Anda di halaman 1dari 16

1.

Hadits Arbain

Hadits Arba’in Nawawiyah adalah kumpulan 40 hadits Nabi saw yang dikumpulkan oleh
Imam Nawawi ra. dan merupakan kitab yang tidak asing bagi kita umat Islam, bukan hanya
di Indonesia namun di seluruh dunia. Umat Islam mengenalnya dan akrab dengannya, karena
banyak dibahas oleh para ulama dan menjadi rujukan dalam menyebarkan ajaran Islam
kepada kaum muslimin berkaitan dengan kehidupan beragama, ibadah, muamalah dan
syariah.

Mungkin Imam Nawawi dalam mengumpulkan hadits-hadits ini ter inspirasi dengan
hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Ali, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin
Jabal, Abi Darda, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-
Khudhri –semoga Allah meridhai mereka semua- dari berbagai metode periwayatan- bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menghafal dari umatku 40 hadits –yang berisi
di dalamnya- akan perkara agamanya, maka Allah akan membangkitkannya di hari kiamat
nanti bersama golongan para fuqaha dan ulama”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Allah akan
membangkitkannya sebagai seorang faqih dan alim”. Dan dalam riwayat Abu Darda, “Aku
pada hari kiamat akan menjadi pemberi syafaat dan saksi“. Dan dalam riwayat Ibnu Mas’ud,
“Dikatakan kepadanya: Masuklah kamu pada pintu mana yang kamu suka”. Dan dalam
riwayat Ibnu Umar, “Akan ditulis bersama golongan para ulama dan dibangkitkan bersama
para syuhada”.

Walaupun para huffazh al-hadits melemahkan kedudukan hadits di atas seperti imam
Abdullah bin Al-Mubarak, Ad-Daruqutni, Al-Hakim, Abu Nu’aim dan para ulama lainnya
dari ulama terdahulu dan sekarang, namun imam Nawawi tetap mengambilnya karena –
seperti yang disepakati oleh ulama lainnya- boleh mengambil hadits dhaif (lemah) jika hanya
berkaitan dengan fadlail a’mal (perbuatan yang diutamakan). Meskipun demikian Imam
Nawawi tidak hanya bersandar pada hadits tersebut di atas namun berpedoman pada hadits
lainnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadits shahih, “Agar dapat disampaikan
orang yang menyaksikan kepada orang yang tidak menyaksikan”. Dan hadits Rasul lainnya,
“Allah memberkahi seseorang yang mendengar sabdaku, lalu dia sadar dan menunaikannya
seperti yang didengarnya”. Karena itulah imam Nawawi mencoba mengumpulkan 40 hadits,
mengikuti dan meneladani apa yang disampaikan Rasulullah saw dan yang banyak dilakukan
oleh para ulama terdahulu.

Karena sebelumnya para ulama banyak mengumpulkan 40 hadits berkaitan dengan


ushuluddin (dasar-dasar agama), sebagian lainnya mengumpulkan pada hadits yang berkaitan
dengan cabang-cabang ilmu, sebagian lainnya pada masalah jihad, sebagian lainnya pada
masalah adab (etika dan akhlaq) dan sebagian lainnya juga ada yang mengumpulkan pada
hadits-hadits tentang khutbah Rasulullah saw, semuanya memiliki tujuan yang baik, karena
itu Imam Nawawi juga ingin berkecimpung dalam mengumpulkan 40 hadits yang mencakup
segala aspek kehidupan, berkaitan dengan kaidah agama yang agung, aqidah dan syariah,
ibadah dan muamalah. Namun demikian, untuk melegalisasikan kebenaran hadits ini, imam
Nawawi tidak mengambil hadits dari yang dhaif kecuali berusaha mengambil atau
mengumpulkan 40 hadits dari hadits-hadits yang shahih, lebih banyak dari hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim.

Imam Nawawi mengumpulkan 40 hadits dengan tidak menyebutkan secara lengkap


sanad-sanadnya; guna mempermudah menghafal dan lebih luas manfaatnya. Dan bagi kita
sebagai umat disarankan untuk mengambil, mempelajari dan menghafal hadits-hadits
tersebut, karena memiliki komprehensivitas dalam kehidupan agama dan akhirat, ketaatan
dan urusan duniawi.

2. Biografi imam Annawawi

Imam Nawawi dijuluki dengan Al-imam Al-hafizh al-auhad (satu-satunya) al-qudwah


(tauladan) Syaikhul Islam (syaikh islam) ilmu awliya (pemimpin para wali) Muhyiddin
( pemberi kehidupan agama) Abu Zakariya (Bapaknya Zakaria) Yahya bin Syaraf bin Muri
Al-Khuzami Al-Hawaribi As-Syafi’i. Beliau lahir pada bulan Muharram tahun 631H.

Pada tahun 649, atau pada umur 10 tahun beliau berkelana menuju kota Damaskus dan
tinggal di sana untuk menuntut ilmu, menghafal kitab at-tanbiih dalam kurun waktu 4,5
bulan, menghafal kitab al-muhadzdzab dalam kurun setengah tahun di hadapan gurunya Al-
Kamal bin Ahmad, kemudian menunaikan ibadah haji bersama orang tuanya dan tinggal di
kota Madinah selama satu setengah bulan, dan menuntut ilmu di sana. Dikisahkan oleh
Syeikh Abul Hasan bin Al-Atthar bahwa imam Nawawi setiap belajar 12 mata pelajaran dan
menghafalnya di hadapan guru-gurunya dengan syarah yang begitu gamblang dan benar; dua
pelajaran pada kitab al-wasith, satu pelajaran kitab al-muhadzab, satu pelajaran pada kitab al-
jam’u baina as-shahihain, satu pelajaran pada kitab shahih Muslim, satu pelajaran pada kitab
al-Luma’ karangan Ibnu Jana, satu pelajaran pada kitab ishlahul mantiq, satu pelajaran pada
kitab tashrif, satu pelajaran pada kitab ushul fiqh, satu pelajaran pada kitab “Asmaur rijal”,
satu pelajaran pada kitab ushuluddin.

Imam Nawawi berkata, “Saya berusaha melekatkan diri dalam menjelaskan sesuatu yang
sulit dipahami, menjelaskan ungkapan yang samar dan menertibkan tata bahasa, dan
Alhamdulillah Allah memberkahi waktu yang aku miliki, namun suatu ketika terbetik dalam
hati ingin bergelut dalam ilmu kedokteran sehingga aku pun sibuk dengan ilmu perundang-
undangan, sehingga aku merasa telah menzhalimi diri sendiri dan hari-hari selanjutnya aku
tidak mampu melakukan tugas; akhirnya aku pun rindu pada ilmu yang sebelumnya telah aku
pelajari, aku jual kitab perundang-undangan sehingga hatiku kembali bersinar.

3. Hadist Arbain ke-10


A. Lafadz Hadist
ٌ‫هللا َت َعالَى َطيِّب‬ َ َّ‫ إِن‬: ‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫ َقا َل َرس ُْو ُل‬: ‫َعنْ أَ ِبي ه َُري َْر َة َرضِ َي هللاُ َع ْن ُه َقا َل‬
َ ‫هللا‬
‫ َيا أَ ُّي َها الرُّ ُس ُل ُكلُوا‬, : ‫ َوإِنَّ هللاَ أَ َم َر ْالم ُْؤ ِم ِني َْن ِب َما أَ َم َر ِب ِه ْالمُرْ َسلِي َْن َف َقا َل َت َعالَى‬،ً‫الَ َي ْق َب ُل إِالَّ َطيِّبا‬
ِ ‫ َيا أَ ُّي َها الَّ ِذي َْن آ َم ُنوا ُكلُوا مِنْ َط ِّي َبا‬ , : ‫ َوقاَ َل َتعَ الَى‬ – ً ‫صالِحا‬
ُ ‫ت َما َر َز ْق َنا‬
‫ ُث َّم‬ – ‫ك ْم‬ َ ‫ت َواعْ َملُوا‬ َّ ‫م َِن‬
ِ ‫الط ِّي َبا‬
ْ ‫ث أَ ْغبَرَ َي ُم ُّد يَدَ ْي ِه إِلَى ال َّسمَا ِء يا َ رَ بِّ يَا رَ بِّ َوم‬
. ‫َطعَ ُم ُ=ه حَ رَ ا ٌم َو َم ْشرَ ُب ُه حَ رَ ا ٌم َو َم ْل َب ُس ُه حَ رَ ا ٌم َو ُغ ِّذيَ ِبا ْلحَ رَ ِام َفأ َ َّنى يُسْ َتجَ ابُ لَ ُه‬ َ َ‫َذ َكرَ الرَّ ُج َل يُطِ ْي ُل ال َّس َفرَ أَ ْشع‬
]‫[رواه مسلم‬
B. Terjemah hadits

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi


wasallam bersabda : Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang
baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana dia
memerintahkan para rasul-Nya dengan firmannya : Wahai Para Rasul makanlah yang
baik-baik dan beramal shalihlah. Dan Dia berfirman : Wahai orang-orang yang beriman
makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau
menyebutkan ada seseorang melakukan perjalan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu.
Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata : Yaa Robbku, Ya Robbku,
padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya
dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya
akan dikabulkan. (Riwayat Muslim).
C. Kosa kata hadist.
 Terkabulkan = ‫يُسْ َت َجابُ لَ ُه‬

 َ ‫ُغ ِّذ‬
Dikenyangkan = ‫ي‬

 Menadahkan tangan = ‫َي ُم ُّد َي َد ْي ِه‬

 Berdebu = ‫أَ ْغ َب َر‬

 Baik = ٌ‫َطيِّب‬
 َ ‫أَ ْش َع‬
Berambut kusut = ‫ث‬

 Segala sesuatu yang baik = ‫ت‬ َّ


ِ ‫الط ِّي َبا‬
D. Syarah Hadist

“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik”. Yakni: Maha Baik
pada dzat, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya. Dan Dia hanya menerima yang baik, pada
dzatnya dan dalam hal perolehannya. Adapun hal yang buruk pada dzatnya, contohnya
khamr (minuman keras). Atau dalam hal perolehannya, contohnya adalah mendapatkan
harta dengan jalan riba, maka Allah tidak menerima hal-hal tersebut.

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mu’minin untuk melakukan perintah yang


disampaikan kepada para nabi.” Lalu beliau membaca firman Allah subhanahu wata’ala,
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amalan-amalan
yang shaleh.” Allah memerintahkan kepada para rasul yang mana perintah ini juga
berlaku untuk kaum mukminin, yaitu agar mereka memakan dari yang baik-baik, adapun
yang jelek/busuk sesungguhnya hal itu diharamkan atas mereka, sebagaimana firman
Allah di dalam mensifatkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk.” (Al A’raaf: 157).
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan seseorang yang
memakan barang haram bahwasanya ia akan terjauhkan dari terkabulkan doanya,
walaupun ia mendapati sebagian sebab terkabulnya doanya, seperti melakukan safar yang
panjang dan berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit, dan memohon, “Wahai
Rabb, wahai Rabb”, (akan tetapi) makanan, minuman, pakaian, dan ditumbuhbesarkan
oleh hal-hal yang haram, maka dari mana akan terkabulkan doanya. Orang lelaki ini
bersifat dengan empat sifat:

1. Bahwasanya ia melakukan safar yang panjang dan safar itu merupakan tempat
dikabulkannya doa bagi orang yang berdoa.

2. Bahwasanya rambutnya kusut masai berdebu, dan Allah subhanahu wata’ala berada di
hadapan orang-orang yang hati mereka itu luluh redam karenanya dan Dia memandang
kepada hamba-Nya pada hari Arafah seraya berfirman, “Mereka mendatangiKu dalam
keadaan kusut masai berdebu.” Dan kondisi ini juga berfungsi sebagai sebab
dikabulkannya doa.

3. Bahwasanya ia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan membentangkan kedua


tangan ke langit, itu juga penyebab diijabahinya doa, karena sesungguhnya Allah
subhanahu wata’ala malu kepada hamba-Nya, apabila ia mengangkat kedua tangannya
kemudian menolaknya (tidak mengabulkannya).

4. Doanya kepada-Nya (Wahai Rabb, Wahai Rabb) ini adalah bentuk tawassul kepada
Allah dengan kerububiyahan-Nya, dan itu bagian dari sebab terkabulkannya doa, akan
tetapi doanya tidak dikabulkan, dikarenakan makanan, minuman, pakaiannya, serta
dagngnya tumbuh dari barang yang haram, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menganggapnya jauh untuk dikabulkannya doa tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Maka bagaimana mungkin doanya dikabulkan.”

E. Kandungan Hadist

1. Yang baik dan diterima.


Sabda Nabi di atas mencakup perbuatan, harta benda, ucapan, dan keyakinan. Allah swt.
tidak akan menerima amalan kecuali amalan tersebut baik, bersih dari segala noda seperti
riya’ dan ujub.
Allah tidak akan menerima harta benda yang diinfakkan, dishadaqahkan atau dizakatkan
kecuali yang baik dan halal. Karenanya, Rasulullah saw. selalu mendorong agar seorang
muslim bershadaqah dengan harta hasil usahanya yang halal dan baik. Demikian juga
ucapan, tidak akan diterima Allah swt. kecuali ucapan yang baik. Alalh swt. berfirman,
“Kepada-Nyalah naik [diterima] perkataan-perkataan baik, dan amal yang shalih
dinaikkan-Nya.” (Fathir: 10). Allah swt juga membagi ucapan ke dalam dua bagian, baik
dan buruk. “Allah mencontohkan ucapan yang baik, seperti pohon yang baik.” (Ibrahim:
24) “Dan ucapan yang buruk seperti pohon yang buruk.” (Ibrahim: 26)

Siapapun tidak akan selamat dari sisi Allah, kecuali mereka yang berlaku baik. Allah
berfirman: “[yaitu] orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan baik.”
(an-Naml: 32) malaikat mendatangi mereka seraya berkata: “Kesejahteraan bagi kalian.
Kalian telah berlaku baik, maka masuklah ke dalam surga untuk selama-lamanya.” (az-
Zumar: 73).

Dalam mengomentari kalimat laa yaqbalu illaa thayyiban (“tidak diterima kecuali yang
baik.”) ibnu Rajab berkata: “seorang mukmin adalah orang yang baik secara keseluruhan,
hati, lisan, dan seluruh anggota tubuhnya. Karena dalam hatinya terdapat keimanan,
keimanan tersebut akan terurai melalui bibirnya dengan dzikir, melalui anggota badannya
dalam bentuk amal-amal shalih dan inilah buah dari iman.”

2. Bagaimana agar amal menjadi baik dan diterima.

Unsur terpenting yang menjadikan perbuatan seorang muslim baik dan diterima, adalah
makan yang baik dan halal. Dalam hadits di atas merupakan isyarat yang jelas bahwa
suatu perbuatan tidak akan diterima kecuali dengan mengkonsumsi yang halal. Karena
makanan yang haram dapat merusak amalan dan menjadikannya tidak diterima. Ini
didasari oleh lanjutan hadits yang menyatakan bahwa perintah tersebut sama, antara
orang-orang mukmin dan para rasul. Allah swt. berfirman: “Wahai para Rasul makanlah
makanan yang baik dan beramal shalihlah.”

Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman makanlah makan yang baik dan
apa yang Kami berikan kepada kalian.” Artinya bahwa para Rasul dan umatnya
diperintahkan untuk memakan makanan yang baik [halal] dan beramal shalih. Sedangkan
jika yang dimakan adalah makanan yang haram, maka amal perbuatan tidak akan
diterima. (jami’ul Ulum wal Hikam hal 86).

Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas ra. berkata: Saya membaca ayat, ‘Wahai
sekalian manusia, makanlah apa-apa yang ada di bumi, yang halal dan dan baik.’ (al-
Baqarah: 168) di sisi Rasulullah saw. Lalu Sa’ad bin Abi Waqash berkata: “Wahai
Rasulallah, mohonkan kepada Allah agar doaku mustajab [dikabulkan].” Nabi berkata:
“Wahai Sa’ad, baikkanlah makananmu [pilihlah yang halal], niscaya doamu mustajab.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya orang yang di rongganya
terdapat satu genggam barang haram, tidak akan diterima amalnya selama empat puluh
hari. Dan barangsiapa yang daging tubuhnya tumbuh dari barang yang haram, maka
nerakalah yang paling layak untuknya.” Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw.
bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat seorang yang di rongga terdapat barang
haram.”

3.Tidak diterimanya sebuah amalan

Maksud dari “tidak diterima” yang terdapat pada sebagian hadits nabi saw. adalah tidak
sah. Seperti hadits “Allah tidak menerima shalat seseorang di antara kamu jika berhadats,
sehingga ia berwudlu.” Pada sebagian hadits, berarti tidak sempurna, yakni tidak
mendapatkan pahala. Seperti hadits “wanita yang dimarahi suami, orang yang menemui
dukun, dan orang yang meminum khamr, tidak diterima shalatnya selama empat puluh
hari.”
“Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Orang yang shalat dengan mengenakan baju
yang dibeli dengan uang yang tercampur dengan yang haram, niscaya shalatnya tidak
diterima.” Maksudnya kewajibannya telah ia lakukan, namun tidak berpahala.
Untuk membedakan antara dua maksud di atas, harus didukung dengan dalil-dalil
penunjang.
4. Membersihkan harta dari barang haram.

Jika seseorang memiliki harta yang haram, maka ia wajib membersihkannya. Yaitu
dengan cara menshadaqahkannya, dan pahalanya bagi pemilik harta. ‘Atha’ bin Rabah
berpendapat, harta tersebut dishadaqahkan dan tidak berpahala. Imam Syafi’i
berpendapat, harta tersebut disimpan hingga diketahui pemiliknya. Fudhail bin Iyadh
berpendapat, harta tersebut dimusnahkan. Karena tidak diperbolehkan bershadaqah
dengan sesuatu yang tidak baik. Ibnu Rajab berkata: “Pendapat yang benar adalah dengan
menshadaqahkannya, karena memusnahkan harta adalah tindakan yang dilarang.
Menyimpannya hingga diketahui pemiliknya, juga rentan rusak atau dicuri orang. Jadi
sebaiknya dishadaqahkan, dan pahalanya untuk pemilik harta tersebut.

4.Sebab dikabulkannya doa.

a. Perjalanan jauh.

Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ada tiga doa yang
pasti dikabulkan: doa orang yang didhalimi, doa musafir dan doa orang tua terhadap
anaknya. ”(HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi) Perjalanan jauh menjadi
sebab dikabulkannya doa karena beban yang dirasakan sangat berat. Semakin lama
suatu perjalanan, doa akan semakin dikabulkan.

b. Baju yang kusut dan kondisi tubuh yang sangat lelah.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang kondisinya seperti ini [karena
lelah atau pun kemiskinan] andai dia berdoa tentulah Allah akan mengabulkan.
Diriwayatkan pula bahwa ketika melakukan shalat istisqa’ Rasulullah saw.
menggunakan pakaian yang lusuh dan bersikap rendah hati.

c. Menengadahkan kedua tangan.

Di samping penyebab dikabulkannya doa, mengangkat tangan juga merupakan adab


dalam bedoa. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Pemalu dan
Pemurah. Ia malu untuk tidak mengabulkan permohonan hamba-Nya yang
mengangkat kedua tangannya dalam berdoa.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan
Tirmidzi)
Ketika shalat istisqa’, Rasulullah saw. juga mengangkat kedua tangannya hingga
tampak ketiaknya yang putih. Juga ketika beliau berdoa meminta kemenangan atas
orang-orang musyrik pada saat perang Badar, hingga sorbannya terjatuh.

d. Betul-betul berharap kepada Allah.

Ini merupakan penyebab terbesar dikabulkannya doa. Pengharapan yang besar


tersebut diwujudkan dengan mengulangi penyebutan Rububiyah Allah swt. Al-Bazzar
meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika seorang hamba
berkata, “Ya Rab, empat kali, niscaya Allah berfirman: “Kupenuhi panggilanmu
wahai hamba-Ku, mintalah sesuatu niscaya akan Aku beri.”

4. Penghalang doa.

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa yang menyebabkan doa tidak dikabulkan
adalah selalu menggunakan barang haram, baik makanan, minuman maupun
pakaiannya.

5. Doa adalah inti dari ibadah,

karena seseorang berdoa kepada Allah swt. manakala tidak ada lagi yang bisa
diharapkan kecuali Dia. ini adalah esensi tauhid dan inti dari keikhlasan.

8. Hadits ini mendorong kita untuk berinfa dengan harta yang halal, dan melarang
untuk berinfaq dengan harta yang tidak halal.

9. Barangsiapa yang menghendaki doanya dikabulkan maka harus senantiasa


memperhatikan yang halal, baik makanan maupun pakaiannya.

10. Allah akan menerima dan memberkahi infak dari harta yang baik.
F. Pelajaran yang dapat di ambil dari Hadist

1. Dalam hadits diatas terdapat pelajaran akan sucinya Allah ta’ala dari segala
kekurangan dan cela.

2. Allah ta’ala tidak menerima kecuali sesuatu yang baik. Maka siapa yang
bersedekah dengan barang haram tidak akan diterima.

3. Sesuatu yang disebut baik adalah apa yang dinilai baik disisi Allah ta’ala.

4. Berlarut-larut dalam perbuatan haram akan menghalangi seseorang dari


terkabulnya doa.

5. Orang yang maksiat tidak termasuk mereka yang dikabulkan doanya kecuali
mereka yang Allah kehendaki.

6. Makan barang haram dapat merusak amal dan menjadi penghalang diterimanya
amal perbuatan.

7. Anjuran untuk berinfaq dari barang yang halal dan larangan untuk berinfaq dari
sesuatu yang haram.

8. Seorang hamba akan diberi ganjaran jika memakan sesuatu yang baik dengan
maksud agar dirinya diberi kekuatan untuk ta’at kepada Allah.

9. Doa orang yang sedang safar dan yang hatinya sangat mengharap akan terkabul.

10. Dalam hadits terdapat sebagian dari sebab-sebab dikabulkannya do’a : Perjalanan


jauh, kondisi yang bersahaja dalam pakaian dan penampilan dalam keadaan kumal
dan berdebu, mengangkat kedua tangan ke langit, meratap dalam berdoa, keinginan
kuat dalam permintaan, mengkonsumsi makanan, minuman dan pakaian yang halal.
4. Jenis Jenis makanan.

I. Makanan haram.
1. Bangkai.
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas
haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat
nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat
berbahaya bagi kesehatan.
2. Darah.
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya:
“Atau darah yang mengalir” (QS. Al-An’Am: 145) Demikianlah dikatakan oleh
Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu
apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat
tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong
unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat
makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa
berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang
menempel pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu hukumnya halal.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah
yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang
menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang
mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr.
Shahih Al-Fauzan).
3. Daging Babi.
Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh
anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah
ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.
4. Sembelihan untuk selain Allah.
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram,
karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya
yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan
menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya ,
maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.
5. Hewan yang diterkam binatang buas.
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan
sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun
darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram
dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan
yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta,sapi dsb, maka Allah
mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
6. Binatang buas bertaring.
Hal ini berdasarkan hadits : “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap
binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim no. 1933).
Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu
Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul
Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki
taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa,anjing,
macan tutul, harimau,beruang,kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”.
7. Burung yang berkuku tajam.
Hal ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari
setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim no. 1934).
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap
burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam
Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat
dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama
tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang
berkuku tajam.”
8. Hewan yang diperintahkan agama untuk dibunuh.
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya
dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam. ” (HR.
Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz “kalajengking: gantinya
“ular” ). Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap
binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada
sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan
tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323)
oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi). “Dari
Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh
tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr
berkata dalam At-Tamhid (6/129)” “Tokek/cecak telah disepakati keharaman
memakannya”.
9. Hewan yang dilarang untuk dibunuh.
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut,
tawon, burung hud-hud dan burung surad. ” (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud
(5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu
Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan:
“Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena
seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-
Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
II. Makanan halal
1. Pengertian makanan halal
sesuatu makanan yang dapat dikonsumsi oleh manusia dan diperbolehkan dalam
syariat Islam serta makanan tersebut bukanlah makanan haram yang disebutkan
oleh Allah dalam Al Quran. Di dalam al-quran sendiri Allah memberikan petunjuk
tentang makanan halal dan syarat-syarat makanan halal. Kata makan disebutkan
dalam Al Quran oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebanyak 109 kali sedangkan kata
makanlah yang merupakan kata perintah didebutkan dalam al-qur’an sebanyak 27
kali.
2. Katagori makanan halal
a. Halal zatnya.
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam penentuan kehalalan suatu
makanan adalah zat nya atau bahan dasar makanan tersebut misalnya makanan
yang berasal dari binatang maupun tumbuhan yang tidak diharamkan oleh
Allah. Adapun jika dalam makanan disebut terkandung zat atau makanan yang
tidak halal maka status makanan yang tercampur tersebut adalah haram dan
tidak boleh dikonsumsi oleh umat Islam.
b. Halal cara memperolehnya.
ada dasarnya semua makanan adalah halal dan apabila zatnya halal maka
makanan dapat menjadi haram tergantung bagaimana cara memperolehnya.
Makanan halal dapat menjadi haram apabila diperoleh melalui hasil mencuri,
melalukan perbuatan zina (baca cara bertaubat dari zina dan amalan penghapus
dosa zina), menipu, hasil riba (baca hukum riba dalam islam dan bahaya riba
dunia akhirat) dan maupun korupsi dan lain sebagainya.
c. Halal cara memprosesnya.
Kategori halal yang harus dipenuhi selanjutnya adalah cara memproses
makanan tersebut. Apabila makanan sudah diperoleh dengan cara halal, dengan
bahan baku yang halal pula, jika makanan tersebut diproses dengan
menggunakan sesuatu yang haram misalnya alat masak yang bekas digunakan
untuk memasak makanan haram atau bahan-bahan lain yang tidak
diperbolehkan atau diharamkan untuk dikonsumsi maka makanan tersebut bisa
menjadi haram
3. Syarat makanan halal
a. Tidak mengandung zat atau makanan yang diharamkan.
Makanan halal adalah makanan yang tidak mengandung zat yang diharamkan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala misalnya dengan mencampur makanan halal
dengan daging babi, alkohol maupun bahan bahan lain yang sifatnya haram.
(Baca minuman keras dan minuman haram dalam islam)
b. Tidak mengandung najis dan kotoran.
Syarat yang dimaksud adalah makanan tersebut tidak terkontaminasi dengan
beberapa zat yang dianggap sebagai najis misalnya darah kotoran manusia
urine dan sebagainya. Dengan kata lain seorang yang meminum atau
mengkonsumsi urine atau air seni misalnya dalam tujuan pengobatan hal ini
tetap tidak diperbolehkan dan urine yang merupakan najis haram hukumnya
untuk dikonsumsi.

MAKALAH

TAFSIR HADIST MAUDU’I

Hadist Arbain Ke-10

Disusun oleh:

Arif Nur Hakim (4715153658)


Pendidikan Agama Islam 2015

Anda mungkin juga menyukai