Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penatalaksanaan Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)


1. Definisi
Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) adalah pendekatan sistematik dalam
memberikan pelayanan asuhan gizi yang berkualitas yang dilakukan oleh tenaga
gizi, melalui serangkaian aktivitas yang terorganisir yang meliputi identifikasi
kebutuhan gizi sampai pemberian pelayanannya untuk memenuhi kebutuhan gizi
(Kemenkes RI, 2014).
Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) adalah suatu metode pemecahan
masalah yang sistematis, dimana dietisien profesional menggunakan cara berpikir
kritisnya dalam membuat keputusan untuk menangani berbagai masalah yang
berkaitan dengan gizi, sehingga dapat memberikan asuhan gizi yang aman, efektif
dan berkualitas tinggi. Proses asuhan gizi terstandar disusun sebagai upaya
peningkatan kualitas pemberian asuhan gizi. Menurut National Academy Of
Scince’s-Institute Of Medicine (IOM), kualitas pelayanan adalah tingkatan
pelayanan kesehatan untuk individu dan populasi yang mengarah kepada
tercapainya hasil kesehatan yang diinginkan, sesuai pengetahuan profesional
terakhir. Kualitas pelayanan dinilai melalui hasil kerja dan kepatuhan proses
terstandar yang telah di sepakati (Wahyuningsih, 2013).

Beberapa kata kunci yang perlu dipahami dalam pengertian PAGT adalah :
a. Proses: serangkaian langkah atau tindakan yang berkaitan untuk mencapai
suatu hasil, atau kumpulan aktivitas yang merubah input menjadi suatu
output.
b. Pendekatan proses: yaitu identifikasi dan pengaturan berbagai kegiatan secara
sistematis dan interaktif dari berbagai aktivitas. Pendekatan proses
menekankan pada pentingnya: pemahaman atas kebutuhan dan
pemenuhannya, penentuan apakah proses ini dapat memberikan nilai tambah,

1
2

penentuan unjuk kerja proses dan efektifitasnya, penggunaan ukuran yang


objektif untuk perbaikan berkelanjutan dari proses tersebut.
c. Berpikir kritis: yaitu kemampuan menganalisa masalah, merumuskan dan
mengevaluasi solusi dengan mengintergrasikan fakta, opini, menjadi
pendengar aktif dan melakukan pengamatan. Karakteristik berpikir kritis
meliputi: berpikir konseptual, rasional, kreatif, mandiri, dan memiliki
keinginan untuk tahu lebih mendalam.
d. Membuat keputusan: proses kritis dalam memilih tindakan terbaik untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
e. Memecahkan masalah: proses yang terdiri dari identifikasi masalah, formulas
pemecahan masalah, implementasi dan evaluasi hasil.
f. Kolaborasi: yaitu proses dimana beberapa individu/kelompok dengan
kepentingan yang sama bergabung untuk menangani masalah yang
teridentifikasi (Wahyuningsih, 2013).
Dalam pengembangan NCP, ADA menyusun suatu model asuhan gizi yang
mencerminkan konsep – konsep kunci dari setiap langkah proses asuhan gizi.
Hubungan antara dietisien dengan pasien/klien menjadi fokus dari model tersebut.
Model ini juga mengidentifikasi berbagai faktor dari model tersebut. Model ini juga
mengidentifikasi berbagai faktor lain yang mempengaruhi proses dan kualitas
pemberian asuhan gizi (Sumaprdja, 2011).

2. Model Asuhan Gizi


Model asuhan gizi di indonesia saat ini mngacu pada model yang
dikembangkan oleh ADA. Model ini mecerminkan langkah – langkah kunci PAGT,
faktor – faktor yang berperan dan bagaimana faktor – faktor tersebut saling
bersinggungan, bergantung dan bergerak secara dinamis untuk memberikan asuhan
gizi yang berkualitas.
3

Gambar 1. Model asuhan gizi & Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)
Sumber :ADA, 2003, dalam Kemenkes, 2014.

Penjelasan :
a. Lingkaran tengah menggambarkan hubungan antara dietisien dengan
klien/pasien.
b. Kotak terdalam menggambarkan kemampuan dietisien dalam menerapkan
PAGT, berdasaarkan 4 langkah yang berkesinambungan yaitu pengkajian
gizi, diagnosis gizi, intervensi gizi sampai monitoring dan evaluasi.
c. Kotak tengah memperlihatkan kompetensi yang unik dari seorang dietisien
dalam menerapkan PAGT. Kompetensi tersebut meliputi pngetahuan dan
ketrampilan dietetik agar dietisien mengambangkan kapasitasnya untuk
berpikir kritis, berkolaborasi dan berkomunikasi. Selain itu mendorong
dietisien bekerja berdasarkan fakta-fakta dan kode etik profesi.
d. Kotak terluar menunjukkan faktor lingkungan yang dapat berpengaruh
terhadap kemampuan klien/pasien/kelompok untuk menerima dan
memperoleh manfaat dari intervensi asuhan gizi. Faktor lingkungan
tersebut adalah tempat pelayanan asuhan gizi, sistem pelayanan kesehatan
yang menunjang pelayanan asuhan gizi dan ekonomi dan sistem sosial
yang ada.
4

Fokus utama dalam model ini adalah hubungan antara klien/pasien dengan
dietisien. Kunci keberhasilan pelayanan asuhan gizi terpusat pada hubungan ini,
yaitu bagaimana dietisien dapat berkolaborasi dengan klien/pasien, memberikan
pelayanan terfokus pada klien/pasien melalui pendekatan individu.
Sistem pertama adalah skrining dan rujukan yang merupakan akses masuk ke
dalam siklus PAGT. Pasien yang mendapat PAGT adalah pasien yang
teridentifikasi membutuhkan asuhan gizi melalui proses skrining dan rujukan.
Proses ini bukan termasuk dalam PAGT. Dalam mengidentifikasi individu yang
membutuhkan asuhan gizi dibutuhkan integrasi dari tim kesehatan.
Proses Asuhan Gizi Terstandar merupakan siklus yang terdiri dari 4 langkah
yang berurutan dan saling berkaitan, yaitu :
1) Pengkajian Gizi
2) Diagnosis Gizi
3) Intervensi Gizi
4) Monitoring dan evaluasi Gizi
Proses di atas hanya dilakukan pada pasien/klien yang teridentifikasi resiko
gizi atau sudah malnutrisi dan membutuhkan dukungan gizi individual. Identifikasi
resiko gizi dilakukan melalui skrining/penapisan gizi, dimana metodanya
tergantung dari kondisi dan fasilitas setempat.
Kegiatan dalam PAGT diawali dengan melakukan pengkajian gizi lebih
mendalam. Bila masalah gizi yang spesifik telah ditemukan, maka dari data
obyektif dan subyektif pengkajian gizi dapat ditentukan penyebab, derajat serta area
masalahnya. Berdasarkan fakta tersebut ditegakkan diagnosis gizi. Selanjutnya
disusun rencana intervensi untuk di laksanakan berdasarkan diagnosis gizi.
Monitoring dan evaluasi dilakukan setelahnya untuk mengamati perkembangan dan
respon pasien terhadap intervensi yang diberikan. Bila tujuan ini tercapai maka
proses ini akan dihentikan, namun bila tujuan tidak tercapai atau tujuan awal
tercapai tetapi terdapat masalah gizi yang baru, maka proses berulang kembali
mulai dari pengkajian gizi. Siklus asuhan gizi ini terus berulang sampai pasien/klien
tidak membutuhkannya lagi.
5

Proses asuhan gizi terstandar ada 4 langkah yang berurutan dan saling berkaitan,
yaitu :
a. Pengkajian gizi
Pengkajian gizi merupakan kegiatan mengumpulkan, mengintegrasikan dan
menganalisis data untuk identifikasi masalah gizi yang terkait dengan aspek asupan
zat gizi dan makanan, aspek klinis dan aspek perilaku-lingkungan serta
penyebabnya. Untuk mengidentifikasi masalah gizi, data pengkajian gizi terdapat 5
komponen yaitu (Sumapradja, 2011).
1) Riwayat gizi/makanan
Pengumpulan dan pengkajian data riwayat gizi meliputi asupan makanan,
kepedulian terhadap gizi dan kesehatan serta pengelolaannya, aktifitas fisik dan
ketersediaan makanan.
2) Data biokimia, pemeriksaan dan prosedur medis
Data biokimia, pemeriksaan ataupun prosedur medis yang berkaitan dengan
status gizi, status metabolik dan gambaran fungsi organ yang dapat berpengaruh
terhadap timbulnya masalah gizi. Contoh : kadar glukosa darah, nilai elektrolit,
lemak darah (kolesterol, trigliserida, HDL, LDL).
3) Pengukuran antropometri
Hasil pengukuran fisik/ukuran tubuh pada individu, contoh : tinggi badan
(TB), berat badan (BB), lingkar lengan (LILA), tebal lemak, lingkar pinggang,
lingkar panggul.
4) Pemeriksaan fisik klinis
Aspek klinis meliputi kondisi kesehatan secara umum;kesehatan gigi,
kesehatan mulut. Penampilan fisik meliputi: tampak kurus, gemuk, pengerutan otot
dan penurunan lamak sub kutan (kondisi-kondisi yang menggambarkan tanda
kurang gizi).
5) Riwayat personal pasien
Riwayat obat-obatan, sosial budaya, riwayat penyakit (keluhan utama
terkait dengan masalah gizi, riwayat penyakit dahulu dan sekarang, riwayat
pembedahan, penyakit kronis atau resiko komplikasi, riwayat penyakit keluarga,
status kesehatan mental/emosi, kemampuan kognitif misalnya pasien stroke) dan
6

data umum pasien ( umur, pekerjaan , peranan dalam keluarga dan tingkat
pendidikan) (Wahyuningsih, 2013).

b. Diagnosis Gizi
Diagnosis gizi adalah kegiatan mengidentifikasi dan memberi nama
masalah gizi yang aktual, dan atau berisiko menyebabkan masalah gizi yang
merupakan tanggung jawab dietisien untuk menanganinya secara mandiri.
Diagnosis gizi diuraikan atas komponen masalah gizi (Problem), penyebab masalah
(Etiology) serta tanda dan gejala adanya masalah (Signs and Symptoms). Diagnosis
gizi berbeda dengan diagnosis medis, baik dari sifatnya maupun cara penulisannya.
Diagnosis gizi dapat berubah sesuai dengan respon pasien, khususnya terhadap
intervensi gizi yang dilakukan. Sementara diagnosis medis lebih menggambarkan
kondisi penyakit atau patologi dari suatu organ tertentu, dan tidak berubah selama
kondisi patologis/penyakit itu ada. Dari aspek penulisan, pernyataan diagnosis
disusun dengan kalimat yang terstruktur sesuai dengan komponennya yaitu
Problem (P), Etiology (E) dan Signs and Symptoms (S), dan di singkat menjadi P-
E-S (Sumapradja, 2011).
1) Problem
Menggambarkan masalah gizi pasien/klien dimana dietisien bertanggung
jawab untuk memecahkannya secara mandiri. Berdasarkan masalah tersebut dapat
dibuat :
a) Tujuan dan target intervensi gizi yang lebih realistis, terukur
b) Menetapkan menetapkan prioritas intervensi gizi.
c) Memantau dan mengevaluasi perubahan yang terjadi setelah dilakukan
intervensi gizi.
2) Etiology
Menunjukkan faktor penyebab atau faktor-faktor yang mempunyai
kontribusi terjadinya Problem (P). Faktor penyebab dapat berkaitan dengan
patofisiologi, psikososial, lingkungan, perilaku dan sebagainya. Etiology ini
merupakan dasar dari penentuan intervensi apa yang akan dilakukan.
7

3) Signs and Symptoms


Merupakan pernyataan yang menggambarkan besarnya atau kegawatan
kondisi pasien/klien. Signs umumnya merupakan data objektif, sementara
symptoms atau gejala merupakan data subyektif. Data-data tersebut diambil dari
hasil pengkajian gizi yang dilakukan sebelumnya. Signs & Symptoms ini merupakan
dasar untuk monitoring dan evaluasi hasil .
c. Intervensi Gizi
Intervensi adalah serangkaian aktivitas spesifik dan berkaitan dengan
penggunaan bahan untuk menanggulangi masalah. Aktifitas ini merupakan
tindakan yang terencana secara khusus, dengan tujuan mengatasi masalah gizi
terkait perilaku; kondisi lingkungan; atau status kesehatan individu, kelompok, atau
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi klien.
Langkah ketiga dalam PAGT ini meliputi penentuan prioritas diagnosis gizi,
pemilihan, perencanaan dan implementasi tindakan yang sesuai untuk memenuhi
kebutuhan gizi pasien, klien atau kelompok. Pemilihan intervensi gizi di tentukan
oleh diagnosis gizi dan dapat menentukan dampak intervensi yang akan diukur dan
dievaluasi kemudian. Didalam intervensi gizi terdapat 2 komponen yang saling
berkaitan yaitu :
1) Perencanaan intervensi gizi
Perencanaan intervensi gizi dimulai dengan menetapkan prioritas diagnosis
gizi berdasarkan derajat kegawatan masalah, keamanan, dan kebutuhan pasien,
diikuti kemudian dengan memilih tindakan yang berdampak pada masalah
berdasarkan penyebabnya. Untuk mementukan diagnosis gizi mana yang dapat
berpengaruh secara positif, perlu dikaji hubungan antara komponen-komponen
dalam diagnosis gizi dengan inetrvensi gizi.
Komponen Problem pada diagnosis gizi merupakan dasar untuk
menetapkan tujuan intervensi, sehingga didapatkan target yang realistis, dapat
diukur dan dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan penyebab dalam
diagnosis gizi merupakan komponen yang mengarahkan intervensi gizi. Bila
penyebab tidak dapat dikoreksi melalui intervensi gizi, maka intervensi gizi
direncanakan berdasarkan komponen signs and symptoms (S/S) yang ada. Selain
8

itu, komponen S/S dijadikan dasar sebagai indikator untuk monitoring dan evaluasi
gizi (Sumapradja, 2011).
a) Tujuan Intervensi
Penetapan tujuan harus dapat diukur, dicapai dan ditentukan waktunya.
Idealnya penetapan tujuan dilakukan bersama dengan pasien ,dan/keluarganya,
walaupun tidak untuk semua kasus, misalnya pada pasien yang harus mendapat zat
gizi enteral atau parenteral.
b) Preskripsi diet
Presripsi diet secara singkat menggambarkan rekomendasi mengenai
kebutuhan energi dan zat gizi individual, jenis diet, bentuk makanan, komposisi zat
gizi, dan frekuensi makan.
2) Implementasi
Suatu intervensi gizi harus menggambarkan dengan jelas:”apa, dimana,
kapan, dan bagaimana” intervensi itu dilakukan. Kegiatan ini juga termasuk
pengumpulan data kembali, dimana data tersebut dapat menunjukkan respon pasien
dan perlu atau tidaknya modifikasi intervensi gizi.
a) Fase pelaksanaan:
(1) Melakukan komunikasi rencana intervensi gizi dengan tenaga
terkait.
(2) Melaksanakan rencana intervensi
(3) Melanjutkan pengumpulan data
b) Aspek lain:
(1) Intervensi gizi secara individu
(2) Melakukan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain
(3) Menindak lanjuti dan membuktikan bahwa intervensi gizi
dilaksanakan
(4) Menyesuaikan strategi intervensi bila dibutuhkan sesuai dengan
respon pasien.
9

Tabel 1.
Domain intervensi gizi
Kelas Pengertian
1. Pemberian makanan Penyediaan makanan atau zat gizi sesuai kebutuhan melalui
dan zat gizi pendekatan individu. Meliputi jenis, frekuensi, modifikasi
diet ; pemberian enteral, suplemen (oral suplemen maupun
suplemen vitamin dan mineral); atau substansi bioaktif
(misalnya Psylium); feeding assistance, suasana makan dan
pengobatan terkait dengan gizi.
2. Edukasi gizi Merupakan proses formal dalam melatih ketrampilan atau
membagi pengetahuan yang membantu pasien mengelola
atau memodifikasi diet dan prilaku secara sukarela untuk
menjaga atau menignkatkan kesehatan. Meliputi edukasi
gizi awal/singkat dan edukasi gizi secara menyeluruh.
3. Konseling gizi Bersifat supportive process, ditandai dengan hubungan
kerjasama antara konselor dan pasien dalam menentukan
prioritas, tujuan/target, merancang rencana kegiatan yang
dipahami, dan membimbing kemandirian dalam merawat
diri sesuai kondisi yang ada dan menjga kesehatan.
4. Koordinasi gizi Kegiatan berkonsultasi, merujuk, atau koordinasi pemberian
asuhan gizi dengan tenaga kesehatan atau institusi lain yang
dapat membantu dalam merawat atau mengelola masalah
yang berkaitan dengan gizi.
Sumber : Sumapraja. 2011

d. Monitoring dan evaluasi gizi


Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui respon pasien terhadap intervensi
dan tingkat keberhasilannya. Indikator hasil yang diamati dan dievaluasi harus
mengacu pada kebutuhan pasien, diagnosis gizi, tujuan intervensi dan kondisi
penyakit. Sedangkan waktu pengamatan dari masing-masing indikator sesuai
dngan rujukan yang digunakan.
Data hasil monitoring dan evaluasi gizi dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi sistem manajemen pelaynan kesehatan secara keseluruhan. Dampak dari
10

asuhan gizi mempunyai kontribusi pada hasil pelayanan kesehatan yang


diinginkan.

Tabel 2.
Kelas domain monitoring dan evaluasi gizi
Kelas Pengertian
5. Dampak perilaku dan Tingkat pemahaman, perilaku, askes dan kemampuan
lingkungan gizi yang mungkin mempunyai pengaruh pada asupan
makanan dan zat gizi
6. Dampak asupan Asupan makanan dan atau zat gizi dari berbagai
makanan dan zat gizi sumber, misalnya makanan, minuman, suplemen dan
melalui rute enteral maupun parenteral.
7. Dampak terhadap tanda Pengukuran yang terkait dengan antropometri,
dan gejala fisik terkait biokimia, dan parameter pemeriksaan fisik
gizi
8. Dampak terhadap Pengukuran yang terkait dengan persepsi pasien
pasien terkait gizi terhadap intervensi yang diberikan dan dampaknya
oada kualitas hidup
Sumber : Sumapraja. 2011

B. Ginjal
1. Anatomi Ginjal
Struktur ginjal dilingkupi selaput tipis dari jaringan fibrus yang rapat
membungkusnya dan membentuk pembungkus yang halus. Didalamnya
terdapat struktur-struktur ginjal. Terdiri atas bagian korteks dari sebelah luar
dan bagian medula disebelah dalam. Bagian medula ini tersusun atas
limabelas sampai enambelas massa berbentuk piramida yang disebut piramis
ginjal. Puncak-puncaknya langsung mengarah ke hilus dan berakhir di
kalises. Kalises ini menghubungkannya dengan pelvis ginjal (Irianto, 2014).
Berikut adalah gambaran umum struktul ginjal :
11

Gambar 2. Ginjal : gambaran umum struktural


Sumber : O’Callghan, 2009

Struktur halus ginjal terdiri atas banyak nefron yang merupakan satuan-
satuan fungsional ginjal dan diperkirakan ada 1.000.000 nefron dalam setiap
ginjal. Setiap nefron mulai sebagai berkas kapiler (badan malpighi ata
glomerulus) yang erat tertanam dalam ujung atas lebar pada nefron. Dari sini
tubulus terbentuk sebagian berkelok-kelok dan dikenal sebagai kelokan pertama
atau tubula proksimal dan sesudah itu terdapat sebuah simpai Henle. Kemudian
tubula distal yang bersambung dengan tubula penampung, yang berjalan
melintasi korteks dan medula, yang berakhir dipuncak salah satu piramida
(Irianto, 2014).
12

2. Proses Pembentukan Urine


Proses filtrasi di glomerulus, terjadi penyerapan darah, yang tersaring
adalah bagian cairan darah kecuali protein. Cairan yang tersaring ditampung
oleh simpai Bowman yang terdiri dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat,
bikarbonat, diteruskan ke tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrat
gromerulus (Irianto, 2014).
Pada orang sehat jumlah pertukaran filtrasi per menit 125 ml. Faktor
klinis yang mempengaruhi LFG adalah tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik
filtrat. Hipoproteinemia terjadi pada kelaparan akan menurun tekanan osmotik
dan meningkatkan LFG. Tekanan hidrostatik plasma dan tekanan osmotik filtrat
kapsula Bowman bekerja sama untuk meningkatkan gerakan air. Molekul
permeabel kecil dari plasma masuk ke dalam kapsula Bowman, tekanan
hidrostatik dan tekanan osmotik filtrat dalam kapsula Bowman bersama-sama
mempercepat gerakan air dan molekul permeabel dari kapsula Bowman masuk
ke kapiler. Jumlah tekanan (90 – 3) – (32 – 15 ) = 70 mmHg, akan
mempermudah pemimdahan filtrat dari aliran darah ke dalam kapsula Bowman.
Laju ini dinamakan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) (Syaifuddin, 2012).
Proses reabsorbsi, proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar
dari glikosa, sodium, klorida, fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya
terjadi secara pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proksimal. Sedangkan pada
tubulus distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila
diperlukan tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan
sisanya dialirkan pada papila renalis.
Proses sekresi, sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal
dialirkan ke papila renalis selanjutnya diteruskan ke luar.

3. Pengeluaran Air Kemih Dan Mekanisme Fungsi Ginjal


Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat
yang tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa
urine (air kemih). Setiap menit kira-kira 1 liter darah yang mengandung 500 ccm
13

plasma mengalir melalui semua glumeruli dan sekitar 100 cc dari itu di saring
keluar. Plasma yang berisi garam, glukosa, dan benda halus lainnya disaring.
Sel dan protein plasma terlalu besar untuk dapat menembus filter atau
saringan dan tetap tinggal dalam aliran darah. Bila kita membandingkan jumlah
yang disaring oleh glumeruli setiap hari dengan jumlah yang biasanya
dikeluarkan ke dalam air kemih, kita akan dapat melihat besar daya selektif sel
tubula seperti pada tabel:

Tabel 3.
Daya selektif sel tubuh terhadap bahan yang disaring dan dibuang
Bahan Disaring Dibuang
Air 150 liter 1,5 liter
Garam 700 gr 15 gr
Glukosa 170 gr -
Urea 50 gr 30 gr
Sumber : Irianto, 2014

Urin biasanya jernih, berwarna sedikit kuning yang di sebabkan oleh


warna urobilinogen. Urobilinogen berasal dari bilirubin. Semakin pekat urin
makin kuning-coklatlah warnanya dan makin tinggi berat jenisnya. Berat jenis
urine normal 1,002-1,035. Urine yang keruh biasanya menunjukkan adanya
kristal garam atau adanya lendir.
Apabila dibiarkan beberapa lama urine akan menjadi berbau pesing
karena terbentuk amoniak (NH3) dari urea atau dari ion ammonium. Urine
bersifat asam (pH < 7) karena makanan yang mengandung banyak protein akan
menurunkan pH urine. Sedangkan makanan yang mengandung sayuran
menaikkan pH urine. pH normal urine 4,5-8,00. Volume urine yang normal ialah
900-2100 cc per hari.
Beberapa faktor yang mempengaruhi volume urine:
a. Kekentalan dari cairan tubuh, bila kita banyak minum maka: tekanan darah
cenderung naik, vas aferens berdilatasi, GFR meningkat, berakibat volume
urin meningkat. Konsentrasi air dalam plasma meningkat, ADH tidak
disekresikan oleh hipofisis mengakibatkan volume urin meningkat. Atau
14

sewaktu kekurangan minum atau muntaber ataupun berkeringat banyak,


maka akan terjadi hal sebaliknya: Tekanan darah cenderung turun, renin
disekresikan oleh apparatus juksta glomeruler terbentuk angiostensin II
sehingga kadar oksigen aldosteron meningkat dan volume urin menurun.
Konsentrasi air dalam plasma menurun, sekresi ADH meningkat
reabsorbsi fakultasi dari air meningkat mengakibatkan volume urin
menurun.
b. Di udara yang dingin, rangsang dingin akan menyebabkan refleks penciutan
(vasokontriksi) pembuluh darah kulit, warna kulit menjadi pucat
dan keringat berkurang, volume darah dan tekanan darah cenderung naik
GFR naik, kadar ADH menurun, renin menurun maka volume urin
meningkat. Kopi, obat asma (aminofilin), obat jantung (digitalis) semuanya
meningkatkan kardiak output, GFR meningkat dan volume urin meningkat.
c. Sewaktu stres psikis, tekanan darah dapat meningkat, GFR meningkat
volume urin meningkat (Irianto, 2014).
4. Fungsi Ginjal
Salah satu fungsi ginjal yang terpenting adalah membuang bahan-bahan sisa
dari hasil pencernaan atau metabolisme tubuh. Fungsi ginjal yang kedua adalah
mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh. Untuk air dan semua elektrolit
dalam tubuh, keseimbnangan antara asupan (akibat pencernaan atau produksi
metabolik) dan keluaran (akibat ekskresi ginjal)sebagian besar dipertahankan oleh
ginjal.
Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting dengan menyaring plasma.
Akhirnya, ginjal “membuang” zat yang tidak diinginkan dari filtrat (dan dari
darah) dengan mengekresikannya ke dalam urine, sementara zat yang masih
dibutuhkan akan dikembalikan ke dalam darah.
Ginjal menjalankan berbagai macam fungsi yang penting untuk diketahui,
yaitu :
a. Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit
Untuk mempertahankan homeostatis,ekskresi air dan elektrolit harus sesuai
dengan asupan. Jika asupan melebihi ekskresi, jumlah zat dalam tubuh akan
meningkat. Jika asupan kurang dari ekskresi, jumlah zat dalam tubuh akan
15

berkurang. Asupan air dan banyaknya elektrolit terutama ditentukan oleh


kebiasaan makan dan minum seseorang sehingga mengharuskan ginjal untuk
menentukan kecepatan ekskresinya sesuai dengan asupan berbagai zat.
b. Pengaturan keseimbangan Asam-Basa
Ginjal turut mengatur keseimbangan asam-basa, bersama dengan sistem
pernapasan dan cairan tubuh, dengan cara mengekskresi asam dan mengatur
penyimpanan cairan tubuh. Ginjal merupakan satu-satunya organ untuk
membuang tipe-tipe asam tertentu, seperti asam sulfat atau fosfat.
c. Ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing
Produk ini meliputi urea (dari metabolisme asam amino), kreatinin (dari
kreatin otot), asam urat (dari asam nukleat), produk akhir pemecahan hemoglobin
(seperti bilirubin), dan metabolit dari berbagai hormon. Ginjal juga membuang
banyak toksin dan zat asing lainya, seperti obat-obatan dan makanan tambahan.
d. Pengaturan tekanan arteri
Ginjal berperan penting dalam mengatur tekanan arteri jangka panjang,
dengan mengekskresikan sejumlah natrium dan air. Selain itu, ginjal ikut
mengatur tekanan darah jangka pendek dengan menyekresi faktor, atau zat
vasoaktif, seperti renin, yang menyebabkan pembentukan produk vasoaktif.
e. Pengaturan produksi eritrosit
Ginjal menyekresi eritropoietin, yang pembentukan sel darah merah. Salah
satu rangsangan penting untuk sekresi eritropoietin oleh ginjal ialah hipoksia.
Pada manusia normal, ginjal menghasilkan hampir semua eritropoetin yang
disekresi ke dalam sirkulasi. Pada orang yang menderita penyakit ginjal berat atau
menjalani pengangkatan ginjal dan hemodialisis, anemia berat akan timbul
sebagai akibat penurunan produksi eritropoetin.
f. Pengaturan produksi 1,25-Dihiroksi Vitamin D3
Ginjal mengahasilkan bentuk aktif vitamin D, yaitu 1,25-dihiroksi vitamin
D3, dengan menghidroksilasi vitamin ini pada posisi nomor “1”. Vitamin D
memegang peranan penting dalam penganturan kalsium dan fosfat.
g. Sintesa Glukosa
Ginjal menyintesis glukosa dari asam amino dan prekusor lainnya selama
masa puas yang panjang. Proses sintesis ini disebut glukoneogenesis. Kapasitas
16

ginjal untuk menambahkan glukosa pada darah selama masa puasa yang panjang,
dapat menyaingi kapasitas pada hati (Manaba, 2016).
5. Penyakit gagal ginjal
Semua proses penyakit yang mengakibatkan kehilangan nefron secara
progref dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Seiring dengan berkurangnya
jumlah nefron yang berfungsi, nefron yang tersisa melakukan kompensasi
dengan meningkatkan filtrasi dan reabsorbsi zat terlarut. Komplikasi gagal ginjal
kronik disebabkan oleh akumulasi berbagai zat yang normalnya diekskresi oleh
ginjal, Serta produksi vitamin D dan eritropoeietin yang tidak adekuat oleh
ginjal.
Pada gagal ginjal kronik, biasanya terdapat komplikasi kronik yang
meliputi anemia akibat eritropoietin yang tidak adekuat, serta penyakit tulang,
biasanya dengan kadar kalsium rendah, fosfat tinggi, dan hormon paratiroid
(O’Callghan, 2009).
Kategori albuminuria Diskripsi dan
rentang
A1 A2 A3
Normal – Peningkatan Peningkataan
peningkatan sedang berat
ringan
< 30 mg/g 30-300 >300 mg/g
<3 mg/g >30mg/mmol
mg/mmol 3-3-
mg/mmol
Kate G1 Normal atau ≥90
gori tinggi
GFR G2 Penurunan 60-89
ringan
G3a Penurunan 45-59
ringan –
sedang
G3b Penurunan 30-44
sedang –
berat
G4 Penurunan 15-29
berat
G5 Gagal <15
Ginjal

Gambar 3. Derajat dan progresivitas PGK


Sumber : KDIGO 2012 dalam Infodatin, 2017
17

Keterangan : Warna hijau : resiko rendah ( jika tidak terdapat marker penyakit
ginjal : bukan PGK); kuning: resiko meningkat sedang; oranye: resiko tinggi;
merah: resiko sangat tinggi.
Pada derajat awal, PGK belum menimbulkan gejala dan tanda, bahkan
hingga laju filtrasi glomerulus sebesar 60% pasien masih asimtomatik namun
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Kelainan secara klinis
dan laboratorium baru terlihat dengan jelas pada derajat 3 dan 4. Saat laju filtrasi
glomerulus sebesar 30%, keluhan seperti badan lemah, mual, nafsu makan
berkurang dan penurunan berat badan mulai dirasakan pasien. Pasien mulai
meraakan gejala dan tanda uremia yang nyata saat laju filtrasi glomerulus kurang
dari 30% (Infodatin, 2017).
Penyebab tersering penyakit ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi
penggantian ginjal adalah Diabetes melitus (40%), Hipertensi (25%), dan
Glomerulinefritis (15%) (O’Callghan, 2009).
Tahap perkembangan gagal ginjal kronik menurut Baradero,dkk. 2009.
a. Penurunan cadangan ginjal
1) Sekitar 40 – 75% nefron tidak berfungsi
2) Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal
3) BUN dan kreatinin serum masih normal
4) Pasien asimtomatik
b. Gagal Ginjal
1) 75-80% nefron tidak berfungsi
2) Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal
3) BUN dan kreatinin serum mulai meningkat
4) Anemia ringan dan azotemia ringan
5) Nokturia dan poliuria
c. Gagal ginjal
1) Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal
2) BUN dan kreatinin serum meningkat
3) Anemia, azotemua dan asidosis metabolik
4) Berat jenis urine
18

5) Poliuri dan nokturia


6) Gejala gagal ginjal
d. End-stage renal disease (ESRD)
1) Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi
2) Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal
3) BUN dan kreatinin tinggi
4) Anemis, azotemua, dan asidosis metabolik
5) Berat jenis urine tetap 1,010
6) Oliguria
7) Gejala gagal ginjal
Selama gagal ginjal kronik, beberapa nefron termasuk glomeruli dan
tubula masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain sudah rusak dan tidak
berfungsi lagi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi mengalami hipertrofi dan
menghasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsorbsi tubula juga meningkat
walaupun laju filtrasi glomerulus berkurang. Kompensasi nefron yang masih
utuh dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya sampai tiga perempat
nefron rusak (Baradero,dkk, 2009).
6. Tanda dan gejala Gagal Ginjal kronik
Solut dalam cairan menjadi lebih banyak dari yang dapat direabsorbsi dan
mengakibatkan diuresis osmotik dengan poliuria dan haus. Akhirnya, nefron
yang rusak bertambah dan terjadi oliguria akibat sisa metabolisme tidak
diekskresikan.
Tanda dan gejala timbul akibat cairan dan elektrolit yang tidak seimbang,
perubahan fungsi regulator tubuh, dan retensi solut. Anemia terjadi karena
produksi eritrosit juga tergangu (sekresi eritropoietin ginjal berkurang). Pasien
mengeluah cepat lelah, pusing dan letargi.
Hiperurisemia sering ditemukan pada pasien dengan ESRD. Fosfat serum
juga meningkat, tetapi kalsium mungkin normal atau di bawah normal. Hal ini
disebabkan ekskresi ginjal terhadap fosfat menurun. Ada peningkatan produksi
parathormon sehingga kalsium serum mungkin normal.
Tekanan darah meningkat karena adanya hipervolemia; ginjal
mengeluarkan vasopresor (renin). Kulit pasien juga mengalami
19

hiperpigmentasi serta kulit tampak kekuningan atau kecokelatan. Uremic frosts


adalah kristal deposit yang tampak pada pori-pori kulit. Sisa metabolisme yang
tidak dapat diekskresikan oleh ginjal diekskresikan melalui kapiler kulit yang
halus sehingga tampak uremic frosts: pasien dengan gagal ginjal yang
berkembang dan menjadi berat (tanpa pengobatan yang efektif), dapat
mengalami tremor otot, kesemutan betis dan kaki, perikarditis dan pleuritis.
Tanda ini dapat hilang apabila kegagalan ginjal ditangani dengan modifikasi
diet, medikasi dan/atau dialisis.
Gejala uremia terjadi sangat perlahan sehingga pasien tidak dapat
menyebutkan kaitan uremianya. Gejala azotemia juga berkembang termasuk
letargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan menurun, cepat
marah dan depresi. Gagal ginjal yang berat menunjukkan gejala anoreksia,
mual dan muntah yang berlangsung terus, pernapasan pendek, edema pitting,
serta pruritus.
Wanita dengan ESRD yang sudah berkembang mengalami perubaan
siklus menstruasi. Kemungkinan terjadi pendarahan diantara menstruasi
(ringan atau berat) atau menstruasi berhenti sama sekali. Perubahan pada
menstruasi dapat mengakibatkan infertilitas. Pria dapat mengalami kesulitan
ereksi. Apabila 80-90% fungsi ginjal sudah hlang, pasien akan menunjukkan
kegagalan ginjal yang khas.
Sekitar 30-70% dari pasien dengan CRF mengalami hipertrigliseridemia
Aterosklerosis mungkin terjadi sebagai akibat peningkatan rasio high-density
lipoprotein (HDL) (Baradero,dkk, 2009).
20

Tabel 4.
Manisfestasi sistem tubuh pada gagal ginjal kronik
Penyebab Tanda/gejala Parameter pengkajian
Sistem hematopoietik
1. Eritropoietin Anemia, cepat lelah Hematokrit
menurun Hemglobin
2. Perdarahan Trombositopenia Hitung trombosit
3. Trombositopenia Ekimosis Petekie dan hematoma
ringan Hematemesis dan
4. Kegiatan trombosit Perdarahan melena
menurun
Sistem kardiovaskular
1. Kelebihan beban Hipervolemia Tanda vital
cairan Hipertensi Berat badan
2. Mekanisme renin Takikardia Elektokardiogram
angiotensin Disritmia Auskultasi jantung
3. Anemia Gagal jantung Pemantauan elektrolit
4. Hipertensi kronik kongestif Kaji keluhan nyeri
5. Toksin uremik dalam Perikardia
cairan perikardium
Sistem pernapasan
1. Mekanisme Takipnea Pengkajian pernapasan
kompensasi untuk Pernapasan kussmaul Hasil pemeriksaan gas
asidosis metabolik Halitosis uremik atau darah arteri
2. Toksin uremik fetor Inspeksi mukosa oral
3. Paru uremik Sputum yang lengket Tanda vital
4. Kelebihan beban Batuk disertai nyeri
cairan Suhu tubuh meningkat
Hilar pneumonitis
Pleural friction rub
Edema paru
21

Penyebab Tanda/Gejala Parameter Pengkajian


Sistem gastrointestinal
1. Perubahan kegiatan Anoreksia Asupan dan haluaran
trombosit Mual muntah Hematokrit
2. Toksin uremik serum Perdarahan Hemoglobin
3. Ketidaknseimbangan gastrointestinal Uji guaiak untuk feses
elektrolit Distensi abdomen Kaji feses
4. Urea diubah menjadi Diare dan konstipasi Kaji nyeri abdomen
amonis oleh saliva

Kulit
1. Anemia Pucat Lecet, lebam dan luka
2. Pigmentasi Pigmentasi Kaji warna kulit
3. Kelenjar keringat Pruritus Perhatikan garukan
mengecil Ekimosis pada kulit.
4. Kegiatan kelenjar Lecet
lemak menurun Uremic frosts
5. Ekskresi sisa
metabolisme
melalui kulit
Sistem perkemihan
1. Kerusakan nefron Urine berkurang Asupan, BUN dan
Berat jenis urine kreatinin serum
menurun Elektrolit serum
Proteinuria Berat jenis urine
Fragmen dan sel
dalam urine
Natrium dalam urine
berkurang
Sumber : Baradero, dkk, 2009
22

C. Hemodialisis
Pada Penyakit ginjal kronik, terutama pada tahap terminal, ginjal tidak
dapat melakukan fungsi normalnya dalam metabolisme hormon dan
metabolisme darah dengan cara menyaring hasil sisa metabolisme dan cairan.
Hal tersebut tidak dapat dilakukan sehingga terjadi akumulasi residu
metabolisme dan cairan dalam tubuh. Oleh karena itu, terapi pengganti ginjal
seperti hemidialisis (HD), dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan
(DPMB), atau transplantasi ginjal harus dilakukan ( Saat et al, 2011 dalam
Susetyowati, dkk, 2017).
Hemodialisis merupakan difusi molekul dalam darah seperti kalium,
natrium, fosfor, sulfur, asam amino berat molekul kecil dan hasil sisa
metabolisme nitrogen melewati membran semipermeabel mengikuti
konsentrasi gradien elektrokimia, seperti urea yang mengalir dari darah menuju
dialisat dan bikarbonat yang mengalir dari dialisat menuju darah. Hemodialisis
bertujuan membersihkan darah dari hasil sisa metabolisme, termasuk garam
dan cairan, mengontrol tekanan darah serta membantu menyeimbangkan
komponen mikronutrien seperti kalium, natrium, fosfor dan klorida
(Himmelfarb dan Ikizler, 2010 dalam Susetyowati, dkk, 2017).
Hemodialisis berperan sebagai pengganti sebagian fungsi ginjal, yaitu
mengekskresikan zat sisa dan zat toksik seperti ureum dan kreatinin dalam
tubuh. Sedangkan, fungsi ginjal lain seperti stimulator hormon eritropoetin
tidak bisa digantikan sehingga pasa pasien yang mengalami defisiensi hormon
eritropoetin akan mengalami anemia (Weiner, 2007 dalam Susetyowati, dkk,
2017).
Pada pasien HD, malnutrisi merupakan masalah utama yang sering
terjadi karena beberapa faktor seperti asuhan zat gizi inadekuat, peningkatan
penggunaan energi, dan peningkatan katabolisme protein. Bila hal ini
berlangsung dalam waktu lama dapat menyebabkan peningkatan kerentanan
infeksi , luka sukar sembuh, fatigue, malaise, serta kerentanan terhadap
morbiditas dan mortalitas (Espahbodi et al, 2014 dalam Susetyowati, dkk,
2017)
Zat-zat gizi yang hilang saat hemodialisis adalah asam amino yaitu 10
sampai 12 gram, sejumlah kecil protein yang kurang dari 1 sampai 3 gr
23

termasuuk kehilangan darah, serta glukosa sekitar 12 – 25 gr. Dari hasil


penelitian retrospektif didaptkan bahwa apabila konsumsi protein kurang dari
1,2 g/kg BB/hari berhubungan dengan rendahnya serum albumin dan tingginya
morbiditas dan mortalitas. Penelitian lain menyebutkan, konsumsi protein 1,1
g/kgBB/hari dengan 50% protein bernilai biologi tinggi dapat mempertahankan
status gizi pada beberapa pasien, tetapi pada sebagian besar pasien tidak cukup
bila dengan asupan energi 25-35 kkal/kgBB/hari (Susetyowati, dkk, 2017).

D. Penatalaksanaan Diet pada Penyakit Gagal ginjal dengan Hemodialisis


Penyakit gagal ginjal kronis adalah penyakit dengan penurunan fungsi
ginjal yang telah berlangsung lama dan umunya tidak dapat pulih. Apabila
penururnan fungsi ginjal sudah mencapai stadium akhir dan ginjal tidak
berfungsi lagi, diperlukan cara untuk membuang zat-zat racun dari tubuh, yaitu
dengan hemodialisis (HD).

Disamping dapat mengeluarkan zat-zat toksik dan kelebihan cairan,


proses hemodialisis juga dapat membuang zat-zat gizi yang masih diperlukan
tubuh, diantaranya protein, glukosa, dan vitamin larut air. Padahal, kehilngan
zat-zat gizi ini, terutama protein, bila tidak ditanggulangi dengan baik akan
menyebabkan gangguan status gizi.

Bagi pasien yang telah menjalani HD rutin, dapat makan lebih bebas.
Tetapi, bukan berarti diet tidak diperlukan, karena pengaturan makanan
bertujuan agar kenaikan hasil sisa metabolisme protein tidak berlebihan pada
waktu antara dialisis, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, serta
memenuhi kebutuhan tubuh akan zat-zat gizi (Susetyowati, dkk, 2017)

1. Pengkajian Gizi
a. Riwayat gizi/makanan
Asupan makanan pada pasien penyakit gagal ginjal biasanya kurang,
kerena pasien mengalami Anoreksia. Kebiasaan makan, alergi/pantangan,
modifikasi diet meliputi bahan makanan sumber protein, bahan makanan
sumber kalium,bahan makananan sumber natrium (Muttaqin, dkk, 2013).
24

b. Data biokimia
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien gagal ginjal kronis
adalah kadar ureum serum (10 – 50 mg/dL), kreatinin serum (<1,5 mg/dL) ,
dan Hemoglobin ( 13 – 16 g/dL laki-laki, 12-14 g/dL perempuan).
c. Pengukuran antropometri
Hasil pengukuran fisik/ukuran tubuh pada pasien penyakit Gagal
ginjal adalah : Berat badan, tinggi badan serta di hitung apakah ada edema,
pengukuran di gunakan untuk penilaian status gizi.
d. Pemeriksaan fisik klinis
Gejala fisik yang biasa dialami pada pasien penyakit gagal ginjal
adalah pucat, mual, muntah, oliguri, batuk disertai nyeri, suhu tubuh
meningkat dan hipertensi.
e. Riwayat klien
Riwayat penyakit klien hipertensi, diabetes mellitus, batu ginjal dan
nefritis (Muttaqin, dkk, 2013).
2. Diagnosis gizi
Kemungkinan Kode Diagnosis Gizi yang di alami oleh pasien Gagal
ginjal Kronik
a. NI.5.4 Penurunan kebutuhan zat gizi tertentu berkaitan dengan
disfungsi ginjal ditandai oleh peningkatan ureum, kreatinin, kalium,
phospor, GFR < 90 ml/menit dan edema.
b. NI.3.2 Kelebihan asupan cairan berkaitan dengan penurunan
pengeluaran cairan melalui ginjal ditandai oleh kenaikan BB, edema,
asupan cairan > rekomendasi, dan kelebihan asupan garam
(Muttaqin,dk, 2013).
c. NC.2.2 Perubahan Nilai lab terkait gizi berkaitan dengan rusaknya
nefron yang tidak bisa menyaring sampah ditandai oleh kadar ureum,
kreatini dan Hb darah.
d. NI.5.3 Penurunan kebutuhan natrium dan cairan berkaitan dengan
fungsi ginjal yang berperan dalam keseimbangan kadar natrium darah
ditandai oleh tensi darah tinggi
25

e. NC.1.4. Perubahan fungsi gastrointestinal berkaitan dengan perubahan


kegiatan trombosit karna gagal ginjal yangg diderita di tandai oleh ada
nya gejalan mual dan anoreksia (Baradero, dkk, 2009).

3. Intervensi gizi
a. Tujuan Diet Penyakit ginjal kronik dengan hemodialisis adalah untuk:
1) Mencegah defisiensi gizi serta mempertahankan dan memperbaiki
status gizi, agar pasien dapa melakukan ativitas normal.
2) Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit (Almatsier, 2010).
3) Menjaga agar akumulasi produk sisa metabolisme tidak berlebihan
4) Memberikan protein yang cukup untuk mengganti AAE dan nitrogen
yang hilang dalam dialisat serta mempertahankan keseimbangan
nitrogen (Susetyowati, dkk, 2017)
b. Jenis diet
Diet pada dialisis bergantung pada frekuensi dialisis, sisa fungsi ginjal
dan ukuran badan pasien. Diet untuk pasien dengan dialisis biasanya harus
direncanakan perorangan. Berdasarkan berat badan dibedakan menjadi 3
jenis diet dialisis:
1) Diet Dialisis I, 60 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berat
badan ±50kg.
2) Diet Dialisis II, 65 g proein. Diberikan kepada pasien dengan berat
badan ±60 kg.
3) Diet Dialisis III, 70 g protein. Diberikan kepada pasien dengan berar
badan ±65 kg.
26

Gambar 4. Pengelolaan Nutrisi Berdasarkan Tahapan PGK


Sumber : Muttaqin, 2013

c. Syarat diet
Syarat-syarat Diet Penyakit Ginjal Kronik dengan Hemodialisis adalah :
1) Energi
Rekomedasi asupan energi bagi pasien gagal ginjal kronik dengan
hemodialisis adalah 30-35 kkal/Kg BB Ideal/hari (PERNEFRI, 2011).
Rekomendasi ini berdasarkan studi metabolik yang menunjukkan asupan
energi sebesar 35 kkal/kg BB dapat mempertahankan keseimbangan
nitrogen netral dan komposisi tubuh yang stabil. Pada pasien hemodialisis,
bila berat badan tampak semakin kurus, atau menurun, berarti jumlah
kalori yang dimakan kurang memenuhi kebutuhan. Apabila berat badan
meningkat dengan cepat (diatas 2 kg) pada waktu di antara HD ( 3 – 4
hari), hal ini disebabkan adanya penimbunan cairan, bukan kaena jumlah
makanan yang terlalu berlebihan (Susetyowati, dkk, 2017).
2) Protein
Asupan protein yang adekuat sangatlah penting agar pasien dapat
mempertahankan keseimbangan nitrogen positif atau netral. Rekomendasi
asupan protein bagi pasien gagal ginjal dengan hemodialisis adalah 1,2
g/Kg BB Ideal/ hari dengan minimal 50% protein bernilai biologis yang
tinggi, karena dapat menyediakan asam amino esensial. Pemberian asupan
27

protein tidak dibedakan berdasarkan usia, karena adanya faktor


hemodialisis yang memberikan efek katabolik.
Asupan protein yang inadekuat dapat menyebabkan malnutrisi
energi-protein. Kebutuhan protein pada pasien hemodialisis dipengaruhi
oleh keadaan asidosis metabolik, infeksi, inflamasi atau operasi yang dapat
meningkatkan katabolisme tubuh. Pasien rawat inap pada umumnya
mengkonsumsi jumlah protein kurang dari kebutuhan, sehingga
memerlukan konseling dan pengawasan dari ahli gizi (Susetyowati, dkk,
2017).
3) Lemak
Pada psien hemodialisis ditemukan prevalensi lemak abnormal
yang tinggi. Lemak yang abnormal tersebut merupakan faktor yang
berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit kardiovaskular.
Rekomendasi asupan lemak pada pasien gagal ginjal dengan hemodialisis
adalah 25-30% dari total kalori, dengan pembatasan lemak jenuh <10%.
Bila didapatkan dislipidemia dianjurkan kadar kolesterol dalam makanan
<200 mg/hari (PERNEFRI, 2011). Sebelum dilakukan modifikasi diet,
perlu dilakukan penilaian malnutrisi energi-protein karena pembatasan
asupan lemak akan memengaruhi besarnya asupan kalori (Susetyowati,
dkk, 2017).
4) Natrium dan Air
Penurunan LFG akan berdampak pada retensi natrium akibat
penurunan kemampuan ginjal dalam mengompensasi dan mengekskresi
kelebihan natrium didalam tubuh. Penurunan LFG tersebut menyebabkan
terjadninya oliguria atau anuria. Faktor yang memengaruhi keseimbangan
natrium dan cairan adalah diet dan hemodialisis. Rekomendasi asupan
natrium pada pasien hemodialisis yaitu kurang dari 2,4 gram/hari atau
berkisar 1000 – 2300 mg/hari, dengan rekomendasi asupan cairan sebesar
750 – 1000 ml + jumlah urine yang diekskresi, namun tidak boleh lebih
dari 1500ml/hari, termasuk yang berasal dari makanan (CARI, 2013 dalam
Susetyowati, dkk, 2017).
28

Tujuan pembatasan asupan matrium dan cairan tersebut adalah


untuk mencegah kenaikan berat badan iterdialitik yang berlebihan dan
untuk mengendalikan tekanan darah. Peningkatan berat badan interdialitik
yang dianjurkan tidak melebihi 2-3 kg atau sebesar 3-5% berat kering
pasien. Peningkatan berat badan interdialitik yang berlebihan
menggambarkan adanya konsumsi natrium dan cairan yang berlebihan.
Sedangkan, kenaikan berat badan interdialitik yang kurang
menggambarkan asupan oral yang rendah. Bahan makanan sumber
natrium dan garam dibatasi, bila ada penimbunan air dalam jaringan
(odema), tekanan darah tinggi, dan adanya sesak napas (Susetyowati, dkk,
2017).
5) Kalium
Penurunan LFG dapat mengakibatkan penurunan kemampuan
ginjal dalam menyaring dan mengekskresikan kalium. Banyaknya kalium
yang terbuang melalui proses hemodialisis setiap kalinya sebesar 70 – 150
mEq. Pembatasan bahan makanan sumber kalium tetap diperlukan,
sehingga kadar kalium darah tidak terlalu tinggi sebelum HD berikutnya,
terutama bila buang air kecilnya sedikit (Susetyowati, dkk, 2017).
6) Fe
Asupan zat besi, simpanan zat besi dan kehilangan zat besi
merupakan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keseimbangan zat
besi. Asupan zat besi yang tidak memadai akan berpengaruh terhadap
peningkatan absorbsi besi dari makanan, memobilisasi simpanan zat besi
dalam tubuh dan mengurangi transport besi ke sumsum tulang, serta akan
menurunkan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan terjadinya
anemia karena defisiensi zat besi yang tergolong berat menyebabkan
penurunan hemoglobin yang nyata akan mengurangi kapasitas membawa
oksigen sehingga terjadi hipoksia jaringan yang kronis (Gibney, 2009
dalam Hasanah, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ma’sumah, dkk,
2014 dalam Hasanah, 2016 bahwa terdapat hubungan positif antara asupan
protein dengan kadar hemoglobin pada penerita gagal ginjal kronis dengan
29

hemodialisis rawat jalan di Rumah Sakit Tugurejo Semarang semakin


terpenuhi kebutuhan protein maka semakin terpenuhi kebutuhan protein
maka semakin tinggi kadar hemoglobin pasien. Pembentukan hemoglobin
dalam darah dapat dipengaruhi oleh zat besi. Zat besi dalam bahan
makanan berbentuk besi heme dan non heme yaitu senyawa besi yang
berkaitan dengan protein. Besi heme dapat diperoleh dari bahan makanan
protein hewani dan bahan makanan protein hewani dan besi non heme dari
bahan makanan nabati.
7) Fosfor dan Kalsium
Fosfor adalah mineral yang penting didalam tubuh dan biasanya
selalu berhubungan dengan kalsium untuk memnantu menjaga kekuatan
tulang dan gigi. Kelebihan fosfor akan dibuang lewat ginjal. Pada gagal
ginjal , fosfor menumpuk dalam tubuh dan tinggi dalam darah sehingga
memicu keluarnya kalsium dari tulang. Akibatnya tulang menjadi rapuh,
pengaturan makan yang dianjurkan yaitu membatasi bahan makanan
sumber fosfor dan meningkatkan bahan makanan sumber kalsium. Jumlah
fosfor yang tinggi dalam darah dapat diatasi dengan menggunakan obat-
obatan pengikat fosfor (Susetyowati, dkk, 2017).
Rekomendasi asupan fosfor pada penderita gagal ginjal dengan
hemodialisis adalah sebanyak 800 – 1000 mg/hari, sedangkan untuk
kalsium sebanyak ≤2000 mg/hari dari diit dan obat (PERNEFRI, 2011).

d. Edukasi dan Konseling


Diet Ginjal Kronik dengan Hemodialisis diperuntukan untuk klien
yang mengalami penurunan fungsi ginjal berat secara perlahan-lahan
(menahun) disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Dengan mengisi
brosur anjuran makanan sehari dengan menekankan pada perubahan pola
makan tinggi protein. Menjelaskan kepada klien dimulai dengan
menginformasikan hasil pengkajian gizi, menjelaskan tujuan diet,
mendiskusikan perubahan pola makan, menjelaskan cara penrapan diet
rendah protein, mendiskusikan hambatan yang dirasa klien dan alternatif
pemecahan masalah (Cornelia, dkk. 2013).
30

4. Monitoring dan Evaluasi


Monitor progress:
a. Mengecek kepatuhan/kolaborasi terhadap rencana.
b. Mengecek kesesuaian implementasi dengan rencana.
Mengukur Outcome :
a. Antropometri : berat badan sebelum dan sesudah dilakukan diet
b. Biokimia : BUN, kreatinin, kalium, kalsium, phospor, dan albumin.
c. Klinis dan fisik : tekanan darah, oedema, mual , dan anoreksia
d. Dietary : asupan makanan (energy, protein, natrium, kalium dan cairan).
Evaluasi outcomes : membandingkan hasil dengan standar, menilai
tujuan (Muttaqin, 2013).

E. Keranka Teori

• Diabetes Melitus
• Hipertensi
Penyakit Gagal Ginjal
• Glomerulonefritis Kronik
• Ginjal Polikistik

Terapi Medis Terapi Diit

Penatalaksanaan Asuhan
Hemodialisis Gizi Terstandar (PAGT)
1. Kajian Gizi
2. Diagnosis gizi
3. Intervensi gizi
4. Monitoring dan
evaluasi
Gambar 5. Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi dari, Almatsier, 2010, O’Callghan, 2009 dan PAGT, 2014
31

F. Kerangka Konsep

Penatalaksanaan Asuhan Gizi


Penyakit Gagal Terstandar (PAGT)
Ginjal Kronis
dengan 1. Kajian Gizi
Hemodialisis 2. Diagnosis gizi
3. Intervensi gizi
4. Monitoring dan evaluasi

Gambar 6. Kerangka Konsep


32

G. Definisi Operasional
Tabel 5.
Matrik Definisi Oprasional
NO VARIABEL DEFINISI CARA UKUR ALAT UKUR HASIL UKUR SKALA
OPERASIONAL
1 Penatalaksanaan Melaksanakan asuhan gizi
1. Pengkajian gizi Timbangan BB dan Membandingkan -
asuhan gizi terstandar (PAGT) pada
2. Diagnosis gizi Mikrotis/Knemometri hasil data sebelum
terstandar pasien gagal ginjal kronis
3. Intervensi gizi Formulir NCP dan sesudah
(PAGT) dengan Hemodialisis di
4. Monitoring dan Formulir Recall penatalaksanaan
RSUD Dr. H. Abdul evaluasi Formulir MST asuhan gizi
Moeloek dengan cara terstandar
menentukan kajian gizi, (PAGT)
diagnosisi gizi , intervensi
gizi, dan monitoring dan
evaluasi di bawah
bimbingan ahli gizi rumah
sakit dan dosen
pembimbing.
33

A. kajian gizi Kegiatan mengumpulkan,


5. Menimbang BB Timbangan BB, Membandingkan -
mengintegrasikan .dan dan mengukur Mikrotois/Knemometri dengan IMT
menganalisis data untuk TB dan Formulir Recall Membandingkan
identifikasi masalah gizi
6. Melakukan nilai biokimia
yang terkait dengan aspek Recall dengan standar
asupan zat gizi dan Membandingkan
makanan. asupan dengan
kebutuhannya
B. Diagnosis kegiatan mengidentifikasi
7. - - - -
gizi dan memberi nama masalah
gizi yang aktual, dan atau
berisiko menyebabkan
masalah gizi. Pemberian
Diagnosis gizi berdasarkan
PES (Problem , Etiologi &
Signs/Symptoms)
C. Intervensi aktivitas spesifik dan
8. Menimbang Timbangan Bahan Mambandingkan -
Gizi berkaitan dengan menu makanan Makanan menu yang
penggunaan bahan untuk
34

menanggulangi masalah yang akan diberikan dengan


gizi dengan memberikan diberikan. kebutuhannya
edukasi dan konseling serta
9. Membandingkan Perilaku berubah
menu. perilaku mengikuti anjuran
sebelum dan diet yang
sesudah disarankan.
diberikan
edukasi dan
konseling.
D. Monitoring respon pasien terhadap
10. Membandingkan Formulir recall Bila ada -
dan evaluasi intervensi dan tingkat parameter Timbangan BB perubahan di
keberhasilannya. sesudah dengan Mikrotois lanjutkan bila
sebelum diet. tidak di lakukan
Membandingkan perencanaan
gejala dan tanda kembali
sebelum dan
sesudah diet
35

Anda mungkin juga menyukai