Anda di halaman 1dari 18

PERAN PELABUHAN TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA DI INDONESIA

Diana Sekarayu Karunia


Komara Djaja

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia

Email: dianakarunia@ymail.com

ABSTRAK

Peran kota adalah sebagai pusat aktivitas ekonomi suatu negara. Di Indonesia, aktivitas ekonomi terkonsentrasi
di area perkotaan, terutama di kota-kota pesisir yang memiliki pelabuhan. Penelitian ini mengkaji peran
pelabuhan terhadap pertumbuhan kota di Indonesia dan perbedaan pertumbuhan antara kota pelabuhan dan kota
yang tidak memiliki pelabuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelabuhan berperan penting terhadap
pertumbuhan kota, sesuai dengan pola pertumbuhan kota pelabuhan di Asia. Selain itu, terdapat perbedaan
pertumbuhan kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan dilihat dari proporsi jumlah tenaga kerja
manufaktur, kepadatan penduduk, dan rata-rata tingkat pendidikannya.

THE ROLE OF PORT ON CITIES’ ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA

ABSTRACT

City acts as a core of economic activity in a country. In Indonesia, economic activity is concentrated in urban
areas, especially in coastal cities which have ports. This study examines the role of port on cities growth in
Indonesia and the differences on growth among port cities and non-port cities. The result shows that ports play
important role on cities growth, similar with the pattern of port cities growth in Asia. Moreover, there are
differences on growth among port cities and non-port cities in proportion of manufacture employment,
population density, and average education level.

Keywords: Port City, Economic Growth, City Growth

PENDAHULUAN

Kota berperan sebagai pusat aktivitas utama ekonomi suatu negara. Kota dapat
dipandang sebagai mesin inovasi dan pertumbuhan perekonomian modern karena
menyediakan komoditas yang penting, yaitu informasi. Hal ini memberikan kemudahan bagi
proses produksi barang dan jasa serta aktivitas perekonomian lainnya. Kota menyediakan
variasi barang dan jasa, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penduduknya.
Pada umumnya, pusat kota awalnya tumbuh di daerah pesisir karena efisiensi ekonomi
dan keuntungan konsumsi (Henderson, 1986; Quigley, 1998; Venables, 2009). Berdasar
sejarahnya, peningkatan efisiensi cenderung berdasar lokasi geografis: kota cenderung
berlokasi dekat dengan laut atau sungai sehingga mempermudah pengiriman barang dengan

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


biaya yang rendah dan perusahaan yang berlokasi dekat sungai mendapat keuntungan karena
bisa memanfaatkan arus sungai menjadi sumber tenaga. Hal ini terjadi di berbagai negara,
begitu pula di Asia Tenggara di kota-kota seperti Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur, Ho Chi
Minh City, dan Manila yang berdiri dan tumbuh di pesisir.
Gambar

70.000.000

60.000.000 Kota Pelabuhan

50.000.000

40.000.000

30.000.000

20.000.000 Kota tidak memiliki


pelabuhan
10.000.000

0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Gambar 1. Perbedaan Rata-rata PDRB Kota Pelabuhan dan Kota yang Tidak Memiliki Pelabuhan

Gambar 1 menunjukkan rata-rata PDRB kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki
pelabuhan selama kurun waktu 10 tahun yang diambil dari 56 kota di Indonesia. Terlihat
bahwa rata-rata PDRB kota pelabuhan lebih besar daripadaa kota yang tidak memiliki
pelabuhan. Selain itu pertumbuhan PDRB kota pelabuhan juga lebih cepat dari kota yang
tidak memiliki pelabuhan. Kota pelabuhan terbesar di Indonesia adalah Jakarta, Surabaya,
Medan, dan Makassar. Keempat kota pelabuhan terbesar ini juga merupakan kota terbesar di
Indonesia yang memiliki aktivitas ekonomi tinggi. Peran pelabuhan dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi maupun mobilitas sosial dan perdagangan di wilayah Indonesia sangat
besar mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. Oleh karenanya, pelabuhan menjadi
faktor penting dalam menjalankan roda perekonomian negara.
Namun, dalam teori evolusi spasial kota pelabuhan (Bird, 1963; Hoyle, 1989;
Murphey, 1989; Lee, 2005), perkembangan masing-masing fungsi kota dan fungsi pelabuhan
mensyaratkan adanya pemisahan spasial. Aktivitas pelabuhan yang semakin tinggi
membutuhkan pembangunan pelabuhan modern, tambahan area sebagai pergudangan, dan
infrastruktur transportasi dari dan ke pelabuhan. Aktivitas ini akan menambah kepadatan kota
sehingga menganggu kenyamanan penduduknya. Sedangkan, bila perekonomian kota telah
mengembangkan fungsi-fungsi lainnya, kota semakin tidak tergantung dengan aktivitas
pelabuhan, misalnya dengan berkembangnya sektor jasa di pusat kota.

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


Pola spasial kota pelabuhan di Eropa dan Amerika Utara, yang merupakan negara
maju, saat ini menunjukkan telah terjadi evolusi spasial dimana telah terjadi pemisahan antara
fungsi pelabuhan dan kota (Lee, Song, & Ducruet, 2006). Pergeseran pola spasial ini juga
ditemukan di negara-negara maju di Asia, misalnya Korea Selatan (Jung, 2011). Aktivitas
kota sudah tidak tergantung dengan adanya pelabuhan dan bergeser ke sektor tersier seperti
perbankan, finansial, dan pendidikan. Pemisahan spasial dapat berupa pergeseran letak pusat
kota ke area daratan, ataupun letak pelabuhan modern berpindah dari pusat kota dan area
bekas pelabuhan berubah menjadi kota.
Kota-kota besar di Indonesia masih didominasi oleh kota pelabuhan. Hal ini sangat
menarik untuk dianalisis apakah masih terdapat peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota
yang menyatakan bahwa kota dan pelabuhan di Indonesia masih tumbuh bersamaan dan
belum terjadi pemisahan spasial. Selain itu, menarik juga untuk dianalisis apakah terdapat
perbedaan pertumbuhan antara kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki pelabuhan.

LANDASAN TEORI
Kota memiliki pengertian sebagai kesatuan ekonomi dan kesatuan politik. Secara
politik, kota mencakup area dimana pemerintah kota menyelenggarakan fungsi-fungsi
pemerintahan. Secara ekonomi mencakup area dimana terdapat aktivitas ekonomi yang
menyatu dan batas-batasnya ditentukan sejauh mana aktivitas ekonomi terintegrasi (Mulatip
& Brodjonegoro, 2004).
O’Sullivan (2007) menyatakan terdapat empat sumber pertumbuhan ekonomi kota.
Pertama, akumulasi kapital, yaitu pertumbuhan jumlah kapital per pekerja. Kedua,
peningkatan modal manusia, yaitu ilmu pengetahuan dan keahlian yang didapat dari
pendidikan dan pengalaman kerja. Ketiga, perkembangan terknologi seperti teknik produksi
hingga penemuan baru. Keempat, aglomerasi ekonomi, yaitu peningkatan produktivitas
melalui berbagi input, pengumpulan tenaga kerja, penyamaan tenaga kerja, dan luapan
pengetahuan.
Pelabuhan merupakan pintu gerbang utama arus barang, baik ekspor maupun impor,
dan pemindahmuatan antar moda transportasi. Adanya pelabuhan sebagai infrastruktur
ekonomi menciptakan lapangan pekerjaan. Selain itu, pelabuhan merangsang aktivitas
ekonomi yang lebih besar, misalnya tumbuhnya perusahaan dan pabrik di sekitar pelabuhan.
Aktivitas ekonomi yang tinggi pada akhirnya akan menarik lebih banyak penduduk untuk
tinggal didekatnya, sehingga akan membentuk suatu kota.

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


Teori New Economic Geography (NEG) berfokus pada pilihan antara peningkatan
hasil dan biaya transportasi (Krugman, 1995). Krugman (1998) menyatakan bahwa ada
hubungan erat antara geografi dan ekonomi. Konsentrasi aktivitas ekonomi pada suatu lokasi
ditentukan oleh adanya kekuatan sentripetal dan kekuatan sentrifugal. Kekuatan sentripetal
adalah kekuatan yang menarik ke dalam. Dalam konteks ekonomi, kekuatan sentripetal
menyebabkan terjadinya konsentrasi aktivitas ekonomi. Konsentrasi mendukung besarnya
pasar tenaga kerja, dan eksternalitas positif berupa limpahan informasi. Sedangkan kekuatan
sentrifugal adalah kekuatan yang mendorong ke luar. Kekuatan sentrifugal yang mendispersi
aktivitas ekonomi dapat berupa faktor produksi yang tidak dapat berpindah seperti tanah dan
sumber daya alam lainnya. Konsentrasi aktivitas ekonomi menyebabkan harga sewa tanah
mahal dan kepadatan. Pelabuhan secara natural membentuk pusat kegiatan ekonomi.
Keunggulan kompetitif dari industri yang berlokasi di sekitar pelabuhan dan kemudahan
hubungan transportasi antara pelabuhan dan pusat area adalah penentu utama pertumbuhan
ekonomi lokal.
Di banyak negara, kota-kota besarnya terbentuk dan berkembang karena adanya
pelabuhan (termasuk pelabuhan laut, sungai, dan danau). Di hampir semua negara Asia
Timur, misalnya, sebagian besar populasi dan industri manufaktur terkonsentrasi di kota-kota
utama yang berlokasi dekat pelabuhan (seperti Indonesia, Filipina, dan Thailand). Namun, ada
juga kota-kota besar yang pelabuhannya tidak berperan penting lagi pada masa kini, walaupun
pertumbuhan kota itu pada awalnya didorong karena mudahnya akses pelabuhan (seperti
Chicago dan Paris). Secara geografis, peran pelabuhan dalam proses terbentuknya kota adalah
karena pelabuhan merepresentasikan lokasi paling mudah dan nyaman untuk ekspor dan
impor.
Dari waktu ke waktu, ketika perdagangan terus tumbuh di sekitar pelabuhan dan
perekonomian kota juga terus tumbuh, arus barang pelabuhan dapat memenuhi permintaan
barang dan komoditas lainnya. Untuk memfasilitasi aktivitas perekonomian di kota,
infrastruktur seperti jalan tol dan rel kereta dibangun untuk menghubungkan pelabuhan dan
pusat kota. Selain untuk transportasi ke pelabuhan, infrastruktur juga memudahkan mobilitas
penduduk kota itu sendiri. Dengan pelabuhan yang berfungsi baik, aktivitas komersial yang
ada, dan infrastruktur, pelabuhan dapat menarik investasi dari area sekitarnya maupun luar
negeri. Di kota pelabuhan, pelabuhan yang produktif bersama dengan jasa-jasa pendukungnya
akan mendukung pembangunan fungsi kota itu. pertemuan kota dan pelabuhan mendukung
pertumbuhan kota dan peningkatan kualitas demografi kota itu.

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


Kota pelabuhan adalah tempat yang strategis sebagai area perdagangan, contohnya di
Eropa dan Asia, mengingat bahwa 90% volume perdagangan di dunia dikirim melalui laut
(Rodrigue, 2006). Namun, peran kota pelabuhan di Eropa dan Asia berbeda karena beberapa
alasan, misalnya sejarah perdagangan dan perencanaan kota, bentuk geografis, dan tingkat
integrasi regional. Di Eropa, pentingnya suatu kota direfleksikan dengan paradigma “pusat
area”, dan kota pelabuhan kurang menjadi perhatian (Bird, 1973). Kebanyakan perencana tata
kota Eropa menyatakan bahwa kota pelabuhan memberi kontribusi ekonomi yang lebih
rendah (Brunet, 1989; Rozenbalt & Cicille, 2002). Di Asia, sejak masa kolonial dan
industrialisasi di area tepi pantai Jepang, kota pelabuhan merupakan penggerak penting bagi
pembangunan. Kota pelabuhan telah menjadi pusat-pusat baru bagi perekonomian nasional
(Gipouloux, 2001).
Gambar

Gambar 2. Berbagai Macam Pola Spasial Kota Pelabuhan

Gambar 2 menunjukan pola spasial dimana perekonomian kota tepi pantai merupakan
pasar “sisa” di Eropa, sedangkan di Asia (dan Australia, Afrika, dan Amerika Selatan)
merupakan pasar utama. Perbedaan penting lainnya adalah tingkat integrasi regional.
Pelabuhan Eropa bersaing untuk satu pasar saja di seluruh Eropa, sedangkan pelabuhan Asia
masih berfokus pada perekonomian nasional dan mengembangkan fungsi hub untuk daya
saing regional.
Di Asia, kota pelabuhan adalah pasar yang paling penting bagi pelabuhan. Model kolonial di
Asia Selatan dan Asia Tenggara memberi pengaruh pada penyatuan hierarki kota dan
pelabuhan di sepanjang daerah perdagangan, lewat pembangunan kawasan pergudangan di
Singapura dan Hongkong. Sampai sekarang, kota-kota paling penting di Asia adalah kota
pelabuhan dan juga berperan paling besar dalam perdagangan dengan negara-negara di Eropa
dan Amerika Utara. Proses pembangunan di Asia Timur yang sangat cepat melahirkan model

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


hubungan kota-pelabuhan seperti zona bebas perdagangan di Taiwan, Korea, dan China.
Namun akibat dari konsentrasi geografis di area tepi pantai, transportasi darat dan pasarnya
masih belum berkembang. Buruknya transportasi darat penghubung Asia Selatan dan Asia
Tenggara, serta antara Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Benua Asia, mencegah
pelabuhan untuk menjangkau pasar di negara lainnya. Di Asia, pelabuhan dan kota telah
dibangun dan dikembangkan fungsinya kearah yang saling menguntungkan.
Gambar

Gambar 3. Tahap Evolusi Hubungan Kota dan Pelabuhan di Eropa dan Asia

Gambar 3 merupakan model evolusi hubungan antara kota dan pelabuhan. Model
evolusi untuk kota di negara-negara barat (Eropa dan Amerika Utara) dikembangkan oleh
Hoyle (1989). Model ini menjelaskan pemisahan antara kota dan pelabuhan karena konflik
fungsional dan spasial antara kota dan pelabuhan, memperlihatkan pola pertumbuhan kota-
kota pelabuhan di Eropa dan Amerika Utara. Kemudian dikembangkan model evolusi untuk
kota-kota pelabuhan di Asia karena pola yang sangat berbeda. Model kota pelabuhan di Asia
adalah pembentukan pelabuhan modern yang berlokasi jauh dari pusat kota karena aktivitas
pelabuhan yang meningkat. Kota dan pelabuhan menjalani fungsinya masing-masing namun
ada saling ketergantungan antara pusat kota, pelabuhan, dan area belakang pelabuhannya.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan terdiri dari studi literatur, pengolahan data
sekunder, dan analisis hasil penelitian. Metode statistika yang dipakai untuk mengolah data

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


sekunder yaitu model ekonometrika dengan data panel. Data yang digunakan adalah 56 kota
di Indonesia pada tahun 2001-2010, diantaranya terdapat 25 kota yang memiliki pelabuhan.
Penulis ingin meneliti seluruh kota di Indonesia (93 kota), namun data yang tersedia tidak
lengkap. Model yang dipakai diambil dari beberapa literatur terdahulu yang juga mengkaji
masalah pertumbuhan kota. Dari beberapa model tersebut, penulis mengembangkannya sesuai
dengan penelitian yang dilakukan. Penulis memakai variabel-variabel yang berkaitan dan
relevan untuk digunakan dalam penelitian ini. Piranti lunak yang dipakai dalam penelitian ini
adalah STATA 11.0. Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik dan PT Pelabuhan
Indonesia (PELINDO).
Untuk menganalisis perbedaan karakteristik kota pelabuhan dan tidak memiliki
pelabuhan digunakan model ekonometrika:

PDRBit= α+ β1 Primacyit + β2 Manpropit + β3 Densityit + β4 Avgschoolit + δ Porti + Uit (1)

dimana δ adalah dummy bagi kota yang memiliki pelabuhan = 1, kota yang tidak memiliki
pelabuhan = 0, sehingga terlihat perbedaan karakteristik diantara keduanya.
Untuk menganalisis peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota digunakan model
ekonometrika:

PDRBit = α+ β1 Primacyit + β2 Manpropit + β3 Densityit + β4 Avgschoolit +β5 Volumeit + Uit(2)

PDRB : PDRB per kapita kota


Primacy : persentase penduduk kota terhadap penduduk provinsi
Manprop : persentase tenaga kerja di sektor manufaktur
Density : kepadatan penduduk kota (penduduk/km2)
Avgschool : rata-rata lama bersekolah penduduk usia 5 tahun ke atas (tahun)
Volume : volume barang ekspor dan impor (dalam ton)

Umumnya dalam analisis pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita dijadikan


sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi. World Bank (2009) menyatakan bahwa kepadatan
penduduk, aglomerasi ekonomi, dan letak geografis suatu kota berpengaruh besar terhadap
produktivitas perekonomiannya. Sedangkan, faktor modal manusia juga telah digunakan

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


dalam berbagai studi mengenai pertumbuhan kota. Volume ekspor dan impor dapat
digunakan untuk mengukur besar aktivitas pelabuhan di suatu kota.
HASIL PENELITIAN
Pertumbuhan kota pada penelitian ini diwakili oleh PDRB per kapita pada masing-
masing kota. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota yang digunakan dalam
penulisan ini adalah primacy (persentase jumlah penduduk kota terhadap penduduk provinsi),
proporsi pekerja manufaktur terhadap total jumlah tenaga kerja, kepadatan penduduk, rata-
rata lama bersekolah, dan variabel pengaruh pelabuhan, yaitu volume ekspor dan impor
pelabuhan. Untuk membandingkan perbedaan pertumbuhan kota pelabuhan dan kota yang
tidak memiliki pelabuhan digunakan variabel dummy.
Dari hasil pengolahan data, maka didapat hasil estimasi seperti berikut:

Tabel 1. Hasil Estimasi Penelitian

Model no (1) (2)

Variabel PDRB PDRB

Primacy -0.0499 -0.0065


(0.044) (0.071)
Proporsi manufaktur 0.558*** 0.496***
(0.058) (0.089)
Density 1.002*** 0.839***
(0.041) (0.062)
Average school 1.114** 3.066***
(0.43) (0.663)
Volume ekspor & impor 0.233***
(0.023)
Dummy Pelabuhan 0.805***
(0.103)
Konstan 4.047*** -1.498
(0.93) (1.459)

Observasi 495 232


Jumlah kota 56 25
Level signifikansi *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

Tabel 1 menampilkan hasil estimasi model (1) yaitu model pertumbuhan kota dengan
dummy pelabuhan dan model (2) yaitu peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota,
keduanya dengan variabel dependen PDRB perkapita kota. Seperti yang terlihat pada tabel,

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


empat variabel independen signifikan pada level 1% dan 5% untuk variabel dependen PDRB
per kapita kota.
Empat variabel independen yang digunakan signifikan dan mampu menjelaskan
pertumbuhan kota pelabuhan. Dari kedua model, variabel independen yang memiliki
koefisien terbesar adalah rata-rata lama bersekolah yang mencerminkan modal manusia
penduduk kota. Variabel yang ingin diteliti dalam penelitian ini yaitu variabel dummy kota
pelabuhan dan variabel peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota yang diwakili oleh
variabel volume ekspor dan impor juga signifikan pada kedua model. Sehingga dari hasil
estimasi dapat dinyatakan terdapat perbedaan pertumbuhan antara kota pelabuhan dan kota
yang tidak memiliki pelabuhan dan bahwa terdapat peran pelabuhan dalam pertumbuhan kota
di Indonesia.
Dari hasil estimasi model (1) untuk seluruh sampel 56 kota, variabel primacy memiliki
elastisitas sebesar -0,0499 namun tidak signifikan. Sedangkan hasil estimasi model (2) untuk
25 kota pelabuhan, variabel primacy memiliki elastisitas sebesar -0,0065 namun juga tidak
signifikan.
Primacy atau persentase penduduk kota terhadap penduduk provinsi yang semakin
besar menandakan bahwa pertumbuhan penduduk di kota tersebut lebih cepat daripada kota
lainnya. Semakin banyak penduduk di kota maka permintaan akan barang dan jasa akan
semakin beragam. Hal ini berarti menciptakan suatu pasar yang besar dengan banyak pembeli
potensial. Berbagai perusahaan akan tertarik untuk berlokasi di kota untuk memenuhi
permintaan di pasar ini. Aktivitas ekonomi terus berlangsung dan meningkatkan pendapatan
kota itu. Lalu, semakin banyak dan berkembangnya perusahaan di kota maka akan
membutuhkan semakin banyak tenaga kerja yang kemudian akan menarik lebih banyak orang
untuk datang ke kota. Dengan demikian kota akan terus tumbuh, baik dilihat dari PDRB per
kapita kotanya maupun jumlah penduduknya.
Hasil estimasi menunjukkan variabel primacy tidak signifikan terhadap PDRB per
kapita kota. Hasil ini tidak kuat mendukung hipotesis bahwa urbanisasi ekonomi mendukung
pertumbuhan kota. Namun, hasil ini sesuai dengan hasil laporan World Bank (2012) yang
menyatakan bahwa pada empat dekade terakhir, Indonesia tidak mendapat hasil yang optimal
dari pembangunan kota, seperti yang terlihat dari perbandingan tingkat manfaat yang didapat
negara-negara Asia lainnya dari proses urbanisasi. Walaupun Indonesia mengalami
peningkatan jumlah penduduk kotanya, proporsi PDRB yang dihasilkan di area perkotaan
tidak sebanding peningkatannya. Pada periode 1993-2007, World Bank menghitung
kontribusi PDRB area perkotaan terhadap PDB total cenderung stagnan pada tingkat 60

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


persen. Indonesia telah mencapai rasio terendah antara pertumbuhan ekonominya dan tingkat
urbanisasinya dibanding negara-negara kompetitornya seperti China, India, Thailand, dan
Vietnam.
Variabel proporsi pekerja manufaktur terhadap pertumbuhan kota positif dan
signifikan pada kedua model. Untuk model (1), peningkatan proporsi pekerja manufaktur
sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan kota yang diwakili oleh variabel PDRB per
kapita kota sebesar 0,558%. Hasil ini menyatakan bahwa produktivitas sektor manufaktur
cukup tinggi di kota-kota di Indonesia secara keseluruhan. Kemudian untuk model (4.2),
peningkatan proporsi pekerja manufaktur sebesar 1% juga akan meningkatkan PDRB per
kapita kota sebesar 0,496%. Elastisitas proporsi sektor manufaktur positif untuk kota
pelabuhan, namun sedikit lebih rendah daripada elastisitas kota secara keseluruhan.
Proporsi manufaktur merupakan variabel yang merefleksikan aglomerasi ekonomi
suatu kota, khususnya lokalisasi ekonomi. Dari hasil estimasi penelitian, proporsi pekerja
manufaktur positif dan signifikan mempengaruhi pertumbuhan kota. Semakin besar proporsi
pekerja manufaktur berarti semakin besar lokalisasi ekonomi di suatu kota. Lokalisasi
ekonomi mendukung pertumbuhan kota melalui limpahan pengetahuan dan peningkatan
produktivitas. Selain itu, lokalisasi ekonomi dari suatu industri juga menstimulasi penyediaan
jasa yang tidak dapat diperdagangkan di kota seperti perbankan dan perusahaan hukum.
Dengan demikian, koefisien estimasi positif menunjukkan efek limpahan pengetahuan dari
lokalisasi ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. World Bank (2012)
menyatakan bahwa sektor manufaktur di Indonesia semakin berperan penting dalam
pertumbuhan ekonomi, baik perekonomian kota maupun nasional. Hal ini juga merupakan
hasil dari proses urbanisasi yang terus meningkat, dimana aktivitas sektor manufaktur
cenderung berlokasi di perkotaan.
Namun, ada perbedaan koefisien elastisitas antara kota-kota di Indonesia secara umum
(model 1) dan kota-kota pelabuhan saja (model 2). Koefisien elastisitas untuk kota pelabuhan
sedikit lebih kecil yang berarti pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi kota sedikit lebih
rendah. Hal ini dapat dijelaskan oleh adanya desentralisasi sektor manufaktur di kota-kota
pelabuhan menuju area sekitarnya, seperti yang dijelaskan dalam hasil penelitian Batubara
(2010) untuk kota Surabaya menuju Gresik dan Sidoarjo, hasil penelitian Henderson,
Kuncoro, dan Nasution (1996) untuk kota Jakarta menuju area Bodetabek, dan laporan World
Bank (2012) untuk kota Makassar. Desentralisasi aktivitas sektor manufaktur pada kota-kota
pelabuhan di Indonesia menjelaskan bahwa terdapat aktivitas lainnya yang sedang
berkembang, yaitu sektor jasa. Sektor jasa yang lebih banyak berlokasi di kota-kota besar

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Namun, sektor manufaktur masih tetap menjadi
mesin pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi kota-kota di Indonesia (UNIDO, 2009;
Yusuf & Nabeshima, 2010).
Henderson (1980) mendeskripsikan perpindahan sektor manufaktur dari pusat kota ke
daerah sekitarnya disebut sebagai dekonsentrasi. Pusat kota berubah orientasinya menjadi
produksi jasa (finansial, bisnis, teknik dan menejemen, pendidikan, dan kesehatan). Ketika
proses pembangunan berlangsung, dekonsentrasi menjadi efisien karena dua alasan. Pertama,
perekonomian dapat menjangkau penyebaran infrastruktur ekonomi dan sumberdaya ilmu
pengetahuan hingga ke area hinterland. Kedua, kota yang sejak awal konsentrasinya tinggi
menjadi berbiaya tinggi, lokasi yang padat menjadi kurang efisien untuk produsen dan
konsumen.
Dampak perkembangan sektor manufaktur terhadap pertumbuhan kota dapat dilihat
dari sejarah kota-kota di Indonesia. Berdasarkan sejarahnya, pada masa kolonial di Indonesia,
pendirian perusahaan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah atau militer atau pebisnis dari
etnis Cina. Kewirausahaan pada masa itu belum banyak dilakukan sehingga pola lokasi
perkembangan industri di Indonesia lebih terdispersi. Faktor ini mempercepat aglomerasi
ekonomi di pusat pemerintahan dan menghasilkan pertumbuhan sektor manufaktur di Jakarta
pada tahun 1980an hingga awal 1990an. Tahun 1991, proporsi sektor manufaktur pada PDB
Indonesia melampaui proporsi sektor pertaniannya dan sebagian besar disumbangkan oleh
daerah Jawa bagian barat. Pusat industri manufaktur lainnya adalah Surabaya, yang pada
awalnya adalah pusat industri perkapalan, dan Bandung, yang pada awalnya adalah daerah
pertanian yang kini berubah menjadi pusat industri tekstil. Pusat industri manufaktur lainnya
yaitu Medan dan Makassar yang juga merupakan pusat perdagangan karena kota tersebut
memiliki pelabuhan besar. Pendirian perusahaan manufaktur pada masa kolonial di beberapa
kota telah mempercepat pertumbuhan kota-kota tersebut hingga sekarang.
Untuk hasil estimasi model (1), peningkatan kepadatan penduduk sebesar 1% akan
meningkatkan PDRB per kapita kota sebesar 1,002%. Sedangkan hasil estimasi model (2)
kota pelabuhan, peningkatan kepadatan penduduk sebesar 1% akan meningkatkan
pertumbuhan kota sebesar 0,839%. Di kedua model, variabel kepadatan penduduk
berpengaruh positif dan signifikan. Hasil ini juga didapat oleh beberapa penelitian
sebelumnya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu, dampak kepadatan penduduk
sebenarnya relatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Gallup, Sachs, & Mellinger, 1999). Pada
tahap awal, kepadatan penduduk yang meningkat akan menimbulkan dampak positif berupa

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


limpahan pengetahuan dan memicu aglomerasi. Namun bila suatu kota memiliki kepadatan
penduduk yang terlalu tinggi, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan seperti
kepadatan, polusi, dan biaya peluang dari penggunaan lahan. Henderson (1996b) dengan
menggunakan data UN untuk 80-100 kota di seluruh dunia, menunjukkan kota yang terlalu
padat akan memberi dampak negatif seperti meningkatnya kematian anak, rasio murid
terhadap guru, kebutuhan air bersih, dan kualitas hidup yang buruk di kota berukuran sedang,
setelah dihitung perbedaan ukuran, pendapatan, dan pertumbuhan antarkota. Jadi, biaya dari
kepadatan kota akan terasa di seluruh sistem kota, bukan hanya di kota-kota besar saja.
Namun, dari hasil penelitian ini, elastisitas kepadatan penduduk positif dan signifikan
menjelaskan bahwa semakin banyak penduduk berkumpul di kota maka akan berdampak
positif terhadap pertumbuhan kota. Hal ini menjelaskan bahwa kota-kota di Indonesia masih
belum terlalu padat sehingga bertambahnya kepadatan penduduk masih akan meningkatkan
pertumbuhan kota. Hal yang perlu diperhatikan adalah koefisien elastisitas kepadatan
penduduk untuk kota-kota pelabuhan sedikit lebih rendah daripada kota-kota secara umum.
Lee, Song, & Ducruet (2008) menjelaskan kota-kota pelabuhan di Asia semakin berkembang
aktivitasnya dari pusat industri hingga pusat aktivitas tersier dan pariwisata. Selain itu, karena
aktivitas pelabuhan tetap berlangsung dan perlu berkembang, maka terjadi kepadatan di kota.
Peningkatan jumlah penduduk walaupun akan memberikan keuntungan, tetapi ada biaya
kepadatan juga yang terbebani kepada kota.
Elastisitas paling besar dari variabel penentu pertumbuhan kota dimiliki oleh variabel
rata-rata lama bersekolah. Dari kedua model, elastisitas variabel ini lebih dari 1. Pada model
(1), peningkatan 1% rata-rata lama bersekolah akan meningkatkan PDRB per kapita kota-kota
di Indonesia sebesar 1,114%. Sedangkan pada untuk kota pelabuhan pada model (2) akan
meningkatkan PDRB per kapita sebesar 3,066%. Variabel rata-rata lama bersekolah
berpengaruh positif dan signifikan di kedua model.
Variabel rata-rata lama bersekolah ini mencerminkan tingkat modal manusia di suatu
kota. Rata-rata lama bersekolah mencerminkan semakin majunya tingkat pendidikan
masyarakat suatu kota. Pendidikan merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan modal
manusia sehingga penduduk yang memperoleh pendidikan akan lebih produktif karena
penduduk memiliki keterampilan lebih dalam berhitung, membaca, menulis, dan lain-lain.
Keterampilan tersebut adalah dasar untuk dapat bekerja, menghasilkan pendapatan untuk
meningkatkan kualitas hidup. Semakin lama seseorang mengenyam pendidikan, maka akan
semakin banyak keterampilan yang dimilikinya dan semakin tinggi pula pendapatannya.

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


Pendidikan yang meningkatkan produktivitas pekerja merupakan asumsi dasar dalam
menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan.
Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Di sisi lain,
peningkatan produktivitas berarti peningkatan pendapatan. Selalu diasumsikan bahwa
manfaat dari peningkatan lama bersekolah secara agregat akan lebih besar bagi kelompok
penduduk miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, pendapatan
kelompok penduduk miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya akan
mengurangi ketimpangan.
Elastisitas variabel rata-rata lama bersekolah lebih tinggi pada kota-kota pelabuhan
dibanding kota-kota secara umum. Hal ini dapat disebabkan karena kota-kota pelabuhan
secara umum merupakan kota-kota tebesar di Indonesia yang kepadatan penduduknya lebih
tinggi, aktivitas sekunder dan tersiernya lebih tinggi, dan juga tingkat pendidikan dan
keahlian penduduknya relatif lebih tinggi dibanding kota-kota lainnya. Meningkatnya
pendidikan penduduknya memiliki dampak limpahan pengetahuan yang lebih tinggi sehingga
meningkatkan produktivitas tenaga kerja lebih tinggi.
Dari hasil estimasi model (1), kota-kota pelabuhan memiliki rata-rata PDRB per
kapita 0,805% lebih tinggi dibanding rata-rata PDRB per kapita kota yang tidak memiliki
pelabuhan. Koefisien dummy ini positif dan signifikan. Koefisien dummy ini menjelaskan
bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan kota pelabuhan dan kota yang tidak memiliki
pelabuhan.
Hasil penelitian ini menegaskan hasil laporan pertumbuhan kota di Indonesia oleh
World Bank (2012). Jarak ke pasar dan akses ke fasilitas pengiriman barang (pelabuhan)
adalah faktor utama yang mendukung pertumbuhan ekonomi kota. World Bank juga
menyatakan perekonomian Indonesia sudah semakin tidak bertumpu pada sektor pertanian,
yang pada umumnya berlokasi bukan di area pesisir. Selain itu, pertumbuhan kota yang tidak
memiliki pelabuhan juga lebih rendah karena infrastruktur transportasi seperti jalan dan
jembatan belum dibangun dengan baik dan terencana.
Perbedaan pertumbuhan antara kedua kota yang memilki karakteristik berbeda telah
dinyatakan dalam beberapa penelitian sebelumnya. Kota yang memiliki pelabuhan memiliki
keunggulan komparatif dibanding kota-kota lainnya karena terdapat hubungan saling
menguntungkan antara pelabuhan dan perekonomian kota itu (Fujita et al., 1999; Clark et al.,
2004). Kota pelabuhan sebagai lokasi hub transportasi secara alami menciptakan efek daratan
terisolasi bagi aktivitas ekonomi karena menyediakan akses yang mudah ke pasar dan

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


konsumen, yang menjelaskan mengapa aglomerasi ekonomi cenderung terjadi di kota-kota
pelabuhan (Behrens, 2004).
Volume ekspor dan impor memiliki koefisien elastisitas yang positif dan signifikan,
yaitu sebesar 0,233. Peningkatan volume ekspor dan impor sebesar 1% akan meningkatkan
PDRB per kapita kota pelabuhan sebesar 0,233%. Variabel ini menyatakan bahwa pelabuhan
berperan dalam pertumbuhan kota.
Volume arus barang pelabuhan adalah faktor yang mampu menjelaskan tingkat
pembangunan sebuah kota (Rodrigue, 1999). Hasil estimasi variable volume ekspor dan
impor pelabuhan positif dan signifikan, sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya,
terutama untuk penelitian di Indonesia oleh Landiyanto dan Prasetyo (2010). Aktivitas
pelabuhan yang dicerminkan dari arus ekspor dan impor masih mempengaruhi pertumbuhan
kota di Indonesia. Hal ini menjelaskan aktivitas kota-kota pelabuhan masih dipengaruhi oleh
aktivitas pelabuhan dan kota masih terus tumbuh karena adanya pelabuhan.
Pelabuhan merupakan pintu gerbang utama arus barang, baik ekspor maupun impor,
dan pemindahmuatan antar moda transportasi. Fungsi pelabuhan adalah melayani aktivitas
ekonomi kotanya. Karena adanya pelabuhan, kota yang memiliki pelabuhan menghasilkan
kegiatan jasa yang besar dalam perekonomiannya. Pola ini sesuai dengan pandangan
tradisional mengenai hubungan antara kota dan pelabuhan yang terjadi di kota-kota di Asia
(Jung, 2011).
Di Indonesia seperti halnya di negara-negara Asia lainnya, kota-kota pelabuhan
mendominasi pusat perekonomian Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, dan
Medan. Kota pelabuhan merupakan pasar utama dan pasar terbesar bagi pelabuhan. Akibat
dari konsentrasi geografis di daerah pesisir, integrasi antara kota pelabuhan dan kota yang
berada di tengah daratan masih belum berkembang baik. Oleh karena itu, pertumbuhan kota
pelabuhan cenderung lebih tinggi dan masih terus mendominasi (Ducruet, 2006).
Dari hasil estimasi model, dapat diketahui bahwa aktivitas pelabuhan di Indonesia
masih mempengaruhi pertumbuhan kota-kotanya. Pola ini sesuai dengan pola kota pelabuhan
di Asia dan negara berkembang, dimana kota pelabuhan terus menjadi tujuan urbanisasi dan
pusat industri dan jasa, sedangkan fasilitas pelabuhan terus ditingkatkan karena peningkatan
arus bongkar muat. Secara umum, kepadatan kota masih memberi dampak positif pada
pertumbuhan kota. Oleh karena itu, kota-kota pelabuhan masih terus mendominasi.
Peran pelabuhan terhadap pertumbuhan kota yang masih tinggi, menjelaskan bahwa
belum terjadi pemisahan pola spasial antara kota dan pelabuhan. Tahap pertumbuhan kota
pelabuhan di Indonesia dapat dibandingkan dengan negara-negara lainnya berdasarkan model

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


evolusi kota-pelabuhan di Asia yang dikembangkan oleh Lee (2005). Ada enam tahapan
evolusi kota-pelabuhan untuk model negara-negara di Asia. Kota-kota di Indonesia berada
dalam tahap yang bervariasi mulai dari tahap ketiga hingga kelima. Tahap ketiga ialah dimana
terjadi peningkatan fasilitas pelabuhan yang membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga
menarik terjadinya urbanisasi. Tahap keempat adalah kota pelabuhan kawasan perdagangan
bebas dimana aktivitas pelabuhan mendominasi aktivitas kota, seperti yang terjadi di Kota
Batam. Tahap kelima ialah kota pelabuhan hub seperti Kota Jakarta dimana pelabuhannya
terus dikembangkan untuk menampung arus barang yang semakin tinggi. Kota Jakarta
letaknya strategis sebagai hub dan karena pasar yang sudah berkembang, terus menarik
aktivitas ekonomi untuk berlokasi disini, termasuk perusahaan multinasonal (Holly, 1996).
Kemudian, yang menarik untuk dianalisis adalah apakah akan terjadi pemisahan
spasial kota dan pelabuhan di Indonesia. Bila dilihat dari hasil estimasi variabel kepadatan
penduduk, koefisien elastisitas untuk kota pelabuhan sedikit lebih rendah daripada kota-kota
secara umum. Hal ini dapat dijelaskan dengan kemungkinan adanya biaya kepadatan di kota-
kota pelabuhan yang merupakan kota-kota besar. Lalu, apakah kota-kota pelabuhan sudah
mencapai titik ukuran optimal dimana populasi terlalu terkonsentrasi di tempat itu sehingga
utilitynya semakin menurun, dapat dianalisis dengan teori ukuran kota optimal dari
Henderson (1974).
Henderson (1974) menyatakan bahwa ukuran kota yang optimal tergantung dari peran
kota itu sendiri. Kota pelabuhan cenderung lebih padat karena biasanya pada awalnya
merupakan pusat aktivitas perdagangan yang strategis dan terus berkembang. Kota
seharusnya berspesialisasi di satu atau beberapa industri yang menciptakan eksternalitas
ekonomi. Henderson menjelaskan bahwa kota yang berspesialisasi di jasa akan mencapai
ukuran optimal pada lebih banyak jumlah populasi dibanding kota yang berspesialisasi di
industri, dalam menciptakan tingkat kepuasan yang sama.
Berdasarkan penelitian Batubara (2010) untuk kota Surabaya, Henderson, Kuncoro,
dan Nasution (1996) untuk kota Jakarta, dan laporan World Bank (2012) untuk kota
Makassar, terjadi desentralisasi sektor manufaktur ke area sekitarnya dan terjadi
perkembangan sektor jasa. Dari teori Henderson, dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama,
ukuran optimal kota akan cenderung lebih besar untuk kota yang berspesialisasi di sektor jasa,
yang artinya jumlah penduduk lebih banyak. Kedua, area di sekitar kota pelabuhan yang
merupakan kota-kota yang tidak memiliki pelabuhan akan terus tumbuh akibat
berkembangnya sektor manufaktur. Jadi, pertumbuhan kota pelabuhan dan kota yang tidak
memiliki pelabuhan akan berjalan bersamaan.

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


Hasil analisis juga menunjukkan bahwa kota pelabuhan di Indonesia cenderung belum
akan mengalami pemisahan spasial antara kota dan pelabuhannya. Pertama, Indonesia
merupakan negara kepulauan sehingga kota yang terletak di pesisir akan lebih strategis.
Kedua, kota pelabuhan masih terus berkembang dan masih menjadi tujuan urbanisasi. Ketiga,
berdasarkan laporan World Bank (2012) mengenai kondisi perkotaan di Indonesia,
transportasi darat masih belum baik sehingga kurang efisien bagi kota-kota yang berlokasi
jauh dari pesisir untuk tumbuh lebih cepat. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah
terjadinya desentralisasi sektor manufaktur dari kota pelabuhan menuju kota-kota
disekitarnya. Kota pelabuhan lama-kelamaan akan berspesialisasi di sektor jasa dan sektor
manufaktur berpindah ke kota yang tidak memiliki pelabuhan. Oleh karena itu, diperlukan
infrastruktur yang memadai seperti jalan dan penyediaan informasi untuk mendukung
pertumbuhan baik kota pelabuhan maupun kota-kota yang tidak memiliki pelabuhan.

KESIMPULAN
Hasil penelitian mendukung hipotesis dan dapat dijelaskan berdasarkan teori dan fakta
yang ada. Indonesia sebagai negara kepulauan, kota-kota pelabuhan yang berada di pesisir
masih terus mendominasi karena kota-kota yang ada masih terus berkembang, urbanisasi
masih tinggi, biaya transportasi minimum untuk perdagangan, dan infrastruktur transportasi
darat masih belum baik. Perkembangan kota-kota pelabuhan semakin bergeser ke sektor jasa,
sedangkan sektor manufaktur bergeser ke kota-kota hinterlandnya atau kota yang tidak
memiliki pelabuhan. Dengan demikian, kota-kota yang tidak memiliki pelabuhan tetap terus
tumbuh karena aktivitas sektor manufaktur.

SARAN
Hal yang perlu diperhatikan adalah pola pertumbuhan kota-kota pelabuhan di
Indonesia yang masih terus tumbuh dan mendominasi perekonomian secara umum. Kota-kota
pelabuhan sebagai kota-kota terbesar di Indonesia masih menjadi tujuan urbanisasi sehingga
semakin padat. Di samping itu, aktivitas pelabuhan juga semakin meningkat sehingga
menyebabkan kepadatan dan dampak lingkungan. Perlu perencanaan dan penanganan khusus
bagi permasalahan di kota-kota pelabuhan seperti ini. Selain itu, desentralisasi sektor
manufaktur sudah terjadi dari kota-kota pelabuhan menuju kota-kota disekitarnya. Diperlukan
infrastruktur pendukung yang memfasilitasinya seperti perbaikan transportasi darat untuk
menurunkan biaya transportasi dan penyediaan informasi untuk mendukung proses
penyamaan tenaga kerja. Terakhir adalah dampak urbanisasi bagi pertumbuhan ekonomi di

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


kota-kota di Indonesia belum optimal sehingga perlu kebijakan yang mendukung untuk
mengoptimalkan urbanisasi ini.

DAFTAR PUSTAKA
Bird, J. (1963). The Major Seaports of The United Kingdom. London: Hutchinson of London.
Bird, J. (1973). Of Central Places, Cities and Seaports. Geography, 58, 105-118.
Behrens, K. (2004). On The Location and ‘Lock In’ of Cities: Geography vs. Transportation
Technology. Regional Science and Urban Economics, 37(1), 22-45.
Clark, X., Dollar, D., & Micco, A. (2004). Port Efficiency, Maritime Transport Costs, and
Bilateral Trade. National Bureau of Economics Research Working Paper 10353.
Ducruet, C. (2006). Port-City Relationships in Europe and Asia. Journal of International
Logistics and Trade, 4(2), 13-35.
Fujita, M., Krugman, P., & Venables, A. J. (1999). The Spatial Economy: Cities, Regions and
International Trade. London : MIT Press.
Gallup, J. L., Sachs, J. D., & Mellinger, A. (1999). Geography and Economic Development.
Working Papers Center for International Development at Harvard University, CID
Working Paper No.1.
Gipouloux, F. (2001). Complementary and Rivalry among Asia’s Major Logistics Hubs:
Hong Kong, Singapore and Shanghai in a Global Perspective. Paper presented at the 4th
Europe-Asia Conference, Hong Kong, China.
Henderson, J.V. (1974). The Sizes and Types of Cities. American Economic Review, 64, 640-
56.
Henderson, J. V. (1980). The Effects of Urban Concentration on Economic Growth. American
Economic Review, 70(5), 894-910.
Henderson, J.V. (1986). Urbanization in A Developing Country: City size and Population
Composition. Journal of Development Economics, 22, 269-293.
Henderson, J. V. (1999b). Notes on the Costs of Urban Primacy. Brown University mimeo,
10-24-99.
Henderson, J.V., Kuncoro, A. & Nasution P. (1996). Dynamic Development in Jabotabek.
Indonesian Bulletin of Economic Studies, 32, 71-96.
Holly, B. (1996). Restructuring the Production System. In: Daniels, P. and Lever, W. (Eds.)
The Global Economy in Transition (pp. 24-39). Harlow: Addison-Wesley.
Hoyle, B.S. (1989). The Port-city Interface: Trends, Problems and Examples. Geoforum, 20,
429-435.

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013


Jung, B. M. (2011). Economic Contribution of Ports to the Local Economies in Korea. The
Asian Journal of Shipping and Logistics, 27(1), 001-030.
Krugman, P. (1996). Confronting the Mystery of Urban Hierarchy. Journal of The Japanese
and International Economies, 10(23), 399-418.
Krugman, P. (1998, April). The Role of Geography in Development. Paper presented for the
Annual World Bank Conference on Development Economics, Washington DC.
Landiyanto, E. A. & Prasetyo A. H. (2005). Economic Growth of Indonesian Port Cities.
Urban/Regional EconWPA.
Lee, S. W. (2005). Interaction Between City and Port in Asian Hub Port Cities. Unpublished
dissertation in urban planning. Seoul National University.
Lee, S. W., Song, D. W., & Ducruet, C. (2008). A Tale of Asia’s World Ports: The Spatial
Evolution in Global Hub Port Cities. Geoforum, 39(1), 372-385.
Mulatip, I. & Brodjonegoro, B. (2004). Determinan Pertumbuhan Kota di Indonesia. Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 59(1), 61-82.
Murphey, R. (1989). On the Evolution of the Port City. In: Broeze, F. (Ed.) Brides of the Sea:
Port Cities of Asia from the 16th-20th Centuries (pp. 223-245). Honolulu: University of
Hawaii Press.
O’Sullivan, A. (2007). Urban Economics (6th ed.). Singapore: McGraw-Hill.
Quigley, J. M. (1998). Urban Diversity and Economic Growth. The Journal of Economic
Perspective, 12(2), 127-138.
Rodrigue, J.P (1999). Globalization and The Synchronizaton of Transport Terminals. Journal
of Transport Geography, 7(4), 255-261.
Rodrigue, J. P. (2006). Transportation and The Geographical and Functional Integration of
Global Production Networks. Growth and Change, 37(4), 510-525.
Untied Nations Industrial Development Organization. (2009). Industrial Development Report
2009.
Venables, A. J. (2009). Economic Geography and African Development. Papers in Regional
Science, 89(3), 469-483.
World Bank. (2009). System of Cities: Harnessing Urbanization for Growth and Poverty
Alleviation.
World Bank. (2012). Indonesia Regional Urban Development Report, June 2012.
Yusuf, S. & Nabeshima, K. (2010). Changing The Industrial Geography in Asia: The Impact
of China and India. Washington DC: World Bank.

Peran Pelabuhan ..., Diana Sekarayu Karunia, FE UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai