Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN HASIL DISKUSI BBDM

MODUL 6.2 SKENARIO 1

BBDM KELOMPOK 15

DISUSUN OLEH

Septian Eka Prasetyo

22010118130177

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2020
BBDM MODUL 6.2 SKENARIO 1
Seorang Ibu memeriksakan bayi perempuannya yang berusia 18 bulan berat badan 10
kg , dengan keluhan diare dan nyeri perut setiap hendak BAB.Diare sejak 3 hari yang lalu,
frekuensi 5x dalam 24 jam, konsistensi cair berampas, ada lendir, ada darah, tidak ada
muntah sebelumnya. Anak demam 38,7 C, onset demam bersamaan dengan diare.
Pada Pemeriksaan fisik didapatkan mata cowong, mukosa mulut kering, anak tampak
rewel. Pada anus didapatkan ruam. Hasil pemeriksaan penunjang Hb 13 gr/dl Ht 36.8 %
Leukosit 27.800 /mm3, Trombosit 556.000 U/L. Feces rutin : leukosit 45/LPB, Eritrosit
penuh/LPB, bakteri +3, Kista amoeba (+). Anak lahir spontan cukup bulan ditolong bidan
langsung menangis. Anak saat ini minum formula, ASI tidak diberikan sejak umur 2 bulan.
Ibu menceritakan kalau botol susu dicuci dengan cara direndam meggunakan air hangat
I. TERMINOLOGI
1. Mata cowong
Mata cowong merupakan salah satu tanda dehidrasi sedang sampai berat.
Apabila terjadi dehidrasi maka proses metabolisme terganggu dan dapat
memerperlihatkan gejala, salah satunya mata cowong. Mata yang tampak
cekung karena penurunan vitreus humor. Merupakan tanda dehidrasi ringan
sampai sedang.
2. Kista amoeba
Bentuk amoeba dalam fase proliferatif atau inaktif yang menandakan bahwa
ada infeksi amoeba dalam sistem pencernaan. Setelah berada dlm lingkungan
yg cocok-> pecah/ekskistasi-> mengeluarkan trofozoit-> patologi. Positif bila
ditemukan kista amoeba dalam feses segar. Merupakan stadium diagnosis dan
stadium infektif.
3. Ruam
Bercak kemerahan pada kulit yg merupakan tanda inflamasi akibat iritan dan
dapat disertai gatal. Muncul disekitar anus kemungkinan ada luka kecil. Ruam
anus sering ditemukan pada anak.
4. Diare
Kondisi dimana konsistensi feses cair-lembek, dan frekuensinya lebih sering,
>1x/hari. Dibedakan menjadi 2 jenis, watery dan bloody. Bisa diesabkan
makanan yang dikonsumsi tercemar bakteri, parasit.
Penyebabnya dapat dibedakan berdasarkan waktunya.
- Diare akut, yang berlangsung kurang dari 14 hari
- Diare kronik, gejala dan tanda sudah berlangsung > 2minggu
- Disentri, yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya
- Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus
Diare dapat didefinisikan sebagai perubahan konsistensi air feses secara tiba-
tiba > 10 ml/kgbb. Frekuensi >3x dalam 2 jam.
5. Pemeriksaan feses
Serangkaian tes pada feses untuk mendiagnosis beberapa penyakit.
Makroskopis(konsistensi), mikroskopis( leukosit). Indikasi: lendir, darah
dalam tinja, penyakit pencernaa.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa bayi tampak mata cowong dan mukosa kering?
2. Bagaimana interpretasi berat bdan, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang pada kasus diatas?
3. Apakah diare pada skenario normal? Mengapa diare bisa terjadi?
4. Hubungan antara riwayat persalinan dan riwayat pemberian asi dengan kondisi
saat ini?
5. Apakah ada hubungan anatar pemberian susu formula dan cara pembersihan
botol susu dengan kondisi saat ini?
6. Apa kemungkinan diagnosis pada kasus diatas?

III. BRAINSTORMING
1. Kondisi tersebut termasuk dehidrasi sedang karena terdapat tanda seperti
rewel, mukosa kering, dan mata cowong/cekung. Sering terjadi karena
pengeluaran cairan berlebih. Anak usia 1-5 tahun, mata cwong menjadi tanda
dehidrasi sedang-parah. Bisa dehidrasi karena malas minum, sehingga bisa
segera diberi cairan.
2. BB: normal
HB: normal
Ht: normal
Leukosit: meningkat > 16000-17000
Trombosit: normla
Bentuk feses: abnormal (normalnya lunak dan berbentuk)
Darah dan lendir abnormal karena luka saluran cerna
Leukosit meningkat karena infeksi
Eritrosit feses: abnormal (normalnya tidak ada)
Bakteri +3 : abnormal (+3 tidak bermakna diagnostik)
Kista + : abnormal (normalnya tidak ada kista)

Fisik:
Dehidrasi ringan: mata cowong (sunken eyes), mkosa kering, rewel
Ruam pada anus: sering defekasi dan akibat kandungan feses yg banyak asam
dari asam laktat yang dapat mengiritasi kulit. Bisa juga disebabkan keadaan
pantat yang lembab. Faktor mekanik juga dapat memperparah ruam
Rewel: dehidrasi berat sehingga bayi menunjukkan ketidaknyamanannya. Air
mata tidak keluar karena dehidrasi berat.
Demam + (ada benda asing> infeksi)
3. Diare tidak normal karena disertai darah dan lendir. Adanya demim menjadi
indikasi infeksi.
1. Menghasilkan toksin (enterotoksigenik)
2. Merusak mukosa usus (enterovasif)
- Feces berdarah karena invasi mikroorganisme ke sel epitel mukosa usus yg
dan infiltrasi sel radang yg membuat nekrosis sel epitel mukosa
- Feces lendir dan lembek karena adanya hipersekresi cairan d usus karena
peningkatan cAMP akibat toksin mikroorganisme.
Toksin dari infeksi pada dinding usus menyebabkan eksresi air dan elektrolit
meningkat. Nyeri diakibatkan oleh invasi parasite ke epitel usus dan
membentuk ulserasi. Invasi dapat meluas ke hepar sehingga nyeri.

Toksin mikroba mengganggu penyerapan usus, sehingga mengganggu tekanan


osmotik yang menyebabkan cairan dari jaringan masuk ke lumen usus.
Makanan yang tidak dapat diserap akan meningkatkan tekanan osmotik lumen
usus sehingga air dan elektrolit berpindah secara osmosis ke dalam lumen
secara berlebih─diare. Gangguan osmotik dapat disebabkan oleh toksin
mikroba yang meningkatkan sekresi air dan elektrolit. Selain gangguan
osmotik, hiperperistaltik dinding usus juga menyebabkan diare dan nyeri
perut.
4. Asi eksklusif harus diberikan sampai 6 bulan. Tidak mendapatkan ASI
ekslusif dimana seharusnya pasien mendapatkan ASI ekslusif dapat mencegah
infeksi pada bayi karena ASI terdapat zat yang dapat mencegah infeksi seperti
Laktoferrin, Lysozyme, dan IgA. Susu formula tidak punya kandungan zat
proaktif Lactobacillus bifidus. akan memecah laktosa menjadi asam laktat dan
asam asetat yang bersifat asam sehingga dapat mencegah pertumbuhan
bakteri.
Luka pada usus dapat disebabkan oleh molekul pada susu formula
memudahkan invasi trofozoit.
Asi mengandung bile salt stimulated lipase (BSSL) yang berfungsi mematikan
tropozoa yang dapat mencegah infeksi amoeba. Tidak diberikannya asi
eksklusif dapat menghambat epitelisasi dan pembentukan mukosa pada usus
bayi sehingga menimbulkan resiko infeksi.

5. Tidak memberikan asi eksklusif dapat menghambat epitelisasi dan


pembentukan mukosa sehingga memudahkan infeksi. Asi mengandung banyak
zat penting seperti laktoferin, lizozim, dan igA. Pembersihan botol susu
dengan air hangat tidak efektif karena sebaiknya botol susu dicuci dengan air
panas/mendidih , karena air hangat 37-40 derajat menjadi kondisi yg optimal
perkembangan organisme dan tidak cukup untuk dapat menghancurkan kista
parasit sehingga masih bisa menimbulkan infeksi. Selain itu botol susu dapat
disterilkan dengan sabun.

6. Disentri amoeba
IV. SKEMA

V. SASARAN BELAJAR
1. Definisi, etiologi, dan faktor resiko disentri
2. Patofisiologi disentri
3. Diagnosis banding
4. Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemefriksaan penunjang disentri
5. Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi disentri
6. Edukasi pencegahan disentri

VI. BELAJAR MANDIRI


1. Definisi, Etiologi, dan Faktor Risiko Disentri
Definisi Disentri
Disentri adalah diare yang disertai darah dalam tinja, hal ini kerap kali
disebabkan oleh shigella sp., Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan banyak
terdapat di negara tropis dengan tingkat social ekonomi rendah dan hygiene yang
kurang. Penyebarannya melalui makanan yang terinfeksi serta kontak seksual. Bila
tidak diobati dengan tepat dapat menjadi sistemis dan menjalar ke organ-organ lain
(hati) dan dapat menyebabkan komplikasi serius, seperti gangguan pertumbuhan
bahkan berisiko pada kematian.
Disentri sering juga digambarkan sebagai tanda dari diare dengan demam,
kram pada perut, tinja berlendir dan nyeri pada dubur dan kerap kali memerlukan
antibiotik dalam pengobatannya.
Etiologi Disentri
 Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella sp., yang merupakan bakteri gram
negatif. Shigella mempunyai susunan antigen yang kompleks mirip dengan
E.coli yaitu memiliki antigen somatic O, tetapi tidak memiliki flagella dan
antigen H. Secara klinis mempunyai tanda-tanda berupa diare, adanya
lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit dan tenesmus.
 Disentri amoeba (amebiasis) adalah penyakit infeksi usus besar yang
disebabkan oleh parasite usus Entamoeba histolytica. Apabila kondisinya
mendukung dapat berubah menjadi pathogen dengan cara membentuk koloni
di dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2
bentuk, yaitu bentuk trofozoit dan bentuk kista. Trofozoit komensal dapat
dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Sementara
trofozoit pathogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus dalam
(intraintestinal) maupun dinding luar usus (ekstraintestinal), mengakibatkan
gejala disentri. Trofozoit mengandung beberapa eritrosit didalamnya, karena
sering menelan eritrosit dan cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.
Bentuk kista ada 2 macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Bentuk kista
bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hidup lama di luar
tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan kadar klor standard di
dalam sistem air minum. Adanya faktor kekeringan akibat penyerapan air di
sepanjang usus besar, menyebabkan trofozoit dapat berubah menjadi kista.
 Penyebab lainnya, antara lain Yersinia enterocolica, Campylobacter jejuni
(terutama pada bayi), Salmonella sp., Eschericia coli enteroinvasif (jarang,
tetapi berat)
 Penyebab non infeksi, antara lain invaginasi (massa intra-abdominal), alergi
susu sapi, gangguan hematologi seperti defisiensi vitamin K, dan kelainan
imunologis.
Faktor risiko disentri
1. Usia
Diare banyak terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan. Insiden tertinggi
pada golongan umur 6-11 bulan, pada masa diberikan makanan pendamping.
Sistem pencernaan pada bayi belum berkembang baik. Asam lambung belum
sempurna dan membutuhkan waktu hingga beberapa bulan untuk dapat
mencapai kadar bakteriosidal dimana ph<4. Pada neonatus produksi beberapa
enzim pencernaan belum berkembang sempurna.
2. Status gizi
Diare dengan malnutrisi cenderung lebih berat serta lama dan memiliki angka
kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan diare pada anak dengan gizi
baik. Malnutrisi menyebabkan penekanan faktor imunitas, perubahan struktur
mukosa usus serta defisiensi mikronutrien seng dan vitamin A. Seng berperan
dalam imunitas tubuh melalui peranannya dalam proses limphoproliferatif
maupun efek antioksidan serta berperan dalam peroses pertumbuhan terutama
dalam pembelahan sel, perbaikan jaringan rusak maupun penyembuhan luka.
Defisiensi vitamin A pada malnutrisi dakan mengganggu respon imun
terhadap infeksi saluran cerna yang disebabkan oleh terganggunya respon
antibodi dan cell-mediated. Malnutrisi juga menyebabkan atrofi villi, aktivitas
enzim disakaridase terganggu, gangguan absorpsi monosakarida, motilitas
usus abnormal dan perubahan flora usus.
3. ASI
ASI mampu mencegah infeksi pada bayi karena mengandung berbagai zat
yang dapat mencegah terjadinya infeksi seperti laktoferin, lisozim, secretory
imunoglobulin A (sIgA), serta berbagai faktor pertumbuhan, sel darah putih,
dan lain-lain. Laktoferin dan lisozim merupakan protein-protein di dalam ASI
yang berperan penting dalam mencegah perkembang biakan bakteri serta
mempengaruhi flora bakteri yang ada di saluran cerna.
4. Faktor ekonomi, sosial, budaya dan higiene-sanitasi lingkungan
Lingkungan yang buruk dapat berakibat masuknya bakteri secara berlebihan
ke dalam usus sehingga dapat mengalahkan pertahanan tubuh. Keterbatasan
lingkungan tempat tinggal penyediaan sumber air bersih, keadaan higiene
sanitasi lingkungan yang berhubungan dnegan proses transmisi infeksi enterik,
khususnya pada negara berkembang. Tingkat pendidikan orang tuan
berpengaruh terhadap perilaku, pola hidup, dan pengawasan terhadap perilaku
higiene (misalnya minum air matang, cuci tangan) pada buah hatinya.
5. Keadaan mukosa usus
Kelaianan mukosa usus ini selain disebabkan oleh invasi dan kerusakan oleh
bakteri secara langsung ataupun karena efek toksin yang berpengaruh pada
permukaan epitel. Pada beberapa kasus, diare akan menetap disebabkan
penyembuhan villi tidak sempurna. Epitel bayi juga mengalami pemulihan
seluler yang lambat.
2. Patofisiologi disentri
a. Disentri Basiler
Ketahanan terhadap kondisi pH yang rendah menyebabkan shigella bertahan
melalui barrier lambung. Diare air mendahului sindroma disentri karena terjadinya
sekresi aktif dan reabsorbsi air secara abnormal. Hal ini mungkin disebabkan
karena adanya aksi kombinasi dari enterotoxin yang memicu respon inflamasi akut
yang intensif dengan ulserasi mukosa dan pembentukan abses.
Shigella mudah beradaptasi dengan lingkungan intraselular dan hal ini
memberikan keunikan dalam proses infeksi. Pada awalnya bakteri dikelilingi oleh
vakuola fagositik, kemudian memicu pelepasan sitokin oleh sejumlah sel epitel
intestinal yang terinfeksi dan menyebabkan kenaikan jumlah sel imun (terutama
lekosit polimorfonuklear) ke tempat yang terinfeksi, yang akan mendestabilisasi
barrier epitel, eksaserbasi inflamasi, dan menyebabkan colitis akut yang sesuai
dengan shigellosis. Diare yang terjadi pada proses ini terdiri dari volume tinja yang
sedikit mengandung leukosit, eritrosit, bakteri dan lainnya yang memberikan
gambaran disentri klasik.
b. Disentri amoeba
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar,
dapat berubah menjadi patogen menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus.
Diduga factor yang mempengaruhi perubahan tersebut ialah kerentanan tubuh
pasien, sifat keganasan ameba, maupun lingkungannya. Faktor-faktor yang dapat
menurunkan kerentanan tubuh misalnya kehamilan, kurang gizi, penyakit
keganasan, obat-obat imunosupresif, dan kortikosteroid. Sifat keganasan ameba
ditentukan oleh strainnya. Strain ameba di daerah tropis lebih ganas daripada strain
di daerah sedang. Sedangkan untuk faktor lingkungan yang diduga berpengaruh,
misalnya suasana anaerob dan asam (pH 0,6-6,5), adanya bakteri, virus dan diet
tinggi kolesterol, tinggi karbohidrat, dan rendah protein. Amoeba yang ganas dapat
memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan
kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Hal ini menyebabkan terjadinya
ulkus yang apabila dilakukan pemeriksaan mikroskopik eksudatnya, akan tampak
sel leukosit dalam jumlah banyak, akan tetapi lebih sedikit jika dibandingkan
dengan disentri basiler. Tampak pula kristal Charcot Leyden dan kadang-kadang
ditemukan trofozoit. Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan
apabila menembus lapisan muskular akan terjadi perforasi dan peritonitis. Ulkus
dapat terjadi di semua bagian usus besar, berdasarkan frekuensinya bertempatkan
pada sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid, apendiks, dan ileum terminalis. Dari
ulkus di dalam dinding usus besar, ameba dapat mengadakan "metastasis" ke hati
lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati.

3. Diagnosis banding
Diagnosis banding disentri tergantung pada klinis dan lingkungan. Pada negara
berkembang, diare infeksius biasa disebabkan invasi bakteri pathogen seperti Salmonella
enteritidis, Campylobacter jejuni, Clostridium difficile, (Yersinia enterocolitica) atau
parasite (Entamoeba histolytica). Dalam mendiagnosis shigellosis harus dipertimbangkan
secara matang dengan ditambahkan pemeriksaan penunjang berupa bakteriologis dan
parasitologis feses. Inflammatory bowel disease, seperti Crohn’s disease atau colitis
ulseratif harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding shigellosis di negara industry,
karena memiliki kemiripan gejala, dan hanya dibedakan melalui anamnesis yaitu adalah
riwayat bepergian ke daerah endemic.
Amebiasis intestinal kadang sukar dibedakan dari irritable bowel syndrome (IBS),
diverticulitis, enteritis regional, dan hemoroid interna, sedangkan disentri (shigellosis)
basilar sukar dibedakan dengan colitis ulserosa, dan skistosomiasis (terutama didaerah
endemis).
Diagnosis banding lainnya adalah :
 Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)
Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi epitel usus
sehingga menyebabkan kematian sel dan menimbulkan respon radang yang cepat
(secara klinis dikenal sebagai kolitis). Manifestasi klinis berupa demam, toksisitas
sistemik, nyeri kejang abdomen, tenesmus, dan diare cair atau darah.
 Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)
Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare
sendiri atau dengan nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa
hari menjadi berdarah (kolitis hemoragik). Meskipun gambarannya sama
dengan Shigelosis yang membedakan adalah terjadinya demam yang
merupakan manifestasi yang tidak lazim. Beberapa infeksi disertai dengan
sindrom hemolitik uremik.

4. Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemefriksaan penunjang disentri


1. Interpretasi anamnesis
Disentri Basiler / Shigellosis
Menyebabkan 3 bentuk diare sebagai keluhan utama:
 Diare dengan tinja yang konsisten lembek disertai darah, lendir.
 Watery diarrhea, diare dengan volume yang besar tanpa ada lendir/tinja
 Kombinasi
Keluhan tambahan:
 Demam/Panas karena infeksi bakteri
 Nyeri abdomen (sakit perut) tepatnya di daerah rektum, kolon descendens, kolon
sigmoid.
 Tenesmus ani
Keluhan utama dan tambahan terjadi setelah masa inkubasi2-4 hari (onset)
Disentri Amuba / Amebiasis
Diagnosis akurat sangat penting 90% bersifat asimptomatik (tidak ada gejala
khas) shg perlu pemeriksaan laboratorium yang sesuai.
Keluhan dapat berupa:
 Diare dengan tinja berdarah, lembek dan berlendir.
 Frekuensi diare 10 kali/hari.
 Terdapat nyeri perut dan BB menurun.

2. Pemeriksaan Fisik
 Inpeksi
Terlihat normal karena secara umum tidak terlihat kelaian pada regio abdomen
pada saat pengamatan.
 Palpasi
Turgor menururn karena dehidrasi
 Perkusi
Hipertimpani menunjukkan indikasi adanya udara bebas yang derdapat didalam
rongga usus. Udara bisa karena hasil respirasi anaerob bakteri.
 Auskultasi
Hiperperistaltik disebabkan karen adanya radang dan obastruksi pada usus
Adanya reaksi radang di dalam usus menyebabkan mukosa usus rusak sehingga
mengganggu proses absorbsi air dan nutrisi sehingga air susah diserah pada
akhirnya akan mengalami hiperperistaltik.
 Nyeri tekan lepas Mc Burney
Negatif karena tidak ada indikasi apendisitis
3. Pemeriksaan Penunjang
Disentri Basiler
 Pemeriksaan tinja.
Pemeriksaan tinja dilakukan secara langsung terhadap kuman penyebab
serta biakan hapusan (rectal swab). Untuk tujuan menemukan carrier
diperlukan pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti karena basil
shigela mudah mati.
 Aglutinasi.
Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum
pada hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada
pengenceran 1/50.
 Sigmoidoskopi.
Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah sigmoid.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut
 Endoskopi
Gambaran pemeriksaan ini memperlihatkan mukosa hemoragik yang
terlepas dan ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian
besar lesi berada di bagian distal kolon dan secara progresif berkurang di
segmen proksimal usus besar
 Enzim immunoassay.
Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita
yang terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan E.coli.
 Polymerase Chain Reaction (PCR).
Disentri Amuba
1. Pemeriksaan Feses
Sampel feses yang diambil merupakan feses segar dan idealnya diambil 3 kali
pada 3 hari yang berbeda tetapi tidak lebih dari 10 hari. Pemeriksaan tinja pada
disentri ameba biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Pengambilan
sampel tinja sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan. Apabila
direncanakan akan dibuat foto kolon dengan barium enema, pemeriksaan tinja harus
dikerjakan sebelumnya atau minimal 3 hari sesudahnya. Dengan sediaan langsung
tampak kista berbentuk bulat, berkilau seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-
badan kromatoid yang berbentuk batang, dengan ujung tumpul, sedang inti tidak
tampak. Untuk dapat melihat intinya dibuat sediaan dengan larutan lugol. Sebaliknya
badan-badan kromatoid tidak tampak pada sediaan dengan lugol ini. Bila jumlah kista
sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan dengan metoda konsentrasi yaitu dengan larutan
seng sulfat dan eterformalin. Dengan larutan seng sulfat, kista akan terapung di
permukaan, sedang dengan larutan eterformalin kista akan mengendap.
Apabila pemeriksaan tinja ditunda untuk beberapa jam, maka tinja dapat
disimpan di lemari pendingin (4°C) atau dicampur di dalam larutan polivinil alkohol.
Pada sediaan langsung juga dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif, jika
tinja berdarah, akan nampak ameba dengan eritrosit di dalamnya. Bentuk inti akan
nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin. Untuk membedakan dengan
leukosit (makrofag), perlu dibuat sediaan dengan cat supravital, misalnya buf-fered
methylene blue.
Secara umum, sensitivitas pemeriksaan dengan mikroskop hanya 60%.
Pemeriksaan feses dengan mikroskop dapat menunjukkan trofozoit atau kista, namun
tidak dapat membedakan antara  E.histolytica dengan spesies Entamoeba non
patogenik yang lain seperti E. dispar, E. moshkovskii, dan E. bangladeshi. Selain itu,
hasil positif palsu sering ditemukan akibat salah identifikasi makrofag sebagai
trofozoit atau sel polimorfonukleus sebagai kista. Kista memiliki 4 nukelus dan
berdiameter 12 – 15 μm, sementara trofozoit memiliki satu nukleus dan berdiameter
15 – 20 μm. Pasien asimtomatik biasanya menunjukkan gambaran trofozoit saja,
namun pasien dengan disentri akut dapat menunjukkan trofozoit dengan eritrosit di
dalamnya.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi biasanya digunakan pada kasus amebiasis hepar.
Pemeriksaan ultrasonografi hepar dapat menemukan adanya area hipoekoik tunggal
atau multipel dengan tepi bulat. Pemeriksaan ini memiliki nilai prediktif positif 85-
100%. Pemeriksaan CT dan MRI juga dapat digunakan untuk mendeteksi abses yang
berkuruan kecil dan menghasilkan gambaran yang lebih baik. Pemeriksaan CT
dengan kontras memiliki nilai prediksi positif sampai 95%. Gambaran yang muncul
biasanya berupa massa soliter atau multipel dan sering kali ditemukan pada lobus
kanan. Pemeriksaan dengan gallium dapat membedakan antara abses amebik dengan
abses bakterial. Abses amebik biasanya tampak berwarna biru pada hasil scan (cold
spot) sementara abses bakterial berwarna merah (hot spot).

3. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah rutin biasanya menunjukkan leukositosis dengan
neutrofilia tetapi tanpa eosinofilia. Juga ditemukan anemia ringan, dan peningkatan
kadar alkalin fosfatase, alanin aminotransferase, bilirubin, serta laju endap darah.
Pemeriksaan uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati
amebik dan epidemiologis. Uji serologi positif apabila ameba menembus jaringan
(invasif). Oleh karena itu uji ini akan.positif pada pasien abses hati dan disentri
ameba, dan negatif pada earner. Hasil uji serologi positif belum tentu menderita
amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan amebiasis. Indirect fluores-cent
antibody (IFA) dan enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) merupakan uji
yang paling sensitif.

4. Biopsi dan Patologi


Biopsi intestinal pada daerah ulkus dapat menunjukkan gambaran trofozoit.
Pemeriksaan aspirasi cairan abses juga dapat digunakan untuk menegakkan amebiasis
hepar. Pemeriksaan ini menggunakan pewarnaan asam-Schiff atau imunoperoksidase
dengan antibodi spesifik E. histolytica.

5. Pemeriksaan Kolonoskopi
Kolonoskopi pada kolitis amebik dapat menunjukkan adanya lesi pada sekum, lesi
multipel, eksudat, atau erosi. Temuan ini memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang
berbeda-beda. Lesi multipel memiliki sensitivitas paling tinggi yaitu 96% sedangkan
adanya eksudat memiliki spesifisitas tertinggi yaitu 74%.
Pemeriksaan prostoskopi, sigmoidoskopi, dan kolonoskopi berguna untuk
membantu diagnosis penderita dengan gejala disentri, terutama apabila pada
pemeriksaan tinja tidak ditemukan ameba. Pemeriksaan ini tidak berguna untuk
carrier.

5. Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi disentri


Disentri basiler
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan kondisi ini adalah istirahat,
mencegah atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika.
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi oral. Jika
frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan berat badan penderita
turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui infus untuk menggantikan cairan
yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan dapat diberikan melalui
minuman atau pemberian oralit. Bila penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai
dapat diberikan. Diet diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5
kali/hari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
Pengobatan spesifik. Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis
pasien diobati dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan,
terapi diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis
yang lain. Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan tetrasiklin
hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap ampisilin, namun
apabila ternyata dalam uji resistensi kuman terhadap ampisilin masih peka, maka masih
dapat digunakan dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 5 hari. Begitu pula dengan
trimetoprimsulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960 mg/hari selama 3-5 hari.
Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri basiler karena tidak efektif.
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau
makrolide azithromisin ternyata berhasil baik untuk pengobatan disentri basiler. Dosis
siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500 mg/hari selama 3 hari sedangkan azithromisin
diberikan 1 gram dosis tunggal dan sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari. Pemberian
siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap anak-anak dan wanita hamil. Di negara-
negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriae tipe 1 yang multiresisten
terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik dengan dosis 3 x 1 gram/hari selama 5 hari.
Tidak ada antibiotika yang dianjurkan dalam pengobatan stadium carrier disentri basiler.
Suplementasi zinc, dosis untuk anak < 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari; anak > 6
bulan : 20 mg (1 tablet) per hari. Diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun
anak sudah sembuh dari diare. Pemeberiannya bertujuan untuk mengurangi lama dan
beratnya diare, mencegah berulangnya diare selama 2-3 bulan, mengembalikan napsu
makan anak dan sebagai antioksidan, penguat sistem imun, aktivasi limfosit T, serta
menjaga keutuhan epitel usus

Disentri amuba
 Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga kali perhari
selama 20 hari.
 Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5
hari.
 Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750 mg tiga kali
sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari, dan emetin 1
mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
 Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg tiga kali
sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari dilanjutkan
500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.

Tatalaksana penanganan gizi


Diet yang tepat sangat penting karena disenteri memberi efek samping pada status
gizi. Namun demikian, pemberian makan seringkali sulit, karena anak biasanya tidak
punya nafsu makan. Kembalinya nafsu makan anak merupakan suatu tanda perbaikan
yang penting.
 Pemberian ASI harus terus dilanjutkan selama anak sakit, lebih sering dari biasanya,
jika memungkinkan, karena bayi mungkin
 Anak-anak berumur 6 bulan atau lebih harus menerima makanan mereka yang biasa.
Bujuk anak untuk makan dan biarkan anak untuk memilih makanan yang disukainya.

Terapi dehidrasi
6. Edukasi pencegahan disentri
Konseling dan Edukasi :
 Keluarga ikut berperan dalam mencegah penularan dengan kondisi lingkungan dan
diri yang bersih seperti membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak
terkontaminasi serta penggunaan jamban yang bersih
 Keluarga ikut menjaga diet pasien diberikan makanan lunak sampai frekuensi BAB
kurang dari 5x/sehari, kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
 Untuk pencegahan disentri amuba yaitu makanan, minuman dan keadaan lingkungan
hidup yang memenuhi syarat kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit
yang sangat penting. Air minum sebaiknya dimasak dahulu karena kista akan binasa
bila air dipanaskan 50°C selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa
digunakan dalam proses pembuatan air bersih, ternyata tidak dapat membinasakan
kista. Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi dan pengobatan carrier. Carrier
dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala pekerjaan yang berhubungan dengan
makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus untuk pencegahan. Pemberian
kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis tidak
dianjurkan. Pengobatan massal secara berkala dengan metronidazole dan dilosanid
furoat hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu.
 Untuk pencegahan disentri basiler yaitu dengan memperbaiki sistem sanitasi dan
peningkatan penyediaan air bersih sangat penting untuk mencegah penyebaran
bakteri, selain cuci tangan. Cuci tangan setelah defekasi atau membersihkan feses
anak, serta sebelum mengolah/menyajikan makanan sangat dianjurkan.
Edukasi (pada orang tua) :
a. Diare ataupun disentri dapat menyebabkan kematian apabila tidak segera ditangani
setelah muncul komplikasi
b. Orang tua diberi edukasi mengenai tanda dan gejala dehidrasi
c. Diberi edukasi mengenai cara membuat cairan rehidrasi oral di rumah
d. Anak tetap diberi nutrisi yang cukup

Edukasi MPASI
Edukasi sterilisasi botol
Setelah botol dicuci, proses sterilisasi bisa dilakukan. Ada 3 cara umum yang dapat
dipilih untuk mensterilisasi botol susu, yaitu:
1. Sterilisasi botol susu dengan steamer botol susu
Sterilisasi botol susu dengan menggunakan mesin penguap ini merupakan cara yang
paling praktis dan cepat. Mesin ini bekerja dengan cara menciptakan uap panas bersuhu
tinggi yang mampu menghilangkan kuman di dalam botol. Proses sterilisasi dengan
menggunakan mesin ini hanya memakan waktu sekitar 8-12 menit.
Kelebihan lain yang bisa Anda dapat adalah kebersihan botol yang mampu bertahan
hingga 6 jam selama botol tersebut disimpan di dalam mesin atau wadah steril yang
tertutup. Hanya saja, untuk mendapat kemudahan dan kelebihan itu, tentu Anda perlu
mengeluarkan biaya ekstra untuk membelinya.
Saat menggunakan mesin penguap atau steamer  botol susu ini, ikuti instruksi yang
tertera pada kemasan mesin. Pastikan Anda menempatkan bagian-bagian botol
menghadap ke bawah dan hindari memasukkan perlengkapan yang tidak aman untuk
disterilkan, seperti pompa ASI.
2. Sterilisasi botol susu dengan microwave
Cara ini dilakukan hanya dengan memasukkan botol, dot, serta tutup botol yang sudah
dicuci ke dalam microwave, kemudian nyalakan microwave pada suhu tinggi dan atur
pemanasan untuk 1-2 menit.
Sebelum menggunakan mirowave untuk mensterilkan botol susu bayi,
pastikan microwave berada dalam keadaan bersih, tidak berbau, dan tidak terdapat sisa
makanan di dalamnya.
3. Merebus botol
Anda tidak perlu khawatir jika tidak memiliki mesin penguap botol susu
atau microwave, sebab sterilisasi botol susu bayi juga bisa dilakukan hanya dengan
merebusnya. Caranya, cukup dengan merebus air hingga mendidih atau bersuhu
minimal 80 derajat Celsius, lalu rebus botol bayi selama kurang lebih 5 menit. Setelah
itu, angkat botol menggunakan tong atau penjepit makanan, lalu letakkan botol di
tempat yang bersih dan diamkan hingga kering. Meskipun praktis dan murah,
mensterilkan botol susu bayi dengan cara merebusnya dapat membuat dot botol bayi
mudah rusak. Oleh karena itu, buang dan ganti dot atau bagian botol lain jika ada retak
atau kerusakan.

VII. DAFTAR PUSTAKA


1. Moonah SN, Jiang NM, Petri WA Jr. Host immune response to intestinal amebiasis.
PLoS Pathog 2013; 9:e1003489
2. Centers for Disease Control and Prevention. Roy SL. Chapter 3: Infectious Diseases
Related to Travel Amebiasis. In: Brunette GW, ed. CDC Health Information for
International Travel; 2016. New York, NY: Oxford University Press, 2016
3. Centers for Disease Control and Prevention (2018). Water, Sanitation &
Environmentally-related Hygiene. How to Clean, Sanitize, and Store Infant Feeding
Items.
4. Tribble DR. Antibiotic Therapy for Acute Watery Diarrhea and Dysentery. Mil Med.
2017;182(S2):17–25.
5. Saidin S, Othman N, Noordin R. Update on laboratory diagnosis of amoebiasis. Eur J
Clin Microbiol Infect Dis. 2019;38(1):15–38.
6. Taneja N, Nato F, Dartevelle S, Sire JM, Garin B, Phuong LNT, et al. Dipstick test
for rapid diagnosis of Shigella dysenteriae 1 in bacterial cultures and its potential use
on stool samples. PLoS One. 2011;6(10):1–9.
7. Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing FK UI; 2014.

Anda mungkin juga menyukai