Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berakhirnya Perang Dunia II menimbulkan perubahan peta bumi politik

dalam masyarakat internasional. Banyaknya negara yang merdeka semakin

meningkatkan hubungan antar negara. Namun dewasa ini, hubungan antar negara

dalam masyarakat internasional yang semakin kompleks dan meningkat tersebut

pada hakikatnya merupakan hubungan kerjasama dan hubungan perselisihan.

Pada akhirnya dari kedua bentuk hubungan tersebut merupakan pelaksanaan

kepentingan nasional yang mendesak. Perlunya mengadakan pembedaan antara

perselisihan kepentingan dengan perselisihan nilai dan perselisihan kekuasaan

adalah karena pentingnya hukum kooperatif dan organisasi antar negara dalam

hukum internasional.5

Perubahan sebagai akibat dari perubahan peta bumi politik dalam

masyarakat internasional juga terjadi dalam struktur organisasi masyarakat

internasional. Dimana perkembangan yang penting dalam golongan ini adalah

munculnya organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga internasional, baik yang

bersifat global maupun regional. Adanya kecenderungan negara-negara

membentuk asosiasi atau mengadakan pengelompokan didasarkan atas berbagai

kepentingan atau didasarkan pada regional tertentu. Sehingga pelaku hubungan

5
W. Friedmann, 1964, The Changing Structure of International Law, Columbia
University Press, New York, hlm.367
internasional tidak lagi hanya negara, akan tetapi organisasi internasional dan

individu.6

Dalam masyarakat modern, organisasi merupakan suatu kebutuhan bagi

setiap anggota masyarakat baik dalam skala lokal, nasional, regional maupun

internasional. Organisasi internasional berpartisipasi dalam sistem hukum

internasional, karena dibentuk berdasarkan perjanjian internasional dan hukum

yang mengatur mereka adalah hukum internasional, dimana hukum tersebut yang

menunjukkan status hukum, fungsi dan tanggungjawab mereka. 7 Terlebih dalam

era liberalisasi perdagangan yang semakin global, peran organisasi internasional

semakin signifikan, bahkan tidak jarang mengintervensi urusan dalam negeri

suatu negara, sebagai contoh adalah International Monetary Fund (IMF) dalam

menangani krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara serta

negara Asia lainnya, seperti Korea Selatan.8

Intervensi lembaga-lembaga seperti IMF terhadap masalah ekonomi dan

pembangunan negara-negara ketiga terlihat dalam berbagai langkah dan kebijakan

pemerintah yang fundamental yang harus diambil atas saran dan rekomendasi

IMF. Lebih dari itu organisasi internasional sebagai entitas yang lahir dari negara,

akhirnya selain merupakan sarana dalam berinteraksi dengan dunia internasional

juga sekaligus dapat melakukan penetrasi terhadap kedaulatannya sendiri.9

Restrukturisasi perbankan, pembenahan hukum nasional, otonomi daerah, sampai


6
J.G. Starke, 1989, Introduction to International Law, Butterworths, London, hlm. 127
7
Rosalyn Higgins, 1994, Problem and Process: International Law and How We Use It,
Oxford University Press, UK, hlm.46
8
Ade Maman Suherman, 2003, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional
Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.23
9
Ibid.
isu mengenai demokratisasi dan hak asasi manusia dimana kondisi tersebut dapat

dikatakan sebagai suatu keniscayaan dari globalisasi.

Globalisasi merupakan hasil interaksi nasionalisme dan internasionalisme

yang diantaranya disebabkan oleh dua bencana besar yaitu Perang Dunia I dan

Perang Dunia II. Dimana dalam periode ini banyak ditengarai oleh perang dingin

antara blok komunisme dan liberalisme antara Uni Soviet dan Amerika beserta

sekutu masing-masing.10 Sedangkan menurut Francis Fukuyama dalam tulisannya

The End of History mengartikan globalisasi sebagai “a centrifugal force, pushing

towards unification of the world, at the expense of national sovereignty.”11

Sebagai suatu tahapan yang menggelindingkan fenomena internasionalisasi maka

dapat terlihat adanya dua kutub yang berseberangan antara globalisasi dengan

kedaulatan nasional (national sovereignty).

Kedaulatan merupakan sekumpulan hak dan kewajiban yang melekat pada

negara yang dapat ditentukan oleh dua faktor yang dijelaskan sebagai berikut:12

Soverignty is determined by two factors as observed by Franck: “The


power of the sovereignty state can be bound by its own constitution ... and
by international law. This reflects the dual dimension of sovereignty – that
is, the power of a sovereign state is bound by its own constitution (the
internal dimension of sovereignty) and by international law (the external
dimension of sovereignty).

10
Roland Robertson, 1992, Globalization Social Theory and Global Culture , Sage
Publication, London, hlm. 16-19 sebagaimana dikutip Ade Maman Suherman, 2003, Ibid., hlm. 26
11
Fukuyama, Francis, 1989, The End of History, Quadrant. v.34(8), p.15-25 dalam
Pendleton, 1998, “Our Allegiance – Australians or Global Citizens”, Inaugural Professorial
Lecture Series, Murdoch University, Australia, hlm.5
12
Presentasi oleh Dale Pinto mengenai Good Governance in the Eye of Globalized World
dalam konperensi tahunan dosen Fakultas Hukum se-Australia pada tanggal 29 Oktober 2002
sebagaimana dikutip Ade Maman Suherman, 2003, op.cit., hlm.29
Namun dengan keberadaan organisasi internasional yang menempati posisi

strategis pada saat ini membuat kedaulatan negara menjadi terkikis. Dalam

konteks ini “state soverignty” suatu negara baik secara politik, ekonomi maupun

hukum banyak dipengaruhi oleh personalitas dan otoritas organisasi internasional.

Perkembangan organisasi internasional yang sangat pesat ini ditandai dengan

kemunculan berbagai macam bentuk regionalisme dan kerjasama institusional di

seluruh dunia. Semangat regionalisme yang berakar dari persamaan kepentingan

dan tujuan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya di beberapa wilayah,

berdampak pada tata pemerintahan regional (regional governance).

Kerjasama regional oleh organisasi internasional terdiri dari dua bentuk

yakni:13

1. Kerjasama regional(regional cooperation) yang dipahami sebagai

kebijakan bersama yang diambil oleh sekelompok negara yang terletak

dalam satu kawasan untuk mencapai tingkat kemakmuran yang lebih besar

daripada upaya yang dilakukan masing-masing negara secara independen,

dan

2. Penyatuan regional (regional integration) yakni peleburan secara de facto

beberapa negara dalam satu kawasan geografis yang dapat terjadi baik

didorong oleh kebutuhan pasar (market driven) maupun kebijakan politik

(policy induced).

13
Arifin, 2010, Kerjasama Perdagangan Internasional, PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta, hlm. 174-175
Organisasi internasional sebagai bentuk penyatuan regional adalah Uni

Eropa yang dianggap sebagai organisasi regional yang paling sukses dan menjadi

cerminan untuk organisasi internasional lainnya. Terbentuknya Uni Eropa diawali

oleh European Coal And Steel Community (ECSC) di tahun 1952, European

Atomic Energy Community (EAEC) pada tahun 1957 dan European Economic

Community (EEC) di tahun 1958. Negara-negara anggota EEC kemudian semakin

mengintegrasikan diri dengan dibentuknya Uni Eropa yang ditandatangani di

Maastricht pada 7 Februari 1992 dan mulai berlaku 1 November 1993.14

Regionalisme di Eropa sendiri memiliki tujuan yang sifatnya politik

dimana tujuannya adalah penyatuan berbagai negara yang memiliki kedaulatannya

masing-masing dalam sebuah entitas yang disebut dengan “Euroland”.15

Keberhasilan Uni Eropa menciptakan suatu kawasan tunggal yang saling

terintegrasi telah mengilhami negara-negara anggota ASEAN untuk melakukan

hal yang sama agar mampu bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi

arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia.

Pada dasarnya, terdapat 3 (tiga) faktor yang memungkinkan terjadinya

regionalisme di Asia Tenggara yaitu:16

14
Christopher M. Dent, 1999, The European Union and East Asia: An Economic
Relationship, Routledge, London and New York, hlm.236
15
Astriana, Integrasi Regional Eropa Quo Vadis Hegemoni AS di Eropa?, dalam
http://shallowknife.wordpress.com/2009/01/26/integrasi-regional-eropa-quo-vadis-hegemoni-as-
di-eropa/ diakses pada tanggal 17 Februari 2014.
16
Gema R. Bastary,Sejarah dan Praktek Regionalisme Asia, dalam
http://peacefulanarchyjournal.blogspot.com/2013/02/sejarah-dan-praktek-regionalisme-asia.html
diakses pada tanggal 18 Februari 2014.
1. Adanya kesamaan pengalaman di masa lalu, yaitu sama-sama pernah

dijajah. Perasaan senasib ini dengan sendirinya membentuk ikatan di

antara negara-negara tersebut dan dengan sendirinya pula membentuk

sebuah gagasan dalam diri mereka bersama, yaitu untuk mencegah

kolonialisasi terulang kembali.

2. Adanya kesamaan ideologi. Dalam konteks masa kini, ideologi di

antara negara-negara Asia Tenggara mungkin sudah tidak relevan lagi

untuk dibicarakan. Namun di masa awal pendiriannya, dapat dilihat

bahwa lima negara yang mendirikan ASEAN memiliki haluan liberalis-

kapitalis. Kesamaan ideologi ini kemudian mendorong mereka terhadap

gagasan bersama untuk membendung adanya pengaruh ideologi lain

dalam kawasan mereka, yakni ideologi komunis.

3. Adanya kesamaan etnis dari setiap negara tersebut. Kesamaan etnis ini

berperan lebih efektif di tingkat masyarakat dikarenakan merekalah

yang langsung menyadari bahwa antara penduduk masing-masing

negara memiliki kesamaan dalam hal rupa, kebudayaan, sampai

bahasanya. Kesamaan ini menggiring mereka pada gagasan bersama

bahwa mereka semua berasal dari rumpun moyang yang sama, sehingga

sudah seharusnya kalau mereka bersatu dan tidak terpisah-pisah.

Dari ketiga gagasan tersebut, dapat dilihat bahwa kesamaan gagasan

merupakan faktor utama yang membuat regionalisme dapat terjadi. Kesamaan

gagasan ini dapat terbentuk dari berbagai macam hal, namun dalam kasus ASEAN

kesamaan tersebut terbentuk dari tiga hal: kesamaan sejarah, kesamaan ideologi,
dan kesamaan etnis. Namun begitu, regionalisme yang terbentuk dari hanya

kesamaan gagasan pada akhirnya menjadi tidak populer di tahun 1980-an.17

Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional pada tahun 1967,

negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu

agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya kerjasama ekonomi

difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan

(preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling

melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara-negara anggota

maupun pihak swasta di kawasan ASEAN, seperti ASEAN Industrial Projects

Plan (1976), Preferential Trading Arrangement (1977), ASEAN Industrial

Complementation Scheme (1981), ASEAN Industrial Joint-Ventures Scheme

(1983), dan Enhanced Preferential Trading Arrangement (1987).18

Belajar dari keberhasilan Uni Eropa dalam menciptakan kawasan yang

terintegrasi, ASEAN pun ingin mengikuti jejak keberhasilan tersebut dengan

mewujudkan ASEAN Community atau Masyarakat ASEAN pada tahun 2015.

Deklarasi Bali Concord I dan II yang ditandatangani oleh para pendiri ASEAN

mempunyai tujuan-tujuan yang sama, yaitu membina perdamaian, menciptakan

kesejahteraan dan membangun sebuah identitas regional. Namun, tujuan-tujuan

tersebut di atas harus dirumuskan kembali di dalam sebuah ekosistem yang telah

mengglobal.

17
Ibid.
18
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,Kerjasama Ekonomi ASEAN, dalam
http://www.deplu.go.id/Documents/Kerjasama%20Ekonomi%20ASEAN.docdiakses pada 20 Mei
2014.
ASEAN harus mampu mencari jawaban atas krisis keuangan dan ekonomi

yang pernah melanda Asia Tenggara agar krisis tersebut tidak terulang lagi.

Dengan keanggotaan yang telah diperluas dari lima negara menjadi sepuluh

negara, ASEAN perlu memperdalam kerjasamanya guna menghadapi tantangan-

tantangan baru. Oleh karena itu, ASEAN memutuskan untuk membangun

Masyarakat ASEAN berdasarkan tiga pilar, yaitu ASEAN Political-Security

Community (Masyarakat Keamanan ASEAN), ASEAN Economic Community

(Masyarakat Ekonomi ASEAN), dan ASEAN Sosio-Cultural Community

(Masyarakat Sosial Budaya ASEAN).

Akan tetapi perwujudan ASEAN Community 2015 tentunya memerlukan

persiapan yang matang terutama dalam menghadapi tantangan-tantangan global

yang akan muncul. Besarnya potensi kawasan ASEAN untuk maju juga

menyebabkan timbulnya sengketa diantara negara-negara ASEAN dan luar

ASEAN. Selain sengketa politik yang masih sering terjadi di berbagai negara di

ASEAN, perebutan sumber daya energi dan pulau juga kerap muncul diantara

negara-negara ASEAN. Beberapa sengketa-sengekta yang pernah terjadi di antara

negara-negara ASEAN adalah Invansi Vietnam ke Kamboja, Sengketa Kamboja

dan Thailand atas Kuil Preah Vihear, Sengketa Perebutan Pulau Sipadan-Ligitan

antara Indonesia dan Malaysia, Sengketa Reklamasi pantai Singapura dengan

Malaysia, dan Sengketa Cukai dan Fiskal Rokok Filipina dengan Thailand.19

19
Hilton Tarnama Putra dan Eka An Aqimuddin, 2011, Mekanisme Penyelesaian
Sengketa di ASEAN Lembaga dan Proses, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm.131-147
Meskipun dalam kerangka organisasi, ASEAN memiliki mekanisme untuk

menyelesaikan sengketa antara negara anggotanya yang termuat dalam Treaty of

Amity and Cooperation (TAC) 1976 dan forum Pertemuan Tingkat Tinggi

ASEAN (ASEAN Summit), namun sayangnya sengketa yang terjadi diantara

negara-negara ASEAN jarang diselesaikan di dalam forum bersama ASEAN

namun lebih banyak memilih forum internasional yang lebih besar. Hal ini

menunjukkan lembaga kerjasama ASEAN masih belum memiliki peran kuat

dalam melakukan penyelesaian sengketa diantara para anggotanya.

Dari uraian di atas maka penulis ingin membahas lebih dalam lagi terkait

mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN yang dituangkan kedalam sebuah tesis

yang berjudul “Pengaruh Penerapan ASEAN Community 2015 Terhadap

Mekanisme Penyelesaian Sengketa ASEAN”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh penerapan ASEAN Community 2015terhadap

potensi terjadinya sengketa di antara negara anggota ASEAN?

2. Bagaimanamekanisme penyelesaian sengketadi antara negara anggota

ASEAN terkait penerapan ASEAN Community 2015?

3. Bagaimana komplementarismelembaga penyelesaian sengketa oleh

Organisasi Internasional dan institusi lain di luar ASEAN dalam

menyelesaikan sengketa di antara negara anggota ASEAN?


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

Penelitian ini secara obyektif bertujuan untuk menganalisis dan

mendeskripsikan pengaruh penerapan ASEAN Community 2015terhadap

potensi terjadinya sengketa di antara negara anggota ASEAN.Kemudian

untuk menganalisisdan mendeskripsikanmekanisme penyelesaian sengketa

ASEAN dalam menyelesaikan sengketa di antara negara anggota ASEAN.

Serta komplementarisme lembaga penyelesaian sengketa oleh Organisasi

Internasional dan institusi lain di luar ASEAN dalam menyelesaikan

sengketa di antara negara anggota ASEAN terkait penerapan ASEAN

Community 2015.

2. Tujuan Subyektif

Penelitian ini secara subyektif dilaksanakan dalam rangka penyusunan

tesis sebagai syarat akademis untuk memperoleh gelar Master Hukum

(M.H.) pada Program Magister Ilmu Hukum, Klaster Hukum

Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritik penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan

khasanah keilmuan di bidang hukum internasional sebagai kajian


akademik terkait pengaruh penerapan ASEAN Community 2015 terhadap

mekanismepenyelesaian sengketa ASEAN sebagai akibat hukum dari

penerapan integrasi regional tersebut.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

para praktisi, akademisi,pemerintah dan masyarakatsebagai sumber

referensi terkait pengaruh penerapan ASEAN Community 2015 terhadap

perwujudan mekanismepenyelesaian sengketa ASEAN yang efektif

apabila dalam penerapannya sesama anggota ASEAN bersengketa dan

memerlukan solusi untuk penyelesaiannya. Serta komplementarisme

lembaga penyelesaian sengketa oleh Organisasi Internasional dan institusi

lain di luar ASEAN dalam menyelesaikan sengketa di antara negara

anggota ASEANsehingga kedepannya dapat mewujudkan kerjasama yang

menciptakan keamanan dan perdamaian di tingkat regional maupun

internasional.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran dan pengamatan yang peneliti lakukan, penulis

banyak menemukan tulisan yang membahas masalah mengenai Pengaruh

Penerapan ASEAN Community 2015 Terhadap Mekanisme Penyelesaian

Sengketa ASEAN.Dari sekian banyak hasil penelitian, penulis kemudian

menemukan beberapa hasil penelitian yang dianggap memiliki substansi yang

memiliki kemiripan dengan permasalahan yang dirumuskan penulis tetapi

berbeda dalam pengkajian masalahnya, yakni sebagai berikut:


1. Fujio Kawashima,”Judicialization of the Dispute Settlement Mechanisms

in Asian Economic Integration?: Expectation, Reality and Ways

Forward”, The Third Annual Conference of Academic Network for

Development in Asia (ANDA), Nagoya University Japan, 5 Maret

2011.Jurnalpublikasi ini membahas dampak integrasi ekonomi di Asia

terhadap mekanisme penyelesaian sengketa secara yudisial dimana banyak

memaparkan perbandingan terkait mekanisme penyelesaian sengketa

secara multilateral dan regional yang dilakukan oleh badan-badan

penyelesaian sengekta seperti WTO dan ICSID dengan mekanisme

penyelesaian sengketa di ASEAN. Fokus pembahasannya adalah khusus

mengenai integrasi ekonomi dan sengketa-sengketa terkait hal tersebut.

Perbedaannya dengan tesis yang penulis buat adalah penulis membahas

integrasi regional ASEAN secara umum terkait pada tiga pilar

pembentukan Masyarakat ASEAN, sehingga tidak memfokuskan kepada

potensi sengketa yang akan timbul akibat integrasi ekonomi saja. Fokus

penelitian dalam tesis ini adalah mengenai mekanisme penyelesaian

sengketa ASEAN yang efektif dengan mengaitkan komplementarisme

lembaga penyelesaian sengketa oleh Organisasi Internasional dan institusi

lain di luar ASEAN dalam menyelesaikan sengketa di antara negara

anggota ASEAN.

2. Paolo C. Vergano, “The ASEAN Dispute Settlement Mechanism and its

Role in a Rules-Based Community: Overview and Critical Comparison”,

Paper submitted to the Asian International Economic Law Network


(AIELN) Inaugural Conference, 30 Juni 2009. Jurnal Publikasi ini

membahas mengenai perbandingan mekanisme penyelesaian sengketa di

ASEAN dengan prosedur penyelesaian sengketa dalam WTO, dimana

ASEAN lebih mengutamakan cara-cara diplomatik sebagai mekanisme

penyelesaian sengketa. Sedangkan dalam tesis penulistidak

memperbandingkan mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN dengan

prosedur penyelesaian sengketa oleh lembaga lain, melainkan mengaitkan

komplementaris lembaga penyelesaian sengketa oleh Organisasi

Internasional dan institusi lain di luar ASEAN dalam menyelesaikan

sengketa di antara negara anggota ASEAN sebagai akibat

penerapanASEAN Community 2015.

3. Megan R. Williams, 2007, “Note: ASEAN: Do Progress and Effectiveness

Require AJudiciary?”, Suffolk Transnational Law Review 30:433-457.

Jurnal publikasi ini mengacu pada sukses yang telah dicapai oleh

European Court of Justice untuk membentuk ASEAN Court of Justice.

Perbedaan dalam tesis ini pembahasan lebih dikhususkan tentang

bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif bagi ASEAN

dengan memaparkan pertimbangan-pertimbangan terhadap perjanjian-

perjanjian mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang telah ada di

ASEAN. Namun tidak mengacu pada pembentukan badan penyelesaian

sengketa ASEAN Court of Justice tersebut.

Anda mungkin juga menyukai