KARBOHIDRAT
Disusun Oleh :
2018
PENDAHULUAN
Monosakarida adalah gula ringkas dan merupakan unit yang paling kecil
(yang tidak dapat dipecahkan oleh hidrolisis asid kepada unit yang lebih kecil).
Monosakarida terdiri atas 3-6 atom C dan zat ini tidak dapat lagi dihidrolisis oleh
larutan asam dalam air menjadi karbohidrat yang lebih sederhana. Beberapa
molekul monosakarida mengandung unsur nitrogen dan sulfur. Monosakarida yang
penting dalam fisiologi ialah D-glukosa, D-galaktosa, D-fruktosa, D-ribosa, dan D-
deoksiribosa. Monosakarida digolongkan berdasarkan jumlah atom karbon yang
dikandungnya (triosa, tetrosa, pentosa, dan heksosa) dan gugus aktifnya, yang bisa
berupa aldehida atau keton. Ini kemudian bergabung, menjadi misalnya
aldoheksosa dan ketotriosa.
a. D-glukosa
a. Proyeksi Fischer
b. Proyeksi Haworth
Proyeksi Haworth ialah cara umum menggambarkan struktur lingkar
monosakarida dengan perspektif tiga dimensi sederhana. Proyeksi Haworth
dinamai menurut kimiawan Inggris Sir Walter N. Haworth.
2. Disakarida
Sukrosa ialah gula yang kita kenal sehari-hari, baik yang berasal dari tebu
maupun dari bit. Selain pada tebu dan bit, sukrosa terdapat pula pada turnbuhan
lain, rnisalnya dalarn buah nanas dan dalam wortel. Dengan hidrolisis sukrosa akan
terpecah dan menghasilkan glukosa dan fruktosa. Sukrosa terbentuk dari ikatan
glikosida antara karbon nomor 1 pada glukosa dengan karbon nomor 2 pada
fruktosa.
b. Laktosa
Laktosa merupakan hidrat utama dalam air susu hewan. Laktosa bila
dihidrolisis akan menghasilkan D-galaktosa dan D-glukosa, karena itu laktosa
adalah suatu disakarida. Ikatan galaktosa dan glukosa terjadi antara atom karbon
nomor 1 pada galaktosa dan atom karbon nomor 4 pada glukosa. Oleh karenanya
molekul laktosa masih mempunyai gugus –OH glikosidik. Dengan demikian laktosa
mempunyai sifat mereduksi dan merotasi.
c. Maltosa
Maltosa adalah suatu disakarida yang terbentuk dari dua molckul glukosa.
Maltosa terbentuk melalui ikatan glikosida α antara atom karbon nomor 1 dari
glukosa satu dengan atom karbon nomor 4 dari glukosa yang lain. Ikatan yang
terjadi ialah antara atom karbon nomor I dan atom karbon - nomor 4, oleh
karenanya maltosa masih mempunyai gugus -OH glikosidik dan dengan demikian
masih mempunyai sifat mereduksi. Maltosa merupakan hasil antara dalam proses,
hidrolisis amilum dengan asam maupun dengan enzim.
d. Selobiosa
3. Polisakarida
a. Amilum
Amilum terdiri dari dua macama polisakarida, yaitu amilosa dan amilopektin.
Kedua-duanya merupakan polimer glukosa. Amilosa terdiri atas 250-3000 unit D-
glukosa. Sedangkan amilopektin terdiri atas lebih dari 1000-1500 unit glukosa. Unit
glukosa amilosa dirangkaikan dalam bentuk linier oleh ikatan glikosida α (1 4).
Amilosa mempunyai ujung non reduksi dan ujung reduksi. Berat molekulnya
bervariasi dari beberapa ratus sampai 150.000. Amilopektin adalah polisakarida
bercabang. Dalam molekul ini, rantai pendek dari rangkaian glikosida α (1 4) unit
glukosa digabungkan dengan rangkaian glikosida lain melalui ikatan glikosida α (1
6).
b. Asam Healuronik
c. Glikogen
4. Oligosakarida
Oligosakarida merupakan gabungan dari molekul-molekul monosakarida yang
jumlahnya antara 2 (dua) sampai dengan 8 (delapan) molekul monosakarida.
Sehingga oligosakarida dapat berupa disakarida, trisakarida dan lainnya.
Oligosakarida secara eksperimen banyak dihasilkan dari proses hidrolisa
polisakarida dan hanya beberapa oligosakarida yang secara alami terdapat di alam.
Oligosakarida yang paling banyak digunakan dan terdapat di alam adalah bentuk
disakarida seperti maltosa, laktosa dan sukrosa.
Oligosakarida yang terdiri dari dua molekul disebut disakarida, bila tiga
molekul disebut triosa, bila sukrosa terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa, laktosa
terdiri dari molekul glukosa dan galaktosa. Oligosakarida dapat diperoleh dari hasil
hidrolisis polisakarida dengan bantuan enzim tertentu atau hidrolisis dengan asam.
Ikatan glikosida terjadi dari kondensasi gugus hidroksil dua molekul
monosakarida, yaitu berasal dari gugus hidroksil dari atom C yang pertama dengan
salah satu gugus hidroksil pada atom karbon nomor 2, 4, atau 6, yang berasal dari
monosakarida yang kedua.
2. Pati
Pati yang juga merupakan simpanan energi di dalam sel-sel tumbuhan ini
berbentuk butiran-butiran kecil mikroskopik dengan berdiameter berkisar antara 5-50
nm. Pati umumnya akan terbentuk dari dua polimer molekul glukosa yaitu amilosa
(amylose) dan amilopektin (amylopectin). Amilosa merupakan polimer glukosa rantai
panjang yang tidak bercabang sedangkan amilopektin merupakan polimer glukosa
dengan susunan yang bercabangcabang (Irawan, 2007). Pati merupakan polimer
yang tersusun dari unit satuan α-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4
glikosidik dan ikatan α-1,6 glikosidik pada percabangan rantainya. Secara alami, pati
merupakan campuran dari amilosa dan amilopektin yang kedua-duanya merupakan
suatu polimer dari α-D-glukosa (Sukandar, 2011).
Pati adalah karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-(1 ≥ 4) unit glukosa. Derajat
polimerisasi amilosa berkisar antara 500-6.000 unit glukosa, bergantung pada
sumbernya. Amilopektin merupakan polimer α-(1 ≥ 4) unit glukosa dengan rantai
samping α-(1 ≥ 6) unit glukosa. Dalam suatu molekul pati, ikatan α-(1 ≥ 6) unit
glukosa ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar antara 4-5%. Namun, jumlah molekul
dengan rantai yang bercabang, yaitu amilopektin, sangat banyak dengan derajat
polimerisasi 105 - 3x106 unit glukosa (Jacobs dan Delcour 1998).
Amilosa merupakan bagian dari rantai lurus yang dapat memutar dan
membentuk daerah sulur ganda. Pada permukaan luar amilosa yang bersulur
tunggal terdapat hidrogen yang berikatan dengan atom O-2 dan O-6. Rantai lurus
amilosa yang membentuk sulur ganda kristal tersebut tahan terhadap amilase.
Ikatan hidrogen inter- dan intra-sulur mengakibatkan terbentuknya struktur hidrofobik
dengan kelarutan yang rendah. Oleh karena itu, sulur tunggal amilosa mirip dengan
siklodekstrin yang bersifat hidrofobik pada permukaan dalamnya (Chaplin 2002).
Pada struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu
cincincincin. Jumlah cincin dalam suatu granula pati kurang lebih 16 buah, yang
terdiri atas cincin lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal (Hustiany 2006).
Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya dalam granula pati letaknya
tidak pada satu tempat, tetapi bergantung pada jenis pati. Umumnya amilosa terletak
di antara molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-seling di
antara daerah amorf dan kristal (Oates 1997; Gambar 1). Ketika dipanaskan dalam
air, amilopektin akan membentuk lapisan yang transparan, yaitu larutan dengan
viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan seperti untaian tali. Pada amilopektin
cenderung tidak terjadi retrogradasi dan tidak membentuk gel, kecuali pada
konsentrasi tinggi (Belitz dan Grosch 1999).
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa, dan terdiri atas
amilosa dan amilopektin (Jacobs dan Delcour 1998). Pati dapat diperoleh dari biji-
bijian, umbi-umbian, sayuran, maupun buah-buahan. Sumber alami pati antara lain
adalah jagung, labu, kentang, ubi jalar, pisang, barley, gandul, beras, sagu,
amaranth, ubi kayu, ganyong, dan sorgum. Pemanfaatan pati asli masih sangat
terbatas karena sifat fisik dan kimianya kurang sesuai untuk digunakan secara luas.
Oleh karena itu, pati akan meningkat nilai ekonominya jika dimodifikasi sifatsifatnya
melalui perlakuan fisik, kimia, atau kombinasi keduanya (Liu et al.
2005). Modifikasi pati bertujuan mengubah sifat kimia dan atau fisik pati secara
alami, yaitu dengan cara memotong struktur molekul, menyusun kembali struktur
molekul, oksidasi, atau substitusi gugus kimia pada molekul pati (Wurzburg 1989).
Salah satu jenis pati termodifikasi yaitu pati tahan cerna (resistant starch/RS).
Pati tahan cerna ditemukan pertama kali oleh Englyst et al. (1982) dan didefinisikan
sebagai fraksi pati yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan amilase dan
perlakuan pulunase secara in vitro. Karena pati banyak dijumpai dalam saluran
pencernaan serta sedikit difermentasi oleh mikroflora usus, RS sering diidentifikasi
sebagai fraksi pati makanan yang sulit dicerna di dalam usus halus sehingga
memiliki fungsi untuk kesehatan. RS memiliki sifat seperti halnya serat makanan,
sebagian serat bersifat tidak larut dan sebagian lagi merupakan serat yang larut
(Asp 1992). Beberapasumber karbohidrat seperti gula dan pati dapat dicerna dan
diserap secara cepat di dalam usus halus dalam bentuk glukosa, yang selanjutnya
diubah menjadi energi. RS masuk ke dalam usus besar seperti halnya serat
makanan (Asp 1992).
3. Antiamilase
4. Penetapan AntiAmilase
1. Larutan HCl 1 N
2. Larutan NaOH 1 M
3. Larutan enzim α-amilase (merck, 320 u/mg) dalam berbagai konsentrasi, dalam
buffer Na-fosfat 0,1 M, pH 7,0.
4. Larutan “soluble starch”
5. Pereaksi dinitrosalisilat : 1 g 3,5-dinitrosalisilat, 30 g Na-K-tartarat dan 1,6 g NaOH
dalam 100ml air destilata.
6. Larutan maltosa standar berbagai konssentrasi dalam air destilata
5. Oligosakarida
Serat (fiber) merupakan senyawa “inert” secara gizi didasarkan atas asumsi
bahwa senyawa tersebut tidak dapat dicerna serta hasil-hasil fermentasinya tidak
dapat digunakan oleh tubuh. Senyawa yang tidak dapat dicerna tidak hanya terdiri
dari serat (selulosa), tetapi juga lignin, hemiselulosa, pentosa, gum dan senyawa
pektik. Oleh karena itu istilah serat makanan (dietary fiber) untuk menunjukkan
bagian lignin serta karbohidrat lain dari makanan yag tidak dapat dicerna dan
diserap oleh tubuh. Selain istilah serat makanan (dietary fiber) juga terdapat residu
non-nutritif untuk menunjukkan bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna dan
diserap oleh tubuh. Perbedaan pada residu non-nutritif terkandung dinding sel
bakteri yang juga tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan dalam tubuh.
Istilah serat makanan juga dibedakan dari istilah serat kasar yang biasa
digunakan dalam analisis proksimat makanan. Serat kasar adalah bagian dari
makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan
untuk menentukan kadar serat kasar, yaitu H2SO4 1,25% dan NaOH 1,25%
sedangkan serat makanan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis
oleh enzim pencernaan. Kadar serat kasar lebih rendah dibandingkan dengan serat
makanan karena H2SO4 dan NaOH mempunyai kemampuan yang lebih besar
untuk menghidrolisis komponen-komponen makanan dibandingkan dengan enzim
pencernaan. Pada masa lalu, serat makanan hanya dianggap sebagai sumber
energi yang tidak tersedia dan hanya dikenal mempunyai efek sebagai pencahar
perut tetapi para peneliti Inggris menyimpulkan bahwa konsumsi makanan
menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker usus besar, penyakit divertikular,
penyakit kardiovaskuler dan kegemukan (obesitas).
KESIMPULAN
Faktor faktor yang mempemgaruhi karbohidrat dakam pengolahan pangan
adalh jenis karbohidrat dan antiamilase. Untuk evaluasi nilai gizi karbohidrat yang
mempengaruhi adalaj daya cerna pati , aktivitas antimilase dan oligosakarida .
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia SSSPustaka
Utama.
Jacobs, H. and J.A. Delcour. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch
with retention of the granular structure: Review. J. Agric. Food Chem. 46(8):
2895-2905.
Chaplin, M. 2002. Starch. http://www.sbu.ac.uk. [25 March 2003].
Hustiany, R. 2006. Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka sebagai Bahan
Enkapsulasi Komponen Flavor. Disertasi, Institut Pertanian Bogor.
Oates, C.G. 1997. Towards an understanding of starch granule structure and
hydrolysis. Review. Trends Food Sci. Technol. 8: 375-382.
Belitz, H.D. and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer Verlag, Berlin.
Boyer and J.C. Shanon. 1983. Plant breeding. Plant Breed. Rev. 1139.
Liu, Z., L. Peng, and J.F. Kennedy. 2005. The technology of molecular manipulation
and modification. Asisted by Microwaves as Applied to Starch Granules.
Carbohydrate Polymers, 61: 374-378.
Wurzburg, O.B. 1989. Modified Starches: Properties and Uses. CRC Press, Boca
Raton,
Florida.
Englyst, H.N., S.M. Kingman, and J.H. Cummings. 1992. Classification and
measurement of
nutritionally important starch fractions. Eur. J. Clin. Nutr. 46: S33–S50.
Asp, N.G. and I. Bjorck. 1992. Resistant starch. Trends Food Sci. Technol. 3(5):
111–114.
Herawati, H. (2016). Potensi pengembangan produk pati tahan cerna sebagai
pangan fungsional. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 30(1), 31-39