Anda di halaman 1dari 15

MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

Dosen Pengampu: Fauzi Annur, S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh :
1. Muhammmad Ali Lutfi 183111179

2. Kiki Lestari Nur Agustin 183111180

3. Ulfah Septiana 183111181

4. Faizzah Muakhidhah Ummuhabibah 183111182

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN 2021

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat
keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai
keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap
suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Di sinilah kemudian muncul multikulturalisme sebagai sebuah
paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya
lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang lain, penting
kita pahami bersama dalam kehidupan masyarakat yang multikultur seperti
Indonesia. Dan itu pada makalah ini pemakalah akan membahas lebih
mendalam proses perjalanan multikulturalisme di Indonesia dari masa ke
masa, baik pada masa kerajaan, pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses perjalanan multikulturalisme di Indonesia pada masa
kerajaan?
2. Bagaimana proses perjalanan multikulturalisme di Indonesia pada masa
pra kemerdekaan?
3. Bagaimana proses perjalanan multikulturalisme di Indonesia pada masa
pasca kemerdekaan?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai
berikut:
1. Mengetahui proses perjalanan multikulturalisme di Indonesia pada
masa kerajaan.
2. Mengetahui proses perjalanan multikulturalisme di Indonesia pada
masa pra kemerdekaan.

2
3. Mengetahui proses perjalanan multikulturalisme di Indonesia pada
masa pasca kemerdekaan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Proses Perjalanan Multikulturalisme di Indonesia pada Masa Kerajaan


Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki beragam budaya,
keragaman budaya ini seakan telah menjadi fitrahnya karena tiga faktor.
Pertama, lingkungan alam kawasan ini cukup beragam sehingga setiap
komunitas akan menciptakan budaya yang berbeda dalam rangka beradaptasi
pada lingkungannya. Kedua, lokasi kepulauan yang strategis telah menjadikan
kawasan ini sebagai tempat tujuan dan pelintasan migrasi, sehingga menjadi
tempat persilangan beragam budaya. Ketiga, dua kondisi tadi menyebabkan
masyarakat yang tinggal di kawasan ini mengalami evolusi budaya pada
tingkat yang berbeda-beda dan menjadi semakin beragam karena dipadu
dengan hasil difusi budaya. Dengan mekanisme ini terbentuk budaya-budaya
lokal yang begitu beragam tetapi diantaranya memiliki nilai-nilai inti budaya
yang mirip sehingga itulah pangkal multikuturalisme (Tanudirjo, 2011).
Menurut Saefulloh (2009:2) ciri khas dan karakteristik budaya, adat,
bahasa, dan kebiasaan yang dimiliki masing-masing daerah diberi kesempatan
untuk berkembang dan menjadi aset yang dimiliki oleh bangsa, artinya setiap
perbedaan yang ada akan dinilai sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan
dari kesatuan bangsa. Konsep inilah yang sesungguhnya sekarang kita kenal
dengan konsep multikulturalisme. Multikulturalisme bukan hanya sekadar
memiliki perbedaan saja (pluralitas), namun keragaman yang ada diberi
kesempatan, bahkan kebebasan untuk mengembangkan diri dengan tetap
saling menghargai. Pluralitas yang ada akan dilihat sebagai perbedaan yang
harus dihargai dan dihormati, walaupun mereka memiliki identitas budaya dan
identitas sosial sendiri. Keberagaman budaya tersebut menjadi tempat
pembelajaran bagi setiap individu dari berbagai budaya yang berbeda, yang
akan melahirkan tingkah laku sosial, menyepakati norma dan nilai-nilai

3
bersama, dan membangun struktur kelembagaan. Oleh karena itu, dalam
masyarakat multikultural selalu terjadi interaksi yang dinamis di antara
individu-individu.
Sedangkan menurut Mahendrawati dan Syafei (2001:34) multikulturalisme
sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks
kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan
budaya, baik ras, suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang memberikan
pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa
yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultur). Bangsa
yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya
(etnic and cultural groups) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai
dan ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.
Pada masa pengaruh Hindu (budaya dari India) mulai memasuki Indonesia
ada beragam corak budaya yang kemudian berkembang. Di Kutai, prasasti-
prasasti Yupa yang diterbitkan oleh Raja Mulawarman menyiratkan konsep
megalitik yang berintikan penghargaan tinggi pada leluhur dan keinginan
menyejahterakan masyarakat yang berkembang sejak masa prasejarah masih
tetap dipertahankan meskipun menggunakan lambang-lambang Hindu.
Konsep pendirian candi pun tidak sama dengan di India yang diperuntukan
pada dewa-dewa, karena di Indonesia candi lebih dipakai sebagai
pendharmaan (pemuliaan) tokoh atau pemimpin (raja) yang dianggap telah
berjasa pada rakyat. Tokoh inilah yang lalu diwujudkan sebagai dewa. Jadi,
meskipun wadah keagamaan berbeda, tetapi ‘nilai-nilai inti budaya’-nya tetap
bertahan (Tanudirjo, 2011).
Tebaran bukti arkeologis berupa artefak, bangunan, dan situs masa
pengaruh Hindu menunjukkan para pemeluk agama Hindu dan Budha, dengan
berbagai sekte-nya, hidup berdampingan tanpa masalah. Candi Prambanan
yang Hinduistik dan Candi Sewu yang Budhistik didirikan secara
berdampingan dan bahkan saling melengkapi. Bahkan, saling dukung antara
penganut Hindu dan Budha terabadikan pada Candi Plaosan. Sejumlah
prasasti pendek yang ditemukan di kompleks percandian ini menunjukkan

4
penganut Hindu menyumbangkan candi perwara bagi percandian Budhistik
ini. Candi Borobudur yang megah menunjukkan juga unsur-unsur pemujaan
leluhur dan pendidikan pentingnya sikap yang tidak mengutamakan unsur
bendawi (materialisme) sebagai wujud dari nilai-nilai inti budaya yang terus
dipertahankan (Joesoef, 2004).
Kerajaan Sriwijaya di Sumatera yang dikenal memiliki perguruan tinggi
Budhis terbesar di Asia Tenggara, justru ditopang oleh masyarakat yang
sebagian besar bukan pemeluk agama tersebut. Banyak orang asing dari Cina,
Arab, dan mungkin India telah singgah, berdagang, dan belajar dengan betah
di pelabuhan dan perguruan yang ada. Bahkan, pendeta Budhis dari Cina, It-
zhing, tinggal bertahun-tahun di sana (Muljana, 2006). Dengan adanya sikap
toleran terhadap keragaman budaya, menjadikan kerajaan tersebut terkenal.
Kerajaan Majapahit dengan jelas menampilkan diri sebagai negara dengan
keanekaragaman budaya yang amat kompleks. Tidak jauh dari pusat
kerajaannya, hidup masyarakat yang masih menganut kepercayaan memuja
leluhur dan mendirikan bangunan megalitik di sekitar Bondowoso dan
Situbondo. Hubungan antar kekuasaan pusat dan daerah yang tersebut di
antero Nusantara sangat luwes. Daerah-daerah bawahannya dibiarkan tetap
mandiri, meskipun mereka patuh dengan pusat. Temuan-temuan nisan kubur
bercorak Islami yang telah digunakan oleh para bangsawan Majapahit sejak
masa keemasan Kerajaan Hindu ini, jelas menunjukkan toleransi yang tinggi.
Diduga tidak sedikit pejabat Majapahit yang telah memeluk agama Islam.
Semua itu menunjukkan adanya multikulturalisme (Tanudirjo, 2011).
Selain itu, pada zaman kejayaan pemerintahan Majapahit di bawah Hayam
Wurukter dapat dua pujangga keraton yaitu Empu Tantular dan Empu
Prapanca. Empu Prapanca menulis buku negara Kertagama sedangkan Empu
Tantular mengarang Sutasoma. Dalam buku negara Kertagama dipaparkan
sistem pemerintahan Majapahit dan keharmonisan para pemeluk agama yang
berbeda. Wilayah kekuasaan Majapahit pada zaman kejayaannya membentang
dari Semananjung Melayu (sekarang Malaysia) sampai Irian Barat melalui
Kalimantan Utara. Raja Hayam Wuruk mengembangkan hubungan luar negeri

5
dengan baik seperti dengan Kerajaan Tiongkok, Champa, dan Kamboja. Nilai-
nilai musyawarah, mufakat telah diterapkan dalam sistem pemerintahan
Majapahit. Kehidupan antar umat beragama yaitu antara pemeluk agama
Hindu dan Budha berjalan sanga harmonis.
Dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular itu digunakan sebagai
legitimasi kekuasaan membenarkan penaklukan kerajaan-kerajaan lainnya
yang membuat wilayah kekuasaan Majapahit pada zaman kejayaannya
membentang dari Semananjung Melayu (sekarang Malaysia) sampai Irian
Barat melalui Kalimantan Utara. Sebagaimana dengan sumpah gajah mada
yang terkenal, palapa pada tahun 1331, yang berbunyi “Saya baru akan
berhenti puasa makan palapa, jika seluruh Nusantara takluk dibawah
kekuasaan kerajaan Majapahit. Jika Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang,
Dempo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik sudah dikalahkan” (Setyobudi
dan Alkaf, 2011). Dalam buku tersebut terdapat sloka persatuan nasional yang
bunyi lengakapnya adalah “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua”, yang artinya walaupun berbeda namun satu jua adanya dan tidak
ada kebenaran yang mendua. Hal ini menunjukkan telah adanya saling
menghormati dan adanya toleransi antar umat beragama. Bahkan salah satu
wilayah kekuasaan Majapahit yaitu Pasai justru telah memeluk agama Islam.
Dengan demikian toleransi positif dalam bidang agama dijunjung tinggi
(Kaelan, 2008: 32).
Menurut Graaf dan Pigeaud dalam (Tanudirjo, 2011) kerajaan-kerajaan
Islam yang kemudian tumbuh berkembang di Nusantara sejak sekitar abad ke-
13 juga terus melanjutkan tradisi multikulturalisme. Toponim yang merujuk
nama etnis (Daengan, Bugisan, Pekojan, dll.) pada tata permukiman kota-kota
kerajaan Islam jelas menunjukkan politik multikulturalisme. Bahkan, para
wali menggunakan sarana-sarana budaya pra-Islam untuk mengenalkan agama
itu, di antaranya dengan gamelan dan wayang. Bahkan, kerajaan Islam
pertama di Jawa memiliki raja dan pejabat yang beretnis Cina. Seni bangunan
dan hiasan (sunyaragi, motif awan) di Kraton Cirebon banyak menyerap

6
unsur-unsur seni Cina (Tjandrasasmita, 2009). Semua itu menunjukkan begitu
tingginya tingkat toleransi masyarakat Islam.

B. Proses Perjalanan Multikulturalisme di Indonesia pada Masa Pra


Kemerdekaan
Pengaruh budaya Eropa pun tidak disingkirkan dalam politik identitas
Indonesia. Masuknya agama Kristen dengan tinggalan-tinggalan bangunan
gereja dan budaya bendawi bercorak Eropa lainnya diterima dan diadopsi
secara wajar. Muncul rumah-rumah bergaya kolonial (jengki), yang
memadukan konsep Eropa dan adaptasi pada lingkungan setempat yang tropis.
Sistem pendidikan Eropa pun diterima sebagai sarana untuk meningkatkan
kualitas hidup, sehingga akhirnya membawa para pelajar Indonesia pada
kesadaran akan perlunya hidup berbangsa dan bernegara secara mandiri.
Gerakan kebangsaan pun mulai bersemi, sehingga akhirnya mendorong
perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia.
Sejarah panjang keberagaman budaya yang tersebar luas mulai disadari
perlu disatukan tanpa menghancurkan. Langkah awal dimulai dari sumpah
pemuda tahun 1928, yang mengikat perbedaan dengan kesepakatan bersama
untuk (i) bertumpah darah satu, (ii) berbangsa satu, dan (iii) berbahasa satu.
Kesepakatan itu menunjukkan politik identitas yang disepakati justru ingin
menghindari model inti tunggal dengan memilihi bahasa Melayu yang
minoritas sebagai bahasa bersama. Juga tidak ada niatan untuk menghapuskan
bahasa-bahasa daerah.
Demikian pula dengan konsep kebangsaannya, tidak berarti harus
dipimpin oleh etnis mayoritas. Konsep berbangsa satu bukan konsep berdasar
etnis, tetapi berdasarkan etis yaitu nilai-nilai inti budaya yang diakui bersama.
Munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran
akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk
membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda.
Multikulturalisme juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan
kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam sidang

7
merumuskan dasar negara. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai
pluralisme, perbedaan (multikulturalisme) baik dalam konteks sosial maupun
politik (Sudharto, 2011). Pada sidang Panitia Kecil yang berjumlah Sembilan
orang (Panitia Sembilan), tokoh-tokoh Islam dengan ikhlas menyetujui tujuh
kata rumusan sila pertama dari “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” (menurut Piagam
Jakarta) menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945. Dalam hal ini pun dapat dipahami dalam konteks
menghargai sebuah multikulturalisme
Pancasila digali bersama oleh para founding fathers negara Republik
Indonesia dan selanjutnya dijadikan sebagai dasar negara dan ideologi negara.
Pancasila sebagai payung multikulturalisme Indonesia Dari proses yang
dijelaskan di atas, dipahami bahwa secara substansial sesungguhnya Pancasila
adalah unsur-unsur kebudayaan seluruh komunitas dan suku-suku bangsa yang
ada di Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai
budaya yang hadir dan berkembang dalam kehidupan bangsa Indonesia selama
beribu tahun dan telah mengalami berbagai ujian dalam proses beradaptasi
terhadap lingkungan sosial dan alam. Pancasila merupakan intisari
kebudayaan yang berakar jauh di dalam kehidupan bangsa Indonesia yang
begitu beragam, sehingga dapat dikatakan pula telah menjadi watak dan ciri
kepribadian budaya bangsa (Tanudirjo, 2011).
Pancasila adalah wujud nyata dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Keragaman ada dalam setiap sila sebagaimana berikut
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
Yang menunjukan adanya keragaman dalam agama, karena menunjuk satu
agama panutan.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Yang menunjukan adanya keragaman ras dan etnis, karena menunjuk pada
setiap manusia (siapa saja).
3. Persatuan Indonesia

8
Yang menunjukan adanya keragaman budaya dan wilayah, karena tidak
ada budaya tunggal atau membedakan asal-usul.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan
Yang menunjukan adanya keragaman pendapat, karena tidak bersifat
absolutisme (negara kekuasaan tunggal) dan kedaulatan di tangan rakyat
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Yang menunjukan adanya keragaman golongan, tidak ada mayoritas dan
minoritas (tetapi semua rakyat)
Semua keragaman dalam setiap sila dalam pelaksanaannya harus
dilakukan bersamasama sebagai satu kesatuan dan tidak boleh dipisahkan sila
demi sila. Ketika menjalankan agama, harus mengingat juga pada
kemanusiaan, pada persatuan negara-bangsa, demokratis, dan adil bagi yang
lain. Ketika menjalankan demokrasi, misalnya, maka bukan demokrasi liberal
(individualisme) tetapi harus mengingat pada tuntutan agamanya, rasa
kemanusiaannya, demi persatuan bangsa, dan bersikap adil bagi semua orang.
Pada dasarnya, setiap sila harus dijalankan dengan berdasarkan keempat sila
lainnya. Itulah hakekat dari kesatuan dari Pancasila, yaitu harus dilaksanakan
sebagai kesatuan yang tak terpisahkan.
Dalam kaitannya dengan multikulturalisme dua sila dari Pancasila secara
gamblang menyatakan melalui sila pertama bahwa nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa memberikan kebebasan kepada pemeluk agama sesuai dengan
keyakinannya,tidak ada paksaan,saling menghormati antar pemeluk agama
dan bekerjasama. Sementara itu nilai sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia
menjadi modal dasar bagi terwujudnya nasionalisme.
Perbedaan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa yang berupa
kebudayaan, bahasa, adat, agama, kepercayaan, suku, etnis dan lainlain tidak
boleh menjadi biang pertentangan, perselisihan apa lagi permusuhan.
Semuanya haarus merasa ada saling ketergantungan, saling membutuhkan dan
justru menjadi daya tarik ke arah kerjasama, ke arah resultante yang lebih
harmonis sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Soegito, 2010:98).

9
Dengan demikian multikuturalisme dan Pancasila merupakan sebuah
kesatuan, sebuah substansi yang utuh yang satu tidak dapat dipisahkan dengan
yang lain. Memahami, menghayati, dan mengamalkan prinsip-prinsip
multikulturalisme pada hakikatnya sama dengan memahami, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Dengan begitu, multikulturalisme di
Indonesia seharusnya mencontoh ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dari Pancasila.
Artinya, ketika seseorang memutuskan pilihannya dari keragaman yang ada
dan menjalankan pilihannya itu, maka dia harus juga mengingat dan
bertenggang rasa dengan orang yang memiliki pilihan berbeda. Tidak berarti,
harus ada peleburan sama sekali atau penyeragaman.

C. Proses Perjalanan Multikulturalisme di Indonesia pada Masa Pasca


Kemerdekaan
Para founding father, mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini
dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung
makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara
eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan
keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan
tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit
“Bhinneka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral
dan spiritual kepada bangsa Indonesia, khusunya pada masa-masa pasca
kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan para penjajah.
Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Bila dirunut, maka Orde Baru turut andil dalam memandulkan makna
Bhinneka Tunggal Ika tersebut. Hal itu terjadi karena kesadaran tetap “satu
jua” dikemas atas nama persatuan dan stabilitas negara yang kemudian
melahirkan paham mono-kulturalisme dengan cenderung “memaksakan” pola
dengan karakteristik penyeragaman dalam berbagai aspek: sistem ekonomi,
sosial, politik, dan budaya.
Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan konsep bagus telah mengalami
penyelewenangan makna dan bias interpretasi dengan mengambil pendekatan

10
dan strategi yang keliru dalam mengelola relasi sosial-budaya di antara
berbagai kelompok dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
Keanekaragaman budaya dari berbagai komunitas masyarakat tidak mendapat
pemenuhan secara adil. Dengan dalih stabilitas nasional, maka banyak budaya
masyarakat yang dikerdilkan, bahkan tidak jarang yang harus merepresi jati
diri untuk dapat diakui dan melebur pada apa yang dikenal sebagai
kebudayaan nasional.
Penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang dilakukan berpusat dari
atas ke bawah (sentralistik) menjadikan wawasan multikulturalisme lenyap
dan didominasi oleh monokulturalisme. Setiap tindakan yang mengarah pada
perbedaan pendapat atau gugatan kepada kebijakan pemerintah dianggap
sebagai tindakan subversif yang dapat mengganggu stabilitas nasional
Saefulloh (2009:3).
Kejatuhan Orde baru menunjukkan reaksi masyarakat terhadap praktik
hidup kenegaraan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dalam
berbagai hal yakni, budaya, bahasa, adat istiadat dll. Kemajemukan menurut
sebuah keunikan dan kebanggan yang dimiliki bangsa Indonesia yang
mungkin juga merupakan aset yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia.
Ternyata masyarakat kita ingin menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat
yang berbhineka tunggal ika yang selama orde baru telah ditindas dengan
berbagai cara demi untuk mencapai kesatuan bangsa.
Secara historis, sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang
kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai “era reformasi”,
kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Dalam pandangan
Azyumardi Azra, bahwa krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula
sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah mengakibatkan terjadinya krisis
sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun
masyarakat (fabric of society) tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang
melanda masyarakat (Mahfud, 2016:81-82).
Krisis sosial budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai
bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya:

11
disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euphoria kebebasan yang
nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam
menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah
mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki;
merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral dan
kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-
penyakit sosial lainnya; berlanjutnya konflik dan kekerasan yang besumber
atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di Aceh,
Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku, Ambon, Poso dan lain-lain (Mahfud,
2016:81-82).
Hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya
dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita
ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh
banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang
sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk,
seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan
lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Begitu kayanya bangsa kita dengan suku,
adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar
menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor
pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Untuk itu kita harus berusaha keras
agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul
persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh para pejuang kita.
Wacana multikulturalisme dalam konteks Indonesia menemukan
momentumnya ketika seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu,
keadaan negara menjadi kacau yang ditandai dengan berbagai konflik
antarsuku bangsa dan antar golongan yang menimbulkan ketidaknyamanan
bagi masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin
mempertanyakan kembali sistem apa yang dapat membuat masyarakat
Indonesia hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Multikulturalisme adalah konsep yang dianggap mampu menjawab tantangan

12
perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah ideologi
yang mengagungkan atau mengusung perbedaan budaya, atau sebuah
keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya
sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi
pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk
perbedaan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural (Ambarudin,
2016:35).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Multikutural sudah ada sejak lama, namun konsep multikuralisme ini
mulai dikenal publik di akhir 1960. Di Indonesia konsep multikulturalisme
sudah ada sejak lama. Pada masa kerajaan proses perjalanan multikulturalisme
ditunjukan pada masa Kutai dalam pembangunan, prasasti menyiratkan
penghargaan tinggi pada leluhur dan tetap dipertahankan meskipun
menggunakan lambang-lambang Hindu. Selain itu di para pemeluk agama
Hindu dan Budha, hidup berdampingan tanpa masalah semisal Candi
Prambanan dan Candi Sewu. Kerajaan Sriwijaya di Sumatera yang dikenal
sikap toleran terhadap keragaman budaya. Kerajaan Majapahit dengan jelas
menampilkan diri sebagai negara dengan keanekaragaman budaya. Kerajaan-
kerajaan Islam yang itu menunjukkan begitu tingginya tingkat toleransi
dengan masyarakat sekitar.
Munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran
akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk
membina persatuan dan kesatuan. Multikulturalisme juga tetap dijunjung
tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, ketika sila pertama piagam jakarta
diganti seperti bunyi sila Pancasila sekarang. Dalam hal ini pun dapat
dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme
Para founding father, mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini
dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung

13
makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara
eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan
keanekaragaman bangsa kita. Bila dirunut, maka Orde Baru turut andil dalam
memandulkan makna Bhinneka Tunggal Ika tersebut. Hal itu terjadi karena
kesadaran tetap “satu jua” dikemas atas nama persatuan dan stabilitas negara
yang kemudian melahirkan paham mono-kulturalisme dengan cenderung
“memaksakan” pola dengan karakteristik penyeragaman dalam berbagai
aspek: sistem ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Ambarudin, R. 2016. “Pendidikan Multikultural Untuk Membangun Bangsa


Yang Nasionalis Religius”. Jurnal Civics Vol. 13 No. 1, Juni 2016
Imam Setyobudi dan Mukhlas Alkaf. 2011. “Kendala Multikulturalisme di
Indonesia”. Mudra:Jurnal Seni dan Budaya. Volume 26, Nomer 2, Juli
2011
Joesoef, D. 2004. Borobudur. Jakarta.: Buku Kompas.
Mahfud, Choirul, Pendidikan Multicultural,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2006)
Muljana, S. 2006. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Jakarta: LKiS.
Nanih Mahendrawati dan Ahmad Syafei. 2001. Pengembangan Masyarakat
Islam: Dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Saefulloh, Aris. 2009. “Membaca Paradigma Pendidikan Dalam Bingkai
Multikulturalisme”. Insania: Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan.Vol.
14.No. 3.Sep-Des 2009.
Soegito, A.T. 2010. Pendidikan Pancasila. Semarang: UNNES PRESS.
Sudharto. 2011. Multikulturalisme Dalam Perspektif Empat Pilar Kebangsaan.
disampaikan dalam Rangka Seminar yang Diselenggarakan Oleh
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di Ungaran Kabupaten Semarang
Tanudirjo, D.A, B. Sulistyanto, dan B. Prasetyo. 2009. Prasejarah dalam
Perspektif Masa Lalu, Kini, dan Mendatang, dalam T. Abdullah (ed.),
Indonesia dalam Arus Sejarah, jilid I Prasejarah (eds. H.T. Simanjuntak dan
H. Widyanto). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve

14
Tanudirjo, Daud Aris. Membangun Pemahahaman Multikulturalisme:Perspektif
Arkeologi, Makalah disajikan dalam Workshop “Multikulturalisme dan
Integrasi Bangsa Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata” di Kusuma
Sahid Prince Hotel, Solo 5 Mei 2011.
Tjandrasasmita, U. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG Kompas.

15

Anda mungkin juga menyukai