Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

BELL’S PALSY

Oleh:

Aulia Rahmi 1740312106

Preseptor:

dr. Restu Susanti, Sp.S, M.Biomed

BAGIAN ILMU NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M DJAMIL PADANG

2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s Palsy merupakan kelainan saraf fasialis tipe perifer idiopatik dan
penyebab terbanyaknya adalah lesi nervus unilateral yang dapat mengenai semua
usia dan jenis kelamin.1 Bell’s palsy terjadi akut, menyebabkan paralisis saraf
fasial tipe LMN (perifer) yang secara gradual mengalami perbaikan pada 80-90%
kasus.2 Angka kejadiannya diperkirakan 23 dalam 100.000 populasi dan
diperkirakan meningkat pada pasien diabetes melitus, hipertensi, serta ibu hamil
masa perinatal.1

Penyebab bell’s palsy tidak diketahui, diduga sebagai penyakit dalam


bentuk polineuritis dengan kemungkinan virus, inflamasi autoimun dan etiologi
iskemik.2 Infeksi herpes simpleks virus (HSV)-1 sering dikaitkan dengan kejadian
bell’s palsy karena pada autopsi dapat diisolasi HSV-1 tersebut dari ganglion
genikulatum serta terdeteksi pada cairan endoneurium. Terjadinya inflamasi
aksonal sehingga terjadi demielinasi segmental akan menyebabkan kelainan
nervus fasialis tipe perifer yang muncul 48-72 pasca onset.1

Manifestasi yang muncul dapat berupa terkulai, ekspresi kaku, terasa berat
dalam derajat ringan ataupun berat. Sebagian besar pasien mengalami perbaikan
tanpa dilakukan intervensi 2-3 minggu dan akan membaik keseluruhan setelah 3
sampai 4 minggu setelahnya.3

Walaupun belum ada konsensus yang mengemukakan tentang manajemen


pasti untuk bell’s palsy, namun banyak dari klinisi yang memberikan steroid
berupa glukokortikoid atau prednison dan antivirus berupa asiklovir apabila
ditemukan dalam 72 jam dari onset pertama. 3,4

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), Bell’s Palsy


termasuk dalam standar kompetensi dengan level kemampuan 4. Dokter umum
harus mampu menegakkan diagnosis klinis dan melakukakan penatalaksanaan
penyakit secara mandiri dan tuntas. Oleh karena itu, penulis tertarik mengangkat
topik ini sebagai judul penulisan case report session.

1
1.2 Batasan Masalah
Laporan kasus ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi dan
prognosis dari Bell’s palsy.
1.3 Tujuan Penulisan
Laporan kasus ini bertujuan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik ilmu penyakit saraf dan menambah pengetahuan tentang
Bell’s palsy.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan laporan kasus ini berdasaran literatur seperti textbook, jurnal, dan
sumber lainnya serta membandingkannya dengan kasus yang ditemui di poliklinik
ataupun bangsal neurologi RSUP DR. M. Djamil Padang.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Bell’s Palsy
Bell’s palsy merupakan paralisis nervus fasialis ipsilateral idiopatik yang
muncul sekunder akibat adanya inflamasi, pembengkakan ataupun kompresi
nervus fasialis. Biasanya timbul secara akut tanpa ada kelainan neurologik lainnya
yang menyertai, dimana sebagian besar akan menyembuh dan beberapa
meninggalkan gejala sisa seperti kontraktur, skin kinesia atau spasme spontan.3,4
2.2 Anatomi Nervus Fasialis
Nervus fasialis (N.VII) merupakan nervus kranialis yang memiliki fungsi
motorik, sensorik dan otonom. Fungsi motorik merupakan fungsi yang paling
dominan dari nervus fasialis. Fungsi nervus fasialis dapat dibagi menjadi: 5
1. Brankial motorik (eferen viseral khusus), mempersarafi otot ekspresi
wajah, otot digastrik bagian posterior dan otot stapedius.
2. Viseral motorik (eferen viseral umum), untuk persarafan parasimpatis
kelenjar lakrimal, submandibula dan sublingual serta membran mukosa
nasofaring dan palatum.
3. Sensorik khusus (aferen khusus), untuk sensasi pengecapan dua pertiga
depan lidah dan palatum.
4. Sensorik umum (aferen somatik umum), sebagai sensasi umum
(eksteroseptif) kulit konka dan area belakang telinga.
Secara anatomi, sistem persarafan motorik nervus fasialis terpisah dari
sistem sensorik dan parasimpatis. Persarafan supranukelar untuk otot yang
mengatur ekspresi wajah berasal dari sepertiga bawah girus presentralis
kontralateral pada area wajah homunculus motorik. Dari girus presentralis,
serabut saraf membentuk traktus kortikobulbar menuju inti N VII di pons melalui
korona radiata, genu kapsula interna dan pedunkulus serebri bagian medial. Otot
wajah bagian dua pertiga bawah mendapat kontrol persarafan yang dominan dari
supranuklear kontralateral, sedangkan sepertiga atas mendapat kontrol persarafan
bilateral. Otot bagian bawah wajah juga mendapatkan persarafan kortikal yang
lebih banyak dibandingkan dengan otot wajah bagian atas dan dahi. Inti N VII di
pons juga mendapatkan persarafan dari sistem ekstrapiramidal yaitu ganglia

3
basalis dan hipotalamus bilateral. Persarafan ini bertanggung jawab dalam
mempertahankan tonus otot wajah terkait dengan ekspresi wajah spontan serta
emosional.5

Inti N VII (nukleus fasialis) terletak di tegmentum pons sisi kaudal,


anteromedial dari traktus spinalis nukleus trigeminus, anterolateral dari nukleus
abdusens, serta posterior dari nukleus olivarius superior. Nukleus fasialis
memiliki tiga subnukleus yaitu lateral, intermedial dan medial. Subnukleus
lateralis diperkirakan mempersarafi otot businator, subnukleus intermedial
mempersarafi otot temporal, orbital dan zigomatikus, sedangkan subnukleus
medial mempersarafi otot servikal dan aurikularis posterior serta stapedius. 5
Inti motorik nervus fasialis terletak di pons, dimana serabutnya mengitari
inti nervus absdusen (VI) dan keluar dari lateral pons. Nervus fasialis bersama
dengan nervus intermedius berjalan dari meatus akustikus eksternus kemudian
kedalam kanalis fasialis dan kemudian masuk kedalam os mastoid dan keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid dan bercabang untuk mensarafi
wajah.4

4
Gambar 2 : Serabut saraf nervus VII (fasialis). Garis biru tebal merupakan serabut
motorik, garis biru putus-putus merupakan serabut parasimpatik dan
garis putus- putus titik merupakan serabut aferen viseral6

2.3 Epidemiologi dan Etiologi Bell’s Palsy


Bell’s palsy merupakan 70% diagnosa dari fasial neuropati sebagai sindrom
neulogis tersering. Insiden tahunan Bell’s palsy mencapai 25 per 100.000
penduduk dengan risiko kejadian 1 diantara 60-70 orang. Frekuensi usia tersering
antara 10-70 tahun,7 dan insidensi puncak antara usia 15 dan 40 tahun. Pria dan
wanita sama-sama terpengaruh, meskipun insidensi dapat meningkat pada wanita
hamil.8
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan
kongenital, infeksi, keganasan, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan
penyakit-penyakit tertentu yang menyebabkan edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.11,12 Penyebab pasti dari bell’s palsy
belum diketahui (idiopatik), umumnya penyakit ini diakibatkan lesi nervus fasialis
yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan atau tidak menyertai penyakit lain. Pada
parese Bell terjadi edema fasialis, disebabkan oleh penekanan atau terjepitnya
nervus ini dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe

5
LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.12 Namun terdapat berbagai hipotesis
tentang faktor-faktor penyebab bell’s palsy diantaranya infeksi HSV-1 yang
diduga sebagai agen etiologi dalam bell’s palsy. Terdapat penelitian dengan
melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII
pada penderita Bell’s palsy berat yang menjalai pembedahan, hasilnya berupa
penemuan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah
secara axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion (dorman), namun
penderita mengalami stres atau penurunan sistem imun lain, maka akan terjadi
reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin saraf. 9
Selain infeksi HSV, kemungkinan etiologi termasuk infeksi lain (misalnya herpes
zoster, penyakit Lyme, sifilis, infeksi virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, human
immunodeficiency virus/HIV, mycoplasma), inflamasi dan penyakit
mikrovaskular (diabetes mellitus dan hipertensi). 10
Kelainan autoimun juga diduga menyebabkan demielinisasi nervus fasialis
yang menyebabkan kelumpuhan wajah unilateral. Riwayat keluarga dengan Bell’s
palsy telah dilaporkan pada sekitar 4% kasus. 9,10
2.4 Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada
Bell’s Palsy terjadi iskemi primer pada nervus fasialis yang disebabkan oleh
vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara nervus fasialis dan dinding
kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain: infeksi
virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan
mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat
gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai
Bell’s Palsy.12 Selain itu salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.16

6
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental sehingga adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik
dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan
oleh nervus fasialis dapat mengalami gangguan di lintasan supranuklear, nuklear
dan infranuklear. Lesi supranuklear terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan
dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. 16
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan
kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s
palsy menyebabkan nervus fasialis menjadi bengkak atau sembab sehingga nervus
ini terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, sudut serebelo-pontin, os
petrosum atau kavum timpani, atau foramen stilomastoideus dan pada cabang-
cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Sehingga paralisis fasialis LMN
tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik
ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3
bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster)
yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini
menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN.16

7
Gambar 3. Paralisis Bell’s Palsy

Paralisis wajah pada Bell’s palsy akan terjadi mulai dari bagian atas
hingga bagian bawah dari otot wajah (seluruhnya akan lumpuh). Dahi tidak dapat
dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup (lagoftalmus) dan pada usaha untuk
memejamkan mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Selain itu pada
sudut mulut juga tidak bisa digerakkan, bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma
tidak bisa digerakkan. Akibat lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan
secara normal. Gejala-gejala penyerta seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada
karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum yaitu
serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius sudah
tidak ada.16

Adapun Perubahan patologik yang ditemukan pada nervus fasialis sebagai


berikut: 12
1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali udem
2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin

8
3. Terdapat degenerasi akson
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak
Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau
strangulasi terhadap Nervus VII.
2.5 Manifestasi Klinis
Sebelum onset dapat terjadi nyeri pada belakang aurikular 1-2 hari.

Manifestasi klinis yang muncul berhubungan dengan level kerusakan nervus

fasialis. Nervus fasialis memiliki bagian serabut saraf sensorik dan motorik, maka

gangguannya dapat berupa kelumpuhan otot wajah ipsilateral (m. frontalis, m.

orbikularis oris, m. bucinator, m. orbikularis okuli dan m. platisma), penurunan

lakrimasi ipsilateral, hiperakusis ipsilateral, penurunan saliva ipsilateral, dan

penurunan indara pengecap ipsilateral pada 2/3 anterior lidah. Pada beberapa

kasus dapat disertai hipertesia pada satu atau lebih cabang nervus trigeminal. 11

Tabel 1 : Skala House-Brackman untuk menentukan derajat kelumpuhan nervus


fasialis11
Derajat Karakteristik
I (normal) Tidak ada kelainan
II (disfungsi ringan) Inspeksi :
- tampak kelemahan otot wajah ringan dengan inspeksi
seksama
- dapat ditemukan sinekia
- tampak simetris dan tonus tampak normal saat istirahat
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : fungsi sedang-baik
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup baik
dengan usaha minimal
- m. orbikularis oris : asimetris ringan
III (disfungsi sedang) Inspeksi :
- tampak tonus normal saat istirahat
- tampak sinkinesis, kontraktur, atau hemifasial spasme
yang jelas namun tidak berat.
- tampak asimetris namun tidak memberikan kesan jelak
terhadap penampilan
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : gerakan berkurang
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup baik
dengan usaha maksimal
- m. orbikularis oris : asimetris ringan dengan usaha
maksimal
IV (disfungsi sedang-berat) Inspeksi :

9
- tampak asimetris dan memberikan kesan buruk terhadap
penampilan
- tampak tonus normal saat istirahat
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : tidak ada gerakan
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup tidak
sempurna
- m. orbikularis oris : asimetris dengan usaha maksimal
V (disfungsi berat) Inspeksi :
- tampak asimetris saat istirahat
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : tidak ada gerakan
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup tidak
sempurna
VI (paralisis total) tidak ada gerakan sama sekali

Ketidakmampuan untuk mengerutkan


alis pada sisi yang terkena

Sedikit pelebaran dari fisura palpebra

Sudut mulut mengendur

Gambar 4. Manifestasi klinis pada pasien bell’s palsy7


2.6 Diagnosis
Diagnosis umumnya dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya
kelumpuhan nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan
penyebab lain dari kelumpuhan nervus fasialis perifer. Beberapa pemeriksaan
penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan nervus
Fasialis. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya
bersifat LMN.11

10
a. Anamnesis11

Sebagian besar pasien datang dengan keluhan kelemahan pada salah satu
sisi wajah. Selain itu, terdapat beberapa keluhan lain diantaranya:
1) Nyeri postauricular: Sebanyak 50% pasien menderita nyeri di regio
mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan parese,
tetapi parese muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
2) Aliran air mata: Umumnya pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air
mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga saccus
lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
3) Perubahan rasa: Pada sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi
akibat hanya setengah bagian lidah yang terlibat yaitu 2/3 anterior.
4) Mata kering.
5) Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga
akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.

b. Pemeriksaan Fisik11
1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik, terdapat 10 otot-otot utama wajah
yang dipersarafi oleh nervus fasialis perifer dan berfungsi untuk
menciptakan mimik dan ekspresi wajah. Adapun urutan ke-10 otot-otot
tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :
a. M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke
atas.
b. M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan
mengerutkan hidung ke atas
d. M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua
mata kuat-kuat
e. M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil
memperlihatkan gigi
f. M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan

11
mulut kedepan sambil memperlihatkan
gigi
g. M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan
kedua pipi
h. M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita
bersiul
i. M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua
sudut bibir ke bawah
j. M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan
mulut yang tertutup rapat ke depan
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan
dan kiri. Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai tiga puluh (30).11
a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka 3
b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka 1
c. Diantaranya dinilai dengan angka 2
d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka 0
2. Pemeriksaan Tonus Otot, pada keadaan istirahat atau tanpa kontraksi
maka tonus otot menentukan kesempurnaan mimik/ekspresi wajah.
Fungsi tonus otot penting diperiksa dengan penilaian pada setiap
tingkatan kelompok otot wajah, bukan pada setiap otot. Tonus yang
terganggu memberikan gambaran prognosis yang buruk. Penilaian tonus
seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima
tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat
hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2)
pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya. 11
3. Pemeriksaan dengan Gustometri, sistem pengecapan pada 2/3 anterior
lidah dipersarafi oleh cabang nervus fasialis yaitu nervus korda timpani. 1
Kerusakan pada N.VII sebelum percabangan korda timpani dapat
menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan). 13
Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,
kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada

12
lidah penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat.
Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut,
sebab bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian
belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita diminta
menyebutkan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1
untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa
asam.13
Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang
rangsang antara kanan dan kiri berupa penilaian, jika terdapat perbedaan
sebesar 50% antara kedua sisi wajah adalah patologis. 11
4. Uji Salivasi, pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan
kanulasi kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung
polietilen nomor 50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah
dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa
harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume ini dibandingkan
dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25% dianggap
abnormal. Karena pengecapan dan salivasi ditransmisi oleh saraf korda
timpani, maka gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini. 14
5. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex, dianggap sebagai pemeriksaan
terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-serabut pada simpatis dari saraf
fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus superfisialis mayor
setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas saraf
petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata. 14
Fungsi lakrimasi dari mata dinilai dengan tes schimer. Cara pemeriksaan
dengan meletakkan kertas lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-10 cm pada dasar
konjungtiva. Panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan
dengan sisi satunya setelah 3 menit. Jika terdapat beda kanan dan kiri lebih
atau sama dengan 50% dianggap patologis.
6. Refleks Stapedius, untuk menilai reflex stapedius digunakan
elektoakustik impedans meter, caranya memberikan ransangan pada
muskulus stapedius yang bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius
cabang N.VII.

13
7. Uji audiologik, pemeriksaan audiogram lengkap harus dilakukan pada
pasien yang menderita paralisis nervus fasialis. Pengujian termasuk
hantaran udara dan hantaran tulang, timpanometri dan reflex stapes. Uji
ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus. Jika
terjadi paralisis nervus fasialis pada otitis media akut, maka mungkin
terdapat gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat
dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan
suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan
reflek dari otot stapedius. Jika nada tersebut diperdengarkan pada telinga
yang normal, maka reflek ini pada perangsangan kedua telinga
menjelaskan suatu kelainan pada bagian aferen saraf kranialis. 13
8. Sinkinesis, komplikasi dari kelumpuhan nervus fasialis dinilai dengan
pengujian sinkinesi. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah
sebagai berikut:11
a. Pasien diminta untuk memenjamkan mata sekuat-kuatnya kemudian
kita melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Jika
terdapat pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka
dua (2). Jika pergerakan pada sisi parese lebih kuat dibandingkan
dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2),
tergantung dari gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,
kemudian pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah diamati.
Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara
(gerakan emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar
mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan normal simetsi. Nilai nol (0)
kalau pergerakan asimetris.
9. Pemeriksaan House-Brackmann, sistem House-Brackmann bertujuan
untuk mengetahui gambaran dari disfungsi motorik fasial serta
karakteristik dari kelumpuhannya. Mulai grade 1 (normal) hingga grade 6
(kelumpuhan yang komplit).4

14
c. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
parase nervus fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji
fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG),
Elektroneuronografi (ENOG).13
 Elektromiografi (EMG), pemeriksaan EMG berfungsi untuk menentukan
perjalanan impuls atau reinervasi pasien. Interpretasi pola EMG dapat
diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau
suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati.
Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah
paralisis akut. EMG akan memperlihatkan potensial denervasi, jika
sebelum 21 hari wajah tidak dapat bergerak. Potensial fibrilasi merupakan
suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut.
Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.
 Elektroneuronografi (ENOG), ENOG dapat memberikan informasi lebih
awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu
titik sementara pada pengukuran EMG haruus dilakukan pada satu titik
yang lebih distal dari saraf yang diperiksa. Kecepatan hantaran saraf dapat
dinilai. Jika dalam 10 hari terdapat reduksi 90% pada ENOG yang
dibandingkan dengan sisi lainnya, maka kemungkinan sembuh juga
berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu
penurunan sebesar 25% berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88%
pasien mereka, sementara 77% pasien yang mampu mempertahankan
respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal pada
nervus fasialisnya.13
2.7 Diagnosis Banding
Kelumpuhan nervus fasialis tidak hanya terjadi pada bell’s palsy tapi dapat
terjadi pada tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay
Hunt syndrom), Guillen Barre syndrome, penyakit Lyme, AIDS, infeksi
tuberkulosa pada mastoid ataupun telinga tengah.11

15
2.8 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan bell’s palsy adalah untuk mempercepat proses
penyembuhan, mencegah terjadinya kelumpuhan komplit dari kelumpuhan
parsial, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan angka
terjadinya sinkinesis dan kontraktur wajah serta mencegah kelainan pada mata.
Pasien Bell’s palsy juga harus melakukan kontrol rutin dalam jangka waktu lama. 9
Canadian Society of Otolaryngology Head and Neck Surgery dan Canadian
Neurological Sciences Federation melakukan review terhadap beberapa modalitas
terapi Bell’s palsy. Keduanya meenjelaskan mengenai tentang bukti penanganan
Bell’s palsy dengan kortikosteroid dan antiviral, latihan fasial, elektrostimulasi,
fisioterapi dan operasi dekompresi. Selain itu mereka juga membahas mengenai
terapi perlindungan mata, rujukan spesialis, dan investigasi lebih jauh pada pasien
8
yang memiliki kelemahan wajah yang persisten dan progresif.

Tabel 2. Rumusan rekomendasi terapi Bell’s palsy menurut Canadian Society of


Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan Canadian Neurological Sciences
Federation8

16
a) Medikamentosa
 Kortikosteroid, berdasarkan pedoman American Academy of Neurology
tahun 2012 menyatakan bahwa steroid sangat efektif dan meningkatkan
kemungkinan pemulihan fungsi nervus fasialis pada Bell’s Palsy onset
baru. Selain itu pedoman dari American Academy of Otolaryngology–
Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) dikeluarkan pada
November 2013 juga mendukung pedoman AAN. Pedoman ini
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid dalam 72 jam sejak
timbulnya gejala.10,11,12
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pasien yang diobati dengan
prednisolon dalam 48 jam memiliki tingkat pemulihan komplit secara
bermakna yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak diobati,
sedangkan tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat pemulihan
yang terlihat antara pasien yang diobati pada 49-72 jam dan pasien yang
tidak diobati sehingga pemberian prednisolon direkomendasikan untuk
48 jam sejak timbulnya gejala. Dosis prednison yang dianjurkan untuk
pengobatan Bell’s Palsy adalah 1 mg / kg atau 60 mg / hari selama 6
hari, diikuti oleh taper, untuk total 10 hari. 10
Steroid dosis tinggi (prednison >120 mg/hari) telah aman digunakan
untuk mengobati Bell’s palsy dengan diabetes melitus. Namun, dosis
optimal belum ditetapkan. Pemberian steroid pada kasus ini harus
diperhartikan karena terdapat risiko hiperglikemia akibat penggunaan
steroid.10
 Agen Anti Viral10
Pengobatan antivirus merupakan cara terbaru dalam menangani Bell’s
Palsy akut yang disebabkan oleh virus. Berdasarkan spectrum
aktivitasnya dan toksisitasnya yang rendah, asiklovir
(acycloguanosine), analog nukleosida purin sintetik dapat digunakan
untuk mencegah Herpes Simpleks tipe I dan II, Varisella Zooster, dan
Epstein Barr virus serta cytomegalovirus. Asiklovir mencegah
polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi
(difosforilasi), sehingga asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida.

17
Dickens, Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir pada
gejala defisit neurologis yang disebabkan oleh herpes zooster otikus
dengan asiklovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari)
segera setelah timbulnya gejala dapat mencegah degenerasi dari saraf
yang dapat menyebab hilangnya pendengaran. 10
b) Non-Medikamentosa
 Dekompresi Nervus Fasial
Pembedahan untuk mendekompresi nervus masih kontroversial. Pasien
yang diidentifikasi akan menderita kelumpuhan persisten akibat
kerusakan nervus yang ireversibel, tampaknya paling menguntungkan
dari intervensi bedah. Pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan Bells palsy komplit yang belum berespon terhadap terapi
medikamentosan dan telah terjadi degenerasi aksonal lebih dari 90%,
seperti yang ditunjukkan pada EMG nervus fasialis dalam waktu 3
minggu sejak onset kelumpuhan. Sebelumnya harus dilakukan
penentuan lokasi dengan MRI. Dokter bedah kemudian dapat
memutuskan apakah segmen rahang atas harus didekompresi secara
eksternal atau jika segmen labirin dan ganglion geniculate harus
didekompresi dengan kraniotomi fossa tengah. 10,13
 Fisioterapi
Fisioterapi dapat dilakukan kepada pasien antara lain (1) massage, (2)
stimulasi elektris, (3) terapi latihan dengan menggunakan cermin
(mirror exercise), (4) edukasi kepada pasien. Adapun untuk
pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
pasien. Massage adalah pijitan tangan yang akan merangsang reseptor
sensorik dari kulit dan jaringan subcutaneous sehingga dapat
memberikan efek rileksasi dan mengurangi kaku pada wajah. Terapi
latihan dengan menggunakan cermin (mirror exercise) dapat
memberikan biofeedback & untuk mencegah terjadinya kontraktur dan
melatih kembali gerakan volunter pada wajah pasien. Sering dikerjakan
bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium
akut.

18
2.9 Prognosis
Kebanyakan pasien yang menderita Bell palsy mengalami neurapraxia atau
blok konduksi saraf lokal. Pasien-pasien ini cenderung memiliki pemulihan saraf
yang cepat dan komplit. Pasien dengan axonotmesis, dengan gangguan akson,
memiliki pemulihan yang cukup baik, tetapi biasanya tidak komplit. Faktor risiko
dianggap terkait dengan keluaran yang buruk pada pasien dengan Bell’s palsy
yaitu (1) usia lebih besar dari 60 tahun, (2) paralisis komplit, dan (3) penurunan
sensasi rasa atau aliran saliva pada sisi wajah yang paralisis (biasanya 10- 25%
dibandingkan dengan sisi wajah yang normal). Pasien dapat sembuh tanpa
pengobatan (71%), terdapat 84% pasien yang sembuh total atau mendekati
pemulihan normal. Faktor-faktor lain yang dianggap terkait dengan hasil yang
buruk termasuk nyeri di daerah aurikularis posterior dan penurunan lakrimasi.
Semakin cepat pemulihan, semakin kecil kemungkinannya bahwa sekuele
akan berkembang, seperti yang dirangkum di bawah ini:
- Jika terjadi pemulihan fungsi dalam 3 minggu, maka pemulihan kemungkinan
besar akan komplit
- Jika pemulihan terjadi antara 3 minggu hingga 2 bulan, maka hasil akhir
biasanya memuaskan
- Jika pemulihan tidak dimulai sampai 2-4 bulan sejak onset, kemungkinan
gejala sisa permanen, termasuk sisa paresis dan sinkinesis akan lebih tinggi
tinggi
- Jika tidak ada pemulihan yang terjadi selama 4 bulan, maka pasien mungkin
memiliki gejala sisa dari penyakit, yang meliputi sinkinesis, crocodile tears,
dan spasme hemifasial yang bersifat jarang.
Bell’s palsy memiliki tingkat kekambuhan sebesar 7%. Ini bisa muncul
kembali pada sisi yang sama atau berlawanan dari parese awal. Kekambuhan
biasanya dikaitkan dengan riwayat keluarga Bell’s palsy rekuren. Tingkat
kekambuhan yang lebih tinggi di antara pasien dilaporkan di masa lalu; Namun,
banyak dari pasien ini ditemukan memiliki etiologi yang mendasari untuk
kekambuhan.

19
BAB III
ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 30 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tukang Ojek
Suku Bangsa : Minang
Alamat : Andalas, Padang

ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 30 tahun datang ke Poliklinik Neurologi RSUP
DR. M. Djamil pada tanggal 15 Oktober 2018, dengan :
Keluhan Utama :
Mulut mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang
- Mulut mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
- Awalnya pasien merasa wajahnya bergerak-gerak sendiri dan terasa tebal,
lidah juga terasa tebal, hingga ketika pasien bangun tidur pasien merasakan
mulutnya tiba-tiba mencong ke kiri.
- Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa
kering
- Gangguan pendengaran tidak ada
- Gangguan pengecapan tidak ada
- Riwayat demam sebelum mulut mencong tidak ada
- Riwayat trauma pada kepala tidak ada
- Kelumpuhan anggota gerak tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat telinga berair tidak ada

20
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:
- Pasien seorang tukang ojek, berkendara sampai malam hari, sering kelelahan
dan terpapar udara dingin

PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : CMC, GCS 15, E4M6V5
 Tekanan darah : 120/90 mmHg
 Frekuensi Nadi : 80x/mnt
 Frekuensi pernafasan : 20x/mnt
 Suhu : 36,7°C
 Kepala :
Konjungtiva : tak anemis
Sklera : tak ikterik
 Leher : tidak ada kelainan
 Thorax :
Pulmo :
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : tidak dapat dinilai
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LMCS RIC IV
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama takikardi, bising (-)
- Abdomen :
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba

21
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Korpus Vertebrae
Inspeksi : deformitas (-)
Palpasi : gibbus (-)

Pemeriksaan Neurologis
1. Tanda rangsang Meningen:
- Kaku kuduk :-
- Kernig :-
- Brudzinski I :-
- Brudzinski II :-
2. Tanda peningkatan TIK
-Pupil : isokor, reflek cahaya +/+ Ф3mm/3mm
3. Pemeriksaan Nervus Cranialis:
Nervus kranialis Kanan Kiri
N I (Olfaktorius)
-subjektif Baik Baik
-objektif (dg bahan) Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II (Optikus)
-tajam penglihatan Baik Baik
-lapangan pandang Baik Baik
-melihat warna Baik Baik
-funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
-bola mata Ortho Ortho
-ptosis Tidak ada Tidak ada
-gerakan bulbus Ke segala arah Ke segala arah
-strabismus Tidak ada Tidak ada
-nistagmus Tidak ada Tidak ada
-ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
-pupil

22
bentuk Bulat, isokor,  3 mm Bulat, isokor,  3 mm
reflex cahaya + +
reflex akomodasi + +
reflex konvergensi + +
N IV (Trochlearis)
-gerakan mata ke bawah Bebas Bebas
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Tidak ada Tidak ada
N V (Trigeminus)
-Motorik
membuka mulut Baik Baik
menggerakkan rahang Baik Baik
menggigit Baik Baik
mengunyah Baik Baik

-Sensorik
Divisi Oftalmika
*reflex kornea + +
*sensibilitas + +
Divisi Maksila
*reflex Masseter Baik Baik
*sensibilitas Baik Baik
Divisi Mandibula
*sensibilitas Baik Baik
N VI (Abdusen)
-gerakan mata ke lateral Bebas Bebas
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Tidak ada Tidak ada
N VII (Fasialis)
-raut wajah Plika nasolabialis kiri lebih datar
-sekresi air mata + +

23
-fisura palpebra + -
-menggerakkan dahi + -
-menutup mata + -
-mencibir/bersiul + -
-memperlihatkan gigi + -
-sensasi lidah 2/3 depan + +
-hiperakusis - -
N VIII (Vestibularis)
-suara berbisik Baik Baik
-detik arloji Baik Baik
-rinne test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
-weber test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
-swabach test Tidak diperiksa Tidak diperiksa
*memanjang
*memendek
-nistagmus Tidak ada Tidak ada
*pendular
*vertical
*siklikal
-pengaruh posisi kepala Tidak ada Tidak ada
N IX (Glossofaringeus)
-sensasi lidah 1/3 blkg Baik Baik
-refleks muntah (Geg Rx) + +
N X (Vagus)
-Arkus faring Simetris
-uvula Di tengah
-menelan Baik
-artikulasi Baik
-suara Baik
-nadi Teratur

24
N XI (Asesorius)
-menoleh ke kanan +
-menoleh ke kiri +
-mengangkat bahu kanan +
-mengangkat bahu kiri +
N XII (Hipoglosus)
-kedudukan lidah dalam Di tengah
-kedudukan lidah Di tengah
dijulurkan
-tremor -
-fasikulasi -
-atropi -

4. Koordinasi: baik
5. Pemeriksaan Fungsi Motorik;
Kanan Kiri
a.Badan -Respirasi Simetris kiri dan kanan
-duduk Simetris Simetris
b.Berdiri & -gerakan spontan Tidak ada Tidak ada
berjalan
-tremor Tidak ada Tidak ada
-atetosis Tidak ada Tidak ada
-mioklonik Tidak ada Tidak ada
-khorea Tidak ada Tidak ada

c.Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
-gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
-kekuatan 555 555 555 555
-tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi
-tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

25
6. Pemeriksaan sensibilitas: baik
7. Sistim refleks
a. Fisiologis
Kanan Kiri kanan Kiri
Kornea + + Biseps ++ ++
Berbangkis Triseps ++ ++
Laring KPR ++ ++
Masseter APR ++ ++
Dinding Bulbokavernosus
perut
-atas
-bawah
-tengah
Cremaster
Sfingter
b. Patologis
Lengan Kanan Kiri Tungkai Kanan Kiri
Hofmann- - - Babinski - -
Tromner
Chaddoks - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Klonus paha - -
Klonus kaki - -

8. Fungsi otonom
-miksi : baik
-defekasi : baik
-sekresi keringat : baik

26
9.Fungsi luhur :
Kesadaran Tanda demensia
-reaksi bicara : baik -refleks Glabella : -
-reaksi intelek : baik -refleks Snout :-
-reaksi emosi : baik -refleks mengisap : -
-refleks memegang : -
-refleks Palmomental : -

Diagnosis
Diagnosa klinis : Bell’s Palsy
Diagnosa topiK : Nervus VII sinistra perifer
Diagnosa etiologi : Idiopatik
Diagnosa sekunder :-
Terapi
 Istirahat
 Prednisone 3x5 mg
 Neurodex 3x1 tab
 Fisioterapi
Prognosis:
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad sanam : bonam
 Quo ad functionam: bonam

27
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki, usia 30 tahun, datang ke Poliklinik RSUP Dr. M


Djamil Padang dengan keluhan wajah mencong ke kiri sejak 2 hari yang lalu.
Awalnya pasien merasa wajahnya bergerak-gerak sendiri dan terasa tebal, lidah
juga terasa tebal, hingga ketika pasien bangun tidur pasien merasakan mulutnya
tiba-tiba mencong ke kiri. Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup
sempurna dan terasa kering. Berdasarkan anamnesis, keluhan pasien ini sesuai
dengan paralisis nervus fasialis tipe perifer, dimana paralisis terjadi pada sisi
wajah sebelah kiri saja. Hal ini terjadi karena kerusakan pada inti nervus fasialis
atau infranuklearnya, sehingga impuls homolateral untuk otot-otot wajah bagian
atas dan kontralateral untuk otot-otot wajah bagian bawah terganggu. Pada pasien
ini tidak ditemukan gangguan pengecapan dan pendengaran. Hal ini dapat
menyingkirkan keterlibatan ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3
bagian depan lidah maupun meatus akustikus internus yang dapat mengganggu
pendengaran. Pasien tidak memiliki riwayat telinga berair, sehingga dapat
disingkirkan kemungkinan etiologinya merupakan suatu otitis media. Riwayat
trauma juga disangkal sehingga dapat disingkirkan kemungkinan fraktur os
temporal, dan tidak adanya riwayat hipertensi serta tidak adanya kelumpuhan
anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan suatu lesi sentral.
Dari riwayat sosial dan kebiasaan, pasien adalah seorang tukang ojek yang
terbiasa terkena udara dingin dan kelelahan. Hal ini merupakan faktor risiko yang
dapat menyebabkan nervus fasialis menjadi sembab dan terjepit pada foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan nervus fasialis tipe LMN
(perifer). Kelumpuhan ini disebut dengan Bell’s Palsy.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, tekanan
darah 120/90 mmHg, nadi 80x/menit, nafas 20x/menit, suhu 36,50 C. Dari
pemeriksaan nervus kranialis, didapatkan pemeriksaan N.I-N.XII baik, kecuali
N.VII. Pada pemeriksaan N.VII didapatkan raut wajah yang tidak simetris,
dimana plika nasolabialis kiri lebih datar, dahi sebelah kiri tidak dapat dikerutkan,
kelopak mata kiri tidak dapat ditutup, tidak dapat bersiul, dan tidak dapat

28
memperlihatkan gigi. Tidak ditemukan hipeakusis karena jika nervus fasialis
terjepit di foramen stilomastoideum maka ia tidak lagi mengandung serabut korda
timpani dan serabut yang mempersarafi muskulus stapedius. Tidak adanya
kelumpuhan anggota gerak dapat menyingkirkan kemungkinan stroke yang dapat
menyebabkan paralisis N.VII, yang lesinya bersifat sentral.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat ditegakkan diagnosis
klinis Paresis Nervus VII tipe perifer (Bell’s Palsy), dengan diagnosis topik
Nervus VII, dan etiologi idiopatik.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan Bell’s Palsy secara
medikamentosa yaitu dengan pemberian kortikosteroid, seperti prednison 1
mg/kgBB (prednisone 60 mg), di tappering off diturunkan 2 tab/hari sampai 10
hari (stadium akut), diberikan Neurodex 3x1 tab, dan dapat ditambahkan analgetik
(bila nyeri). Tatalaksana non medikamentosa berupa fisioterapi, dilakukan setelah
hari ke 4 awitan. Hal ini dapat dilakukan dengan melatih sisi wajah yang lumpuh
untuk melakukan gerakan seperti mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum,
bersiul/meniup, mengangkat sudut mulut, dapat juga dilakukan massase wajah sisi
yang lumpuh. Tujuan fisioterapi ini untuk mempertahankan tonus otot yang
lumpuh.
Prognosis kasus ini adalah bonam, karena berdasarkan epidemiologi
dengan Bell’s Palsy akan sembuh sempurna (dalam waktu 3 bulan). Paralisis
ringan atau sedang pada saat awitan merupakan tanda prognosis baik.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiratman W, Safri AY, Indrawati LA, Octaviana F, Hakim M. Neuropati.


Dalam: Anindatha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Jakarta:
Departemen Neurologi FKUI. 2017.
2. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Bell’s palsy. Dalam:
panduan praktik klinis neurologi. Perdossi. 2016.
3. Angulo M and Babcock E. Bell Palsy. Journal of the American Academy
of Physician Assistants. 2015.
4. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :
Badan Penerbit FKUI. 2013.
5. Estiasari R, Zairinal RA, Islamiyah WR. Pemeriksaan saraf kranialis.
Dalam: pemeriksaan klinis neurologi praktis. Kolegium neurologi Indonesi
perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. 2018.
6. Allan HR and Robert HB. Adams and Victor’s Principle of Neurologi. 8 th
edition, page 1181-1182. USA : Mc Graw-Hill Companies. 2005.
7. Gilchrist JM. Facial nerve palsy. Dalam: Roos, KL. Emergency neurology.
Springer science. 2012.
8. De Almeida, JR et al.. Management of bell’s palsy: Clinical Practice

Guideline. CMAJ: Canadian Med. Ass. J, Vol: 186 (12); 917– 922. 2014.
9. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, Vincentiis M.
Bell’s Palsy and Autoimmunity. Italy : Elsevier. 2015.
10. Danette CT. Bell Palsy. 2017. Diakses dari https://emedicine.medscape.
com /article/1146903-overview#a7 pada tanggal 11 Oktober 2018.
11. Mardjono M, Sidharta P, 2004. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis
Dasar. Jakarta : Dian Rakyat
12. Aminoff, MJ et al. 2005. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth
Edition, Mcgraw-Hill.
13. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis
Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2007.
14. Ropper, AH., Brown, Robert H. Dalam: Adams & Victors’ Principles of
Neurology, Eight Edition, McGraw-Hill. 2005.

30
15. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008.
16. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Diakses pada
tanggal 15 Oktober 2018.

31

Anda mungkin juga menyukai