Anda di halaman 1dari 23

BAB II

EFEKTIFITAS TERAPI MANITOL DIBANDINGKAN DEXAMETHASONE

DENGAN KASUS PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL PADA PASIEN

CEDERA KEPALA DITINJAU DARI ILMU KEDOKTERAN

2.1 Cedera Kepala

2.1.1 Definisi

Cedera kepala adalah kondisi dimana struktur kepala mengalami benturan

dari luar dan berpotensi menimbulkan gangguan pada fungsi otak. Beberapa

kondisi pada cedera kepala meliputi luka ringan, memar di kulit kepala, bengkak,

perdarahan, dislokasi, patah tulang tengkorak dan gegar otak, tergantung dari

mekanisme benturan dan parahnya cedera yang dialami (Ganz, 2011).

Trauma kepala (cedera kepala) merupakan salah satu masalah kesehatan

yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan

yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit

kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini

disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala

mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak (Irawan,.

et all. 2010).

2.1.2 Klasifikasi

Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada

kelompok usia muda. Angka terbesar kejadian cedera kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala atau cedera otak merupakan trauma yang

paling serius dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, diperlukan terapi yang cepat

dan tepat untuk mendapatkan outcome yang baik. Kerusakan otak pascatrauma

ditentukan oleh kombinasi cedera primer dan cedera sekunder.

Cedera primer adalah cedera yang terjadi ketika terjadinya trauma. Cedera

primer merupakan kerusakan yang diakibatkan oleh trauma mekanik langsung dan

aselerasi-deselerasi pada tulang kepala yang dapat menimbulkan fraktur tulang

kepala, robekan difus, robeknya pembuluh darah atau kerusakan neuron, akson,

dendrit dan lesi intrakranial pada jaringan otak. Cedera primer akibat kekuatan

mekanik pada tulang kepala dan otak pada saat trauma, menyebabkan terjadinya

cedera otak fokal atau difus. Cedera otak difus dibagi atas dua kategori yaitu brain

concussion dan diffuse axonal injury (DAI). Brain concussion adalah hilangnya

kesadaran yang berakhir < 6 jam, sedangkan DAI adalah koma traumatika yang

berakhir > 6 jam. Cedera otak fokal ada beberapa tipe yaitu brain contusion,

Epidural hematoma, Subdural hematoma, intraserebral hematoma. Cedera primer

sudah terjadi ketika pasien dilihat oleh tenaga medis/paramedis, karena itu cedera

primer tidak dapat dikurangi.

Sebaliknya dari cedera otak primer, cedera otak sekunder berkembang

sepanjang waktu dalam menit, jam, atau hari dari cedera primer yang mungkin

terjadi pada periode perioperatif, sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan

saraf. Penyebab cedera sekunder dapat sistemik atau intrakranial. Pencetus umum

dari cedera sekunder adalah hipoksia serebral dan iskemia. Penyebab sistemik
adalah hipoksemia, hiperkapnia, arterial hipotensi, anemia, hipoglikemia,

hiponatremia, dan imbalans osmotik, hipertemia, sepsis, koagulopati, hipertensi.

Cedera sekunder khas dengan adanya kaskade kompleks dari perubahan

molekuler dan biokimia yang membawa ke arah neuroinflamasi, edema otak, dan

kematian sel otak yang lambat. Hipoksia dan hipotensi merangsang dan

mengekalkan iskemia serebral serta cedera reperfusi, merupakan prediktor

independen terjadinya efek buruk setelah cedera kepala. Cedera sekunder

disebabkan oleh hal-hal berikut: a) disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia),

b) ketidakstabilan kardiovaskuler (hipotensi, curah jantung yang rendah), c)

peningkatan tekanan intrakranial, serta d) kekacauan biokimia (Bisri. 2013)

Berdasarkan tingkat keparahannya, cedera kepada dibagi menjadi tiga, yaitu

cedera kepala ringan, sedang, dan berat. Cedera kepala ringan dapat menyebabkan

gangguan sementara pada fungsi otak. Penderita dapat merasa mual, pusing,

linglung, atau kesulitan mengingat untuk beberapa saat. Penderita cedera kepala

sedang juga dapat mengalami kondisi yang sama, namun dalam waktu yang lebih

lama.

Di Amerika Serikat insiden trauma kepala adalah 200 per 100 000 orang per

tahun.4 Di Indonesia, walaupun belum tersedia data secara nasional, trauma

kepala juga merupakan kasus yang sangat sering dijumpai di setiap rumah sakit.

Pada tahun 2005, di RSCM terdapat 434 pasien trauma kepala ringan, 315 pasien

trauma kepala sedang, dan 28 pasien trauma kepala berat, sedangkan di RS Swasta

Siloam Gleaneagles terdapat 347 kasus trauma kepala secara keseluruhan. Di

Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ), pada tahun 2007, jumlah pasien trauma kepala
mencapai 125 orang dari 256 orang pasien rawat inap bagian saraf (Irawan,. et all.

2010).

Nilai GCS membagi cedera kepala Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak

Traumatika 121 menjadi kategori berat (GCS 3-8), sedang (GCS 9–12), ringan

(GCS 13–14), dan normal (GCS 15) (tabel 1).

Tabel 1. Hubungan Skor GCS dan Trauma

2.1.3 Diagnosis dan Prognosis

Diagnosa cedera kepala didapatkan dari riwayat trauma, pemeriksaan fisik

terdapat jejas trauma, adanya defisit neurologis, tanda vital yang tidak stabil,

laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, dan keluarnya cairan serebrospinal

dari hidung maupun telinga (Rachman,. Et all. 2015).

Terdapat berbagai cara penilaian prognosis trauma kepala, diantaranya

adalah dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dan Revised Trauma

Score (RTS). Penilaian GCS berdasarkan respon mata, verbal, dan motorik,

sedangkan penilaian RTS berdasarkan GCS, tekanan darah sistolik, dan frekuensi

nafas pasien. Namun, beberapa jurnal hanya menggunakan GCS dalam

menentukan tingkat keparahan trauma kepala (Rachman,. Et all. 2015).


Glasgow coma scale merupakan instrumen standar yang dapat digunakan

untuk mengukur tingkat kesadaran pasien trauma kepala. Glasgow coma scale

merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai acuan pengobatan, dan

dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien. Selain mudah dilakukan,

GCS juga memiliki peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal

trauma. Dari GCS dapat diperoleh infomasi yang efektif mengenai pasien trauma

kepala, kemampuan GCS dalam menentukan kondisi yang membahayakan jiwa

adalah 74,8%.5 Suatu penelitian yang mengevaluasi penggunaan GCS untuk

menilai prognosis jangka panjang menunjukkan validitas prediksi yang baik

dengan sensitivitas 79-97% dan spesifisitas 84-97%. (Rachman,. Et all. 2015).

Tabel 2. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS


Tabel 3. Penilaian Revised Trauma Score

2.1.4 Penatalaksanaan Cedera Kepala

Penatalaksaan awal yaitu berdasarkan protokol Advanced Trauma Life

Support, setelah stabil tatalaksana definitif dan monitoring harus segera dilakukan

berdasarkan panduan Brain Trauma Foundation (BTF). BTF Guideline 2007

memberikan panduan pengelolaan cedera kepala berat, salah satunya yaitu terapi

hiperosmolar. Dikatakan bahwa terapi cairan hiperosmolar yang digunakan yaitu

manitol, efektif mengontrol peningkatan tekanan intrakranial dengan dosis 0,25–1

gr/kgBB. (Rachman ,. Et all 2015).

2.2 Peningkatan Tekanan Intrakranial (Hipertensi Intrakranial)

2.2.1 Definisi

Tekanan intrakranial (TIK) adalah tekanan atau hubungan volume diantara

kranium dan isi kubah kranium. Volume kranium terdiri atas darah, jaringan otak,

dan cairan serebrospinal (CSS) (Fransisca, 2008).

Tekanan intrakranial merupakan jumlah total dari tekanan yang mewakili

volume jaringan otak, volume darah intrakranial dan cairan serebrospinalis.

Apabila volume dari salah satu faktor tadi meningkat dan tidak dapat

dikompensasi oleh kedua faktor yang lain, maka terjadilah tekanan tinggi

intrakranial (Iskandar,. 2002).


Nilai diatas 15 mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau

peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga

faktor, yaitu otak (sekitar 80% dari volume total), cairan serebrospinal (sekitar

10%) dan darah (sekitar 10%) (Joanna Beeckler, 2006 dalam sunardi, 2008).

Monro–Kellie doktrin menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak yang

berdasarkan volume yang tetap (Morton, et.al, 2005 dalam sunardi 2008).

2.2.2 Mekanisme

Kranium merupakan struktur yang keras, yang tidak dapat berekspansi.

Penambahan volume otak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial.

Ekspansi salah satu komponen intrakranial seperti otak, darah intravaskular, dan

cairan serebrospinal intrakranial akan disertai pengurangan komponen lainnya

(hipotesa Monro-Kellie).

Mekanisme kompensasi yang terjadi dengan terdapatnya peningkatan

volume otak, cairan serebrospinal akan didorong dari rongga subarahnoid dan

ventrikel lateral ke rongga subarahnoid spinal. Namun, pada titik tertentu dimana

mekanisme kompensasi sudah tidak dapat melakukan fungsinya lagi, maka

pembuluh darah akan ditekan dan aliran darah serebral akan berkurang. Jika

tekanan intrakranial mencapai 50–60 mmHg, maka akan mengenai arteri di

sirkulus Willis dan terjadi iskemik otak secara global, yang berakhir dengan

kematian otak (Rachman,. et all. 2015).

2.2.3 Patofisiologi

Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada

kelompok usia muda. Angka terbesar kejadian cedera kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala atau cedera otak merupakan trauma yang

paling serius dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, diperlukan terapi yang cepat

dan tepat untuk mendapatkan outcome yang baik. Kerusakan otak pascatrauma

ditentukan oleh kombinasi cedera primer dan cedera sekunder. (Bisri, 2013)

Cedera primer adalah cedera yang terjadi ketika terjadinya trauma. Cedera

primer merupakan kerusakan yang diakibatkan oleh trauma mekanik langsung dan

aselerasi-deselerasi pada tulang kepala yang dapat menimbulkan fraktur tulang

kepala, robekan difus, robeknya pembuluh darah atau kerusakan neuron, akson,

dendrit dan lesi intrakranial pada jaringan otak. Cedera primer akibat kekuatan

mekanik pada tulang kepala dan otak pada saat trauma, menyebabkan terjadinya

cedera otak fokal atau difus. Cedera otak difus dibagi atas dua kategori yaitu brain

concussion dan diffuse axonal injury (DAI). Brain concussion adalah hilangnya

kesadaran yang berakhir < 6 jam, sedangkan DAI adalah koma traumatika yang

berakhir > 6 jam. Cedera otak fokal ada beberapa tipe yaitu brain contusion,

Epidural hematoma, Subdural hematoma, intraserebral hematoma. Cedera primer

sudah terjadi ketika pasien dilihat oleh tenaga medis/paramedis, karena itu cedera

primer tidak dapat dikurangi.

Sebaliknya dari cedera otak primer, cedera otak sekunder berkembang

sepanjang waktu dalam menit, jam, atau hari dari cedera primer yang mungkin

terjadi pada periode perioperatif, sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan

saraf. Penyebab cedera sekunder dapat sistemik atau intrakranial. Pencetus umum

dari cedera sekunder adalah hipoksia serebral dan iskemia. Penyebab sistemik

adalah hipoksemia, hiperkapnia, arterial hipotensi, anemia, hipoglikemia,


hiponatremia, dan imbalans osmotik, hipertemia, sepsis, koagulopati, hipertensi.

Cedera sekunder khas dengan adanya kaskade kompleks dari perubahan molekuler

dan biokimia yang membawa ke arah neuroinflamasi, edema otak, dan kematian

sel otak yang lambat. Hipoksia dan hipotensi merangsang dan mengekalkan

iskemia serebral serta cedera reperfusi, merupakan prediktor independen

terjadinya efek buruk setelah cedera kepala. Cedera sekunder disebabkan oleh hal-

hal berikut:

a) disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia),

b) ketidakstabilan kardiovaskuler (hipotensi, curah jantung yang rendah),

c) peningkatan tekanan intrakranial, serta

d) kekacauan biokimia.

Peningkatan TIK >20 mmHg memegang peranan utama untuk perburukan

status neurologik melalui gangguan perfusi otak. Dalam usaha mengurangi

intensitas dan lama peningkatan TIK, infus mannitol telah direkomendasikan

sebagai first-line agent selama bertahun-tahun. Meningkatnya ketertarikan

penggunaan larutan salin hipertonik pada setting klinis, merupakan tantangan bagi

penggunaan mannitol.

Efektivitas mannitol terhadap mortalitas belum jelas, sebagaimana diketahui

dari review Cochrane. Menariknya, ada keterbatasan penelitian RCT yang

membandingkan mannitol dan salin hipertonik tentang kemampuannya

menurunkan TIK. Pada beberapa penelitian, volume infus tidak ekuimolar antara 2

cara pengobatan. Disebabkan karena besarnya pengerutan otak bergantung pada

besarnya gradien antara plasma dan kompartemen jaringan otak, maka


perbandingan tentang efektivitas mannitol dan salin hipertonik dalam mengurangi

TIK sulit diinterpretasi. (Bisri, 2013)

Masalah ini di alamatkan pada 2 penelitian crossover RCT, yang

menunjukkan lebih efektif pada TIK setelah infus salin hipertonik dibanding

mannitol. Pada 2 penelitian, laporan lebih lama waktu berlangsungnya penurunan

TIK setelah salin hipertonik dibanding mannitol, akan tetapi, kombinasi salin

hipertonik dengan larutan HES 6% atau dengan larutan dextran 6%.(Bisri, 2013)

Herniasi transtentorial (HTT) adalah suatu sindroma klinis yang terdiri dari

dilatasi pupil dan penurunan level kesadaran. Pada pasien dengan pemantauan

TIK, HTT kebanyakan terjadi pada pasien dengan peningkatan TIK, akan tetapi,

dapat juga terjadi pada pasien dengan TIK normal atau rendah. HTT dapat juga

didefinisikan secara anatomi atau radiologik sebagai protrusi lobus temporal

medial melalui tentorium serebri, dengan akibat penekanan batang otak, saraf

kranial, dan struktur pembuluh darah intrakranial utama. Kedua sindroma HTT

(tanpa atau dengan kenaikan TIK) dan peningkatan TIK akut yang terus menerus

adalah satu emergensi medis yang memerlukan tindakan segera dan efektif.

Mortalitas akibat TTH adalah tinggi, tapi terapi medikal dan bedah yang agresif

dapat menyelamatkan nyawa dan pemulihan neurologik yang berarti. (Bisri, 2013)

Pengelolaan medikal pada pemulihan TTH dan terapi peningkatan TIK telah

ditujukan pada beberapa intervensi termasuk hiperventilasi, penekanan metabolik,

posisi pasien, dan obat hiperosmoler. Tujuan intervensi ini untuk menurunkan

volume isi ruangan intrakranial termasuk CSF, darah, dan air otak dengan variasi
mekanisme untuk mengakomodasi lesi patologik. Obat hiperosmoler merupakan

cara terapi utama dalam pengelolaan peningkatan TIK dan TTH. (Bisri, 2013)

Obat hiperosmoler seperti mannitol dan salin hipertonik meningkatkan

osmolaritas serum tapi dikeluarkan dari otak karena adanya sawar darah otak,

menimbulkan perbedaan osmotik, dan air didorong keluar dan mengurangi volume

otak. Walaupun muncul bukti bahwa HS aman dan efektif untuk terapi TTH,

mekanisme kerja yang mendasarinya masih perlu dijelaskan. Tambahan

pertanyaan sekitar peran diuresis dalam pengelolaan TIK dengan cairan

hipertonik, mengarah kepada pertimbangan tentang penggunaan terapi hipertonik,

mannitol dan HS, pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik. (Bisri, 2013)

2.2.4 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang harus segera dilakukan yaitu menurunkan tekanan

intrakranial (Intracranial Pressure/ICP) dan mengoptimalkan tekanan perfusi

serebral (Cerebral Perfusion Pressure/CPP). CPP adalah selisih mean arterial

pressure (MAP) dan ICP (CPP = MAP – ICP). Nilai ICP harus <20mmHg, dan

target CPP50-70 mmHg. Dalam keadaan normal aliran darahserebral diatur oleh

autoregulasi, namun pada keadaan cedera kepala, autoregulasi terganggu sehingga

beresiko terjadi iskemik serebral bila hipotensi (Rachman,. et all. 2015).

Peningkatan TIK >20 mmHg memegang peranan utama untuk perburukan

status neurologik melalui gangguan perfusi otak. Dalam usaha mengurangi

intensitas dan lama peningkatan TIK, infus mannitol telah direkomendasikan

sebagai first-line agent selama bertahun-tahun. Meningkatnya ketertarikan

penggunaan larutan salin hipertonik pada setting klinis, merupakan tantangan bagi
penggunaan mannitol. Efektivitas mannitol terhadap mortalitas belum jelas,

sebagaimana diketahui dari review Cochrane. Menariknya, ada keterbatasan

penelitian RCT yang membandingkan mannitol dan salin hipertonik tentang

kemampuannya menurunkan TIK. Pada beberapa penelitian, volume infus tidak

ekuimolar antara 2 cara pengobatan. Disebabkan karena besarnya pengerutan otak

bergantung pada besarnya gradien antara plasma dan kompartemen jaringan otak,

maka perbandingan tentang efektivitas mannitol dan salin hipertonik dalam

mengurangi TIK sulit diinterpretasi (Bisri. 2013).

2.3 Terapi Manitol

2.3.1 Definisi

Manitol merupakan suatu derivat alkohol dari gula manosa yang

pertamakali ditemukan pada tahun 1961, dan sering diberikan sebagai salah satu

pilihan terapi cedera kepala berat dengan peningkatan tekanan intrakranial.

Manitol digunakan untuk mengendalikan peningkatan tekanan intrakranial dengan

dua keadaan. Penggunaan manitol pada keadaan yang pertama yaitu dengan

pemberian dosis tunggal bertujuan memberikan efek jangka pendek sehingga

dapat dilakukan prosedur diagnostik (CT-scan) dan intervensi (evakuasi masa lesi

intrakranial). Pada keadaan kedua manitol digunakan sebagai terapi jangka

panjang kasus peningkatan tekanan intrakranial (Rachman,. et all. 2015).

Mannitol digunakan oleh bedah saraf sejak tahun 1960an berkisar 3 dekade

hingga saat ini. Mannitol sangat luas digunakan untuk mengontrol hipertensi

intrakranial pada cedera otak traumatik. Mannitol efektif untuk mengontrol

hipertensi intrakranial dengan dosis 0,25–1 gr/kgbb. Mannitol dosis tunggal


memiliki keuntungan karena sangat efektif bila digunakan pada prosedur

diagnostik (CT-scan) atau untuk intervensi (pengangkatan tumor otak). Mannitol

juga dapat digunakan dalam jangka waktu lama sebagai terapi mengendalikan

hipertensi intrakranial (Bisri. 2013).

2.3.2 Mekanisme Kerja Manitol

Manitol dapat menurunkan tekanan intrakranial melalui dua mekanisme.

Manitol secara cepat menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi

viskositas darah dan mengurangi diameter pembuluh darah. Hal tersebut terjadi

sebagai kompensasi fungsi autoregulasi cerebral blood flow (CBF). Kadar CBF

dipertahankan melalui refleks vasokonstriksi, akibatnya terjadi penurunan volume

darah serebral dan penurunan tekanan intrakranial.

Pemberian manitol juga mengurangi tekanan intrakranial melalui

mekanisme osmotik, yang terjadi lebih lambat (15–30 menit), berhubungan

dengan pergerakan gradual kandungan air dari parenkim ke sirkulasi darah. Efek

manitol tersebut bertahan hingga 6 jam dan memerlukan sawar darah-otak yang

intak. Manitol dapat berakumulasi di daerah otak yang mengalami trauma, dimana

terjadi gangguan osmotik dan cairan bergerak dari kompartemen intravaskular ke

parenkim otak, yang kemungkinan mengakibatkan peningkatan tekanan

intrakranial.

Berbagai penelitian yang dilakukan pada manusia dan hewan diketahui

bahwa pemberian manitol memberikan efek menguntungkan terhadap kondisi

peningkatan tekanan intrakranial, CPP, CBF, dan metabolisme otak. Manitol juga

memberikan efek jangka pendek yang menguntungkan terhadap kondisi


neurologis. Meskipun demikian masih belum diketahui mekanisme pasti

bagaimana efek menguntungkan tersebut tercapai dan kemungkinan efek utama

manitol terhadap otak yaitu menyebabkan peningkatan volume plasma secara

cepat sehingga viskositas darah menurun, CBF meningkat, perfusi mikrosirkulasi

meningkat, dan terjadi peningkatan penghantaran oksigen ke otak.

Peningkatan volume plasma tersebut akan menyebabkan peningkatan

volume darah sistemik, sehingga terjadi peningkatan cardiac output dan tekanan

darah, hal tersebut kemudian diikuti dengan timbulnya efek diuretik yang kuat

yang dapat menyebabkan terjadinya hipovolemia. Berdasarkan suatu penelitian

manitol diketahui menyebabkan peningkatan tekanan perfusi serebral sebanyak

18% dan penurunan tekanan intraserebral sebanyak 21% tanpa mempengaruhi

tekanan darah arteri. Pada penelitian tersebut flow velocity pada arteri serebral

medial meningkat sebesar 15,6%. Efek osmotik manitol mulai timbul pada menit

ke 15 sampai dengan ke 30, dimana pada jeda waktu tersebut terbentuk gradien

antara plasma dan sel, efek tersebut bertahan selama periode yang bervariasi

antara 90 menit hingga 6 jam atau lebih tergantung pada kondisi klinis (Rachman,.

et all. 2015).

2.3.3 Dosis dan Sediaan Manitol

Manitol dapat digunakan dalam bentuk infus kontinyu atau secara bolus

berulang. Pemberian secara bolus lebih efektif dibanding infus kontinyu. Dosis

manitol yang diperlukan sehingga terjadi peningkatan CBF dan penurunan

tekanan intrakranial umumnya sekitar 0,5–1g/ kg berat badan. Meskipun


demikian, seringkali dosis kurang dari dosis anjuran tersebut sudah cukup untuk

menyebabkan perbaikan.

Pada pasien dewasa, 100ml larutan yang mengandung manitol 20g sebanyak

20% umumnya cukup untuk menimbulkan efek terapi. Dosis yang

direkomendasikan untuk pemberian manitol secara bolus adalah 0,25–1g/kg berat

badan. Saat ini, manitol tersedia dalam bentuk larutan 5%, 10%, 15%, dan 20%.

Bentuk sediaan yang paling sering digunakan adalah 15% dan 20%. Larutan

manitol 15% memiliki osmolaritas 940 mOsm/L (Rachman et all, 2015).

Tabel 4. Osmolaritas dan dosis Manitol

Osmolaritas normal pada serum 290 mOsm/lt dan normal BBB

osmotic gradient adalah 3 mOsm/L. Gradient ini dipertahankan oleh BBB.

Peningkatan osmolaritas darah sebanyak 10 mOsm/L akan memindahkan air

sebanyak 100–500 mL dari jaringan otak. Serum osmolaritas harus dipertahankan

antara 300–315mOsm/L. Apabila nilai osmolaritas kurang dari 300 mOsm/L tidak

akan efektif, akan tetapi apabila nilai osmolaritas lebih dari 315 mOsm/L akan

terjadi disfungsi renal dan neurologis. Suatu penelitian yang dilakukan pada

hewan coba anjing menunjukkan bahwa bila mannitol diberikan dengan kecepatan

2 mL/kgbb/menit dengan dosis: 1 gr/kg terjadi peningkatan osmolaritas sebesar 40


mOsm/L, 0,75 gr/kg terjadi peningkatan 32 mOsm/L, 0,5 gr/kg terjadi

peningkatan 21 mOsm/L, 0,25 gr/kg terjadi peningkatan 10 mOsm/L..

2.3.4 Cara Pemberian Manitol

Mannitol diberikan secara infus selama 15–20 menit. Selama pemberian

infus mannitol terjadi penurunan serum natrium, kalium, klorida, bikarbonat,

hemoglobin, hematokrit dan terjadi peningkatan osmolaritas serum, perubahan ini

terjadi lebih banyak sesuai dengan besarnya dosis mannitol.

Pemberian cepat mannitol 15–20% menimbulkan efek yang sama cepat,

mencapai maksimum intensitas setelah 30– 45 menit, dan kembali ke nilai dasar

setelah 2–12 jam. Osmolaritas meningkat 15–25 mOsm/L. Koefisien refleksi

sawar darah otak adalah 0,9. Efek sistemik dan serebral ini disebabkan karena

mekanisme sirkulasi, diuretik, dan reologik (Bisri, 2013).

Pada infus akut 15–20% mannitol meningkatkan curah jantung dan filling

pressure, dan secara cepat tapi sementara meningkatkan tekanan arteri dan CPP.

Curah jantung meningkat 30%, meningkatkan CBF. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa mannitol secara kuat mempengaruhi resistensi vaskuler

sistemik disebabkan efek reologiknya. Ini meningkatkan transpor oksigen di level

sistemik dan serebral (Bisri, 2013).

2.3.5 Efek Samping Terapi Manitol

Timbulnya hiperosmolaritas yang hanya terjadi pada “otak normal” dengan

sawar darah otak yang masih utuh, dikhawatirkan dapat menyebabkan

peningkatan volume otak pada daerah di sekitar jaringan yang rusak. Hal tersebut

lebih jauhnya akan menyebabkan timbulnya peningkatan tekanan osmotik pada


daerah otak yang rusak, sehingga terjadi peningkatan kadar air dalam otak,

volume otak kembali tinggi, dan terjadi rebound berupa peningkatan tekanan

intrakranial. (Rachman,. et all 2015)

Pada suatu penelitian meta-analisis diketahui bahwa pada pemberian manitol

rebound effect tersebut dapat terjadi. Manitol yang diekskresikan melalui

membran gromelorus tanpa diubah dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal

yang diduga berhubungan dengan tingginya osmolaritas pada tubulus, sehingga

terjadi nekrosis tubuler akut. Pada suatu penelitian didapatkan bahwa manitol

merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya gagal ginjal akut pada pasien

cedera kepala berat dalam terapi. Hipotensi arteri, sepsis, obat nefrotoksik, atau

adanya penyakit ginjal sebelumnya dapat meningkatkan risiko pasien mengalami

gagal ginjal akibat terapi hiperosmotik.1 Setelah pemberian manitol dapat timbul

penurunan volume cairan intravaskular yang berlebihan dan gagal ginjal sehingga

apabila terdapat kekhawatiran terjadinya hal tersebut maka dapat dipilih NaCl

hipertonik sebagai pilihan terapi alternatif. (Rachman,. et all 2015)

Pemberian manitol dapat menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit

berupa hiponatremia dan hipokalemia, yang kemudian diikuti hiponatremia akibat

efek diuretik kuat yang ditimbulkan. (Rachman,. et all 2015)

Berdasarkan penelitian terbaru tidak terdapat perbedaan efektivitas antara

pemberian manitol secara bolus intermiten dengan infus kontinyu. Pada penelitian

terbaru yang membandingkan efek manitol dengan barbiturat untuk

mengendalikan tekanan intrakranial yang tinggi akibat cedera kepala diketahui

bahwa manitol lebih baik dibanding barbiturat dalam mengendalikan tekanan


CPP, tekanan intraserebral, dan menurunkan angka kematian. (Rachman,. et all

2015)

Pada penelitian yang membandingkan penggunaan manitol dengan NaCl

hipertonik didapatkan manitol memiliki efek yang lebih rendah dalam mencegah

mortalitas. Suatu penelitian yang membandingkan manitol terhadap obat lain yang

menurunkan tekanan intrakranial dan membandingkan manitol dengan plasebo.

Kriteria inklusi yaitu penderita yang mengalami trauma kepala dengan GCS ≤ 11

yang diberikan manitol 20% sebanyak 15 ml/ kg selama 5 menit atau plasebo

(larutan saline 0,9%) dalam jumlah yang sama. Pada penelitian tersebut nilai RR

untuk terjadinya kematian yaitu 1.75% (CI 95% 0.48–6.38). (Rachman,. et all

2015)

Beberapa penelitian eksperimental menemukan bahwa larutan salin

hipertonik sebanding dengan manitol dalam menurunkan tekanan intrakranial.

Penelitian yang membandingkan pemberian salin 7,5% sebanyak 250 ml dengn

manitol 20% sebanyak 250 ml pada hewan coba domba, keduanya didapatkan

hasil yang sama dalam menurunkan tekanan intrakranial. Penelitian serupa

dilakukan pada kasus trauma kepala berat. Kedua agen hiperosmolar tersebut

diberikan dengan dosis 2 ml/kg untuk menurunkan tekanan intrakranial. Penelitian

serupa dilakukan pada kasus trauma kepala berat. Kedua agen hiperosmolar

tersebut diberikan dengan dosis 2 ml/kg untuk menurunkan tekanan intrakranial

baik menurunkan angka kejadian mortalitas. (Rachman,. et all 2015)

Penenlitian yang membandingkan penggunaan salin 23,4% sebanyak 30ml

dan didapatkan hasil bahwa larutan salin tersebut memiliki efektivitas yang sama
seperti penggunaan manitol 20% sebanyak 220ml pada penderita dengan

hipertensi intrakranial refraktorik. Terdapat penelitian RCT yang membandingkan

manitol dengan larutan salin hipertonik pada 20 pasien dengan tekanan

intrakranial >20 mmHg setelah sebelumnya mengalami trauma kepala. Setelah 60

menit pemberian melalui infus, tekanan intrakranial berkurang menjadi 14 mmHg

pada kelompok dengan pemberian manitol dan 10 mmHg pada kelompok salin

hipertonik. Penelitian lain menemukan bahwa larutan salin hipertonik lebih efektif

dalam menurunkan tekanan intrakranial jika manitol tidak berhasil menurunkan

tekanan intrakranial. (Rachman,. et all 2015)

Masalah penggunaan Mannitol adalah:

1) Efeknya berkurang pada pengulangan dosis: Mannitol menembus sawar

darah otak yang intact secara lambat, dan pada sawar darah otak yang rusak akan

lebih mudah menembus. Oleh karena itu, perbedaan osmotik akan berkurang.

Selanjutnya, osmolaritas intraseluler akan meningkat sebagai jawaban terhadap

meningkatnya osmolaritas ekstraseluler dan plasma. Dengan demikian,

dibutuhkan kenaikan plasma osmolaritas untuk mempertahankan perbedaan

tersebut.

2) Terjadi asidosis sistemik dan gagal ginjal disebabkan peningkatan

osmolaritas plasma. Osmolaritas plasma harus diperiksa secara reguler dan

osmolaritas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L untuk menghindari


komplikasi ini. Umumnya, komplikasi gagal ginjal terjadi bila osmolaritas 350–

360 mOsm/L.

3) Rebound tekanan intrakranial bila mannitol dihentikan:

Fenomena ini sering didiskusikan, tetapi jarang menimbulkan masalah

klinik. Secara teori, bila pengobatan mannitol dihentikan, pengurangan tibatiba

osmolaritas plasma dan adanya peningkatan osmolaritas pada cairan di dalam

jaringan otak akan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Untuk

menghindari hal ini, mannitol diberikan dalam dosis 0,25 gr/kg secara perlahan-

lahan. (Bisri, 2013).

2.4 Terapi Dexamethasone

2.4.1 Definisi

Deksametason merupakan kortikosteroid yang memiliki efek anti-inflamasi

paling kuat. Glukokortikoid sintetik yang terutama digunakansebagai anti radang

pada berbagai keadaan, termasuk penyakit kolagen dan keadaan alergi, digunakan

juga dalam bentuk garam asetat atau natrium fosfat. (Dorland Edisi 28)

Glukokortikoid sangat efektif pada ameliorating edema vasogenik yang

menyertai tumor, kondisi peradangan, dan gangguan lain yang terkait dengan

peningkatan permeabilitas sawar darah otak, termasuk manipulasi bedah. Namun,

steroid tidak berguna untuk mengobati edema sitotoksik dan merugikan pada

pasien dengan iskemia otak. Kerusakan tight junction endotel terutama

bertanggung jawab untuk pembentukan edema pada tumor otak (Husna dan

Dalhar, 2017).

2.4.2 Mekanisme Kerja Dexamethasone


Terapi kortikosteroid harus dikurangi karena interaksinya dengan aksis

hipotalamus-pituitari-adrenokortikal (HPA). Hipotalamus mensekresikan faktor

pelepasan kortikotropin, yang bekerja pada hipofisis anterior, di mana ia

merangsang sekresi adrenokortikootropin (ACTH). Kelenjar adrenalin dirangsang

oleh ACTH untuk melepaskan sekitar 20 mg kortisol per hari, dengan peningkatan

maksimal terjadi di pagi hari. Melalui mekanisme umpan balik negatif,

peningkatan sirkulasi kortisol menghasilkan penghambatan siklus dan menekan

aktivitasnya. Penekanan aksis HPA mempengaruhi kemampuan pasien untuk

merespon peristiwa stres akut dan secara kronis menyebabkan aksis menjadi

atrofi. (Nahaczewsk,. Et all 2004).

2.4.3 Dosis dan Sediaan Terapi Dexamethasone

Sediaan; Tablet : 0,5 mg, 0,75mg, 1mg, 1,5 mg, 2mg, 4mg,dan 6mg ;

Suspensi injeksi : 4mg / mL dan 10mg / mL ; Larutan oral : 0,5mg / 5mL ;

Konsentrat oral : 1mg / 1mL.

Dosis awal yang biasa tetapi empiris pada pasien hipertensi intrakranial

adalah bolus intravena 10 mg dexamethasone, diikuti oleh dosis pemeliharaan 4

mg diberikan melalui intravena (IV) rute setiap 6 jam (16 mg / hari) (Szabo &

Winkler, 1995).

Karena kedua penyerapan cepat dan lengkap dari saluran pencernaan, dosis

glukokortikoid oral dan parenteral adalah sama, dan terapi melalu intravena harus

dikonversi menjadi terapi oral pada kesempatan paling awal. Dosis harian

deksametason yang lebih tinggi dapat diberikan kepada pasien yang tidak
merespon dosis awal yang biasa. Respon pasien biasanya diukur dalam hal

peningkatan defisit neurologis dalam 48 jam. Kortikosteroid dapat menghasilkan

peningkatan gejala neurologis dan pengurangan edema serebral dalam 8 hingga 48

jam pertama. (Nahaczewsk, 2004)

Dalam beberapa tahun terakhir, dosis setinggi 100 mg per hari

dexamethasone telah digunakan sesekali dalam situasi yang dekat.(DeAngelis,

1994). Sebelum operasi, dosis mungkin meningkat menjadi 40 mg tetapi

seringkali perubahan dosis tidak dilakukan. Dosis intraoperatif biasanya tidak

relevan bagi pasien dengan tumor otak, karena penyesuaian tekanan intrakranial

dikelola oleh ahli anestesi dengan berbagai obat lain termasuk cairan IV, pressors,

dan ventilasi mekanis. Pascaoperasi, keputusan mengenai dosis dipengaruhi oleh

jenis tumor otak dan tingkat reseksi bedah, panjang operasi, dan komplikasi

intraoperatif lainnya, tetapi seringkali protokol dosis standar 4 mg IV dipesan

setiap 6 jam. (Nahaczewsk, 2004).

Deksametason adalah agen yang disukai karena sifat aktivitas

mineralokortikoidnya sangat rendah. Dosis awal yang biasa digunakan adalah 10

mg intravena atau melalui peroral, diikuti oleh 4 mg setiap 6 jam. Ini setara

dengan 20 kali fisiologis normal produksi kortisol. Tanggapan sering cepat dan

luar biasa, kadang-kadang dramatis, tetapi beberapa tumor kurang responsive.

(Husna dan Dalhar,. 2017)

Dosis yang lebih tinggi, hingga 96 mg per hari, dapat digunakan dengan

peluang lebih sukses pada kasus refrakter. Setelah beberapa hari penggunaan,

steroid harus dikurangi secara bertahap untuk menghindari komplikasi yang


berpotensi serius dari edema berulang dan supresi adrenal. Kortikosteroid juga

efektif untuk mengurangi edema otak yang berhubungan dengan radiasi otak,

perawatan radiosurgical, dan manipulasi bedah saraf. Pada pasien dengan cedera

kepala berat, penggunaan glukokortikoid tidak dianjurkan untuk mengurangi ICP.

Beberapa uji klinis acak secara konsisten menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak

memiliki nilai dalam pengobatan stroke iskemik. Manfaat penggunaan steroid juga

gagal pada pasien dengan perdarahan intraserebral (Husna dan Dalhar, 2017).

2.5 Perbandingan Terapi Manitol dengan Dexamethasone

Jika dilakukan perbandingan dari segi mekanisme kerja obat, efek samping,

serta harga obat dan cara kemudahan mendapat obat, terapi manitol lebih sering

digunakan dalam terapi peningkatan tekanan intrkranial. Disebutkan pada bab

sebelumnya, bahwa pada pasien dengan cedera kepala berat, penggunaan

glukokortikoid tidak dianjurkan untuk mengurangi ICP. Beberapa uji klinis acak

secara konsisten menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memiliki nilai dalam

pengobatan stroke iskemik.

Anda mungkin juga menyukai