Etik Kedokteran
Merupakan etik yang paling tua
Terdapat prinsip-prinsip moral
Azas-azas akhlak yang harus diterapkan dokter pada pasien, teman sejawat, dan
masyarakat pada umumnya.
Hukum Kedokteran
Merupakan hukum kesehatan
Hukum kesehatan adalah sebagai seluruh aturan-aturan hukum di mana hubungan
hubungan kedudukan hukum yang berada di dalam masyarakat langsung berkembang
dengan menentukan situasi kesehatan di dalam masyarakat itu sendiri.
Sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan
doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan(zorg voor de gezondheid).
Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan
kompleks.
Etika Hukum
Barang bukti: tidak selalu bukti fisik Barang bukti: selalu bukti fisik
Kasus-kasus Medikolegal
Over-utilization: terbukanya penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang
berlebihan
Under-treatment
Length stay bagi pasien di rumah sakit
Informed consent
Rekam medik, dll
Dibuat dan disepakati Dibuat dan disepakati Dibuat oleh pemerintah dan
oleh Organisasi Profesi Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
(PDGI) organisasi profesi (KDGI)
dalam hal ini tergabung
dalam Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI)
Sanksi, yaitu teguran, Sanksi, yaitu peringatan Sanksi untuk Perdata; ganti
pencabutan rekomendasi tertulis dan pencabutan rugi, administrasi: teguran/
izin praktik STR pencabutan. Sanksi Pidana;
(sementara/tetap) penjara/kurungan dan
denda
Tolak Ukur
Hukum Pidana
Kelalaian Berat (Culpa Lata)
Bertujuan mengadakan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat terhadap
tindakan atau perbuatan yang bisa menggelisahkan atau membahayakan masyarakat
Sanksi hukuman badan seperti penjara/kurungan serta denda
Hukum Perdata
Kelalaian ringan (culpa levis)
Bertujuan mengadakan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat agar setiap
orang berusaha menjaga agar didalam tindak tanduknya tidak sampai mengakibatkan
kerugian bagi orang lain
Sanksi hukuman berupa penggantian kerugian
MALPRAKTEK
Definisi
Malpraktek adalah kelalaian seorang dokter atau perawat atau bahkan tenaga
kesehatan lainnya untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di
dalam memberikan pelayanan kesehatan seperti pengobatan dan perawatan terhadapp
seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit
atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Menurut Stedman’s Medical Dictionary, Malpraktek adalah salah satu cara mengobati
suatu penyakit atau luka karena disebabkan sikap tindak yang acuh, sembarangan,
berdasarkan motivasi kriminal.
Menurut Coughlin’s Dictionary of law, Malpraktek adalah sikap tindak profesional
yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter
gigi, dokter hewan.
Menurut Black’s law dictionary, Malpraktek adalah setiap sikap tindak yang salah,
kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Contoh: Sakit gigi,
beli obat analgetik sendiri dan meminumnya.
Menurut Oxford Ilustrated dictionary, malpraktek adalah sikap tindak yang salah
(hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesional
medis.
Maka, kesimpulannya:
o Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan
o Tidak melakukan apa yang seharunya dilakukan atau melalaikan kewajiban
o Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasar peraturan perundang-undangan.
Syarat-syarat Culpa
1. Duty (Kewajiban): Dokter profesi medisa untuk mempergunakan segala ilmu dan
kepandaiannya untuk kesembuhan
2. Dereliction of that duty (Penyimpangan Kewajiban): menelantarkan kewajiban
sehingga timbul kerugian pasien (breach of duty) sehingga wanprestasi (tidak
memenuhi standar profesi)
3. Damage (Kerugian): harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosional
4. Direct causal relationship (berkaitan langsung): harus ada kaitan causal antara
tindakan dengan kerugian.
Tolak Ukur
Hukum Pidana: kelalaian berat (culpa lata)
Hukum Perdata: Kelalaian ringan (culpa levis)
Kesalahan dokter ada yang disengaja (dolus, intensional) dan tidak disengaja
(negligence, culpa)
Pelanggaran dan Cara Penaganan
Informasi PTM
Dalam PERMENKES No. 585 Tahun 1989 tentang PTM, dinyatakan bahwa dokter
harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau
tidak diminta.
1. WHAT: mengenai apa yang harus disampaikan, segala sesuatu yang berkaitan
dengan penyakit pasien.
Mencakup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan
dan alternatif terapi.
Penyampaian informasi secara lisan
Penyampaian formulir untuk ditandatangani pasien atau keluarga tanpa
penjelasan dan pembahasan secara lisan dengan pasien / keluarga tidak
memenuhi persyaratan.
2. WHEN: mengenai kapan disampaikan, bergantung kepada waktu yang tersedia
setelah dokter memutuskan akan melakukan tindakan invasif dimaksud.
Pasien dan keluarga pasien harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan
keputusannya.
3. WHO: yang menyampaikan informasi, bergantung pada jenis tindakan yang akan
dilakukan.
Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan tindakan invasif
lainnya hrs diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan.
Dalam keadaan tertentu dapat pula oleh dokter lain atas sepengetahuan dan
petunjuk dokter yg bertanggung jawab
Bila bukan tindakan bedah atau invasif sifatnya, dapat disampaikan oleh
dokter lain atau perawat.
4. WHICH: mengenai informasi mana yang harus disampaikan.
Dalam Permenkes dijelaskan haruslah selengkap- lengkapnya, kecuali dokter
menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan informasi.
bila perlu informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien
Dalam UUPK Pasal 45 Ayat 3 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran atau
Kedokteran Gigi, informasi sekurang-kurangnya mencakup:
o Diagnosis dan tata cara tindakan medis
o Tujuan dan tindakan medis yg dilakukan
o Alternatif tindakan lain dan resikonya
o Resiko dan komplikasi yg mgkn terjadi
o Prognosis thdp tindakan yang dilakukan
Peraturan Pemerintah No. 10, 1966 dan etika dalam rekam medis
PERMENKES No. 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang rekam medis.
Definisi
• Rekam Medis : fakta yang berkaitan dengan keadaan pasien, riwayat penyakit, dan
pengobatan masa lalu serta saat ini yang ditulis oleh profesi kesehatan yang memberikan
pelayanan kepada pasien tersebut
• Rekam Medis : berkas yang berisikan catatan dan tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain pada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan(Keputusan Menkes RI 749a Tahun 1989)
Sejak zaman Hippokrates, kewajiban memegang teguh rahasia pekerjaan dokter sudah
dilakukan untuk menciptakan kepercayaan dalam hubungan dokter-pasien.
Bab II KODEKI tentang kewajiban dr/drg terhadap pasien "Seorang dr/drg wajib
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien karena kepercayaan yang
diberikan kepadanya, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia” (pasal 10 ayat 3)
Rahasia Kedokteran
Pasal 1 PP No 10 Tahun 1966: Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala
sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama
melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
Pasal 2 PP No 10 Tahun 1966: Pengetahuan tersebut (pasal 1) harus dirahasiakan oleh
orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang
sederajat atau lebih tinggi dari pada PP ini menentukan lain.
Pasal 3 PP No 10 Tahun 1966: Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud
dalam pasal 1 ialah:
1. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-Undang tentang tenaga kesehatan.
2. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan.
Pasal 4 : Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran
yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP. Menkes
dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan pasal 11 UU tentang tenaga
kesehatan
Pasal 5 : Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang
disebut dalam pasal 3 hutuf b, maka Menkes dapat mengambil tindakan berdasarkan
wewenang dan kebijaksanaannya.
Pasal 6 : Dalam pelaksanaannya peraturan ini Menkes dapat mendengar Dewan
Pelindung Susila Kedokteran dan/atau badan-badanlain bilamana perlu
Pasal 7 : Peraturan ini dapat disebut "PP tentang wajib simpan rahasia kedokteran''
Sanksi Pelanggaran
Pasal 322 KUHP : “barangsiapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia wajib
menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang
dulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya 600 rupiah”
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak 9000
(sembilan ribu) rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu.
Rekam Medis : kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan dan
catatan segala kegiatan para pelayan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di sarana kesehatan.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan
kepada pasien.
5. Alat bukti dalam proses penegakan hukum disiplin kedokteran dan ked gigi dan
penegakan etika kedokteran dan ked gigi
6. Menyediakan data-data untuk keperluan penelitian dan pendidikan.
7. Dasar biaya pembayaran pelayanan medik pasien.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.
Pasal 1
a. Rekam Medis: berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain pada pasien pada sarana
pelayanan kesehatan.
b. Sarana pelayanan kesehatan: tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat nap yang dikelol emerintah atau
swasta
c. Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter gigil dokter gigi spesialis
Tenaga kesehatan lain adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung kepada pasien.
d. Direktur Jendral adalah direktur pelayanan medik dan atau direktur Jenderal
pembinaan kesehatan masyarakat
Pasal 2 : Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan rawat jalan maupun
rawat inap wajib membuat rekam medis
Pasal 3 : RM sebagaimana dimaksud pasal 2 dibuat oleh dokter dan atau tenaga kesehatan
lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien
Pasal 4 : RM harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya setelah pasien menerima
pelayanan
Pasal 5
1. Pembetulan kesalahan catatan dilakukan pada tulisan yang salah dan diberi paraf oleh
petugas yang bersangkutan
2. Pengahapusan tulisan dengan cara apapun tidak diperbolehkan
Pasal 6
Pasal 7
1. Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pasal 6 dilampaui, RM dapat
dimusnahkan.
2. Tata cara pemusnahan ditetapkan oleh Dirjen
Pasal 8 : RM harus disimpan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan
kesehatan
Pasal 9
Pasal 11
1. Pemaparan isi RM hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan
izin tertulis dari pasien
2. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi RM tanpa izin pasien
berdasarkan peraturan UU yang berlaku
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14 : lsi RM untuk pasien rawat jalan dapat dibuat selengkap-lengkapnya dan sekurang-
kurangnya memuat identitas, anamnese, diagnosis dan tindakan/pengobatan
Pasal 15
Identitas pasien
Anamnese
Riwayat penyakit
Hasil pemeriksaan labotorik
Diognosis
Persetujuan tindakan medik
Tindakan/pengobatan
Catatan perawat
Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan
Resume akhir dan evaluasi pengobatan
Pasal 16 : Pengelolaan RM dilaksanakan sesuai dengan tata cara kerja organisasi sarana
pelayanan kesehatan
Pasal 20 : Semua sarana pelayanan kesehatan harus ketentuan diri dengan ketentuan- tahun
dalam peraturan paling lama1 sejak berlakunya peraturan ini.
Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 memberikan pengaturan pada
lembaga peradilan bahwasanya semua sengketa perdata sebelum dilakukan proses
persidangan terlebih dahulu wajib dilakukan mediasi dan bila tidak dilakukan maka
putusannya batal demi hukum
UU KESEHATAN No. 36/200 Pasal 29 : Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui mediasi.
Pendahuluan
Etika dan hukum melakukan penilaian pada objek sama yaitu tindakan manusia
Bukan siapa, tetapi apa
Subjeknya manusia
Prinsip Etika dan Hukum Perdata sama yakni diutamakan tindakannya
Perbedaan Etika dan Hukum Pidana di mana selain tindakan juga dinilai pelakunya
Tolak Ukur
Etik dan Hukum Perdata tolok ukurnya “culpa levis” , kesalahan kecil
Hukum pidana “culpa lata” kesalahan berat
Hukum Pidana berlaku universal
Kelalaian-Kerugian
Setiap orang tidak saja bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan karena
tindakannya, tetapi juga terhadap kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang
hati-hati
Kesamaan Hukum Perdata-Etika : Bila ada kesalahan kecil sudah dapat jadi kasus yang
bisa diajukan
Pasal 2 :
1. Tukang Gigi adalah setiap orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang
gigi tiruan lepasan.
2. Izin Tukang Gigi adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Tukang Gigi yang telah
melaksanakan pendaftaran untuk melaksanakan pekerjaan Tukang Gigi.
3. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
Pasal 6
a. melaksanakan pekerjaan Tukang Gigi sesuai dengan standar pekerjaan Tukang Gigi;
b. menghormati hak pengguna jasa Tukang Gigi;
c. memberikan informasi yang jelas dan tepat kepada pengguna jasa Tukang Gigi tentang
tindakan yang dilakukannya;
d. melakukan pencatatan pelayanan yang dibuat dalam pembukuan khusus; dan
e. membuat laporan secara berkala tiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang meliputi jumlah pengguna jasa Tukang Gigi dan tindakan yang
dilakukan.
Pasal 8
1) Standar pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi:
a. pekerjaan Tukang Gigi;
b. pelaksanaan pekerjaan;
c. tempat;
d. peralatan; dan
e. hal-hal lain sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan tukang gigi.
a) melakukan pekerjaan selain kewenangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2);
b) mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain;
c) melakukan promosi yang mencantumkan pekerjaan selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat
(2); dan
d) melakukan pekerjaan secara berpindah-pindah.
Pasal 7
1. Tukang gigi dalam melakukan pekerjaannya diberi kewenangan dalam hal :
a. Membuat GTL dari akrilik, sebagian atau penuh.
b. Memasang GTL
2. Tukang gigi dalam pemasangan GTL, tidak menutupi sisa akar gigi.
BAB IV : RUJUKAN
Pasal 8 : Apabila tukang gigi dalam melakukan pekerjaannya menemui kasus di luar batas
kemampuannya harus merujuk ke sarana kesehatan terdekat.
BAB V : LARANGAN
Pasal 9 - Tukang gigi dilarang :
1. Melakukan penambalan gigi
2. Melakukan pembuatan dan pemasangan GTC/mahkota/tumpatan tuang dan sejenisnya.
3. Menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan bahan tambalan gigi baik
sementara atau tetap.
4. Melakukan pencabutan gigi, baik dengan suntikan maupun tidak.
5. Melakukan tindakan secara medik termasuk pemberian obat-obatan.
6. Mewakilkan pekerjaannya kepada siapapun juga.
BAB II PERIZINAN
I. Kualifikasi Teknisi Gigi
Pasal 3 : Kualifikasi pendidikan minimal Teknisi Gigi adalah lulusan Diploma Keteknisian
Gigi.
II. Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi
Pasal 4
1) Teknisi gigi untuk dapat melakukan pekerjaannya harus terlebih dahulu memiliki
Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi.
2) Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 5 (lima) tahun.
3) Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperoleh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
II. STRTG
Pasal 5
1) Teknisi gigi yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi untuk dapat
melakukan pekerjaannya harus memiliki STRTG.
2) (2) STRTG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh MTKI dengan masa
berlaku selama 5 (lima) tahun.
IV. SIKTG
Pasal 8
(1) Teknisi Gigi hanya dapat menjalankan pekerjaan keteknisian gigi pada fasilitas
pelayanan kesehatan.
(2) (2) Setiap Teknisi Gigi yang melakukan pekerjaan keteknisian gigi di fasilitas
pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKTG.
Pasal 9
(1) SIKTG diberikan kepada Teknisi Gigi yang telah memiliki STRTG.
(2) SIKTG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
Pasal 13
(1) Teknisi Gigi dapat memiliki paling banyak 2 (dua) SIKTG.
(2) Permohonan SIKTG kedua dapat dilakukan dengan menunjukan bahwa yang
bersangkutan telah memiliki SIKTG pertama.
Tekniker gigi : mereka yang lulus dari akademi teknik gigi, dengan gelar ahli madya teknik
gigi yang berfungsi sebagai rekan dari dokter gigi untuk melakukan pekerjaan di
laboraturium dalam bidang rehabilitasi rongga mulut.
Wewenang Tekniker Gigi :
membuat gigitiruan akrilik
membuat gigitiruan porselen
membuat gigitiruan kerangka logam
plat orto lepasan
feeding plate
protesa mata
obturator.
Tekniker gigi dilarang :
Berhubungan langsung dengan pasien
Melakukan pekerjaannya di luar laboraturium
Melakukan pekerjaan di luar wewenangnya
Dalam melakukan pekerjaannya tekniker gigi harus tetap didalam pengawasan dokter
gigi.
Tekniker gigi tidak boleh berhubungan langsung dengan pasien.
Dokter gigi bertanggungjawab atas pekerjaan tekniker gigi yang di bawah
pengawasannya.
Pasal 13
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan,
baik dalam jumlah, jenis, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin
keberlangsungan pembangunan kesehatan.
Pasal 14
1) Menteri menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan
dalam rangka memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional.
2) Perencanaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
secara berjenjang berdasarkan ketersediaan Tenaga Kesehatan dan kebutuhan
penyelenggaraan pembangunan dan Upaya Kesehatan.
3) Ketersediaan dan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
melalui pemetaan Tenaga Kesehatan.
Pasal 15 - faktor menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan :
a. jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi Tenaga Kesehatan;
b. penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
c. ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan; d. kemampuan pembiayaan;
e. kondisi geografis dan sosial budaya; dan f. kebutuhan masyarakat.
Pasal 22
1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
2) Pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pendayagunaan
Tenaga Kesehatan di dalam negeri dan luar negeri.
3) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan aspek pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan.
Pasal 23
1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib melakukan penempatan Tenaga Kesehatan setelah melalui proses seleksi.
2) Penempatan Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
3) pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;
4) pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja; atau c.
penugasan khusus.
5) Selain penempatan Tenaga Kesehatan dengan cara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah dapat menempatkan Tenaga Kesehatan melalui pengangkatan
sebagai anggota TNI/POLRI.
6) Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta
penempatan melalui pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
7) Penempatan Tenaga Kesehatan melalui penugasan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c dilakukan dengan penempatan dokter pascainternsip, residen
senior, pascapendidikan spesialis dengan ikatan dinas, dan tenaga kesehatan
lainnya.
Pasal 24
1) Penempatan Tenaga Kesehatan dilakukan dengan tetap memperhatikan
pemanfaatan dan pengembangan Tenaga Kesehatan.
2) Penempatan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui seleksi.
Pasal 25
1) Pemerintah dalam memeratakan penyebaran Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dapat mewajibkan Tenaga Kesehatan lulusan dari
perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk mengikuti seleksi
penempatan.
2) Selain Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seleksi
penempatan dapat diikuti oleh Tenaga Kesehatan lulusan perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
Pasal 26
1) Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
melaksanakan tugas sesuai dengan Kompetensi dan kewenangannya.
2) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau kepala daerah yang membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lokasi,
serta keamanan dan keselamatan kerja Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 27
1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten, atau antarkota karena alasan
kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau promosi.
2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan
serta daerah bermasalah kesehatan memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa
dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas.
3) Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga Kesehatan, Pemerintah atau Pemerintah
Daerah wajib menyediakan Tenaga Kesehatan pengganti untuk menjamin
keberlanjutan pelayanan kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
bersangkutan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtugasan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di
daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 28
1) Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja
kepada Tenaga Kesehatan yang memenuhi kualifikasi akademik dan Kompetensi
untuk melaksanakan tugas sebagai Tenaga Kesehatan di daerah khusus di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan tunjangan khusus kepada
Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah di
daerah khusus berhak mendapatkan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan dalam
keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi
calon Tenaga Kesehatan untuk memenuhi kepentingan pembangunan kesehatan.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
1) Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu dan karier
Tenaga Kesehatan.
2) Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui Pendidikan dan pelatihan serta kesinambungan dalam menjalankan
praktik.
3) Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala daerah dan pimpinan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan
yang sama kepada Tenaga Kesehatan dengan mempertimbangkan penilaian
kinerja.
Pasal 31
1) Pelatihan Tenaga Kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.
2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi program
pelatihan dan tenaga pelatih yang sesuai dengan Standar Profesi dan standar
kompetensi serta diselenggarakan oleh institusi penyelenggara pelatihan yang
terakreditasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 32
1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga
Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara
Indonesia di luar negeri.
2) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.