Anda di halaman 1dari 33

MATERI MODUL 2

PENGERTIAN DAN SEJARAH MEDIKOLEGAL


Definisi
 Medikolegal merupakan bidang interdisipliner antara ilmu kesehatan/kedokteran
dengan ilmu hukum.
 Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan dan
pelayanan kesehatan yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, sumpah dokter dan etika profesi.

Medikolegal dengan Bioetika


 KAMUS KEDOKTERAN (Ramli dan Pamuncak tahun 1987), Etika adalah
pengetahuan tentang perilaku yang benar dalam satu profesi.
 Bioetika berasal dari dua kata, yaitu: bios artinya kehidupan dan ethos artinya norma
atau nilai moral
 Bioetika (Bertens, 2001) merupakan studi interdisipliner tentang masalah yang timbul
oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran baik skala mikro maupun
makro, masa kini dan masa mendatang.
 PEKERJAAN PROFESI (profession pengakuan) merupakan pekerjaan yang
memerlukan pendidikan merupakan latinan tertentu serta memiliki kedudukan yang
tinggi dalam masyarakat, misalnya: Ahli hukum, dosen, dokter, dokter gigi, farmasi,
perawat, dll.
 Ciri-ciri Etik Profesi:
o Berlaku untuk lingkungan profesi.
o Disusun oleh organisasi serta profesi yang bersangkutan
o Mengandung kewajiban dan larangan
o Menggugah sikap manusiawi

Etik Kedokteran
 Merupakan etik yang paling tua
 Terdapat prinsip-prinsip moral
 Azas-azas akhlak yang harus diterapkan dokter pada pasien, teman sejawat, dan
masyarakat pada umumnya.

Landasan Etik Kedokteran


 Sumpah Hipokrates(460-377 sM)
 Deklarasi Geneva(1948)
 International Code of Medical Ethics(1949)
 Lafal Sumpah Dokter Indonesia(1960)
 Kode Etik Kedokteran Indonesia(1983)
 Deklarasi World Medical Association
Sejarah Hukum Kesehatan
 Berawal pada tahun 2200 SM di Babilonia dalam kode Hammurabi yang mengatur
tentang kelayakan dokter dan sanksi oleh seorang filsuf yaitu Hipokrates yang
memulai tentang tata “Tata cara seorang Dokter dalam Hal melakukan Kelayakan
dalam Prakteknya”
 Di Indonesia sendiri ada pada tahun 1982 di UI, Jakarta.
 Dibentuk oleh Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran (PERHUKI)
 KONGRES PERHUKI Indonesia ada pada tahun 1987 di Jakarta
 PERHUKI pertama di Medan, Sumatera Utara pada 14 April 1986
 Dimulai dari (Worl Congres Medical Law) tahun 1967 oleh Kongresi di Belgia
 Dikembangkan melalui World Congress of The Association for Medical Law

Ruang Lingkup Hukum Kesehatan


 Hukum Kedokteran
 Hukum Kedokteran Gigi
 Hukum Keperawatan
 Hukum Farmasi Klinik
 Hukum Rumah Sakit
 Hukum Kesehatan Masyarakat
 Hukum Kesehatan Lingkungan, dsb

Hukum Kedokteran
 Merupakan hukum kesehatan
 Hukum kesehatan adalah sebagai seluruh aturan-aturan hukum di mana hubungan
hubungan kedudukan hukum yang berada di dalam masyarakat langsung berkembang
dengan menentukan situasi kesehatan di dalam masyarakat itu sendiri.
 Sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan
doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan(zorg voor de gezondheid).
 Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan
kompleks.

Landasan Hukum Kesehatan


 Hermien Hadiati Koeswadii mengatakan bahwa asas hukum kesehatan bertumpu pada
hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar sosial (the right to health care)
yang ditopang oleh 2(dua) hak dasar individual, yaitu:
o Hak atas informasi(the right to information)
o Hak untuk menentukan nasib sendiri(the right of self determination)
 Peraturan perundag-undangan pelayanan bidang kesehatan perlu terus ditingkatkan,
berupa:
o Budaya perilak hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan secara wajar
untuk seluruh masyarakat
o Upaya kesehatan dan pencegahan penyakit
o Kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan
yang diperlukan
o Pengendalian biaya kesehatan

Persamaan Etika dan Hukum


 Alat untuk mengatur ketertiban hidup bermasyarakat
 Obieknya adalah tingkah laku manusia.
 Mengandung hak dan kewajiban anggota masyarakat agar tidak saling merugikan.
 Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi.
 Hasil pemikiran pakar dan pengalaman para anggota senior yang dituangkan dalam
peraturan tertulis
 Hampir seluruh masalah bidang etik tercakup dalam bidang hukum

Perbedaan Etika dan Hukum

Etika Hukum

Berlaku untuk lingkungan profesi Berlaku untuk umum

Disusun atas kesepakatan anggota profesi Disusun pemerintah

Tidak seluruhnya tertulis Seluruhnya tertulis

Sanksi pelanggaran: hukuman Sanksi pelanggaran: tuntutan

Penyelesaian diselesaikan: Majelis Penyelesaian diselesaikan: Pengadilan


Kehormatan Disiplin Kedokteran
(MKDK)/ Kedokteran Gigi Indonesia
(KGI)

Barang bukti: tidak selalu bukti fisik Barang bukti: selalu bukti fisik

Kasus-kasus Medikolegal
 Over-utilization: terbukanya penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang
berlebihan
 Under-treatment
 Length stay bagi pasien di rumah sakit
 Informed consent
 Rekam medik, dll

PERBEDAAN DAN PERSAMAAN MAKSUD TUJUAN ETIK, DISIPLIN


KEDOKTERAN DAN HUKUM (KESEHATAN, PIDANA, PERDATA)
Pendahuluan
 Dokter dan dokter gigi itu merupakan profesi yang luhur
 Sejak dahulu menduduki posisi penting di masyarakat
 Harus memenuhi kriteria yang menjadi panutan masyarakat
 Memiliki nilai-nilai moral yang luhur, serta etika dan legalitas yang baik
Latar Belakang
 Zaman terus berkembang
 Harapan masyarakat tentang peran dan perilaku dr/drg tidak berubah
 Masyarakat mulai kritis serta sadar hukum serta hak dan kewajibannya
 Banyaknya ditemukan kasus malpraktik
 Bisnis dan komersialisasi merambah dunia kesehatan dan kedokteran
 Banyaknya fk/fkg baru bermunculan dimana menghasilkan lulusan yang mengabaikan
etika dan perilaku professional

Etika, Disiplin dan Hukum


 Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya
termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya
 Menurut Peraturan Konsil Kedokteran Indonesi No.4 Tahun 2011 “Disiplin
Profesional Dokter dan Dokter Gigi adalah ketaatan terhadap aturan-aturan dan/atau
ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan praktik kedokteran.

ETIKA DISIPLIN HUKUM

Dibuat dan disepakati Dibuat dan disepakati Dibuat oleh pemerintah dan
oleh Organisasi Profesi Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat
(PDGI) organisasi profesi (KDGI)
dalam hal ini tergabung
dalam Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI)

Kode Etik Kedokteran Standar Kompetensi UU, PP, Keppres, dsb


Gigi Kedokteran Gigi
Indonesia (SKDGI)

Diatur, Norma Perilaku Diatur Norma Perilaku Diatur Norma perilaku


Pelaksanaan Profesi Pelaksanaan Profesi manusia pada umumnya

Sanksi, yaitu teguran, Sanksi, yaitu peringatan Sanksi untuk Perdata; ganti
pencabutan rekomendasi tertulis dan pencabutan rugi, administrasi: teguran/
izin praktik STR pencabutan. Sanksi Pidana;
(sementara/tetap) penjara/kurungan dan
denda

Yang mengadili, Yang mengadili, Majelis Yang mengadili,


Organisasi Profesi dalam Kehormatan Disiplin pengadilan berupa
hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia tuntuta/gugatan pengadilan.
Kedokteran Gigi (MKDKI)
(MKEKG)

Tolak Ukur
Hukum Pidana
 Kelalaian Berat (Culpa Lata)
 Bertujuan mengadakan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat terhadap
tindakan atau perbuatan yang bisa menggelisahkan atau membahayakan masyarakat
 Sanksi hukuman badan seperti penjara/kurungan serta denda
Hukum Perdata
 Kelalaian ringan (culpa levis)
 Bertujuan mengadakan keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat agar setiap
orang berusaha menjaga agar didalam tindak tanduknya tidak sampai mengakibatkan
kerugian bagi orang lain
 Sanksi hukuman berupa penggantian kerugian

Undang-Undang Negara Republik Indonesia


Praktik Kedokteran  No. 29 Tahun 2004
Kesehatan  No. 36 Tahun 2009
Tenaga Kesehatan No. 36 Tahun 2014

MALPRAKTEK
Definisi
 Malpraktek adalah kelalaian seorang dokter atau perawat atau bahkan tenaga
kesehatan lainnya untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di
dalam memberikan pelayanan kesehatan seperti pengobatan dan perawatan terhadapp
seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit
atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
 Menurut Stedman’s Medical Dictionary, Malpraktek adalah salah satu cara mengobati
suatu penyakit atau luka karena disebabkan sikap tindak yang acuh, sembarangan,
berdasarkan motivasi kriminal.
 Menurut Coughlin’s Dictionary of law, Malpraktek adalah sikap tindak profesional
yang salah dari seorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter
gigi, dokter hewan.
 Menurut Black’s law dictionary, Malpraktek adalah setiap sikap tindak yang salah,
kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Contoh: Sakit gigi,
beli obat analgetik sendiri dan meminumnya.
 Menurut Oxford Ilustrated dictionary, malpraktek adalah sikap tindak yang salah
(hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesional
medis.
 Maka, kesimpulannya:
o Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan
o Tidak melakukan apa yang seharunya dilakukan atau melalaikan kewajiban
o Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasar peraturan perundang-undangan.

Kecelakaan vs Kelalaian Medis


 Sama-sama merugikan pasien
 Kelalaian medis dapat dipersalahkan
 Kecelakaan medis, tidak dapat diperssalahkan dalam hukum medis. Yang penting
bukan akibatnya, tetapi cara bagaimana sampai terjadi, bagaimana tindakan itu
dilakukan. Perlu tolak ukur yaitu etik kedokteran/kedokteran gigi dan standar profesi
medis.
 Kecelakaan medis; sesuatu yang dapat dimengerti dan dimaafkan
 Kecelakaan adalah lawan kesalahan (schuld, fout, mistake) dan kelalaian (negligence,
careless)

Kelalaian Medis (Culpa, negligence)


 Merupakan suatu sifat yang kurang hati-hati, kurang waspada/kelalaian tingkat kasar.
o Karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan
o Karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
 Menurut Jonkers, ada 4 unsur kelalaian:
o Tindakan yang dilakukan bertentangan dengan hukum
o Akibat tindakan tersebut sebenarnya dapat dibayangkan sebelumnya
o Akibat tersebut sebenarnya dapat dicegah dan dihindari
o Sehingga, timbulnya akibat itu dapat dipersalahkan kepada si pelaku.

Syarat-syarat Culpa
1. Duty (Kewajiban): Dokter profesi medisa untuk mempergunakan segala ilmu dan
kepandaiannya untuk kesembuhan
2. Dereliction of that duty (Penyimpangan Kewajiban): menelantarkan kewajiban
sehingga timbul kerugian pasien (breach of duty) sehingga wanprestasi (tidak
memenuhi standar profesi)
3. Damage (Kerugian): harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosional
4. Direct causal relationship (berkaitan langsung): harus ada kaitan causal antara
tindakan dengan kerugian.

Tolak Ukur
 Hukum Pidana: kelalaian berat (culpa lata)
 Hukum Perdata: Kelalaian ringan (culpa levis)
 Kesalahan dokter ada yang disengaja (dolus, intensional) dan tidak disengaja
(negligence, culpa)
Pelanggaran dan Cara Penaganan

Hasil Akhir Suatu Perawatan


1. Perjalanan; komplikasi penyakinya sendiri (clinical course of the disease)
2. Resiko akibat pengobatannya yang tidak dapat diramalkan (medical risk)
3. Resiko akibat tindakan operasi (surgical risk)
4. Efek samping pengobatan/tindakan (side effect/adverse reaction)
5. Keterbatasan fasilitas
6. Kemalangan medis
7. Diagnosisi yang kurang tepat
8. Kelalaian medic
9. Malpraktek medik

PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK (PTM)/ INFORMED CONSENT


Definisi
 Terdiri dari dua kata yaitu:
o Informed : telah diberitahukan, telah disampaikan atau telah diinformasikan
o Consent : Persetujuan yang diberika kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.
 Maka Informed Consent adalah Persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter
setelah diberi penjelasan oleh dokter.
 Dalam, Permenkes No.589 tahun 1989, Persetujuan Tindakan Medis adalah
persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
 Yang dimaksud dengan informed atau memberi penjelasan disini adalah semua
keadaan yang berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medik apa yang
akan dilakukan dokter serta hal – hal lain yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan
pasien atau keluarga.
 Dalam pengertian umum, PTM adalah persetujuan yang diperoleh dokter sebelum
melakukan pemeriksaan, pengobatan, tindakan medik apapun yang dilakukan.
 Dalam pengertian khusus, PTM dikaitkan dengan persetujuan tertulis dari
pasien/keluarga pada tindakan operatif atau invasive lain yang berisiko, seperti Surat
Izin Operasi (SIO), Surat Persetujuan Pasien (SPS), Surat Perjanjian, dll.
Bentuk PTM
1. Tersirat (Implied Consent): Persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat atau
dianggap telah diberikan, tanpa pernyataan tegas.
 Keadaan Normal: Isyarat ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien.
o Umumnya tindakan yang dilakukan dokter adalah tindakan yang biasa
dilakukan atau sudah umum.
o Misalnya: Pengambilan darah untuk pemeriksaan lab, suntikan pada pasien dan
penjahitan
o Namun, dalam hal ini Keadaan Normal tidak termasuk informed consent dalam
arti murni karena tidak ada penjelasan sebelumnya.
 Keadaan Darurat (Emergency): Dokter memerlukan tindakan segera, sementara
pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarga juga tidak
ada di tempat.
o Dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter (Permenkes
No. 585 Tahun 1989 Pasal 11).
o Disebut juga Presumed Consent artinya, bila pasien dalam keadaan sadar,
dianggap akan menyetujui tindakan yg akan dilakukan dokter.

2. Dinyatakan (Expressed Consent): Persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau


tulisan , bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang
biasa.
 Lisan: Sebaiknya disampaikan kepada pasien terlebih dahulu tindakan apa yg akan
dilakukan supaya tidak terjadi salah pengertian.
Contoh: Pemeriksaan dalam rektal atau vagina, mencabut kuku dan tindakan lain
yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum
 Tulisan: Bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko seperti tindakan
pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan yg invasive

Informasi PTM
 Dalam PERMENKES No. 585 Tahun 1989 tentang PTM, dinyatakan bahwa dokter
harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien/keluarga diminta atau
tidak diminta.
1. WHAT: mengenai apa yang harus disampaikan, segala sesuatu yang berkaitan
dengan penyakit pasien.
 Mencakup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan
dan alternatif terapi.
 Penyampaian informasi secara lisan
 Penyampaian formulir untuk ditandatangani pasien atau keluarga tanpa
penjelasan dan pembahasan secara lisan dengan pasien / keluarga tidak
memenuhi persyaratan.
2. WHEN: mengenai kapan disampaikan, bergantung kepada waktu yang tersedia
setelah dokter memutuskan akan melakukan tindakan invasif dimaksud.
 Pasien dan keluarga pasien harus diberi waktu yang cukup untuk menentukan
keputusannya.
3. WHO: yang menyampaikan informasi, bergantung pada jenis tindakan yang akan
dilakukan.
 Dalam Permenkes dijelaskan dalam tindakan bedah dan tindakan invasif
lainnya hrs diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan.
 Dalam keadaan tertentu dapat pula oleh dokter lain atas sepengetahuan dan
petunjuk dokter yg bertanggung jawab
 Bila bukan tindakan bedah atau invasif sifatnya, dapat disampaikan oleh
dokter lain atau perawat.
4. WHICH: mengenai informasi mana yang harus disampaikan.
 Dalam Permenkes dijelaskan haruslah selengkap- lengkapnya, kecuali dokter
menilai informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien
atau pasien menolak diberikan informasi.
 bila perlu informasi dapat diberikan kepada keluarga pasien
 Dalam UUPK Pasal 45 Ayat 3 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran atau
Kedokteran Gigi, informasi sekurang-kurangnya mencakup:
o Diagnosis dan tata cara tindakan medis
o Tujuan dan tindakan medis yg dilakukan
o Alternatif tindakan lain dan resikonya
o Resiko dan komplikasi yg mgkn terjadi
o Prognosis thdp tindakan yang dilakukan

Pihak yang ber-Hak Memberikan Persetujuan


 Pasien dewasa ( diatas 21 thn atau sdh menikah) dan sehat mental
 Keluarga pasien/ orang tua /wali ( berkaitan dengan kesangsian terhadap mental
pasien, dibawah umur 21thn, gangguan jiwa)
 Dalam Permenkes No. 585 Bab IV Pasal 11 dituliskan bahwa “Untuk pasien tidak
sadar atau pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik
berada dalam keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan medis segera, tidak
diperlukan persetujuan dari siapa pun.
 The Medical Defence Union dalam buku Medicolegal Issues in Clinical Practice, ada
5 syarat sahnya PTM :
o Diberikan secara bebas
o Diberikan oleh orang yang sanggup membuat perjanjian
o Telah dijelaskan bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien dapat
memahami tindakan itu perlu dilakukan
o Mengenai sesuatu hal yang khas
o Tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama
 Dengan syarat Persetujuan didapat haruslah sesudah pasien mendapat informasi yang
adekuat.
Penolakan
 Tidak selamanya pasien atau keluarga setuju dgn tindakan medik yang dilakukan
dokter
 Pasien atau keluarga mempunyai hak untuk menolak usul tindakan yang dilakukan
 INFORMED REFUSAL
Bila dokter gagal meyakinkan pasien untuk keamanan dikemudian hari sebaiknya
dokter atau rumah sakit meminta pasien atau keluarga menandatangani surat
penolakan terhadap anjuran medik yang diperlukan.

WAJIB SIMPAN RAHASIA DALAM KEDOKTERAN BERDASARKAN

 Peraturan Pemerintah No. 10, 1966 dan etika dalam rekam medis
 PERMENKES No. 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang rekam medis.

Definisi

• Rekam Medis : fakta yang berkaitan dengan keadaan pasien, riwayat penyakit, dan
pengobatan masa lalu serta saat ini yang ditulis oleh profesi kesehatan yang memberikan
pelayanan kepada pasien tersebut

• Rekam Medis : berkas yang berisikan catatan dan tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain pada pasien pada sarana pelayanan
kesehatan(Keputusan Menkes RI 749a Tahun 1989)

Wajib Simpan Rahasia Kedokteran

 Sejak zaman Hippokrates, kewajiban memegang teguh rahasia pekerjaan dokter sudah
dilakukan untuk menciptakan kepercayaan dalam hubungan dokter-pasien.

 Lafal sumpah Dokter Gigi Indonesia berdasarkan SK Menkes No.


434/Menkes/SK/X/1983: "Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui
sehubungan dengan pekerjaan saya sebagai dokter gigi” (butir ke-4)

 Bab II KODEKI tentang kewajiban dr/drg terhadap pasien "Seorang dr/drg wajib
merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien karena kepercayaan yang
diberikan kepadanya, bahkan juga setelah pasien meninggal dunia” (pasal 10 ayat 3)

Rahasia Kedokteran

 Pasal 1 PP No 10 Tahun 1966: Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala
sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama
melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
 Pasal 2 PP No 10 Tahun 1966: Pengetahuan tersebut (pasal 1) harus dirahasiakan oleh
orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang
sederajat atau lebih tinggi dari pada PP ini menentukan lain.
 Pasal 3 PP No 10 Tahun 1966: Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud
dalam pasal 1 ialah:
1. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-Undang tentang tenaga kesehatan.
2. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan.
 Pasal 4 : Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran
yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP. Menkes
dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan pasal 11 UU tentang tenaga
kesehatan
 Pasal 5 : Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang
disebut dalam pasal 3 hutuf b, maka Menkes dapat mengambil tindakan berdasarkan
wewenang dan kebijaksanaannya.
 Pasal 6 : Dalam pelaksanaannya peraturan ini Menkes dapat mendengar Dewan
Pelindung Susila Kedokteran dan/atau badan-badanlain bilamana perlu
 Pasal 7 : Peraturan ini dapat disebut "PP tentang wajib simpan rahasia kedokteran''

Sanksi Pelanggaran

Pasal 322 KUHP : “barangsiapa dengan sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia wajib
menyimpannya oleh karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang
dulu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya 600 rupiah”

(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak 9000
(sembilan ribu) rupiah.

(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu.

Etika dalam Rekam Medis

Rekam Medis : kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis, pemeriksaan dan
catatan segala kegiatan para pelayan kesehatan atas pasien dari waktu ke waktu

Secara umum kegunaan RM

1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien.
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada
pasien.
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung/dirawat di sarana kesehatan.
4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan
kepada pasien.
5. Alat bukti dalam proses penegakan hukum disiplin kedokteran dan ked gigi dan
penegakan etika kedokteran dan ked gigi
6. Menyediakan data-data untuk keperluan penelitian dan pendidikan.
7. Dasar biaya pembayaran pelayanan medik pasien.
8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan.

Permenkes RI No. 749a/Menkes/XII/1989 tentang Rekam Medis

Pasal 1

a. Rekam Medis: berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain pada pasien pada sarana
pelayanan kesehatan.
b. Sarana pelayanan kesehatan: tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
kesehatan baik untuk rawat jalan maupun rawat nap yang dikelol emerintah atau
swasta
c. Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter gigil dokter gigi spesialis
Tenaga kesehatan lain adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan pelayanan
kesehatan secara langsung kepada pasien.
d. Direktur Jendral adalah direktur pelayanan medik dan atau direktur Jenderal
pembinaan kesehatan masyarakat

Pasal 2 : Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan rawat jalan maupun
rawat inap wajib membuat rekam medis

Pasal 3 : RM sebagaimana dimaksud pasal 2 dibuat oleh dokter dan atau tenaga kesehatan
lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien

Pasal 4 : RM harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya setelah pasien menerima
pelayanan

Pasal 5

1. Pembetulan kesalahan catatan dilakukan pada tulisan yang salah dan diberi paraf oleh
petugas yang bersangkutan
2. Pengahapusan tulisan dengan cara apapun tidak diperbolehkan

Pasal 6

1. Lama penyimpanan RM sekurang-kurangnya 5 tahun terhitung dan tanggal terakhir


pasien berobat
2. Lama penyimpanan RM yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat khusus dapat
ditetapkan tersendiri

Pasal 7
1. Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pasal 6 dilampaui, RM dapat
dimusnahkan.
2. Tata cara pemusnahan ditetapkan oleh Dirjen

Pasal 8 : RM harus disimpan oleh petugas yang ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan
kesehatan

Pasal 9

1. Berkas RM milik sarana pelayanan kesehatan


2. lsi rekam medis milik pasien

Pasal 10 : RM merupakan berkas yang wajib dijaga kerahasiaannya

Pasal 11

1. Pemaparan isi RM hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan
izin tertulis dari pasien
2. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi RM tanpa izin pasien
berdasarkan peraturan UU yang berlaku

Pasal 12

Pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas:

a. Hilangnya, rusaknya atau pemalsuan RM


b. Penggunaan oleh orang/badan yang tidak berhak

Pasal 13

RM dapat dipakai sebagai:

a. Dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien


b. Bahan pembuktian dalam perkara hukum
c. Bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan
d. Dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan
e. Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan

Pasal 14 : lsi RM untuk pasien rawat jalan dapat dibuat selengkap-lengkapnya dan sekurang-
kurangnya memuat identitas, anamnese, diagnosis dan tindakan/pengobatan

Pasal 15

Isi RM untuk pasien rawat inap sekurang-kurangnya membuat :

 Identitas pasien
 Anamnese
 Riwayat penyakit
 Hasil pemeriksaan labotorik
 Diognosis
 Persetujuan tindakan medik
 Tindakan/pengobatan
 Catatan perawat
 Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan
 Resume akhir dan evaluasi pengobatan

Pasal 16 : Pengelolaan RM dilaksanakan sesuai dengan tata cara kerja organisasi sarana
pelayanan kesehatan

Pasal 17 : Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib melakukan pembinaan terhadap


petugas RM untuk meningkatkan keterampilan

Pasal 18 : Pengawasan terhadap penyelenggaraan RM dilakukan Dirjen

Pasal 19 : Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam peraturan dapat dikarenakan


sanksi administratif mulai dari teguran lisan sampai pencabutan surat izin

Pasal 20 : Semua sarana pelayanan kesehatan harus ketentuan diri dengan ketentuan- tahun
dalam peraturan paling lama1 sejak berlakunya peraturan ini.

JALUR TUNTUTAN MENYANGKUT KEPADA HUKUM DAN TINGKATAN-


TINGKATANNYA

Jalur Tuntutan Hukum (Sengketa Medis)

Ranah Sengketa Pelayanan Kesehatan & Penyelesaiannya


Penyelesaian segketa yang dilakukan melalui lembaga peradilan bersifat terbuka dan
mengadili dengan hasil akhir kalah dan menang memberikan kerugian pada para pihak
khususnya dalam hubungan antar para pihak pasca proses peradilan.

Peraturan Mahkamah Agung RI (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 memberikan pengaturan pada
lembaga peradilan bahwasanya semua sengketa perdata sebelum dilakukan proses
persidangan terlebih dahulu wajib dilakukan mediasi dan bila tidak dilakukan maka
putusannya batal demi hukum

UU KESEHATAN No. 36/200 Pasal 29 : Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui mediasi.

Jalur Tuntutan Kepada Etika Dan Hukum

Pendahuluan

 Etika dan hukum melakukan penilaian pada objek sama yaitu tindakan manusia
 Bukan siapa, tetapi apa
 Subjeknya manusia
 Prinsip Etika dan Hukum Perdata sama yakni diutamakan tindakannya
 Perbedaan Etika dan Hukum Pidana di mana selain tindakan juga dinilai pelakunya

Etik dan Hukum

 Mempunyai ruang lingkup masing-masing


 Etik tidak bisa terlepas dari hukum
 Sebaliknya etik membutuhkan hukum untuk memperkokoh kedudukannya dengan
menunda bantuan hukum untuk sanksinya
 Jadi bicara masalah hukum mau tidak mau harus juga menyinggung etik.

Jalur Etik dan Hukum


 Mempunyai ruang lingkup masing-masing
 Karena Etik dan Hukum mempunyai jalur masing-masing, yaitu:
 Cara penilaian
 Tolok ukur
 Sanksi
 Cara penyelesaian

 Etik tidak tergantung kepada hukum


 Hukum pun tidak tergantung etik
 Tidak ada ketentuan yang mana harus dilakukan duluan
 Dalam praktik, hukum kadang kala menunggu keputusan yang diberikan di bidang
kedokteran
 Penegak hukum tanya hasil MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran)
 Jadi pihak penegak hukum menunggu putusan Majelis Etik Profesi (MKEK)

Tolak Ukur

 Etik dan Hukum Perdata tolok ukurnya “culpa levis” , kesalahan kecil
 Hukum pidana “culpa lata” kesalahan berat
 Hukum Pidana berlaku universal

Azas praduga tak bersalah

 Hakim tak boleh terpengaruh dari luar


 Putusan berdasarkan bukti-bukti dan keyakinan
 Tidak terpengaruh oleh keputusan etika Dewan Profesi
 Tidak terpengaruh “trial by the press”

Tindak Pidana Medik

 Tuntuan malpraktik berdasarkan hukum pidana tidak banyak


 Tindak pidana medik (criminal malpractice) juga tak banyak

Tindak Pidana Medik ada 2


1. Yang dilakukan dengan sengaja
 Ada unsur sengaja (dalus, intentional)
 Artinya ada niat (animus, intentional)
2. Terjadi berdasarkan kelalaian atau ketidaksengajaan (medical negligence) yang dapat
merugikan pasien.
3. KUH Perdata pasal 1366:

Kelalaian-Kerugian

Setiap orang tidak saja bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan karena
tindakannya, tetapi juga terhadap kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang
hati-hati

Kelalaian Mencakup 2 Hal

1. Karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan atau


2. Karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Kesamaan Hukum Perdata-Etika : Bila ada kesalahan kecil sudah dapat jadi kasus yang
bisa diajukan

Pada Hukum Pidana-Hukum Perdata

 Harus ada kesalahan besar


 Bila orang dirugikan harus diganti rugi sama besar

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NO 1871/


MENKES/PER/IX/2011

Pencabutan PERATURAN MENKES NO. 399/MENKES/PER/V/1989 TENTANG


TUKANG GIGI

Pasal 1 : Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang


Pekerjaan Tukang Gigi dan petunjuk pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 2 :

1) Tukang gigi yang telah melaksanakan pekerjaannya berdasarkan Peraturan Menteri


Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi masih
dapat menjalankan pekerjaannya sebagai Tukang Gigi sampai berlakunya Peraturan ini
dan/atau habis masa berlaku izin yang bersangkutan, dan tidak dapat diperpanjang
kembali.
2) Kewenangan pekerjaan Tukang Gigi a. membuat sebagian/seluruh gigi tiruan lepasan dari
akrilik; dan b. memasang gigi tiruan lepasan.
Pasal 3 : Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala
Puskesmas harus membina Tukang Gigi yang telah melakukan pekerjaan berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 dalam rangka perlindungan
kepada masyarakat.

PERMENKES RI NO. 39 TAHUN 2014 TENTANG PEMBINAAN, PENGAWASAN


DAN PERIZINAN, PEKERJAAN TUKANG GIGI

Pasal 1 : Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Tukang Gigi adalah setiap orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang
gigi tiruan lepasan.
2. Izin Tukang Gigi adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Tukang Gigi yang telah
melaksanakan pendaftaran untuk melaksanakan pekerjaan Tukang Gigi.
3. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.

BAB II : PERIZINAN TUKANG GIGI


Pasal 2
(1) Semua Tukang Gigi yang menjalankan pekerjaan Tukang Gigi wajib mendaftarkan diri
kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota setempat
untuk mendapat Izin Tukang Gigi.
(2) Tukang Gigi yang telah mendapatkan Izin Tukang Gigi sebelum Peraturan Menteri ini
berlaku, wajib mendaftarkan diri kembali kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau
dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
(3) Izin Tukang Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 2 (dua) tahun
Pasal 4
(1) Dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan visitasi dan verifikasi data berdasarkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk menerbitkan Izin Tukang Gigi.
(2) Proses penerbitan Izin Tukang Gigi dilaksanakan dalam jangka waktu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB III : PELAKSANAAN PEKERJAAN TUKANG GIGI

Pasal 6

1) Pekerjaan Tukang Gigi hanya dapat dilakukan apabila:


a. tidak membahayakan kesehatan, tidak menyebabkan kesakitan dan kematian;
b. aman;
c. tidak bertentangan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat; dan
d. tidak bertentangan dengan norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat.
2) Pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya berupa:
a. membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat
curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan; dan
b. memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat
curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar gigi.

Pasal 7 - Tukang Gigi berkewajiban:

a. melaksanakan pekerjaan Tukang Gigi sesuai dengan standar pekerjaan Tukang Gigi;
b. menghormati hak pengguna jasa Tukang Gigi;
c. memberikan informasi yang jelas dan tepat kepada pengguna jasa Tukang Gigi tentang
tindakan yang dilakukannya;
d. melakukan pencatatan pelayanan yang dibuat dalam pembukuan khusus; dan
e. membuat laporan secara berkala tiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang meliputi jumlah pengguna jasa Tukang Gigi dan tindakan yang
dilakukan.

Pasal 8

1) Standar pekerjaan Tukang Gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi:
a. pekerjaan Tukang Gigi;
b. pelaksanaan pekerjaan;
c. tempat;
d. peralatan; dan
e. hal-hal lain sebagai pedoman pelaksanaan pekerjaan tukang gigi.

Pasal 9 - Tukang Gigi dilarang:

a) melakukan pekerjaan selain kewenangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2);
b) mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain;
c) melakukan promosi yang mencantumkan pekerjaan selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat
(2); dan
d) melakukan pekerjaan secara berpindah-pindah.

PERMENKES RI NO. 399/MENKES/PER/V/1989 TENTANG: PEKERJAAN


TUKANG GIGI
BAB I
Tukang gigi : mereka yang melakukan pekerjaan di bidang penyembuhan dan pemulihan
kesehatan gigi dan tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan kedokteran
gigi serta telah mempunyai izin menkes untuk melakukan pekerjaannya.
BAB II
Pasal 1
1. Tukang gigi yang telah memiliki izin berdasarkan PERMENKES No. 53/DPK/I/K/1969,
wajib mendaftarkan diri kembali ke Ka. Dep Kes Kab./Kotamadya setempat.
2. Pendaftaran merupakan salah satu persyaratan dalam rangka pertimbangan pembaharuan
izin.
Pasal 3
1. Pembaharuan izin sebagaimana dimaksud pasal 2 dikeluarkan oleh Ka DepKes
Kab/Kotamadya setempat.
2. Izin tukang gigi berlaku untuk jangka waktu 3 tahun, dan dapat diperpanjang kembali.

Pasal 4 - Pembaharuan izin, dapat diberikan apabila :


1. Telah mendaftarkan kembali izin yang dimilikinya.
2. Belum melewati usia 65 tahun, dan masih mampu melakukan pekerjaannya yang
dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
3. Tidak sedang menjalani hukuman administratif dan pidana
4. Memenuhi persyaratan pasal 5

Pasal 5 - Tukang gigi dalam pekerjaannya harus :


1. Mempunyai ruang kerja dengan syarat :
a. Lantai, dinding, langit-langit, jendela pintu yang bersih serta ventilasi.
b. Mebel air yang bersih dan rapi
c. Ada wastafel, sabun handuk bersih dan air buangan yang lancar, serta tempat
sampah yang tertutup.
d. Perlengkapan pemeriksaan steril
e. Mempunyai lab teknik gigi yang memadai.

Pasal 7
1. Tukang gigi dalam melakukan pekerjaannya diberi kewenangan dalam hal :
a. Membuat GTL dari akrilik, sebagian atau penuh.
b. Memasang GTL
2. Tukang gigi dalam pemasangan GTL, tidak menutupi sisa akar gigi.

BAB IV : RUJUKAN
Pasal 8 : Apabila tukang gigi dalam melakukan pekerjaannya menemui kasus di luar batas
kemampuannya harus merujuk ke sarana kesehatan terdekat.

BAB V : LARANGAN
Pasal 9 - Tukang gigi dilarang :
1. Melakukan penambalan gigi
2. Melakukan pembuatan dan pemasangan GTC/mahkota/tumpatan tuang dan sejenisnya.
3. Menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan bahan tambalan gigi baik
sementara atau tetap.
4. Melakukan pencabutan gigi, baik dengan suntikan maupun tidak.
5. Melakukan tindakan secara medik termasuk pemberian obat-obatan.
6. Mewakilkan pekerjaannya kepada siapapun juga.

BAB VII : KETENTUAN PIDANA


Pasal 11
1. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam PERMEN dapat dikenakan tindakan
administratif berupa teguran lisan sampai dengan pencabutan izin.
2. Selain tindakan administratif kepada yang bersangkutan dapat juga dikenakan hukuman
pidana sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku.

PENDIDIKAN SEKOLAH PENGATUR RAWAT GIGI


KEPMENKES R.I NO.378 / MENKES / SK / III/2007 TTG STANDARD PROFESI
PERAWAT GIGI
Perawat gigi adalah salah satu unsur pemberi pelayanan kes gigi di institusi pelayanan
kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, dan sarana kesehatan lainnya yang secara nyata
telah membaktikan dirinya di Indonesia sejak tahun 1953 yaitu pada kelulusan pertama
Sekolah Pengatur Rawat Gigi (SPRG).
Perawat Gigi termasuk kategori tenaga kesehatan karena perawat gigi memenuhi kriteria:
• Mengabdikan dirinya di dalam bidang kesehatan gigi dan mulut
• Memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui Pendidikan Perawat Gigi
• Memiliki kewenangan tertentu dalam melakukan asuhan kesehatan gigi dan mulut
Berdasarkan SK MenKes No.1035 Thn 1998 tentang perawat gigi:
1. Perawat Gigi adalah setiap orang yang telah mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Perawat Gigi yang telah diakui oleh Pemerintah dan lulus ujian sesuai dengan
persyaratan yang berlaku.
2. Perawat gigi mrpk salah satu jenis tenaga kesehatan dalam kelompok keperawatan yang
dalam menjalankan tugas profesinya harus berdasarkan Standar Profesi.
3. Perawat gigi dalam menjalankan tugas profesinya diarahkan utk meningkatkan mutu dan
kerja sama dengan profesi terkait.
Standar Pendidikan Perawat Gigi , Tingkat pendidikan perawat gigi:
• Sekolah Perawat Gigi
• Sekolah Pengatur Rawat Gigi
• Akademi Kesehatan Gigi Program D III
• D IV Perawat Gigi Pendidik / D IV Keperawatan Gigi

KEPMENKES R.I NO. 1019/MENKES/SK/ VII/2000 TENTANG REGISTRASI DAN


IZIN KERJA PERAWAT GIGI
BAB I : KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Perawat gigi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan perawat gigi sesuai dengan
peraturan perundang undangan yang berlaku;
2. Surat izin perawat gigi selanjutnya disebut SIPG adalah bukti tertulis pemberian
kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keperawatan gigi di seluruh wilayah
Indonesia yang diberikan oleh Departemen Kesehatan kepada tenaga perawat gigi;
3. Surat izin kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis yang diberikan kepada
perawat gigi untuk melakukan pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut di sarana
kesehatan;
4. Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik;
BAB III : PERIZINAN
Pasal 7
(1) Perawat gigi dapat melaksanakan pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut pada
sarana kesehatan
(2) Perawat gigi yang melaksanakan pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut pada
sarana kesehatan harus memiliki SIK
Pasal 11
SIK hanya berlaku pada satu tempat sarana kesehatan

BAB IV : PEKERJAAN PERAWAT GIGI


Pasal 12
(1) Perawat gigi dalam menjalankan pekerjaan sebagai perawat gigi harus sesuai dengan:
a. Pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut
b. Melaksanakan tindakan medik terbatas di bidang kedokteran gigi sesuai
permintaan tertulis dari dokter gigi
Pasal 13 - Pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut :
a. Upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut : promotif
b. Upaya pencegahan penyakit gigi : preventif
c. Tindakan penyembuhan penyakit gigi : kuratif
d. Pelayanan higiene kesehatan gigi
Pasal 14 - upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut :
a. Penyuluhan kes gigi & mulut kpd individu, kelompok dan masyarakat
b. Pelatihan kader
c. Pembuatan dan penggunaan alat peraga penyuluhan
Pasal 15 - upaya pencegahan penyakit gigi :
a. Pemeriksaan plak
b. Teknik sikat gigi yang baik
c. Skeling supra gingival
d. Pencegahan karies gigi dengan fluor dengan teknik kumur-kumur, pengolesan fluor pada
gigi
e. Pengisian pit dan fisur gigi dengan bahan fisur sealant
f. Pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pasien umum rawat inap.
Pasal 16 - penyembuhan penyakit gigi :
a. Pengobatan darurat sesuai dengan standar pelayanan
b. Pencabutan gigi susu dengan atau tanpa topikal anestesi
c. penambalan gigi sulung satu bidang dengan glas ionomer dan bahan amalgam
d. Perawatan pasca tindakan
Pasal 17 - pelayanan hiegene kesehatan gigi :
a. Higiene petugas kesehatan gigi dan mulut
b. Sterilisasi alat-alat kesehatan gigi
c. Pemeliharaan alat-alat kesehatan gigi
d. Lingkungan kerja

PENDIDIKAN TEKNIKER GIGI


PERMENKES RI NOMOR 54 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN
PEKERJAAN TEKNISI GIGI

BAB I KETENTUAN UMUM


Pasal 1 - Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Teknisi Gigi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan teknik gigi sesuai
ketentuan peraturan perundangan-undangan.
5. Surat Tanda Registrasi Teknisi Gigi, yang selanjutnya disingkat STRTG adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada Teknisi Gigi yang telah
memiliki sertifikat kompetensi.
6. Surat Izin Kerja Teknisi Gigi, yang selanjutnya disingkat SIKTG adalah bukti
tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan keteknisian gigi pada
fasilitas pelayanan kesehatan.
7. Standar Profesi Teknisi Gigi adalah batasan kemampuan minimal yang harus
dimiliki/dikuasai oleh Teknisi Gigi untuk dapat melaksanakan pekerjaan keteknisian
gigi secara profesional yang diatur oleh organisasi profesi.
8. Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia, yang selanjutnya disingkat MTKI adalah
lembaga yang berfungsi untuk menjamin mutu tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan.
9. Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi, yang selanjutnya disingkat MTKP adalah
lembaga yang membantu pelaksanaan tugas MTKI.
10. Organisasi profesi adalah Persatuan Teknisi Gigi Indonesia.

BAB II PERIZINAN
I. Kualifikasi Teknisi Gigi
Pasal 3 : Kualifikasi pendidikan minimal Teknisi Gigi adalah lulusan Diploma Keteknisian
Gigi.
II. Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi
Pasal 4
1) Teknisi gigi untuk dapat melakukan pekerjaannya harus terlebih dahulu memiliki
Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi.
2) Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
selama 5 (lima) tahun.
3) Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperoleh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
II. STRTG
Pasal 5
1) Teknisi gigi yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi Teknisi Gigi untuk dapat
melakukan pekerjaannya harus memiliki STRTG.
2) (2) STRTG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh MTKI dengan masa
berlaku selama 5 (lima) tahun.
IV. SIKTG
Pasal 8
(1) Teknisi Gigi hanya dapat menjalankan pekerjaan keteknisian gigi pada fasilitas
pelayanan kesehatan.
(2) (2) Setiap Teknisi Gigi yang melakukan pekerjaan keteknisian gigi di fasilitas
pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKTG.
Pasal 9
(1) SIKTG diberikan kepada Teknisi Gigi yang telah memiliki STRTG.
(2) SIKTG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
Pasal 13
(1) Teknisi Gigi dapat memiliki paling banyak 2 (dua) SIKTG.
(2) Permohonan SIKTG kedua dapat dilakukan dengan menunjukan bahwa yang
bersangkutan telah memiliki SIKTG pertama.

BAB III PELAKSANAAN PEKERJAAN TEKNISI GIGI


Pasal 14
1) Teknisi Gigi yang memiliki SIKTG dapat melakukan pekerjaannya pada fasilitas
pelayanan kesehatan berupa:
a. laboratorium teknik gigi di rumah sakit umum;
b. laboratorium teknik gigi di rumah sakit khusus;
c. laboratorium teknik gigi di balai kesehatan masyarakat;
d. laboratorium teknik gigi di klinik;
e. laboratorium teknik gigi di puskesmas; dan
f. laboratorium teknik gigi mandiri.
Pasal 15
1) Teknisi Gigi hanya dapat melakukan pekerjaan keteknisian gigi atas permintaan dokter
gigi dan/atau dokter gigi spesialis.
2) Permintaan dokter gigi dan/atau dokter gigi spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dilengkapi dengan:
a. model kerja yang baik dan akurat sesuai keadaan sesungguhnya di dalam mulut;
b. surat perintah kerja yang tertulis dengan jelas dan ditandatangani oleh dokter gigi
atau dokter gigi spesialis yang bersangkutan, paling sedikit memuat:
1. desain protesa gigi atau gigi tiruan, alat ortodonsi lepasan; protesa maxillo
facial, dan atau restorasi gigi yang dikehendaki;
2. permintaan bahan yang digunakan;
3. nomor atau contoh warna elemen gigi tiruan;
4. identitas pasien secara lengkap; dan
5. waktu atau tanggal permintaan pembuatan dan tanggal selesai pekerjaan.
3) Teknisi Gigi berhak mengembalikan permintaan dokter gigi dan/atau dokter gigi
spesialis apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (2).
Pasal 16 - kewenangan teknisi gigi :
a. membuat protesa gigi atau gigi tiruan, berupa:
1. gigi tiruan sebagian lepasan;
2. gigi tiruan lengkap lepasan;
3. gigi tiruan cekat/tetap;
4. restorasi gigi (inlay, uplay, pasak tuang)
baik yang terbuat dari bahan acrylic, logam, porselain/ceramic, atau kombinasi di
antara ketiga bahan tersebut, dan/atau bahan lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi keteknisian gigi;
a. membuat alat ortodonsi lepasan;
b. membuat protesa maxillo facial;
c. mereparasi protesa gigi atau gigi tiruan yang meliputi protesa gigi patah,
penambahan elemen/gigi, penggantian klamer, rebasing, relining, mereparasi alat
ortodonsi lepasan, dan atau protesa maxillo facial;
d. menentukan komponen dan bahan-bahan untuk pembuatan gigi tiruan sebagian
lepasan, gigi tiruan lengkap lepasan, gigi tiruan cekat, inlay/uplay, alat ortodonsi,
dan/atau protesa maxillo facial;
e. menentukan penggunaan alat sesuai dengan standar prosedur operasional, serta
mengidentifikasi komponen-komponen yang digunakan dalam praktik
keteknisian gigi;
f. menganalisis dan mengidentifikasi kekurangan/kelemahan model kerja dan
memberikan pertimbangan, saran, dan atau alternatif untuk melakukan
perbaikannya;
g. melakukan penatalaksanaan dan penanggulangan kekurangan atau kelemahan
model kerja; dan
h. melakukan analisis dan mengevaluasi praktik keteknisian gigi yang dapat
mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut.
Pasal 18
(1) Teknisi gigi dalam melaksanakan pekerjaannya wajib melakukan pencatatan.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima)
tahun.
Pasal 19 - Teknisi Gigi mempunyai hak:
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melakukan pekerjaannya sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. melakukan pekerjaan keteknisian gigi menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pemberi pekerjaan;
d. menerima imbalan jasa profesi; dan
e. memperoleh jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugasnya.
Pasal 20 : Dalam melaksanakan pekerjaannya Teknisi Gigi mempunyai kewajiban;
a. menghormati hak klien;
b. menyimpan rahasia sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan;
c. memberikan informasi tentang pekerjaan keteknisian gigi yang dibutuhkan oleh
klien;
d. meminta persetujuan pekerjaan keteknisian gigi yang akan dilaksanakan kepada
klien;
e. melakukan rujukan untuk kasus di luar kompetensi dan kewenangannya sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.

Tekniker gigi : mereka yang lulus dari akademi teknik gigi, dengan gelar ahli madya teknik
gigi yang berfungsi sebagai rekan dari dokter gigi untuk melakukan pekerjaan di
laboraturium dalam bidang rehabilitasi rongga mulut.
Wewenang Tekniker Gigi :
 membuat gigitiruan akrilik
 membuat gigitiruan porselen
 membuat gigitiruan kerangka logam
 plat orto lepasan
 feeding plate
 protesa mata
 obturator.
Tekniker gigi dilarang :
 Berhubungan langsung dengan pasien
 Melakukan pekerjaannya di luar laboraturium
 Melakukan pekerjaan di luar wewenangnya
 Dalam melakukan pekerjaannya tekniker gigi harus tetap didalam pengawasan dokter
gigi.
 Tekniker gigi tidak boleh berhubungan langsung dengan pasien.
 Dokter gigi bertanggungjawab atas pekerjaan tekniker gigi yang di bawah
pengawasannya.

KEPMENKES RI NO. 1076/MENKES/SK/VII/2003 Prosedur :


 Tenaga perawat mengisi permohonan ijin ke Bidang Pelayanan Kesehatan pada Dinas
Kesehatan kabupaten Cianjur dilengkapi dengan persyartatan tertulis
 Bidang Pelayanan Kesehatan meneliti kelengkapan persyaratan
 Lengkap  Proses
 Tidak Lengkap  Dilengklapi

PENDAYAGUNAAN DR/DR SPESIALIS/ DRG/ DRG SPESIALIS


1. Permenkes No. 1170.A/MENKES/PER/X/1999
1) Masa bakti : masa pengabdian profesi dokter , dokter gigi, dokter spesialis, dokter gigi
spesialis baik lulusan di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah RI.
2) Surat Penugasan : surat yang memberikan kewenangan kepada dokter dan dokter gigi
untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter atau dokter gigi.
3) Registrasi : pencatatan resmi terhadap tenaga medis yang telah mempunyai kualifikasi
dan diakui secara hukum untuk melakukan tindakan profesinya.
4) SIP : bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis yang menjalankan praktek
setelah memenuhi persyaratan sebagai pengakuan kewenangan untuk melakukan
pelayanan kesehatan sesuai profesinya.
5) Tenaga medis PTT : tenaga medis bukan pegawai negeri, diangkat oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan, untuk selama masa bakti.
6) Daerah PTT, terbagi 3: Daerah biasa, daerah terpencil dan sangat terpencil.
7) Pendayagunaan tenaga medis yang memilih masa bakti sbg PTT, dapat dilakukan
pada :
a. Unit pelayanan kesehatan di lingkungan Depkes
b. UPK TNI/POLRI di daerah terpencil/sangat terpencil yang ditugaskan Depkes
c. UPK swasta di daerah terpencil/sangat terpencil yang disetujui Depkes
8) Pendayagunaan tenaga medis yang memilih masa bakti sbg PNS :
a. Di lingkungan Depkes di daerah terpencil/sangat terpencil yang tidak/kurang
diminati sesuai dengan kebutuhan dan diusulkan oleh Kakanwil setempat
b. Di lingkungan Depdikbud sebagai staf pengajar FK/FKG
c. instansi pemerintah lainnya yang disetujui Depkes
9) Pendayagunaan tenaga medis dalam kedudukan sebagai pegawai swasta penuh :
a. di lingkungan UPK swasta yang disetujui Depkes
b. di lingkungan FK/FKG yang disetujui Depkes dan Depdikbud
10) Penundaan masa bakti diperkenankan bagi tenaga medis baru lulus dan berminat
langsung mengikuti pendidikan spesialis dan hanya diberikan kesempatan 1 kali untuk
mengikuti ujian masuk program spesialis.
11) Lamanya pelaksanaan masa bakti ditetapkan menurut pembagian daerah :
a. Di daerah biasa 3 tahun
b. di daerah terpencil dan sangat terpencil 2 tahun
12) Masa bakti dapat diperpanjang 1 periode atas permintaan tenaga medis dan
rekomendasi dari Kakanwil setempat dan kebutuhan Depkes.
13) Tenaga medis yang telah memperoleh SP dan sedang menunggu surat keputusan
tentang masa bakti, dapat diberikan SIP sementara, berlaku 6 bulan dan dapat
diperpanjang.
14) SIP sementara diterbitkan oleh Kakandep berdasarkan surat pengantar Kakanwil
setempat dan SP.
15) SIP sementara dinyatakan tidak berlaku apabila surat keputusan tentang masa bakti
telah terbit.
16) medis yang menjalankan masa bakti diberikan SIP yang berlaku selama menjalankan
masa bakti.
17) Tenaga medis yang telah menyelesaikan masa bakti dan ingin praktek mandiri, wajib
memiliki SIP.
18) Bagi tenaga medis lulusan baru yang dengan sengaja tidak melaksanakan masa bakti
tanpa alasan yang sah SIP nya dicabut.
19) Tenaga medis PTT yang tidak menyelesaikan masa bakti tanpa alasan yang sah SIP
nya dicabut disertai sanksi administrasi.
20) Tenaga medis yang tidak melaksanakan masa bakti dicabut SIP dan dikenai sanksi
administrasi.

2. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan


 Pasal 4 - Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap:
a. pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan peningkatan mutu Tenaga Kesehatan;
b. perencanaan, pengadaan, dan pendayagunaan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan; dan
c. pelindungan kepada Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik.

 Pasal 5 - Pemerintah berwenang untuk:


a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan skala nasional selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional;
b. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
c. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
d. mendayagunakan Tenaga Kesehatan;
e. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui
pelaksanaan kegiatan sertifikasi Kompetensi dan pelaksanaan Registrasi Tenaga
Kesehatan;
f. melaksanakan kerja sama, baik dalam negeri maupun luar negeri di bidang Tenaga
Kesehatan; dan
g. menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan Tenaga Kesehatan yang akan
melakukan pekerjaan atau praktik di luar negeri dan Tenaga Kesehatan warga
negara asing yang akan melakukan pekerjaan atau praktik di Indonesia.

 Pasal 6 - pemerintah daerah provinsi berwenang untuk:


a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional;
b. melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan;
c. merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
e. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan dan pengembangan;
f. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui
pembinaan dan pengawasan pelaksanaan praktik Tenaga Kesehatan; dan
g. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidang Tenaga Kesehatan.

 Pasal 7 - pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang untuk:


a. menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan selaras dengan kebijakan nasional dan
provinsi;
b. melaksanakan kebijakan Tenaga Kesehatan; c. merencanakan kebutuhan Tenaga
Kesehatan; d. melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
c. melakukan pendayagunaan melalui pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan;
d. membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui
pelaksanaan kegiatan perizinan Tenaga Kesehatan; dan
e. melaksanakan kerja sama dalam negeri di bidang Tenaga Kesehatan.

 Pasal 13
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan,
baik dalam jumlah, jenis, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin
keberlangsungan pembangunan kesehatan.

 Pasal 14
1) Menteri menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan
dalam rangka memenuhi kebutuhan Tenaga Kesehatan secara nasional.
2) Perencanaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
secara berjenjang berdasarkan ketersediaan Tenaga Kesehatan dan kebutuhan
penyelenggaraan pembangunan dan Upaya Kesehatan.
3) Ketersediaan dan kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
melalui pemetaan Tenaga Kesehatan.
 Pasal 15 - faktor menyusun perencanaan Tenaga Kesehatan :
a. jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi Tenaga Kesehatan;
b. penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
c. ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan; d. kemampuan pembiayaan;
e. kondisi geografis dan sosial budaya; dan f. kebutuhan masyarakat.

 Pasal 22
1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
2) Pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pendayagunaan
Tenaga Kesehatan di dalam negeri dan luar negeri.
3) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan aspek pemerataan, pemanfaatan, dan pengembangan.

 Pasal 23
1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib melakukan penempatan Tenaga Kesehatan setelah melalui proses seleksi.
2) Penempatan Tenaga Kesehatan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
3) pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil;
4) pengangkatan sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja; atau c.
penugasan khusus.
5) Selain penempatan Tenaga Kesehatan dengan cara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Pemerintah dapat menempatkan Tenaga Kesehatan melalui pengangkatan
sebagai anggota TNI/POLRI.
6) Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta
penempatan melalui pengangkatan sebagai anggota TNI/POLRI dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
7) Penempatan Tenaga Kesehatan melalui penugasan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf c dilakukan dengan penempatan dokter pascainternsip, residen
senior, pascapendidikan spesialis dengan ikatan dinas, dan tenaga kesehatan
lainnya.

 Pasal 24
1) Penempatan Tenaga Kesehatan dilakukan dengan tetap memperhatikan
pemanfaatan dan pengembangan Tenaga Kesehatan.
2) Penempatan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui seleksi.

 Pasal 25
1) Pemerintah dalam memeratakan penyebaran Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dapat mewajibkan Tenaga Kesehatan lulusan dari
perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah untuk mengikuti seleksi
penempatan.
2) Selain Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seleksi
penempatan dapat diikuti oleh Tenaga Kesehatan lulusan perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat.

 Pasal 26
1) Tenaga Kesehatan yang telah ditempatkan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib
melaksanakan tugas sesuai dengan Kompetensi dan kewenangannya.
2) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau kepala daerah yang membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus
mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lokasi,
serta keamanan dan keselamatan kerja Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan.

 Pasal 27
1) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten, atau antarkota karena alasan
kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau promosi.
2) Tenaga Kesehatan yang bertugas di daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan
serta daerah bermasalah kesehatan memperoleh hak kenaikan pangkat istimewa
dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas.
3) Dalam hal terjadi kekosongan Tenaga Kesehatan, Pemerintah atau Pemerintah
Daerah wajib menyediakan Tenaga Kesehatan pengganti untuk menjamin
keberlanjutan pelayanan kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
bersangkutan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtugasan Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Tenaga Kesehatan yang bertugas di
daerah tertinggal perbatasan dan kepulauan serta daerah bermasalah kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah

 Pasal 28
1) Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja
kepada Tenaga Kesehatan yang memenuhi kualifikasi akademik dan Kompetensi
untuk melaksanakan tugas sebagai Tenaga Kesehatan di daerah khusus di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan tunjangan khusus kepada
Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah di
daerah khusus berhak mendapatkan fasilitas tempat tinggal atau rumah dinas yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan sebagai Tenaga Kesehatan dalam
keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 Pasal 29
1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi
calon Tenaga Kesehatan untuk memenuhi kepentingan pembangunan kesehatan.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon Tenaga Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

 Pasal 30
1) Pengembangan Tenaga Kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu dan karier
Tenaga Kesehatan.
2) Pengembangan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui Pendidikan dan pelatihan serta kesinambungan dalam menjalankan
praktik.
3) Dalam rangka pengembangan Tenaga Kesehatan, kepala daerah dan pimpinan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan
yang sama kepada Tenaga Kesehatan dengan mempertimbangkan penilaian
kinerja.

 Pasal 31
1) Pelatihan Tenaga Kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan/atau masyarakat.
2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi program
pelatihan dan tenaga pelatih yang sesuai dengan Standar Profesi dan standar
kompetensi serta diselenggarakan oleh institusi penyelenggara pelatihan yang
terakreditasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

 Pasal 32
1) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri dapat
dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga
Kesehatan di Indonesia dan peluang kerja bagi Tenaga Kesehatan Warga Negara
Indonesia di luar negeri.
2) Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai