Anda di halaman 1dari 19

Referat

KONJUNGTIVITIS NEONATORUM

Oleh:
Abrar Risandi
Aldyi Septian Putra
John Rico Manalu
Muhammad Iqbal
M. Kevin Surya
Nur Ulfah Parasadita
Savira Fadilla

Pembimbing :
dr. Isfyanto, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN

Permasalahan yang sering di jumpai pada anak terkait keluhan mata adalah

konjungtivitis. Konjungtivitis bermakna terjadinya peradangan pada konjungtiva

atau selaput mata.1,2 Etiologi konjungtivitis neonatorum dapat diperkirakan

berdasarkan usia neonatus meskipun infeksi bakteri dapat terjadi kapan saja.3,4,5,6,7

Konjungtivitis neonatorum mempengaruhi 1,6-12% semua bayi baru lahir.8

Risiko terjadinya konjungtivitis neonatorum dapat ditemukan dari faktor ibu,

faktor persalinan, dan faktor neonatus.3,7 Insidensi konjungtivitis neonatorum

tinggi di daerah dengan kejadian penyakit menular seksual yang juga tinggi.

Insiden berkisar dari 0,1% di negara maju dengan perawatan prenatal yang efektif,

sedangkan di daerah seperti Afrika Timur sebesar 10%.9 Di Indonesia diperkirakan

angka insidensi kasus konjungtivitis neonatorum sebesar 4,3% per 1000 bayi baru

lahir.10

Manifestasi klinis yang khas dari konjungtivitis neonatorum adalah mata

merah disertai sekret pada satu atau kedua mata yang terjadi dalam 1 bulan setelah

lahir.8,11 Diagnosis konjungtivitis neonatorum secara umum dapat ditegakkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik namun untuk diagnosis definitif

bergantung pada pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang

dilakukan adalah pemeriksaan mikrobiologi dengan pengambilan sampel dari

apusan sekret konjungtiva dan dilakukan pewarnaan gram untuk menentukan

penyebab konjungtivitis. Selain pewarnaan gram, pemeriksaan kultur jaringan juga

dapat dilakukan untuk menentukan adanya inklusi intraselular. 2,7,12

2
Konjungtivitis neonatorum dapat dicegah dan diobati berdasarkan etiologi

pada neonatus. Tujuan dari terapi sistemik adalah untuk menurunkan risiko infeksi

sistemik dan juga mencegah kekambuhan konjungtivitis.14,15,16 Komplikasi

konjungtivitis neonatorum yang paling sering terjadi adalah keraratis dan ulkus

kornea, sehingga bisa menyebabkan perforasi kornea terutama pada anak.1,17

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir

yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut maupun

kronis.1,2

2.2. Epidemiologi

Konjungtivitis neonatorum mempengaruhi 1,6% sampai 12% semua bayi

baru lahir. disebabkan oleh proses kimia, bakteri, atau virus. Sebelum tahun 1880-

an, konjungtivitis neonatorum adalah penyebab utama kebutaan neonatal. 1 Agen

infeksius yang paling sering terlibat dalam konjungtivitis neonatorum adalah

Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae. Selain bentuk infeksius,

konjungtivitis neonatorum juga terjadi secara kimiawi, terjadi pada 10–90% pasien

baru-lahir yang diberikan profilaksis perak nitrat.3

2.3 Etiologi

Etiologi Etiologi konjungtivitis neonatorum dapat diperkirakan berdasarkan

usia neonatus meskipun infeksi bakteri dapat terjadi kapan saja. Berikut etiologi

konjungtivis neonatorum tersering berdasarkan usia neonatus :3,4,5,6,8

 Lahir – 24 jam : zat kimia seperti obat tetes mata profilaksis (eritromisin

tetes dan gentamisin tetes),

 24 – 48 jam : infeksi bakteri, paling sering diakibatkan oleh Neisseria

gonorrheae, S.aureus.

 5 – 14 hari : Chlamydia trachomatis

 6 – 14 hari : keratokonjungtivitis herpes

4
 5 – 18 hari : Pseudomonas aeroginosa

2.4 Faktor risiko

Risiko Risiko terjadinya konjungtivitis neonatorum dapat ditemukan dari

faktor ibu maupun faktor neonatus. Faktor neonatus meliputi bayi prematur, bayi

yang mendapatkan bantuan nafas dengan ventilasi mekanik, kelainan kongenital

berupa obstruksi ductus lacrimalis pada sindrom down, sindrom goldenhar, bibir

sumbing, microsomia hemifacial, anomaly wajah, craniosynostosis.6,8

Faktor ibu berhubungan dengan penyakit yang diderita oleh ibu pasien dan

proses persalinan. Faktor ibu terdiri dari ketuban pecah dini, Ante Natal Care

(ANC) yang tidak rutin, persalinan lama, intervensi selama persalinan, ibu dengan

HIV, infeksi menular seksual (IMS) pada ibu.6,8

Infeksi menular seksual pada perempuan dapat bermanifestasi dalam

berbagai bentuk gejala. Gejala yang sering ditemukan pada wanita dengan IMS

adalah luka dengan atau tanpa rasa sakit di sekitar alat kelamin, anus, mulut atau

bagian tubuh yang lain, tonjolan kecil disertai luka yang sangat sakit disekitar alat

kelamin, keluar cairan dari vagina bewarna kekuningan, kehijauan, berbau atau

berlendir disertai rasa gatal, nyeri saat buang air kecil, tonjolan seperti jengger

ayam yang tumbuh disekitar alat kelamin, nyeri pada perut bagian bawah yang

bersifat hilang timbul dan tidak berhubungan dengan menstruasi, dan kemerahan

di sekitar daerah kelamin.18

2.3. Patofisiologi

Mata tersusun dari jaringan penyokong yang salah satu fungsinya adalah

melawan infeksi secara mekanik. Orbita, kelopak mata, bulu mata, kelenjar

lakrimal dan kelenjar meibom berperan dalam produksi, penyaluran dan drainase

5
air mata. Mata memiliki jaringan limfoid, kelenjar lakrimal dan saluran lakrimal

yang berperan dalam sistem imunitas. Makromolekul yang terkandung dalam air

mata memiliki efek antimikroba seperti lisozim, laktoferin, IgA, dan sitokin

lainnya. Air mata yang terus menerus diproduksi menciptakan lingkungan yang

membuatnya sangat sulit bagi bakteri untuk berkembang. Adanya gangguan atau

kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada

konjungtiva.19

Patofisiologi konjungtivitis neonatus dipengaruhi oleh anatomi jaringan

konjungtiva pada bayi baru lahir. Neonatus berisiko tinggi terjadi konjungtivitis

dikarenakan banyak faktor seperti:6

 Produksi air mata sedikit

 IgA yang kurang pada air mata

 Fungsi imun rendah

 Tidak adanya jaringan limfoid di konjungtiva

 Penurunan aktivitas lisozim

Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan

invasi. Adhesi adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata yang

dimediasi oleh protein permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya

mikroorganisme untuk menembus pertahanan sistem imun. Hampir semua

mikroorganisme hanya menginvasi bila terdapat kerusakan epitel kecuali beberapa

bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan Shigella spp. Gonokokus dapat

berpenetrasi pada sel epitel yang intak dan membelah diri secara cepat di

dalamnya.19 Transmisi vertikal merupakan penularan yang terjadi dari ibu ke bayi

6
saat persalinan, organisme tersebut dapat menginfeksi bayi melalui kontak

langsung selama proses persalinan. Kemungkinan hal ini juga dapat diperberat

dengan kejadian ketuban pecah dini pada persalinan yang lama. Oleh sebab itu

kedua orang tua harus di skrinning untuk mendeteksi infeksi menular seksual.20

2.6 Diagnosis

2.6.1 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang dijumpai dari konjungtivitis neonatorum adalah

keluhan mata merah dan bernanah. Gejala tersebut merupakan tanda terjadinya

inflamasi pada konjungtiva (konjungtivitis) dan biasanya disertai dengan keluhan

kelopak mata sulit dibuka. Nanah yang ditemukan dapat berbeda-beda jenisnya

tergantung dari penyebab konjungtivitis. Nanah yang kental (sekret purulen) dan

nanah yang kental-cair (sekret mukopurulen) biasanya disebabkan oleh infeksi

bakteri, sedangkan nanah yang cair atau jernih (sekret serosa) disebabkan oleh

infeksi virus. Untuk nanah yang disebabkan bahan kimia, biasanya ditemukan

adanya riwayat pemakaian salep mata sebelum muncul keluhan mata berair. 9,12

Infeksi Gonorrhea menghasilkan nanah yang kental (purulen) disertai

pembengkakan pada kelopak mata. Infeksi bakteri gram positif (Staphylococcus,

sp., Streptococcus, sp.) dijumpai nanah purulen disertai dengan atau tanpa kelopak

mata yang bengkak. Dan infeksi Chlamydia dapat dijumpai nanah yang purulen

atau serosa disertai kelopak mata yang bengkak dan adanya perdarahan. Infeksi

Haemophilus dan Herpes simplex virus type 2 menghasilkan nanah yang serosa

disertai dengan gejala sistemik.7,12

7
a. Konjungtivitis akibat bahan kimia

Gejala yang dijumpai adalah adanya mata merah dan berair pada bayi yang

diberikan profilaksis topikal dengan perak nitrat 1% dalam 24 jam setelah lahir. 12,
21

Gambar 1. Konjungtivitis akibat bahan iritan22

b. Konjungtivitis bakterial

Periode inkubasi tipe bakterial lebih panjang dibandingkan penyebab

infeksi lainnya, dengan onset antara hari ke-3 sampai hari ke-14 kehidupan. Infeksi

Neisseria gonorrhea terjadi pada 3-5 hari setelah lahir dengan manifestasi klinis

mata merah dan bernanah kental yang masif disertai kelopak mata yang bengkak

dan sulit dibuka. Keluhan ini biasanya dirasakan pada kedua mata disertai dengan

rasa gatal (tampak bayi rewel). Infeksi Chlamydia trachomatis terjadi pada 5-14

hari setelah bayi lahir. Infeksi bakteri ini dijumpai keluhan mata merah dan

bernanah yang kental namun sedikit cair disertai kelopak mata bengkak dan

terkadang dapat ditemukan adanya perdarahan.7,21

8
Gambar 2. Konjungtivitis Neisseria gonorrhea22

Gambar 3. Konjungtivitis bakterial22

c. Konjungtivitis viral

Manifestasi klinis yang dijumpai adalah keluhan mata merah dan bengkak

pada kelopak mata unilateral atau bilateral dengan sekret serosanguinosa, dengan

atau tanpa lesi kulit vesikular yang biasanya muncul dalam 7-14 hari setelah lahir.

9
Keluhan mata bernanah yang disebabkan oleh virus adalah kelompok Herpes

simplex virus dan Adenovirus. Infeksi akibat virus biasanya disertai dengan gejala

sistemik.7,21

Gambar 4. Konjungtivitis viral22

Gambar 4. Konjungtivitis akibat HSV 22

10
2.6.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada konjungtivitis neonatorum sangat

penting dalam menentukan prognosis. Tanda khas yang dijumpai saat pemeriksaan

fisik sebagian besar mengarahkan penyebab konjungtivitis. Berikut tanda klinis

yang ditemukan berdasarkan etiologi konjungtivitis. 21

a. Konjungtivitis akibat bahan kimia

Pada pemeriksaan oftalmologi ditemukan injeksi konjungtiva yang

ringan disertai hipersekresi lakrimasi dan biasanya sembuh secara spontan dalam

2-4 hari setelah muncul gejala.21

b. Konjungtivitis bakterial

Pada infeksi Neisseria gonorrhea ditemukan sekret purulen yang masif

disertai edema kelopak mata, injeksi konjungtiva hiperakut dan kemosis. Sekret

dapat ditemukan unilateral atau bilateral dan biasanya kelopak mata sulit dibuka.

Infeksi bakteri ini dapat terjadi ulserasi dan perforasi kornea akibat penanganan

yang tidak tepat, sehingga akan dijumpai ulserasi dan tes refleks merah yang

positif. Pada infeksi Chlamydia trachomatis, pemeriksaan oftalmologi yang

ditemukan adalah konjungtiva hiperemis disertai sekret mukoid atau mukopurulen

dan edema kelopak mata yang bisa mengenai unilateral atau bilateral. Tanda klinis

yang lain dapat dijumpai pseudomembran pada permukaan konjungtiva.7,21

c. Konjungtivitis viral

Kelainan pemeriksaan fisik yang dijumpai adalah suhu bayi febris dan

terdapat pembengkakan kelenjar getah bening pada pre-aurikula. Pada

pemeriksaan oftalmologi terdapat injeksi konjungtiva dengan sekret

11
serosanguinosa dan edema kelopak mata yang dapat dijumpai unilateral atau

bilateral, dengan atau tanpa lesi kulit vesikular. Selain itu, ditemukan juga

gambaran kelainan okular meliputi keratitis, uveitis anterior, katarak, retinitis dan

neuritis optik (meskipun jarang terjadi). Infeksi ini dapat disertai infeksi sistemik

yang menyebabkan ikterik, hepatosplenomegali, pneumonitis, meningoensefalitis

dan atau DIC (disseminated intravascular coagulation).7,12,21

2.6.3. Pemeriksaan penunjang

Diagnosis definitif terkait penyebab konjungtivitis neonatorum bergantung

pada hasil pemeriksaan laboratorium untuk pencarian organisme penyebab.

Pemeriksaan laboratorium darah akan menunjukkan adanya kenaikan dari jumlah

leukosit sebagai tanda infeksi. Pemeriksaan sekret dengan pewarnaan Giemsa juga

membantu dalam mengidentifikasi sel inflamatorik. Untuk mendeteksi Neisseria

gonorrhea dilakukan usapan sekret pada konjungtiva dan dilanjutkan dengan

pewarnaan gram untuk mengidentifikasi diplokokus gram negatif. Pemeriksaan

sensitivitas juga dapat dilakukan pada agar darah untuk menemukan bakteri yang

lain dan agar coklat untuk menemukan bakteri Neisseria gonorrhea. 7,12,21

Metode non-kultur lain, seperti direct fluorescent antibody testing, enzyme

immunoassays dan pemeriksaan asam nukleat bisa juga dilakukan untuk

mendeteksi Chlamydia dalam beberapa jam, dibandingkan dengan metode kultur

yang lain. Kultur yang digunakan untuk mendeteksi Chlamydia adalah media agar

darah, agar coklat, atau media Thayer-Martin dan thioglycolate broth. 21

12
2.7 Tatalaksana

Penatalaksanaan konjungtivitis neonatorum dapat diobati berdasarkan

etiologi pada neonatus. Lain hal dengan konjungtivitis dikarenakan kimia yang

dapat diterapi suportif dengan menggunakan air mata buatan sebanyak 4 kali

sehari dan biasanya dapat menghilang secara spontan dalam 2-4 hari.21

Konjungtivitis akibat Chlamydia trachomatis, dapat diberikan obat tetes

mata eritromisin sebanyak 4 kali sehari ditambah dengan eliksir eritromisin 50

mg/kg/hari selama 2-3 minggu. Meskipun rawat jalan menjadi pilihan, namun

rawat inap mungkin diperlukan. Sirup eritromisin 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4

dosis diberikan apabila terdapat keterlibatan sistemik.21

Konjungtivitis akibat Neisseria gonorrhea, dapat dilakukan irigasi dengan

normal salin untuk menghilangkan sekret mukopurulen. Kemudian, dapat

diberikan ceftriaxone 25-50 mg / kg IM atau IV dosis tunggal (maksimum 125

mg). Jika terdapat penyakit sistemik, pengobatan diperlukan selama 7-14 hari

tergantung dari beratnya infeksi. Setelah itu, dapat diberikan salep bacitracin atau

eritromisin setiap 2-4 jam. Pada keadaan seperti ini diperlukan upaya rawat inap

dan evaluasi untuk infeksi N. gonorrhea yang menyebar. Jika terdapat keterlibatan

pada kornea dapat diberikan atropin topikal.21

Keratokonjungtivitis akibat Herpes simplex virus (HSV) dapat diberikan

asiklovir 45 mg/kg/hari IV ditambah salep vidarabine 3% sebanyak 5 kali/hari

selama 14-21 hari, tergantung ada atau tidak adanya keterlibatan sistem saraf

pusat. Pada tatalaksana konjungtivitis akibat bakteri lain seperti bakteri Gram (+)

dapat diberikan salep bacitrasin sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu,

13
sedangkan untuk bakteri Gram (-) dapat diberikan gentamisin, tobramycin atau

ciprofloxacin sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu.21

2.8 Pencegahan

Pencegahan konjungtivitis neonatorum dapat dilakukan dengan cara

pemberian profilaksis. Hal ini tentunya lebih baik dibandingkan dengan

pengobatan kuratif.

a. Profilaksis Topikal

Silver nitrat topikal dapat digunakan sebagai profilaksis pada kasus

konjungtivitis neonatorum akibat N. Gonorrhea. Namun, pada kasus konjungtivitis

akibat kimia penggunaan silver nitrat sebagai profilaksis telah ditinggalkan di

banyak negara dan lebih memilih pengobatan topikal dengan efek samping

minimal seperti eritromisin. Silver nitrat 1%, eritromisin 0,5% dan tetrasiklin 1%

dianggap sama-sama efektif sebagai profilaksis infeksi gonore okular.21

Larutan povidone-iodine 2,5% juga dapat digunakan untuk mencegah

konjungtivitis neonatorum dan saat ini masih digunakan di Eropa. Namun, di AS

hal ini masih menjadi kontroversi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa larutan

povidone-iodine secara signifikan dapat menjadi profilaksis pada kasus infeksi

Chlamydia trachomatis dibandingkan dengan silver nitrat dan eritromisin.

Neomisin dan klorimpenikol juga dapat menjadi pilihan profilaksis topikal

tambahan.21

Di Indonesia, terdapat penelitian mengenai penggunaan profilaksis yaitu

antara larutan povidone-iodin 2,5% dan salep mata kloramfenikol 1% yang

melibatkan sebanyak 60 bayi baru lahir dengan cara mengambil usapan dari

14
konjungtiva, kemudian larutan povidone-iodin 2,5% dan salep mata kloramfenikol

1% dioleskan secara acak pada konjungtiva bayi.

Berdasarkan penelitian tesebut, menunjukkan hasil bahwa larutan

povidone-iodin 2,5% dan salep mata kloramfenikol 1% sama-sama efektif dalam

menurunkan jumlah koloni kuman pada konjungtiva bayi baru lahir. Kedua

profilaksis tersebut juga harganya lebih terjangkau dibandingkan dengan

profilaksis lain, serta tidak menimbulkan efek samping seperti reaksi toksik

maupun kekeruhan pada kornea, sehingga dapat dijadikan pilihan untuk

profilaksis.10

b. Profilaksis Sistemik

Bayi dari ibu dengan penyakit menular seksual yang kemungkinan besar

akan terpajan infeksi pada saat di dalam rahim maupun selama proses persalinan

harus diberikan profilaksis yang sesuai setelah lahir untuk mencegah komplikasi

pada mata dan sistemik. Profilaksis pada gonokokus, termasuk injeksi ceftriaxone

50 mg/kg IM atau IV dosis tunggal harus diberikan pada neonatus segera setelah

lahir dari ibu dengan infeksi gonokokus yang tidak diobati atau dicurigai.21

2.9 Komplikasi

Komplikasi konjungtivitis neonatorum sering terjadinya keratitis maupun

ulkus kornea. Ulkus kornea yang sering terjadi adalah ulkus kornea marginal

terutama bagian atas. Ulkus kornea ini mudah terjadi perforasi akibat adanya daya

lisis dari Neisseria gonorrhea. Komplikasi ini sering terjadi pada konjungtivitis

neonatorum yang disebabkan oleh infeksi Neisseria gonorrhea dan HSV. Perforasi

kornea dapat mengakibatkan endoflalmitis dan panoftalmitis sehingga terjadi

15
kebutaan total. Infeksi Neisseria gonorrhea dapat menyebabkan infeksi sistemik

diantaranya artritis septik dan meningitis.1.2

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Matejcek, Adela, and Ran D. Goldman. "Treatment and prevention of


ophthalmia neonatorum." Canadian Family Physician 59.11 (2013): 1187-
1190.

2. Ilyas, Sidharta. "Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima." Balai penerbit FKUI.


Jakarta. 2015.

3. Zicky A, Schunemann H, Wi T, Lincetto O, Broutet N, Satesso N.


Treatment of neonatal chlamydial conjunctivitis: a systemic review and
meta-analysis. J Pediatric Infect Dis Soc. 2018;7(3):p107-15.6

4. Singh G, Galvis A, Das S. Case 1 : eye discharge in 10 day old neonate born
by cesarean delivery. Pediatr Rev. 2018;39(4):210.

5. Smolkin T, Roth-ahronson E, Kranzler M, Geffen Y, Mashiach T,


Kugelman A, Makhoul IR. Optimizing accessibility of a hand wash gel to
infant’s cradle : effect on neonatal conjunctivitis. Pediatr Infect Dis J.
2019;38(1): p7-11.

6. Jin J. Prevention of gonococcal eye infection in newborn. JAMA.


2019;321(4):414.

7. Barliana JD, Sitorus RS. Oftalmia neonatorum. Dalam: Sitorus RS,


Sitompul S, Widyawati S, Bani AP, editor. Buku ajar oftalmologi. Edisi
pertama. Jakarta: Pusat penerbitan departemen ilmu kesehatan mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017. Hal. 376-8.

8. Makker K, Nassar GN, Kaufman EJ. Neonatal conjunctivitis. [updated 2020


jul 21]. In:Statpearls [internet]. Treasure island (FL) : Statpearls publishing;
2020.

9. Surasmiati, Ayu NM. Konjungtivitis Gonore Pada Bayi. RSUP Sanglah


Denpasar. Bagian Mata Universitas Udayana. Tersedia di:

17
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/2a4a3b6aedf62e404
cb3ec83ff45e696.pdf

10. Bramantyo, T., Roeslani, R. D. E., Andriansjah, & Sitorus, R. S. The


Efficacy of 1% Chloramphenicol Eye Ointment Versus 2.5% Povidone-
Iodine Ophthalmic Solution in Reducing Bacterial Colony in Newborn
Conjunctivae. In: Asia-Pacific journal of ophthalmology (Philadelphia, Pa.).
2015 ; Vol. 4, No. 3. pp. 180-183.

11. Allen RC, Harper RA. Chapter 4: Red eye. Basic ophthalmology. Tenth
edition. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology. 2016. Hal.
142-51.

12. Wright KW, Strube YNJ. Chapter 13: Pediatric conjunctivitis. Pediatric
ophthalmology for primary care. Fourth edition. Los Angeles: American
Academy of Pediatrics. 2019. Hal.172-84

13. Rini SA, Yusran M. Oftalmia Neonatorum et Causa Infeksi Gonokokal.


Jurnal Majority Unila. 2017;6(3):58-62

14. Castro Ochoa KJ, Mendez MD. Ophthalmia Neonatorum. StatPearls.


Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.

15. Zloto O, Gharaibeh A, Mezer E, Stankovic B, Isenberg S, Wygnanski-Jaffe


T. Ophthalmia neonatorum treatment and prophylaxis: IPOSC global study.
Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2016;254(3):577-582.

16. Adela Matejcek, MD, Ran DG, MD. Treatment and prevention of
ophthalmia neonatorum. Can Fam Physician. 2013; 59(11): 1187-1190.

17. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Esensial. Edisi ke enam. Elsevier. 2014. h. 418-22

18. Puspita I, Budiastuti A, Pramono D. Pengaruh Pendekatan Blended


Learning Terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa SMA Negeri 9 Semarang
Tentang Infeksi Menular Seksual. Jurnal Kedokteran Diponegoro.
2017;6(1):p.79-89.

18
19. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia:
American Academy of Ophtalmology; 2014.

20. Palafox SKV, Jasper S, Tauber, Allyson D, Foster SC. Ophthalmia


Neonatorum. J Clinic Experiment Ophthalmol. 2011; 2(1): 1-5.

21. Bowman KM, Epley KD, Prabhu S. Neonatal conjunctivitis. American


Academy of Ophtalmology. [Internet]. [Cited 2020 Sept 15]. Available
from: https://eyewiki.org/Neonatal_Conjunctivitis)

22. Haq A, Wardak H, Kraskian N. Infective conjunctivitis – its pathogenesis,


management and complications. Intech. 2013.

19

Anda mungkin juga menyukai