OLEH
STEFHEN KURNIAWAN
802014029
TUGAS AKHIR
FAKULTAS PSIKOLOGI
SALATIGA
2018
ii
iii
iv
v
vi
vii
Stefhen Kurniawan
Chr. Hari Soetjiningsih
FAKULTAS PSIKOLOGI
SALATIGA
2018
viii
Abstrak
Masa remaja merupakan masa penting bagi individu untuk membentuk konsep
dirinya yang akan digunakan sebagai label untuk berinteraksi dan bersikap dengan
dunia luar. Dengan menggunakan metode fenomenologi, peneliti secara mendalam
melihat bagaimana pembentukan konsep diri seorang wanita yang masih ada pada
tahap remaja dengan membawa pengalaman pahit pada masa lalu (merasakan dampak
dari keluarga Broken Home sejak anak-anak dan pernah dilecehkan seksual oleh
keluarga dekatnya pada masa kanak-kanak). Penelitian ini menggunakan teknik
purposive dengan strategi typical sampling dalam pencarian partisipan. Hasil
penelitian ini adalah partisipan cenderung memiliki konsep diri negatif, yang
berdampak secara jangka panjang pada pengungkapan diri dan aktualisasi diri lewat
pengalaman negatif (paparan keributan dalam rumah tangga, mendapat kekerasan
verbal dan fisik dari keluarga, pelecehan seksual yang terjadi di dalam keluarga, dan
dukungan yang rendah dari keluarga) yang menimpa partisipan sejak anak-anak.
Dampak yang terasa hingga saat ini adalah penarikan diri dan penolakan diri terhadap
lingkungan luar yang diwujudkan dalam berbagai perilaku seperti curiga berlebih,
ketidakberdayaan dalam aktualisasi, terperangkap dalam diri yang tidak sebenarnya
sebagai akibat dari reaksi emosi pengalaman-pengalaman yang menekan psikologis
partisipan.
i
ix
Abstract
ii
PENDAHULUAN
1
2
utama seperti pada masa remaja akan terjadi penarikan diri dari teman sebaya, pada
masa tua akan terjadi penyesalan berlebih. Dampak dari peristiwa itu diperhitungkan
secara kuantitas dan kualitas oleh individu, misalnya banyaknya peristiwa yang
menimpa pada tahap perkembangan yang sama, dan beratnya peristiwa yang
dianggap individu sehingga membutuhkan dukungan psikologis. Tidak hanya satu
peristiwa yang masuk ke kategori nonnormative life event dirasakan oleh individu,
namun mungkin dua atau lebih peristiwa bisa dirasakan sekaligus, seperti pada halnya
dialami oleh seorang wanita yang menjadi partisipan pada penelitian ini, yakni
merasakan keadaan broken home dan menjadi korban pelecehan seksual sejak anak-
anak.
Kondisi keluarga yang tidak harmonis ini dapat berdampak negatif pada
perkembangan anak. Dalam penelitian Mardiya (2009) mengatakan bahwa keluarga
merupakan lingkungan utama, dimana anak tidak kurang dari 60% untuk tinggal di
lingkungan keluarga dari keseluruhan waktu dalam sehari, sehingga lingkungan
keluarga akan menjadi cermin anak dalam membentuk konsep diri yang utama.
3
Noerjiswan (dalam Nurlita, 2004) mengatakan bahwa ada beberapa dampak yang
mungkin saja terjadi pada anak yang mengalami broken home sejak kecil, diantaranya
mudah emosi (sensitif), tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar, tidak peduli dengan
lingkungan dan sekitar, tidak tahu sopan santun, tidak mengerti etiket sosial yang ada
dalam budayanya, senang mencari perhatian, ingin menang sendiri, keras kepala,
melawan orangtua, tidak memiliki tujuan hidup, berperilaku nakal, mudah terkena
depresi, kecenderungan untuk menggunakan narkoba, dan senang untuk
menghabiskan waktunya di luar rumah.
Sikap-sikap negatif yang terbangun akibat paparan dari keluarga yang tidak
utuh ini dapat mengakibatkan efek berantai yang berkelanjutan. Kehidupan anak yang
terlantar, sedikit pengawasan, serta minim kasih sayang dari orangtua membuat anak
menjadi bingung kepada siapa dirinya harus mendapat perlindungan. Pada akhirnya
membuat anak mudah untuk dipersuasi dan diajak oleh orang yang tidak terlalu
dikenal bahkan tidak dikenal (Kardawati, Lestari, dan Asyanti, 2008). Menurut
catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011-2016, kasus
anak usia dini sebagai korban kekerasan seksual berada pada tingkat pertama
dibandingkan kasus anak usia dini sebagai korban lainnya dengan jenis kekerasan
seksual tertinggi yang terjadi adalah 1.036 kasus perkosaan anak, 838 kasus
pencabulan anak, dan kekerasan dengan jenis lain pada sisanya (CATAHU, 2017).
Data yang dipaparkan ini, menunjukkan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual
yang dialami oleh anak-anak di usia dini yang patut menjadi perhatian khusus untuk
dampak yang dialami di kemudian hari.
Data yang sudah dipaparkan di atas, dapat diibaratkan sebagai puncak gunung
es karena banyaknya hal yang masih tidak terungkap. Penelitian Zahra (2007)
menyebutkan bahwa terkadang anak tidak melaporkan kasus pelecehan seksual
dikarenakan anak-anak korban pelecehan seksual tidak mengerti bahwa dirinya
menjadi korban, korban takut karena akan mendapat konsekuensi yang lebih berat
jika melapor, dan korban merasa malu untuk menceritakan peristiwa pelecehan
seksualnya.
4
Pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang
tidak diinginkan dan tidak dikehendaki dan berakibat mengganggu diri penerima
pelecehan dalam bentuk apapun (Pravissi, 2005). Pelecehan seksual itu sendiri
mencakup: eksploitasi seksual dengan mengancam anak karena hal yang dikehendaki
anak, pemaksaan melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang
orientasi seksual atau seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang
sifatnya satu pihak (pelaku), ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual (Noviana,
2015). Perempuan dan anak-anak sangat rentan untuk menjadi korban kejahatan
dalam bidang kesusilaan, karena perempuan dan anak-anak dianggap tidak memiliki
power yang kuat dalam menolak suatu hal yang diinginkan oleh pihak laki-laki dan
memiliki hak-hak yang dianggap tidak setara dengan kaum laki-laki (Poerwandari,
2000).
Konsep diri negatif juga tidak hanya ditunjukkan kepada individu yang
mengalami broken home, namun juga pada individu yang pernah mengalami
pelecehan seksual. Penelitian Basuki (2009) mengenai konsep diri remaja yang
mengalami pelecehan dan kekerasan seksual juga menunjukkan hasil yang negatif,
ditunjukkan lewat perasaan malu jika mendapat pujian, hiperkritis terhadap orang
lain, bersikap pesimis terhadap kompetisi, enggan bersaing dengan orang lain dalam
membuat prestasi, dan tidak berdaya dalam melakukan persaingan. Hasil yang sama
juga ditemui pada penelitian Sari (2013) yang menunjukkan adanya konsep diri
negatif pada korban pelecehan dan pemerkosaan di Kabupaten Temanggung, yang
terlihat lewat kepercayaan diri sangat rendah, menutup diri dari pergaulan, mudah
7
marah, dan merasa tidak berguna. Didukung juga oleh penelitian dari Ningsih dan
Satiningsih (2013), pada remaja putri korban pelecehan dan eksploitasi seksual yang
memunculkan tanda-tanda konsep diri negatif, yakni merasa tidak disenangi orang
lain, merasa tidak diperhatikan, dan menganggap orang lain sebagai lawan.
Penelitian-penelitian yang tergambarkan di atas masih banyak yang melihat satu
peristiwa nonnormative life event sebagai gambaran konsep diri remaja, namun
belum banyak penelitian yang melihat gambaran mengenai dua peristiwa
nonnormative life event yang terjadi pada seorang individu saat masa kanak-kanak,
sehingga pada penelitian ini akan mencoba menggali lebih dalam konsep diri remaja
yang pernah mengalami dua peristiwa nonnormative life event sekaligus pada saat
masa kanak-kanak.
Secara umum, Surbaryana (2015) mengatakan bahwa konsep diri ini dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep
diri yang positif dapat disamakan dengan evaluasi diri yang positif, penghargaan diri
yang positif, sedangkan konsep diri yang negatif disamakan dengan evaluasi diri yang
negatif, membenci diri, perasaan rendah diri dan tiadanya perasaan yang menghargai
pribadi dan penerimaan diri. Kualitas-kualitas persepsi terhadap dirinya yang ada
9
hubungannya dengan orang lain dan lingkungannya memiliki valensi positif atau
negatif sebagaimana mereka dipersepsikan hidup pada masa lalu, sekarang, dan yang
akan datang.
Brooks dan Emmert (1977) menyebutkan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki
konsep diri negatif, antara lain: Peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian,
meskipun mungkin ia berpura-pura menghindarinya, hiperkritis terhadap orang lain,
merasa tidak disenangi oleh orang lain, sehingga sulit menciptakan kehangatan dan
keakraban dengan orang lain, dan pesimis terhadap kompetisi. Ciri-ciri orang yang
memiliki konsep diri positif, antara lain: yakin akan kemampuannya untuk mengatasi
suatu masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian dengan tanpa rasa
malu, menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan, dan
perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, dan mampu memperbaiki
diri, karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak
disenanginya dan berusaha untuk mengubahnya
Melihat ciri-ciri di atas, ternyata hubungan dengan orang lain dan aktualisasi
diri menjadi salah satu ciri utama yang seringkali muncul. Didukung pula oleh
pendapat Jourard (dalam Fitts, 1971) mengatakan bahwa konsep diri selalu
berdampak utama pada hal terpenting dalam komunikasi interpersonal, yang
seringkali disebut dengan pengungkapan diri di hadapan publik. Setiap orang
diharapkan harus bisa mengungkapkan dirinya kepada orang lain dengan
berlandaskan konsep diri yang sudah ada, sering diartikan sebagai self disclosure
(Gainau, 2009). Selain itu, pendapat Purwanti (2000) menyebutkan bahwa konsep
diri dapat berdampak pada proses pengembangan diri sesuai dengan harapan dan
pencapaian aktualisasi diri untuk menjadi manusia yang utuh, sehingga seorang
individu dapat menjadi manusia yang sesuai dengan diri positif yang
dipersepsikannya.
Dari sini kita dapat melihat bahwa komunikasi interpersonal seorang remaja
dalam pembentukan konsep diri sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman
10
yang pernah terjadi pada dirinya dan berpengaruh bagi tahap perkembangan
selanjutnya yang kemudian digabungkan untuk menjadi sebuah penilaian pribadi
sebagai pengungkapan diri maupun aktualisasi diri. Didukung juga oleh pendapat dari
Combs dan Snygg (dalam Fitts, 1971) yang menyatakan bahwa tidak ada pengalaman
lain dalam pengembangan konsep diri anak itu yang cukup penting atau memiliki
dampak yang jauh seperti pengalamannya yang paling awal di masa anak-anak,
keluarga adalah yang mengenalkan anak ke kehidupan, yang memberinya definisi diri
paling awal dan paling permanen. Inilah, pertama kali seorang individu menemukan
konsep dasar diri yang akan membimbing perilakunya selama sisa hidupnya, serta
pengalaman lingkungan yang dianggap penting menjadi sebuah kronologi dasar
untuk individu bersikap terhadap dunia pada perkembangan selanjutnya, sehingga
dari pernyataan ini peneliti mencoba menarik peristiwa non-normative life event,
yakni pengalaman broken home sejak masa kanak yang dipaparkan oleh kedua
orangtuanya, dan paparan pelecehan seksual yang dialami oleh partisipan akan
membentuk pemaknaan diri yang berdampak pada konsep diri yang dimunculkan
oleh partisipan.
Rumusan Masalah
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri
partispan secara mendalam akibat dari nonnormative life event, serta faktor apa saja
yang mempengaruhi, dan efeknya
11
METODE PENELITIAN
Partisipan
Partisipan (P) berjumlah satu orang, dipilih secara purposive dengan strategi
typical sampling. Kriteria partisipan dalam penelitian ini yaitu: berusia remaja,
mengalami broken home sejak masa kanak, dan mengalami pelecehan seksual pada
masa kanak.
Metode
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah dengan
wawancara mendalam dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan sebanyak lima
kali, dengan pendekatan intensif terdahulu selama tiga bulan.
Analisis data
Analisis data yang dilakukan dengan proses analisis yang dikemukakan oleh
Stevick, Collaizi, dan Keen (dalam Hasbiansyah, 2005): mendeskripsikan penuh
fenomena yang dialami partisipan, menginterventarisasi pernyataan penting yang
relevan dengan topik, mengklasifikasikan pernyataan ke dalam unit makna,
membangun deksripsi menyeluruh mengenai makna dan esensi pengalaman
partisipan. Cara pengujian kredibilitas data terhadap hasil, dilakukan dengan cara
peningkatan ketekunan dalam penelitian dan member check.
12
Deskripsi Partisipan
HASIL PENELITIAN
Hasil
“sebenarnya aku itu orangnya bawel, suka bercanda, easy going, senang pergi-pergi,
suka bergaul, suka menyanyi, suka kesana dan kemari gitu kak”
“aku waktu kecil itu orangnya periang, aku itu orangnya ga takut gitu kak jadi
pemberani banget, mau kemana aja sama siapa aja ngapain aja…”
“,.. jadi aku tuh di bilang sama mama, dibilang sama papa, diantara aku sama
kakakku itu yang paling cepat nangkap sesuatu itu aku, katanya yang paling
cerdas..”
menyendiri, menutup diri, tidak percaya diri, tidak berani berbicara, yang
dibuktikan lewat perkataan P:
“..aku sudah jadi orang yang sama sekali ga percaya diri, kerasa banget aku
orang yang minderan, orang yang ga berani ngomong, ga berani speak up, ga berani
apa ya? Ya pokoknya lebih baik aku sendiri gitu waktu aku SMA..”
“..Jadi ketika aku SMA itu lebih kaya suka untuk menyendiri gitu kak, lebih comfort
ketika aku menyendiri dibandingkan aku berada di lingkungan yang ramai..”
“..sekarang itu terlebih aku menjaga jarak gitu kak, kaya lebih menutup diri..”
Dalam bagian kognitif terjadi beberapa perubahan, yaitu sulit konsentrasi, sensitif,
dan merasa tidak bisa apa-apa, yang dibuktikan lewat perkataan P:
“..tapi aku mulai kerasa itu mulai kelas 4 itu kak naik kelas 5 itu, udah ngerasa ga
konsen..”
“..tapi aku mulai SMA itu udah gak bisa kak, denger orang atau temen ngomong apa
aja yang waktu itu sakit-sakitan aja sudah sakit hati..”
“..kalau ditanya kelebihan aku malah merasa insecure, aku malah merasa tidak bisa
apa-apa kak..”
Perubahan yang terjadi dalam bagian afektif, yaitu sering merasakan kecemasan,
ketakutan dan kekhawatiran, yang dibuktikan lewat pernyataan P:
“..aku mau ngomong saja takut kaya sok-sok an gimana gitu loh kak”
“..ketika aku mau mengeksplor diri aku itu masih takut, dan cemas karena
hal itu sih kak, jadi aku takut kalau melakukan sesuatu itu dianggap orang lain tidak
sesuai, dianggap orang lain bodoh, dianggap orang lain aneh..”
15
“..yaitu aku takut tidak di anggap dan takut tidak benar, dan apalah pokoknya cuma
ketakutan dan kekhawatiran yang aku pikirin kalau ketemu orang lain”
“mama sering bilang kalau aku itu engga di anggap sama mereka, karena mama
cerita dulu itu mama kaya ekonominya rendah, berkurang sekali, tapi mama itu tidak
mau punya anak lagi, tapi malah kebobolan gitu kak, padahal mama sudah KB kak
tapi masih lahirlah aku dan mama itu marah, mau sempat gugurin tapi gabisa kak,
dan itu diceritakan sering sekali, mungkin juga dari situ secara tidak langsung juga
ada penolakan dulu dari orangtua “
“..terus pulang-pulang itu disidang gitu kaya dimarahin di kata-katain kasar gitu..”
”nilai aku bagus gitu terus aku kasih kan kak ke mama karena senang gitu, terus
malah ditanyanya “kamu nyontek ya?” jadi tidak percaya kalau itu kemampuan aku
sendiri..”
“..kak jadi kalau belajar itu tertekan jadi yang ada di pikiran aku hanya cepat-cepat
besok ketemu teman dan tidak di rumah, makanya mungkin itu yang buat aku jadi
tidak bisa konsentrasi kak..”
“..setiap olahraga itu keliatan ada bekas-bekas aku habis dicubitin atau apalah,
minimal ad bekas biru-biru itu, terus habis itu kalau aku tidak salah ingat juga kan
kak, dulu waktu SD itu aku pernah dipukul kepalaku sama mama sampai aku ngerasa
kaya puyeng..”
“..aku inget itu waktu itu diseret, aku masih inget pake sweater apa, bahkan
rambutku kaya gimana, mukaku gimana aku masih inget kak, aku diseret ke kamar
mandi terus di guyur pake air dingin..”
16
“..ke tempat eyangku, pasti selalu dimarahin gitu kak, jadi kaya pulang-pulang itu
dihajar, aku pernah pas pulang-pulang itu ketakutan dan pas pergi juga kak..”
Selain pengalaman dari kedua orangtua, ternyata pada saat kelas 4 SD, P pernah
mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh kakaknya yang kedua, dinyatakan
P dalam:
“..terus kakak aku ini awal-awalnya kalau misal aku lagi mau pipis gitu kak, dia
buka kamar mandi terus fotoin pas aku lagi pipis,”itu” aku difotoin itu kak pake hp
nya dia terus di videoin.”
“.diem-diem saat aku lagi tidur dia pegang-pegang pantat sampai kemaluan aku”
“..aku mau tanya pelajaran gitu, tapi kata dia “iya sek, tapi aku pegang itumu dulu”,
terus aku bingung pegang apa maksudnya terus dia megang payudara aku diremas-
remas gitu sama dia, aku diam saja karena supaya diajarin kak pikiran aku waktu itu
ya itu karena takut papa marah juga kalau aku ga belajar kak..”
,”.. jadi aku naik motor di depan itu dia ajarin sambil pegang-pegang kemaluanku
dan remas-remas payudaraku kak kaya gitu..”
“..dia sering banget kasih liat film porno gitu kak ke aku, nontonin ke aku..”
“..aku diajak ke kamarnya katanya “ke kamar yo, tak liatin nonton doraemon” terus
aku kan ikut ke kamarnya, tapi kok jendela semua di tutup, terus pintu kamar dikunci
rapat, ternyata sampai di dalam dia kasih liat film porno lagi, pertama dia udah
pegang payudara aku kan kak diremas-remas gitu, terus pas dia mau pegang “itu”
aku dan buka celana aku, terus kaya aku bilang “engga-engga mau, aku malu”, terus
kata kakak aku “engga gausah malu, itu liat mbaknya aja ga malu” sambil masih
liatin film porno gitu, terus aku langsung pergi, langsung cepat-cepat lari aku
langsung ketakutan..”
17
Bukan hanya oleh kakak kandung P, ternyata pada saat SMA, P pernah mengalami
pelecehan seksual juga yang dilakukan oleh pacarnya waktu itu, dikatakan P pada:
“..dia itu lama-lama kok suruh aku foto telanjang dikirim ke dia, terus kak dan ga
cuma sekali, tapi aku tetap engga mau..”
“..dia sering kalau telepon ngajakin ngomong hal-hal begitu kak, sampai aku itu
udah jijik gitu kak kaya aku itu sudah nunjukkin ke dia kalau aku itu engga suka..”
Dalam perkembangannya, P mengatakan bahwa dimana satu sisi ingin maju, tetapi
sisi lain kecemasan menyelimuti pikiran sehingga membuat P sulit untuk maju, hal
ini dikatakan dalam:
“Iya jujur aja kak, aku kan jadi tidak bisa berkembang, ketika mau belajar
untuk percaya diri, mau unjuk gigi, mau aktif gitu kak tapi selalu teringat sama masa
lalu, jadi aku kaya takut dan cemas sendiri kak, aku kalau mau mencoba selalu
keringat dingin, selalu berpikiran buruk, mood langsung berantakan karena
mengingat masa lalu kak, jadi serba salah”
Dengan keadaan yang P rasakan saat ini, P mengakui bahwa tetap memiliki harapan
mengenai masa depan yang indah dan perencanaan yang teratur dari usaha P,
terutama dalam membangun keluarga dan menjalankan peran dengan baik saat
menjadi orangtua, hal ini dikatakan P dalam:
“..aku tidak mau masa depanku seperti apa yang aku rasakan di masa lalu, biarlah
itu menjadikanku orang yang hebat dan masa depan yang cerah kak..”
18
“..aku memiliki lembar baru ketika sudah berkeluarga kak, aku mau berusaha
sekuat tenaga untuk menjalin hubungan yang sehat dan tidak merugikan satu sama
lain, saling menopang dan menjadi keluarga ceria..”
“..kalau mau pergi kemana-mana gitu kak aku bisa ganti baju terus bahkan sampai
10 kali ada itu kak buat ganti baju sampai yang benar-benar pas, tapi ya itu kak
belum merasa pas terus jadi memang tidak pernah pas, pakai ini jelek, pakai itu jelek
juga. Kalau mau keluar rumah itu aku pasti tanya ke orang sekitar dulu kak “aku
jelek ya?” aku tidak pernah tanya “bagus ya?” kaya gitu kak, tapi lebih kaya jelek
ya?..”
“..Tiap ada orang yang bilang ke aku, kalau aku cantik kaya gitu-gitu aku
menganggap bahwa orang itu ada maunya ke aku, bukan tulus benar-benar bilang
aku itu cantik”
“..jadi secara tidak langsung aku merasa bahwa aku tidak cantik, kesal dan benci
sesaat sama orang itu”
19
Perasaan kesal terhadap fisik yang dimiliki karena merasa tidak cantik,
seringkali berujung untuk menyakiti diri sendiri, seperti menampar muka,
menjambak rambut, dan menganggap dirinya seperti monster, seperti yang
dikatakannya dalam:
“pernah kak, jadi kaya jatuhnya pernah sih kak aku kaya lihat ke cermin untuk
namparin muka, jambak rambut, kaya merasa kesal sendiri, menganggap seperti
monster”
“..banyak bule di rumah aku, itu aku kan gabisa bahasa inggris kak, tapi aku
ngobrol sama mereka gitu, dekat sama mereka, dan siapapun yang menginap di
rumah pasti aku dekat sama mereka..”
Saat SMP, komunikasi P dengan teman sejawat tergolong masih baik, karena
banyaknya teman yang dimiliki P dan sifat bawaan P yang menyukai sosialisasi.
Golongan teman yang dipilih P adalah yang merokok dan suka minum-minuman
keras, sehingga seringkali P dikatakan nakal oleh orangtua karena kualitas pergaulan
teman dan jam pulang sore yang hampir setiap hari P lalui. P merasa jika berteman
dengan perokok atau teman yang suka minum minuman keras akan lebih diterima dan
merasa senasib karena sama-sama dianggap nakal oleh lingkungan. Ketika masuk
SMA, P sudah mulai untuk menarik diri, walaupun teman tetap banyak tetapi lebih
memilih untuk sendiri. P memilih untuk berteman dengan laki-laki, karena P
merasa jika berteman dengan laki-laki, dirasa dapat melindungi, dianggap
seperti adik, dan suka membela P jika ada teman yang tidak suka dengan P, selain
20
itu juga P mengatakan bahwa kurangnya sosok ayah dalam hidup menjadi salah satu
penyebab dari hal ini, seperti yang dikatakan P bahwa:
“..aku banyak teman gak cowo gak cewe tapi kebanyakan cowo, bukan berarti
gimana-gimana ya kak, tapi cowo-cowo itu lebih melindungi aku, nganggap kaya aku
itu adik mereka jadi mereka tuh kalau aku di apa-apain itu mereka gak terima”
“..fatherless mungkin kak, kaya aku itu kurang sosok ayah dalam hidup aku itu, jadi
waktu aku SMP itu aku kaya suka di deketin sama cowo, di sisi lain aku kaya nyakitin
mereka, tapi di sisi lain juga aku suka kalau di deketin sama cowo dan diperhatiin
sama cowo itu aku suka..”
“..kelas 5 awal itu ngerasa kaya geli sendiri karena aku tuh kaya mulai tertarik sama
lawan jenis, kaya mulai suka-sukaan gitu, tapi sukanya itu memang ada rasa
ketertarikan, dilainnya itu tuh paling besar adalah rasa ingin menyakiti..”
“aku merasa kalau pacar aku ini yang bisa menerima saya apa adanya,
pacar aku yang sudah mengerti problemku, dan membuat saya itu sudah percaya diri
kalau misalkan berada di dekat dia, jadi saya kaya jadi diri aku sendiri..”
21
“..aku juga sering curiga sama pacar aku juga, karena pengalaman dilecehin
itu aku jadi takut, jangan-jangan dia baikin aku sekarang karena ada maunya lagi
sama badan aku, jangan-jangan dia juga tidak tulus gitu kak sama aku..”
Pembahasan
Tipe kepribadian extraversion sebenarnya menjadi tipe yang melekat dari diri
individu, yang artinya memiliki kecenderungan untuk percaya diri, dominan, aktif,
lebih cepat berteman, termotivasi untuk perubahan, dan menunjukkan emosi yang
positif (Feist dan Feist, 2010), tetapi pengalaman-pengalaman yang dialami P,
membuat beberapa perubahan dalam diri P yang sudah dipaparkan. Papalia (dalam
Soetjiningsih, 2012) yang mengatakan bahwa dalam perkembangan sosial-emosional
anak-anak akhir, anak menjadi lebih peka terhadap perasaannya sendiri yang didapat
dari situasi sosial dan merespon tekanan emosional dari orang lain, sehingga pada
tahun ini anak mulai menunjukan reaksi dan mengadaptasikan reaksi ini terhadap
perilaku. Reaksi yang diberikan P pada tahap ini adalah hilang konsentrasi di dalam
belajar yang dianggap sebagai dampak dari tekanan yang berakibat takut dan cemas
pada diri P, sehingga arahan pikiran P untuk mengontrol emosi negatif adalah dengan
mengalihkan pikiran untuk bertemu teman di sekolah esok hari, yang menyebabkan
turunnya konsentrasi belajar pada diri P. Hal ini juga didukung oleh pendapat Jaya
(dalam Susanti dan Widuri, 2013) yang menyatakan bahwa penyesuaian diri masa
kanak-kanak terhadap sosio-emosional anak di dalam lingkungan tinggal, dapat
22
berdampak pada penyesuaian diri dan motivasi anak, terutama pada saat usia sekolah,
maka permasalahan dalam motivasi belajar anak sering menjadi sasaran utama yang
terhambat. Kesulitan yang muncul pada tahap ini dapat menghambat tahap
perkembangan selanjutnya, sehingga dukungan dari keluarga dan kesan positif yang
diterima anak pada usia kanak-kanak berperan penting untuk membentuk pribadi
yang positif dan cakap di lingkungannya, namun dalam kehidupan yang dijalani P,
dukungan sosial dari keluarga ada pada taraf rendah dan keluarga menjadi sumber
tekanan.
masa lalu mereka terhadap respon lingkungan. Jika individu menjajaki peran-peran
secara positif dan sehat, maka identitas yang positif akan dicapai, tetapi sebaliknya
jika mereka menjajaki peran-peran secara negatif dan mendapat pemaparan
lingkungan yang negatif, maka kebingungan identitas akan dirasakan individu, yang
seringkali diwujudnyatakan dalam penarikan diri dan tidak percaya pada lingkungan,
yang akan berkelanjutan pada tahap berikutnya untuk masuk ke dalam masa
terisolasi. Maka dari itu, dampak dari pengalaman-pengalaman P terasa pada saat
memasuki masa SMA, dikarenakan pemikiran yang semakin objektif terhadap
pengalaman dan mulai mengevaluasi identitas seperti apa yang akan dijalani oleh P
lewat pemaparan pengalaman-pengalaman negatif yang diwujudkan lewat penarikan
diri, tidak percaya diri, memilih untuk mengasingkan diri, dan sensitif.
Dari hal yang sudah dipaparkan, kita melihat bahwa paparan kekerasan fisik
dan verbal yang dialami P oleh kedua orangtua akibat pola asuh otoriter, pelecehan
seksual yang dialami P di dalam lingkungan keluarga, dan kurangnya dukungan dari
keluarga terhadap perkembangan P dapat dianggap sebagai pengalaman negatif masa
lalu yang dibawa hingga saat ini yang mengakibatkan „kecemasan‟ dalam diri P.
25
Menurut Annisa (2016) kecemasan adalah kondisi emosi dengan timbulnya rasa tidak
nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar-samar disertai
dengan perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu
hal yang belum jelas. Stuart (2006) mengelompokkan kecemasan (anxiety) dalam
respon perilaku, kognitif, dan afektif, diantaranya:
Dampak yang juga dirasakan karena generalisasi berlebih saat ini dikarenakan
oleh pengalaman masa lalu, adalah pada pengembangan diri individu. Abidin (2007)
menyatakan bahwa kecemasan menjadikan manusia untuk dihadapkan pada berbagai
kemungkinan. Manusia seringkali tidak mengetahui bahwa kecemasan adalah salah
satu hal yang menghancurkan perkembangan manusia di setiap periode
perkembangan, sehingga jika seseorang berdiam di dalam sisi kecemasannya maka
stagnation akan dirasakan oleh individu, individu akan merasa bimbang, terus terjun
dalam prasangka buruk, tidak dapat maju dalam setiap tahap perkembangan, tetapi
26
jika individu dapat mengelola kecemasan sebagai sebuah tantangan, maka proses
improvement dalam diri atau disebut sebagi aktualisasi diri dalam pembahasan ini,
dapat menjadikan P menjadi individu yang terus berkembang di setiap tahap
perkembangannya.
pada diri individu pada sejumlah orang atau objek lainnya sehingga dorongan aslinya
terselubung. Seperti yang diketahui bahwa P tidak mungkin untuk membalas dendam
kepada ayahnya atau berperilaku marah kepada ayahnya pada saat itu, maka dari itu P
mulai mencoba untuk menyakiti sosok laki-laki yang dianggap sama seperti ayahnya
(hasil generalisasi dari laki-laki) untuk mengalihkan dorongan-dorongan negatif tidak
sadar yang dirasakan P.
Kesimpulan
Paparan kekerasan fisik dan verbal yang dialami partisipan oleh kedua
orangtua, pelecehan seksual yang dialami partisipan di dalam lingkungan keluarga,
dan kurangnya dukungan dari keluarga terhadap perkembangan partisipan dapat
dianggap sebagai pengalaman negatif masa lalu yang dibawa hingga saat ini yang
mengakibatkan „kecemasan‟ dalam diri partisipan. Kondisi “kecemasan” yang
membayangi partispan membangun konsep diri negatif pada diri partisipan yang
dibuktikan lewat pikiran, perasaan, dan perilaku negatif yang diadopsi oleh
partisipan, seperti sensitivitas yang tinggi, orientasi akan kelemahan diri, rasa
tidak berdaya, tidak menghargai fisik, tidak percaya diri, menarik diri dari
lingkungan luar, dan tidak puas akan diri saat ini. Beberapa dampak sangat
terlihat pada aktualisasi diri individu dan komunikasi interpersonal partisipan
terhadap setiap objek lawan bicara yang terhambat akibat bayang-bayang kecemasan
yang masih terbawa hingga saat ini, tetapi dibalik konsep diri yang negatif, partisipan
terbantu untuk terus berjuang dalam hidup lewat perasaan optimis dan harapan masa
depan yang indah lewat pembelajaran dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang
berasal dari dalam diri parisipan.
Saran
1. Melihat partisipan yang masih sangat sedikit, yaitu berjumlah satu orang
karena melihat kondisi dan keadaan partisipan yang bersedia untuk diambil
data, maka dari itu penting untuk penelitian selanjutnya menambahkan jumlah
partisipan agar terlihat keunikan diantara partisipan.
2. Perlu digali lebih lanjut mengenai orientasi masa depan pada partisipan,
karena dalam penelitian ini lebih melihat kondisi saat ini
3. Perlu dilakuan penelitian lebih lanjut mengenai dampak “kecemasan”
terhadap kehidupan partisipan lainnya, karena melihat respon kecemasan yang
berbeda-beda pada setiap individu.
31
Daftar Pustaka
Abidin, Z. (2007). Analisis eksistensial, sebuah pendekatan alternatif untuk psikologi
dan psikiatri. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Adianingsih, T. (2003). Fenomena kekerasan dalam keluarga pada anak. Skripsi.
Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Ahmad, F. H. (2008). Psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia.
Anggadewi, B. E. T. (2007). Studi kasus tentang dampak psikologis anak korban
kekerasan dalam rumah tangga. Skripsi. Fakultas Psikologi. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Basuki, H. (2009). Konsep diri remaja korban pelecehan seksual dan perkosaan.
Skripsi. Fakultas Psikologi. Depok: Universitas Gunadarma.
Brooks, W. D. & Emmert, P. (1977). Interpersonal communication. Dubuque: Brown
Company Publishers.
CATAHU. (2017). Labirin kekerasan terhadap perempuan: Alarm bagi negara untuk
bertindak cepat. Jakarta.
CATAHU. (2018). Tergerusnya ruang aman perempuan dalam pusaran politik
populisme. Jakarta: Komnas Perempuan.
Desmita. (2009). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
DeVito, J. A. (1997). Komunikasi antar manusia. Jakarta: Professional Books.
Fauziah, N. (2014). Empati, persahabatan, dan kecerdasan adversitas pada anak
SMA. Jurnal Psikologi Undip, 13(1), 78-92
Feist, J & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian. (Edisi 7). Jakarta: Salemba
humanika.
Fitriana, Y. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orangtua dalam
melakukan kekerasan verbal. Jurnal Psikologi Undip, 14(1), 81-93.
Fitts, W. H. (1971). The self-concept and self-actualization. Los Angeles: Western
Psychological Service.
Freund, A. M. (2001). Self-regulation of normative and non-normative
developmental Challenges. Journal of Human Development, 44, 264-283.
Gratz, K. L. (2007). Targeting emotion dysregulation in the treatment of self-injury.
Journal of Clinical Psychology: In Session, 63, 1091-1103.
32
Susanti, A & Widuri, E. L. (2013). Penyesuaian diri pada anak sekolah dasar. Jurnal
fakultas psikologi, 1(1), 16-30.
Taylor, S. E. (2009). Psikologi sosial. Edisi ke-duabelas. Jakarta: Kencana
Walgito, B. (2003). Psikologi sosial. Yogyakarta: Andi Offset.
Willis, S. S. (2005). Remaja dan masalahnya. Bandung: Alfabeta.
Willis, S. S. (2009). Konseling keluarga: Family counseling. Bandung: Alfabeta.
Windari, R. (2017). Konsep diri siswa yang berasal dari keluarga broken home.
Artikel Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kediri: Universitas
Nusantara PGRI Kediri.
Zahra, R. P. (2007). Kekerasan seksual pada anak. Jurnal Psikologi Anak, 12(2), 133-
142.