Anda di halaman 1dari 31

EFEKTIVITAS PESTISIDA NABATI TERHADAP HAMA ULAT TRITIP

(Plutella xylostella) PADA BUDIDAYA KUBIS (Brasicca Oleraceae) ORGANIK

SEMINAR 1 SKS

Oleh :

NURUL NISA SOPHIA


NPM : 101.17.0006

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BALE BANDUNG

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Efektivitas Pestisida Nabati Terhadap Hama Ulat Tritip

(Plutella xylostella) Pada Budidaya Kubis (Brasicca

oleraceae) Organik

Nama : Nurul Nisa Sophia

NPM : 101.17.0006

Program Studi : Agroteknologi

Fakultas : Pertanian

Menyetujui dan Mengesahkan

1. Pembibing 1 SKS 2. Ketua Prodi Agroteknologi

Putro Hairutomo Setiko, S.P., MSi Dr. Endang Kantikowati, Dra., MP.

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala, karena dengan limpahan

berkah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul

“Efektivitas Pestisida Nabati Terhadap Hama Ulat Tritip (Plutella xylostella) Pada

Budidaya Kubis (Brasicca oleraceae) Organik “ dengan baik dan lancar. Makalah ini

ditulis sebagai syarat untuk dapat menyelesaikan Seminar 1 SKS di Fakultas Pertanian

Universitas Bale Bandung.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, saran atau kritik yang membantu dari pembaca sangat

diharapkan demi perbaikan penulisan lebih lanjut. Akhirnya, penulis sangat berharap

dengan penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat untuk semua pembaca.

Bandung, Januari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
I. PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1. LATAR BELAKANG.......................................................................................1
1.2. Identifikasi Masalah.........................................................................................2
1.3. Tujuan................................................................................................................3
1.4. Kegunaan Penelitian.........................................................................................3
1.5. Hipotesis.............................................................................................................3
II. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................4
2.1. Tanaman Kubis................................................................................................4
2.2. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kubis....................................................4
2.3. Syarat Tumbuh dan Syarat Tanah.................................................................8
2.4. Ulat daun (Plutella xylostella)........................................................................10
2.5. Pestisida Nabati...............................................................................................15
III. METODE PENELITIAN...................................................................................19
3.1. Tempat dan Waktu.........................................................................................19
3.2. Bahan dan Alat................................................................................................19
3.3. Metode Penelitian...........................................................................................19
3.4. Pelaksanaan Percobaan..................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA

iii
I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kubis merupakan salah satu tanaman yang mempunyai nilai ekonomi dan

sosial yang cukup tinggi. Oleh karena itu, tanaman tersebut dijadikan sebagai salah

satu sumber nafkah petani untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup. Produksi

tanaman kubis selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri juga merupakan

komoditas ekspor yang mempunyai peranan cukup besar dalam peningkatan devisa

negara (Rukmana, 1994).

Dari data Badan Pusat Statistik tahun 2013, Luas tanaman kubis di Indonesia

pada tahun 2013 mencapai 65,248 ha dengan produksi 1.480.625 ton. Namun,

perkembangan luas area panen, produksi, dan produktivitas kubis di Indonesia

(2003-2013) belum menunjukkan peningkatan yang memuaskan dan ada

kecenderungan terus menurun.

Rendahnya tingkat produktivitas kubis di Indonesia disebabkan oleh beberapa

kendala. Salah satu kendala utama adalah serangan hama ulat daun (Plutella

xylostella). Hama ini sangat merusak tanaman kubis karena bersifat kosmopolitan

dan memiliki banyak generasi setiap musimnya. Kehilangan hasil kubis akibat

serangan hama ini cukup tinggi yakni dapat mencapai 100% (Rukmana, 1994).

Kondisi seperti ini tentu saja merugikan petani sebagai produsen kubis. Oleh karena

itu upaya pengendalian hama daun kubis ini sebagai hama utama tanaman kubis

perlu dilakukan untuk mencegah dan menekan kerugian akibat serangan hama

tersebut.

Berbagai cara ditempuh untuk mengatasi hama pengganggu dengan

menggunakan varietas tahan, mengadakan pergiliran tanaman, penanaman serempak

1
dan penggunaan pestisida (Cahyono, 2002). Penggunaan pestisida khususnya yang

bersifat sintesis berkembang luas karena dianggap paling cepat dan ampuh mengatasi

gangguan hama. Namun, penggunaannya ternyata menimbulkan kerugian seperti

resistensi hama, resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami dan masalah pencemaran

lingkungan dan sangat berbahaya bagi manusia (Kardinan, 2001).

Mengingat hal tersebut maka diperlukan sistem pengelolaan organisme

pengganggu tanaman yang memperhatikan keadaan agroekosistem secara

keseluruhan, mudah dan terjangkau petani, serta efektif dalam menjamin tingkat

produksi yang tinggi. Salah satu alternatif tersebut adalah usaha pemanfaatan

tumbuhan yang digunakan sebagai biopestisida atau biasa disebut dengan pestisida

nabati.

Jenis tumbuhan yang memiliki prospek untuk dimanfaatkan sebagai pestisida

nabati, diantaranya adalah daun kenikir dan daun babandotan. Ekstrak daun kenikir

mengandung flavonoid, glikosida dan kuersetin. Senyawa flavonoid diketahui

mampu menginduksi terjadinya penghambatan aktivitas DNA (Rahayu et al., 2012),

Sedangkan ekstrak daun babandotan memiliki kandungan yang hampir sama dengan

daun kenikir. Di dalam daun babandotan terkandung senyawa penting atau senyawa

metabolit yang bersifat seperti, saponin, flavonoid, polifenol, dan minyak atsiri

(Kinasih, 2013).

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka Identifikasi masalah yang dapat

diambil untuk penelitian kali ini yaitu :

1. Bagaimana pengaruh pemberian pestisida nabati terhadap serangan hama ulat

daun (P. xylostella ) pada budidaya kubis organik ?

2
2. Pada konsentrasi berapa yang dapat memberikan pengaruh paling baik terhadap

pengendalian hama ulat daun (P. xylostella) pada budidaya kubis organik?

1.3.Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan Identifikasi masalah yang di kemukakan

maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui konsentarasi daun kenikir dan babandotan yang paling baik untuk

mengendalikan hama ulat daun P. Xylostella

2. Mengetahui jenis pestisida nabati daun kenikir atau daun babandotan yang

efektif untuk mengendalikan hama ulat daun P. xylostella

1.4.Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk pembudidaya

kubis tentang pengelolaan hama secara alamiah menggunakan beberapa tanaman

pestisida nabati dengan konsentrasi yang paling tepat untuk diaplikasikan pada

tanaman kubis.

1.5. Hipotesis
1. Pemberian ekstrak daun kenikir dan babandotan dengan beberapa konsentrasi yang

dicoba akan memberikan pengaruh yang berbeda untuk mengendalikan hama ulat

daun P. xylostella

2. Salah satu konsentrasi pestisida nabati daun kenikir atau daun babandotan yang

dicobakan akan memberikan pengaruh paling baik untuk mengendalikan hama

ulat daunP.xylostella

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kubis

Kubis (Brassica oleracea L.) merupakan tanaman semusim atau dua musim.

Bentuk daunnya bulat telur sampai lonjong dan lebar seperti kipas. Sistem perakaran

kubis agak dangkal, akar tunggangnya segera bercabang dan memiliki banyak akar

serabut. kubis merupakan sayuran ekonomis dan serbaguna yang mudah ditemukan

dan memberikan nilai gizi yang sangat besar. Kubis kaya akan fitonutrien dan

berbagai vitamin seperti vitamin A, B, dan C. Ini semua adalah antioksidan alami,

yang membantu mencegah kanker dan penyakit jantung, mencegah radikal bebas

dan lain sebagainya (Cahyono 2002).

2.2. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kubis

Menurut Rukmana (1994) sistematika tanaman kubis berdasarkan

klasifikasinya adalah :

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Papavorales

Famili : Cruciferae

Genus : Brassica

Spesies : Brassica oleracea L. var. capitata L.

Tanaman kubis mempunyai jenis cukup banyak. Lima jenis diantaranya sudah

umum dibudidayakan di dunia, yaitu :

4
1. Kubis-krop atau kol, engkol, kubis telur (B. Oleraceae L var. capitata L.).

Jenis kubis ini memiliki ciri-ciri daun-daunnya dapat saling menutup satu

sama lain membentuk krip (telur).

2. Kubis-daun atau kubis stek (B. Oleraceae L var. acephala L.). Jenis kubis ini

ditandai dengan daun-daunnya tidak dapat membentuk krip, sehingga dikenal

dengan nama kubis Kale.

3. Kubis-umbi (B. Oleraceae L var. gongylodes L.) atau populer disebut


“Kohlrabi”.

Jenis kubis ini memiliki ciri pada pangkal batangnya dapat membentuk umbi

yang bentuknya bulat sampai bundar. Umbi dan daun-daunnya enak dijadikan

lalap atau disayur.

4. Kubis-tunas atau kubis-babat (B. Oleraceae L var. Gemmifera L.) atau

populer disebut “Brussels Sprout”. Ciri-ciri jenis kubis ini adalah tunas

samping kiri dan kanan sampai ke bagian atas (pucuk) dapat membentuk krip

kecil berdiameter antara 2,5 – 5,0 cm; sehingga dalam 1 batang (pohon) terdiri

atau puluhan krop kecil.

5. Kubis-bunga (B. Oleraceae L var. botrytis L.) dan Broccoli (B. Oleraceae L

var. botrytis sub var. cymosa L.). Kubis-bunga mempunyai ciri-ciri dapat

membentuk massa bunga (curd) yang berwarna putih atau putih-kekuningan;

sedangkan massa bunga broccoli berwarna hijau atau hijau-kebiruan.

Diantara 5 jenis kubis tersebut di atas, hanya kubis-krop dan kubis-bunga

saja yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia. Khusus untuk jenis kubis-krop,

dikenal 3 forma atau sub-varietas, yaitu kubis-putih (B. Oleraceae L var. capitata

forma alba DC) yang kropnya berwarna putih, dan kubis-merah (B. Oleraceae L.

5
var. capitata forma rubra L.) Warna kropnya merah-keunguan, serta kubis Savoy (B.

Oleraceae L. var. sabauda L.) berdaun keriting atau disebut kubis-keriting. Paling

luas ditanam petani adalah kubis-putih, dan sebagian kecil mulai menanam kubis-

merah seperti di daerah Lembang dan Cipanas (Cianjur).

Bunga kubis merupakan bunga sempurna (hermaprodit), tiap bunga

memiliki putik (pistilus) dan benangsari (stamen). Benangsarinya tersusun dari

kepala sari (anthera) dan tangkai sari (Filamen), jumlahnya 6 buah dan terletak pada

dua lingkaran pertama dan dua yang lebih pendek pada lingkaran kedua. Di tengah-

tengah lingkaran ini terletak putik (pistilus) yang tersusun oleh kepala putik (stigma),

tangkai putik (stilus) dan bakal buah (ovarium). Pada waktu muda (kuncup) seluruh

bagian tertutup oleh kelopak bunga (calyx) berwarna hijau yang terdiri dari empat

kelopak daun (sepallum). Makin tua bunga kuncup retak karena tekanan

pertumbuhan daun mahkota dari dalam dan kemudian tampak helaian daun mahkota

bunga yang tegak berwarna kuning terang yang panjangnya 1,5 sampai 2,5 cm. Pada

saat stadium kuncup, kepala putik sudah reseptik atau masak lebih dahulu, jadi

bersifat protogyni, sedang tepungsari baru masak beberapa jam setelah bunga mekar.

Daun mahkota bunga berjumlah empat helai berwarna kuning terang.

Proses mekarnya bunga dimulai menjelang sore hari dan bunga mekar pagi

hari berikutnya. Pada saat tersebut putik dan benangsari letaknya sama tinggi

(homomorfik). Tepung sari keluar dari ruang tepung sari (theca) yang terletak di

dalam kepala sari, tetapi karena tepung sarinya relatif besar dan lengket maka

penyebarannya tidak dapat dilakukan oleh angin tetapi dengan perantaraan serangga

penyerbuk, biasanya lebah madu. Serangga- serangga penyerbuk terutama tertarik

oleh warna kuning mahkota bunga dan madu yang dihasilkan oleh dua kelenjar madu

6
yang terletak antara dasar benangsari yang pendek dan bakal buah. Dua kelenjar

madu yang lain yang terletak di luar dasar benangsari yang panjang, tidak aktif.

Bunga-bunga kubis tersusun dalam suatu tandan (inflorescentia) dan

mekarnya bunga-bunga tersebut terjadi secara berurutan dari yang tertua ke yang

muda. Pada tandan ini buah-buah yang terletak paling bawah lebih tua daripada buah

di atasnya. Panjang tandan bunga dapat mencapai 1 – 2 m, tetapi panjang tangkai

bunganya hanya 1 – 2 cm. Rata-rata setiap hari dua bunga mekar dan mahkota bunga

layu setelah mekar dua hari.

Apabila putik telah diserbuk dan dibuahi maka endosperm (3 n) yang

merupakan hasil peleburan satu inti generatif tepung sari dan dua inti polar dari

kandung lembaga (embryo sac), akan segera berkembang untuk kemudian memasok

makanan kepada zygote (hasil pembuahan sel telur oleh satu inti generatif yang lain

dari tepung sari). Zygote akan berkembang beberapa jam setelah pembuahan menjadi

embrio. Embrio ini tampak menempati sebagian besar dari biji setelah 3 – 5 minggu

kemudian, sedangkan endospermnya praktis habis karena semuanya tersedot untuk

perkembangan embrio tadi. Seperti proses perkembangan biji dan buah pada

umumnya, adanya embrio yang dapat berkembang di dalam bakal buah

menghasilkan auxin dalam jumlah yang besar yang dapat mencegah perkembangan

lapisan absisi pada tangkai bunga, sehingga bunga tidak gugur. Dengan demikian biji

dan buah dapat berkembang terus sampai buah masak.

Daun buah (Carpellum) yang berjumlah dua buah membentuk bakal buah

yang terletak diatas dasar bunga (receptaculum) dan dalam perkembangan

selanjutnya akan menjadi buah (Silikua) dengan dua ruang yang terpisah oleh

dinding penyekat (septum). Buah ini lebarnya antara 0,4 – 0,5 cm dan panjangnya

7
kadang-kadang lebih dari 10 cm. Pada kedua sisi dinding penyekat ruang terdapat

masing- masing sederet biji yang jumlahnya antara 3 – 15 butir. Panjang buah

maksimal tercapai antara 3 – 4 minggu sejak bunga mekar. Apabila buah mulai

masak, daun buah akan terbuka mulai dari bagian pangkal ke bagian ujung buah dan

biji-biji melekat pada penyekat ruang placentanya.

Sistem perakaran tanaman kubis relatif dangkal, yakni menembus pada

kedalaman tanah antara 20 – 30 cm. Batang tanaman kubis umumnya pendek dan

banyak mengandung air (herbaceous). Di sekeliling batang hingga titik tumbuh

terdapat helai daun yang bertangkai pendek.

2.3. Syarat Tumbuh dan Syarat Tanah

Kubis tumbuh baik di dataran tinggi 1000 – 2000 m diatas permukaan laut.

Setelah adanya kultivar/ varietas yang tahan panas, kubis dapat diusahakan pada

dataran rendah 100-200 m diatas permukaan laut. Keadaan iklim yang cocok untuk

tanaman kubis adalah daerah yang relatif lembab dan dingin. Kelembaban yang

diperlukan tanaman kubis adalah 80% – 90%, dengan suhu berkisar antara 15ºC –

20ºC, serta cukup mendapatkan sinar matahari.

Kubis yang ditanam di daerah yang bersuhu di atas 25ºC, terutama varietas-

varietas untuk dataran tinggi akan gagal membentuk krop. Demikian pula tempat

penanaman yang kurang mendapat sinar matahari (terlindung), pertumbuhan

tanaman kubis kurang baik dan mudah terserang penyakit; dan pada waktu masih

kecil sering terjadi pertumbuhannya terhenti (stagnasi, etiolasi). ( Rukmana,1994 )

Besar kecilnya curah hujan akan berpengaruh langsung terhadap

ketersediaan air di dalam tanah serta kelembapan tanah. Menanam Kubis pada

musim hujan lebih menguntungkan, karena adanya air yang cukup.Kubis menghisap

8
air cukup banyak. Tanaman yang masih muda memerlukan air sebanyak 300 cc per

hari. Kubis dewasa, memerlukan air sebanyak 400 – 500 cc per hari. Agar tumbuh

secara optimal, Kubis memerlukan persentase kandungan air dari kapasitas lapangan

60 – 100 % atau rata-rata lebih kurang 80%.

Kubis dapat tumbuh pada semua jenis tanah, mulai dari tanah pasir sampai

tanah berat. Tetapi yang paling baik untuk tanaman kubis adalah tanah yang gembur,

banyak mengandung humus dengan pH berkisar antara 6 – 7. Jenis tanah yang paling

baik untuk tanaman kubis adalah lempung berpasir.

Pada tanah-tanah yang masam (pH kurang dari 5,5), pertumbuhan kubis

sering mengalami hambatan, mudah terserang penyakit akar-bengkak atau

“Clubroot” yang disebabkan oleh cendawan Plasmodiophora brassicae Wor.

Sebaliknya, pada tanah- tanah yang basa atau alkalis (pH lebih besar dari 6,5),

tanaman kubis sering terserang penyakit kaki-hitam (blackleg) akibat cendawan

Phoma lingam. Tanah demikian perlu penanganan lebih dahulu, yakni dengan

pengapuran pada tanah masam atau pemberian bubuk belerang (S) untuk tanah basa.

9
2.4. Ulat daun (Plutella xylostella)

2.4.1. Klasifikasi

Menurut Kalshoven (1981) klasifikasi ulat kubis (P xylostella L.) adalah :

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Kelas : Insekta

Ordo : Lepidoptera

Famili : Plutellidae

Genus : Plutella

Spesies : Plutella xylostella L.

2.4.2. Depskripsi dan Daur Hidup

Ulat daun kubis (Plutella xylostella ) sering disebut hama bodas, hama

krancang atau hama wayang. Adapula yang menyebut ulat tritip . Dalam siklus

hidupnya ulat tritip (Plutella xylostella ) mengalami metamorfosis sempurna yaitu

mengalami fase telur,larva,pupa, dan imago. Telur Plutella xylostella berukuran 0,6 x

0,3 mm, berbentuk oval, dan berwarna kuning muda. Pada saat menetas, telur

tersebut warnanya berubah menjadi cokelat keabu-abuan . Produksi telur tiap imago

betina dapat mencapai 300 butir yang diletakkan secara tunggal atau dalam kelompok

kecil yang terdiri dari 3 – 4 butir. Stadium telur berlangsung 2-4 hari .

Larva atau yang sering disebut dengan ulat Plutella xylostella yang baru

keluar dari telur berwarna hijau muda, berbentuk silindris dengan panjang 2 mm, dan

akan terus tumbuh menjadi 10 mm. Tubuh larva Plutella xylostella relatif tidak

10
berbulu dengan kepala larva berwarna kuning dan berbintik gelap . Larva Plutella

xylostella terdiri dari empat instar. Larva instar satu dengan rata- rata panjang 1 mm,

lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuningan, dan berlangsung selama 4 hari . Larva

instar dua memiliki panjang 2 mm, lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuningan, dan

berlangsung selama 2 hari. Larva instar tiga memiliki rata rata panjang 4-6 mm

dengan lebar 0,75 mm , berwarna hijau , dan berlangsung selama 3 hari. Larva instar

empat berukuran panjang 6 – 8 mm dengan lebar 1- 1,5 mm, berwarna hijau, dan

berlangsung selama 3 hari ( Rukmana,1994 )

Setelah cukup umur, ulat mulai membuat kepompong dari bahan seperti

bening sutra abu- abu putih dibalik permukaan daun untuk menghindari panasnya

sinar matahari. Pembentukan kepompong mulai dari dasarnya, sisi kemudian

tutupnya. Kepompong masih terbuka pada bagian ujungnya untuk keperluan

pernapasan . Pembuatan kepompong ini diselesaikan dalam waktu 24 jam. Setelah

selesai ulat berubah menjadi pupa. Kulit ulat biasanya diletakkan dalam kepompong ,

tetapi kadang juga diletakkan diluar kepompong. Mula – mula pupa berwarna hijau

muda, kemudian berubah menjadi hijau tua dan kemudian berubah menjadi imago.

Pupa ( kepompong ) berukuran panjang 6,3 – 7 mm dan stadium pupa berlangsung

selama 6-7 hari ( Suyanto, 1994 )

Imago dari hama ini memiliki sayap yang abu- abu kecoklatan. Namun sayap

betina berwarna lebih pucat. Saat istirahat, empat sayapnya menutupi tubuh dan

seakan akan terdapat gambar seperti jajaran genjang yang warnanya putih seperti

berlian. Oleh karena itu, hama ini disebut ngengat punggung berlian dan aktif pada

malam hari. Ngengat P. xylostella tidak kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh

angin. Pada saat tidak ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di

11
atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa

hidup) ngengat betina rata-rata 20,3 hari d. Daerah sebar dan ekologi.

Hama ini bersifat kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat ditemukan

di pertanaman kubis di dataran tinggi, pegunungan, atau perbukitan. Namun, karena

akhir-akhir ini kubis juga ditanam di dataran rendah, P. xylostella juga dapat

ditemukan pada pertanaman kubis di dataran rendah. Faktor iklim (curah hujan)

dapat mempengaruhi populasi larva P. xylostella. Kematian larva akibat curah hujan

lebih banyak terjadi pada larva muda, yakni larva instar ke-1 dan larva instar ke-2

daripada larva instar ke-3 dan larva instar ke-4. Oleh karena itu, umumnya populasi

larva P. xylostella tinggi di musim kemarau (bulan April sampai dengan Oktober)

atau apabila keadaan cuaca kering selama beberapa minggu. Populasi larva yang

tinggi terjadi setelah kubis berumur enam sampai delapan minggu. Hama P.

xylostella juga dapat menyerang tanaman kubis yang sedang membentuk krop

sampai panen (Sastrosiswojo 1987).

2.4.3. Tanaman inang dan gejala kerusakan

P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih dan jenis kubis

lainnya seperti kubis merah, kubis bunga, selada air, dan lain-lain. Selain itu, gulma

kubis-kubisan yang juga dapat menjadi inang P. xylostella adalah Capsella

bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine hirsuta (rumput selada pahit

berbulu).Biasanya hama P. xylostella merusak tanaman kubis muda. Meskipun

demikian hama P. xylostella seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang

membentuk krop jika tidak terdapat hama pesaingnya, yaitu C. binotalis. Larva P.

xylostella instar ketiga dan keempat makan permukaan bawah daun kubis dan

meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun membesar,

12
lapisan epidermis pecah, sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingkat

populasi larva tinggi, akan terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis, sehingga

yang tinggal hanya tulang-tulang daun kubis Serangan. P. xylostella yang berat pada

tanaman kubis dapat menggagalkan panen (Sastrosiswojo 1987).

2.4.4. Pengendalian Ulat Tritip ( Plutella xylostella )

Pengendalian hama serangga ulat tritip ( Plutella xylostella ) pada sayuran

kubis dapat dilakukan dengan beberapa cara. Diantarnya dengan cara hayati, kultur

tumpang sari, dan dengan menggunakan pestisida.

1. Cara hayati, yaitu dengan menjaga serta memanfaatkan musuh alami hama

Plutella xylostella yang berupa parasitoid

2. Cara kultur tumpang sari dapat dilakukan dengan cara penanaman tumpang

sari antara tanaman tomat dan kubis. Cara ini dilakukan dengan tujuan

menolak ngengat betina untuk meletakkan telur pada tanaman kubis.

3. Pengendalian Plutella xylostella dengan menggunakan pestisida dapat

berupa pestisida sintetik maupun alami. Senyawa- senyawa sintetik dapat

menimbulkan dampak yang negatif , seperti pencemaran lingkungan dan

mempengaruhi kesehatan manusia. Penggunaan pestisida sintetik secara

berlebihan dan dilakukan secara terus menerus juga dapat menimbulkan

resurjensi hama, ledakan populasi hama kedua. Untuk menghadapi

permasalahan tersebut, dibutuhkan suatu alternatif pengganti pestisida

sintetik yaitu pestisida berbahan alami yang diharapkan lebih ramah

lingkungan. Pestisida alami misalnya dengan menggunakan tanaman

babadotan dan tanaman kenikir

13
2.5. Pestisida Nabati

Menurut Kardinan ( 2000 ) , pestisida nabati diartikan sebagai suatu

pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Tumbuhan mengandung

banyak bahan kimia yang merupakan metabolisme sekunder dan digunakan oleh

tumbuhan sebagai alat pertahanan dari serangan organisme pengganggu. Pestisida

nabati bersifat “ pukul dan lari ( hit and run ) “ yang artinya jika diaplikasikan akan

membunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya

akan cepat menghilang dialam.

Menurut Riyanti et al. (2010) mengatakan konsentrasi untuk mengendalikan

larva Plutela xylostela yaitu pada 60% namun tidak berbeda nyata pada dengan

konsentrasi 20%.

2.5.1. Tumbuhan Babandotan

A. Klasifikasi dan Morfologi tanaman

Menurut Cronquist ( 1981) klasifikasi tumbuhan babandotan Ageratum conyzoide

L) sebagai berikut :

Divisio : Magnoliophyta

Classis : Magnoliopsida

Ordo : Asterales

Familia : Asteraceae

Genus : Ageratum

Species : Ageratum conyzoides L

Babandotan merupakan herba 1 tahun, tegak atau berbaring dan dari bagian ini

keluar akarnya, tinggi tanaman 100 – 150 cm. Batang bulat, berambut jarang. Daun

14
bawah berhadapan dan bertangkai cukup panjang , yang teratas tersebar dan

bertangkai pendek, helaian daun bulat telur, beringgit, 1-10 kali 0,5 – 6 cm, kedua

sisinya berambut panjang. Bongkol bunga berkelamin 1 macam, panjang bongkol 6-

8 mm. Daun pembalut dalam 2-3 lingkaran, runcing, tidak sama , berambut sangat

jarang. Dasar bunga bersama tanpa sisik. Mahkota dengan tabung sempit dan

pinggiran sempit berbentuk lonceng , berlekuk lima , panjang 1- 1,5 mm. Buah keras

bersegi 5 runcing, panjang 2 mm. Rambut sisik pada buah 5 berwarna putih dan

memiliki panjang 2 – 3,5 mm.

A. Kandungan Fitokimia
Daun dan bunga Ageratum conyzoides mengandung saponin, flavanoid, dan

folifenol, disamping itu daunnya mengandung minyak atsisi. Setiap organ yang

berbeda dari tumbuhan Ageratum conyzoides dikenal memiliki atau mengandung

bahan yang bersifat sebagai pestisida, ovicida dan antifeedant terhadap hama- hama

pertanian.

Menurut Kardinan ( 2003) tanaman baabndotan (Ageratum conyzoides)

mempunyai potensi sebagai insektisida nabati karena mengandung senyawa senyawa

toksik diantaranya saponin, flavonoid, tanin.

a. Saponin . Saponin merupakan glikosida steroid dan triterpen. Saponin

adalah senyawa aktif yang kuat menghasilkan busa apabila dikocok dalam

air dan mengakibatkan hemolisis ( kerusakan pada sel darah merah yang

terjadi karena penyerapan streol dari sistem pencernaan yang terganggu ) .

Saponin berasal dari bahasa latin yaitu sapo yang artinya sabun, hal ini

dikarenakan sifatnya yang menyerupai sabun. Pada larutan yang sangat

encer saponin bersifat sangat beracun.

15
b. Flavonoid. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenolik yang

memiliki ciri- ciri mempunyai cincin piran yang menghubungkan rantai tiga-

karbon dengan salah satu benzena. Pada tumbuhan tingkat tinggi, flavonoid

terdapat pada bagian vegetatif dan bunga. Flavonoid berfungsi dalam

pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, antimikroba dan antivirus serta

pertahanan terhadap serangga

c. Tanin. Tanin merupakan senyawa yang termasuk dalam metabolit sekunder

yang terdapat pada tanaman dan dapat disintesis oleh tanaman, Tanin

bersifat fenol dan memiliki karakteristik yang dapat membentuk senyawa

kompleks dengan makromolekul lainnya. Kadar tanin yang tinggi pada

tumbuhan digunakan sebagai senyawa pertahanan bagi tumbuhan,

khususnya dalam membantu mengusir hewan pemangsa tumbuhan.

2.5.2. Kenikir (Cosmos caudatus)

Kenikir tergolong dalam kelas: Dicotyledonae, family: Asteraceae dan

genus: Cosmos berasal dari Amerika tropis yang tersebar luas di daerah tropis dengan

nama binomial C caudatus. Nama ini disampaikan oleh Karl Sigismund Kunth di

tahun 1820 dan dianggap sebagai nama yang sah telah dipublikasikan. Tinggi kenikir

bisa mencapai 2.5 m, merupakan tanaman setahun dengan daun-daun yang

sederhana. Daun tersusun bergantian sepanjang batang tanaman dengan bentuk oval

atau bulat telur dan anak-anak daun tidak terpisah secara nyata pada tulang daun

utama. Bunga-bunga mempunyai banyak petal, di negara subtropis berbunga dari

bulan Juni sampai dengan Oktober, sedangkan di daerah tropis, bisa sepanjang tahun.

Kenikir menyukai tempat tumbuh yang langsung terkena sinar

16
matahari dengan tanah berpasir atau berbatu, berlempung, liat berpasir atau

berlempung dengan kelembaban sedang atau lebih.

Ekstrak daun kenikir mengandung flavonoid, glikosida dan kuersetin.

Senyawa flavonoid diketahui mampu menginduksi terjadinya penghambatan aktivitas

DNA (Rahayu et al., 2012), Menurut penelitian yang dilakukan Rahayu (2012) daun

kenikir dapat digunakan sebagai pestisida nabati dalam mengendalikan ulat

penggulung daun (Lamprosem indica). Cairan perasan daun kenikir dengan

konsentrasi 20 mL/L. air sangat aktif, karena dapat menyebabkan mortalitas ulat

penggulung daun (Lamprosema indica) sebesar 66,66%.

17
III METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Percobaan akan dilaksanakan di desa Citere kecamatan Pangalengan Desa

Pangalengan, Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) karena

Kecamatan Pangalengan merupakan salah satu sentra produksi kubis di Kab.

Bandung Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Januari 2020 sampai dengan

April 2020.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih selada

varietas sehati F1 cap panah merah yang diproduksi oleh Pt. East West Seed

Indonesia, pestisida nabati (campuran ekstrak daun kenikir dan babandotan), pupuk

organik (pupuk kandang kotoran ayam), dan alat-alat tertentu untuk analisis

tanaman. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis, timbangan

digital, meteran, mistar, gunting, selang air, gembor,jaring, hand traktor, cangkul,

sprayer,blender , perlengkapan dokumentasi, dan alat-alat laboratorium untuk

analisis tanaman.

3.3. Metode Penelitian

Metode penilitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan

Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL), yang terdiri dari 5 perlakuan dan 5

ulangan, jumlah tanaman per plot 4 buah termasuk 2 tanaman sampel sehingga

jumlah tanaman keseluruhan adalah 100 tanaman. Dimana ulangan merupakan

kelompok kecil dari perlakuan, guna memudahkan aplikasi pestisida. Ukuran petak

150 cm x 200 cm dengan ketinggian bedengan 30 cm dan antara bedengan dibuat

parit sebesar 50 cm. Taraf perlakuan pestisida nabati pada Tabel 1.

18
Tabel 1. Taraf perlakuan pestisida nabati

NO Notasi Perlakuan

1. Pn0 Tanpa Pestisida

2. Pn1 Pestisida nabati konsentrasi 2,5%

3. Pn2 Pestisida nabati konsentrasi 5,0%

4. Pn3 Pestisida nabati konsentrasi 7,5%

5. Pn4 Pestisida nabati konsentrasi 10%

Model linier untuk Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) adalah

sebagai berikut : Yij= µ + ti + βj + εij

Keterangan :

Yij= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

µ = nilai rata-rata umum

ti = Pengaruh perlakuan ke-

βj = Pengaruh kelompok

(ulangan) ke-j

εij = Pengaruh faktor galat yang berhubungan dengan data perlakuan ke-i

dan ulangan ke-j

Berdasarkan model linier disusun Daftar Analisis Ragam seperti terdapat

pada Tabel 2

19
Tabel 2. Daftar Analisis Ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK)

Sumber Ragam DB JK KT Fh F0,5

∑ 𝑌. 𝑗 2 𝑌 2 … 𝐽𝐾 𝑈 𝐾𝑇 𝑈
Ulangan ( r ) r-1 = 4 −
𝑡 𝑟. 𝑡 𝐷𝐵 𝑈 𝐾𝑇 𝐺
∑ 𝑌. 𝑖 2 𝑌 2 … 𝐽𝐾 𝑃 𝐾𝑇 𝑃
Perlakuan ( t ) t-1 = 4 − 2,90
𝑟 𝑟. 𝑡 𝐷𝐵 𝑃 𝐾𝑇 𝐺

(r-1).(t-1)
Galat JKT-JKK-JKP
= 16

(r.t)-1= 24 𝑌2 …
Total
∑ 𝑌 𝑖𝑗 2 −
𝑟.
𝑡

Sumber: Toto Warsa dan Cucu S. Achyar, (1982)

Pengukuran perbedaan pengaruh perlakuan di uji dengan uji F yang

dilanjutkan dengan cara uji jarak Berganda Duncan (Duncans New Multiple Range

Test) pada taraf nyata 5 %, yaitu sebagai berikut :

LSR0,05 = SSR 0,05 x SX

SX = √KT galat

r Keterangan :

LSR 0,05 = Least Significant Ranges

SSR0,05 = Studentized

Significant Ranges Sx = Galat

baku rata-rata

20
3.4. Pelaksanaan Percobaan

3.4.1. Pengolahan tanah


Menurut Suwandi et al., (1993) Selanjutnya kemasaman tanah (pH)

diperiksa. Jika kemasaman tanah ≤ 5,5; dilakukan pengapuran dahulu dengan

Dolomit sebanyak kira-kira 2 t/ha. Kapur diaduk rata dengan tanah dan dibiarkan

minimum dua minggu sebelum penanaman. Tujuannya adalah untuk menekan

perkembangan penyakit akar bengkak (P. brassicae). Setelah kira-kira tiga sampai

empat minggu, dibuat garisan dangkal sedalam ± 10 cm sesuai dengan jarak tanam

antar baris (biasanya 70 cm). Selanjutnya dibuat lubang tanam dengan jarak sesuai

dengan yang diinginkan (umumnya 50 cm).

3.4.2. Persemaian

Tempat persemaian berbentuk persegi panjang dan menghadap kearah

Timur- Barat supaya bibit kubis di persemaian mendapat banyak sinar matahari pagi

(Suwandi et al., 1993). Untuk media tumbuh persemaian digunakan campuran tanah

dan pupuk kandang (kompos) yang halus serta matang dengan perbandingan 1:1

yang telah dibersikan terlebih dahulu dari sisa-sisa gulma atau kotoran yang ada pada

tanah. Benih yang telah disebar ditutup tipis dengan media persemaian, kemudian

ditutup dengan daun pisang atau karung plastik yang bersih. Setelah tiga sampai

empat hari benih berkecambah, penutup (daun pisang atau karung plastik) dibuka

sampai berumur tujuh hari hingga terbentuk lembaga. Selain itu bibit dipindahkan

satu per satu pada bumbungan daun pisang dengan media yang sama dan dipelihara

di persemaian sampai berumur kira-kira tiga sampai empat minggu dan siap ditanam

21
di lapangan. Selama di persemaian, bibit kubis dipelihara secara instensif, seperti

penyiraman menggunakan hendsprayer tiap hari dan pengendalian OPT (Suwandi et

al., 1993). Hal ini dilakukan karena bibit yang sehat selama di persemaian turut

menentukan keberhasilan pertanaman kubis di lapangan.

3.4.3. Penanaman

Bibit kubis yang telah berumur tiga sampai empat minggu memiliki empat

sampai lima daun dan siap untuk ditanam di lapangan. Penanaman bibit kubis yang

tua (umurnya lebih dari enam minggu) akan mengakibatkan penurunan hasil panen

kubis, karena ukuran krop kecil dan ringan bobotnya. Ukuran krop kubis yang

dihasilkan juga tergantung pada varietas kubis yang ditanam dan jarak tanam yang

digunakan dalam barisan. Jarak tanam tergantung pada ukuran/berat krop yang

dikehendaki sebagai berikut (Suwandi et al., 1993):

1) Jarak tanam 70 cm (antar barisan) x 50 cm (dalam barisan) : ukuran/berat

krop ± 2 kg/tanaman.

2) Jarak tanam 60 cm x 40 cm : ukuran/berat krop ± 1 kg/tanaman. Jarak tanam

ini umumnya ditentukan untuk tujuan komersial.

3.4.4. Pemeliharaan

a. Penyiraman. Setelah bibit kubis ditanam di lapangan perlu dilakukan

penyiraman. Penyiraman dilakukan tiap hari kira-kira sampai umur dua

minggu, khususnya di musim kemarau. Penyiraman diperjarang dan

dihentikan setelah kubis tumbuh normal, kira-kira berumur tiga minggu.

Drainase perlu dijaga dengan baik. Drainase yang jelek atau pertanaman kubis

yang terendam air akan mengakibatkan banyak tanaman terserang OPT, yaitu

penyakit layu atau busuk (Suwandi et al., 1993).

22
b. Penyulaman. Dilakukan pada tanaman rusak ( tidak sehat ) atau yang sudah

mati, penyulaman dilakukan sampai tanaman berumur 2 MST .

c. Pendangiran.Pendangiran harus dilakukan dengan hati-hati, dan tak perlu

terlalu dalam karna bisa merusak akar. Pada saat pendangiran bisa langung

dilakukan penyiangan terhadap tumbuhan ata rumput-rumput liar.

d. Pemupukan. Kubis merupakan tanaman sayuran yang dianggap peka terhadap

kondisi kesuburan tanah dan pemberian pupuk. Pada tanah-tanah yang masam,

pada daun- daun kubis cepat terjadi bercak klorosis yang merupakan gejala

kekurangan Magnesium. Untuk mengatasinya perlu dilakukan pengapuran

tanah dengan Dolomit atau Kaptan sampai pH sekitar 6,5. Penggunaan pupuk

organik pada penanaman kubis dapat memperbaiki produktivitas tanah dan

tanaman kubis. Pupuk organik yang akan digunakan harus yang sudah matang,

Jenis dan dosis penggunaan pupuk organik untuk tanaman kubis adalah pupuk

kandang sapi sebanyak 30 t/ha yang setara dengan pupuk kandang domba

sebanyak 19 t/ha atau kompos jerami padi 18 t/ha (Suwandi et al., 1993).

Pupuk kandang sapi ditempatkan pada lubang tanam yang telah dipersiapkan

(± 1 kg/lubang tanam). Tanaman kubis memerlukan unsur N, P, dan K, yang

perlu diberikan secara berimbang supaya diperoleh hasil kubis yang optimal.

Pemberian pupuk N yang terlalu tinggi akan mengakibatkan tanaman kubis

rentan terhadap serangan OPT. Potensi hasil panen kubis selain dipengaruhi

oleh dosis pemupukan fosfat (P), juga sangat dipengaruhi oleh macam sumber

pupuk N yang diberikan.

e. Pengendalian Hama dengan menggunakan ekstrak daun kenikir dan babandotan.

23
Penyemprotan dilakukan pada saat kubis berumur 2 minggu setelah tanam.

3.4. 5 Pembuatan Ekstrak Pestisida Nabati


Cara membuat pestisida nabati dari ekstrak daun kenikir dan daun

babandotan yaitu menghaluskan daun babandotan dan daun kenikir dalam kondisi

kering. Kemudian hasil cincangan halus tersebut ditimbang masing-masing 100

gram dan dicampurkan. Selanjutnya, 200 gram bahan pestisida nabati tersebut

direndam dalam 1 liter air destilasi dan ditambah 1 gram detergen, fermentasikan

selama 24 jam. Keesokan harinya disaring/ diekstrak, hasil perasan tersebut

dianggap sebagai konsentrasi 100%.

Untuk pembuatan konsentrasi perlakuan, dipergunakan rumus pengenceran

sebagai berikut:

V1 x M1 = V2 x M2

Dimana; V1 = volume larutan ekstrak yg diambil


M1 = konsentrasi ekstrak
V2 = volume larutan yang akan dibuat
M2 = konsentrasi larutan yang akan dibuat

Volume larutan ekstrak yang diambil (V1) kemudian ditambahkan air destilasi

sebanyak 1 liter (V2), untuk selanjutnya diaplikasikan sesuai dengan perlakuan.

Waktu aplikasi dimulai pada saat tanaman berumur 1 minggu setelah tanam (MST)

dengan interval 4 hari sekali selama 30 hari. Penyemprotan menggunakan handsprayer

dan waktu penyemprotan dilakukan pada sore hari ketika hama cenderung muncul

pada pukul 16.00-17.00 WIB.

3.5. Pengamatan

3.5.1. Pengamatan Penunjang

Pengamatan Penunjang adalah pengamatan yang datanya tidak dianalisis

24
secara statistika. Adapun pengamatan penunjang yang dilakukan terhadap curah

hujan, analisis tanah, jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman.

3.5.2. Pengamatan utama

Pengamatan Utama adalah Pengamatan yang datanya dianalisis secara statistik.

Adapun dalam Pengamatan utama dilakukan terhadap :

1) Jumlah Populasi larva.

Produksi larva yang diamati pada masing masing perlakuan mulai 3 hari setelah

aplikasi dengan selang waktu seminggu sekali

2) Presentase serangan.

Presentase serangan hama yang diamati pada masing masing perlakuan dengan

cara menghitung jumlah larva yang mati dibagi jumlah larva yang diamati dikali

100 %.

3) Produksi Kubis per Ha

Produksi kubis akan diamati pada saat panen dihitung dengan menimbang buah

kubis yang dihasilkan dari tiap perlakuan kemudian dikonversi ke hektar

4) Intensitas Serangan Hama

Serangan hama pada daun diamati pada 10, 20, dan 30 HST dengan

menggunakan metode Mc. Kinney :

I=
∑ V x n x 100
Z xN

Dimana; I = Intensitas Serangan


V = nilai skala serangan larva pada daun yang diamati
n = jumlah daun yang rusak tiap kategori serangan
Z = nilai skala kategori tertinggi serangan
N = jumlah daun tanaman yang diamati

Berikut nilai skala Z;


0 = tidak ada serangan
1 = kerusakan < 25% (serangan ringan)

25
2 = kerusakan 25-50% (serangan sedang)
3 = kerusakan 50-75% (serangan berat)
4 = kerusakan >75% (serangan sangat berat)

26
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, B. 2002. Cara Meningkatkan Budidaya Kubis. Yogyakarta : Yayasan Pustaka

Nusatama.

Cronquist, A. 1981. An Integrated System Of Classification Of Flowering Plants.

Columbia University Press. New York.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crop in Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru, Van Hoeve.

Kardinan, A. 2001. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Jakarta : Penebar Swadaya.

Kinasih,I. 2013. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Babandotan ( Ageratum Conyzoides )

Terhadap Ikan Mas ( Cyprinus Carpio Linn) Sebagai Organisme Non- Target .

Jurnal Jurusan Biologi Fakultas Sains Dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati

Bandung

Rahayu, M., Terry, P. & Ramlia, S., (2012 ). Uji Konsentrasi Cairan Perasan daun

kenikir ( Tagetes patula juss) terhadap mortalitas Ulat penggulung daun

( Lamprosema indica ) pada tanaman ubi jalar. Jurnal Agroteknos, 2 (1), 36-40

ISSN : 2087- 7706 .

Rukmana, R. 1994. Bertanam Kubis. Yogyakarta: Kanisus.

Sastrosiswojo, S., Uhan, T.,S, & Sutarya, R. 2005. Penerapan Teknologi PHT pada

Tanaman Kubis.Monografi No. 21. Bandung : Balai Penelitian Tanaman

Sayuran.

Suyanto, A. 1994. Hama Sayur dan Buah. Jakarta : Penebar Swadaya.

Suwandi et al.1993. Budidaya Tanaman Kubis. dalam AH. Permadi dan umbi/ daun

(Phthorimaea opercullela Zell,) kentang. J. Hort. 10(1):46-54.

27

Anda mungkin juga menyukai