya relevansi teknik dengan bidang kajian
maka hasilnya akan berbeda, bahkan tak menurup kemungkinan
kesalahan yang ditemukan. Dengan kata lain bidang kajianlah yang
yang membedakan penggunaan teknik-teknik yang ada dalam
metode ilmiah. Semisal penggunaan teknik pengumpulan data
tentang kenakalan remaja atau orang tua dalam bidang seksual akan
berbeda dengan teknik pengumpulan data tentang ragam batuan di
lereng gunung. Sementara metode ilmiahnya tak ada perbedaan;
dengan langkah-langkah pokoknya: perumusan masalah,
penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis,
perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan
kesimpulan.
Langkah-langkah dalam metode ilmiah itu jangan ditafsirkan
secara mati, tetapi suatu konsep dinamis yang menekankan logika
berpikir dan alur-alur pemikiran benar, sehingga tumbuh
kembangnya pola pemikiran kaku akan terkikis. Pola pemikiran
dinamis dan optimis menjadi pupuk tumbuh suburnya pohon-
pohon ilmu. Ilmu yang kini berjalan cepat karena partisipasinya
metode ilmiah yang cukup besar, di samping sumbangsih aspek-
aspek lain, seperti sosial (yang melakukan komunikasi ilmiah).
Kendatipun metode ilmiah pantas mendapat gelar bintang
pengembang ilmu, namun untuk tidak menimbulkan kecongkakan
metode ilmiah kiranya perlu ingat kembali perkataan Leonard Nash

50
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
bahwa terdapat bahaya yang potensial mengintai di balik mitos yang
bernama metode: yakni bahwa ilmuwan akan memperlakukannya
secara terlalu bersungguh-sungguh! (Suriasumantri, 2010:133).
Potensi bahaya ada di mana-mana, kita tidak bisa lepas dari intaian
bahaya, tapi kita pun harus sebaliknya terus mengintai munculnya
bahaya itu, kemudian bahaya itu kita rubah menjadi sesuatu yang
melahirkan kegunaan dan memiliki fungsi bagi hidup manusia.
Potensi bahaya itu harus ada dalam kendali manusia dan jangan
sampai menggilasnya.

6. Sarana Berpikir Ilmiah


Menurut Jujun S. Suriasumantri, untuk melakukan kegiatan
berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa
bahasa, logika, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir
ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi
untuk mencapaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
Ditinjau dari pola berpikirnya, ilmu merupakan gabungan antara
berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran
ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika
induktif. Metematiaka mempunyai peranan yang penting dalam
berpikir deduktif sedang statistika mempunyai peranan penting
dalam berpikir induktif (Suriasumantri, 2010:167). Hal senada
dikatakan Konrad Kebung: kita temukan paling kurang tiga sarana
berpikir ilmiah:
a. Bahasa ilmiah: berfungsi sebagai alat komunikasi untuk
menyampaikan seluruh cara berpikir dan proses kerja ilmiah.
Karena itu bahasa memgang peran amat penting dalam bidang i
lmu pengetahuan. Secara umum bahasa mengungkapkan
keunikan manusia dan bukannya pada kemampuan berpikirnya
(Ernest Cassirrer). Sebab itu manusia dilihat sebagai ens
symbolicum, yakni makhluk yang menggunakan simbol.
b. Logika dan matematika memiliki perang amat penting dalam cra
berpikir deduktif. Matematiaka memegang peran penting dan
dan dilihat sebagai kegemilangan intelektual. Ia justru memberi
daya kuasa melalui bahasa, proses dan teori yang memberikan
ilmu suatu bentuk dan kuasa. Penghitungan matematis menjadi
dasar desain ilmu teknik, metode matematis memberi inspirasi
kepada pemikiran-pemikiran dalam bidang sosial dan ekonomi,

51
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
kegiatan arsitektur dan seni lukis. Logika dan matematika
menggunakan bahasa artifisial.
c. Logika dan statistik memiliki peran penting dalam pemikiran
induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum.
Statistik pada mulanya dimengerti sebagai himpunan keterangan
(data) baik yang berwujud angka (kuantitatif) maupun yang
tidak berwujud angka (data kualitatif) yang memiliki arti penting
bagi negara. Namun dalam perkembangan selanjutnya arti kata
statistik hanya dibatasi pada data kuantutatif saja. Statistik
berarti suatu keadaan yang tetap (Kebung, 2011:103).
Sarana berpikir ilmiah, sarana yang mengantarkan manusia
untuk beraktifitas dan merekayasa dalam menghasilkan
pengetahuan ilmiah atau ilmu. Sarana-sarananya yaitu bahasa,
logika, matematika dan statistika.

7. Fungsi Ilmu
Manusia yang pencari ilmu dan mendambakan penguasaan
atas ilmu yang telah dicari, tentulah mereka itu memiliki asumsi
bahwa ilmu itu berharga dan berfungsi/berguna bagi dirinya atau
pun manusia lain dalam mengarungi hidup dan kehidupan.
R.B.S. Fudyartanta menyebutkan ada empat macam fungsi
ilmu pengetahuan, yaitu :
a. Fungsi deskriptif : megambarkan, melukiskan dan memaparkan
obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari peneliti;
b. Fungsi pengembangan: melanjutkan hasil penemuan yang lalu
dan menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru;
c. Fungsi prediksi: meramalkan kejadian, kejadian yang besar
kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mengambil
tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya;
d. Fungsi kontrol: berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa
yang tidak dikehendaki.
Sedang Endang Saifuddin Anshari mengungkapkan bahwa
fungsi ilmu pengetahuan ialah untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia di dalam pelbagai bidangnya (Anshari, 1981:57). Adapun
Dr. Mahdi Ghulsyani mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan
berguna dalam usaha menyingkap suatu kesatuan komprehensif di
dalam hukum-hukum alam. Imam 'Ali mengatakan : “Iman itu maju
melalui ilmu” (Ghulsyani, 1986:60,75). Kiranya dapat dipahami
bahwa fungsi ilmu yaitu fungsi dekriptif, pengembangan, prediksi,

52
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
kontrol, dan memenuhi kebutuhan hidup manusia dipelbagai
kehidupan manusia.
Ilmu memberi sumbangsih kegunaan terhadap dunia ilmu itu
sendiri, lingkungan alam dan kehidupan manusia serta rasa imaniah
manusia dengan Tuhan. Di dunia ilmu, ilmu memberikan gambaran
dan paparan dunia ilmu yang kaya obyek, dan hendak memudahkan
kajian pencari ilmu. Ilmu menjadi dasar acuan dalam rangka
menumbuh-kembangkan hasil ilmu yang lalu dan penemuan ilmu
baru. Di lingkungan alam dan kehidupan manusia, ilmu berfungsi
menjadi sarana penyingkap rahasia-rahasia alam beserta hukum-
hukumnya yang menakjubkan. Ilmu menjadi sarana pembeda mana
yang benar dan yang tidak benar dengan jelas, sehingga manusia
mampu memahami dan menilai suatu kebenaran dan
ketidakbenaran. Dengan ilmu manusia mampu mcmprediksi
kejadian yang hendak terjadi dan sekaligus mengambil sikap dan
jalan keluar terbaik dalam menghadapi kejadian itu; juga manusia
akan mampu mengendalikan suatu kejadian yang tidak diinginkan
dengan bekal ilmu. Di samping ilmu berguna menjadi alat
pemenuhan kebutuhan hidup manusia di segala bidang yang
menjadi kebutuhan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Di dunia imaniah manusia dengan Tuhan, ilmu berguna
memajukan, meningkatkan keyakinan, kepercayaan kepada Tuhan,
dan menghindari lumpuh. Albert Einstein berkata bahwa ilmu tanpa
agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh (Suriasumantri,
2012:3) Jelas kiranya bahwa ilmu mempunyai peran penting dalam
peningkatan imaniah manusia kepada Tuhan. Di samping ilmu
menjadi sarana pembebasan takhayul, dan penghilang harum dupa
dan asap kemenyan yang menari-nari merusak iman agama
manusia. Agama tanpa ilmu akan lumpuh, berjalan tertatih-tatih
menuju dan menggapai titik kebenaran Tuhan Yang Maha Besar.

8. Nilai Kebenaran Ilmu


Jean Paul Sartre mengemukakan: Ilmu pengetahuan
bukanlah sesuatu hal yang sudah selesai terpikirkan, sesuatu yang
tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil
penelitian dan percobaan-percobaan baru yang dilakukan dengan
metode-metode baru atau karena adanya perlengkapan-
perlengkapan yang lebih sempurna. Tidak jauh berbeda, Harsojo
mengungkapkan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut dan

53
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk
peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang
sebelumnya diketahui. Dan Abdullah bin Nuh berpendapat :
“Sebetulnya tidak ada suatu kebenaran ilmiah dalam arti yang
mutlak” (Anshari, 1981: 64,65). Jelas kiranya bahwa nilai kebenaran
ilmu (pengetahuan ilmiah) tidaklah mutlak karena akan selalu
dimungkinkan disisihkan atau digugurkan oleh teori-teori produk
penelitian dan penemuan baru yang menolaknya. Di samping tidak
bermaksud mencapai kebenaran mutlak atas nilai kebenaran ilmu itu
sendiri.
Kebenaran ilmu tidaklah final sifatnya, nilai kebenaran ilmu
hanyalah relative, dalam arti suatu hipotesis, suatu teori dapat
diterima kebenaran-kebenarannya selama tidak didapatkan fakta
atau ilmu (baru) yang menolak hipotesis atau ilmu (lama) yang telah
diterima sebagai suatu kebenaran. Hipotesis atau ilmu yang sampai
saat ini tidak ditolak kebenarannya berarti tetap benar
keberadaannya. Tetapi bila dikemudian hari ternyata tidak benar
maka hipotesis atau ilmu (yang ditolak) tak perlu dibuang ke jurang
terjal di hutan belantara, tapi diberi saja salam: selamat tinggal
sahabat, aku hendak mencari kebenaran, aku akan mencari Tuhan
Sang Sumber Kebenaran.

9. Netralitas Ilmu
Ilmu yang merupakan hasil karya manusia diperdebatkan
tentang netralitas nilainya, apakah ilmu itu bebas nilai atau terikat
nilai. Ali Mukti menyatakan sain itu netral, sementara Sadali
berpendapat sain itu tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya
memancing, ia tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu.
Sementara Herman Soewardi berpandangan: sain formal itu netral
karena ia berada di kepala kita dan ia diatur oleh hukum-hukum
logika. Adapun sain empirika tidak netral karena dibangun oleh
pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya (Tafsir,
2006:45,50). Bebas nilai atau tidaknya ilmu kiranya tidak mudah
untuk bisa menentukannya hanya melihat dari satu kacamata
semata, untuk itu perlu melihat baik dari kacamata epistemologi,
aksiologi dan kacamata ontologinya.
Ilmu yang telah dihasilkan penemunya, bila melihat dari
epistemologi, ilmu tidak bisa lepas dari paradigma sebagai pijakan
yang digunakan penemunya apa pijakan itu berdasar pada religi

54
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
atau budaya yang mewarnai pandangan hidup penemunya, maka
ilmu tidak bebas nilai. Begitu pula bila melihat dari sudut aksiologi,
jelas kiranya ilmu tidak bebas nilai karena ilmu itu untuk apa
digunakan. Adapun bila dilihat dari sudut ontologi, ilmu yang hidup
dan berkembang dalam lingkaran, dan tidak ke luar dari lingkaran
dunia ilmu, atau ilmu untuk ilmu maka ilmu bebas nilai berada di
titik nol.
Lepas dari ilmu itu bebas nilai atau terikat nilai, ilmu tidak
mampu menembus dinding tebal hakikat keberadaanya sendiri, dan
ilmu akan meminta bantuan dan solusi pada filsafat ilmu. Filsafat
ilmu akan selalu menolong membuka tabir-tabir gelap yang
dihadapi ilmu dan tak pernah terkuak oleh ilmu sampai memperoleh
pencerahan dan menemukan titik terang makna hakikat ilmu.
Filsafat ilmu menjadi rujukan ilmu-ilmu yang tak pernah mengerti
hakikat eksistensinya sendiri.

C. Simpulan
Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang membahas/mengkaji
hakikat ilmu. Tujuan filsafat ilmu yaitu memahami sumber, hakikat, dan
tujuan ilmu serta sejarah tumbuh kembang ilmu. Adapun landasan
filsafat ilmu dalam menjawab problemanya dengan menggunakan
landasan ontologi, landasan epstemilogi, dan landasan aksiologi. Ilmu
ialah kumpulan pengetahuan empiris yang disusun secara sisitematis
yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan percobaan.
Karakteristik ilmu yaitu empiris, sistematis, obyektif, analitis, verifikatif,
progresif, kritis, dan perwujudan hubungan timbal balik teori dan
praktik. Sedang obyek ilmu adalah alam dan manusia.
Sarana berpikir ilmiah berupa bahasa, logika, matematika dan
statistika. Sedang sumber ilmu ialah rasio, empiri, intuisi dan wahyu.
Adapun metode yang digunakan memperoleh ilmu yaitu: metode
analitika-sintesa, metode non-deduksi, metode siklus empirik, dan
metode linier. Dan langkah-langkah yang umum dalam metode ilmiah
yaitu: Penentuan masalah, perumusan masalah, perumusan hipotesis,
pengumpulan data, dan verifikasi hasil. Ilmu memiliki fungsi: fungsi
deskriptif, prediksi, pengembangan, dan kontrol. Selain itu fungsi ilmu
ialah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di berbagai bidang.
Sedangkan nilai kebenaran ilmu itu tidak mutlak atau bersifat relatif.
Adapaun secara ontologi ilmu itu bebas nilai, sedang secara aksiologi
ilmu itu terikat nilai. Filsafat ilmu menjadi idola bagi ilmu-ilmu di masa

55
…::: Jurnal al-Ghazwah, Volume 1, Nomor 1 :::…
datang karena dengan murah hati dan senyum manis selalu mencoba
memenuhi permintaan ilmu untuk mencari jawab diwaktu ilmu tidak
mampu mengatasi problema yang dihadapi dalam menemukan hakikat
ilmu.

Daftar Pustaka
Akhadiah, Sabarti dan Winda Dewi Listyasari (Ed). 2011. Filsafat Ilmu
Lanjutan. Jakarta: Kencana.
Anshari, Endang Saifuddin. 1981. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina
Ilmu.
Beerling, et al. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Alih Bahasa Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Ghulsyani, Mahdi. 1986. Filsafat Sains Menurut Al Qur’an. Penerjemah Agus
Effendi. Bandung: Mizan.
Gie, The Liang. 2012. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty
Hadiwijoyono, Harun. 2010. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:
Karnisius.
Kattsoff, Louis O. 2007. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono.
Yogyakarta : Tiara Wacana.
Kebung, Konrad. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.
Poedjawaijatna, I.R. 1980. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT.
Pembangunan.
Ravertz, Jerome R. 2004. Filsafat Ilmu: Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Soemargono, Soejono. 1983. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Nur
Cahaya.
Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujun S. 2012. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Obor Indonesia.
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: Rosdakarya.

56

Anda mungkin juga menyukai