Budaya Dan Gender Di Bali
Budaya Dan Gender Di Bali
Dosen Pengampu:
Dr. Lusy Asa Akhrani, S.Psi., M.Psi.T
Disusun Oleh:
Rania Feraihan 185120300111017
Kemunculan era globalisasi membawa pandangan baru tentang konsep ‘Dunia Tanpa
Batas’ yang pada saat ini menjadi realita dan berpengaruh secara signifikan dengan
perkembangan budaya, yang pada akhirnya akan membawa perubahan baru dalam budaya
tersebut (Court, 2001). Globalisasi menjadi gelombang yang tidak dapat dihindari karena telah
menjalar ke seluruh negara dan wilayah di dalamnya. Pada dasarnya, kehadiran era ini tidak
dapat sepenuhnya dikatakan memberi dampak negatif terhadap pergeseran budaya, salah satu
pengaruh pandangan barat yang menimbulkan efek positif adalah timbulnya gerakan
perempuan untuk memperoleh peran ganda dengan tujuan menguatkan status dan peran mereka
di hidupnya. Sehingga, terdapat perkembangan dalam persepsi bahwa perempuan di masa
modern ini bukan hanya bertanggung jawab menjalankan peran domestik berupa mengurus
aktivitas kerumahtanggaan, namun juga memiliki peran publik yang meliputi aktivitas di luar
rumah dengan tujuan mencari nafkah atau penghasilan. Pandangan barat ini membawa
pengaruh terhadap identitas perempuan Indonesia karena memicu terjadinya perubahan posisi
sosial perempuan pada setting bermasyarakat. Fenomena budaya dan globalisasi ini dapat
dikaji lebih spesifik lagi terutama pada kebudayaan Bali di mana perempuan bukan hanya
menjalankan dua peran, namun terdapat peran sebagai masyarakat adat pada sistem kebijakan
desa adat yang mengandung wewenang independen dan telah ditaati sejak dahulu. Keberadaan
sistem adat ini dapat diidentifikasi sebagai faktor utama dalam pelestarian nilai kebudayaan
Bali (Suyadnya, 2009).
Sejak dahulu, Bali dikenal sebagai tujuan wisata internasional yang identik dengan
keindahan alam eksotis dan eksistensi budaynyaa yang kental. Fondasi utama budaya yang
dianut oleh masyarakat Bali dibangun oleh adat istiadat dan agama Hindu-Bali sebagai agama
lokal yang tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan bermasyarakat (Miharja, 2017).
Dikarenakan besarnya arus globalisasi, pertumbuhan pariwisata di Bali diupayakan untuk
mempertahankan konsep wisata budaya sebagai tindakan preventif terjadinya perubahan dan
pergeseran kebudayaan Bali. Namun demikian, besarnya arus globalisasi dan tingginya tingkat
kunjungan wisatawan barat ke tanah Bali tetap mempengaruhi arah keberlangsungan budaya
aslinya. Sehingga, aspek yang terkena dampak perubahan bukan hanya pariwisata, namun juga
identitas masyarakat Bali atau yang dikenal sebagai unsur kebalian. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam budaya Bali pun sangat erat kaitannya dengan eksistensi peranan
perempuan di kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan istilah Bali, kata ‘wanita’ (perempuan) berasal dari kata ‘rakta swanita’
yang berarti benih perempuan. Hadriyani (1988), mengungkapkan bahwa jika ditaksir pada
konteks Hinduisme, arti dari istilah tersebut mengartikan bahwa perempuan itu lahir, hidup,
dan terikat oleh desa adat mereka (Suyadnya, 2009). Dalam kepercayaan ajaran Hindu-Bali,
perempuan dideskripsikan sebagai wujud dari intelektualitas, pengetahuan, kemakmuran, dan
memiliki kekuatan untuk menyempurnakan sikap laki-laki yang dianggap tidak sesuai dengan
jalur yang benar. Perempuan dalam agama Hindu lokal dipuja sebagai Dewi, yang meliputi
Dewi pencipta (Sarasvati), Dewi Pemelihara (Laksemi), dan Dewi pelebur (Parwati).
Gambaran tersebut merupakan nilai yang terkandung dalam kepercayaan masyarakat Bali di
mana perempuan pada dasarnya tidak dianggap sebagai individu yang lemah, melainkan secara
independen mampu menyelesaikan tanggung jawabnya sehari-hari terutama dalam berkeluarga
ataupun beraktivitas di luar rumah. Artinya, perempuan Bali yang memiliki keinginan untuk
mencapai tahap setara dengan laki-laki perlu mampu menempatkan self-esteem mereka sesuai
dengan emansipasi tanpa meninggalkan kewajibannya. Namun di sisi lain, terutama di
beberapa wilayah Bali yang masih sangat berpatok dan ketat pada penerapan kebudayaan,
golongan perempuan masih mengalami bias gender dan kedudukannya mengalami subordinasi
dikarenakan pengaruh dari tuntutan dan peraturan di lingkungan sosialnya (Setianingtyas et al.,
2017).
Salah satu fenomena subordinasi ini terdapat peran domestik dengan nilai-nilai budaya
yang cenderung memiliki paham patriarki (kapurusan), yaitu meliputi tafsiran sebagai berikut
(Suyadnya, 2009):
1. Pada masyarakat Bali, perempuan sedari kecil dididik dan dipersiapkan untuk kelak
menjadi istri ideal (anak luh luwih) yang mampu mengurus rumah tangganya dalam
berkeluarga dengan sempurna, sekalipun ia berupaya fokus menjalani peran publik
(mencari nafkah untuk keluarga) dan peran sosial (menuruti dan melayani kehidupan
bermasyarakat).
2. Menjadi istri (krama istri) yang ideal untuk suami (krama lanang). Sehingga mampu
menyenangkan hati suami, memahami kebutuhan suami terutama secara emosional,
menghargai keputusan suami, senantiasa mendampingi suami, mengelola keuangan
keluarga, dan memberikan pendapat kepada suami jika diminta.
3. Menjaga kualitas rumah tangganya agar terhindar dari konflik berkepanjangan.
Perceraian dalam budaya Bali masih cenderung tabu, masyarakat akan
mempertanyakan dan kemungkinan akan menyalahkan sang istri jika terjadi perceraian
dalam berkeluarga karena tidak dapat mengatasi permasalahan rumah tangganya.
Sedangkan dalam pandangan publik atau produktif, perempuan Bali dalam era
globalisasi memiliki hak untuk berperan dalam mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya.
Latar belakang perempuan Bali memiliki keinginan untuk memperoleh penghasilan bersumber
dari pemenuhan kebutuhan kesehariannya, memiliki keinginan untuk mencoba terjun ke dunia
karir, mengukur keterampilan pribadi, dan kemunculan pola pikir modern bahwa perempuan
yang berkarir dipandang lebih baik daripada mereka yang tinggal di rumah (Suyadnya, 2009).
Dalam menunjukkan perannya di setting sosial, perempuan Bali yang sudah menikah memiliki
kesempatan untuk menjadi anggota krama adat. Sebagai anggota adat, perempuan Bali
memiliki peranan khusus untuk mengelola berbagai kegiatan keagamaan yang diadakan di
suatu daerah sebagai bentuk pelayanan individu terhadap kehidupan sosialnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan Bali di era globalisasi
ini pada dasarnya memiliki tiga peran yaitu domestik, produksi dan sosial. Eksekusi peran-
peran tersebut direpresentasikan pada setiap perilaku mereka yang muncul dalam beraktivitas.
Oleh karenanya, berperilaku terdapat kemungkinan bahwa peran-peran yang dimiliki oleh
perempuan Bali saling kontradiktif sehingga menimbulkan konflik terhadap diri sendiri
(Suyadnya, 2009). Salah satu faktornya adalah terdapat perbedaan tuntutan dari lingkungan
yang mengutamakan peran tradisi dengan keinginan internal perempuan Bali. Contoh
fenomenanya adalah kekeliruan dalam merefleksikan pemahaman religius bahwa dalam hal
perkawinan terdapat konsep purusa dan predana yang dianut oleh masyarakat Bali sebagai
refleksi dari ajaran Agama Hindu tentang jiwa (purusa) yang identik dengan laki-laki dan
material (predana) yang identik dengan perempuan. Di mana dalam Konsep Hindu jiwa
melambangkan keabadian, materi sebagai sesuatu yang tidak kekal (Rahmawati, 2016). Jika
terdapat miskonsepsi dalam menafsirkan konsep tersebut, hal ini berpotensi terjadinya
kesenjangan di kehidupan sosial di masyarakat di mana perempuan Bali selalu menjadi sosok
yang didominasi oleh pihak laki- laki. Keadaan ini sangat kontradiktif dengan kesetaraan
gender yang menginginkan kebersamaan dan kesederajatan antara laki-laki dan perempuan.
Budaya, Gender, dan Peran Agama
Adanya peran gender yang tidak setara tersebut dikonstruksi oleh lingkungan budaya
Bali yang diajarkan kepada individu sejak lahir. Saat individu semakin bertambah dewasa,
mereka mempelajari perilaku dan pola aktivitas tertentu yang dianggap sesuai dengan jenis
kelamin mereka, dan mengadopsi peran atau gender tersebut (Matsumoto & Juang, 2013).
Salah satu variabel yang menentukan penilaian gender pada suatu lingkungan adalah
kepercayaan atau agama yang dianut. Diketahui bahwa ajaran dalam agama Hindu dengan
kebudayaan Bali tidak dapat dipisahkan karena merupakan suatu kesatuan yang menjadi
pedoman utama bagi kehidupan masyarakat Bali (Picard, 2017). Pernyataan ini pula didukung
oleh hasil penelitian Hostede (1980) yang menemukan bahwa tingginya tingkat maskulinitas
dalam suatu penerapan nilai budaya dapat dipengaruhi oleh tradisi beragama yang cenderung
memberikan hak peyoratif pada gender laki-laki. Tradisi dan hukum adat yang berlaku justru
bersifat kontradiktif dan tidak mencerminkan kesetaraan gender, walaupun pada dasarnya nilai
yang terkandung pada ajaran Hindu yang menjadi tidak pernah menyatakan bahwa laki-laki
mempunyai hak istimewa, melainkan pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki yang
tetap memiliki kedudukan yang sederajat (Rahmawati, 2016).
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sampai saat ini kenyataanya
perempuan Bali masih berada pada situasi dilema dalam menunjukkan identitas sosial yang
sebenarnya dikarenakan adanya konflik internal terhadap peranan ganda yang dimiliki. Faktor
potensial dalam menimbulkan kontradiksi antar peran perempuan Bali bersumber dari hukum
adat yang menerapkan nilai-nilai kebudayaan kebalian. Namun tentu aturan yang melekat di
budaya tertentu memiliki fungsi dan tujuan demi kebaikan penganutnya, berdasarkan
Koentjaraningrat (1971), setiap budaya pasti memiliki konsep yang berfungsi untuk
mengarahkan dan memotivasi anggota kelompok untuk berperilaku baik dalam hidup. Pada
budaya Bali, identitas sosial yang baik mampu menunjukkan keharmonisan hubungan antara
manusia lain, dengan alam lingkungan, dan penciptanya. Pegangan teguh terhadap nilai
tersebut dapat melindungi perempuan Bali dan identitas sosialnya dari ancaman dominasi
budaya global yang dapat berdampak kepada kebingungan peranan ganda dan berisiko
meninggalkan nilai-nilai budaya sepenuhnya (Suyadnya, 2009). Sehingga, perlu adanya daya
self-efficacy dari perempuan Bali untuk dapat mempertahankan implementasi nilai budaya
walaupun terdapat pengaruh globalisasi yang memengaruhi mereka dalam berperilaku sebagai
bentuk realisasi peran yang dimiliki (Verheijen & Putra, 2020).
Keajegan Perempuan Bali
Jika tingkat keajegan perempuan Bali dianalisis berdasarkan teori Matsumoto (2013),
budaya yang mempunyai penerapan nilai yang lebih ketat secara signifikan mempengaruhi
perbedaan tingkat konformitas yang dimiliki oleh individu, yaitu dengan gender perempuan
lebih bersifat konformis dan patuh terhadap aturan budaya dibandingkan dengan gender laki-
laki. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki sifat sosial lebih tinggi sehingga kepedulian
terhadap tuntutan eksternal merupakan unsur yang paling dominan dalam menentukan
keputusan untuk berperilaku dari berbagai alternatif (Weinschenk et al., 2018). Maka, teori
tersebut sesuai dengan fenomena konkret yang dialami oleh perempuan Bali yang memiliki
kelekatan tinggi dengan norma budayanya secara konsisten akan tetap memprioritaskan faktor
lingkungan sosial yang ia anut. Faktor tersebut meliputi tradisi, adat, masyarakat lain, atau
kebiasaan sosial. Sehingga, saat menjalankan kehidupan beraktivitas, perempuan Bali akan
mempertimbangkan keharmonisan tingkah laku untuk menunjukkan peranan ganda yang
mereka miliki tanpa melanggar dan bersifat kontradiktif dengan nilai kebudayaan Bali.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, perempuan Bali tidak menganggap bahwa globalisasi adalah
sesuatu yang perlu ditolak dan cenderung terbuka terhadap munculnya fungsi peran baru dalam
kehidupannya, yaitu peran produktif di luar rumah. Untuk meminimalisir konflik peran yang
dimiliki, perempuan Bali menunjukkan sikap lebih kritis dalam menunjukkan perilaku yang di
kehidupan sehari-hari. Jika menurut mereka nilai-nilai pada suatu peran tersebut jauh dari nilai
agama dan tradisi adat yang dianut, mereka cenderung mengesampingkannya dan
memprioritaskan peran fungsional mereka dalam berbudaya sebagai bentuk penerapan
keajegan terhadap budaya Bali. Namun jika nilai tersebut memungkinkan untuk diterapkan,
perempuan Bali mampu menyelaraskan peran gandanya di waktu yang bersamaan. Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa perempuan Bali sepenuhnya tidak merasa mengalami kesenjangan
gender karena mereka memaknai setiap perannya sebagai suatu kewajiban yang perlu dijalani
dalam mengabdi kepada nilai-nilai budaya yang akan selalu mereka pegang teguh.
DAFTAR PUSTAKA