2.1.1 Definisi
dari luar dan berpotensi menimbulkan gangguan pada fungsi otak. Beberapa
kondisi pada cedera kepala meliputi luka ringan, memar di kulit kepala, bengkak,
perdarahan, dislokasi, patah tulang tengkorak dan gegar otak, tergantung dari
yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan
kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini
disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala
mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak (Irawan,.
et all. 2010).
2.1.2 Klasifikasi
kelompok usia muda. Angka terbesar kejadian cedera kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala atau cedera otak merupakan trauma yang
paling serius dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, diperlukan terapi yang cepat
dan tepat untuk mendapatkan outcome yang baik. Kerusakan otak pascatrauma
Cedera primer adalah cedera yang terjadi ketika terjadinya trauma. Cedera
primer merupakan kerusakan yang diakibatkan oleh trauma mekanik langsung dan
kepala, robekan difus, robeknya pembuluh darah atau kerusakan neuron, akson,
dendrit dan lesi intrakranial pada jaringan otak. Cedera primer akibat kekuatan
mekanik pada tulang kepala dan otak pada saat trauma, menyebabkan terjadinya
cedera otak fokal atau difus. Cedera otak difus dibagi atas dua kategori yaitu brain
concussion dan diffuse axonal injury (DAI). Brain concussion adalah hilangnya
kesadaran yang berakhir < 6 jam, sedangkan DAI adalah koma traumatika yang
berakhir > 6 jam. Cedera otak fokal ada beberapa tipe yaitu brain contusion,
sudah terjadi ketika pasien dilihat oleh tenaga medis/paramedis, karena itu cedera
sepanjang waktu dalam menit, jam, atau hari dari cedera primer yang mungkin
saraf. Penyebab cedera sekunder dapat sistemik atau intrakranial. Pencetus umum
dari cedera sekunder adalah hipoksia serebral dan iskemia. Penyebab sistemik
adalah hipoksemia, hiperkapnia, arterial hipotensi, anemia, hipoglikemia,
molekuler dan biokimia yang membawa ke arah neuroinflamasi, edema otak, dan
kematian sel otak yang lambat. Hipoksia dan hipotensi merangsang dan
cedera kepala ringan, sedang, dan berat. Cedera kepala ringan dapat menyebabkan
gangguan sementara pada fungsi otak. Penderita dapat merasa mual, pusing,
linglung, atau kesulitan mengingat untuk beberapa saat. Penderita cedera kepala
sedang juga dapat mengalami kondisi yang sama, namun dalam waktu yang lebih
lama.
Di Amerika Serikat insiden trauma kepala adalah 200 per 100 000 orang per
kepala juga merupakan kasus yang sangat sering dijumpai di setiap rumah sakit.
Pada tahun 2005, di RSCM terdapat 434 pasien trauma kepala ringan, 315 pasien
trauma kepala sedang, dan 28 pasien trauma kepala berat, sedangkan di RS Swasta
Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ), pada tahun 2007, jumlah pasien trauma kepala
mencapai 125 orang dari 256 orang pasien rawat inap bagian saraf (Irawan,. et all.
2010).
Nilai GCS membagi cedera kepala Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak
Traumatika 121 menjadi kategori berat (GCS 3-8), sedang (GCS 9–12), ringan
terdapat jejas trauma, adanya defisit neurologis, tanda vital yang tidak stabil,
laserasi kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, dan keluarnya cairan serebrospinal
adalah dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) dan Revised Trauma
Score (RTS). Penilaian GCS berdasarkan respon mata, verbal, dan motorik,
sedangkan penilaian RTS berdasarkan GCS, tekanan darah sistolik, dan frekuensi
untuk mengukur tingkat kesadaran pasien trauma kepala. Glasgow coma scale
merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai acuan pengobatan, dan
dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien. Selain mudah dilakukan,
GCS juga memiliki peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal
trauma. Dari GCS dapat diperoleh infomasi yang efektif mengenai pasien trauma
Support, setelah stabil tatalaksana definitif dan monitoring harus segera dilakukan
memberikan panduan pengelolaan cedera kepala berat, salah satunya yaitu terapi
2.2.1 Definisi
kranium dan isi kubah kranium. Volume kranium terdiri atas darah, jaringan otak,
Apabila volume dari salah satu faktor tadi meningkat dan tidak dapat
dikompensasi oleh kedua faktor yang lain, maka terjadilah tekanan tinggi
faktor, yaitu otak (sekitar 80% dari volume total), cairan serebrospinal (sekitar
10%) dan darah (sekitar 10%) (Joanna Beeckler, 2006 dalam sunardi, 2008).
berdasarkan volume yang tetap (Morton, et.al, 2005 dalam sunardi 2008).
2.2.2 Mekanisme
Ekspansi salah satu komponen intrakranial seperti otak, darah intravaskular, dan
(hipotesa Monro-Kellie).
volume otak, cairan serebrospinal akan didorong dari rongga subarahnoid dan
ventrikel lateral ke rongga subarahnoid spinal. Namun, pada titik tertentu dimana
pembuluh darah akan ditekan dan aliran darah serebral akan berkurang. Jika
sirkulus Willis dan terjadi iskemik otak secara global, yang berakhir dengan
2.2.3 Patofisiologi
kelompok usia muda. Angka terbesar kejadian cedera kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala atau cedera otak merupakan trauma yang
paling serius dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, diperlukan terapi yang cepat
dan tepat untuk mendapatkan outcome yang baik. Kerusakan otak pascatrauma
ditentukan oleh kombinasi cedera primer dan cedera sekunder. (Bisri, 2013)
Cedera primer adalah cedera yang terjadi ketika terjadinya trauma. Cedera
primer merupakan kerusakan yang diakibatkan oleh trauma mekanik langsung dan
kepala, robekan difus, robeknya pembuluh darah atau kerusakan neuron, akson,
dendrit dan lesi intrakranial pada jaringan otak. Cedera primer akibat kekuatan
mekanik pada tulang kepala dan otak pada saat trauma, menyebabkan terjadinya
cedera otak fokal atau difus. Cedera otak difus dibagi atas dua kategori yaitu brain
concussion dan diffuse axonal injury (DAI). Brain concussion adalah hilangnya
kesadaran yang berakhir < 6 jam, sedangkan DAI adalah koma traumatika yang
berakhir > 6 jam. Cedera otak fokal ada beberapa tipe yaitu brain contusion,
sudah terjadi ketika pasien dilihat oleh tenaga medis/paramedis, karena itu cedera
sepanjang waktu dalam menit, jam, atau hari dari cedera primer yang mungkin
saraf. Penyebab cedera sekunder dapat sistemik atau intrakranial. Pencetus umum
dari cedera sekunder adalah hipoksia serebral dan iskemia. Penyebab sistemik
Cedera sekunder khas dengan adanya kaskade kompleks dari perubahan molekuler
dan biokimia yang membawa ke arah neuroinflamasi, edema otak, dan kematian
sel otak yang lambat. Hipoksia dan hipotensi merangsang dan mengekalkan
terjadinya efek buruk setelah cedera kepala. Cedera sekunder disebabkan oleh hal-
hal berikut:
d) kekacauan biokimia.
penggunaan larutan salin hipertonik pada setting klinis, merupakan tantangan bagi
penggunaan mannitol.
menurunkan TIK. Pada beberapa penelitian, volume infus tidak ekuimolar antara 2
menunjukkan lebih efektif pada TIK setelah infus salin hipertonik dibanding
TIK setelah salin hipertonik dibanding mannitol, akan tetapi, kombinasi salin
hipertonik dengan larutan HES 6% atau dengan larutan dextran 6%.(Bisri, 2013)
Herniasi transtentorial (HTT) adalah suatu sindroma klinis yang terdiri dari
dilatasi pupil dan penurunan level kesadaran. Pada pasien dengan pemantauan
TIK, HTT kebanyakan terjadi pada pasien dengan peningkatan TIK, akan tetapi,
dapat juga terjadi pada pasien dengan TIK normal atau rendah. HTT dapat juga
medial melalui tentorium serebri, dengan akibat penekanan batang otak, saraf
kranial, dan struktur pembuluh darah intrakranial utama. Kedua sindroma HTT
(tanpa atau dengan kenaikan TIK) dan peningkatan TIK akut yang terus menerus
adalah satu emergensi medis yang memerlukan tindakan segera dan efektif.
Mortalitas akibat TTH adalah tinggi, tapi terapi medikal dan bedah yang agresif
dapat menyelamatkan nyawa dan pemulihan neurologik yang berarti. (Bisri, 2013)
Pengelolaan medikal pada pemulihan TTH dan terapi peningkatan TIK telah
posisi pasien, dan obat hiperosmoler. Tujuan intervensi ini untuk menurunkan
volume isi ruangan intrakranial termasuk CSF, darah, dan air otak dengan variasi
mekanisme untuk mengakomodasi lesi patologik. Obat hiperosmoler merupakan
cara terapi utama dalam pengelolaan peningkatan TIK dan TTH. (Bisri, 2013)
osmolaritas serum tapi dikeluarkan dari otak karena adanya sawar darah otak,
menimbulkan perbedaan osmotik, dan air didorong keluar dan mengurangi volume
otak. Walaupun muncul bukti bahwa HS aman dan efektif untuk terapi TTH,
mannitol dan HS, pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik. (Bisri, 2013)
2.2.4 Penatalaksanaan
pressure (MAP) dan ICP (CPP = MAP – ICP). Nilai ICP harus <20mmHg, dan
target CPP50-70 mmHg. Dalam keadaan normal aliran darahserebral diatur oleh
penggunaan larutan salin hipertonik pada setting klinis, merupakan tantangan bagi
penggunaan mannitol. Efektivitas mannitol terhadap mortalitas belum jelas,
bergantung pada besarnya gradien antara plasma dan kompartemen jaringan otak,
2.3.1 Definisi
pertamakali ditemukan pada tahun 1961, dan sering diberikan sebagai salah satu
dua keadaan. Penggunaan manitol pada keadaan yang pertama yaitu dengan
dapat dilakukan prosedur diagnostik (CT-scan) dan intervensi (evakuasi masa lesi
Mannitol digunakan oleh bedah saraf sejak tahun 1960an berkisar 3 dekade
hingga saat ini. Mannitol sangat luas digunakan untuk mengontrol hipertensi
juga dapat digunakan dalam jangka waktu lama sebagai terapi mengendalikan
viskositas darah dan mengurangi diameter pembuluh darah. Hal tersebut terjadi
sebagai kompensasi fungsi autoregulasi cerebral blood flow (CBF). Kadar CBF
dengan pergerakan gradual kandungan air dari parenkim ke sirkulasi darah. Efek
manitol tersebut bertahan hingga 6 jam dan memerlukan sawar darah-otak yang
intak. Manitol dapat berakumulasi di daerah otak yang mengalami trauma, dimana
intrakranial.
peningkatan tekanan intrakranial, CPP, CBF, dan metabolisme otak. Manitol juga
volume darah sistemik, sehingga terjadi peningkatan cardiac output dan tekanan
darah, hal tersebut kemudian diikuti dengan timbulnya efek diuretik yang kuat
tekanan darah arteri. Pada penelitian tersebut flow velocity pada arteri serebral
medial meningkat sebesar 15,6%. Efek osmotik manitol mulai timbul pada menit
ke 15 sampai dengan ke 30, dimana pada jeda waktu tersebut terbentuk gradien
antara plasma dan sel, efek tersebut bertahan selama periode yang bervariasi
antara 90 menit hingga 6 jam atau lebih tergantung pada kondisi klinis (Rachman,.
et all. 2015).
Manitol dapat digunakan dalam bentuk infus kontinyu atau secara bolus
berulang. Pemberian secara bolus lebih efektif dibanding infus kontinyu. Dosis
menyebabkan perbaikan.
Pada pasien dewasa, 100ml larutan yang mengandung manitol 20g sebanyak
badan. Saat ini, manitol tersedia dalam bentuk larutan 5%, 10%, 15%, dan 20%.
Bentuk sediaan yang paling sering digunakan adalah 15% dan 20%. Larutan
antara 300–315mOsm/L. Apabila nilai osmolaritas kurang dari 300 mOsm/L tidak
akan efektif, akan tetapi apabila nilai osmolaritas lebih dari 315 mOsm/L akan
terjadi disfungsi renal dan neurologis. Suatu penelitian yang dilakukan pada
hewan coba anjing menunjukkan bahwa bila mannitol diberikan dengan kecepatan
mencapai maksimum intensitas setelah 30– 45 menit, dan kembali ke nilai dasar
sawar darah otak adalah 0,9. Efek sistemik dan serebral ini disebabkan karena
Pada infus akut 15–20% mannitol meningkatkan curah jantung dan filling
pressure, dan secara cepat tapi sementara meningkatkan tekanan arteri dan CPP.
peningkatan volume otak pada daerah di sekitar jaringan yang rusak. Hal tersebut
volume otak kembali tinggi, dan terjadi rebound berupa peningkatan tekanan
terjadi nekrosis tubuler akut. Pada suatu penelitian didapatkan bahwa manitol
merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya gagal ginjal akut pada pasien
cedera kepala berat dalam terapi. Hipotensi arteri, sepsis, obat nefrotoksik, atau
gagal ginjal akibat terapi hiperosmotik.1 Setelah pemberian manitol dapat timbul
penurunan volume cairan intravaskular yang berlebihan dan gagal ginjal sehingga
apabila terdapat kekhawatiran terjadinya hal tersebut maka dapat dipilih NaCl
pemberian manitol secara bolus intermiten dengan infus kontinyu. Pada penelitian
2015)
hipertonik didapatkan manitol memiliki efek yang lebih rendah dalam mencegah
mortalitas. Suatu penelitian yang membandingkan manitol terhadap obat lain yang
Kriteria inklusi yaitu penderita yang mengalami trauma kepala dengan GCS ≤ 11
yang diberikan manitol 20% sebanyak 15 ml/ kg selama 5 menit atau plasebo
(larutan saline 0,9%) dalam jumlah yang sama. Pada penelitian tersebut nilai RR
untuk terjadinya kematian yaitu 1.75% (CI 95% 0.48–6.38). (Rachman,. et all
2015)
manitol 20% sebanyak 250 ml pada hewan coba domba, keduanya didapatkan
dilakukan pada kasus trauma kepala berat. Kedua agen hiperosmolar tersebut
serupa dilakukan pada kasus trauma kepala berat. Kedua agen hiperosmolar
dan didapatkan hasil bahwa larutan salin tersebut memiliki efektivitas yang sama
seperti penggunaan manitol 20% sebanyak 220ml pada penderita dengan
pada kelompok dengan pemberian manitol dan 10 mmHg pada kelompok salin
hipertonik. Penelitian lain menemukan bahwa larutan salin hipertonik lebih efektif
darah otak yang intact secara lambat, dan pada sawar darah otak yang rusak akan
lebih mudah menembus. Oleh karena itu, perbedaan osmotik akan berkurang.
tersebut.
360 mOsm/L.
menghindari hal ini, mannitol diberikan dalam dosis 0,25 gr/kg secara perlahan-
2.4.1 Definisi
pada berbagai keadaan, termasuk penyakit kolagen dan keadaan alergi, digunakan
juga dalam bentuk garam asetat atau natrium fosfat. (Dorland Edisi 28)
menyertai tumor, kondisi peradangan, dan gangguan lain yang terkait dengan
steroid tidak berguna untuk mengobati edema sitotoksik dan merugikan pada
bertanggung jawab untuk pembentukan edema pada tumor otak (Husna dan
Dalhar, 2017).
oleh ACTH untuk melepaskan sekitar 20 mg kortisol per hari, dengan peningkatan
merespon peristiwa stres akut dan secara kronis menyebabkan aksis menjadi
Sediaan; Tablet : 0,5 mg, 0,75mg, 1mg, 1,5 mg, 2mg, 4mg,dan 6mg ;
Dosis awal yang biasa tetapi empiris pada pasien hipertensi intrakranial
mg diberikan melalui intravena (IV) rute setiap 6 jam (16 mg / hari) (Szabo &
Winkler, 1995).
Karena kedua penyerapan cepat dan lengkap dari saluran pencernaan, dosis
glukokortikoid oral dan parenteral adalah sama, dan terapi melalu intravena harus
dikonversi menjadi terapi oral pada kesempatan paling awal. Dosis harian
deksametason yang lebih tinggi dapat diberikan kepada pasien yang tidak
merespon dosis awal yang biasa. Respon pasien biasanya diukur dalam hal
relevan bagi pasien dengan tumor otak, karena penyesuaian tekanan intrakranial
dikelola oleh ahli anestesi dengan berbagai obat lain termasuk cairan IV, pressors,
jenis tumor otak dan tingkat reseksi bedah, panjang operasi, dan komplikasi
mg intravena atau melalui peroral, diikuti oleh 4 mg setiap 6 jam. Ini setara
dengan 20 kali fisiologis normal produksi kortisol. Tanggapan sering cepat dan
Dosis yang lebih tinggi, hingga 96 mg per hari, dapat digunakan dengan
peluang lebih sukses pada kasus refrakter. Setelah beberapa hari penggunaan,
efektif untuk mengurangi edema otak yang berhubungan dengan radiasi otak,
perawatan radiosurgical, dan manipulasi bedah saraf. Pada pasien dengan cedera
Beberapa uji klinis acak secara konsisten menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak
memiliki nilai dalam pengobatan stroke iskemik. Manfaat penggunaan steroid juga
gagal pada pasien dengan perdarahan intraserebral (Husna dan Dalhar, 2017).
Jika dilakukan perbandingan dari segi mekanisme kerja obat, efek samping,
serta harga obat dan cara kemudahan mendapat obat, terapi manitol lebih sering
glukokortikoid tidak dianjurkan untuk mengurangi ICP. Beberapa uji klinis acak