Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KOLESTASIS
DI RUANG ANAK C1L2 RSUP DR KARIADI SEMARANG
DISUSUN OLEH:
NOOR AYU YANUAR SIWI
22020112210032
A. DEFINISI
Kolestasis pada bayi atau dulu disebut ikterus obstruktif adalah
penumpukan bahan seperti bilirubin, fosfatase lindi dan kolesterol di
dalam hati dan serum, yang biasanya diekskresikan oleh hati (Simon FR
dan Reichen J, 1983).
Kolestasis adalah berkurangnya atau terhentinya aliran empedu.
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam
jumlahnormal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral
dari hepatosit sampaitempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum.
Dari segi klinis didefinisikan sebagaiakumulasi zat-zat yang diekskresi
kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dankolesterol didalam
darah dan jaringan tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis
adalahterdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati dan sistem
bilier.
B. KLASIFIKASI
Secara garis besar kolestasis diklasifikasikan menjadi:
1. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu
ekstrahepatik. Kolestasis ekstrahepatik bercirikan kolestasis yang
menetap dengan bentuk tinja yang akholik pada 2 minggu pertama
kehidupan. Disebabkan oleh tidak berfungsinya saluran empedu
ekstrahepatik yang dibuktikan dengan pemeriksaan kolangiografi serta
gambaran histological yang khas pada biopsi hati.
Kelainan ini disebabkan lesi kongenita, yang merupakan kelainan
nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya
pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran
empedu intrahepatik. Penyebab utama yang dilaporkan adalah proses
imunologis, infeksi virus terutama CMV dan REO virus tipe 3, asam
empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik.
2. Kolestasis intrahepatik
Kolestasis intrahepatik didasari pada gangguan di hepatosit dan saluran
empedu dengan sistem biliar ekstrahepatik.
a. Saluran empedu.
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu paucity saluran empedu dan
disgenesis saluran empedu. Secara embriologis saluran empedu
intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalanya dari saluran empedu
ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat
mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya saluran
ekstrahepatik saja.
b. Kelainan hepatosit.
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan
pembentukan dan aliran empedu. Infeksi merupakan penyebab
utama yakni virus, bakteri, dan parasit.
1) Intrahepatik.
Gambaran klinis: bayi premature, BBLR, hepatosplenomegali,
kolestasis inkomplet, penyebab yang berhubungan
diidentifikasi (infeksi, metabolick familial).
Gambaran histologist: Giant sel, inflamasi portal fibrosis
minimal, formasi neoductular, steatosis, ekstramedulary
hematopoesis .
2) Ekstrahepatik.
Gambaran klinis: Terjadi pada bayi cukup bulan,
hepatomegali,tinja alkalis, polisplenia sindrom
Gambaran histologis: Proliferasi neoduktular, fibrosis portal,
sumbatan saluran empedu, giant sel jarang.
C. PROSES PATOFISIOLOGI
Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari
asam empedu. Hepatosit adalah sel epithelial dimana permukaan
basolaretalnya berhubungan dengan darah portal sedangkan permukaan
apical (kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel
terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan
racun dari darah dengan cara netabolisme dan detosifikasi intraseluler,
mengeluarkan hasil tersebut kedalam empedu. Salah satu contoh adalah
penanganan dan detosifikasi dari bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin
indirek). (2)
Bilirubin tidak terkonjugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah
oleh tranporter pada membrane basolateral, dikonjugasi intraseluler oleh
enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi bilirubin terkonjugasi
yang larut air dan dikeluarkan kedalam empedu transporter mrp2. MRP2
merupakan bagian yang bertanggung jawab terhadap aliran bebas asam
empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam
empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. (2)
Pada keadaan dimana asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin
terkonjugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Proses yang terjadi dihati seperti inflamasi, obstruksi,
gangguan metabolic, dan iskemia menimbulkan gangguan pada transporter
hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi
terkonjugasi.(6)
Gangguan transpor empedu dapat terjadi sejak awal pembentukkannya.
Saat ini dibedakan 2 fase gangguan transpor yang dapat terjadi pada
kolestasis.
1. Fase 1: gangguan pembentukan bilirubin oleh sel hepar dapat terjadi
karena berbagai sebab, antara lain:
a. Adanya kelainan bentuk (distorsi, sirosis).
b. Berkurangnya jumlah sel hepar (deparenchymatised liver).
c. Gangguan fungsi sel hepar.
Pada keadaan ini, berbagai bahan yang seharusnya dibuang melalui
empedu akan tertumpuk dan tidak mencapai usus yang akan sangat
mengganggu pencernaan sehingga terjadi berbagai defisiensi,
kondisi toksik, serta penumpukan pigmen empedu yang
menyebabkan ikterus. Gangguan fase pertama ini disebut kolestasis
primer.
2. Fase 2 : gangguan transpor yang terjadi pada perjalanan dari bilirubin
mulai dari hepar ke kandung empedu sampai ke usus.
Bayi pada minggu pertama sering menunjukkan gejala kolestasis
dengan tinja akolis atau hipokolis, karena proses kolestasis yang terjadi
fisiologis akibat masih kurang matangnya fungsi hepar. Namun harus
diwaspadai bila hal ini terjadi pada minggu-minggu berikutnya. Hepar
hampir selalu membesar sejak dari permulaan penyakit. Pembesaran
limpa pada 2 bulan pertama lebih sering terdapat pada kolestasis
intarhepatik dari pada ekstrahepatik, sedangkan pada bulan-bulan
berikutnya lebih banyak pada kolestasis ekstrahepatik.
D. PATHWAY
Terlampir.
E. MANIFESTASI KLINIS.
Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama
kolestasis neonatal adalah ikterus, tinja akolok dan urin yang berwarna
gelap, namun tidak ada satupun gejala atau tanda klinis yang
patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi biasanya baik.
Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3 s/d 5.
Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik.(5)
Berkurangnya empedu dalam usus juga menyebabkan
berkurangnya penyerapan kalsium dan vitamin D akan menyebabkan
pengeroposan tulang, yang menyebabkan rasa nyeri di tulang dan patah
tulang. Juga terjadi gangguan penyerapan dari bahan-bahan yang
diperlukan untuk pembekuan darah. Terdapatnya empedu dalam sirkulasi
darah bisa menyebabkan gatal-gatal (disertai penggarukan dan kerusakan
kulit). Jaundice yang menetap lama sebagai akibat dari kolestasis,
menyebabkan kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat endapan
kuning karena lemak. Gejala lainnya tergantung dari penyebab kolestasis,
bisa berupa nyeri perut, hilangnya nafsu makan, muntah atau demam. (5)
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu pemeriksaan :
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Rutin
Setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar
komponen bilirubin untuk membedakannya dari
hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan
darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direct < 4mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total.
Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan peningkatan
gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan
hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis
ekstrahepatik. Kadar gamma-GT yang rendah tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier (Fitzgerald).
Data laboratorik awal pada bayi kolestasis(4)
Kolestasis Kolestasis
Ekstrahepatik Intrahepatik
Bilirubin total (mg/dl) 10,2 ± 4,5 12,1 ±9,6
Bilirubin direk (mg/dl) 6,2 ± 2,6 8,0 ± 6,8
SGOT (↑ N) < 5x >10x
SGPT (↑ N) <5x >10x
GGT ( ↑ N) >5x <5x
Gambaran Klinis yang membantu membedakan kolestasis intrahepatal dengan
kolestasis ekstrahepatal. (1)
Sumber : Alagille, 1985
Data klinis Kolestasis Kolestasis
ekstrahepatal intrahepatal
Warna tinja :
- Putih 79% 26%
- Kuning 21% 74%
Berat badan lahir > 3kg < 3kg
Umur saat tinja akolis Sekitar 2 minggu Sekitar 1 bulan
Gambaran klinin hepar
Hepatomegali :
- Konsistensi normal 12 anak 35 anak
- Padat ( firm) 63 anak 47 anak
- Keras (hard) 24 anak 6 anak
2. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya
diagnostic yang cukup sensitif, tetapi penulis lain mengatakan
bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan
visualisasi tinja.
3. Pencitraan
a. Pemeriksaan ultrasonografi.
Prosedur ini menggunakan sifat reflektif getaran ultra
(ultrasound) untuk menghasilkan citra khas lesi kistik dan
tekstur parenkim. Ultrasonografi bermanfaat sebagai prosedur
penapisan untuk lesi desak ruang di hepar dan dilatasi duktus
biliaris.(2)
b. Sintigrafi hati.
Prosedur ini diaplikasikan untuk evaluasi penyakit
hepatoselular, lesi metastatic, dan penilaian kolestasis.(2)
c. Pemeriksaan kolangiografi.
Metode yang digunakan dengan memasang sebuah jarum ke
dalam parenkim hepar sehingga memungkinkan untuk
menyuntik secara langsung ke dalam duktus intrahepar yang
melebar. Kolangiografi mungkin tidak dapat digunakan pada
sebagian besar bayi dengan kolestasis, karena kecilnya ukuran
saluran empedu, tetapi dalam kasus ini dapat menggunakan
kolesistografi perkutis yaitu pemasukan kontras melalui jarum
ke dalam kandung empedu melalui dinding posterior.(2)
4. Biopsi Hati.
Ultrasound kadang kala dipakai untuk menentukan daerah
terbaik untuk biopsi. Klien harus telentang, sedikit ke kiri. Daerah
kulit yang dipilih dibersihkan, lalu daerah tersebut disuntik untuk
mematikan rasa pada kulit dan jaringan di bawahnya. Sebuah
jarum khusus yang tipis ditusuk melalui kulit. Pada saat ini, klien
akan diminta mengambil napas masuk, keluar dan menahannya
untuk kurang lebih lima detik. Jarum dimasukkan pada hati dan
dikeluarkan lagi. Tindakan ini hanya membutuhkan satu sampai
dua detik. Sepotong jaringan hati yang kecil dicabut dengan jarum,
dan diperiksa dalam laboratorium. Proses ini hanya membutuhkan
waktu 15 sampai 20 menit. Setelah itu, klien harus terbaring
secara tenang selama beberapa jam untuk menghindari
kemungkinan akan perdarahan di dalam. Klien akan merasakan
sedikit nyeri pada dada atau bahu, tetapi ini hanya bersifat
sementara.(2)
Biopsi hati memberikan 2 jenis informasi yang tidak dapat
diperoleh oleh cara lain :
1. Analisis kuantitatif jaringan untuk glikogen, lemak, besi,
tembaga, dan komponen lain untuk membuktikan adanya
penyakit penimbunan, seperti penyakit Wilson ( tembaga),
hemokromatosis (besi), dan penyakit penimbunan glikogen.
Pemeriksaan specimen untuk aktivitas enzim tertentu mungkin
mengungkapkan defek penyebab herediter pada hepar. Defek
siklus urea, penyakit penimbunan glikogen, defisiensi aldolase
(intoleransi fruktosa herediter), penyakit penimbunan kolesterol,
gangguan fungsi lisosom, dan defek konjugasi bilirubin dapat
dikarakterisasi berdasarkan informasi kuantitatif yang berasal
dari analisis hepar.(2)
2. Gambaran histology parenkim hepar menentukan diagnosis
Sindrom Reye, Sindrom Dubin-Johnson, fibrosis hepar
congenital, kolestasis intrahepar, hepatitis akut dan kronik,
defisiensi anti tripsin, atresia billiaris ektrahepar dan hepatitis
neonatus.(2)
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
a) Pengobatan malnutrisi
1) Malabsorpsi lemak diberikan formula yang mengandung
medium chain triglyceride, sedangkan protein cukup dengan
memakai protein nabati dan sebagai sumber kalori yang dipakai
glukosa polimer.(1)
2) Defisiensi vitamin yang larut dalam lemak :
- Defisiensi vitamin A diberikan Aquasol A dengan dosis
10.000-15.000 IU tiap hari.
- Defisiensi vitamin E diobati dengan pemberian alfa
tokoferol 50-400 IU per oral.
- Defisiensi vitamin D diberikan pengobatan 5000-8000 IU
vitamin D2 atau 3-5 mg/kgbb/hari hidroksikol kalsiferol.
- Defisiensi vitamin K diberikan pengobatan dengan
pemberian 2,5-5µg vitamin K yang larut dalam air berupa
derivate dari menadion.
b) Retensi zat toksin
1) Penumpukan asam empedu dapat diberikan obat koleretik
seperti fenobarbital
2) Untuk memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder
diberikan obat pengikat zat tersebut seperti kolestiramin. Obat
ini diberikan degan dosis 1 gram tiap kg berat badan per hari
dibagi 6 kali atau sama dengan frekuensi pemberian susu.(1)
H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Anamnesis
a. Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau
melahirkan, berat lahir, lingkar kepala, pertumbuhan janin
(kolestasis intrahepatik umumnya berat lahirnya < 3000 g dan
pertumbuhan janin terganggu).
b. Riwayat keluarga : riwayat kuning, tumor hati, hepatitis B,
hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar keluarga. Resiko
hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap
toksin/obat-obat.
c. Warna urin pada peningkatan bilirubin direk dalam darah
biasanya kuning tua atau sedikit lebih tua. Volume urin bayi lebih
besar sehingga menyebabkan efek dilusi bilirubin dalam urin yang
membuat warna urin menjadi kuning tua. Feses pada kolestasis
berwarna pucat seperti dempul, dapat terus menerus atau
berfluktuasi.
2. Pemeriksaan fisik.
a. Pertumbuhan ( berat badan, panjang badan dan lingkar kepala).
Pasien dengan kelainan metabolik atau neonatal hepatitis
umumnya terlihat kecil sedangkan atresia bilier umumnya besar
seperti anak normal saja. Ukuran kepala yang kecil mengarahkan
kemungkinan terjadi infeksi kongenital
b. Kulit ( ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema).
c. Pemeriksaan sclera mata.
Umumnya gejala ikterik pada neonates baru akan terlihat jika kadar
bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan
pertama. Warna kehijauan bila bilirubin tinggi karena oksidasi
bilirubin menjadi biliverdin. Jaringan sclera mengandung banyak
elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga
pemeriksaan sclera lebih sensitif.(7)
d. Pemeriksaan hepar (ukuran, konsistensi, permukaan).
Pembesaran hati yaitu apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah
arkus kota pada midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang
keras, tepi yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya
fibrosis dan serosis.
e. Asites.
Asites menandakan adanya peningkatan tekanan vena portal dan
fungsi hati yang memburuk. Pemeriksaan penunjang bertujuan
untuk membedakan antara kolestasis intra dan ekstrahepatik,
mencari kemungkinan etiologi serta mengidentifikasi kelainan
yang dapat diobati, sehingga terapi yang diberikan nanti sesuai
dengan penyebabnya. (5)
3. Pemeriksaan penunjang.
a. Gambaran darah tepi
b. Biokimia darah
1) Serum bilirubin direk dan indirek
2) ALT (SGPT), AST (SGOT)
3) Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT)
4) Masa protrombin
5) Albumin, globulin
6) Kolesterol, trigliserida
7) Gula darah puasa
8) Ureum, kreatinin
9) Asam empedu
c. Urin : rutin (leukosit urin, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan
kultur urin.
d. DAT (aspirasi cairan duodenum).
e. Pemeriksaan etiologi : TORCH (toksoplasma, rubella, CMV,
herpes simpleks), hepatitis virus B, C, skrining sederhana penyakit
metabolik (gula darah, trigliserida).
f. Pencitraan :
1) USG dua fase (puasa 4-6 jam dan sesudah minum)
2) CT scan, MRI
3) Skintigrafi
4) Kolangiografi intraoperatif untuk kasus kolestasis ekstrahepatik
5) Biopsi hati
I. INTERVENSI KEPERAWATAN.
1. Diagnosa Keperawatan.
a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan hiper bilirubin dan
ruam popok.(6)
1) Tujuan
Keutuhan klit bayi dapat dipertahankan.
2) Kriteria hasil
a) Kulit utuh, tidak ada ikterik
b) Tidak ada warna kemerahan di daerah perianal dan lipatan
paha (perubahan warna).
c) Kulit tidak kering dan lembut.
3) Rencana tindakan
a) Observasi tanda-tanda ikterus/jaundice selengkap-
lengkapnya dengan menggunakan sinar matahari bila
memungkinkan.
b) Observasi sklera, warna kulit, dengan menekan kulit pada
bagian yang keras, misal wajah, dada, lengan atas dan kaki.
c) Gunakan sabun lembut untuk membersihkan kulit.
d) Atur frekuensi fototerapi.
e) Bersihkan dan ganti popok setiap BAK dan BAB.
4) Rasional
a) Jaudance merupakan tanda-tanda hiper bilirubinemia,
karena lampu buatan akan mengaburkan pengkajian.
b) Ikterik pertama kali terlihat pada sklera yang menguning,
dengan menekan akan muncul warna kuning setelah
tekanan dilepaskan.
c) Menjaga kelembaban dan kebersihan kulit bayi.
d) Memudahkan perawat untuk mengatur pengawasan
penyinaran, seringnya BAB merupakan faktor penyebab
kerusakan kulit.
b. Resiko terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan
dengan kehilangan IWL dan efek fototerapi.
1) Tujuan
Resiko kekurangan volume cairan tidak terjadi.
2) Kriteria hasil
a) Kulit tidak kering
b) Suhu tubuh 36,5°C-37°C
c) Bayi tidak sering menangis karena haus.
3) Rencana tindakan
a) Observasi suhu aksila tiap 4 jam.
b) Timbang BB bayi setiap hari tanpa pakaian
c) Ukur intake dan output cairan tiap 4 jam
d) Berikan ASI/PASI 3-4 jam diselingi pemberian air
minum tambahan
e) Observasi tanda-tanda dehidrasi
4) Rasional
a) Pengawasan sering membantu dalam menunjukan
apakah ada tidak
b) Peningkatan suhu tubuh.
c) BB adalah salah satu indikator untuk mengetahui
perkembangan dan pertumbuhan bayi.
d) Mengetahui pengeluaran dan pemasukan cairan tubuh
bayi.
e) Hidrasi yang adekuat mempermudah
pengeluaran/eliminasi dan ekresobilirubin dan
mengganti cairan yang hilang.
f) Deteksi dini yang membantu untuk mengetahui dengan
cepat adanya tanda-tanda dehidrasi.
c. Resiko terhadap kematian berhubungan dengan kadar bilirubin
darah yang bersifat toksik.
1) Tujuan
Resiko cidera tidak terjadi.
2) Kriteria hasil
a) Kulit bayi tidak ikterik.
b) Bilirubin dalam batas normal.
3) Rencana tindakan
a) Perhatikan dan dokumentasikan warna kulit, sklera dan
warna tubuh secara progresif terhadap ikterik.
b) Pantau tanda-tanda vital tiap 1-2 jam.
c) Ubah posisi yang sering tiap 1 jam.
d) Pertahankan terapi cairan parenteral.
e) Pantau kenaikan bilirubin darah.
4) Rasional
a) Memantau perkembangan dan kenaikan bilirubin bayi.
b) Mengikuti keadaan umum bayi.
c) Cara/langkah agar seluruh bagian tubuh bayi terkena
fototerapi secara merata.
d) Mengganti cairan yang hilang waktu fototerapi.
e) Mengevaluasi jumlah bilirubin yang bersifat toksik
dalam darah.
d. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan keluarga
tentang proses penyakit.
1) Tujuan
Keluarga mengerti dan paham tentang penyakit.
2) Kriteria hasil.
a) Keluarga tampak tenang
b) Adanya pemahaman tentang penyakit oleh keluarga
3) Rencana tindakan.
a) Jelaskan pada keluarga tentang penyakit dan
pengobatan.
b) Diskusikan tentang perawatan lanjutan medik secara
periodik.
c) Tekankan pentingnya perawatan diri dan keluarga serta
tentang kebersihan
lingkungan.
4) Rasional
a) Menurunkan kecemasan keluarga
b) Dapat menurunkan kecemasan keluarga
c) Memonitor perjalanan penyakit
d) Mencegah pertumbuhan dan penularan virus dan bakteri
maupun parasit yang menyebabkan infeksi.(6)
DAFTAR PUSTAKA
1. Suharyono, dkk. 2003. Gastroenterology Anak Praktis. Cet.4. Jakarta:
Gaya Baru.
2. Rudolph, Abraham M. 2007. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Vol.2.
Jakarta: EGC.
3. Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Ed.4.
Jakarta : EGC
4. Mansjoet, arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Jakarta :
Media Aesculapius.
5. http://downloads.ziddu.com/downloadfile/3213435/ASKEPKolestasis.
pdf.html
6. http://yatna27.wordpress.com/2009/01/17/askep-kolestasis/
7. http://www.docstoc.com/docs/48037619/hiperbilirubin
8. http://wahyucf.blogspot.com/2010/01/kolestasis-pada-bayi_3044.html