Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

EDEMA PARU AKUT, DEEP VEIN


THROMBOSIS

Oleh
dr. Ria Septi Harmia

Pembimbing :
dr. Wayan Giri, Sp.PD

Pendamping :
dr. Putu Purnama Suardjaya

RSUD SUMBAWA BESAR


NTB
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. IKN
Tempat, tanggal lahir : Sumbawa, 01/07/1953
Alamat : Seketeng, Sumbawa
Pekerjaan : Tidak bekerja
No. RM : 048296
Tanggal MRS : 14/04/2020

2. Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan Sesak yang memberat sejak 6 jam SMRS.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Sesak dirasakan tiba-tiba saat bangun tidur dan dirasakan semakin memberat,
sesak disertai dengan keluhan nyeri dada pada bagian tengah, dada terasa berat,
nyeri dada tidak menjalar, berdebar (+), mual (-), muntah (-), pasien juga
mengeluhkan bengkak pada betis kiri sejak 1 hari SMRS, nyeri terutama saat
digerakkan serta rasa kram pada betis.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat Hipertensi (-),
Diabetes (-), Asma (-), Alergi (-), Penyakit jantung (-), Penyakit hati (-), Penyakit
ginjal (-), penyakit paru (-), dirawat di rumah sakit dan operasi (-)

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Belum pernah ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat Asma (-), Riwayat
TBC (-), Hipertensi (-), DM Tipe 2 (-), Asam urat (+), Kolesterol (+), Penyakit
jantung (-), Penyakit hati (-), Alergi (-)

2
6. Riwayat Psikososial
Pasien tidak bekerja sehari-hari hanya beraktivitas di rumah

7. Riwayat Pengobatan
Pasien rutin mengkonsumsi obat Allopurinol dan Simvastatin

8. Riwayat Alergi
Tidak ada

9. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit Berat
Kesadaran : Dellirium
Tekanan Darah : 90/70 mmHg
Nadi :154x/m
Suhu : 36,3oC
Pernapasan : 30 x/m
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-); Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Sekret (-)Telinga: Serumen (-)Mulut : Mukosa bibir lembab,
sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-); Pembesaran tiroid (-), Peningkatan JVP (+)
Thoraks
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea mid clavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I dan II murni reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru
Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Vocal fremitus sama di kedua lapang paru Perkusi : Sonor di kedua

3
lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), Shifting dullness (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen

Ekstremitas
Atas dingin : (+/+) CRT : >2 detik (+/+) Edema : (-/-)
Bawah dingin : (+/+) CRT : >2 detik (+/+) Edema : (-/-)
Status lokalis regio cruris sinistra : pain (+), pale skin (-), paresthesia (-),
pulselessness (+), paralysis (-)
Wells criteria score : 3 (high risk)

10. PAMERIKSAAN PENUNJANG


a. Lab : GDS : 205 mg/dl

TANGGAL PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN


14/04/20 Hemoglobin 14,3 g/dl 12.3-15,3
3
lekosit 7,8 10 /ut 4,0-11,0
Neutrophil 81 % 50-70%
Eosinophil - % 1-3
Basophil - % 0,5-1
Limfosit 14 % 22-44
Monosit 5 % 0-7
6
Eritrosit 4,9 10 /UI 4,1-5,1
INDEKS SEL DARAH MERAH / ERITROSIT
MCV 95 um3 78-100
MCH 30 Pq 23-34
MCHC 31 % 30-36
RDW 12,8 % 11,5-14,5
Hematokrit 46,1 % 35-47
3
Trombosit 47 10 /ul 150 – 450 x 103 ui
MPV - FL 7,5-11fl
FUNGSI GINJAL
Ureum 133 Mg/dl < 65 : < 50 mg/dl

4
Kreatinin 2,9 Mg/dl 0,6-1,2 mg/dl
Natrium darah (Na) 132,76 ION 135-145 mmol/L
Kalium darah (K) 4,25 ION 3,5-5,3 mmol/L
Klorida darah (Cl 99,49 ION 95-105 mmol/L
Kalsium darah (Ca) 0,98 ION 1,1-1,24 mmol/L

b. Ro- Thorax :
tampak gambaran edema paru akut dan efusi pleura bilateral

c. EKG
Sinus takikardia, low voltage

d. Diagnosis
 Edema paru akut
 Deep vein thrombosis
 Syok Cardiogenik
 AKI

11. Penatalaksaan
 O2 NRBM mask 10 lpm
 IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm
 Inj. Ranitidine 50 mg
 Inj. Ondancentron 8 mg
 Inj. Paracetamol 1 gr
 Drip dopamine 200 mg dalam NS 20 cc dosis 5 mcg/KgBB
 Cek GDS, DL, RFT, Elektrolit, BGA
 EKG
 Ro-Thoraks PA
 Pasang DC
 Tanda vital menurun (TD menurun, Spo2 tidak terbaca, akral dingin)

5
 Putuskan intubasi
 Pasang NGT
 Drip NE 4 mg dalam NS 50 cc dosis 0,5 mcg/KgBB

12. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad malam
Ad Functional : Dubia ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam

FOLLOW UP
Hari / Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Rencana Tatalaksana
Tanggal
14/04/20 S : sesak, mual (+), muntah (-), nyeri pada - O2 NRBM
12.30 betis kiri mask 10 lpm
- IVFD Normal
O: ku/ dellirium, Tampak sakit berat saline 20 tpm
Td :90/70 mg N : 154x/menit - Inj. Ranitidine
S : 36,3 RR : 30X/menit 50 mg
K/L : JVP meningkat - Inj.
Pulmo,: SNV +/+, ronkhi +/+, wheezing -/- Ondancentron
cor : s1s2 rguler, Gallop (-), murmur 8 mg
(-) - Inj.
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), Paracetamol 1
shiffting dullness (-), organomegali (-) gr
Ekstremitas: Akral dingin, CRT > 2 detik - Drip dopamine
Status lokalis regio cruris sinistra: pain (+), 200 mg dalam
pale skin (-), paresthesia (-), pulselessness NS 50 cc dosis
(+), paralysis (-) 5 mcg/KgBB
- Cek GDS, DL,
A : Edema paru akut RFT,
Syok cardiogenic elektrolit,

6
DVT BGA
- EKG
- Ro-Thoraks
PA
- Pasang DC

14/ 04/20 S : pasien mengalami penurunan kesadaran  Putuskan


13.40 O: ku/ Sopor, Tampak sakit sedang intubasi
Td :70/53 mg N : 131 x/m  Drip NE 4 mg
S : 36,73 RR: 49 dalam NS 50
Spo2: tidak terbaca cc dosis 0,5
K/L : JVP meningkat mcg/KgBB
Pulmo,: SNV +/+, ronkhi +/+, wheezing -/-  Pasien VT
cor : s1s2 rguler, Gallop (-), murmur monomorfik
(-)  Cardioversi
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan (-), 100 J +
shiffting dullness (-), organomegali (-) amiodarone
Ekstremitas: Akral dingin, CRT > 2 detik 150 mg IV
Status lokalis regio cruris sinistra: pain (+),  Nadi tidak
pale skin (-), paresthesia (-), pulselessness teraba
(+), paralysis (-)  RJP 3 siklus +
EKG: VT monomorfik inj.
Epinephrine 5
A : Edema paru akut, Syok kardiogenik, mg
DVT, Ventrikel takikardia tanpa nadi
 Pasien
dinyatakan
meninggal
dunia 14.30

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Edema Paru Akut

7
2.1.1 Definisi
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan
alveoulus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan
oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik)
yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga
terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan
mengakibatkan hipoksia.(1)

2.1.2 Etiologi
Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya
diklasifikasikan menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-
kardiogenik. Edema paru kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal
jantung kiri kongestif yang akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik di kapiler paru. Dapat juga disebabkan oleh infark miokard
akut, aritmia, dan gangguan katup jantung.(1)
Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikategorikan berdasarkan
kondisi yang mendasarinya. Yang pertama yaitu peningkatan
permeabilitas kapiler paru contohnya tenggelam, kontusio paru,
pneumonia berat, emboli, syok hipovolemik, dan anafilaksis, keadaan
yang kedua yaitu peningkatan tekanan kapiler paru contohnya pemberian
cairan yang berlebih, transfusi darah, dan gagal ginjal, yang ketiga adalah
penurunan tekanan onkotik seperti sindrom nefrotik dan malnutrisi.(1)

2.1.3 Patofisiologi

Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari
cairan dan protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke
sistem aliran darah melalui saluran limf yangn memenuhi hukum Starling
Q = K (Pc-Pt) - d (c-t).(2)
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding
mikrovaskuler lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat
alveoli penuh terisi cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya
pertukaran gas. Faktor-faktor penentu yang berperan disini yaitu
perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler dan
interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air, larutan, dan
molekul besar seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan dari satu
atau lebih dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan terjadinya edema

8
paru.(2)
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru
lebih besar daripada tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju
pleura viseral yang menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler
endotel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi
memiliki kandungan protein rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik ka-
piler paru biasanya disebabkan oleh meningkatnya tekanan di vena
pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg). Dalam keadaan normal
tekanan kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan osmotik koloid
plasma 28 mmHg. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan
yang terus memburuk oleh proses-proses sebagai berikut: (2)
1. Meningkatnya kongesti paru menyebabkan desaturasi dan menurunnya
pasokan oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
2. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan
vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel
kanan yang melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan
semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
3. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk
fungsi jantung. sehingga cairan dan koloid mulai terakumulasi pada
ruang interstisial sekitar bronkioli, arteriol, dan venula.

2.1.4 Manifestasi Klinik dan Penegakan Diagnosis

Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan


adanya sesak napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan
riwayat nyeri dada dan riwayat sakit jantung. Perkembangan edema paru
bisa berangsur-angsur atau tiba-tiba seperti pada kasus edema paru akut.
Selain itu, sputum dalam jumlah banyak, berbusa dan berwarna merah
jambu. Gejala-gejala umum lain yang mungkin ditemukan ialah: mudah
lelah, lebih cepat merasa sesak napas dengan aktivitas yang biasa (dyspnea
on exertion), napas cepat (takipnea), pening, atau kelemahan. Tingkat

9
oksigenasi darah yang rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi pada pasien
dengan edema paru. Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru yang
abnormal, seperti ronki atau crakles.(3)

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan


diagnosis, yaitu: (3,4)

1. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien


dengan CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan
infiltrasi bilateral dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan
hilus yang berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis.
Gambaran lain yang berhubungan dengan penyakit jantung berupa
pembesaran ventrikel kiri sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga
sering dijumpai dan berhubungan dengan gagal jantung kiri.
2. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium
kiri, pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun
infark.
3. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan
fungsi dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.
4. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar
brain natriuretic peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat
membantu menegakkan diagnosis edema paru kardiogenik.
5. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit
selanjutnya PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada
kasus yang berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis
respiratorik.
pw
6. Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P (pulmonary capillary
wedge pressure) melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku
emas untuk pasien edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35
pw
mmHg sedangkan pada pasien ARDS P 0-18 mmHg.
7. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein
cairan edema dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk
membedakan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik. Bahan
pemeriksaan diambil dengan pengisapan cairan edema paru melalui

10
pipa endotrakeal atau bronkoskop dan pengambilan plasma. Pada
edema paru kardiogenik, konsentrasi protein cairan edema relatif
rendah dibanding plasma (rasio <0,6). Pada edema paru non-
kardiogenik konsentrasi protein cairan edema relatif lebih tinggi (rasio
>0,7) karena sawar mikrovaskular ber- kurang.

2.1.4 Penatalaksanaan
Terapi awal yang paling penting adalah pemberian oksigen, jika
perlu dengan ventilasi mekanik. Pemberian ventilasi mekanik
bertujuan tidak hanya untuk mengurangi kerja pernapasan saja, tetapi
juga meningkatkan oksigenasi dengan mencegah kolaps alveoli
memakai positive end- expiratory pressure (PEEP). Peningkatan
oksigenasi menyebabkan cairan keluar ke intersitisial sehingga tidak
mengganggu pertukaran gas.(5)
Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung dengan
peningkatan tekanan mikrovaskular pulmonal, maka dapat dilakukan
terapi untuk perbaikan fungsi jantung.
Perbaikan fungsi jantung dapat dicapai dengan berbagai cara,
oksigen dan digitalis diberikan untuk meningkatkan volume semenit,
pemberian morfin dapat membantu mengurangi preload dan afterload
karena mengurangi ansietas.
Penurunan afterload ventrikel kiri akan memungkinkan
peningkatan fraksi ejeksi tanpa meningkatkan kerja miokardial.
Aminofilin dapat diberikan, karena selain mengurangi afterload, efek
lainnya dapat memperbaiki kontraktilitas dan menyebabkan
bronkodilatasi. Perbaikan kontraktilitas miokardium dadrenergik
dengan obat-obat inotropik seperti dopamin, dobutamin, atau
isoproterenol dengan meningkatkan curah jantung dan menurunkan
tekanan pengisian ventrikel.
Preload juga dapat dikurangi dengan posisi duduk, juga dengan
pemberian ventilasi tekanan positif. Sebagai tambahan, perlu juga
diberikan terapi suportif, seperti merencanakan pemberian cairan
dengan cermat, dengan memberikan sejumlah cairan pengganti

11
dehidrasi, sambil melakukan koreksi asam basa, dan kemudian
memberikan cairan pemeliharaan.
Diuretik diberikan dengan tujuan mengurangi volume plasma dan
pengisian atrium kiri, juga untuk meningkatkan tekanan koloid
osmotik. Mekanisme kerja diuretik dalam mengatasi edema paru
adalah dengan meningkatkan kapasitas vena, dan meningkatkan
eksresi garam dan air sehingga mengurangi pengeluaran cairan dari
mikrovaskular paru.
Pada edema berat, furosemid dapat diberikan secara intravena
dengan dosis 1−2 mg/kgBB. Dosis ini biasanya menghasilkan diuresis
nyata yang menurunkan tekanan mikrovaskular paru dan
meningkatkan konsentrasi protein di dalam plasma. Dua perubahan ini
menghambat filtrasi cairan ke dalam paru dan mempercepat masuknya
air ke dalam mikrosirkulasi paru dari interstisial.
Terapi berkelanjutan dengan furosemid, kadangkala disertai
dengan penggunaan diuretik lain seperti spironolakton dan tiazid,
digunakan untuk membantu mengendalikan edema paru. Pada terapi
jangka panjang dengan diuretik sering terjadi kehilangan sejumlah
besar kalium klorida. Deplesi elektrolit ini biasanya dapat dicegah
dengan menggunakan suplementasi kalium klorida, 3−5 mEq/kgBB
setiap hari.
Jika terdapat hipotensi, zat inotropik seperti dopamin dan
dobutamin juga mempunyai efek terhadap pembuluh darah paru. Jika
terdapat resistensi vaskular yang tinggi, maka dobutamin lebih efektif
karena dapat meningkatkan volume jantung semenit tanpa
meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bahkan menyebabkan
vasodilatasi sistemik.
Pemberian albumin intravena bermanfaat jika edema paru
disebabkan oleh penurunan tekanan koloid osmotik. Untuk mencegah
efek penumpukan cairan sementara akibat albumin, maka
pemberiannya harus lambat dan disertai diuretik. Pada bayi, serta
anak-anak dengan edema paru berat, infus albumin atau plasma

12
biasanya tidak memberikan keuntungan. Pemberian tersebut
cenderung meningkatkan tekanan mikrovaskular paru, sebagai usaha
mengimbangi efek peningkatan tekanan osmotik protein intravaskular.
Selanjutnya, protein yang diberikan dapat bocor ke interstisial paru,
sehingga menambah beratnya edema.
Pada edema paru yang disebabkan oleh perubahan permeabilitas
kapiler, seperti ARDS, maka dapat ditambahkan steroid dan
nonsteroid antiinflammation drugs (NSAID) dosis tinggi. Jika
disebabkan sepsis dan disseminate intravascular coagulation (DIC),
maka dapat diberikan heparin dan dekstran. Pemberian antioksidan
dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus ARDS atau NRDS.(5-6)

2.2 Deep Vein thrombosis


2.2.1 Definisi
Trombosis Vena Dalam (DVT) merupakan penggumpalan darah
yang terjadi di pembuluh balik (vena) sebelah dalam.Terhambatnya aliran
pembuluh balik merupakan penyebab yang sering mengawali TVD.
Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi, atau imobilisasi
lama dari anggota gerak. (7)

2.2.2 Etiologi
Trombosis Vena Dalam (DVT) merupakan penggumpalan darah
yang terjadi di pembuluh balik (vena) sebelah dalam. Terhambatnya aliran
pembuluh balik merupakan penyebab yang sering mengawali DVT.
Penyebabnya dapat berupa penyakit pada jantung, infeksi, atau imobilisasi
lama dari anggota gerak Bekuan darah yang bergerak melewati aliran
darah disebut dengan emboli. Emboli tersebut dapat terjebak di dalam
pembuluh darah otak, paru-paru, jantung atau daerah lainnya yang
mengakibatkan terjadinya hambatan aliran darah vena.(7)

2.2.3 Patofisiologi

Berdasarkan Trias Virchow, terdapat 3 faktor yang berperan


dalam patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu
kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah dan
perubahan daya beku darah.(8)

Trombosis vena adalah suatu deposit intravaskuler yang terdiri dari


fibrin, sel darah merah dan beberapa komponen trombosit dan leukosit.

13
Patogenesis terjadinya trombosis vena adalah sebagai berikut:
1. Stasis vena
2. Kerusakan pembuluh darah
3. Aktivitas faktor pembekuan
Stasis vena terjadi sebagai akibat berubahnya aliran darah atau
adanya
obstruksi yang menganggu aliran darah vena. Hal ini menyebabkan
viskositas darah meningkat dan dapat memicu pertumbuhan thrombus di
pembuluh darah. Kerusakan endotel pembuluh darah dan terjadi akibat
trauma secara intrinsik didalam pembuluh darah itu sendiri maupun
secara eksternal. Sedangkanaktivitas faktor pembekuan yang tidak
seimbang dapat menyebabkan terjadinya hiperkoagulitas darah.

1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis
terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu
yang cukup lama. tasis ini mengakibatkan gangguan mekanisme
pembersihan sehingga menimbulkan akumulasi faktor-faktor pembekuan
yang aktif. Trombosis vena biasanya dimulai di tempat yang mengalami
stasis, misalnya pada daerah antara dinding vena dan katup, yang disebut
valve-pocket thrombi.

2. Kerusakan pembuluh darah


Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel.
Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel
endotel menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin
(PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan trombo-modulin,
yang dapat mencegah terbentuknya trombin. Apabila endotel mengalami
kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar. Kerusakan sel endotel
sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan darah. Keadaan ini
akan menyebabkan system pembekuan darah diaktifkan dan trombosit
akan melekat pada jaringansub endotel terutama serat kolagen, membran
basalis dan mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan
melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan A2 yang akan
merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan
saling melekat. Perlekatan ini disebut disebut agregasi. Trombosit yang
beragregasi ini akan melepaskan lagi ADP dan TxA2 yang akan
merangsang agregasi lebih lanjut. Kerusakan endotel juga akan
mengaktifkan sitem pembuluh darah. Aktifasi sistempembekuan
darah baik melalui jalur intrinsik maupun ekstrinsik akan
menghasilkan trombin. Trombin ini akan mengubah fibrinogen menjadi
fibrin yang akan menstabilkan massa trombosit sehingga terbentuk
trombus

3. Perubahan daya beku darah


Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem
pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya
trombosis, apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas

14
fibrinolisis menurun.Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-
kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada
hiperkoagulasi, defisiensi Antitrombin III, defisiensi protein dan
defisiensi plasminogen.(8)

2.2.4 Manifestasi Klinik

Gejala dan tanda pada DVT berhubungan dengan terjadinya obstruksi


aliran darah balik ke jantung yang menyebabkan darah terkumpul di
lengan atau tungkai. Gejala dan tanda klasik : (9)

1. Nyeri tekan pada tungkai atau betis bila terjadi di tungkai dan di lengan
atau leher jika mengenai ekstrimitas atas.
2. Pembengkakan terlokalisir pada daerah yang terkena disertai pitting
oedema. Untuk DVT distal pembengkakan sampai di bawah lutut dan
DVT proksimal sampai daerah pantat.
3. Perabaan kulit hangat dan kemerahan di sekitar daerah DVT terutama di
bagian belakang dan lutut, terdapat pelebaran vena superfisial dan pada
obstruksi berat kulit tampak sianosis.
4. Kadang DVT tidak memberikan gejala yang nyata, gejala timbul setelah
terjadi komplikasi misalnya terjadi emboli ke paru.

2.2.5 Penegakan Diagnosis

Pasien dengan DVT (Deep Vein Thrombosis) dapat asimptomatik.


Gejala yang sering timbul, antara lain rasa tidak nyaman pada betis atau
paha terutama saat berdiri dan berjalan; edema, eritem, dan rasa nyeri pada
kaki yang terkena. Selain dari gejala dan tanda yang ada pada pasien,
diagnosis DVT juga dapat dinilai dari faktor risiko kemudian dibagi
menjadi rendah, sedang dan berat.(10)

15
Tabel 1. Probability of Deep Venous Thrombosis Based on Clinical
Factors(10)
Pemeriksaaan penunjang yang paling sering digunakan untuk
mendiagnsois DVT adalah pengukuran kadar D-dimer serum, dan venous
compression duplex ultrasonography.
1. D-dimer Testing
D-dimer merupakan hasil degradasi dari cross-linked fibrin, yang
dapat diukur kadarnya dari daraf perifer dan sensitif terhadap adanya DVT
atau emboli paru akut. Meskipun demikian, D-dimer kadarnya dapat juga
meningkat pada beberapa kondisi seperti kanker, trauma, operasi,
inflamasi, infeksi, dan nekrosis sehingga hasil positif tidak bersifat spesifik
terhadap DVT. Selain itu, dari literatur dikatakan bahwa D-dimer tidak
begitu sensitif apabila hanya terdapat trombosis vena di betis, dan juga
hasilnya sering tidak bisa digunakan untuk pasien dengan risiko tinggi
mengalami DVT. Jadi, kadar D-dimer normal dapat digunakan untuk
menyingkirkan diagnosis DVT namun kadar yang meningkat tidak bisa
untuk menegakkan diagnosis dan tetap butuh pemeriksaan lanjutan.(10)
2. Venous Compression Duplex Ultrasonography
Venous compression duplex ultrasonographyadalah teknik non-
invasif yang sering digunakan untuk mendiagnosis DVT. Sensitivitas dan
spesifisitas dalam mendiagnosis proksimal DVT yang simptomatik adalah
97% dan 94%, dan untuk trombosis vena betis yang simptomatik hanya
75%. Instrumen ini dapat melihat apakah vena dapat terkompresi atau
tidak, visualisasi trombus secara langsung, dan aliran darah pada vena.(11)
3. Pletismografi Impedansi
Digunakan untuk mengukur perbedaan volume darah dalam vena.
Manset tekanan darah dipasang pada paha pasien dan dikembungkan

16
secukupnya (sekitar 50 – 60 mmHg) sampai aliran arteri berhenti.
Kemudian gunakan eletroda betis untuk mengukur tahanan elektris yang
terjadi akibat perubahan volume darah dalam vena. Apabila terdapat
trombosis vena dalam, peningkatan volume vena yang normalnya terjadi
akibat terperangkapnya darah dibawah ikatan manset akan lebih rendah
dari yang diharapkan. Hasil false-positif dapat terjadi akibat dari berbagai
factor yang menyebabkan vasokontriksi, peninggian tekanan vena,
penurunan curah jantung atau kompresi eksternal pada vena. False-negatif
dapat terjadi akibat adanya trombosis lama, menimbulkan sirkulasi
kolateral yang adekuat atau dari flebitis superficial.(11)
4. Magnetic Resonance Imaging
Magnetic resonance imaging atau MRI termasuk efektif untuk
mendiagnosa terjadinya DVT terutama di pelvis. Teknik ini tidak invasif
dan memungkinkan untuk melakukan visualisasi yang simultan terhadap
kedua ekstremitas. MRI dapat pula digunakan untuk membedakan DVT
akut dan kronik. Namun, MRI termasuk mahal dan tidak bisa digunakan
pada beberapa kondisi seperti pada penggunaan pacemaker.(11)
5. Venography
Teknik diagnostik yang masih menjadi gold standar sampai sekarang
adalah venografi, baik itu magnetic resonance venography ataupun
contrast venography. Meskipun demikian, teknik ini bersifat invasif sering
jarang digunakan sehari-hari. Venografi diindikasikan bila hasil
pemeriksaan ultrasonografi normal namun terdapat sangkaan secara klinik
yang tinggi. Kebanyakan komplikasi dari tindakan venografi diakibatkan
oleh efek samping dari kontras Iodine. Pasien dengan insufisiensi renal
yang telah ada, diabetes atau dehidrasi mempunyai resiko paling tinggi
untuk terjadinya gagal ginjal yang diinduksi kontras.(11)

2.2.6 Tatalaksana
Secara umum penatalaksanaan penderita trombosis vena dalam meliputi
upaya pencegahan, pengobatan non invasif dan tindakan pembedahan.(12)
1. Pengobatan medikamentosa

17
Pada kasus DVT pemberian terapi medikamentosa sangat
bermanfaat untuk mencegah timbulnya komplikasi dan progresifitas
penyakit. Terapi yang diberikan meliputi pemberian antikoagulan,
trombolitik ataupun fibrinolitik dan anti agregasi trombosit.
Antikoagulan diberikan sebagai terapi utama memiliki dua sasaran,
pertama bertujuan mencegah terjadinya emboli paru, kedua berguna untuk
membatasi area kerusakan dari venanya. Antikoagulan dalam jangka
pendek sebaiknya diberikan pada semua penderita dengan trombosis vena
dalam di tungkai. Pemakaian antikoagulan seperti heparin dalam jangka
pendek yang efektif dan aman harus dipantau dengan pemeriksaan waktu
pembekuan dan pemeriksaan waktu protrombin, pemeriksaan ini dilakukan
tiap hari. Komplikasi perdarahan biasanya tidak akan terjadi bila efektif
antikoagulan cepat tercapai dan dosis dapat segera ditentukan dengan
cepat pula.
Terapi trombolitik adalah pemberian secara intravena suatu bahan
fibrinolitik dengan tujuan agar terjadi lisis pada trombus vena. Pemberian
kinase akan menyebabkan plasminogen berubah menjadi suatu enzim
proteolitik aktif yaitu plasmin yang dapat menghancurkan fibrin menjadi
polipeptida yang dapat larut. Berbagai obat yang tersedia saat ini seperti
Streptokinase, Reteplase, Tenecteplase, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Pilihan terapi ini harus hati-hati terhadap
komplikasi perdarahn otak atau gastrointestinal terutama pada usia lanjut.
Anti agregasi trombosit merupakan salah satu pilihan terapi yang
memiliki hasil terapi efektif dan aman. Karena adesi dan agregasi
trombosit adalah dasar dari pembentukan trombus hemostatik primer
dalam skema koagulasi, maka obat-obatan antitrombosit seperti aspirin
dipakai oleh beberapa ahli untuk menahan perkembangan thrombosis.
2. Tindakan pembedahan
Tindakan bedah dilakukan apabila pada upaya preventif dan
pengobatan medikamentosa tidak berhasil serta adanya bahaya komplikasi.
Ada beberapa pilihan tindakan bedah yang bisa dipertimbangkan antara
lain.(12)

18
a. Ligasi vena, dilakukan untuk mencegah emboli paru. Vena
Femoralis dapat diikat tanpa menyebabkan kegagalan vena
menahun, tetapi tidak meniadakan kemungkinan emboli paru. Ligasi
Vena Cava Inferior secara efektif dapat mencegah terjadinya emboli
paru, tapi gejala stasis hebat dan resiko operasi lebih besar dibanding
dengan pemberian antikoagulan dan trombolitik.
b. Trombektomi, vena yang mengalami thrombosis dilakukan
trombektomi dapat memberikan hasil yang baik jika dilakukan
segera sebelum lewat 3 hari. Tujuan tindakan ini adalah: mengurangi
gejala pasca flebitik, mempertahankan fungsi katup dan mencegah
terjadinya komplikasi seperti ulkus stasis dan emboli paru.
c. Femorofemoral grafts disebut juga cross-over-method dari Palma,
tindakan ini dipilih untuk bypass vena iliaka serta cabangnya yang
mengalami trombosis. Tekniknya vena safena diletakkan subkutan
suprapubik kemudian disambungkan end-to-side dengan vena
femoralis kontralateral.
d. Saphenopopliteal by pass, dilakukan bila rekanalisasi pada trombosis
vena femoralis tidak terjadi. Metoda ini dengan menyambungkan
vena safena secara end-to-side dengan vena poplitea.

2.2.7 Komplikasi
1. Pulmonary embolism
Pulmonary embolism terjadi ketika sepotong bekuan darah dari DVT
lepas dan berjalan melalui aliran darah ke paru-paru dan memblok salah
satu pembuluh darah di paru-paru.
2. Post Trombotic syndrom
Terjadi jika terjadi kerusakan dvt katub vena dalam sehingga
menyebabkan darah yang seharusnya mengalir ke atas , berubah menjadi
mengalir ke bawah menyebabkan rasa sakit dalam jangka waktu lama dan
pembengkakan.

19
3. Limb Iskemia
Hal ini terjadi jika terjadi DVT sangat luas. Karena bekuan darah,
tekanan dalam vena menjadi lebih besar sehingga dpat memblokir aliran
darah melalui arteri. Hal ini menyebabkan lebih sedikit oksigen dibawa ke
kaki dan bisa menjadi bisul kulit, infeksi, hingga gangren (iskemik) .(13)

2.2.8 Prognosis
Tanpa pengobatan DVT pada ekstremitas bawah yang adekuat akan
meningkatan sebesar 3% terjadi pulmonary embolism, kematian dikarenakan
DVT pada ekstremitas atas sangat jarang terjadi. Risiko terjadinya DVT ulang
pada pasien dengan transient risk factor seperti pembedahan, trauma, dan
imobiliasi kecil kemungkinannya, sedangkan pada pasien dengan persistent
risk factor seperti kanker, idiopatic DVT, residual trombus besar
kemungkinannya.(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. Modern management of cardiogenic


pulmonary edema. Emerg Med Clin N Am. 2005;23:1105-25.

2. Harun S, Sally N. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Edisi ke-5).
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009; p. 1651-3.

3. Nendrastuti H, Mohamad S. Edema paru akut, kardiogenik dan non

20
kardiogenik. Majalah Kedokteran Respirasi. 2010;1(3):10.

4. Murray JF. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc


Lung Dis. 2011;15(2):155-160.

5. Soemantri. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu


Penyakit Dalam 2011. FK UNAIR- RSUD Dr. Soetomo, 2011.

6. Harun S. Edema paru akut. In: Sudoyo AW, Markum HMS, Setiati S, Alwi I,
Gani RA, Sumaryono, editors. Naskah lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu
Penyakit Dalam 1998. Jakarta: Bagian IPD FKUI; 1998. p. 97-101. 113-9.

7.Alikhan R, Cohen AT, Combe S, Samama MM, Desjardins L, Eldor A, et al.


Risk factors for venous thromboembolism in hospitalized patients with acute
medical illness: analysis of the MEDENOX Study. Arch Intern Med. May 10
2004;164(9):963-8.

8.Anand SS, Wells PS, Hunt D, et al: Does this patient have deep vein
thrombosis? Journal of the American Medical Association 279 (14):1094–1099,
1998.

9.Andrews KL, Gamble GL, et al. Vascular Diseases. In: Delisa JA, editor.
Physical Medicine & Rehabilitation Principles and Practice, 4th Edition.
Phyladelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 787-806.

10.Denekamp LJ, Folcarelli PH. Penyakit Pembuluh Darah. In: Price SA, Wilson
LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6 ed. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC; 2012. p. 656-83.

11.Patel, Kausal. 2014. Deep venous thrombosis. Diakses dari


http://emedicine.medscape.com/article/1911303-overview#a0156

12.Michiels JJ, Reeder-Boertje SWI, van den Bos RR, Wentel TD, Neumann
HAM. Prospective studies on diagnosis and management of deep vein thrombosis
(dvt) and the post-thrombotic syndrome (pts): filling up the gap part 1: deep-vein
thrombosis (dvt): the rotterdam approach. Available from URL :
http://www.jmed.ro/index.php?articol=37 2

13. carvelis D, Wells P. Diagnosis and treatment of deep-vein thrombosis. CMAJ


2006;175 (9): 1087–92.

21
22

Anda mungkin juga menyukai