Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPOSPADIA

Di Ruang CILI

RSUP Dr. Kariadi Semarang

Disusun Oleh:

NOOR AYU YANUAR SIWI

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS ANGKATAN XX

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG, 2012
HIPOSPADIA

A. DEFINISI
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana meatus
uretra externa terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari
tempatnya yang normal (ujung glans penis). (Arif Mansjoer, 2000 : 374).
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang terletak
di bagian bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah, 2005 : 288). Hipospadia
adalah suatu kelainan bawaan dimana meatus uretra eksternus terletak
dipermukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya yang
normal pada ujung glans penis.

B. ETIOLOGI
Kelainan hipospadia diketahui segera setelah kelahiran. Kelainan ini
diketahui dimana letak muara uretra tidak diujung gland penis tetapi
terletak di ventroproksimal penis. Kelainan ini terbatas di uretra anterior
sedangkan leher vesica urinaria dan uretraposterior tidak terganggu sehingga
tidak ada gangguan miksi.
Faktor penyebab hipospadia dan banyak teori yang menyatakan tentang
penyebab hipospadia antara lain :
1. Faktor genetic
12 % berpengaruh terhadap kejadian hipospadia bila punya riwayat
keluarga yang menderita hipospadia. 50 % berpengaruh terhadap
kejadian hipospadia bila bapaknya menderita hipospadia.
2. Faktor etnik dan geografis
Di Amerika Serikat angka kejadian hipospadia pada kaukasoid lebih
tinggi dari pada orang Afrika, Amerika yaitu 1,3.
3. Faktor hormonal
Faktor hormon androgen / estrogen sangat berpengaruh terhadap kejadian
hipospadia karena berpengaruh terhadap proses maskulinisasi masa
embrional. Sharpe dan Kebaek (1993) mengemukakan hipotesis tentang
pengaruh estrogen terhadap kejadian hipospadia bahwa estrogen sangat
berperan dalam pembentukan genital eksterna laki-laki saat embrional.
Perubahan kadar estrogen dapat berasal dari :
a. Androgen yaitu perubahan pola makanan yang meningkatkan lemah
tubuh.
b. Sintetis seperti oral kontracepsi (Ethynil Estradiol)
c. Tanaman seperti kedelai
d. Estrogen chemical seperti senyawa organochlcrin
Androgen dihasilkan oleh testis dan placenta karena terjadi defisiensi
androgen akan menyebabkan penurunan produksi dehidrotestosterone
(DHT) yang dipengaruhi oleh 5 α reduktase, ini berperan dalam
pembentukan penis sehingga bila terjadi defisiensi androgen akan
menyebabkan kegagalan pembentukan bumbung urethra yang disebut
hipospadia.

C. PATOFISIOLOGI
Hipospadia terjadi pada 1 dalam 300 kelahiran bayi laki-laki dan
merupakan anomaly penis yang paling sering. Perkembangan uretra in utero
dimulai sekitar usia 8 minggu dan selesai dalam 15 minggu. Uretra terbentuk
dari penyatuan lipatan uretra sepanjang permukaan ventral penis. Glandula
uretra terbentuk dari kanalisasi funikulus ectoderm yang tumbuh melalui
glands untuk menyatu dengan lipatan uretra yang menyatu. Hipospadia
terjadi bila penyatuan di garis tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga
meatus uretra terbuka pada sisi ventral penis. Ada berbagai derajat kelainan
letak ini seperti pada glandular (letak meatus yang salah pada glands), korona
(pada sulkus korona), penis (di sepanjang batang penis), penoskrotal (pada
pertemuan ventral penis dan skrotum), dan perineal (pada perineum).
Prepusium tidak ada padaa sisi ventral dan menyerupai topi yang menutupi
sisi dorsal glans. Pita jaringan fibrosa yang dikenal sebagai chordee, pada sisi
ventral menyebabkan kurvatura (lengkungan ventral dari penis.
Tidak ada masalah fisik yang berhubungan dengan hipospadia pada bayi
baru lahir atau pada anak-anak remaja. Namun pada orang dewasa, chordee
akan menghalangi hubungan seksual, infertilitas dapat terjadi pada hipospadia
penoskrotal atau perineal, dapat timbul stenosis meatus yang mengakibatkan
kesulitan dalam mengatur aliran urine dan sering terjadi kriptorkidisme.
Penanganan hipospadia dengan chordee adalah dengan pelepasan
chordee dan restrukturisasi lubang meatus melalui pembedahan. Pembedahan
harus dilakukan sebelum usia saat belajar untuk menahan berkemih, yaitu
biasanya sekitar usia 2 tahun. Prepusium dipakai untuk proses rekonstruksi,
oleh karena itu bayi dengan hipospadia tidak boleh disirkumsisi. Chordee
juga dapat terjadi tanpa hipospadia dan diatasi dengan melepaskan jaringan
fibrosa untuk memperbaiki fungsi dan penampilan penis.
Pathway Hipospadia

• Usia Tehnik operasi


• Tipe hipospadia
• Chorde / Hasil
• Ukuran penis Satu tahap
Dua tahap
Malformasi congenital

Hipospadia

grandular distal penile penile penoskrotal scrotal perineal


Pengelolaan

Pembedahan Kombinasi
Eksisi chordee Pembedahan
Urethroplasty Radio diagnosis

Proses pembedahan Efek anestesi Pemasangan kateter


inwhelling
Nyeri
Nyeri Hipersalivasi
Kecemasan
entry
Gangguan Penumpukan
Gangguan
Sekret
rasa nyaman Gangguan
Resiko Aktivitas
Obstruksi tinggi
jalan infeksi
nafas

Inefektif bersihan
jalan nafas
D. KLASIFIKASI HIPOSPADIA
Dari kegagalan perkembangan penis tersebut akan terjadi 5 macam letak
osteum uretra eksternum yaitu di :
1. Glans
2. Koronal glandis
3. Korpus penis
4. Penos skrotal
5. Perineal.
Paulozzi dkk, 1997 dimana Metropolitan Congenital Defects Program
(MCDP) membagi hipospadia atas 3 derajat, yaitu :
 Derajad I : OUE letak pada permukaan ventral glans penis & korona
glandis.
 Derajat II : OUE terletak pada permukaan ventral korpus penis
 Derajat III: OUE terletak pada permukaan ventral skrotum atau perineum
Biasanya derajat II dan derajat III diikuti oleh melengkungnya
penis ke ventral yang disebut chordee . Chordee ini disebabkan terlalu
pendeknya kulit pada permukaan ventral penis. Hipospadia derajat  ini
akan mengganggu aliran normal urin dan fungsi reproduksi , oleh karena
itu perlu dilakukan terapi
dengan tindakan operasi

Barcat (1973) berdasarkan letak ostium uretra eksterna maka hipospadia dibagi 5
type yaitu :
 Anterior  ( 60-70 %)
o Hipospadia tipe gland
o Hipospadia tipe coronal
 Midle  (10-15%)
o Hipospadia tipe penil
 Posterior  (20%)
o Hipospadia tipe penoscrotal
o Hipospadia tipe perineal

E. PENATALAKSANAAN

A : Penis yang
Normal   
B : Hipospadias
dengan chorda
Tujuan repair hipospadia yaitu untuk memperbaiki kelainan
anatomi baik bentuk penis yang bengkok karena pengaruh adanya chordae
maupun letak osteum uretra eksterna sehingga ada 2 hal pokok dalam
repair hipospadia yaitu:
 Chordectomi , merelease chordae sehingga penis bisa lurus kedepan
saat ereksi.
 Urethroplasty , membuat osteum urethra externa diujung gland penis
sehingga pancaran urin dan semen bisa lurus ke depan.
Apabila chordectomi dan urethroplasty dilakukan dalam satu waktu
operasi yang sama disebut satu tahap, bila dilakukan dalam waktu
berbeda disebut dua tahap
Ada 4 hal yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan repair
hipospadia agar tujuan operasi bisa tercapai yaitu usia, tipe hipospadia
dan besarnya penis dan ada tidaknya chorde. Usia ideal untuk repair
hipospadia yaitu usia 6 bulan sampai usia belum sekolah karena
mempertimbangkan faktor psikologis anak terhadap tindakan operasi dan
kelainannya itu sendiri, sehingga tahapan repair hipospadia sudah
tercapai sebelum anak sekolah.
Ada 3 tipe rekonstruksi sebagai berikut : Sedangkan tipe hipospadia dan
besar penis sangat berpengaruh terhadap tahapan dan tehnik operasi hal ini
berpengaruh terhadap keberhasilan operasi. Semakin kecil penis dan
semakin ke proksimal tipe hipospadia semakin sukar tehnik dan
keberhasilan operasinya.
o Methode Duplay
 Untuk repair hipospadia tipe penil.
 Kulit penil digunakan untuk membuat urethroplastinya atau
bisa juga digunakan kulit scrotum.
o Methode Ombredane ,  Untuk repair hipospadia coronal dan
distal penil.
o Nove-josserand,  Untuk repair hipospadia berbagai tipe tapi
urethroplastinya menggunakan skin graft.
Tujuan perbaikan hipospadia untuk melepaskan chordee dan
menempatkan kembali native uretra atau membentuk uretra pada ujung
glans penis.  Salah satu masalah terpenting dalam pembedahan hipospadia
tersebut adalah kesulitan dalam membentuk uretra meatus yang baru. Skin
graff uretroplasty pertama dirancang oleh Nove – Joserand. Namun oleh
karena memiliki banyak komplikasi seperti stenosis sehingga saat ini tidak
dipergunakan lagi .
Thiersche dan Duplay melakukan suatu perbaikan dua tahap
dimana tahap pertama memotong lapisan yang menyebabkan chordee dan
meluruskan penis. Beberapa bulan selanjutnya uretra dibentuk dengan
melakukan pemotongan memanjang ke bawah pada permukaan ventral
dari penis untuk membentuk sebuah uretra. Kelemahan operasi ini bahwa
tekhnik tersebut tidak memperluas uretra menuju ujung glans.
Tahap operasi
1. Tahap pertama adalah dilakukan eksisi chordee.  Penutupan luka
Operasi dilakukan dengan menggunakan preputium bagian dorsal dari
kulit penis . Tahap pertama ini dilakukan pada usia 1,5 – 2 tahun bila
ukuran penis sesuai untuk usianya. Setelah eksisi chordee maka penis
akan menjadi lurus, tapi meatus masih  pada tempatnya yang
abnormal.
2. tahap ke dua dilakukan uretroplasty yang dikerjakan 6 bulan setelah
tahap pertama.
Browne 1953 melakukan irisan yang paralel pada permukaan ventral
penis yang meluas dari meatus keujung penis. Irisan ini akan
mengisolasi strip kulit pada garis tengah. Lebarnya tergantung kaliber
uretra baru yang  dikehendaki. Kulit lateral selanjutnya diperdekatkan
pada garis tengah untuk menutup strip kulit yang dibenamkan. Irisan
relaksing dorsal akan memungkinkan kulit lateral itu bisa  saling
diperdekatkan tanpa menimbulkan tension, meskipun demikian
tekhnik ini memiliki kemungkinan besar terjadinya fistula dan stenosis
sehingga dilanjutkan hanya untuk dokter bedah yang berpengalaman
F. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul paska repair hipospadia sangat dipengaruhi
oleh banyak faktor antara lain faktor usia pasien, tipe hipospadia, tahapan
operasi, ketelitian teknik operasi, serta perawatan paska repair hipospadia.
Macam komplikasi yang terjadi yaitu  :
- Perdarahan
- Infeksi
- Fistel urethrokutan
- Striktur urethra, stenosis urethra
- Divertikel urethra.
Komplikasi paling sering dari reparasi hipospodia adalah fistula,
divertikulum, penyempitan uretral dan stenosis meatus (Ombresanne,
1913 ). Penyebab paling sering dari fistula adalah nekrosis dari flap yang
disebabkan oleh terkumpulnya darah dibawah flap. Fistula itu dapat
dibiarkan sembuh spontan dengan reparasi sekunder 6 bulan sesudahnya.
Untuk itu keteter harus dipakai selama 2 minggu setelah fistulanya
sembuh, dengan harapan tepi-tepinya akan menyatu kembali, sedangkan
kegunaannya untuk terus diversi lebih lama dari dua minggu.
G. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
HIPOSPODIA
1. Diagnosa : Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan
obstruksi mekanik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan retensi urin berkurang.
NOC : Pengawasan urin
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratasi
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan
BAK ke toilet
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengesankan kandung kemih secara komplet
NIC : Perawatan retensi urin
Intervensi :
a. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus
kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten,
fungsi kognitif dan masalah urin)
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
d. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10
menit)
e. Menyediakan perlak di kasur
f. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
h. Monitor intake dan output
i. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi
j. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.
2. Diagnosa : Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan
operasi baik keluarga dan klien.
Tujuan : Setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kecemasan pasien berkurang.
NOC : Kontrol ansietas
Indikator :
a. Tingkat kecemasan di batas normal
b. Mengetahui penyebab cemas
c. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas
d. Informasi untuk mengurangi kecemasan
e. Strategi koping untuk situasi penuh stress
f. Hubungan social
g. Tidur adekuat
h. Respon cemas
NIC : Pengurangan cemas
Intervensi :
a. Ciptakan suasana yang tenang
b. Sediakan informasi dengan memperhatikan diagnosa, tindakan dan
prognosa, dampingi pasien untuk meciptakan suasana aman dan
mengurangi ketakutan
c. Dengarkan dengan penuh perhatian
d. Kuatkan kebiasaan yang mendukung
e. Ciptakan hubungan saling percaya
f. Identifikasi perubahan tingkatan kecemasan
g. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan
kecemasan.
Diagnosa post operasi
1. Diagnosa : Kesiapan dalam peningkatan manajemen regimen terapeutik
berhubungan dengan petunjuk aktivitas adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
kesiapan peningkatan regimen terapeutik baik.
NOC : Family participation in profesioal care
Indikator :
a. Ikut serta dalam perencanaan perawatan
b. Ikut serta dalam menyediakan perawatan
c. Menyediakan informasi yang relefan
d. Kolaborasi dalam melakukan latihan
e. Evaluasi keefektifan perawatan
NIC : Family process maintenance
Intervensi :
a. Anjurkan kunjungan anggota keluarga jika perlu
b. Bantu keluarga dalam melakukan strategi menormalkan situasi
c. Bantu keluarga menemukan perawatan anak yang tepat
d. Identifikasi kebutuhan perawatan pasien di rumah dan bagaimana
pengaruh pada keluarga
e. Buat jadwal aktivitas perawatan pasien di rumah sesuai kondisi
f. Ajarkan keluarga untuk menjaga dan selalu menngawsi perkembangan
status kesehatan keluarga.
2. Diagnosa: Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
nyeri berkurang.
NOC 1 : Level nyeri
Indikator :
a. Melaporkan nyeri (frekuensi & lama)
b. Perubahan vital sign dalam batas normal
c. Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri
NOC 2 : Tingkat kenyamanan
Indikator :
a. Melaporkan kondisi fisik yang nyeman
b. Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri
NOC 3 : Kontrol nyeri
Indikator :
a. Mengungkap faktor pencetus nyeri
b. Menggunakan tetapi non farmakologi
c. Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri
d. Melaporkan nyeri terkontrol
NIC 1 : Manajemen nyeri
Intervensi :
a. Kaji secara komperhensif mengenai lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas, dan faktor pencetus nyeri
b. Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Ajarkan teknik nonfarmakologi (ralaksasi)
d. Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol nyeri
e. Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi
nyeri)
NIC 2 : Monitor tanda vital
Intervensi :
a. Monitor TD, RR, nadi, suhu pasien
b. Monitor keabnormalan pola napas pasien
c. Identifikasi kemungkinan perubahan TTV
d. Monitor toleransi aktivitas pasien
e. Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak istirahat
NIC 3 : Manajemen lingkungan
Intervensi :
a. Cegah tindakan yang tidak dibutuhkan
b. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman
3. Diagnosa: Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi infeksi.
NOC 1 : Deteksi resiko
Indikator :
a. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko
b. Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko
c. Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber
informasi
NOC 2 : Kontrol resiko
Indikator :
a. Membenarkan faktor resiko
b. Memonitor faktor resiko dari lingkungan
c. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko
d. Memonitor & mengungkapkan status kesehatan
NOC 3 : Status imun
Indikator :
a. Tidak menunjukan infeksi berulang
b. Suhu tubuh dalam batas normal
c. Sel darah putih tidak meningkat
NIC 1 : Kontrol infeksi
Intervensi :
a. Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang benar
b. Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi & kapan harus
melaporkan kepada petugas
c. Batasi pengunjung
d. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan pasien
NIC 2 : Perawatan luka
Intervensi :
a. Catat karakteristik luka, drainase
b. Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik steril
c. Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah tindakan
d. Ajarkan pada pasien dan kelurga cara prosedur perawatan luka
NIC 3 : Perlindungan infeksi
Intervensi :
a. Monitor peningkatan granulossi, sel darah putih
b. Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.
4. Diagnosa : Perubahan eliminasi urine (retensi urin) berhubungan dengan
trauma operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
retensi urin berkurang.
NOC : Pengawasan urin
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK
ke toilet
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengosongkan kandung kemih secara komplek
NIC : Perawatan retensi urin
Intervensi :
a. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus
kepada inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten,
fungsi kognitif dan masalah urin)
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
d. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10
menit)
e. Menyediakan perlak di kasur
f. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
h. Monitor intake dan output
i. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi
j. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Agung. Seputar Dunia Keperawatan: Askep Hipospadia. Diakses melalui


http://keperawatan-agung.blogspot.com/2010/06. Pada tanggal 19 Oktober 2010.
Mansjoer, Arif, dkk. (2000).Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2, Jakarta :
Media Aesculapius.
Santosa, Budi. (2005-2006). NANDA. Prima Medika
Suriadi SKp, dkk. (2001). Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta : Fajar
Interpratama
Yanto, Trinoval. Askep Hipospadia. Diakses melalui 
http://www.trinoval.web.id/2010/04/askep-hipospadia.html. Pada tanggal 19 oktober
2010.
http://www.medicastore.com

Anda mungkin juga menyukai