Anda di halaman 1dari 81

STUDI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE

UNTUK UPAYA REHABILITASI DI KAWASAN PESISIR


KECAMATAN KASEMEN, KOTA SERANG,
PROVINSI BANTEN

DANIYAL HUMAIDY

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010

i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:


Studi Kerusakan Ekosistem Mangrove untuk Upaya Rehabilitasi di Kawasan
Pesisir, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2010

Penulis

ii
RINGKASAN

Daniyal Humaidy. C24052976. Studi Kerusakan Ekosistem Mangrove untuk


Upaya Rehabilitasi di Kawasan Pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang,
Provinsi Banten. Dibawah bimbingan Fredinan Yulianda dan Zairion.

Ekosistem mangrove memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan


alam di kawasan pesisir hingga ke daratan. Selain itu ekosistem mangrove juga
memiliki fungsi ekonomis, sehingga banyak manusia yang memanfatkan potensi
tersebut. Apabila dieksploitasi berlebihan tanpa memperhatikan kelestariannya,
maka yang terjadi adalah kerusakan pada ekosistem tersebut dan berakibat pada
lingkungan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat kerusakan
ekosistem mangrove dan faktor-faktor penyebabnya di kawasan pesisir Kecamatan
Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, mengkaji tata lingkungan kawasan pesisir,
dan rencana manajemen rehabilitasi mangrove.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2009 di kawasan pesisir
Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten. Metode pengambilan contoh
yang digunakan adalah kombinasi penarikan contoh acak berlapis dan sistematik,
sedangkan teknik pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan metode jalur
(Line Transek) dan transek kuadrat sejajar garis pantai. Pengambilan contoh berupa
air, substrat dan mangrove dilakukan satu kali pada kondisi pasang dan surut di
enam stasiun dengan masing-masing stasiun tiga replika. Tingkat kerusakan
ekosistem mangrove diperoleh dari indeks kerapatan berdasarkan Kep-MENLH No
201 (2004) modifikasi, sedangkan parameter substrat untuk mengetahui struktur
substrat menggunakan metode Segitiga Millar.
Ekosistem mangrove kondisi kerusakannya berbeda-beda pada tiap lokasi.
Kerusakan terbagi menjadi 4 macam yaitu baik (pantai Pelabuhan Karangantu),
rusak sedang (sebelah barat muara Sungai Cengkok dan muara Kali Perumpung),
rusak berat (sebelah timur muara Sungai Cengkok dan sebelah barat Cagar Alam
Pulau Burung), dan habis (badan Sungai Cengkok). Faktor-faktor penyebab
kerusakan ekosistem mangrove terbagi dalam dua macam yaitu: (1) faktor alami
berupa hama kepiting bakau (wideng) yang sering memakan bibit-bibit mangrove
hingga 75% dari bibit-bibit mangrove yang ditanam dan ditemukannya abrasi pada
muara Sungai Cengkok sebelah barat seluas 2 ha. (2) faktor manusia berupa
konversi lahan mangrove menjadi tambak ikan seluas 5.642 ha dan pemanfaatan
pohon mangrove sebagai kayu bakar tiap hari 0,5-1,5 m3. Penggunaan lahan di
kawasan pesisir dari arah pantai kedaratan memiliki pola seragam yaitu ekosistem
mangrove, tambak ikan, persawahan dan pemukiman penduduk. Manajemen untuk
upaya rehabilitasi mangrove dilakukan dengan rehabilitasi mangrove pada ekosistem
mangrove yang mengalami kerusakan, menerapkan konsep tumpang sari pada
kawasan tambak ikan, menata penggunaan wilayah pesisir dari tepi pantai kearah
daratan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang lebih optimal dan tidak
menghilangkan kelestarian mangrove. Rekomendasi penataan lingkungan pesisir
untuk upaya rehabilitasi mangrove adalah dengan perbaikan jalur hijau dari garis
pantai sejauh 200-300 m dan 100 m pada tepi Sungai Cengkok dengan kerapatan
optimal.

iii
STUDI KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
UNTUK UPAYA REHABILITASI DI KAWASAN PESISIR
KECAMATAN KASEMEN, KOTA SERANG,
PROVINSI BANTEN

DANIYAL HUMAIDY
C24052976

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

iv
PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Studi Kerusakan Ekosistem Mangrove untuk Upaya Rehabilitasi di


Kawasan Pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi
Banten
Nama : Daniyal Humaidy
NIM : C24052976
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Ir. Zairion, M.Sc


NIP 19630731 198803 1 002 NIP 19640703 199103 1 003

Mengetahui,
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc


NIP 19660728 199103 1 002

Tanggal Lulus : 29 Januari 2010

v
PRAKATA

Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Studi
Kerusakan Ekosistem Mangrove untuk Upaya Rehabilitasi di Kawasan Pesisir
Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten; disusun berdasarkan hasil
penelitian yang dilaksanakan pada Juli 2009-Agustus 2009, dan merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan
keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa
hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Februari 2010

Penulis

vi
UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Allah SWT. atas curahan rahmat dan kasih sayangNya.
2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc dan Ir. Zairion, M.Sc, masing-masing selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
arahan dan masukan hingga penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji atas nasehat, saran,
dan kesediaan menguji.
4. Para staf Tata Usaha MSP yang saya banggakan, telah mempermudah segala
urusan administrasi dan akademik.
5. Keluarga tercinta, Umi, Abah, Ka’Iin, Bang Yasir, Bang Arif, Bang Fuadi,
Ka’Aida, Wildan, dan Fahmi serta keluarga besar di Semarang atas segala do’a,
dukungan, kasih sayang, dan motivasinya.
6. Tim survey departemen MSP (Pa’Fred, Pa’Ali, Mbak’Ita, Mba’Yofi, Agung, dan
Bang Ray) dan tim konsultan DKP, PT BUMI PRASAJA (Mas Ahmad, Mas
Deden, dan Pa’No).
7. Staf dan pegawai Pemerintah Kota Serang, kantor Kesatuan Bangsa Politik dan
Pemberdayaan Masyarakat dalam membantu perijinan pelaksanaan penelitian.
8. Bapak Kepala Desa dan seluruh pegawai kantor Desa Banten atas kesediaannya
memberikan informasi dan fasilitas tempat tinggal selama pelaksanaan
penelitian.
9. Lembaga pendidikan Supersemar dan Karya Salemba Empat (KSE) yang telah
membantu pembiayaan perkuliahan dan tugas akhir.
10. Teman-teman MSP’42 tercinta yang selalu memotivasi dan tidak bosan-
bosannya menjaga kebersamaan dalam satu keluarga besar MSP.
11. Lembaga FKMC dan HIMASPER yang telah membimbing penulis dalam
mengasah keterampilan organisasi.
12. Semua orang dan instansi yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan
dan dukungannya.

vii
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 28 Mei 1987 dari


pasangan Bapak Abu Bakar Ahmad dan Ibu Asiyah Arofah.
Penulis merupakan putra keenam dari delapan bersaudara.
Pendidikan formal ditempuh di SD Ma’Had Islam, Semarang
(1999), SLTP Ma’Had Islam, Semarang (2002), dan SMA Islam
Sultan Agung 3, Semarang (2005). Pada tahun 2005 penulis
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB dan pada tahun
2006 diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam organisasi sebagai seketaris
Astama Putra C-1 TPB dan staf Divisi Perpustakaan DKM-Al-Hurriyah
(2005/2006), staf Divisi Sosial Lingkungan pengurus Himpunan Manajemen
Sumberdaya Perairan (HIMASPER) dan staf Divisi Cerdas pengurus Forum
Keluarga Muslim (FKM) (2007/2008), Kepala Divisi Forum Silaturahmi Mahasiswa
Muslim HIMASPER dan Kepala Divisi Cerdas FKM (2008/2009), serta
berkesempatan menjadi asisten Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (2007/2008).
Penulis mendapatkan dana Beasiswa dari SUPERSEMAR (2008) dan KSE (2009)
untuk melaksanakan kegiatan akademik, selain itu penulis juga mendapatkan
bimbingan pelatihan ‘enterpreneur skill’ dari lembaga beasiswa KSE yang
diselenggarakan oleh Mien R. Uno Foundation.
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis
melaksanakan penelitian yang berjudul “Studi Kerusakan Ekosistem Mangrove
untuk Upaya Rehabilitasi di Kawasan Pesisir Kecamatan Kasemen, Kota
Serang, Provinsi Banten” di bawah bimbingan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.
dan Ir. Zairion, M.Sc.

viii
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 2
1.3. Tujuan dan Manfaat ...................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Mangrove .................................................................... 4
2.1.1. Pengertian mangrove .......................................................... 4
2.1.2. Karakteristik mangrove ...................................................... 4
2.1.3. Struktur vegetasi mangrove ................................................ 5
2.1.4. Fungsi ekosistem mangrove ............................................... 7
2.1.5. Kerusakan ekosistem mangrove ......................................... 8
2.1.6. Dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove ....... 9
2.2. Substrat ......................................................................................... 10
2.3. Parameter Lingkungan Perairan ................................................... 12
2.2.1. Suhu .................................................................................... 12
2.2.2. Salinitas .............................................................................. 13
2.2.3. Derajat keasaman (pH) ....................................................... 14
3. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian........................................................ 15
3.2. Alat dan Bahan ............................................................................. 16
3.3. Metode Kerja ................................................................................ 16
3.3.1. Penentuan stasiun pengambilan contoh .............................. 16
3.3.2. Pengambilan contoh ........................................................... 18
3.3.3. Pengukuran dan pengamatan .............................................. 20
3.4. Analisis Data ................................................................................ 21
3.4.1. Vegetasi mangrove ............................................................. 21
3.4.2. Analisis tekstur substrat ...................................................... 22
3.4.3. Analisis kualitas air ............................................................ 23
3.4.4. Indeks Similaritas Canberra................................................ 24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Struktur Komunitas Mangrove ..................................................... 25
4.1.1. Kerapatan mangrove ........................................................... 25
4.1.2. Indeks Nilai Penting (INP) ................................................. 29
4.1.3. Tingkat kerusakan mangrove.............................................. 30
4.2. Kondisi Substrat .......................................................................... 33
4.3. Parameter Lingkungan Perairan ................................................... 35
4.3.1. Suhu .................................................................................... 36
4.3.2. Salinitas .............................................................................. 37

ix
4.3.3. Derajat keasaman (pH) ....................................................... 38
4.4. Indeks Similaritas Canberra ......................................................... 39
4.5. Manajemen Rehabilitasi Mangrove ............................................. 40
4.5.1. Rehabilitasi mangrove ........................................................ 41
4.5.2. Penataan lingkungan pesisir ............................................... 44
4.5.3. Pemanfaatan ekosistem mangrove ..................................... 48
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan .................................................................................. 51
5.2. Saran ............................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 53
LAMPIRAN ................................................................................................ 56

x
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Kriteria baku kerusakan mangrove menurut Kep-MENLH No 201
(2004) modifikasi ..................................................................................... 8
2. Ikhtisar dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove (Bengen
2001b) ...................................................................................................... 10
3. Pengelompokan jenis partikel substrat (Plaster 2003) ............................. 11
4. Alat-alat yang digunakan pada pelaksanaan penelitian ........................... 16
5. Kriteria lokasi stasiun penelitian .............................................................. 18
6. Data sheet vegetasi mangrove .................................................................. 20
7. Parameter fisika dan kimia yang diamati ................................................. 21
8. Jumlah jenis mangrove tiap stasiun ......................................................... 25
9. Indeks Nilai Penting (INP)....................................................................... 29
10. Tingkat kerusakan mangrove ................................................................... 30
11. Kondisi substrat ....................................................................................... 33

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Skema rumusan masalah .......................................................................... 3
2. Tipe perakaran mangrove (Kusmana et al. 2003) .................................... 5
3. Peta lokasi penelitian ............................................................................... 15
4. Peta stasiun penelitian ............................................................................. 17
5. Ilustrasi teknik pengambilan contoh ....................................................... 19
6. Penentuan lingkar batang mangrove (English et al. 1994) ..................... 21
7. Tipe substrat berdasarkan perbandingan pasir, liat, dan debu
(Millar dan Turk 1951) ........................................................................... 23
8. Peta kerapatan tegakan mangrove ........................................................... 27
9. Peta tingkat kerusakan mangrove ........................................................... 31
10. Diagram sebaran suhu perairan ............................................................... 36
11. Diagram sebaran salinitas perairan ......................................................... 37
12. Diagram sebaran pH perairan ................................................................. 38
13. Grafik dendogram kerapatan mangrove .................................................. 39
14. Macam-macam pola tumpang sari tambak (Menhut 2004) .................... 45
15. Peta rekomendasi penataan lingkungan pesisir Kecamatan
Kasemen .................................................................................................. 47

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Dokumentasi lokasi penelitian ................................................................. 58
2. Dokumentasi alat-alat peneliian ............................................................... 59
3. Dokumentasi kegiatan peneliian ............................................................. 60
4. Data sheet lapangan pengamatan mangrove ........................................... 62
5. Indeks Nilai Penting (INP)...................................................................... 64
6. Parameter kualitas air .............................................................................. 65
7. Kondisi substrat ...................................................................................... 67
8. Metode pengukuran C-organik ............................................................... 68
10. Metode pembuatan dendogram ............................................................... 69

xiii
1

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keberadaan ekosistem mangrove yang terbentang di sepanjang kawasan
pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten telah banyak
memberikan manfaatnya bagi kawasan pesisir tersebut khususnya bagi masyarakat
pesisir sebagai kayu bakar, pakan ternak, dan tempat budidaya ikan. Kondisi
ekosistem mangrove di Kecamatan Kasemen saat ini mengalami kerusakan yang
memprihatinkan, karena ekosistem mangrove yang memberi pengaruh terhadap
ekosistem di sekitarnya kini hanya tumbuh pada tepi pantai yang menghadap kelaut.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pendukung utama kehidupan di
kawasan pesisir. Peran dan fungsi mangrove bagi kawasan pesisir dan sekitarnya
menjadikan posisi ekosistem mangrove sebagai ekosistem yang penting untuk
dipertahankan. Ekosistem mangrove sejalan dengan waktu senantiasa mengalami
perubahan ukuran, karakter, dan bentuk. Perubahan-perubahan tersebut sebagian
disebabkan oleh proses alam sedangkan lainnya disebabkan oleh aktivitas manusia
(ASEAN 1992). Kerusakan ekosistem mangrove menyebabkan menurunnya kualitas
dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir di mana hutan mangrove itu
berada. Kerusakan mangrove juga mengganggu kenyamanan biota yang hidup
dalam ekosistem tersebut, kualitas air semakin menurun karena kurangnya peran
ekosistem mangrove dalam mengolah limbah organik. Selain itu kerusakan
mangrove akan menyebabkan terganggunya kestabilan garis pantai.
Untuk menghindari hilangnya fungsi ekosistem mangrove tersebut maka
ekosistem mangrove perlu diperbaharui, yaitu dengan upaya rehabilitasi mangrove.
Dahuri et al. (2004) menyatakan rehabilitasi mangrove merupakan suatu aksi yang
bertujuan mengembalikan tidak hanya hutan mangrove tetapi juga mengambil fungsi
ekologis, fisik, dan ekonomis ekosistem tersebut. Karena itu informasi mengenai
komposisi, zonasi lingkungan, dan fungsi ganda mangrove dijadikan pertimbangan
dalam usaha rehabilitasi kawasan mangrove.

1.2. Perumusan Masalah

1
2

Kondisi ekosistem mangrove dapat dilihat dari luasan mangrove yang


menutupi kawasan pesisir dari tepi pantai hingga kedaratan, tingkat kerapatan jenis
mangrove dalam satuan area tertentu, dan kemampuannya bertahan terhadap
ancaman yang selalu menggangu pertumbuhannya (Gambar 1). Apabila terjadi
pemanfaatan ekosistem mangrove secara berlebihan maka akan terlihat dari ketiga
ukuran kodisi ekosistem mangrove tersebut dan terjadi degradasi ekosistem
mangrove secara bertahap sehingga terjadi kerusakan pada ekosistem mangrove dan
akhirnya fungsi dan keberadaan ekosistem mangrove yang menjadi salah satu aset
penting di kawasan pesisir hilang dari kawasan tersebut.
Upaya yang dapat dilakukan selama ekosistem mangrove tersebut masih rusak
di suatu kawasan pesisir adalah dengan menjaga mangrove dan mempertahankan
fungsinya pada kawasan tersebut. Menjaga dalam arti tidak melakukan tindakan
yang dapat merusak ekosistem mangrove dan mempertahankan dalam arti
melindungi dari faktor-faktor yang menjadi penyebab kerusakan ekosistem
mangrove tersebut. Apabila sudah terjadi kerusakan maka perlu segera diperbaiki
sebelum ekosistem mangrove hilang dari kawasan tersebut yaitu dengan upaya
rehabilitasi mangrove. Upaya rehabilitasi sangat membantu perbaikan kawasan
pesisir, sehingga perlu adanya kajian untuk menganalisis faktor-faktor penyebab
terjadinya kerusakan ekosistem mangrove dan tingkat kerusakan yang terjadi yang
menyebabkan ekosistem mangrove terganggu. Setelah itu menganalisa strategi
pelaksanaan yang paling tepat untuk program rehabilitasi tersebut.
Ekosistem mangrove di sekitar kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota
Serang, Provinsi Banten sedang mengalami kerusakan yang ditandai dengan tipisnya
lapisan ekosistem mangrove yang tumbuh dikawasan tersebut serta zonasi mangrove
yang tidak jelas strukturnya. Untuk itu, perlu adanya kajian sebelum dilakukan
program rehabilitasi mangrove.

1.3. Tujuan dan Manfaat


Penelitian ini bertujuan mengkaji tingkat kerusakan dan faktor-faktor
penyebab kerusakan hutan mangrove, mengetahui tata lingkungan kawasan, serta
manajemen rehabilitasi mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota
Serang, Provinsi Banten.

2
3

Manfaat penelitian adalah untuk menyediakan informasi mengenai struktur


komunitas mangrove dan lingkungan yang kondusif bagi pengelolaan ekosistem
mangrove sehingga dapat dijadikan acuan bagi penentuan lahan dan spesies yang
sesuai untuk kegiatan rehabilitasi hutan mangrove dan bahan bagi pengelolaan hutan
mangrove di Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.

Mangrove

Luasan hutan Kerapatan hutan Ancaman terhadap


Mangrove mangrove komunitas mangrove

Degradasi ekosistem mangrove

Faktor penyebab kerusakan Tingkat kerusakan

Kondisi kualitas air dan substrat

Analisis rehabilitasi

Rekomendasi rehabilitasi

Gambar 1. Skema rumusan masalah

2. TINJAUAN PUSTAKA

3
4

2.1. Ekosistem Mangrove

2.1.1 Pengertian mangrove


Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan
bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia
(api-api), pelatinan nama dari Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak
mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove. Kata mangrove dapat ditujukan
untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan, atau komunitas (Ng dan Sivasothi 2001
in Setyawan 2008). Sedang menurut MacNae (1968) in Setyawan (2008) kata
mangrove merupakan perpaduan bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan
bahasa Inggris grove (belukar), yakni belukar yang tumbuh di tepi laut.
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (Bengen 2001a). Sedangkan
definisi ekosistem mangrove sendiri adalah suatu sistem di alam tempat
berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat
pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies
pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau
(Santoso 2000 in Rochana 2007).

2.1.2. Karakteristik mangrove


Vegetasi mangrove memiliki adaptasi anatomi dalam merespon berbagai
kondisi ekstrim tempat tumbuhnya, seperti (1) adanya kelenjar garam pada golongan
secreter, dan kulit yang mengelupas pada golongan non-secreter sebagai tanggapan
terhadap lingkungan yang salin (2) sistem perakaran yang khas (Gambar 2), dan
lentisel sebagai tanggapan terhadap tanah yang jenuh air, (3) struktur dan posisi
daun yang khas sebagai tanggapan terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang
tinggi (Onrizal 2005).

4
5

Gambar 2. Tipe perakaran mangrove (Kusmana et al. 2003)

Karakteristik habitat ekosistem mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek


seperti iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorfologi, hidrologi, dan
drainase. Secara umum, karakteristik mangrove digambarkan sebagai berikut
(Bengen 2001a):
a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung, dan berpasir.
b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya
tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi
vegetasi mangrove.
c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
d. Terlindungi dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air
bersalinitas payau (2–22‰) hingga asin (38‰), contohnya muara sungai dan
daerah pantai.

2.1.3. Struktur vegetasi mangrove


Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri atas 12
genera berbunga (Avicennia, Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,

5
6

Lumnitzera, Languncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus) yang


termasuk ke dalam 8 famili.
Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu
populasi zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti substrat
(lumpur, pasir, atau gambut). Keterbukaan terhadap hempasan gelombang, salinitas,
serta pengaruh pasang surut. Pembentukan zonasi mangrove dimulai dari arah laut
menuju daratan, yang terdiri atas zona Avicennia dan Sonneratia yang berada paling
depan dan langsung berhadapan dengan laut. Zona di belakangnya berturut-turut
adalah tegakan Rhizophora dan Bruguiera (Dahuri 2003).
Vegetasi mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi,
dengan jumlah jenis teratas sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5
jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya
terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak
di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan
yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae, Sonneratiaceae,
Avicenniaceae, dan Meliaceae (Bengen 2001a).
Tomlinson (1986) in Setyawan (2008) mengklasifikasikan vegetasi mangrove
menjadi: mangrove mayor, mangrove minor, dan tumbuhan asosiasi. Tumbuhan
mangrove mayor (true mangrove) sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang surut,
dapat membentuk tegakan murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui
pneumatofora, embryo vivipar, serta mekanisme filtrasi dan ekskresi garam, secara
taksonomi berbeda dengan tumbuhan darat setidaknya hingga tingkat genus, antara
lain: Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan
Sonneratia. Mangrove minor dibedakan oleh ketidakmampuannya membentuk
komponen utama yang menyolok, jarang membentuk tegakan murni, dan hanya
menempati tepian habitat, misalnya: Acrostichum, Aegiceras, Excoecaria, Heritiera,
Osbornia, Pemphis, Scyphiphora, dan Xylocarpus. Tumbuhan asosiasi mangrove
adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas dan tidak hanya ditemukan di hutan
mangrove. Tumbuhan ini merupakan vegetasi transisi ke daratan atau lautan, dan
dapat berinteraksi dengan mangrove mayor, seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia,
Calophyllum, Ficus, Casuarina, Ipomoea pescaprae, Sesuvium portucalastrum,

6
7

Salicornia arthrocnemum, Cocos nucifera, Metroxylon sagu, Dalbergia, Pandanus,


Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain.

2.1.4. Fungsi ekosistem mangrove


Karena berada diperbatasan antara darat dan laut maka kawasan mangrove ini
merupakan suatu ekosistem yang rumit dan mempunyai kaitan baik dengan
ekosistem darat maupun dengan ekosistem lepas pantai diluarnya. Kawasan
mangrove ini sebelumnya sering dianggap sebagai daerah yang tak bermanfaat dan
karenanya sering disalah gunakan. Pada akhir-akhir ini setelah makin banyak
diketahui fungsi ekosistemnya orang menyadari betapa penting kawasan mangrove
ini, bukan saja sebagai sumberdaya hutan tetapi juga perannya menunjang
sumberdaya perikanan di perairan lepas pantai (Nontji 2005).
Menurut Odum (1971), awal rangkaian rantai makanan pada habitat
mangrove, bermula saat pohon mangrove menjatuhkan daun-daunnya ke tanah dan
masuk air laut. Merontokkan daun-daun merupakan salah satu cara dari pohon
mangrove mengurangi kandungan garam dalam jaringannya karena daun yang jatuh
tersebut membawa konsentrasi garam yang tinggi. Segera setelah daun jatuh dan
masuk ke dalam air, daun tersebut dimanfaatkan berbagai jenis organisme. Pada
giliran berikutnya hewan-hewan kecil ini menjadi makanan bagi hewan yang lebih
besar seperti kepiting, udang, dan ikan yang lebih besar. Beberapa ikan, udang, dan
hewan air lain dimanfaatkan oleh hewan terestrial yang bermukim diatas daratan dan
udara seperti reptil, burung, dan lain-lain. Menurut Wada (1999) in Santoso (2008)
80% dari ikan komersial yang tertangkap di perairan lepas dan pantai ternyata
mempunyai hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem
mangrove, ini membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi kawasan
tempat breeding & nurturing bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Di
daerah subur seperti di delta sungai, mangrove dapat menyumbang sampai sekitar
1,5 ton/ha/th bahan organik ke dalam rangkaian rantai makanan ini.
Fungsi dan manfaat hutan mangrove menurut Bengen (2001a) adalah:
a. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan
lumpur, dan perangkap sedimen.
b. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove.

7
8

c. Daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground), dan
daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut
lainnya.
d. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan
baku kertas (pulp).
e. Pemasok larva ikan, udang, dan biota laut lainnya.
f. Sebagai tempat pariwisata.

2.1.5. Kerusakan ekosistem mangrove


Kusmana et al. (2003) menyatakan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan
mangrove, yaitu (1) pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama minyak
dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran ini merupakan dampak negatih dari
kegiatan pelayaran, industri, serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan
dalam pengangkutan, (2) konversi hutan mangrove guna kepentingan manusia
seperti budidata perikanan, pertanian, jalan raya, industri, produksi garam,
perkotaan, pertambangan, dan penggalia pasir yang kurang memperhatikan faktor
lingkungan, dan (3) penebangan kayu mangrove secara legal maupun ilegal
dilakukan untuk produksi kayu bakar, arang, chips, dan sebagainya yang dilakukan
secara berlebihan, sehingga telah menimbulkan kerusakan yang berat dan
menurunkan fungsi serta potensi produksi sebagian besar hutan mangrove. Beberapa
faktor pendukung lainnya turut pula menimbulkan terjadinya kerusakan dengan
berbagai dampaknya pada hutan mangrove. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove
dapat dilihat dari persentase penutupan lahan dan kerapatan pohon (Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria baku kerusakan mangrove menurut Kep-MENLH No 201 (2004)


modifikasi
Penutupan Kerapatan
Kriteria
(%) (pohon/100m2)
Sangat baik ≥ 75 ≥ 15
Baik ≥ 50 - < 75 ≥ 10 - < 15
Rusak ringan ≥ 25 - < 50 ≥7 - < 10
Rusak Sedang ≥ 10 - < 25 ≥4-<7
Rusak Berat < 10 <4

8
9

2.1.6. Dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove


Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan
pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan,
pelabuhan, dan lain-lain), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir khususnya
ekosistem mangrove semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya
berdampak terhadap kerusakan ekosistem mangrove baik secara langsung (misal
kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun secara tidak langsung (misal
pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan) (Bengen 2001a).
Pengaruh akibat kerusakan mangrove terhadap lingkungan menyebabkan
perubahan sifat fisik-kimia, biologi, dan keseimbangan (Kusmana et al. 2003).
Gangguan kerusakan mangrove terhadap sifat fisik-kimia meliputi peningkatan suhu
air, pencemaran oksigen, nutrien, keseimbangan salinitas, hidrologi, sedimentasi,
turbiditas, bahan-bahan toksik, dan erosi tanah. Gangguan pada ekosistem mangrove
berdampak negatif terhadap sifat biologi berupa perubahan spesies dominan,
kerapatan populasi, serta struktur tanaman dan hewan. Gangguan pada ekosistem
mangrove juga berdampak terhadap keseimbangan dalam proses alami seperti
regenerasi, pertumbuhan, habitat, rantai makanan, ekosistem mangrove, dan
ekosistem sekitar pantai dapat terganggu jika ekosistem mangrove mengalami
kerusakan. Gangguan keseimbangan ini dapat mengubah distribusi, kerapatan, dan
struktur alami spesies yang terdapat dikawasan mangrove yang mengalami
kerusakan tersebut. Setiap aktfitas manusia yang dilakukan pada ekosistem pesisir
memberikan dampak terhadap ekosistem mangrove dan sekitarnya (Tabel 2).
keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai akan tetap terjaga apabila
keberadaan mangrove dipertahankan karena mangrove dapat berfungsi sebagai
biofilter, agen pengikat, dan perangkap polusi. Mangrove juga merupakan tempat
hidup berbagai jenis gastropoda, kepiting pemakan detritus, dan bivalvia pemakan
plankton sehingga akan memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami
(Gunarto 2004). Pada kawasan pesisir yang banyak terdapat tambak ikan atau udang
sering sekali menyebabkan melimpahnya bahan organik dari hasil budidaya tersebut,
untuk menjaga keseimbangannya maka peran mangrove sebagai biofilter sangat
dibutuhkan.

9
10

Tabel 2. Ikhtisar dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove (Bengen


2001b)
Kegiatan Dampak Potensial
 Tebang bebas  Berdasarkan komposisi tumbuhan mangrove
 Tidak berfungsinya daerah mencari makanan
dan pengasuhan
 Pengalihan aliran air  Peningkatan salinitas hutan mangrove
tawar, misalnya pada  Menurunnya tingkat kesuburan hutan
pembangunan irigasi
 Konversi menjadi lahan  Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di
pertanian, perikanan, perairan lepas pantai yang memerlukan hutan
pemukiman, dan lain-lain mangrove
 Terjadinya pencemaran laut oleh bahan
pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat
hutan mangrove
 Pendangkalan perairan pantai
 Erosi garis pantai dan intrusi garam
 Pembuangan sampah cair  Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul
gas H2S.
 Pembuangan sampah  Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang
padat mengakibatkan matinya pohon mangrove
 Perembesan bahan-bahan pencemar dalam
sampah padat.
 Pencemaran minyak  Kematian pohon mangrove
tumpahan
 Penambangan dan  Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga
ekstraksi mineral, baik memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove
didalam hutan maupun di (daerah mencari makanan dan asuhan)
daratan sekitar hutan  Pengendapan sedimen yang dapat mematikan
mangrove pohon mangrove

2.2. Substrat

Salah satu faktor penting dalam ekosistem mangrove adalah keadaan


substratnya. Substrat menentukan secara langsung struktur dan produktivitas
ekosistem mangrove. Menurut Lovelock (1993) in Setyawan (2008), derajat
keasaman (pH) tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam, karena aktivitas
bakteri pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam.
Aktivitas bakteri pereduksi belerang ditunjukkan oleh tanah gelap, asam, dan berbau
telur busuk. Menurut Setyawan (2008), adanya kalsium dari cangkan moluska dan
karang lepas pantai menyebabkan air di ekosistem mangrove bersifat alkali. Namun

10
11

tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam, karena aktivitas bakteri
pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam.
Tekstur dan komposisi sedimen di dasar teluk banten merupakan hasil
pengendapan modern yang berasal dari daratan dan dari paparan. Sumber dari
lingkungan darat memberikan kontribusi terbesar, dicirikan oleh detrital batuan beku
vulkanik, batuan terobosan, batuan sedimen hasil rombakan dari alluvial sungai, dan
endapan karbon. Sedangkan sumber dari lingkungan paparan dicirikan oleh mineral
dan material karbonat berupa kalsit, detrital batu gamping, cangkang moluska,
pecahan koral, dan foraminifera. Endapan asal darat terutama terkirim melalui aliran
sungai ke laut, sedangkan endapan asal paparan umumnya terbentuk secara insitu
(Witasari 2002).
Nybakken (1993) menyatakan bahwa jenis substrat dan ukurannya adalah
salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan
distribusi organisme di dasar ekosistem mangrove. Semakin halus tekstur substrat
semakin besar kemampuannya menjebak bahan organik. Menurut Plaster (2003)
ilmuan tanah membagi tekstur substrat kedalam tiga kelas yaitu: pasir, debu, dan
liat. Pengelompokan jenis substrat menurut Departemen Budidaya Pertanian
Amerika Serikat dilakukan berdasarkan ukuran diameter partikel (Tabel 3).

Tabel 3. Pengelompokan jenis partikel substrat (Plaster 2003)


Jenis Diameter (mm)
Pasir sangat kasar 2,000 – 1,000
Pasir kasar 1,000 – 0,500
Pasir 0,500 – 0,250
Pasir halus 0,250 – 0,100
Pasir sangat halus 0,100 – 0,050
Debu 0,050 – 0,002
Liat < 0,002

Bahan organik dalam tanah terdiri atas bahan organik kasar dan bahan organik
halus atau humus. Humus terdiri atas bahan organik halus berasal dari hancuran
bahan organik kasar serta senyawa-senyawa baru yang dibentuk dari hancuran bahan
organik tersebut melalui kegiatan mikroorganisme di dalam tanah, pada ekosistem
mangrove humus diperoleh dari serasah yang berjatuhan dari mangrove. Serasah
yang jatuh akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi

11
12

detritus. Semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove
maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Produksi serasah merupakan
bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah.
Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat
penting dalam pertumbuhan mangrove dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem
laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik. (Zamroni
& Rohyani 2008). Humus merupakan senyawa yang resisten (tidak mudah hancur),
berwarna hitam atau coklat, dan mempunyai daya menahan air dan unsur hara yang
tinggi. Kandungan bahan organik tanah dihitung dari kandungan C-organik. Sifat
kimia tanah berdasarkan kandungan C-organik terbagi menjadi lima yaitu; sangat
rendah (<1,00% C), rendah (1,00-2,00% C), sedang (2,01-3,00% C), tinggi (3,01-
5,00% C), dan sangat tinggi (>5,00% C) (Hardjowigeno 2003).
Kestabilan substrat, rasio antara erosi, dan perubahan letak sedimen diatur
oleh pergerakan angin, sirkulasi pasang surut, partikel tersuspensi, dan kecepatan
akan air tawar. Gerakan air tawar yang lambat menyebabkan partikel sedimen halus
cenderung mengendap dan berkumpul didasar. Gerakan awal air yang lambat pada
ekosistem mangrove selanjutnya ditingkatkan oleh adanya sistem perakaran
mangrove sendiri (misalnya akar tunjang dan akar lutut). Adanya sistem akar yang
sangat rapat ini menyebabkan partikel yang sangat halus dengan kadar organik
tinggi akan cepat mengendap di sekeliling akar bakau dan membentuk kumpulan
lapisan sedimen (Dahuri 2003).

2.3. Parameter Lingkungan Perairan

2.3.1. Suhu
Pada umumnya, suhu dinyatakan dengan satuan derajat Celcius (0C) atau
derajat Fahrenheit (0F). Pengukuran suhu pada kolom air dengan kedalaman tertentu
dapat dilakukan dengan menggunakan reversing thermometer, thermophone, atau
thermisor (APHA 1976 in Effendi 2003).
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian
dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan,
dan aliran serta kedalaman air. Perubahan suhu berperan terhadap proses fisika,
kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi

12
13

ekosistem perairan (Haslam 1995 in Effendi 2003). Pasang surut dan aliran sungai
dapat mempengaruhi suhu air, serta suplai nutrien dan oksigen ke sistem perakaran
(Setyawan 2008).
Ekosistem mangrove terbentuk pada lingkungan tropis dan subtropis dengan
suhu tinggi. Suhu yang baik untuk kehidupan mangrove tidak kurang dari 20 0C,
sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5 0C. Suhu yang tinggi (>40 0C)
cenderung tidak mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan mangrove
(Supriharyono in Iqbal 2009).

2.3.2. Salinitas
Menurut Effendi (2003), salinitas menggambarkan padatan total di dalam air,
setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida
digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas
dinyatakan dalam satuan g/kg, promil (‰), atau practical salinity unit (PSU)
(Nybakken 1993).
Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5‰, perairan payau
antara 0,5‰-30,0‰, dan perairan laut 30,0‰-40,0‰. Pada perairan hipersaline,
nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40,0‰-80,0‰. Pada perairan pesisir, nilai
salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai.
Salinitas sangat penting bagi pertumbuhan, daya tahan hidup dan zonasi
spesies mangrove. Mangrove biasanya dapat bertahan hidup dan tumbuh subur pada
selang salinitas antara 10-30‰. Meskipun beberapa jenis mangrove dapat tumbuh
pada salinitas sangat tinggi. Menurut Wells (1982) in Aksornkoae (1993) di
Australia Avicennia marina dan Excoecaria agallocha dapat tumbuh pada kawasan
dengan salinitas sebesar 85‰, Avicennia officinalis dapat tumbuh pada kawasan
dengan salinitas maksimum 63‰, sementara salinitas maksimum Ceriops spp. dapat
tumbuh dengan toleransi 72‰, Sonneratia spp. adalah 44‰, Rhizophora apiculata
65‰ dan Rhizophora stylosa 74‰. Xylocarpus granatum dapat tumbuh pada
kawasan dengan salinitas tidak lebih dari 34‰ dan Bruguiera spp. pada kawasan
dengan salinitas tidak lebih dari 37‰. Tidak ada nilai yang pasti mengenai nilai
maksimum salinitas air dimana spesies mangrove dapat bertahan, akan tetapi

13
14

salinitas optimal bagi mangrove adalah 28-34‰. Apabila salinitasnya kurang dari
28‰, maka pertumbuhan tanaman mangrove akan menurun (Aksornkoae 1993).

2.3.3. Derajat keasaman (pH)


pH hanya menggambarkan konsentrasi ion hidrogen (Tebbut 1992 in Effendi
2003). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai
nilai pH berkisar 7,0-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimia perairan,
misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah, toksisitas logam
memperlibatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan Olem 1994 in Effendi
2003). Pada pH <4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat
bertoleransi terhadap pH rendah.
Derajat keasaman perairan mempengaruhi tingkat keberhasilan rehabilitasi
mangrove. Dalam kegiatan rehabilitasi mangrove diperlukan kondisi perairan
dengan pH optimal agar pertumbuhannya tidak terganggu. Menurut Setyawan
(2008) pH air dan pH sedimen substrat mangrove nilainya hampir sama, meskipun
sering ditemukan pH air sedikit lebih besar dibandingkan dengan pH sedimen.

14
15

3. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir
Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai
jarak sekitar 10 km dari kota serang dan berada di sebelah timur Pelabuhan
Karangantu. Kecamatan Kasemen bagian pesisir sebelah barat berbatasan dengan
pelabuhan perikanan Karangantu dan sebelah timur berbatasan dengan Kawasan
Cagar Alam Pulau Burung (Gambar 3). Batas geografis lokasi penelitian adalah
S:06001’29.5”-06001’24.0” dan E:106009’57.9”-106011’27.4”. Sedangkan analisis
laboratorium dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

15
16

3.2. Alat dan Bahan


Bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah K2CR2O7, H2SO4,
akuades, Ferroin, dan Ferrosulfat (FeSO4) sedangkan alat yang digunakan selama
melakukan kegiatan penelitian meliputi alat tulis, alat pengambil contoh, dan alat
dokumentasi (Tabel 4).

Tabel 4. Alat-alat yang digunakan pada pelaksanaan penelitian


No Nama alat Kegunaan Spesifikasi
1 Alat tulis Pencatatan data Data sampling
2 Data sheet Pencatatan data Print-out tabel
3 Kompas Petunjuk arah mata angin -
4 GPS Petunjuk letak geografis GPS V (Garmin)
5 Tali rafia Pembuatan transek line 10 x 10 m
6 Kalkulator Menghitung analisis data mangrove Fx 3600
7 Sepatu bot Untuk berjalan di lumpur -
8 Kantong plastik Tempat sampel Sampel substrat
9 Gunting Alat potong -
10 Label Penanda sampel -
11 Cool box Menyimpan sampel -
12 Erlenmeyer Uji C-organik 500 ml
13 Buret Titrasi Ferrosulfat (FeSO4) -
14 Buku identifikasi Identifikasi jenis mangrove Noor et al. (2006)
15 Refraktometer Mengukur salinitas Ketelitian 1‰
16 Termometer Mengukur suhu Ketelitian 1 0C
17 Pipa paralon Mengambil sampel substrat Diameter 4 Inch
18 Perahu Survai dan pengambilan sampel air Motor tempel
19 Camera digital Dokumentasi kegiatan 10 megapixel

3.3. Metode Kerja

3.3.1. Penentuan stasiun pengambilan contoh


Penentuan lokasi stasiun pengambilan contoh vegetasi mangrove, substrat, dan
kualitas air dilakukan berdasarkan perbedaan karakteristik zona ekosistem
mangrove. Berdasarkan luasan area yang menjadi obyek penelitian maka ditetapkan
6 stasiun pengamatan pada lokasi yang berbeda (Gambar 4). Karakteristik stasiun
yang digunakan untuk penelitian diamati berdasarkan kondisi mangrove dan
perbedaan kondisi lingkungan disekitarnya (Tabel 5).

16
17
Gambar 4. Peta stasiun penelitian
17
18

Tabel 5. Kriteria lokasi stasiun penelitian


Stasiun Titik Koordinat Lokasi Kondisi mangrove
1 S : 060 01’ 29.5” Pantai Pelabuhan  Tersebar merata tidak
E : 1060 09’ 57.9” Karangantu berdekatan
 Sedang ada rehabilitasi
2 S : 060 01’ 33.4” Sebelah Barat muara  Tidak terawat
E : 1060 09’ 55” Sungai Cengkok  Kurang pengawasan
3 S : 060 01’ 38.5” Badan Sungai  Tidak terawat
E: 1060 10’ 09.6” Cengkok  Hanya tersisa tanaman
mangrove buatan
4 S : 060 01’ 38.6” Sebelah Timur muara  Tidak terawat
E : 1060 10’ 33.0” Sungai Cengkok  Kurang pengawasan
5 S : 060 01’ 35.4” Muara Kali  Tidak terawat
E : 1060 11’ 03.6” Perumpung  Kurang pengawasan
 Ditemukan bekas
penebangan
6 S : 060 01’ 24.0” Sebelah Barat Cagar  Tidak terawat
E : 1060 11’ 27.4” Alam Pulau Burung  Ada penjagaan dari
polisi hutan

3.3.2. Pengambilan contoh


Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah kombinasi penarikan
contoh acak berlapis dan sistematik. Pengambilan contoh acak berlapis adalah suatu
metode pengambilan contoh dimana unsur-unsur populasinya digolongkan menjadi
beberapa lapisan (Setyobudiandi et al. 2009), lapisan ketebalan mangrove
berdasarkan observasi pendahuluan secara visual terbagi menjadi 3 lapis, yaitu: tebal
(tebal ≥100m); tipis (40m≤ tebal <100m); dan sedang (tebal <40m). Sedangkan
penentuan jumlah contoh yang diambil menggunakan metode pengambilan contoh
acak sistematik, yaitu dengan menetapkan ukuran contoh sebanyak 3 buah pada tiap
stasiun, membagi kedalam kelompok, memilih secara acak kelompok pertama, dan
memilih lokasi pengamatan pada kelompok berikutnya dengan jarak yang sudah
ditentukan sebagai titik contoh.
Teknik pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan metode jalur
(Line Transek) dan transek kuadrat yaitu dengan cara menarik garis lurus sejajar
garis pantai di setiap stasiun, kemudian di atas garis tersebut ditempatkan transek
kuadrat berukuran 10m x 10m sebagai substasiun contoh. Jarak antar kuadrat
ditetapkan berdasarkan jarak stasiun di bagi jumlah sampel yang akan diambil.
Masing-masing plot replikasi contoh berada di dalam transek kuadrat berukuran

18
19

10m x 10m, pada plot tersebut dilakukan penghitungan jumlah tegakan pohon.
Didalam plot replikasi contoh dibuat petak berukuran 5m x 5m untuk menghitung
jumlah anakan dan petak berukuran 1m x 1m untuk menghitung jumlah semai
(Gambar 5).

Gambar 5. Ilustrasi teknik pengambilan contoh

Contoh air yang diambil yaitu air laut pada kondisi pasang dan surut. Contoh
air pasang diambil di saluran parit pada pukul 13.00-15.00 WIB (pasang terjadi pada
siang hingga malam hari) dan contoh air surut di tepi pantai menggunakan perahu
pada pukul 10.00 WIB (surut terjadi pada pagi hari). Parameter kualitas air yang
diamati dalam penelitian ini diukur sebanyak tiga kali di lapangan (insitu) di setiap
stasiun pengamatan. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, salinitas, dan
pH.
Sampel substrat diambil pada setiap lokasi pengamatan mangrove.
Pengambilan substrat diambil sekali pada setiap stasiun. Substrat diambil dengan
menggunakan paralon berdiameter 4 inchi yaitu dengan cara dibenamkannya dari

19
20

permukaan substrat sampai kedalaman ± 10cm. Contoh substrat kemudian


dimasukkan kedalam plastik untuk dianalisa pH tanah, kadar C-organik, dan tipe
tekstur substratnya.

3.3.3. Pengukuran dan pengamatan


Pengukuran beberapa parameter fisika-kimia-biolog yang berpengaruh
terhadap ekosistem hutan mangrove dilakukan secara langsung (insitu) di lokasi
penelitian, sedangkan pengukuran yang tidak harus dilaksanakan secara insitu dapat
dilakukan secara eksitu di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Data mangrove yang di ambil meliputi letak geografis tiap stasiun, luasan
transek yang diamati, jenis vegetasi mangrove yang tumbuh, banyaknya tegakan
semai, anakan dan pohon dengan kriteria tertentu dan ukuran diamater pohon dalam
bentuk data sheet (Tabel 6). Cara penentuan lingkar batang mangrove diukur
bedasarkan posisi percabangan pertama pada tegakan mangrove (Gambar 6).
parameter yang diamati adalah Suhu, salinitas, pH, dan substrat (Tabel 7).

Tabel 6. Data sheet vegetasi mangrove

Koordinat SP ∑ Pohon DB (cm) ∑ Anakan ∑ Semai


S:
E:
S:
E:
S:
E:

Keterangan (English et al. 1994):


Pohon :Diameter >4cm SP :Kode jenis tumbuhan mangrove
Anakan :Diameter <4cm, tinggi >1m DB :Diameter batang tumbuhan mangrove
Semai :Tinggi <1m
Tabel 7. Parameter fisika dan kimia yang diamati
Parameter Satuan Metode
Fisika
0
Suhu C Pemuaian

20
21

Substrat % Segitiga millar


Kimia
pH - Elektroda pH meter
Salinitas ‰ Pembiasan cahaya

Tinggi dada
Penentuan pada batang yang
bercabang di bawah tinggi dada

Tinggi dada
Penentuan pada batang yang
bercabang di atas tinggi dada

Tinggi dada
Penentuan pada akar yang
bercabang sampai setinggi dada

Tinggi dada
Penentuan pada batang yang tidak
beraturan bentuknya

Gambar 6. Penentuan lingkar batang mangrove (English et al. 1994)

3.4. Analisis Data

3.4.1. Vegetasi mangrove


Data-data mengenai jenis, jumlah tegakan, dan diameter pohon yang telah
dicatat pada tabel form mangrove, diolah lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan
jenis (Di), kerapatan relatif jenis (RDi), frekuensi jenis(Fi), frekuensi relatif jenis
(RFi), luas area penutupan(Ci), penutupan relatif jenis (RCi), dan indeks nilai
penting (INP) (Bengen 2001a dan Styobudiandi et al. 2009).

Ni Ni
Di = RDi = X 100
A

Pi
Fi = Fi
RFi = X 100

21
22

Ci
Ci = RCi = X 100
A

INP = RDi + RFi + RCi


Keterangan:
ni = jumlah total tegakan dari jenis i
A = luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot)
pi = jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan jenis I
Σp = jumlah total petak contoh/plot yang diamati.
BA = π DBH2/4 (dalam cm2)
π = (3,1416) adalah suatu konstanta
DBH = diameter pohon dari jenis I =CBH/ π (dalam cm)
CBH = lingkaran pohon setinggi dada.

Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai Penting ini
memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan
mangrove dalam komunitas mangrove.

3.4.2. Analisis tekstur substrat


Tekstur substrat di analisis berdasarkan perbandingan pasir, liat, dan debu.
Pembagian kelompok tekstur tanah dapat dilihat menggunakan panduan Segitiga
Millar (Gambar 7).
Langkah-langkah penentuan tekstur substrat:
1. Mementukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya, fraksi
pasir 45%, debu 30%, dan liat 25%.
2. Menarik garis lurus pada sisi persentase pasir dititik 45% sejajar dengan sisi
persentase debu, tarik garis lurus pada sisi persentase debu di titik 30% sejajar
dengan sisi persentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi persentase liat 25%
sejajar dengan sisi persentase pasir.
3. Hasil perpotongan ketiga titik tersebut menentukan tekstur substrat tersebut pada
tekstur lempung liat.

22
23

Gambar 7. Tipe substrat berdasarkan perbandingan pasir, liat, dan debu (Millar dan
Turk 1951)

3.4.3. Analisis kualitas air


Analisis kualitas air dilakukan dengan cara diskriptif dan membandingkan
nilai masing-masing parameter kualitas air dengan literatur yang ada untuk melihat
kualitas perairan.
a. Mencari rata-rata dari masing-masing parameter dan standar deviasinya pada
setiap stasiun sebanyak tiga kali pengamatan (ulangan), dengan rumus sebagai
berikut (Walpole 1995):

µ = Rata-rata pengamatan
n = Rumlah data
Χi = Data ke-i

23
24

S2 = Standar deviasi
µ = Nilai rata-rata
n = Jumlah data
Xi = Data ke-i

b. Menyajikan data dalam bentuk grafik untuk distribusi secara spasial.


c. Membandingkan data dengan literatur yang ada untuk melihat kualitas perairan

3.4.4. Indeks Similaritas Canberra


Indeks similaritas Canberra digunakan untuk melihat kesamaan antar stasiun
pengamatan berdasarkan parameter yang diamati, nilai yang diperoleh
dikelompokkan dengan menggunakan sidik gerombolan hirarki metode rataan ikatan
kelompok, kemudian dibuat dalam bentuk plot (dendrogram) (Styobudiandi et al
2009). Diagram dendrogram ini menggunakan program Minitab 15 pada komputer.
Prinsip pengelompokan Indeks Canberra ini dilakukan dengan cara mencari
nilai korelasi antar stasiun, sehingga setiap stasiun akan memiliki nilai korelasi
dengan semua stasiun lain. Nilai korelasi antar stasiun tersebut selanjutnya disusun
dalam sebuah mastriks yang disebut matriks similaritas Canberra. Hasil perhitungan
Indeks Similaritas Canberra kemudian ditampilkan dalam bentuk dendogram
berdasarkan keterkaitan antara kelompok yang menggambarkan tingkat kemiripan
habitat dan beberapa stasiun pengamatan dengan melihat nilai masing-masing
parameter.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

24
25

Ekosistem mangrove memiliki peran penting bagi kawasan pesisir. Informasi


mengenai tingkat kerusakan ekosistem mangrove dikawasan pesisir Kota Serang
dapat diketahui antara lain dengan mengetahui struktur komunitas mangrove,
keadaan lingkungan perairan pesisir Kota Serang, dan kondisi substratnya.

4.1. Struktur Komunitas Mangrove

4.1.1 Kerapatan mangrove


Kerapatan mangrove yaitu jumlah total tegakan dari suatu jenis mangrove
tertentu dalam suatu unit area. Di Kecamatan Kasemen terdapat tiga jenis mangrove
yang tumbuh dengan kerapatan berbeda-beda yaitu Avicennia marina, Rhizophora
apiculata, dan Rhizophora mucronata. Kondisi mangrove diamati berdasarkan
kerapatan jenis, frekuensi jenis, dan tutupan jenis vegetasi mangrove (Tabel 8).

Tabel 8. Jumlah jenis mangrove tiap stasiun


Jenis Pantai Pelabuhan Muara Sungai Cengkok Sungai Cengkok
Karangantu (barat)
Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai
Am 9 0 0 6 1 2 0 0 0
Ra 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Rm 1 0 0 0 1 0 0 0 0
Muara Sungai Cengkok Muara kali perumpung Cagar Alam Pulau
(timur) Burung (barat)
Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai Pohon Anakan Semai
Am 1 9 0 6 1 1 1 4 1
Ra 0 0 0 0 1 0 0 0 0
Rm 0 0 0 0 0 0 2 2 0
Keterangan:
Luas kerapatan : Pohon (ind/100m2), Anakan (ind/25m2) dan Semai (ind/m2)
Am = Avicennia marina
Ra = Rhizophora apiculata
Rm = Rhizophora mucronata

Mangrove di setiap stasiun memiliki tingkat kerapatan yang berbeda-beda,


penyebaran jenis mangrove pada lokasi penelitian tidak merata. Mangrove jenis
Avicennia marina terdapat pada hampir setiap stasiun dan dalam jumlah yang relatif
lebih besar dari jenis mangrove lainnya, mangrove jenis Rhizophora mucronata
hanya terdapat pada Pantai Pelabuhan Karangantu, Sebelah Barat muara Sungai

25
26

Cengkok, dan Sebelah Barat Cagar Alam Pulau Burung, sedangkan Rhizophora
apiculata hanya terdapat pada Muara Kali Perumpung dan Badan Sungai Cengkok.
mangrove yang terdapat di kawasan Kecamatan Kasemen ini adalah vegetasi
mangrove yang umum di jumpai pada ekosistem mangrove di Indonesia khususnya
Pulau Jawa. Kerapatan mangrove tiap lokasi di Kecamatan Kasemen memiliki
kerapatan dan ketebalan berbeda-beda (Gambar 8).
Pada pantai Pelabuhan Karangantu ditumbuhi oleh 2 jenis mangrove yaitu
Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Pantai Pelabuhan Karangantu
memiliki kerapatan pohon mangrove tertinggi. Pada lokasi ini banyak ditumbuhi
oleh pohon mangrove dari hasil rehabilitasi beberapa tahun yang lalu oleh pihak
pemerintah. Pantai Pelabuhan Karangantu banyak ditumbuhi mangrove yang sudah
dewasa (pohon) dengan ketinggian 4-5m. Saat ini sedang ada program rehabilitasi
mangrove di pesisir pelabuhan berupa bibit pada luasan ±1ha.
Muara Sungai Cengkok sebelah barat masih terdapat mangrove jenis
Avicennia marina dan Rhizophora mucronata, sedangkan muara Sungai Cengkok
sebelah timur hanya ditumbuhi oleh Avicennia marina. Mangrove di muara Sungai
Cengkok memiliki kerapatan lebih kecil daripada Pantai Pelabuhan Karangantu,
pada lokasi ini telah mengalami pencemaran. Pencemaran rumah tangga yang
menumpuk di muara Sungai Cengkok sangat tinggi, hal ini dapat dilihat degan
menumpuknya sampah-sampah anorganik dimuara yang terbuat dari plastik seperti
bungkus makanan, sandal, tempat makanan, dan lain-lain.
Badan Sungai Cengkok merupakan kawasan yang paling buruk kondisi
mangrovenya. Petak-petak tambak ikan sudah memenuhi daerah pasang surut
hingga ke tepian sungai. Di tepi Sungai Cengkok hanya ditemukan 3 anakan
mangrove jenis Rhizophora apiculata yang ditanam oleh masyarakat yang tinggal
dekat muara. Petak-petak tambak ikan di kawasan ini 80% aktif dan sisanya
ditinggalkan oleh pemiliknya. Meskipun sudah dikelola oleh dinas setempat dalam
pengelompokan petak-petak tambak, pengelolaan dan pengawasan tambak masih
belum optimal.

26
27

Gambar 8. Peta kerapatan tegakan mangrove

Muara kali perumpung terdapat tegakan mangrove yang terbentang


memanjang mengikuti tepian pantai dengan ketebalan <40m, pada lokasi ini

27
28

mangrove banyak ditemukan dalam bentuk anakan dan semai jenis Avicennia
marina dan Rhizophora apiculata dengan tingkat kerapatan 110 ind/100m2 dan 10
ind/100m2. lahan tepat dibelakang ekosistem mangrove adalah tambak-tambak ikan
tradisional.
Sebelah barat Cagar Alam Pulau Burung dengan ketebalan mangrove 40-100m
ini ditumbuhi mangrove jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Pada
lokasi ini kerapatan pohon mangrove cukup rendah sebesar 3 ind/100m2 untuk jenis
Avicennia marina, akan tetapi kelimpahan anakan dan semai cukup tinggi yaitu 60
ind/100m2 dan 100 ind/100m2.
Pohon mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen masih produktif
untuk memenuhi kebutuhan regenerasi alami. Hal ini terlihat dari bersarnya
perbandingan jumlah semai dan anakan yang masih ada dari pohon mangrove yang
tersisa. Sehingga tidak perlu adanya regenerasi tambahan dari lokasi atau indukan
pohon mangrove lain untuk menyediakan stok bibit mangrove. Tegakan pohon
mangrove yang masih bertahan sekarang sebelumnya adalah semai dan anakan
beberapa tahun silam bersama dengan semai dan anakan mangrove lain yang tidak
dapat bertahan hingga sekarang baik karena lemahnya pertahanan terhadap kondisi
alam maupun dari pengaruh manusia. Apabila diakumulasi keseluruhan tegakan
mangrove seluas 420ha di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen dengan kerapatan
pohon rata-rata 4 ind/100m2, anakan 13 ind/100m2 dan semai 83 ind/100m2.
Perbandingan tingkat kerapatan pohon mangrove terhadap tingkat kerapatan anakan
dan semai sangat jauh yaitu 1:24. Hal ini menunjukkan bahwa mangrove dapat
meningkatkan jumlah dan luasannya tanpa upaya rehabilitasi apabila proses
regenerasi dapat berjalan tanpa hambatan.
Apabila tegakan mangrove anakan dan semai saat ini hanya mampu
menggantikan tegakan pohon mangrove sekarang maka tingkat survivalnya hanya
4,17% atau tingkat mortalitas yang terjadi sebesar 95,83% dari seluruh jumlah
anakan dan semai mangrove yang hidup saat ini. Jumlah anakan dan semai
mangrove yang besar dibandingkan dengan jumlah pohon mangrove menjadi
peluang besar bagi mangrove untuk melakukan regenerasi.
4.1.2 Indeks Nilai Penting (INP)

28
29

INP adalah nilai yang memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau
peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam ekosistem mangrove. Rincian
perhitungan INP berkisar antara 0 sampai 300 (Tabel 9).

Tabel 9. Indeks Nilai Penting (INP)


Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
Am 266 300 0 300 300 80
Rm 34 0 0 0 0 220
Keterangan:
Am = Avicennia marina
Rm = Rhizophora mucronata

INP ditentukan dari tingkat kerapatan relatif jenis, frekuensi relatif jenis, dan
penutupan relatif jenis. Mangrove anakan dan semai masih banyak dipengaruhi oleh
lingkunganya daripada pengaruhnya terhadap lingkungan, sehingga mangrove
anakan dan semai belum memiliki peran berarti seperti halnya pohon mangrove.
Mangrove yang terdapat dikawasan pesisir Kecamatan Kasemen terhampar pada tepi
pantai dengan kisaran ketebalan antara 40-100 m. Luasan ekosistem mangrove yang
terbatas ini menjadi faktor pembatas pengaruh ekosistem mangrove terhadap
lingkungan sekitarnya.
Diantara ketiga jenis mangrove yang terdapat dikawasan pesisir Kecamatan
Kasemen terdapat dua jenis mangrove yang memiliki peran ekologis, yaitu:
Avicennia marina dan Rhizophora mucronata sedangkan Rhizophora apiculata
diliha dari nilai INP tidak memiliki peran sama sekali. Mangrove jenis Rhizophora
apiculata yang terdapat pada muara kali perumpung adalah mangrove semai yang
baru bisa tumbuh menjadi anakan, Rhizophora apiculata memiliki peran ekologis
dalam jangka waktu 15-20 tahun setelan mencapai usia dewasa menjadi pohon.
Mangrove jenis Avicennia marina tersebar lebih banyak dari pada jenis
Rhizophora mucronata, sehingga besar pengaruhya juga berbeda. Mangrove jenis
Avicennia marina tersebar diseluruh pesisir Indonsia (Noor et al. 2006), hal ini
menunjukkan bahwa mangrove jenis Avicennia marina memiliki daya tahan hidup
bagus terhadap pengaruh tekanan alam yang tinggi.

29
30

4.1.3 Tingkat kerusakan mangrove


Tingkat kerusakan mengrove menggambarkan kondisi fisik mangrove yang
mengalami kerusakan dalam suatu kawasan tertentu. Tingkat kerusakan mangrove
ditentukan berdasarkan kerapatan mangrove mengacu pada Kep-MENLH No 201
(2004) modifikasi (Tabel 10).

Tabel 10. Tingkat kerusakan mangrove


Kerapatan Tingkat Regenerasi
Stasiun
(ind/100m2) Kerusakan (%)
1 10 Baik 0,00
2 6 Rusak sedang 2,72
3 0 Habis 0,00
4 1 Rusak berat 1,11
5 6 Rusak sedang 5,00
6 3 Rusak berat 1,88
Rata-rata Rusak sedang 1,79

Tingkat kerusakan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kecamatan


Kasemen dapat dilihat dari tingkat kerapatan pohon mangrove perluasan area.
Luasan mangrove sepanjang 4 km, dengan ketebalan 100 m ini secara keseluruhan
memiliki tingkat kerusakan rata-rata 4 ind/100m2 dengan tingkat kerusakan yang
beraneka ragam. Sebagian besar lokasi mangrove sudah melewati batas rusak dan
satu lokasi yang masih masuk dalam kategori baik (tidak rusak) adalah kawasan
pesisir Pelabuhan Karangantu dengan kerapatan 10 ind/100m2.
Kerusakan ekosistem mangrove tertinggi terjadi pada sepanjang Sungai
Cengkok, dan saat ini sudah tidak terdapat tegakan pohon mangrove yang masih
hidup (hanya tersisa semai mangrove), sedangkan pada lokasi lain meskipun dengan
tingkat kerapatan rendah masih terdapat tegakan mangrove yang bertahan hingga
sekarang (Gambar 9). Perbedaan tingkat kerapatan mangrove menyebabkan
perbedaan tingkat kerusakan mangrove.

30
31
Gambar 9. Peta tingkat kerusakan mangrove
31
32

Luasan mangrove yang tersisa saat ini adalah lahan yang tersisa dari konversi
lahan mangrove menjadi petak-petak tambak ikan seluas 5.642 ha (Pemprov Banten
2008). Saat ini petak tambak yang ada luasannya sudah jauh melebihi luasan
mangrove yang tersisa. Kemampuan mangrove untuk memperluas distribusinya
kearah daratan kini sudah dibatasi oleh tambak-tambak ikan. Menurut Bengen
(2001b) dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove berupa konversi
menjadi lahan perikanan adalah: (1) mengancam regenerasi stok ikan dan udang di
perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove, (2) terjadinya pencemaran
laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat hutan mangrove, (3)
pendangkalan perairan pantai, dan (4) Erosi garis pantai dan intrusi garam.
Sedangkan kemampuan mangrove untuk regenerasi dibatasi oleh keberadaan hama
bibit mangrove dari fauna ekosistem mangrove khususnya kepiting bakau (wideng).
Hampir 50% atau bahkan lebih bibit mangrove yang ditanam gagal tumbuh karena
cacat atau mati yang disebabkan oleh hama kepiting, sedangkan abrasi pantai di
muara Sungai Cengkok sebelah barat tercatat hingga 2 ha, setiap upaya rehabilitasi
di lokasi tersebut selalu gagal oleh gangguan abrasi pantai. (sofian, 21 Agustus
2009, komunikasi pribadi).
Adanya perubahan tata guna dan fungsi lahan mangrove serta berbagai
aktifitas pembukaan lahan telah menyebabkan semakin berkurangnya luas hutan
mangrove dan terjadinya perubahan komposisi vegetasi pada berbagai strata
pertumbuhan seperti semai, anakan dan pohon (Nursal et al. 2006). Kerusakan
mangrove secara temporal hanya bertahan sekitar 15-20 tahun kedepan, karena akan
digantikan oleh semai dan bibit mangrove yang tumbuh dan memiliki peran ekologis
sebagaimana pohon mangrove (Noor et al. 2006). Apabila generasi mangrove saat
ini dapat bertahan, maka tingkat kerusakan ekosistem mangrove berangsur-angsur
akan menurun, dan sebaliknya tingkat kerusakan ekosistem mangrove akan semakin
parah apabila generasi mangrove saat ini tidak dapat dipertahankan. Ekosistem
mangrove dapat mempebaiki kerusakannya apabila memiliki kerapatan 10-15
ind/100m2. Saat ini terdapat jumlah semai dan anakan mangrove sebanyak ±24 kali
lipat dari jumlah pohon mangrove yang ada sekarang, sehingga tingkat kerusakan
mangrove akan hilang apabila daya regenerasinya yang dapat bertahan hidup
meningkat dari 4,17% menjadi 10,42-15,63%.

32
33

Kerusakan mangrove menyebabkan menurunnya produktivitas perairan dan


menurunnya kesejahteraan nelayan kecil (subsisten) yang menggantungkan
pendapatannya dari perairan dangkal tersebut (Setyawan 2008). Dengan kondisi
kerusakan ekosistem mangrove saat ini maka fungsi ekosistem mangrove dalam
menjalankan perannya semakin berat. Ekosistem mangrove ini masih menjadi
barisan terdepan dalam melindungi 5.642 ha tambak yang ada dari terpaan ombak,
badai, dan gelombang yang menghampiri daratan, mencegah intrusi air laut sejauh
mungkin dari pemukiman penduduk, menyuplai stok benih-benih ikan untuk tumbuh
besar dan ditangkap oleh nelayan, menyediakan ranting-ranting dan kayu bakar
untuk masyarakat, menghasilkan daun dan buah untuk pakan ternak, serta fungsi
lain bagi ekosistem sekitarnya.

4.2. Kondisi substrat


Parameter yang diamati untuk sampel substrat adalah pH tanah, kadar C-
organik, dan tekstur substrat. Parameter substrat pH, tekstur, tipe substrat, dan kadar
C-organik relatif sama pada setiap lokasi (Tabel 11).

Tabel 11. Kondisi substrat


Tekstur (%) Tipe C-organik
Stasiun pH
Pasir Debu Liat Substrat (%)
1 6,4 1,22 20,39 78,39 Liat 9,25
2 7,5 3,88 27,20 68,92 Liat 5,42
3 7,5 2,88 28,70 68,42 Liat 3,68
4 7,5 2,28 34,69 63,03 Liat 3,51
5 7,5 4,29 35,90 59,81 Liat 4,75
6 7,5 1,08 18,84 80,08 Liat 3,51

Substrat adalah satu-satunya media tanam yang menjadi media pertumbuhan


mangrove sejak pertama kali menancapkan akar kedalam substrat. Kemampuan
mangrove untuk dapat hidup, tumbuh, dan berkembang biak sangat bergantung pada
kondisi substrat yang menjadi media utamanya. Kondisi substrat menjadi salah satu
faktor penting bagi kehidupan mangrove.
Derajat keasaman (pH) substrat mangrove di Kecamatan Kasemen berada
pada kondisi netral cenderung asam. Kondisi substrat ini sangat cocok bagi

33
34

pertumbuhan mangrove, karena mangrove dapat tumbuh subur pada kondisi substrat
netral dan cenderung asam. pH substrat mempengaruhi laju pertumbuhan dan sangat
menentukan tingkat keberhasilan hidup bibit mangrove. Menurut Setyawan (2008)
kondisi substrat mangrove pada umumnya cenderung asam, karena aktivitas bakteri
pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam.
Tekstur substrat ditentukan dari komposisi fraksi pasir, debu, dan liat. Menurut
Witasari (2002) tekstur dan komposisi sedimen di dasar teluk banten merupakan
hasil pengendapan moderen yang berasal dari daratan dan dari paparan, sumber dari
lingkungan darat memberikan kontribusi terbesar. Endapan asal darat terutama
terkirim melalui aliran sungai ke laut, sedangkan endapan asal paparan umumnya
terbentuk secara insitu. Kawasan pesisir perairan sering dilalui oleh saluran air dari
daratan dan lautan sehingga terjadi laju pegendapan yang cukup tinggi, hal yang
sama juga terjadi pada kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, tekstur substrat lebih
didominasi oleh liat dari sedimentasi perairan. Substrat di kawasan pesisir
Kecamatan Kasemen tergolong tipe substrat liat. Meskipun perbedaan persentasi
fraksi liat antara stasiun satu dan lainnya tidak sama, komposisi fraksi liat lebih
besar dari 40% dan komposisi fraksi lainnya lebih kecil dari fraksi liat, tekstur
substrat liat pada segitiga millar memiliki proporsi paling besar diantara tipe tekstur
yang lain, sehingga tekstur substrat di kawasan ini yang terbentuk berdasarkan
pengelompokan substrat segitiga millar relatif sama yaitu tekstur liat.
Kesuburan substrat ditentukan dari kandungan C-organik yang tersimpan,
semakin besar kandungan C-organik pada suatu substrat maka substrat tersebut
semakin subur. Substart dapat dikatakan memiliki kesuburan tinggi apabila
kandungan C-organiknya >3%, dan menjadi sangat tinggi apabila >5% C-organik
(Hardjowigeno 2003). Kawasan pesisir Kecamatan Kasemen memiliki kesuburan
berkisar antara 3,51-9,25% C-organik, kandungan C-organik tertinggi pada stasiun 1
dan kadar C-organik terendah pada stasiun 4 dan 6. Substrat pada stasiun 1 lebih
tinggi kadar C-organiknya dibandingkan dengan stasiun lainnya, hal ini disebabkan
dengan tingginya tingkat kerapatan pohon mangrove dan derajat keasaman yang
lebih rendah mampu meningkatkan proses dekomposisi bahan organik yang
tertimbun pada substrat tersebut. Kadar C-organik yang tinggi pada substrat di
kawasan ini menandakan bahwa substrat tersebut sudah subur akan kandungan C-

34
35

organik. Kebutuhan mangrove akan kesuburan substrat (C-organik) di kawasan


pesisir Kecamatan Kasemen sudah terpenuhi, dengan demikian maka kesuburan
substrat tidak menjadi hambatan bagi pertumbuhan mangrove.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesuburan substrat adalah
tekstur substrat. Tekstur substrat yang terdiri atas partikel-partikel kecil (liat)
memiliki kemampuan menangkap bahan organik lebih tinggi dari pada partikel-
partikel yang berukuran lebih besar (pasir). Liat adalah partikel substrat yang paling
kecil dengan ukuran kurang dari 0,002mm, sedangkan pasir adalah partikel substrat
yang paling besar dengan ukuran 0,500-2,000mm. Substrat yang terdiri atas fraksi
liat membentuk susunan partikel-partikel yang bersifat micropores yaitu substrat
yang memiliki pori-pori kecil dalam jumlah banyak, sedangkan substrat yang terdiri
atas fraksi pasir membentuk susunan partikel-partikel yang bersifat macropores
yaitu substrat yang memiliki pori-pori besar dalam jumlah sedikit. Micropores
karena ukuran pori-porinya yang kecil sulit mengalirkan air dan bahan organik
sehingga pada lapisan ini sering terisi oleh air, sedangkan macropores dengan
ukuran pori-porinya yang besar mampu melewatkan air sehingga pada lapisan ini
sering terisi oleh udara (Plaster 2003). Semakin banyak jumlah persentase liat pada
suatu substrat maka kemungkinan kadar air dan tingkat kesuburannya semakin
tinggi dan semakin banyak jumlah persentase pasir pada suatu substrat maka
kemungkinan kadar air dan tingkat kesuburannya semakin rendah.

4.3. Parameter Lingkungan Perairan


Kualitas perairan dapat mempengaruhi ekosistem mangrove dan kondisi
kehidupan biota dikawasan pesisir. Kualitar perairan yang buruk selama dapat
diminimalisir oleh ekosistem mangrove akan berubah menjadi perairan yang baik,
akan tetapi kualitas perairan yang tidak dapat diminimalisir oleh ekosistem
mangrove selain menghasilkan perairan yang tetap buruk juga semakin merusak
ekosistem mangrove tersebut. Parameter yang perlu diamati pada pengelolaan
ekosistem mangrove adalah suhu, salinitas, dan pH.

4.3.1 Suhu

35
36

Suhu adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi kelangsungan


hidup biota perairan. Suhu perairan di Kecamatan Kasemen memiliki kesamaan
pada kondisi pasang dan surut (Gambar 10).

33

32
Suhu ( C)

31
O

P as ang
30 S urut

29

28
1

6
Stasiun

Gambar 10. Diagram sebaran suhu perairan.

Sebaran suhu perairan di Kecamatan Kasemen pada saat kondisi pasang dan
surut relatif stabil yaitu 30,5-32,0 0C. Pada suhu tersebut biota perairan dapat
tumbuh normal apabila tidak terjadi fluktuasi yang tajam. Selama bulan Juli-Agustus
2009 pasang surut terjadi sebanyak satu kali dalam sehari. Pasang terjadi pada siang
sampai malam hari, sedangkan surut terjadi dari pagi sampai siang. Suhu perairan
pada kondisi pasang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi surut. Ini
terjadi disebabkan penyinaran matahari di tengah laut selama seharian sehingga pada
saat surut panas yang diserap air laut masuk ke kawasan pesisir. Terkecuali pada
stasiun 1 dengan keberadaan pelabuhan dan aktifitas manusia seperti bongkar muat
dan keluar masuk kapal nelayan serta buangan limbah domestik, maka suhu air laut
di stasiun 1 ketika surut relatif lebih tinggi daripada saat pasang.
Vegetasi mangrove yang sudah menjadi pohon tidak banyak terpengaruh oleh
temperatur perairan, karena sudah memiliki pondasi yang kuat dan menciptakan
kerindangan bagi lingkungan sekitarnya. Akan tetapi temperatur perairan sangat
diperhatikan untuk pembibitan mangrove. Bibit mangrove yang ditanam atau
tertanam secara alami akan tumbuh dengan baik pada temperatur perairan yang
stabil.
4.3.2 Salinitas

36
37

Tingkat salinitas umumnya pada kawasan pesisir mengalami fluktuasi tinggi


sehingga menciptakan ekosistem yang berbeda dengan perairan lainnya. Salinitas
perairan di Kecamatan Kasemen tidak mengalami fluktuasi tinggi (Gambar 11).

36

34
Ssalinitas (‰)

32 P as ang
S urut

30

28
1

6
Stasiun

Gambar 11. Diagram sebaran salinitas perairan.

Sebaran salinitas perairan pasang dan surut di kawasan mangrove Kecamatan


Kasemen masuk kategori air laut karena berada pada salinitas >30‰. Hal ini
menunjukkan bahwa selama penelitian peristiwa pasang-surut di Kecamatan
Kasemen tidak menyebabkan terjadinya perubahan salinitas yang besar. Ini
disebabkan juga kecilnya arus yang terjadi di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen.
Perubahan salinitas akan lebih signifikan apabila terjadi pasang purnama dan
musim hujan, karena terjadi perpindahan masa air yang lebih banyak dari hari
biasanya. Salinitas perairan Kecamatan Kasemen masih layak untuk ekosistem
mangrove, karena tanaman mangrove masih dapat tumbuh dengan baik hingga
salinitas 38‰.
Salinitas perairan lebih banyak berperan bagi mangrove pada saat bibit. Bibit
sejak pertama kali menancapkan bijinya kedalam tanah (substrat) maka pada saat itu
bibit mulai membiasakan diri dengan berbagai kondisi lingkungan untuk dapat
tumbuh dan berkembang biak. Menurut Wibisono et. al. (2006) kriteria perairan
untuk penanaman mangrove adalah perairan payau (7-15‰). Sehingga dalam
penanaman mangrove buatan sebaiknya dilakukan dilokasi terpisah yang memiliki
salinitas payau.
4.3.3 Derajat keasaman (pH)

37
38

Derajat keasaman / pH air dapat berubah-ubah tergantung dari masukan air


laut dan air tawar dari daratan. pH perairan mengalami perbedaan pada kondisi
pasang dan surut (Gambar 12).

7.5

P as ang
pH

7
S urut

6.5

6
1

6
Stasiun

Gambar 12. Diagram sebaran pH perairan.

Kondisi ekosistem pesisir yang ekstrim menciptakan vegetasi yang kuat


terhadap berbagai dinamika alam yang terus berubah. Vegetasi mangrove adalah
salah satu ekosistem pesisir yang memiliki keunikan mampu bertahan hidup pada
perairan yang berubah-ubah. Mangrove dapat bertahan pada perairan dengan
perubahan pH, sehingga pH tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan mangrove.
Sebaran pH dari ke enam stasiun lokasi pengamatan berkisar antara 7,16-7,67.
pada saat surut pH cenderung meningkat dan pada saat pasang pH perairan kembali
naik. pH tertinggi dicapai pada saat surut di stasiun 4, sedangkan pH terendah di
capai pada saat pasang di stasiun 6. karena selang perubahan pH air tidak terlalu
jauh, maka pH air laut di Kecamatan Kasemen cukup stabil.
pH perairan yang stabil diperlukan untuk menjaga kualitas bibit mangrove
pada saat rehabilitasi. Pertumbuhan mangrove akan optimal apabila kondisi
perairannya memiliki kondisi pH yang stabil. Setelah dewasa maka daya tahan
terhadap alam meningkat sehingga mampu mengkondisikan ketika terjadi perubahan
pH yang tidak sesuai.

4.4. Indeks Similaritas Canberra

38
39

Dendrogram kerapatan mangrove menggambarkan tingkat kekerabatan


kerapatan mangrove antara lokasi satu dan lainnya. Tingkat kekerabatan kerapatan
mangrove di Kecamatan Kasemen berkisar antara 50,31%-92,14% (Gambar 13).

50,31%

60,72%
65,58%
64,00%
60,72%

92,14%

Gambar 13. Grafik dendrogram kerapatan mangrove

Pada grafik di atas dapat dilihat tingkat kekerabatan kerapatan mangrove


seluruh lokasi mencapai tingkat 50,31%. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan
mangrove kawasan pesisir Kecamatan Kasemen terdapat kesamaan antara lokasi
satu dan lokasi lainnya, sebagaimana diketahui pada tabel kerapatan mangrove
sebagian besar kondisi mangrove rusak berat, sebagian lagi rusak sedang, dan
sisanya baik. Nilai rata-rata tingkat kekerabatan dari kerapatan mangrove diperoleh
tingkat 65,68% yang membagi kerapatan mangrove menjadi 3 kelompok.
Kelompok 1 terdiri atas stasiun 1, 2, dan 5. Stasiun 2 dan 5 terdapat kemiripan
hingga 92,14%, karena pada stasiun tersebut kerapatan pohon mangrove sama yaitu
6 ind/100m2 dan mengandungan kadar C-organik yang tinggi yaitu 5,42% pada
stasiun 2 dan 4,75% pada stasiun 5. Stasiun 2 dan 5 masih memiliki kemiripan
dengan stasiun 1 pada tingkat 64,00%. Karena stasiun 1 memiliki kandungan C-
organik sangat tinggi yaitu 9,25%. Kelompok 1 adalah kelompok yang memiliki
kerapatan mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya.

39
40

Kelompok 2 terdiri atas stasiun 4 dan 6 dengan tingkat kemiripan hingga


60,72%. Kelompok 2 memiliki kadar C-organik yang tinggi dan dengan persentase
yang sama yaitu 3,51%. Pada kelompok 2 ini kerapatan mangrove rendah dan
mengalami tingkat kerusakan mangrove hingga rusak berat. Stasiun 4 dan 6
memiliki tingkat kerusakan yang lebih tinggi dari pada kelompok 1.
Kelompok 3 hanya terdiri atas satu stasiun yaitu stasiun 3. Stasiun 3 adalah
satu-satunya stasiun dengan tingkat kekerabatan sangat rendah mencapai 50,31%.
Pada kelompok 3 ini kondisi mangrove sudah sangat parah, tidak ditemukan tegakan
pohon mangrove sama sekali, berbeda halnya dengan stasiun lain yang memiliki
tegakan pohon mangrove dengan kerapatan berbeda-beda. Kelompok 3 adalah
kelompok yang memiliki kondisi mangrove rusak berat.

4.5. Manajemen Rehabilitasi Mangrove

Kondisi mangrove yang sudah kritis akibat konversi lahan mangrove yang
berlebihan berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove baik secara
langsung (misal kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun secara tidak
langsung (misal pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan) (Bengen
2001b). Agar dapat dimanfaatkan kembali dengan baik maka perlu dilakukan
manajemen rehabilitasi mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen yang
meliputi rehabilitasi mangrove, penataan lingkungan pesisir Kecamatan Kasemen
dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang lebih ramah lingkungan dan tetap
menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Upaya rehabilitasi di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen sudah dilakukan
oleh beberapa pihak baik dari pemerintahan maupun dari LSM, sayangnya upaya
tersebut dilakukan sendiri-sendiri tanpa ada kerjasama yang membuat upaya
rehabilitasi tersebut dapat dipertahankan. Selain itu paska rehabilitasi tersebut tidak
ada monitoring untuk memantau perkembangan hasil rehabilitasi tersebut. Banyak
sisa-sisa penanaman mangrove yang bertahan sejak awal dan banyak juga yang mati.
Bibit mangrove yang ditanam di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen biasanya mati
karena hama kepiting dan abrasi pantai. Hama kepiting sering menjadi masalah
dalam upaya rehabilitasi mangrove.

4.5.1 Rehabilitasi mangrove

40
41

Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara rehabilitasi.


Rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove
yang mengalami degradasi kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu
mengemban fungsi ekologis dan ekonomis (Menhut 2004). Campur tangan manusia
dalam rehabiliasi mangrove diusahakan sekecil mungkin terutama dalam
memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang
diingini oleh manusia. Dengan demikian, usaha rehabilitasi semestinya mengandung
makna memberi jalan/peluang kepada alam untuk mengatur/memulihkan dirinya
sendiri. Menurut Lewis dan Streever (2000) in (Setyawan et al. 2004), reforestasi
adalah penanaman mangrove pada bekas area hutan mangrove, sedang afforestasi
adalah penanaman mangrove pada area yang semula bukan hutan mangrove.
Rehabilitasi yang dapat dterapkan disini adalah rehabilitasi reforestasi, karena
banyak lokasi ekosistem mangrove yang perlu dihidupkan kembali dan tidak ada
lahan kosong yang belum digunakan oleh masyarakat.
a. Jenis vegetasi mangrove
Dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, masing-masing jenis mangrove
memiliki karakter yang berbeda. Jenis mangrove yang dapat ditanam untuk
rehabilitasi mangrove dapat ditentukan berdasarkan kondisi lingkungannya,
pengalaman upaya rehabilitasi pada lokasi terdekat, dan sejarah jenis mangrove yang
masih tersisa pada lokasi tersebut dan sekitarnya.
Kawasan pesisir Kecamatan Kasemen berada pada kondisi geografis tropis
dengan 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, memiliki substrat dengan
kandungan organik tinggi (>3%), pH berkisar antara 6,5 – 7,0 dan memiliki tipe
substrat liat serta sering digenangi oleh air pasang-surut dengan salinitas tinggi.
Untuk rehabilitasi mangrove pada kawasan tersebut diperlukan jenis mangrove yang
mampu bertahan dengan tekanan alam cukup kuat sehingga dapat bertahan hidup
hingga dewasa dan melaksanakan kembali peran mangrove yang pernah ada
sebelumnya.
Mangrove jenis Rhizopora spp dan Avicennia spp adalah vegetasi mangrove
yang sering digunakan untuk rehabiliasi dan peluang keberhasilannya cukup tinggi.
Kegiatan rehabilitasi mangrove yang telah dirintis sejak tahun 1960 di kawasan
pantai utara Pulau Jawa sekitar 20.000 ha di laporkan telah berhasil di rehabilitasi

41
42

dengan menggunakan tanaman utama Rhizopora spp dan Avicennia spp dengan
persen tumbuh hasil penanaman berkisar antara 60%-70%. Hal serupa juga
dilakukan pada sekitar 105 ha hutan mangrove yang rusak di Cilacap, di mana telah
berhasil di rehabilitasi dengan menggunakan tanaman pokok Rhizopora spp dan
Bruguiera spp (Iqbal 2009).
Vegetasi mangrove yang masih hidup di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen
hingga saat ini terdiri atas tiga jenis mangrove yaitu Avicenia marina, Rhizophora
mucronata, dan Rhizophora apiculata. Sedangkan menurut Iqbal (2006) dalam hasil
studi vegetasi mangrove yang berlokasi di Cagar Alam Pulau Burung Teluk Banten,
menyatakan bahwa terdapat lima jenis vegetasi mangrove yang masih hidup yaitu
Avicennia lanata, Avicennia marina, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,
dan Bruguiera excaristata.
Berdasarkan tekanan kondisi lingkungan yang cukup berat, mengambil
pengalaman dari rehabilitasi yang berhasil dilakukan di pesisir Pulau Jawa, dan
sejarah vegetasi mangrove yang masih tersisa di kawasan selitarnya, maka vegetasi
mangrove yang tepat untuk rehabilitasi kawasan pesisir Kecamatan Kasemen ada
tiga jenis yaitu: Avicennia marina, Rhizophora apiculata, dan Rhizophora
mucronata. Sedangkan upaya rehabilitasi lanjutan setelah ketiga jenis tersebut dapat
melakukan introduksi vegetasi tambahan dari Cagar Alam Pulau Burung yang
berdekatan dengan kawasan pesisir Kecamatan Kasemen sebanyak 2 jenis yaitu
mangrove jenis Avicennia lanata dan Bruguiera excaristata.
b. Lokasi rehabilitasi
Rehabilitasi mangrove untuk upaya rehabilitasi kawasan pesisir Kecamatan
Kasemen dapat dimulai dari tiga lokasi yaitu dari pantai Pelabuhan Karangantu,
muara Sungai Cengkok sebelah barat, dan muara Kali Perumpung. Ketiga lokasi ini
dipilih karena memiliki keunggulan yaitu kondisi ekosistem mangrove yang lebih
baik daripada ekosistem mangrove di sekitarnya.
Upaya rehabilitasi mangrove dimulai dari kawasan mangrove dengan kondisi
kerusakan paling ringan kearah kawasan mangrove dengan kondisi kerusakan paling
berat. Ini dilakukan dengan pertimbangan: menekan ancaman kerusakan mangrove
yang lebih parah, melihat peluang terbesar penyelamatan ekosistem mangrove, dan
memberi peluang bagi ekosistem mangrove menjadi ekosistem homeostasis.

42
43

Pantai Pelabuhan Karangantu dengan tingkat kerusakan mangrove baik


memiliki kerapatan mangrove paling tinggi diantara stasiun yang lain. Dengan
ketebalan dari tepi pantai yang sangat tipis dibandingkan dengan luasan tambak
yang ada maka perlu penambahan luasan ekosistem mangrove kearah daratan,
kekurangan yang ada pada pantai Pelabuhan Karangantu adalah regenerasinya
sangat rendah, sehingga upaya rehabilitasi yang dilakukan dengan penyemaian
mangrove dapat memperbesar jumlah semai dan anakan mangrove yang ada
sekarang. Upaya rehabilitasi mangrove pada lokasi ini akan menjadi indikator
keberhasilan rehabilitasi mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, karena
lokasi ini memiliki kerusakan paling rendah dengan kategori baik.
Muara Sungai Cengkok sebelah barat dengan tingkat kerusakan mangrove
rusak ringan memiliki kemampuan regenerasi mangrove yang lebih baik
dibandingkan dengan pantai Pelabuhan Karangantu. Upaya rehabilitasi yang perlu
dilakukan adalah meningkatkan kerapatan mangrove pada generasi berikutnya.
Dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove di muaras Sungai Cengkok perlu
dilakukan pencegahan pencemaran sampah domestik anorganik, karena
penumpukan sampah tertinggi berada pada muara Sungai Cengkok. Pencegahan
sampah anorganik dapat dilakukan dengan membuat pelindung sampah di sepanjang
tepi pantai dengan memasang jaring atau anyaman bambu, sehingga sampah tidak
dapat masuk ke lokasi rehabilitasi mangrove dan air pasang-surut tetap dapat keluar
masuk seperti sedia kala.
Muara Kali Perumpung dengan tingkat kerusakan mangrove rusak ringan
memiliki kemampuan regenerasi mangrove tidak sebesar muara Sungai Cengkok.
Upaya rehabilitasi mangrove yang perlu dilaksanakan memerlukan jumlah bibit
yang lebih banyak agar capaian kerapatan mangrove yang baik seimbang dengan
lokasi rehabilitasi mangrove pada kedua lokasi lainnya. Muara Kali Perumpung
tidak mengalami pencemaran domestik seperti halnya muara Sungai Cengkok,
sehingga tidak perlu penanganan serius untuk pencemaran sampah. Penanganan
yang paling penting adalah pencegahan gangguan hama kepiting bakau yaitu dengan
menanam bibit mangrove yang usianya lebih tua atau dengan penopang bambu.

4.5.2 Penataan lingkungan pesisir

43
44

Kawasan pesisir Kecamatan Kasemen memiliki potensi sumberdaya alam


yang melimpah, dengan luasan pesisir yang terbatas dan kepadatan penduduk yang
terus meningkat maka untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir perlu adanya
penataan lingkungan pesisir.
Lahan di pesisir Kota Serang didominasi oleh area pertambakan yang terdapat
di sepanjang pantai dengan luas 5.642 ha (Pemprov Banten 2008). Model tambak
yang terdapat di pesisir Kota Serang adalah tambak pembesaran ikan secara
tradisional tanpa menggunakan pakan tambahan (hanya menggunakan pakan alami).
Jenis tambak yang di budidayakan adalah tambak ikan Bandeng dan udang Windu.
Siklus panennya sekitar 3 bulan dan memanfaatkan pasang surut untuk sumber
irigasi.
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 32
tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung ditetapkan lebar minimum jalur
hijau (green belt) adalah 130 kali perbedaan pasang surut tertinggi dan terendah
yang diukur dari garis pantai terendah. Perbedaan pasang surut di Pantura Pulau
Jawa rata-rata sebesar 1,5m, sehingga lebar green belt minimum 195m (Dephut
2006). Ekosistem mangrove merupakan jalur hijau yang mempunyai fungsi ekologis
dan sosial ekonomi, untuk memperbaikinya harus memperhatikan fungsi ekosistem
tersebut. Ekosistem mangrove sebagai fungsi ekologis dapat di selamatkan lagi
dengan melakukan pencegahan pemanfaatan mangrove secara berlebihan,
sedangkan ekosistem mangrove sebagai fungsi sosial dan ekonomi dapat digunakan
dengan menyadari pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan masyarakat baik
secara langsung maupun tidak langsung. Melihat pentingnya peran green belt bagi
masyarakat dan kehidupan sekitarnya maka rekomendasi untuk jalur hijau berkisar
antara 200-300 m dari tepi pantai dan 100 m pada pinggiran Sungai Cengkok
dengan kerapatan optimum.
Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan terhadap ekosistem mangrove perlu
adanya dukungan dari lingkungan sekitarnya, penataan kawasan pesisir ekosistem
mangrove selain harus efektif dan efisien juga tidak boleh merugikan masyarakat
sekitarnya. Kawasan yang masih berstatus lahan umum atau milik pemerintah bisa
ditanam kembali bibit mangrove dengan kerapatan optimal. Sedangkan pada lahan
yang sudah masuk kepemilikan warga dapat dilakukan kesepakatan yang sama-sama

44
45

menguntungkan seperti sistem tumpang sari dimana masyarakat tetap dapat


melakukan kegiatan perikanan dengan dikombinasikan mangrove. Pola tumpang sari
berdasarkan Menhut (2004) adalah tradisional, komplangan, kao-kao, dan terbuka
(Gambar 14).

Gambar 14. Macam-macam pola tumpang sari tambak (Menhut 2004)

Penerapan pola tumpang sari pada kawasan pesisir memiliki keuntungan dan
kerugian tersendiri dibandingkan dengan tambak yang dibuat tanpa memanfaatkan
vegetasi mangrove sama sekali. Keuntugan yang dapat diperoleh dengan pola
tumpang sari adalah sumber palsma nutfah, penyinaran matahari yang lebih teduh,
konstruksi pematang yang lebih kuat, dan kualitas perairan yang lebih baik.
Sedangkan kerugian atau kendala yang dihadapi dengan pola tumpang sari adalah
perlunya perawatan mangrove berupa penjarangan setelah 3 tahun dan peremajaan
setelah 5 tahun (Puspita et al. 2005). Kerugian yang ada untuk menerapkan pola
tumpang sari tambak tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh sehingga
penerapan pola tumpang sari ini lebih mudah diterima masyarakat secara ekonomi.

45
46

Penataan lingkungan pesisir ini adalah refleksi dari perbaikan ekosistem


mangrove yang sudah mengalami kerusakan, sehingga proporsi pembagian lahannya
banyak merekomendasikan penghijauan lingkungan pesisir dengan vegetasi pantai
yang memiliki manfaat biologis dan nilai ekonomi bagi masyarakat. Penataan
lingkungan pesisir yang direkomendasikan untuk upaya rehabilitasi ekosistem
mangrove mengarah kepada optimalisasi lahan kosong yang belum tergarap dan
penghijauan pada lda lahan yang sudah terpakai (Gambar 15).
Menurut Rahmawati (2006), secara umum, semua habitat mangrove dapat
memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15 – 20 tahun jika: (1) kondisi
normal hidrologi tidak terganggu, dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya
tidak terganggu atau terhalangi. Dengan melihat kondisi kawasan pesisir Kecamatan
kasemen, maka dapat diprediksi masa perbaikan mangrove akan memerlukan waktu
lebih dari 20 tahun, hal ini disebabkan kondisi salinitas perairan yang tidak kondusif
akibat buangan air tambak yang tidak teratur dan sumber air tawar dari bendungan
Sungai Cengkok yang sering ditutup.
Pada tahun 1999, paradigma pembangunan kehutanan berbasis masyarakat
sudah diupayakan. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan upaya
pemberdayaan masyarakat lokal atau masyarakat yang berdomisili di sekitar
kawasan ekosistem mangrove. Pendekatan yang paling tepat dan dapat dilakukan
untuk upaya rehabilitasi ekosistem mangrove adalah dengan pendekatan
pemberdayaan masyarakat pesisir (coastal society empowering approach).
Semestinya upaya rehabilitasi atas biaya pemerintah tersebut semuanya
dipercayakan kepada masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. (Sudarmadji 2001).
Kelebihan dan keuntungan yang dapat diperoleh dari pendekatan tersebut adalah
adanya kontribusi besar dari masyarakat pesisir dalam pengembalian fungsi
mangrove bagi ekosistem pesisir dan mata pencaharian mereka serta adanya
pengawasan langsung dari masyarakat paska upaya rehabilitasi tersebut karena
mangrove yang mereka tanam sudah dianggap milik mereka sendiri yang harus
dirawat dan dijaga keberadaannya.

46
47
Gambar 15. Peta rekomendasi penataan lingkungan pesisir Kecamatan Kasemen
47
48

4.5.3 Pemanfaatan ekosistem mangrove


Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dikategorikan menjadi pemanfaatan
ekosistem secara keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan produk-produk yang
dihasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial, ekonomi, dan budaya). Secara tradisional,
masyarakat setempat memanfaatkan mangrove untuk memenuhi berbagai keperluan
secara lestari, tetapi meningkatnya jumlah penduduk dapat menyebabkan terjadinya
tekanan berlebihan yang tidak terbaharukan pada sumber daya ini.
Ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kota Serang dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat
langsung hutan mangrove antara lain: pohon dan ranting mangrove dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai kayu bakar untuk keperluan rumah tangga sedangkan
daunnya dimakan oleh hewan ternak kambing dan domba. Menurut Iqbal (2009),
pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar apabila dipakai sendiri berkisar antara
0,5-1,5 m3/hari. Tetapi apabila kayu tersebut akan dijual, maka masyarakat akan
mengambil lebih banyak lagi, yaitu sekitar 5-12m3/hari. Nelayan yang tinggal di
sekitar kawasan pesisir juga memanfaatkan nilai ekosistem mangrove dengan
menangkap ikan, udang dan kerang dengan alat serok secara tradisional, selain itu
manfaat langsung yang paling berpengaruh di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen
adalah konversi lahan mangrove menjadi tambak yang kini sudah terbentang cukup
luas dari perbatasan mangrove di tepi pantai hingga dekat dengan pemukiman
penduduk. Pemanfaatan ekosistem mangrove secara langsung masih bersifat
tradisional, karena belum bisa melihat nilai ekonomi yang lebih tinggi dari sekedar
menangkap ikan dan merubah lahan mangrove menjadi tambak, masyarakat
cenderung memilih manfaat langsung yang terlihat di depan mata tanpa perlu
pengolahan lebih lanjut.
Nilai ekologis utama yang dapat diperoleh dari ekosistem mangrove yang baik
adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery
ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan, udang,
kerang, burung dan biota lain. Di samping itu berperan pula sebagai penyerap
karbon dioksida, filtrasi limbah, pembentukan daratan, menjaga kealamian habitat,
menjaga pantai dari erosi, intrusi air laut dan badai. Ekosistem mangrove juga
memiliki kemampuan tinggi dalam menyimpan karbon dibandingkan dengan

48
49

ekosistem lainnya di kawasan pesisir, sehingga dapat dijadikan salah satu alernatif
dalam solusi pemanasan bumi. Adapun nilai sosial-budayanya meliputi fungsi
konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya (Setyawan 2008).
Manfaat langsung yang dapat dikembangkan oleh masyarakat pesisir yang
memiliki nilai ekonomi lebih tinggi selain sebagai kayu bakar dan bangunan adalah
kayu lapis, bubur kertas, peternakan lebah madu, bagan penangkap ikan, kayu untuk
mebel dan kerajinan tangan, tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein
hewani, madu, karbohidrat, dan bahan pewarna. Ekosistem mangrove juga dapat
dikatakan sebagai ekosistem bioprospektif, karena pemanfaatannya khususnya
sebagai tanaman obat tradisional dapat dijadikan sebagai pengobatan modern
dengan mengkaji lebih dalam kandungan yang tersimpan didalam tanaman
mangrove. Manfaat langsung yang dapat dikembangkan dari ekosistem mangrove di
kawasan pesisir Kecamatan Kasemen adalah biji, daun, dan buah untuk bahan
makanan kebutuhan keluarga dan untuk masakan lokal khas Pesisir Kota Serang,
dan kerajinan tangan berupa pahatan kayu dari pohon mangrove berbentuk burung
untuk para pengunjung wisata Pulau Burung.
Manfaat tak langsung yang dirasakan oleh masyarakat pesisir Kecamatan
Kasemen adalah sebagai penahan abrasi, gelombang, arus, dan badai dari laut serta
penahan interusi air laut, daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan
(feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan,
udang dan biota laut lainnya. Mangrove yang ditanam ditanggul/pematang tambak
dapat memperkuat struktur tanggul/pematang tambak sehingga tidak longsor.
Manfaat tak langsung yang diterima masyarakat ini secara berangsur-angsur
menurun dan pada akhirnya apabila tidak ditindak lanjuti akan menghilang.
Ketebalan mangrove yang berkisar antara 40-100m semakin berat melawan abrasi
pantai, terpaan gelombang arus dan badai. Tegakan mangrove yang ditanam pada
tanggul/pematang hanya sebagai penahan pondasi saja karena jumlahnya terbatas
dan banyak pemangkasan ranting dan daun yang menyebar sehingga lahan
sekitarnya masih terasa panas pada siang hari.
Selain nilai ekologis, ekosistem mangrove juga memiliki nilai ekonomis yang
diperoleh dari barang dan jasa yang diproduksi oleh ekosistem magrove tersebut.
Hasil kajian analisis biaya dan manfaat hutan mangrove di beberapa daerah

49
50

menunjukkan total nilai ekonominya dapat mencapai triliunan rupiah. Total


economic value (TEV) ekosistem mangrove per tahun di Pulau Madura Rp. 49
trilyun, Irian Rp. 329 trilyun, Kalimantan Timur Rp. 178 trilyun, Jawa Barat Rp.
1,357 trilyun, dan untuk seluruh Indonesia Rp. 820 trilyun. Di teluk Bintuni, Irian,
ekosistem mangrove seluas 300.000 ha setiap tahun mendukung pemanfaatan secara
tradisional Rp. 100 milyar, perikanan Rp. 350 milyar, dan kayu Rp. 200 milyar
(Ruitenbeek 1992 in Setyawan 2008). Hasil kajian PKSPL-IPB (Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor) dari berbagai daerah
seperti Madura, Pemalang, Subang, dan Pesisir Selat Malaka mengungkapkan nilai
ekonomi total (sebenarnya) dengan kisaran antara Rp. 40.000.000-Rp. 70.000.000
per hektar per tahun (Bengen 2001b). Kawasan pesisir Kecamatan Kasemen dengan
luasan mangrove 420 ha dengan pemeliharaan dan pemanfaatan optimal dapat
menghasilkan nilai ekonomi sebesar Rp. 16,8-29,4 milyar.

50
51

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Ekosistem mangrove Kawasan Pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang


Provinsi Banten sudah mengalami kerusakan. Kerusakaan terjadi pada kisaran baik
(tidak rusak) sampai rusak berat dengan tingkat kerapatan yang berbeda. Faktor-
faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove terbagi dalam dua macam yaitu
faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami yang mempengaruhi kerusakan
mangrove adalah keberadaan kepiting bakau (wideng) yang sering memakan bibit-
bibit mangrove hingga 75% dari bibit-bibit mangrove yang ditanam dan
ditemukannya abrasi pada muara Sungai Cengkok sebelah barat seluas 2 ha.
Sedangkan faktor manusia adalah adanya konversi lahan mangrove menjadi tambak
ikan seluas 5.642 ha dan pemanfaatan pohon mangrove sebagai kayu bakar tiap hari
0,5-1,5 m3.
Penggunaan lahan di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen dari arah pantai
kedaratan memiliki pola seragam yaitu ekosistem mangrove, tambak-tambak ikan,
persawahan dan pemukiman penduduk. Tambak ikan sebagian besar telah
memenuhi kawasan pesisir dari pemukiman hingga tepat dibelakang ekosistem
pesisir, sedangkan pemukiman penduduk dengan area persawahan dibatasi oleh
jalan penghubung antar desa.
Manajemen untuk upaya rehabilitasi mangrove dilakukan dengan rehabilitasi
mangrove pada ekosistem mangrove yang mengalami kerusakan, menata
penggunaan wilayah pesisir dari tepi pantai kearah daratan dan pemanfaatan
ekosistem mangrove yang lebih optimal dan tidak menghilangkan kelestarian
mangrove. Rekomendasi penataan lingkungan pesisir untuk upaya rehabilitasi
mangrove adalah dengan perbaikan green belt dari garis pantai sejauh 200-300m dan
100m pada tepi Sungai Cengkok dengan kerapatan optimal. Rehabilitasi mangrove
pada kawasan tambak ikan dengan menerapkan konsep tumpang sari.

51
52

5.2. Saran

Perlu dilakukan perhitungan luasan area kawasan pesisir dan jumlah bibit
mangrove yang dapat ditanam dilokasi tersebut khususnya jenis mangrove
Avicennia marina, Rhizophora apiculata, dan Rhizophora mucronata.

52
53

DAFTAR PUSTAKA

ASEAN. 1992. The integrated management plan for Segara Anakan-Cilacap,


Central Java, Indonesia. Manila. Philippines. 60 p.
Aksornkoae S. 1993. Ecology and management of mangrove. IUCN, Bangkok,
Thailand 38 p.
Bengen DG. 2001a. Pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. PKSPL-IPB.
Bogor. 1 – 36 hlm.
Bengen DG. 2001b. Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. PKSPL-IPB.
Bogor. 16 – 50 hlm.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut : Aset pembangunan berkelanjutan
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 64 – 70 hlm.
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, & Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan lautan secara terpadu. Edisi revisi. Pradnya Paramita. Jakarta. 70
hlm.
Dephut. 2006. Inventarisasi dan identifikasi mangrove bagian balai pengelolaan
DAS Pemali-Jratun, Provinsi Jawa Tengan. Tahun Anggaran 2006. Dephut.
7 hlm.
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan
perairan. Kanisius. Bogor Hlm 68-76.
English SC, Wilkinson C, & Baker V. 1994. Survey manual for tropical marine
resources Australian Institute of Marine Science. Townsville. Australia.
ix+368 p.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan
Pantai. Litbang Pertanian. 23(1): 15 hlm.
Hardjowigeno S. 2003. Ilmu tanah. Edisi kelima. Akademika Pressindo. Jakarta.
Hlm 6-8 & 148.
Iqbal R. 2009. Studi vegetasi mangrove di Pulau Dua, Teluk Banten, Kabupaten
Serang, Provinsi Banten. Sekolah Tinggi Perikanan. Serang. Hlm 22 & 38.
Kep-MENLH. 2001. Kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove.
Jakarta.
Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Pamoengkas P, Wibowo C, Tiryana T, Triswanto
A, Yunasfi & Hamzah. 2003. Teknik rehabilitasi mangrove. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor. 41 hlm.
Menhut. 2004. Pedoman pembuatan tanaman rehabilitasi hutan mangrove, gerakan
rehabilitasi hutan dan lahan. Jakarta. 9 hlm.
Millar CE dan Turk LM. 1951. Fundamentals of soil science. 2nd Edition. New
York. 52 p.
Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan pengenalan mangrove di
Indonesia. Wetlands International. Indonesia Programme. Bogor. 74 hlm.
54

Nontji A. 2005. Laut nusantara. Djambatan. Jakarta. 86 hlm.


Nursal, Fauziah Y, Ismiati. 2005. Struktur dan komposisi vegetasi mngrove Tanjung
Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. Biogenesis 2(1): 2 hlm.
Nybakken JW. 1993. Biologi laut: Suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari
.Marine biology: An ecological approach, 3 rd edition]. Eidman HM,
Koesbiono, Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT
Gramedia. Jakarta. 459 hlm.
Odum EP. 1971. Fundamental of ecology. Sounders Company 3rd. Pfiladelphia. 574
p.
Onrizal. 2005. Adaptasi tumbuhan mangrove pada lingkungan salin dan jenuh air.
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Hlm 2.
Pemprov Banten. 2008. Buku saku perikanan Provinsi Banten Tahun 2007. Serang,
Banten. 44 hlm.
Plaster EJ. 2003. Soil science and management. 4th Edition. Delmar Learning. New
York. p 49 & 50.
Puspita L, Ratnawati E, Suryadiputra INN, Meutia AA. 2005. Lahan basah buatan di
Indonesia. Wetlands International. Indonesia Programme. Bogor. 77 hlm.
Rahmawati. 2006. Upaya pelestarian mangrove berdasarkan pendekatan masyarakat.
Universitas Sumatra Utara. Medan. Hlm 7 – 9.
Rochana E. 2007. Ekosistem mangrove dan pengelolaannya di Indonesia.
Pengelolaan mangrove. Volume 5(2): 2-3 http;//www.irwantoshut.com.htm
[6 Des 2009].
Santoso U. 2008. Hutan mangrove, permasalahan dan solusinya. Menuju pemikiran
mandiri 1(1): 2
Setyobudiandi I, Sulistiono, Yulianda F, Jaya I, Kusmana C, Hariyadi S, Damar A,
& Sembiring A. 2009. Sampling dan analisis data perikanan dan kelautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. 138 hlm.
Setyawan AD. 2008. Biodiversitas ekosistem mangrove di Jawa: Tinjauan pesisir
utara dan selatan Jawa Tengah. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 17 – 94
hlm.
Setyawan AD, Winarno K, & Purnama PC. 2004. Mangrove ecosystem in Java: 2
restoration. Biodiversitas 5(2): 105 p.
Sudarmadji. 2001. Rehabilitasi hutan mangrove dengan pendekatan pemberdayaan
masyarakat pesisir. Ilmu Dasar 2(2): 68 hlm.
Wibisono ITC, Priyanto EB, Suryadiputra INN. 2006. Panduan praktis rehabilitasi
pantai: Sebuah pengalaman merehabilitasi kawasan pesisir. Wetlands
International. Indonesia Programme. Bogor. 4 hlm.
Witasari Y. 2002. Kontribusi sumber mineral asal darat dan lingkungan paparan
terhadap komposisi detrital sedimen dasar Teluk Banten. Lembaga ilmu
pengetahuan Indonesia: Jakarta 55 hlm.
55

Walpole RE. 1995. Pengantar statistik. Edisi ke-3, [Terjemahan dari introduction to
statistics] Sumantri (penerjemah). PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 521
hlm.
Zamroni Y, & Rohyani, IS. 2008. Litterfall production of mangrove forest in the
beach waters of Sepi Bay, West Lombok. Biodiversitas 9(4): 284-285 p.
56

LAMPIRAN
57

Lampiran 1. Dokumentasi lokasi penelitian

Stasiun 1. Stasiun 2.

Stasiun 3. Stasiun 4.

Stasiun 5. Stasiun 6.
58

Lampiran 2. Dokumentasi alat-alat penelitian

GPS Cool box

Buku identifikasi (Noor et al. 2003) Refraktometer

Termometer Peralon
59

Lampiran 3. Dokumentasi kegiatan penelitian


60

Lampiran 3. Dokumentasi kegiatan penelitian (lanjutan)


61

Lampiran 4. Data sheet lapangan pengamatan mangrove

Stasiun 1.
Koordinat Nama spesies ∑ Pohon Diameter (cm) ∑ Anakan ∑ Semai
S : 060 01’ 29.5” Avicenia marina 10 17.18.11.12
E : 1060 09’ 57.9” 7.4.6.12.12.11
S : 060 01’ 29.5” Avicenia marina 8 23.14.13.12
E : 1060 09’ 57.9” .12.16.4.3
S : 060 01’ 29.5” Avicenia marina 10 21.5.11.18.12.4.7.11.12.12
E : 1060 09’ 57.9” Rhizophora mucronata 3 4.5.5

Stasiun 2.
Koordinat Nama spesies ∑ Pohon Diameter ∑ Anakan ∑ Semai
S : 060 01’ 33.4” Avicenia marina 7 7.7.8.6 1 3
E : 1060 09’ 55” 4.4.4.4
S : 060 01’ 33.4” Avicenia marina 5 4.5.5.4.4 1
E : 1060 09’ 55”
S : 060 01’ 33.4” Avicenia marina 7 6.5.4.4.5.4.4 2 2
E : 1060 09’ 55” Rhizophora mucronata 3

Stasiun 3
Koordinat Nama spesies ∑ Pohon Diameter ∑ anakan ∑ Semai
S : 060 01’ 38.5” 1
E: 1060 10’ 09.6”
S : 060 01’ 38.5” 2
E: 1060 10’ 09.6”
S : 060 01’ 38.5”
E: 1060 10’ 09.6”

Stasiun 4
Koordinat Nama spesies ∑ Pohon Diameter ∑ anakan ∑ Semai
S : 060 01’ 38.6” Avicenia marina 4
E : 1060 10’ 33.0”
S : 060 01’ 38.6” Avicenia marina 1 4 15
E : 1060 10’ 33.0”
S : 060 01’ 38.6” Avicenia marina 8
E : 1060 10’ 33.0”
62

Lampiran 4. Data sheet lapangan pengamatan mangrove (lanjutan)

Stasiun 5.
Koordinat Nama spesies ∑ pohon diameter ∑ anakan ∑ semai
S : 060 01’ 35.4” Avicenia marina 7 6.6.7.6.5.4.8 2 1
E : 1060 11’ 03.6”
S : 060 01’ 35.4” Avicenia marina 8 7.9.9.9.10.6.8.10 3
E : 1060 11’ 03.6” 4
S : 060 01’ 35.4” Avicenia marina 3 7.5.5
E : 1060 11’ 03.6” Rhizophora stylosa 4

Stasiun 6.
Koordinat Nama spesies ∑ pohon diameter ∑ anakan ∑ semai
S : 060 01’ 24.0” Rizhopora mucronata 1 5 7
E : 1060 11’ 27.4”
S : 060 01’ 24.0” Avicenia marina 4 3
E : 1060 11’ 27.4” Rizhopora mucronata 5 6.6.6.6.4
S : 060 01’ 24.0” Avicenia marina 5 10.8 9
E : 1060 11’ 27.4” Rizhopora mucronata 1 13.10.8.10.8

Keterangan:
Luas kerapatan : Pohon (ind/100m2), Anakan (ind/25m2) dan Semai (ind/m2)
63

Lampiran 5. Indeks Nilai Penting (INP)

b. Tabel Indeks Nilai Penting (INP)


Jenis Stasiun I Stasiun II Stasiun III
RDi RFi RCi INP RDi RFi RCi INP RDi RFi RCi INP
Am 90 77 99 266 100 100 100 300
Rs
Rm 10 23 1 34
Stasiun IV Stasiun V Stasiun VI
Rdi RFi RCi INP RDi RFi RCi INP RDi RFi RCi INP
Am 100 100 100 300 100 100 100 300 42 25 13 80
Rs
Rm 58 75 87 220

Keterangan:
Am = Avicenia marina
Ra = Rhizophora apiculata
Rm = Rhizophora mucronata
64

Lampiran 6. Parameter kualitas air

a. Tabel kualitas air pasang-surut

Parameter kualitas air pasang


Stasiun
Suhu Salinitas pH
1 31,2±0,3 34,0±0,0 7,27±0,01
2 31,2±0,3 34,0±0,0 7,29±0,01
3 32,2±0,3 34,0±0,0 7,46±0,02
4 31,0±0,0 34,0±0,0 7,25±0,01
5 31,7±0,3 34,3±0,6 7,19±0,01
6 32,0±0,0 33,0±0,0 7,16±0,01

Parameter kualitas air surut


Stasiun
Suhu Salinitas pH
1 31,5±0,0 34,0±0,0 7,51±0,01
2 31,2±0,3 34,0±0,0 7,56±0,01
3 31,0±0,0 34,0±0,0 7,46±0,01
4 31,2±0,3 34,0±0,0 7,66±0,01
5 31,0±0,0 33,7±1,2 7,62±0,01
6 31,3±0,3 32,0±0,0 7,55±0,01
65

Lampiran 6. Parameter kualitas air (lanjutan)

b. diagram bar kualitas air

33

32
Suhu ( C)

31
O

P as ang
30 S urut

29

28
1

6
Stasiun

36

34
Ssalinitas (‰)

32 P as ang
S urut

30

28
1

Stasiun

7.5

P as ang
pH

7
S urut

6.5

6
1

Stasiun
66

Lampiran 7. Kondisi substrat

C organik Tekstur (%) Tipe


Stasiun pH
(%) Pasir Debu Liat Substrat
1 6.4 9.25 1.22 20.39 78.39 Liat
2 7.5 5.42 3.88 27.20 68.92 Liat
3 7.5 3.68 2.88 28.7 68.42 Liat
4 7.5 3.51 2.28 34.69 63.03 Liat
5 7.5 4.75 4.29 35.90 59.81 Liat
6 7.5 3.51 1.08 18.84 80.08 Liat
67

Lampiran 8. Metode pengukuran C-organik

Penetapan C-Organik sedimen

1. 0.5 g tanah dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer 500 ml.


2. setelah itu 10 l K2CR2O7 1N dan 20 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung
erlenmeyer tersebut sambil digoyang-goyangkan sampai tercampur rata, kemudian
didiamkan selama +- 30 menit sampai dingin.
3. selanjutnya 200 ml akuades dan 5 tetes indikator Ferroin ditambahkan kedalam tabung
erlemeyer tadi, lalu dititrasi dengan Ferrosulfat (FeSO4) sampai warnanya berubah
menjadi ungu.

Catatan: untuk penetapan blanko (tanpa sampel tanah)

Perhitungan:

% C-organik = (me K2CR2O7-me FeSO4) x 0,003 x f x 100


BKM

Keterangan:
f = 1,33
me =NxV
N = Normalitas
V = Volume
BKM = berat kering sampel tanah pada oven 1050C

Kemudian persentase C-Organik dalam sedimen dihitung dengan menggunakan rumus:

C-Organik = 0.02 X A X FK

Keterangan:
A = kepekatan contoh dalam larutan yang diukur dan dicari pada kurva
standar berdasarkan pembacaan absorbannya.
FK = faktor koreksi kelembaban.
68

Lampiran 9. Metode pembuatan dendogram

Anda mungkin juga menyukai