Anda di halaman 1dari 43

i

“SIAPAKAH AKU! INILAH AKU!”


KONSEP DIRI REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI
BROKEN HOME DAN PELECEHAN SEKSUAL

OLEH
STEFHEN KURNIAWAN
802014029

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari


Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2018
ii
iii
iv
v
vi
vii

“SIAPAKAH AKU! INILAH AKU!”


KONSEP DIRI REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI
BROKEN HOME DAN PELECEHAN SEKSUAL

Stefhen Kurniawan
Chr. Hari Soetjiningsih

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2018
viii

Abstrak

Masa remaja merupakan masa penting bagi individu untuk membentuk konsep
dirinya yang akan digunakan sebagai label untuk berinteraksi dan bersikap dengan
dunia luar. Dengan menggunakan metode fenomenologi, peneliti secara mendalam
melihat bagaimana pembentukan konsep diri seorang wanita yang masih ada pada
tahap remaja dengan membawa pengalaman pahit pada masa lalu (merasakan dampak
dari keluarga Broken Home sejak anak-anak dan pernah dilecehkan seksual oleh
keluarga dekatnya pada masa kanak-kanak). Penelitian ini menggunakan teknik
purposive dengan strategi typical sampling dalam pencarian partisipan. Hasil
penelitian ini adalah partisipan cenderung memiliki konsep diri negatif, yang
berdampak secara jangka panjang pada pengungkapan diri dan aktualisasi diri lewat
pengalaman negatif (paparan keributan dalam rumah tangga, mendapat kekerasan
verbal dan fisik dari keluarga, pelecehan seksual yang terjadi di dalam keluarga, dan
dukungan yang rendah dari keluarga) yang menimpa partisipan sejak anak-anak.
Dampak yang terasa hingga saat ini adalah penarikan diri dan penolakan diri terhadap
lingkungan luar yang diwujudkan dalam berbagai perilaku seperti curiga berlebih,
ketidakberdayaan dalam aktualisasi, terperangkap dalam diri yang tidak sebenarnya
sebagai akibat dari reaksi emosi pengalaman-pengalaman yang menekan psikologis
partisipan.

Kata kunci: Konsep diri, broken home, dan pelecehan seksual

i
ix

Abstract

adolescence is an important period for individuals to form self-concept that will be


used as a label to interact and behave with the outside world. Using the
phenomenological method, researchers looked deeply at how the formation of a
woman's self-concept that still exists in the adolescent stage by bringing a bitter
experience to the past (feeling the impact of the Broken Home family since childhood
and being sexually harassment by her immediate family among childhood). This
research uses purposive technique with typical sampling strategy in the search of
participants. The results of this study are that participants tend to have a negative
self-concept, which has a long-term impact on self-disclosure and self-actualization
through negative experiences (exposure to domestic commotion, verbal and physical
abuse of the family, sexual harassment within the family, and low support of the
family) that befalls the participants since the children. The impact that is felt to date
is the withdrawal and self-rejection of the external environment embodied in various
behaviors such as excessive suspicion, powerlessness in actualization, trapped in the
unreal as a result of emotional reactions experiences that depress the psychological
participants.

Keywords: Self-concept, broken home, and sexual harassment

ii
PENDAHULUAN

Seiring dengan perjalanan perkembangan kehidupan, peristiwa dalam


kehidupan seseorang seringkali menuntut perubahan-perubahan dan penyesuaian
yang signifikan dari pola kehidupan yang sedang dijalankan individu (Jannah, 2015).
Secara teoritis, peristiwa-peristiwa kehidupan terbagi ke dalam dua bagian, yakni
normative history-graded influence dan non-normative life event. Normative history-
graded influence berarti peristiwa yang berpengaruh secara umum untuk suatu
generasi akibat fakta sejarah, seperti perang dunia II. Non--normative life event
berarti peristiwa-peristiwa luar biasa yang berpengaruh besar terhadap kehidupan
seseorang, akan tetapi tidak terjadi pada semua orang dan ketika terjadi akan
memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada setiap orang, seperti kematian
orangtua, kehamilan di masa awal remaja, memenangkan undian, tekanan berat
dalam rumah tangga, dan lain-lain (Freund, 2001).

Lebih lanjut, Santrock (2011) mengatakan bahwa setiap peristiwa-peristiwa


yang dialami individu, akan sangat berpengaruh dan menjadi sandaran pondasi bagi
individu untuk bertindak pada setiap tahap perkembangan selanjutnya. Jika
pengalaman dan pembelajaran yang dialami positif maka individu akan hidup secara
optimal, sedangkan jika pengalaman dan pembelajaran yang terpaparkan itu bersifat
negatif, maka akan terjadi berbagai hambatan dalam diri individu yang dapat muncul
dan sangat berpengaruh bagi kelangsungan perkembangan individu.

Dalam kenyataan kehidupan ini, ternyata ada banyak individu yang


mengalami peristiwa nonnormative life event, seperti kasus pelecehan seksual. Di
Indonesia, yakni 2.290 kasus pelecehan seksual, diantaranya 58% dialami oleh anak-
anak dan disebabkan oleh minimnya pengawasan dari orangtua (CATAHU, 2018).
Ross, Niebling, & Heckert (dalam Rahmadani, 2015) mengatakan bahwa adaptasi
individu dalam pemenuhan tugas perkembangan, tidak lepas dan tidak menutup
kemungkinan dari peristiwa yang tidak berlaku umum pada semua orang di usianya,
dampak psikologis terhadap perkembangan anak di usianya dapat menjadi tolak ukur

1
2

utama seperti pada masa remaja akan terjadi penarikan diri dari teman sebaya, pada
masa tua akan terjadi penyesalan berlebih. Dampak dari peristiwa itu diperhitungkan
secara kuantitas dan kualitas oleh individu, misalnya banyaknya peristiwa yang
menimpa pada tahap perkembangan yang sama, dan beratnya peristiwa yang
dianggap individu sehingga membutuhkan dukungan psikologis. Tidak hanya satu
peristiwa yang masuk ke kategori nonnormative life event dirasakan oleh individu,
namun mungkin dua atau lebih peristiwa bisa dirasakan sekaligus, seperti pada halnya
dialami oleh seorang wanita yang menjadi partisipan pada penelitian ini, yakni
merasakan keadaan broken home dan menjadi korban pelecehan seksual sejak anak-
anak.

Sarwono (2008) mengatakan bahwa broken home adalah kondisi keluarga


yang tidak harmonis dan orang tua tidak lagi dapat menjadi teladan yang baik untuk
anak-anaknya sehingga tidak terdapat rasa nyaman dalam keluarga dengan berbagai
kemungkinan yang diantaranya bercerai, pisah ranjang, atau keributan yang terus
menerus terjadi di dalam keluarga. Ada beberapa ciri-ciri dari keluarga broken home
yang dikemukakan oleh Khairuddin (2008), yakni sering terjadi pertikaian antara
kedua orangtua, salah satu dari kedua orangtua jarang berada di rumah, anak malas
untuk berada di rumah dan memilih untuk pergi bergaul dengan teman-temannya dan
bukan dalam konteks “masa perkembangannya”. Willis (2009) mengatakan
setidaknya ada tujuh faktor penyebab terjadinya keluarga broken home, yakni kurang
atau putusnya komunikasi diantara anggota keluarga, sikap egosentrisme masing-
masing anggota keluarga, permasalahan ekonomi keluarga, masalah kesibukan
orangtua, pendidikan orangtua yang rendah, perselingkuhan yang mungkin terjadi,
dan jauh dari nilai-nilai agama.

Kondisi keluarga yang tidak harmonis ini dapat berdampak negatif pada
perkembangan anak. Dalam penelitian Mardiya (2009) mengatakan bahwa keluarga
merupakan lingkungan utama, dimana anak tidak kurang dari 60% untuk tinggal di
lingkungan keluarga dari keseluruhan waktu dalam sehari, sehingga lingkungan
keluarga akan menjadi cermin anak dalam membentuk konsep diri yang utama.
3

Noerjiswan (dalam Nurlita, 2004) mengatakan bahwa ada beberapa dampak yang
mungkin saja terjadi pada anak yang mengalami broken home sejak kecil, diantaranya
mudah emosi (sensitif), tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar, tidak peduli dengan
lingkungan dan sekitar, tidak tahu sopan santun, tidak mengerti etiket sosial yang ada
dalam budayanya, senang mencari perhatian, ingin menang sendiri, keras kepala,
melawan orangtua, tidak memiliki tujuan hidup, berperilaku nakal, mudah terkena
depresi, kecenderungan untuk menggunakan narkoba, dan senang untuk
menghabiskan waktunya di luar rumah.

Sikap-sikap negatif yang terbangun akibat paparan dari keluarga yang tidak
utuh ini dapat mengakibatkan efek berantai yang berkelanjutan. Kehidupan anak yang
terlantar, sedikit pengawasan, serta minim kasih sayang dari orangtua membuat anak
menjadi bingung kepada siapa dirinya harus mendapat perlindungan. Pada akhirnya
membuat anak mudah untuk dipersuasi dan diajak oleh orang yang tidak terlalu
dikenal bahkan tidak dikenal (Kardawati, Lestari, dan Asyanti, 2008). Menurut
catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011-2016, kasus
anak usia dini sebagai korban kekerasan seksual berada pada tingkat pertama
dibandingkan kasus anak usia dini sebagai korban lainnya dengan jenis kekerasan
seksual tertinggi yang terjadi adalah 1.036 kasus perkosaan anak, 838 kasus
pencabulan anak, dan kekerasan dengan jenis lain pada sisanya (CATAHU, 2017).
Data yang dipaparkan ini, menunjukkan bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual
yang dialami oleh anak-anak di usia dini yang patut menjadi perhatian khusus untuk
dampak yang dialami di kemudian hari.

Data yang sudah dipaparkan di atas, dapat diibaratkan sebagai puncak gunung
es karena banyaknya hal yang masih tidak terungkap. Penelitian Zahra (2007)
menyebutkan bahwa terkadang anak tidak melaporkan kasus pelecehan seksual
dikarenakan anak-anak korban pelecehan seksual tidak mengerti bahwa dirinya
menjadi korban, korban takut karena akan mendapat konsekuensi yang lebih berat
jika melapor, dan korban merasa malu untuk menceritakan peristiwa pelecehan
seksualnya.
4

Pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang
tidak diinginkan dan tidak dikehendaki dan berakibat mengganggu diri penerima
pelecehan dalam bentuk apapun (Pravissi, 2005). Pelecehan seksual itu sendiri
mencakup: eksploitasi seksual dengan mengancam anak karena hal yang dikehendaki
anak, pemaksaan melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang
orientasi seksual atau seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang
sifatnya satu pihak (pelaku), ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual (Noviana,
2015). Perempuan dan anak-anak sangat rentan untuk menjadi korban kejahatan
dalam bidang kesusilaan, karena perempuan dan anak-anak dianggap tidak memiliki
power yang kuat dalam menolak suatu hal yang diinginkan oleh pihak laki-laki dan
memiliki hak-hak yang dianggap tidak setara dengan kaum laki-laki (Poerwandari,
2000).

Dampak negatif dari pelecehan seksual dapat berlanjut dan dirasakan


sepanjang hidupnya. Studi klinis yang meneliti memori orang dewasa tentang
pengalaman traumatik mereka pada masa kanak-kanak, ternyata mampu diingat
kembali dan 53% dari partisipan penelitiannya menyatakan tidak akan pernah
melupakan tentang kejadian yang dimaksud dalam pemaparannya (Herman dan
Harvey, 1997). Dampak negatif yang dapat dialami korban di kemudian hari,
diantaranya menderita gangguan makan, masalah dalam seksualitas, melakukan
penganiayaan diri dan bunuh diri, mengalami gejala somatik, cemas, hancurnya
penghargaan diri, depresi berkepanjangan, dan menderita stress pasca trauma
(Knauer, 2002). Korban pelecehan seksual mulai tidak percaya terhadap dunia,
hampir 80% akibat yang dirasakan berkaitan dengan penghargaan diri yang sangat
rendah (Ilenia dan Handadari, 2011). Penghargaan diri yang rendah ini, diawali ketika
seorang anak mulai mengevaluasi dan mengumpulkan pengalaman-pengalaman yang
sudah terjadi dalam hidup untuk dijadikan sebagi identitas diri. Namun, ketika proses
pemanggilan pengalaman dalam hidup dalam memori ini kembali teringat, maka
yang muncul adalah pembentukan identitas yang salah dan dapat menyebabkan
penghargaan diri yang rendah (Moody, 2004).
5

Dampak yang diterima oleh individu atas peristiwa-peristiwa yang dialami,


akan mulai terasa ketika anak memasuki usia remaja (Dusek dan Mcintyre dalam
Santrock, 2003). Usia remaja dianggap penting oleh para pakar psikologi
perkembangan, sosial, maupun pendidikan adalah karena adanya masa transisi. Masa
transisi adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, meskipun
perkembangan aspek-aspek kepribadian telah diawali pada masa sebelumnya, tetapi
terjadi puncaknya pada masa ini, karena setelah masa ini mereka sudah tidak
dikatakan sebagai remaja kembali melainkan orang dewasa yang sudah harus bisa
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan tuntutan berdasarkan konsep dirinya
(Willis, 2005). Didukung oleh penelitian Harter (dalam Santrock, 2003) bahwa pada
masa remaja, merupakan masa evaluasi diri dalam berbagai bidang, misalnya
akademik, atletik, fisik, dan sebagainya yang merujuk pada konsep dirinya. Erikson
(dalam Ahmad, 2008) berpendapat bahwa tahap remaja merupakan tahap pertama
individu mengoleksi dan mengumpulkan kembali segala pengetahuan dan
pengalaman yang telah dialami pada tahap sebelumnya untuk menjadi ciri khasnya.
Ada beberapa faktor penting dalam perkembangan identitas remaja, diantaranya
kepercayaan diri yang dibentuk pada tahun pertama, sikap mandiri pada anak yang
didapat melalui eksplorasi terhadap lingkungan, keadaan keluarga dan lingkungan
yang harmonis, dan taraf intelektual pada masa remaja.

Dalam mengalami transisi tahapan perkembangan dan perubahan-perubahan


menuju kematangan, akan meningkatkan kemungkinan timbulnya konflik. Beberapa
permasalahan sosial yang dihadapi masa remaja selanjutnya secara lebih khusus
merupakan konflik interpersonal. Konflik interpersonal secara spesifik menyangkut
interaksi antar individu (remaja) dengan orang lain, akhirnya menuntut remaja untuk
merespon secara tepat sesuai dengan konsep diri yang dimiliki (Walgito, 2003).
Didukung oleh pendapat Desmita (2009) yang mengatakan bahwa konsep diri
bukanlah dibawa sejak lahir. Bahkan ketika lahir, setiap individu tidak memiliki
konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak memiliki pengharapan
dan penilaian bagi diri sendiri. Akan tetapi, konsep diri terbentuk melalui proses
6

belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan,


pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang

Penelitian dari Riyandara (2010) mendukung pernyataan di atas, dengan


memberikan hasil konsep diri negatif dimiliki oleh remaja yang mengalami broken
home dengan terbentuknya pengetahuan tentang diri yang tidak teratur, harapan
terhadap diri yang tidak realistis, dan penilaian diri yang rendah. Hal yang sama
ditemukan juga di dalam hasil penelitian dari Windari (2017) yang menyatakan
bahwa remaja yang mengalami broken home, memiliki konsep diri negatif yang
ditunjukkan lewat perilaku membolos, keluar saat jam pelajaran, pribadi tertutup,
berperilaku negatif untuk mendapat perhatian dari orang lain, kabur dari rumah, tidak
mematuhi peraturan di tempat dia berada (rumah, sekolah, tempat les), bersikap
kasar, dan arogan. Konsep diri negatif juga ditunjukkan oleh siswa-siswa SMA 2
Bantul yang terdata mengalami broken home lewat penelitian Retnaningsih (2016),
dengan menunjukkan sikap mudah tersinggung ketika ditegur apalagi diejek oleh
temannya, cepat marah, mudah berkelahi, bangga berlebihan dengan pujian, sering
meremehkan orang lain, tidak disiplin, melanggar tata tertib, merasa dikucilkan oleh
teman-temannya, tidak termotivasi untuk mencapai hal positif (giat belajar untuk
mendapatkan juara).

Konsep diri negatif juga tidak hanya ditunjukkan kepada individu yang
mengalami broken home, namun juga pada individu yang pernah mengalami
pelecehan seksual. Penelitian Basuki (2009) mengenai konsep diri remaja yang
mengalami pelecehan dan kekerasan seksual juga menunjukkan hasil yang negatif,
ditunjukkan lewat perasaan malu jika mendapat pujian, hiperkritis terhadap orang
lain, bersikap pesimis terhadap kompetisi, enggan bersaing dengan orang lain dalam
membuat prestasi, dan tidak berdaya dalam melakukan persaingan. Hasil yang sama
juga ditemui pada penelitian Sari (2013) yang menunjukkan adanya konsep diri
negatif pada korban pelecehan dan pemerkosaan di Kabupaten Temanggung, yang
terlihat lewat kepercayaan diri sangat rendah, menutup diri dari pergaulan, mudah
7

marah, dan merasa tidak berguna. Didukung juga oleh penelitian dari Ningsih dan
Satiningsih (2013), pada remaja putri korban pelecehan dan eksploitasi seksual yang
memunculkan tanda-tanda konsep diri negatif, yakni merasa tidak disenangi orang
lain, merasa tidak diperhatikan, dan menganggap orang lain sebagai lawan.
Penelitian-penelitian yang tergambarkan di atas masih banyak yang melihat satu
peristiwa nonnormative life event sebagai gambaran konsep diri remaja, namun
belum banyak penelitian yang melihat gambaran mengenai dua peristiwa
nonnormative life event yang terjadi pada seorang individu saat masa kanak-kanak,
sehingga pada penelitian ini akan mencoba menggali lebih dalam konsep diri remaja
yang pernah mengalami dua peristiwa nonnormative life event sekaligus pada saat
masa kanak-kanak.

Secara teoritis, konsep diri sering dipahami lewat bagaimana individu


memandang dan memahami diri kita sendiri yang berguna untuk komunikasi
interpersonal. Menurut Potter dan Perry (2005), konsep diri adalah citra subjektif dari
diri dan pencampuran yang kompleks dari perasaan, sikap, dan persepsi bawah sadar
maupun sadar. Konsep diri ini memberi kerangka acuan yang mempengaruhi
manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain. Fitts (1971)
mengungkapkan ada dua dimensi dari konsep diri, yakni:

A. Dimensi internal dari diri

1. Identity self, mungkin menjadi salah satu aspek terdasar dari


konsep diri. Label dan simbol menempel pada diri untuk
mendeskripsikan dirinya dan menemukan identitas dirinya.
pertanyaan “siapakah aku” adalah fitur dari konsep diri.

2. Behavioural self, didapat dari kedua orangtua, situasi rumah, dan


dunia sekitar. Konsekuensi dari perilaku yang dibuat akan
berdampak pada diteruskannya perilaku atau diberhentikan.
Sehingga, behavioural self merujuk pada label yang dia yakini
akibat dari perilakunya terhadap konsekuensi internal (hasil dari
8

pandangan partisipan) dan eksternal (hasil dari pandangan orang


lain terhadap partisipan).

3. Judging Self, salah satu kemampuan manusia adalah untuk


menyadari dirinya sendiri, mengobservasi dirinya sendiri di dalam
sebuah perilaku, dan mengevaluasi dirinya sendiri.

B. Dimensi eksternal dari diri, berarti individu menilai dirinya melalui


hubungan dan aktifitas sosialnya, nilai-nilai yang dianut, serta hal-hal lain
yang berasal dari dunia di luar diri. Dibagi menjadi lima bagian:

1. Physical self, menyangkut persepsi seorang individu terhadap


keadaan dirinya secara fisik (kesehatan diri, penampilan diri, dan
keadaan tubuhnya)

2. Moral-ethical self, persepsi orang terhadap dirinya sendiri yang


dilihat dari standart pertimbangan nilai moral dan etika (kupasan
seorang individu akan hidup beragama, nilai moral budaya yang
dipegang individu)

3. Personal self, sejauhmana seorang individu merasa puas terhadap


pribadi dan banyaknya orang yang merasakan diri seorang individu
tersebut sudah tepat.

4. Social self, penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan


orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Secara umum, Surbaryana (2015) mengatakan bahwa konsep diri ini dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep
diri yang positif dapat disamakan dengan evaluasi diri yang positif, penghargaan diri
yang positif, sedangkan konsep diri yang negatif disamakan dengan evaluasi diri yang
negatif, membenci diri, perasaan rendah diri dan tiadanya perasaan yang menghargai
pribadi dan penerimaan diri. Kualitas-kualitas persepsi terhadap dirinya yang ada
9

hubungannya dengan orang lain dan lingkungannya memiliki valensi positif atau
negatif sebagaimana mereka dipersepsikan hidup pada masa lalu, sekarang, dan yang
akan datang.

Brooks dan Emmert (1977) menyebutkan bahwa ciri-ciri orang yang memiliki
konsep diri negatif, antara lain: Peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian,
meskipun mungkin ia berpura-pura menghindarinya, hiperkritis terhadap orang lain,
merasa tidak disenangi oleh orang lain, sehingga sulit menciptakan kehangatan dan
keakraban dengan orang lain, dan pesimis terhadap kompetisi. Ciri-ciri orang yang
memiliki konsep diri positif, antara lain: yakin akan kemampuannya untuk mengatasi
suatu masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian dengan tanpa rasa
malu, menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan, dan
perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, dan mampu memperbaiki
diri, karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak
disenanginya dan berusaha untuk mengubahnya

Melihat ciri-ciri di atas, ternyata hubungan dengan orang lain dan aktualisasi
diri menjadi salah satu ciri utama yang seringkali muncul. Didukung pula oleh
pendapat Jourard (dalam Fitts, 1971) mengatakan bahwa konsep diri selalu
berdampak utama pada hal terpenting dalam komunikasi interpersonal, yang
seringkali disebut dengan pengungkapan diri di hadapan publik. Setiap orang
diharapkan harus bisa mengungkapkan dirinya kepada orang lain dengan
berlandaskan konsep diri yang sudah ada, sering diartikan sebagai self disclosure
(Gainau, 2009). Selain itu, pendapat Purwanti (2000) menyebutkan bahwa konsep
diri dapat berdampak pada proses pengembangan diri sesuai dengan harapan dan
pencapaian aktualisasi diri untuk menjadi manusia yang utuh, sehingga seorang
individu dapat menjadi manusia yang sesuai dengan diri positif yang
dipersepsikannya.

Dari sini kita dapat melihat bahwa komunikasi interpersonal seorang remaja
dalam pembentukan konsep diri sangat dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman
10

yang pernah terjadi pada dirinya dan berpengaruh bagi tahap perkembangan
selanjutnya yang kemudian digabungkan untuk menjadi sebuah penilaian pribadi
sebagai pengungkapan diri maupun aktualisasi diri. Didukung juga oleh pendapat dari
Combs dan Snygg (dalam Fitts, 1971) yang menyatakan bahwa tidak ada pengalaman
lain dalam pengembangan konsep diri anak itu yang cukup penting atau memiliki
dampak yang jauh seperti pengalamannya yang paling awal di masa anak-anak,
keluarga adalah yang mengenalkan anak ke kehidupan, yang memberinya definisi diri
paling awal dan paling permanen. Inilah, pertama kali seorang individu menemukan
konsep dasar diri yang akan membimbing perilakunya selama sisa hidupnya, serta
pengalaman lingkungan yang dianggap penting menjadi sebuah kronologi dasar
untuk individu bersikap terhadap dunia pada perkembangan selanjutnya, sehingga
dari pernyataan ini peneliti mencoba menarik peristiwa non-normative life event,
yakni pengalaman broken home sejak masa kanak yang dipaparkan oleh kedua
orangtuanya, dan paparan pelecehan seksual yang dialami oleh partisipan akan
membentuk pemaknaan diri yang berdampak pada konsep diri yang dimunculkan
oleh partisipan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan rumusan


permasalahan dalam penelitian ini yaitu “bagaimana konsep diri individu yang
mengalami broken home dan menjadi korban pelecehan seksual, faktor apa saja yang
mempengaruhi dan efek dari pengalaman tersebut”

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri
partispan secara mendalam akibat dari nonnormative life event, serta faktor apa saja
yang mempengaruhi, dan efeknya
11

METODE PENELITIAN

Partisipan

Partisipan (P) berjumlah satu orang, dipilih secara purposive dengan strategi
typical sampling. Kriteria partisipan dalam penelitian ini yaitu: berusia remaja,
mengalami broken home sejak masa kanak, dan mengalami pelecehan seksual pada
masa kanak.

Metode

Penelitian yang dilakukan, menggunakan pendekatan kualitatif. Design penelitian


kualitatif yang digunakan adalah design fenomenologis. Peneliti fenomenologis
mencoba mencari makna atas pengalaman yang dialami oleh partisipan.

Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini, adalah dengan
wawancara mendalam dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan sebanyak lima
kali, dengan pendekatan intensif terdahulu selama tiga bulan.

Analisis data

Analisis data yang dilakukan dengan proses analisis yang dikemukakan oleh
Stevick, Collaizi, dan Keen (dalam Hasbiansyah, 2005): mendeskripsikan penuh
fenomena yang dialami partisipan, menginterventarisasi pernyataan penting yang
relevan dengan topik, mengklasifikasikan pernyataan ke dalam unit makna,
membangun deksripsi menyeluruh mengenai makna dan esensi pengalaman
partisipan. Cara pengujian kredibilitas data terhadap hasil, dilakukan dengan cara
peningkatan ketekunan dalam penelitian dan member check.
12

Deskripsi Partisipan

P bernama Vergilia (nama samaran), lahir di Salatiga pada tanggal 1


Desember 1999, sehingga saat ini menginjak usia 18 tahun. P memiliki dua saudara
kandung, kakak yang pertama berjenis kelamin wanita, dan sudah menikah,
sedangkan kakak yang kedua berjenis kelamin laki-laki, dan bekerja di luar kota. P
saat ini tinggal bersama dengan kedua orangtua. Kondisi broken home yang dialami
sejak masa anak-anak dideskripsikan dalam bentuk: keributan yang sering terjadi
antara kedua orangtua sehingga membuat P tidak nyaman, paparan kekerasan fisik
dan verbal yang dialami P oleh kedua orangtua, dan kondisi tertekan yang dialami P
ketika di rumah. Pelecehan seksual yang dialami P sejak usia 4 tahun oleh kakak
kandung, di dsekripsikan dalam bentuk: dokumentasi dalam bentuk foto dan video
kemaluan P saat buang air kecil oleh kakak kandung, eksploitasi seksual oleh kakak
kandung, pemegangan alat kelamin dan payudara oleh kakak kandung, permintaan
foto tanpa busana oleh pacar saat SMA.
13

HASIL PENELITIAN

Hasil

Untuk menyajikan hasil penelitian ini, peneliti mencoba menganalisis hasil


wawancara dari P, sehingga muncul beberapa tema besar dalam analisis tersebut yang
berhubungan dengan judul penelitian ini. Ada dua tema besar yang dapat ditarik dari
hasil wawancara mendalam. Pertama, mengenai „konsep diri internal‟ yang
berhubungan dengan bagaimana P menilai dirinya sendiri berdasarkan hasil evaluasi
diri mengenai pribadi yang dipikirkannya. Kedua, mengenai „konsep diri eksternal’
yang berhubungan dengan penilaian individu terhadap dirinya melalui hubungan dan
aktifitas sosialnya, nilai-nilai yang dianut, serta hal-hal lain yang berasal dari dunia di
luar diri.

Konsep diri internal: Kecemasan

P menceritakan bahwa waktu sebelum kelas 4 SD, diriya periang, bawel,


suka bercanda, easy going, pemberani, cerdas, kritis, dan rajin seperti yang
diceritakan P pada:

“sebenarnya aku itu orangnya bawel, suka bercanda, easy going, senang pergi-pergi,
suka bergaul, suka menyanyi, suka kesana dan kemari gitu kak”

“aku waktu kecil itu orangnya periang, aku itu orangnya ga takut gitu kak jadi
pemberani banget, mau kemana aja sama siapa aja ngapain aja…”

“,.. jadi aku tuh di bilang sama mama, dibilang sama papa, diantara aku sama
kakakku itu yang paling cepat nangkap sesuatu itu aku, katanya yang paling
cerdas..”

Perkembangan P setelah beranjak kelas 4 SD dan seterusnya hingga kuliah


tahun pertama, dalam bagian perilaku terjadi perbedaan yang signifikan yaitu suka
14

menyendiri, menutup diri, tidak percaya diri, tidak berani berbicara, yang
dibuktikan lewat perkataan P:

“..aku sudah jadi orang yang sama sekali ga percaya diri, kerasa banget aku
orang yang minderan, orang yang ga berani ngomong, ga berani speak up, ga berani
apa ya? Ya pokoknya lebih baik aku sendiri gitu waktu aku SMA..”

“..Jadi ketika aku SMA itu lebih kaya suka untuk menyendiri gitu kak, lebih comfort
ketika aku menyendiri dibandingkan aku berada di lingkungan yang ramai..”

“..sekarang itu terlebih aku menjaga jarak gitu kak, kaya lebih menutup diri..”

Dalam bagian kognitif terjadi beberapa perubahan, yaitu sulit konsentrasi, sensitif,
dan merasa tidak bisa apa-apa, yang dibuktikan lewat perkataan P:

“Mulai kelas 4 akhir itu udah kaya ga konsen gitu loh..”

“..tapi aku mulai kerasa itu mulai kelas 4 itu kak naik kelas 5 itu, udah ngerasa ga
konsen..”

“..tapi aku mulai SMA itu udah gak bisa kak, denger orang atau temen ngomong apa
aja yang waktu itu sakit-sakitan aja sudah sakit hati..”

“..kalau ditanya kelebihan aku malah merasa insecure, aku malah merasa tidak bisa
apa-apa kak..”

Perubahan yang terjadi dalam bagian afektif, yaitu sering merasakan kecemasan,
ketakutan dan kekhawatiran, yang dibuktikan lewat pernyataan P:

“..aku mau ngomong saja takut kaya sok-sok an gimana gitu loh kak”

“..ketika aku mau mengeksplor diri aku itu masih takut, dan cemas karena
hal itu sih kak, jadi aku takut kalau melakukan sesuatu itu dianggap orang lain tidak
sesuai, dianggap orang lain bodoh, dianggap orang lain aneh..”
15

“..yaitu aku takut tidak di anggap dan takut tidak benar, dan apalah pokoknya cuma
ketakutan dan kekhawatiran yang aku pikirin kalau ketemu orang lain”

Sejak kecil, P seringkali mengalami kekerasan secara fisik maupun verbal


oleh kedua orangtua. Selain itu, P juga merasakan penolakan dari orangtua, perasaan
tertekan, dan kurangnya dukungan dari keluarga terhadap perkembangan P. Hal ini
dibuktikan lewat perkataan P, yaitu:

“mama sering bilang kalau aku itu engga di anggap sama mereka, karena mama
cerita dulu itu mama kaya ekonominya rendah, berkurang sekali, tapi mama itu tidak
mau punya anak lagi, tapi malah kebobolan gitu kak, padahal mama sudah KB kak
tapi masih lahirlah aku dan mama itu marah, mau sempat gugurin tapi gabisa kak,
dan itu diceritakan sering sekali, mungkin juga dari situ secara tidak langsung juga
ada penolakan dulu dari orangtua “

“..terus pulang-pulang itu disidang gitu kaya dimarahin di kata-katain kasar gitu..”

”nilai aku bagus gitu terus aku kasih kan kak ke mama karena senang gitu, terus
malah ditanyanya “kamu nyontek ya?” jadi tidak percaya kalau itu kemampuan aku
sendiri..”

“..kak jadi kalau belajar itu tertekan jadi yang ada di pikiran aku hanya cepat-cepat
besok ketemu teman dan tidak di rumah, makanya mungkin itu yang buat aku jadi
tidak bisa konsentrasi kak..”

“..setiap olahraga itu keliatan ada bekas-bekas aku habis dicubitin atau apalah,
minimal ad bekas biru-biru itu, terus habis itu kalau aku tidak salah ingat juga kan
kak, dulu waktu SD itu aku pernah dipukul kepalaku sama mama sampai aku ngerasa
kaya puyeng..”

“..aku inget itu waktu itu diseret, aku masih inget pake sweater apa, bahkan
rambutku kaya gimana, mukaku gimana aku masih inget kak, aku diseret ke kamar
mandi terus di guyur pake air dingin..”
16

“..ke tempat eyangku, pasti selalu dimarahin gitu kak, jadi kaya pulang-pulang itu
dihajar, aku pernah pas pulang-pulang itu ketakutan dan pas pergi juga kak..”

Selain pengalaman dari kedua orangtua, ternyata pada saat kelas 4 SD, P pernah
mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh kakaknya yang kedua, dinyatakan
P dalam:

“..terus kakak aku ini awal-awalnya kalau misal aku lagi mau pipis gitu kak, dia
buka kamar mandi terus fotoin pas aku lagi pipis,”itu” aku difotoin itu kak pake hp
nya dia terus di videoin.”

“.diem-diem saat aku lagi tidur dia pegang-pegang pantat sampai kemaluan aku”

“..aku mau tanya pelajaran gitu, tapi kata dia “iya sek, tapi aku pegang itumu dulu”,
terus aku bingung pegang apa maksudnya terus dia megang payudara aku diremas-
remas gitu sama dia, aku diam saja karena supaya diajarin kak pikiran aku waktu itu
ya itu karena takut papa marah juga kalau aku ga belajar kak..”

,”.. jadi aku naik motor di depan itu dia ajarin sambil pegang-pegang kemaluanku
dan remas-remas payudaraku kak kaya gitu..”

“..dia sering banget kasih liat film porno gitu kak ke aku, nontonin ke aku..”

“..aku diajak ke kamarnya katanya “ke kamar yo, tak liatin nonton doraemon” terus
aku kan ikut ke kamarnya, tapi kok jendela semua di tutup, terus pintu kamar dikunci
rapat, ternyata sampai di dalam dia kasih liat film porno lagi, pertama dia udah
pegang payudara aku kan kak diremas-remas gitu, terus pas dia mau pegang “itu”
aku dan buka celana aku, terus kaya aku bilang “engga-engga mau, aku malu”, terus
kata kakak aku “engga gausah malu, itu liat mbaknya aja ga malu” sambil masih
liatin film porno gitu, terus aku langsung pergi, langsung cepat-cepat lari aku
langsung ketakutan..”
17

Bukan hanya oleh kakak kandung P, ternyata pada saat SMA, P pernah mengalami
pelecehan seksual juga yang dilakukan oleh pacarnya waktu itu, dikatakan P pada:

“..dia itu lama-lama kok suruh aku foto telanjang dikirim ke dia, terus kak dan ga
cuma sekali, tapi aku tetap engga mau..”

“..dia sering kalau telepon ngajakin ngomong hal-hal begitu kak, sampai aku itu
udah jijik gitu kak kaya aku itu sudah nunjukkin ke dia kalau aku itu engga suka..”

Dalam perkembangannya, P mengatakan bahwa dimana satu sisi ingin maju, tetapi
sisi lain kecemasan menyelimuti pikiran sehingga membuat P sulit untuk maju, hal
ini dikatakan dalam:

“Iya jujur aja kak, aku kan jadi tidak bisa berkembang, ketika mau belajar
untuk percaya diri, mau unjuk gigi, mau aktif gitu kak tapi selalu teringat sama masa
lalu, jadi aku kaya takut dan cemas sendiri kak, aku kalau mau mencoba selalu
keringat dingin, selalu berpikiran buruk, mood langsung berantakan karena
mengingat masa lalu kak, jadi serba salah”

“..pokoknya apapun yang aku lakukan selalu mengingatkanku akan masa


lalu,contohnya aku merasa diriku bodoh, tidak berdaya, taku, ragu itu karena pikiran
orang-orang yang menghinaku. Aku merasa diriku tidak berharga, khawatir, dan
tidak punya kelebihna karena merasa bahwa aku sering dilecehkan orang lain, ”

Dengan keadaan yang P rasakan saat ini, P mengakui bahwa tetap memiliki harapan
mengenai masa depan yang indah dan perencanaan yang teratur dari usaha P,
terutama dalam membangun keluarga dan menjalankan peran dengan baik saat
menjadi orangtua, hal ini dikatakan P dalam:

“..aku tidak mau masa depanku seperti apa yang aku rasakan di masa lalu, biarlah
itu menjadikanku orang yang hebat dan masa depan yang cerah kak..”
18

“..aku memiliki lembar baru ketika sudah berkeluarga kak, aku mau berusaha
sekuat tenaga untuk menjalin hubungan yang sehat dan tidak merugikan satu sama
lain, saling menopang dan menjadi keluarga ceria..”

Konsep diri eksternal: Self-derogation, menarik diri, curiga dan pertemanan


lawan jenis

Saat SMA, P beranggapan bahwa secara fisik dirinya tidak cantik


padahal orang lain menganggap bahwa P itu cantik, tetapi P memiliki pikiran bahwa
jika ada orang lain yang mengatakan P cantik, maka dianggap ada maunya dan tidak
benar-benar tulus mengatakan hal tersebut, hingga merasa kesal dan benci sesaat
pada orang tersebut. P mengatakan juga bahwa dirinya tidak percaya diri atas apa
yang dilihat orang lain, ditunjukkan lewat perilaku berganti pakaian hingga sepuluh
kali dan memilih pakaian secara detail di setiap kondisi yang dianggap tidak penting,
seperti pemilihan pakaian yang bagus saat mau tidur. Selain itu, perasaan kesal
terhadap diri yang dianggap tidak cantik, ditunjukkan lewat pertanyaan negatif yang
dilontarkan ke orang terdekat sebelum P pergi, seperti yang dikatakan P:

“..kalau mau pergi kemana-mana gitu kak aku bisa ganti baju terus bahkan sampai
10 kali ada itu kak buat ganti baju sampai yang benar-benar pas, tapi ya itu kak
belum merasa pas terus jadi memang tidak pernah pas, pakai ini jelek, pakai itu jelek
juga. Kalau mau keluar rumah itu aku pasti tanya ke orang sekitar dulu kak “aku
jelek ya?” aku tidak pernah tanya “bagus ya?” kaya gitu kak, tapi lebih kaya jelek
ya?..”

“..Tiap ada orang yang bilang ke aku, kalau aku cantik kaya gitu-gitu aku
menganggap bahwa orang itu ada maunya ke aku, bukan tulus benar-benar bilang
aku itu cantik”

“..jadi secara tidak langsung aku merasa bahwa aku tidak cantik, kesal dan benci
sesaat sama orang itu”
19

Perasaan kesal terhadap fisik yang dimiliki karena merasa tidak cantik,
seringkali berujung untuk menyakiti diri sendiri, seperti menampar muka,
menjambak rambut, dan menganggap dirinya seperti monster, seperti yang
dikatakannya dalam:

“pernah kak, jadi kaya jatuhnya pernah sih kak aku kaya lihat ke cermin untuk
namparin muka, jambak rambut, kaya merasa kesal sendiri, menganggap seperti
monster”

Di luar dari penilaian P terhadap fisik, penilaian P terhadap komunikasinya


dengan orang lain memperlihatkan perubahan yang signifikan terjadi ketika sejak SD
hingga perkuliahan. Sejak SD, P seringkali berkomunikasi dengan berbagai kalangan
usia dan suku bangsa, seperti yang diceritakan P bahwa sewaktu SD, P seringkali
berbicara dengan teman-teman pertukaran gereja dari luar negeri yang pada saat itu
tinggal satu rumah, walaupun tidak memiliki kemampuan bahasa inggris yang tinggi,
tetapi P merasa komunikasi berjalan dengan lancar, seperti yang dikatakan P:

“..banyak bule di rumah aku, itu aku kan gabisa bahasa inggris kak, tapi aku
ngobrol sama mereka gitu, dekat sama mereka, dan siapapun yang menginap di
rumah pasti aku dekat sama mereka..”

Saat SMP, komunikasi P dengan teman sejawat tergolong masih baik, karena
banyaknya teman yang dimiliki P dan sifat bawaan P yang menyukai sosialisasi.
Golongan teman yang dipilih P adalah yang merokok dan suka minum-minuman
keras, sehingga seringkali P dikatakan nakal oleh orangtua karena kualitas pergaulan
teman dan jam pulang sore yang hampir setiap hari P lalui. P merasa jika berteman
dengan perokok atau teman yang suka minum minuman keras akan lebih diterima dan
merasa senasib karena sama-sama dianggap nakal oleh lingkungan. Ketika masuk
SMA, P sudah mulai untuk menarik diri, walaupun teman tetap banyak tetapi lebih
memilih untuk sendiri. P memilih untuk berteman dengan laki-laki, karena P
merasa jika berteman dengan laki-laki, dirasa dapat melindungi, dianggap
seperti adik, dan suka membela P jika ada teman yang tidak suka dengan P, selain
20

itu juga P mengatakan bahwa kurangnya sosok ayah dalam hidup menjadi salah satu
penyebab dari hal ini, seperti yang dikatakan P bahwa:

“..aku banyak teman gak cowo gak cewe tapi kebanyakan cowo, bukan berarti
gimana-gimana ya kak, tapi cowo-cowo itu lebih melindungi aku, nganggap kaya aku
itu adik mereka jadi mereka tuh kalau aku di apa-apain itu mereka gak terima”

“..fatherless mungkin kak, kaya aku itu kurang sosok ayah dalam hidup aku itu, jadi
waktu aku SMP itu aku kaya suka di deketin sama cowo, di sisi lain aku kaya nyakitin
mereka, tapi di sisi lain juga aku suka kalau di deketin sama cowo dan diperhatiin
sama cowo itu aku suka..”

dibalik konsep pertemanan P, ternyata pemilihan pasangan telah dilakukan P


sejak kelas 5 SD. P merasa sejak kelas 5 SD, dirinya sudah tertarik dengan lawan
jenis, dibalik sisi ketertarikan itu ternyata ada rasa ingin menyakiti, tetapi perasaan
ingin menyakiti ini tidak teralu nampak ketika memasuki usia remaja, walaupun
perasaan curiga seringkali menyelimuti P terhadap pasangannya yang dikarenakan
pengalaman pelecehan seksual yang dialami P. P seringkali merasa curiga bahwa
pasangan P akan melakukan pelecehan seksual juga terhadap P, kemudian curiga
mengatakan apapun tentang diri P kepada teman-temannya. Kecurigaan ini tetap
dirasakan P walaupun P sudah merasa bahwa pacaranya adalah satu-satunya orang
yang mengerti kondisi P dan membuat P bisa menjadi diri apa adanya. Hal ini
dikatakan P pada pernyataan:

“..kelas 5 awal itu ngerasa kaya geli sendiri karena aku tuh kaya mulai tertarik sama
lawan jenis, kaya mulai suka-sukaan gitu, tapi sukanya itu memang ada rasa
ketertarikan, dilainnya itu tuh paling besar adalah rasa ingin menyakiti..”

“aku merasa kalau pacar aku ini yang bisa menerima saya apa adanya,
pacar aku yang sudah mengerti problemku, dan membuat saya itu sudah percaya diri
kalau misalkan berada di dekat dia, jadi saya kaya jadi diri aku sendiri..”
21

“..aku juga sering curiga sama pacar aku juga, karena pengalaman dilecehin
itu aku jadi takut, jangan-jangan dia baikin aku sekarang karena ada maunya lagi
sama badan aku, jangan-jangan dia juga tidak tulus gitu kak sama aku..”

Dibalik pikiran P, ternyata P dapat percaya diri jika berada di lingkungan


baru, karena P merasa bahwa orang-orang di lingkungan baru tidak mengerti keadaan
P secara sebenarnya. Komunikasi terjalin seperti dibuat-buat karena P tidak menjadi
dirinya sendiri ketika berkomunikasi dengan orang yang sudah dikenal. Perbandingan
dengan dulu adalah P seringkali untuk membuka pembicaraan terhadap orang baru,
namun sekarang lebih menutup diri dan nyaman dengan dunia sendiri daripada
harus berbicara dengan orang lain. P juga merasa lebih bisa menjadi diri sendiri
ketika di kamar, dibandingkan harus bertemu dengan orang lain sekalipun keluarga P.

Pembahasan

Tipe kepribadian extraversion sebenarnya menjadi tipe yang melekat dari diri
individu, yang artinya memiliki kecenderungan untuk percaya diri, dominan, aktif,
lebih cepat berteman, termotivasi untuk perubahan, dan menunjukkan emosi yang
positif (Feist dan Feist, 2010), tetapi pengalaman-pengalaman yang dialami P,
membuat beberapa perubahan dalam diri P yang sudah dipaparkan. Papalia (dalam
Soetjiningsih, 2012) yang mengatakan bahwa dalam perkembangan sosial-emosional
anak-anak akhir, anak menjadi lebih peka terhadap perasaannya sendiri yang didapat
dari situasi sosial dan merespon tekanan emosional dari orang lain, sehingga pada
tahun ini anak mulai menunjukan reaksi dan mengadaptasikan reaksi ini terhadap
perilaku. Reaksi yang diberikan P pada tahap ini adalah hilang konsentrasi di dalam
belajar yang dianggap sebagai dampak dari tekanan yang berakibat takut dan cemas
pada diri P, sehingga arahan pikiran P untuk mengontrol emosi negatif adalah dengan
mengalihkan pikiran untuk bertemu teman di sekolah esok hari, yang menyebabkan
turunnya konsentrasi belajar pada diri P. Hal ini juga didukung oleh pendapat Jaya
(dalam Susanti dan Widuri, 2013) yang menyatakan bahwa penyesuaian diri masa
kanak-kanak terhadap sosio-emosional anak di dalam lingkungan tinggal, dapat
22

berdampak pada penyesuaian diri dan motivasi anak, terutama pada saat usia sekolah,
maka permasalahan dalam motivasi belajar anak sering menjadi sasaran utama yang
terhambat. Kesulitan yang muncul pada tahap ini dapat menghambat tahap
perkembangan selanjutnya, sehingga dukungan dari keluarga dan kesan positif yang
diterima anak pada usia kanak-kanak berperan penting untuk membentuk pribadi
yang positif dan cakap di lingkungannya, namun dalam kehidupan yang dijalani P,
dukungan sosial dari keluarga ada pada taraf rendah dan keluarga menjadi sumber
tekanan.

Anantasari (dalam Anggadewi, 2007) menyatakan bahwa pemaparan


keributan di dalam rumah tangga terhadap anak, dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis anak secara permanen, serta dapat menyebabkan kebimbangan dalam
emosi anak. Kebimbangan emosi anak diantaranya terwujud dalam mimpi buruk
berulang-ulang, kecemasan dan rasa takut terhadap setiap situasi yang berkaitan
dengan permasalahan maupun tidak, agresi tingkat tinggi, perasaan malu dan bersalah
atas diri, perasaan susah berkepanjangan serta penarikan diri. Bukan hanya dampak
tidak langsung dari keributan orangtua yang dilihat anak dan mengganggu emosi
anak, tetapi ucapan-ucapan negatif yang bertujuan secara disengaja ataupun tidak
disengaja untuk menyakiti anak, akan berpengaruh kepadanya di kehidupan saat itu
ataupun di kehidupan mendatang. Kekerasan verbal terhadap anak akan
menumbuhkan sakit hati hingga mereka berpikir seperti yang kerap diucapkan oleh
orangtua atupun lingkungan, meski terkadang dampaknya tidak terjadi secara
langsung namun melalui proses (Choirunnisa dalam Fitriana, 2015). Ucapan-ucapan
bernada menghina dan merendahkan anak, akan direkam dalam pita memori anak.
Semakin lama, maka akan bertambah berat dan membuat anak memiliki konsep diri
yang negatif. Anak dapat kehilangan kepercayaan diri karena secara permanen kata-
kata negatif itu menempel dalam memori dan membatasi gerak anak, bahkan dapat
memicu kemarahannya, merencanakan untuk aksi balas dendam, atau berpengaruh
untuk menyakiti diri sendiri (Irwanto, 2000).
23

Kekerasan fisik yang dialami P juga menjadi penyebab dari konflik-konflik


yang muncul dari dalam diri P, seperti rasa cemas, ketakutan diremehkan, merasa
tidak aman. Hurlock (dalam Adianingsih, 2003) menyatakan bahwa tindak kekerasan
yang dialami oleh anak, dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan anak
terutama dalam perkembangan psikologis anak. Pada proses perkembangannya, anak
seringkali memiliki emosi yang tidak stabil atau terjadi ketidakseimbangan karena
anak mudah terbawa ledakan emosi yang sulit dibimbing atau diarahkan, konflik
yang sering muncul adalah konflik neurotik, seperti perasaan tidak aman, cemas,
takut, dikarenakan bayangan figur otoritas yang membuat P tidak percaya diri dan
bangga akan diri. Ditambah dengan pola asuh otoriter yang dilakukan orangtua
terhadap P, membuat P seperti takut karena gaya membatasi dan menghukum anak
karena diharuskan mengikuti arahan dari orangua tanpa melihat situasi di luar itu.
Yusuf (dalam Hidayati, 2014) menjelaskan bahwa sikap otoriter orang tua akan
berpengaruh pada profil perilaku anak. Perilaku anak yang mendapatkan pengasuhan
otoriter cenderung bersikap mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia,
mudah terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas dan
tidak bersahabat. Peraturan yang kaku dan memberi hukuman membuat anak tumbuh
dengan tidak dapat mengambil keputusan, sikap bermusuhan dan agresif, sehingga
perilaku sensitif, takut, tidak percaya diri, dan senang untuk menyendiri, bisa saja
menjadi salah satu dampak dari pola asuh otoriter orangtua terhadap anak yang
seringkali berupa hukuman-hukuman yang diterima anak.

Dampak dari pemaparan keributan di dalam rumah tangga, perkataan-


perkataan negatif yang P dapatkan, kekerasan fisik, dan pola asuh otoriter dari
orangtua, ternyata lebih dirasakan dampaknya oleh P pada saat memasuki usia
remaja. Erikson (dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa masa remaja adalah
tahap di mana individu mengevaluasi diri mereka secara keseluruhan dari
pengalaman yang terjadi sebelum masa ini, sehingga nantinya individu akan
dihadapkan pada tantangan untuk menemukan siapa mereka, bagaimana mereka, dan
arah yang akan mereka tempuh kelak yang merupakan konsekuensi dari pengalaman
24

masa lalu mereka terhadap respon lingkungan. Jika individu menjajaki peran-peran
secara positif dan sehat, maka identitas yang positif akan dicapai, tetapi sebaliknya
jika mereka menjajaki peran-peran secara negatif dan mendapat pemaparan
lingkungan yang negatif, maka kebingungan identitas akan dirasakan individu, yang
seringkali diwujudnyatakan dalam penarikan diri dan tidak percaya pada lingkungan,
yang akan berkelanjutan pada tahap berikutnya untuk masuk ke dalam masa
terisolasi. Maka dari itu, dampak dari pengalaman-pengalaman P terasa pada saat
memasuki masa SMA, dikarenakan pemikiran yang semakin objektif terhadap
pengalaman dan mulai mengevaluasi identitas seperti apa yang akan dijalani oleh P
lewat pemaparan pengalaman-pengalaman negatif yang diwujudkan lewat penarikan
diri, tidak percaya diri, memilih untuk mengasingkan diri, dan sensitif.

Selain dari sumber permasalahan dari keluarga, ternyata dampak pelecehan


seksual juga membuat P menjadi pribadi yang tumbuh dalam kecemasan dan curiga.
Taylor (2009) mengatakan bahwa akibat yang ditimbulkan pada kondisi psikologis
anak korban pelecehan seksual akan berdampak lama, dampak akan terasa pada usia
remaja dalam bentuk ketakutan dan kecemasan yang berkaitan dengan pasangan
karena dikaitkan dengan peristiwa pelecehan, ketidakpuasan hubungan dengan lawan
jenis, menarik diri dari lingkungan, tidak berani untuk menunjukkan diri kepada
lingkungan sekitar karena merasa ada ketidak pantasan yang tidak jelas dari diri P.
Pernyataan ini dapat menjelaskan bahwa sifat kecurigaan terhadap pasangan P, akan
terbawa karena pengalaman pelecehan seksual yang dialami oleh P, bukan hanya
kepada pasangan tetapi kemungkinan penarikan diri dari lingkungan, dan sifat minder
yang dimiliki P, bisa saja diakibatkan oleh pelecehan seksual yang dialami P, namun
tidak secara sadar terlihat memiliki konsekuensi terhadap kualitas hubungan sosial.

Dari hal yang sudah dipaparkan, kita melihat bahwa paparan kekerasan fisik
dan verbal yang dialami P oleh kedua orangtua akibat pola asuh otoriter, pelecehan
seksual yang dialami P di dalam lingkungan keluarga, dan kurangnya dukungan dari
keluarga terhadap perkembangan P dapat dianggap sebagai pengalaman negatif masa
lalu yang dibawa hingga saat ini yang mengakibatkan „kecemasan‟ dalam diri P.
25

Menurut Annisa (2016) kecemasan adalah kondisi emosi dengan timbulnya rasa tidak
nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar-samar disertai
dengan perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu
hal yang belum jelas. Stuart (2006) mengelompokkan kecemasan (anxiety) dalam
respon perilaku, kognitif, dan afektif, diantaranya:

1. Perilaku: gelisah, ketegangan fisik, menarik diri dari hubungan


interpersonal, menghindari situasi ramai, sangat waspada, dan melarikan
diri dari masalah
2. Kognitif: perhatian dan konsentrasi terganggu, sangat waspada, takut
tanpa alasan yang tidak jelas, produktivitas menurun
3. Afektif: ketakutan, gelisah tidak menentu, waspada, kekhawatiran,
kecemasan, rasa bersalah, rasa tidak berdaya, dan malu.

Beberapa pengelompokkan kecemasan dalam respon perilaku, kognitif, dan


afektif P ternyata dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya pengalaman
negatif masa lalu, dan generalisasi yang tidak tepat. Pengalaman negatif masa lalu
berarti timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat terulang
kembali di masa mendatang, dan menimbulkan ketidaknyamanan, sedangkan
generalisasi yang tidak tepat berarti generalisasi yang berlebihan pada setiap
permasalahan masa lalu yang terbawa pada masa sekarang (Adler dan Rodman dalam
Risnawita, 2014).

Dampak yang juga dirasakan karena generalisasi berlebih saat ini dikarenakan
oleh pengalaman masa lalu, adalah pada pengembangan diri individu. Abidin (2007)
menyatakan bahwa kecemasan menjadikan manusia untuk dihadapkan pada berbagai
kemungkinan. Manusia seringkali tidak mengetahui bahwa kecemasan adalah salah
satu hal yang menghancurkan perkembangan manusia di setiap periode
perkembangan, sehingga jika seseorang berdiam di dalam sisi kecemasannya maka
stagnation akan dirasakan oleh individu, individu akan merasa bimbang, terus terjun
dalam prasangka buruk, tidak dapat maju dalam setiap tahap perkembangan, tetapi
26

jika individu dapat mengelola kecemasan sebagai sebuah tantangan, maka proses
improvement dalam diri atau disebut sebagi aktualisasi diri dalam pembahasan ini,
dapat menjadikan P menjadi individu yang terus berkembang di setiap tahap
perkembangannya.

Bukan hanya terhadap pengembangan diri individu, tetapi dampak-dampak


lainnya juga terasa pada komunikasi interpersonal P pada saat remaja yaitu
keterampilan komunikasi. Keterampilan komunikasi sangatlah penting bagi setiap
individu, karena jika individu memiliki keterampilan yang cukup baik, maka individu
tersebut dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sedangkan individu yang
tidak memiliki keterampilan yang cukup baik untuk berkomunikasi dengan orang lain
(tidak percaya diri, menjauhi komunikasi, menjadi pribadi yang dibuat-buat, dan
ragu-ragu), maka penyesuaian diri terhadap lingkungan pun akan terhambat (Devito,
1997). Dari keterampilan komunikasi, terlihat bahwa P memiliki tingkat keterampilan
yang rendah, hal ini dibuktikan dengan selalu menyembunyikan sesuatu di dalam diri
dan tidak terbuka di dalam komunikasinya dengan orang lain karena image buruk
yang ada dipikiran P, seperti takut salah bicara, takut dianggap sok, merasa minder
dengan orang lain.

Ketidaknyamanan psikologis dalam komunikasi, akhirnya membuat P


membuat jarak psikologis antara dirinya dengan lingkungan luar. P sering kali
berdiam jika berada pada lingkungan lama, hal ini dianggap Adler (dalam Feist dan
Feist, 2010) sebagai kecenderungan menarik diri yang tidak bergerak ke arah
manapun, sehingga ancaman dari kegagalan tidak akan dirasakan oleh individu. Pada
kasus ini, P memilih untuk tidak memulai pembicaraan tetapi tetap berusaha untuk
menjaga kualitas komunikasi dengan memberi batasan diri dalam komunikasi karena
ketakutan dan kecemasan P terhadap hasil dari komunikasi itu. Dengan berbuat
seperti ini, maka P berusaha melindungi harga dirinya dan melindungi diri dari
kegagalan komunikasi yang dibayangkan oleh P.
27

Selain keterampilan komunikasi, kualitas pertemanan menjadi hal yang patut


mendapat sorotan penting pada masa remaja. Fauziah (2014) yang menyatakan
bahwa pada masa remaja, setiap individu membutuhkan pemberi informasi baik
secara verbal maupun non verbal, pemberian bantuan tingkah laku atau materi yang
didapat dari hubungan sosial yang akrab, yang dapat membuat individu merasa
diperhatikan, bernilai, dan dicintai karena merasa sejalan sehingga bertujuan
menguntungkan individu. Hal ini sejalan dengan perkataan P yang megatakan bahwa
pertemanan dengan orang merokok atau mereka yang suka minum-minuman keras
adalah karena perasaan senasib yang dimiliki P karena label yang diberikan oleh
orang-orang sekitar mengenai diri P yang dianggap nakal.

Konsep pertemanan yang dialami P, lebih menitik beratkan kepada


pertemanan lawan jenis. P mengatakan bahwa lebih banyak memilih untuk berteman
dengan lawan jenis dibandingkan dengan sesama jenis yang diakibatkan oleh
kekurangan sosok ayah. Smith (dalam Sundari, 2015) mengatakan bahwa fatherless
adalah ketiadaan peran dan figur seorang ayah dalam kehidupan seorang anak.
Ketiadaan peran penting ayah akan berdampak pada rendahnya harga diri ketika ia
dewasa, perasaan marah, rasa malu karena berbeda dengan anak-anak lain, kesepian,
rendahnya kontrol diri, serta mencari hubungan yang terlalu berlebihan kepada
seorang laki-laki (jika terjadi pada wanita). Hal ini dapat menjadi konsep tambahan
mengenai tidak percaya diri P pada saat masuk SMA karena merasa rendah diri, dan
perasaan malu yang berujung pada penarikan diri. Konsep fatherless ini juga
menyebabkan P seperti merasa dilindungi jika berteman dengan lawan jenis
dibandingkan sesama jenis. Akan tetapi, dari sisi fatherless ini juga dapat menjadi
salah satu hal yang membuat kekurangan dalam kualitas pertemanan P, dimana subek
mengatakan bahwa ketertarikan terhadap lawan jenis, lebih besar didominasi untuk
perasaaan menyakiti, apalagi diketahui bahwa P sering merasa sakit hati kepada
orangtuanya dikarenakan perkataan dan perbuatan kasar yang dilakukan orangtuanya
kepada P. Freud (dalam Feist dan Feist, 2010) mengatakan bahwa mekanisme
pertahanan diri „pengalihan‟ dapat mengarahkan dorongan-dorongan yang tak sesuai
28

pada diri individu pada sejumlah orang atau objek lainnya sehingga dorongan aslinya
terselubung. Seperti yang diketahui bahwa P tidak mungkin untuk membalas dendam
kepada ayahnya atau berperilaku marah kepada ayahnya pada saat itu, maka dari itu P
mulai mencoba untuk menyakiti sosok laki-laki yang dianggap sama seperti ayahnya
(hasil generalisasi dari laki-laki) untuk mengalihkan dorongan-dorongan negatif tidak
sadar yang dirasakan P.

Perasaan negatif bukan hanya diadopsi pada saat berinteraksi dengan


lingkungan, tetapi juga dengan dirinya sendiri. P menganggap bahwa secara fisik
dirinya tidak cantik dan juga memberi reaksi emosi negatif seperti yang sudah
dipaparkan. Gratz (2007) menemukan bahwa inividu yang seringkali berperilaku
negatif terhadap tubuhnya, biasanya terjadi karena peningkatan emosi negatif,
kesulitan dalam mengelola pengalaman, kesadaran, dan ekspresi emosi. Pengalaman-
pengalaman buruk yang menyebabkan emosi negatif bisa saja menjadi salah satu
penyebab dari ketidaksukaan P terhadap diri fisiknya. Ross dan Health (dalam
Mangnall dan Yurkovich, 2008) mengatakan bahwa pengalaman emosional untuk
mengkritik fisik disebut sebagai self-derogation, ada dua karakteristik, yakni rasa
kebencian yang disertai dengan kehendak menghukum yang diarahkan ke luar diri
dan diarahkan untuk menghukum diri. Contoh dari kehendak menghukum yang
diarahkan ke luar diri adalah sikap sinis, membenci, atau mudah menjadi marah,
sedangkan contoh dari kehendak menghukum yang diarahkan ke dalam diri adalah
meragukan diri sendiri, merasa bersalah, dan mengecam diri sendiri. Dari kedua hal
di atas, P menunjukkan kedua karakteristik lewat perasaan curiga terhadap orang lain
yang berlebih sehingga menimbulkan rasa benci terhadap orang yang mengatakan
cantik, dan perasaan mengecam diri sendiri jelek secara berlebihan yang
diwujudnyatakan dalam perilaku, yaitu menampar muka, menjambak rambut, dan
mengecam dirinya seperti monster.

Kemampuan P untuk tetap positif memandang masa depan dan bersikap


realistis terhadap perencanaanya dapat disebut sebagai kemampuan resiliensi.
Jackson dan Watkin (2004) menyatakan bahwa resiliensi adalah faktor yang berperan
29

agar dapat bertahan mengatasi masalah dan mempertahankan optimisme dalam


menghadapi lingkungan yang beresiko, bisa dalam bentuk kesulitan traumatis atau
tekanan hidup. Dalam hal ini, P membuat beberapa perencanaan terhadap masa
depan, dimulai dari pemilihan pasangan, dan keyakinan untuk menjalankan peran
sebagai orangtua yang baik, sehingga harapan P terhadap masa depan masih ada pada
taraf optimis untuk tidak seperti masa lalu dan masa-masa tertekan yang dialami oleh
P.
30

Kesimpulan

Paparan kekerasan fisik dan verbal yang dialami partisipan oleh kedua
orangtua, pelecehan seksual yang dialami partisipan di dalam lingkungan keluarga,
dan kurangnya dukungan dari keluarga terhadap perkembangan partisipan dapat
dianggap sebagai pengalaman negatif masa lalu yang dibawa hingga saat ini yang
mengakibatkan „kecemasan‟ dalam diri partisipan. Kondisi “kecemasan” yang
membayangi partispan membangun konsep diri negatif pada diri partisipan yang
dibuktikan lewat pikiran, perasaan, dan perilaku negatif yang diadopsi oleh
partisipan, seperti sensitivitas yang tinggi, orientasi akan kelemahan diri, rasa
tidak berdaya, tidak menghargai fisik, tidak percaya diri, menarik diri dari
lingkungan luar, dan tidak puas akan diri saat ini. Beberapa dampak sangat
terlihat pada aktualisasi diri individu dan komunikasi interpersonal partisipan
terhadap setiap objek lawan bicara yang terhambat akibat bayang-bayang kecemasan
yang masih terbawa hingga saat ini, tetapi dibalik konsep diri yang negatif, partisipan
terbantu untuk terus berjuang dalam hidup lewat perasaan optimis dan harapan masa
depan yang indah lewat pembelajaran dari pengalaman-pengalaman masa lalu yang
berasal dari dalam diri parisipan.

Saran

1. Melihat partisipan yang masih sangat sedikit, yaitu berjumlah satu orang
karena melihat kondisi dan keadaan partisipan yang bersedia untuk diambil
data, maka dari itu penting untuk penelitian selanjutnya menambahkan jumlah
partisipan agar terlihat keunikan diantara partisipan.
2. Perlu digali lebih lanjut mengenai orientasi masa depan pada partisipan,
karena dalam penelitian ini lebih melihat kondisi saat ini
3. Perlu dilakuan penelitian lebih lanjut mengenai dampak “kecemasan”
terhadap kehidupan partisipan lainnya, karena melihat respon kecemasan yang
berbeda-beda pada setiap individu.
31

Daftar Pustaka
Abidin, Z. (2007). Analisis eksistensial, sebuah pendekatan alternatif untuk psikologi
dan psikiatri. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Adianingsih, T. (2003). Fenomena kekerasan dalam keluarga pada anak. Skripsi.
Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Ahmad, F. H. (2008). Psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia.
Anggadewi, B. E. T. (2007). Studi kasus tentang dampak psikologis anak korban
kekerasan dalam rumah tangga. Skripsi. Fakultas Psikologi. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
Basuki, H. (2009). Konsep diri remaja korban pelecehan seksual dan perkosaan.
Skripsi. Fakultas Psikologi. Depok: Universitas Gunadarma.
Brooks, W. D. & Emmert, P. (1977). Interpersonal communication. Dubuque: Brown
Company Publishers.
CATAHU. (2017). Labirin kekerasan terhadap perempuan: Alarm bagi negara untuk
bertindak cepat. Jakarta.
CATAHU. (2018). Tergerusnya ruang aman perempuan dalam pusaran politik
populisme. Jakarta: Komnas Perempuan.
Desmita. (2009). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
DeVito, J. A. (1997). Komunikasi antar manusia. Jakarta: Professional Books.
Fauziah, N. (2014). Empati, persahabatan, dan kecerdasan adversitas pada anak
SMA. Jurnal Psikologi Undip, 13(1), 78-92
Feist, J & Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian. (Edisi 7). Jakarta: Salemba
humanika.
Fitriana, Y. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku orangtua dalam
melakukan kekerasan verbal. Jurnal Psikologi Undip, 14(1), 81-93.
Fitts, W. H. (1971). The self-concept and self-actualization. Los Angeles: Western
Psychological Service.
Freund, A. M. (2001). Self-regulation of normative and non-normative
developmental Challenges. Journal of Human Development, 44, 264-283.
Gratz, K. L. (2007). Targeting emotion dysregulation in the treatment of self-injury.
Journal of Clinical Psychology: In Session, 63, 1091-1103.
32

Hasbiansyah, O. (2008). Pendekatan fenomenologi. Mediator, 9(1), 163-180.


Herman, J. L. dan Harvey, M. R. (1997). Adult memorise of childhood trauma: A
naturalistic clinical study. Journal of Traumatic Stress, 10 (4), 557-571.
Hidayati, N. I. (2014). Pola asuh otoriter orang tua, kecerdasan emosi, dan
kemandirian anak. Jurnal Psikologi Indonesia, 3(1), 1-8.
Illenia, P., & Handadari, W. (2011). Pemulihan diri pada korban kekerasan seksual.
INSAN, 13(2), 118 – 128.
Irwanto. (2000). Tindak kekerasan terhadap anak. Surabaya: PT. Lutfansa
Mediatama
Jackson, R., & Watkin, C. (2004). The resilience inventory: Seven essential skills for
overcoming life‟s obstacles and determining happiness. Journal Selection
and Development Review, 20(6), 13-17.
Jannah, M. (2015). Tugas-tugas perkembangan. Gender Equality: Internasional
Journal of Child and Gender Studies, 1(2), 87-98.
Kardawati, A., Lestari. S., & Asyanti, S. (2008). Sikap remaja terhadap perilaku seks
bebas; Dipengaruhi oleh orang tua atau teman sebaya?. Indigenous jurnal
ilmiah berkala psikologi, 10(1), 3-18.
Khairuddin. (2008). Sosiologi keluarga. Yogyakarta: Liberty.
Knauer, S. (2002). Recovering from sexual abuse, addicting, and compulsive
behaviors “Numb” survivors. New York: The Haworth Press, Inc.
Mangnall, J., & Yurkovich, E. (2008). A literature review of deliberate self-harm.
Perspectives in Psychiatric Care, 44, 175-184.
Mardiya. (2009). Melemahnya fungsi keluarga dan kenakalan anak remaja kita.
Kulonprogo: Terbit Bintang.
Moody, C. W. (2004). Male child sexual abuse. Journal of Pediatric Health Care, 13,
112-119.
Ningsih, S. Z., & Satiningsih. (2013). Pengalaman hidup seorang remaja putri korban
trafficking dalam bentuk pelecehan dan eksploitasi seksual. Jurnal Psikologi
teori & terapan, 4(1), 56-70.
Noviana, I. (2015). Kekerasan seksual terhadap anak: Dampak dan penanganannya.
Sosio Informa, 1(1), 13-28.
Nurlita. (2014). Interpersonal communication pattern of broken home‟s teen with
their parents in Surabaya to minimize juvenile delinquency. Acedemic
research international, 5(2), 385 – 391
33

Poerwandari, E. K. (2000). Kekerasan terhadap perempuan; Tinajuan psikologi dan


feministik. Bandung: Citra Media.
Potter & Perry. (2005). Kesehatan jiwa edisi 2. Jakarta: EGC.
Pravissi, S. (2005). Penerimaan diri pada perempuan yang melakukan abortus
provocatus criminalis. Skripsi. Fakultas Psikologi. Surabaya: Universitas
Airlangga.
Purwanti, Y. D. (2000). Konsep diri perempuan marginal. Jurnal Psikologi, 1, 48-59.
Rahmadani, A. (2015). Pemaafan dan aspek kognitif dari stres pada mahasiswi
jurusan kebidanan tingkat dua. Jurnal Psikologi Undip, 14(2), 118-128
Retnaningsih, E. (2016). Pengembangan konsep diri siswa broken home melalui
konseling kelompok. Tesis. Pendidikan Islam. Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga.
Risnawita, R. S. (2014). Teori-teori psikologi. Jogjakarta: Ar- Ruzz Media.
Riyandara, G. P. N. (2010). Konsep diri remaja dari keluarga broken home di kota
bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi. Bandung: UPI.
Santrock, J. W. (2003). Life span development (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Remaja. Edisi 11. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2011). Life span development (13th ed.). New York: McGraw-Hill.
Sari, K. R. (2013). Dampak konsep diri pada remaja korban pemerkosaan di
kabupaten temanggung. Skripsi. Fakultas Psikologi. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.
Sarwono, S. W. (2008). Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Sahroji, A. (21 November 2017). Data KPAI terhadap anak dalam 5 tahun terakhir.
https://news.okezone.com/read/2017/11/20/337/1817338/data-kpai-sebut-ada-
26-954-kasus-kekerasan-terhadap-anak-dalam-7-tahun-terakhir
Soetjiningsih, C. H. (2012). Perkembangan anak. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sundari, A. R., & Herdajani, F. (2015). Dampak fatherless terhadap perkembangan
psikologi anak. Jurnal Psikologi Persada Indonesia. 256-271.
Surbayana. (2015). Konsep diri dan prestasi belajar. Jurnal dinamika pendidikan
dasar, 7(2), 21-30.
Suryabrata, S. (2003). Psikologi kepribadian. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
34

Susanti, A & Widuri, E. L. (2013). Penyesuaian diri pada anak sekolah dasar. Jurnal
fakultas psikologi, 1(1), 16-30.
Taylor, S. E. (2009). Psikologi sosial. Edisi ke-duabelas. Jakarta: Kencana
Walgito, B. (2003). Psikologi sosial. Yogyakarta: Andi Offset.
Willis, S. S. (2005). Remaja dan masalahnya. Bandung: Alfabeta.
Willis, S. S. (2009). Konseling keluarga: Family counseling. Bandung: Alfabeta.
Windari, R. (2017). Konsep diri siswa yang berasal dari keluarga broken home.
Artikel Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kediri: Universitas
Nusantara PGRI Kediri.
Zahra, R. P. (2007). Kekerasan seksual pada anak. Jurnal Psikologi Anak, 12(2), 133-
142.

Anda mungkin juga menyukai