Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Infeksi virus Hepatitis B (HBV) telah terjadi pada lebih dari 350 juta

penduduk di seluruh dunia. Infeksi HBV saat ini merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang besar serta serius, karena selain manifestasinya sebagai penyakit

HBV akut beserta komplikasinya, lebih penting lagi ialah dalam bentuk sebagai

karier, yang dapat menjadi sumber penularan bagi lingkungan.1

Hepatitis B biasanya ditularkan dari orang ke orang melalui kontak

perkutaneus atau permukosal terhadap cairan tubuh dari seseorang yang terinfeksi

HBV, melalui hubungan seksual dan transmisi perinatal dari seorang ibu yang

terinfeksi ke bayinya. Manifestasi klinis dapat bervariasi mulai dari hepatitis

subklinik hingga hepatitis simtomatik, dan meskipun jarang dapat terjadi hepatitis

fulminan. Komplikasi jangka panjang dari hepatitis mencakup sirosis hepatis dan

hepatoma.1

Saat ini di seluruh dunia diperkirakan lebih 350 juta orang pengidap HBV

persisten, hampir 74 % (lebih dari 220 juta) pengidap bermukim dinegara-negara

Asia. Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi adalah terutama Asia yaitu Cina,

Vietnam, Korea, dimana 50–70 % dari penduduk berusia antara 30 – 40 tahun

pernah kontak dengan HBV, dan sekitar 10 – 15 % menjadi pengidap Hepatitis B

Surface Antigen (HbsAg). 2,3

Indonesia merupakan negara dengan endemisitas hepatitis B yang sangat

tinggi. Hal ini berhubungan dengan transmisi virus secara vertikal maupun

1
horizontal pada bayi dan anak di Indonesia juga sangat tinggi. Dengan prevalensi

HBsAg 3-20% Indonesia digolongkan ke dalam kelompok daerah endemis sedang

sampai dengan tinggi, dan termasuk negara yang sangat dihimbau oleh WHO

untuk segera melaksanakan usaha pencegahan terhadap hepatitis B. Infeksi VHB

pada usia dewasa menimbulkan kemungkinan pengidap HBsAg hanya pada 10%

sampai 20% saja, tetapi infeksi pada masa perinatal atau masa kanak-kanak dapat

menimbulkan pengidap HbsAg pada 90-95% dari bayi/anak yang terpapar.( 2,3)

Di Indonesia upaya penyusunan penatalaksanaan mencakup promosi

kesehatan, perlindungan khusus, pemberian imunisasi survailans hepatitis virus,

pengendalian faktor resiko, deteksi dini dan penemuan kasus serta penanganan

kasus.

1.2 Tujuan

Pada tinjauan kepustakaan ini akan dibahas mengenai penanganan kasus Hepatitis

B pada anak.

2
BAB 2

Hepatitis B

2.1 Definisi

Hepatitis B (HBV) adalah suatu proses nekroinflamatorik yang mengenai

sel-sel hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). (4)

2.2 Epidemiologi

Di seluruh dunia, daerah prevalensi infeksi HBV tertinggi adalah Afrika

subsahara, Cina, bagian-bagian Timur Tengah, lembah Amazone dan kepulauan

Pasifik. Di Amerika Serikat, populasi Eskimo di Alaska mempunyai angka

prevalensi tertinggi. Diperkirakan 300.000 kasus infeksi HBV baru terjadi di

Amerika Serikat setiap tahun. Jumlah kasus baru pada anak adalah rendah tetapi

sukar diperkirakan karena sebagian besar infeksi pada anak tidak bergejala. Risiko

infeksi kronis berbanding terbalik dengan umur; walaupun kurang dari 10%

infeksi yang terjadi pada anak, infeksi ini mencakup 20-30% dari semua kasus

kronis.(5)

Masa inkubasi berkisar antara 45-180 hari (6 minggu-6 bulan), dengan

masa penularan tertinggi terjadi beberapa minggu sebelum timbulnya gejala,

sampai berakhirnya gejala akut.(6)

Risiko penularan adalah paling besar jika ibu juga HBeAg positif; 70-90%

dari bayinya menjadi terinfeksi secara kronis bila tidak diobati. Selama periode

neonatal antigen hepatitis pada B ada dalam darah 2,5% bayi yang dilahirkan dari

3
ibu yang terkena sehingga menunjukkan bahwa infeksi intrauterin terjadi. Pada

kebanyakan kasus antigenemia lebih lambat, memberi kesan bahwa penularan

terjadi pada saat persalinan; virus yang ada dalam cairan amnion atau dalam tinja

atau darah ibu dapat merupakan sumbernya.(7)

2.3 Etiologi

Gambar 1. Virus Hepatitis B

Virus hepatitis B merupakan kelompok virus DNA dan tergolong dalam

family Hepadnaviridae. Nama family Hepadnaviridae ini disebut demikian karena

virus bersifat hepatotropis dan merupakan virus dengan genom DNA. Termasuk

dalam family ini adalah virus hepatitis woodchuck (sejenis marmot dari Amerika

Utara) yang telah diobservasi dapat menimbulkan karsinoma hati, virus hepatitis

B pada bebek Peking, dan bajing tanah (ground squirrel). Virus hepatitis B tidak

bersifat sitopatik.8

4
Gambar 2. Rantai DNA Virus Hepatitis B

Virus hepatitis B akan tetap bertahan pada proses desinfeksi dan sterilisasi

alat yang tidak memadai, selain itu VHB juga tahan terhadap pengeringan dan

penyimpanan selama 1 minggu atau lebih. Virus hepatitis B yang utuh berukuran

42 nm dan berbentuk seperti bola, terdiri dari partikel genom (DNA) berlapis

ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam.

Nukleokapsid ini berukuran 27 nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang

sebagian berantai ganda (partially double stranded) dengan bentuk sirkular.

Selama infeksi VHB, terdapat 2 macam partikel virus yang terdapat dalam darah

yaitu : virus utuh (virion) yang disebut juga partikel Dane dan selubung virus

yang kosong (HBsAg). Ukuran kapsul virus kosong berukuran 22 nm, dapat

berbentuk seperti bola atau filament. 8

Gambar 3. Genom Virus Hepatitis B

5
Genom VHB terdiri dari kurang lebih 3200 pasangan basa. Telah

diketahui adanya 4 open reading frame (ORF) virus hepatitis B yang letaknya

berhimpitan. Keempat ORF itu adalah S untuk gen S (surface/ permukaan), C

untuk gen C (core), X untuk gen X, P untuk gen P (polymerase). Dua ORF

lainnya (ORF5 dan ORF6) telah dideskripsikan tetapi masih membutuhkan

konfirmasi lebih lanjut.8,9

Gen S dan C mempunyai hulu yang disebut pre-S dan pre-C. daerah C dan

pre-C mengkode protein nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg. Daerah Pre-C terdiri

dari 87 nukleotida yang mengkode untuk 29 asam amino , sedangkan gen C

mengkode 212 asam amino precursor untuk HBeAg. ORF S terdiri dari bagian

pre-S2, pre-S2, dan S, mengkode untuk protein HBsAg. Gen ini terdiri dari 226

asam amino. 8,9

Gen P merupakan ORF terpanjang dan mengkode DNA polymerase, gen

ini juga berfungsi sebagai reverse transcriptase. Gen X mengkode 2 protein yang

bekerja sebagai transaktivator transkripsional, berfungsi membantu replikasi

virus. Gen ini merupakan ORF terpendek. Gen ini mengkode untuk pembentukan

protein X VHB (HBxAg) yang terdiri dari 154 asam amino. Protein ini juga

berperan pada pathogenesis karsinoma hepatoselualar (KHS).8,9

Adanya DNA-VHB di dalam serum merupakan baku emas untuk menilai

aktivitas replikasi virus. DNA-VHB dapat dideteksi dengan metode hibridisasi

atau dengan metode yang lebih sensitive yaitu dengan polymerase-chain-reaction

(PRC). DNA-VHB kuantitatif sangat bermanfaat untuk memperkirakan respons

penyakit terhadap terapi.8,9

6
Gambar 4. Perkembangbiakan Virus Hepatitis B di Hati

2.4 Patogenesis

Hepatitis B, tidak seperti hepatitis virus lain, merupakan virus nonsitopatik

yang mungkin menyebabkan cedera dengan mekanisme yang diperantarai imun.

Langkah pertama dalam hepatitis akut adalah infeksi hepatosit oleh HBV,

menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting

dari antigen virus ini mungkin adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg,

pecahan produk HBcAg. Antigen-antigen ini, bersama dengan protein

histokompatibilitas (MHC) mayor kelas I, membuat sel suatu sasaran untuk

melisis sel T sitotoksis. 9

Mekanisme perkembangan hepatitis kronis kurang dimengerti dengan

baik. Untuk memungkinkan hepatosit terus terinfeksi, protein core atau protein

MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik tidak dapat diaktifkan, atau

beberapa mekanisme lain yang belum diketahui dapat mengganggu penghancuran

hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut, beberapa hepatosit yang sedang

mengandung virus harus bertahan hidup.9,10

Mekanisme yang diperantarai imun juga dilibatkan pada keadaan-keadaan

ekstrahepatis yang dapat dihubungkan dengan infeksi HBV. Kompleks imun yang

sedang bersirkulasi yang mengandung HBsAg dapat terjadi pada penderita yang

7
mengalami poliartritis, glomerulonefritis, polimialgia reumatika,

krioglobulinemia, dan sindrom Guillan Barre yang terkait.9,10,11

Mutasi HBV lebih sering terkait untuk virus DNA biasa, dan sederetan

strain mutan telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebebkan

kegagalan mengekspresikan HBAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan

hepatitis berat dan mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis yang lebih berat. 10,11

Selama infeksi HBV akut berbagai mekanisme sistem imun diaktivasi

untuk mencapai pembersihan virus dari tubuh. Bersamaan dengan itu terjadi

peningkatan serum transaminase, dan terbentuk antibodi spesifik terhadap protein

HBV, yang terpenting adalah anti-HBs.10,11

Untuk dapat membersihkan HBV dari tubuh seseorang dibutuhkan respons

imun non-spesifik dan respons imun spesifik yang bekerja dengan baik. Segera

setelah infeksi virus terjadi mekanisme efektor system imun non-spesifik

diaktifkan, antara lain interferon. Interferon ini meningkatkan ekspresi HLA kelas

I pada permukaan sel hepatosit yang terinfeksi VHB, sehingga nantinya

memudahkan sel T sitotoksis mengenal sel hepatosit yang terinfeksi dan

melisiskannya. Selanjutnya antigen presenting cell (APC) seperti sel makrofag

atau sel Kupffer akan memfagositosis dan mengolah VHB. Sel APC ini kemudian

akan mempresentasikan antigen VHB dengan bantuan HLA kelas II pada sel CD4

(sel T helper / Th) sehingga terjadi ikatan dan membentuk suatu kompleks.

Kompleks ini kemudian akan mengeluarkan produk sitokin. Sel CD4 ini mulanya

adalah berupa Th0, dan akan berdiferensiasi menjadi Th1 atau Th2. Diferensiasi

ini tergantung pada adanya sitokin yang mempengaruhinya. 9,10,11

8
Pada tipe diferensiasi Th0 menjadi Th1 akan diproduksi sitokin IL-2 dan

IFN γ, sitokin ini akan mengaktifkan sel T sitotoksis untuk mengenali sel

hepatosit yang terinfeksi VHB dan melisiskan sel tersebut yang berarti juga

melisiskan virus. Pada hepatitis B kronis sayangnya hal ini tidak terjadi.

Diferensiasi ternyata lebih dominan ke arah Th2, sehingga respons imun yang

dihasilkan tidak efektif untuk eliminasi virus intrasel.9,10,11

Selain itu, IL-12 yang dihasilkan kompleks Th dan sel APC akan

mengaktifkan sel NK (natural killer). Sel ini merupakan sel primitive yang secara

non-spesifik akan melisiskan sel yang terinfeksi. Induksi dan aktivasi sitotoksis

dan proliferasi sel NK ini bergantung pada interferon. Walaupun peran sel NK

yang jelas belum diketahui, tampaknya sel ini berperan penting untuk terjadi

resolusi infeksi virus akut. Pada hepatitis B kronis siketahui terdapat gangguan

fungsi sel NK ini.9,10,11

2.5 Gejala Klinis

1. Hepatitis Akut

Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimptomatis

ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut.

Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang

lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas

gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul

kuning atau ikterus dan pembesaran hati dan berakhir setelah 6-8 minggu. Dari

pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar AST dan ALT sebelum

timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus

dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit

9
(urtikaria, purpura, makula, dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25%

penderita, biasanya mulai timbul saat 8 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung

selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada

anak dibawah umur 4 tahun dan 30% pada dewasa. Sebagian besar penderita

hepatitis B simptomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10%

dewasa, 25% anak, 80% bayi. 11,12

2. Hepatitis Kronis

Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar

aminotransferase atau HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sedangkan

sebagian besar penderita hepatitis kronis adalah asimtomatis atau bergejala ringan

dan tidak spesifik. Peningkatan kadar aminotransferase serum (bervariasi mulai

dari minimal sampai 20 kali nilai normal) menunjukkan adanya kerusakan

jaringan hati yang berlanjut.

Fluktuasi kadar aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan

respons imun terhadap HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum meningkat

dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejela klinis ini

tidak berhubungan langsung dengan beratnya penyakit, tingginya kadar

aminotransferase serum , atau kerusakan jaringan hati pada biopsi.

Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan

histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang

menjadi sirosis hati setelah 4 tahun, sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif

sedang akan menjadi sirosis selama 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin

berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari

10
waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis

pada individu sukar untuk ditentukan.

3. Gagal hati Fulminan

Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B

akut simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati

hepatikum dengan beberapa minggu setelah munculnya gejela pertama hepatitis,

disertai ikterus, gangguan pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase

serum sehingga ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi

imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas.

4. Pengidap Sehat

Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar

aminotransferase serum dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi

imunologis sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering

terjadi pada bayi didaerah endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya.

Prognosis bagi pengidap sehat adalah membaik (anti HBe positif) sebesar 10%

setiap tahun, menderita sirosis pada umur diatas 30 tahun sebesar 1% dan

menderita karsinoma hati kurang dari 1%.11,12

11
Gambar 5. Keadaan hati pada hepatitis yang menjadi kronis

2.6 Diagnosis

Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada

saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk kedalam

sel hati melalui aliran darah. Dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya

kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV, HBsAg,

HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung selama

bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai

pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat

kerusukan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau

berkembang menjadi hepatitis kronis.12,13

12
Antigen Interpretasi Bentuk Klinis

HBsAg Sedang infeksi (aktif) Hepatitis akut, hepatitis

kronis, penanda kronis

HBeAg Proses replikasi dan Hepatitis akut, hepatitis

sangat menular kronis

Anti-HBs Resolusi infeksi Kekebalan


Anti- HBc Total
Sedang infeksi atau Hepatitis akut, hepatitis

infeksi kronis yang kronis, penanda kronis,

kambuh kekebalan

IgM anti-HBc Infeksi akut atau infeksi Hepatitis akut, hepatitis

kronis yang kambuh kronis

Anti-HBe Penurunan aktivitas Penanda kronis,

replikasi (resolusi) kekebalan

PCR DNA HBV Infeksi HBV Hepatitis akut, hepatitis

kronis, penanda kronis

Hibridisasi DNA HBV Replikasi aktif dan sangat Hepatitis akut, hepatitis

menular kronis

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding hepatitis B kronis adalah hepatitis C, defisiensi α 1-

antitrypsin, tyrosinemia, cystic fibrosis, gangguan metabolism asam amino atau

gangguan metabolisme karbohidrat atau gangguan oksidasi asam lemak. Penyebab

13
lain dari hepatitis kronis pada anak termasuk penyakit Wilson’s, hepatitis

autoimun, dan pengobatan yang hepatotoksik. 12,13

2.8 Penatalaksanaan Hepatitis B

Infeksi kronik virus hepatitis B (HBV) merupakan masalah yang serius

karena penyebarannya di seluruh dunia dan kemungkinan terjadinya gejala sisa,

khususnya di wilayah Asia-Pasifik yang prevalensinya tinggi. Di Asia Pasifik,

infeksi HBV biasanya terjadi melalui infeksi perinatal atau pada awal masa kanak-

kanak, dan penderita dapat juga terinfeksi virus hepatotropik lainnya secara

bersamaan14,15.

Prevalensi HbsAg pada anak berusia 5 – 9 tahun menunjukkan prevalensi

yang sedang pada Bolivia, Peru dan Ekuador. Diagnosis Hepatitis B dilakukan

menlalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, tes fungsi hati dan darah legkap, tes

replikasi HBV berupa HBeAg/anti-HBe, HBV DNA (bila perlu), tes untuk

menghilangkan kemungkinan penyebab infeksi yang lain pada hepar seperti anti

HCV, tes untuk skrining KHS —AFP, PIVKA (bila perlu) dan pada pasien risiko

tinggi USG serta nila memungkinkan, dilakukan biopsi hati untuk menentukan

tingkat (grade) dan stadium (stage) penyakit hepar - pada pasien yang termasuk

kriteria hepatitis B kronik14,15.

Setiap bayi baru lahir dalam waktu 12 jam pertama harus diberikan

vaksinasi hepatitis B. Bila ibu HBsAg positif, dianjurkan untuk memberikan baik

imunisasi aktif maupun pasif14.

14
Gambar 6. Pola pemberian imunisasi hepatitis pada bayi.

Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk

mengeliminasi atau menekan secara permanen HBV. Hal ini akan mengurangi

patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau mengurangi

nekroinflamasi hati. Dalam istilah klinis, tujuan jangka pendek adalah mengurangi

inflamasi hati, mencegah terjadinya dekompensasi hati, menghilangkan HBV-

DNA (dengan serokonvers HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg positif) dan

normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan. Tujuan

jangka panjang adalah mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat

menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau HCC,

dan pada akhirnya memperpanjang usia14,15.

Pada penanganan dengan ibu hamil bila hasil pemeriksaan laboratorium

untuk konfirmasi reaktif, maka pasien dirujuk ke Rumah sakit yang telah mampu

melakukan tatalaksana Hepatitis B dan C terdekat. Pada bayi yang dilahirkan dari

ibu dengan hepatitis B maka dianjurkan agar diberikan Hepatitis B

Immunoglobulin (HBIg), vitamin K, vaksinasi hepatitis B hari ke-0 (HB 0)

diberikan sesegera mungkin kurang dari 24 jam setelah kelahiran, diikuti

15
vaksinasi hepatitis B berikutnya sesuai jadwal program imunisasi nasional, setelah

bayi berusia di atas 9 bulan, perlu dilakukan pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs

pada bayi tersebut. Sedangkan pada bayi yang dilahirkan dari ibu dnegan hepatitis

B non reaktif diberikan vitamin K dan HB 0 sesegera mungkin (dianjurkan agar

diberikan kurang dari 24 jam) setelah kelahiran, diikuti vaksinasi hepatitis B

berikutnya sesuai jadwal program imunisasi nasional16.

Indikasi terapi pada infeksi virus Hepatitis B kronik dilakukan dengan

pertimbangan sebagai berikut14,15,17:

 Nilai DNA VHB serum

Nilai DNA VHB merupakan salah satu indikator mortalitas dan morbiditas

yang paling kuat untuk hepatitis B. Banyak studi telah membuktikan

bahwa nilai DNA VHB serum yang tinggi (>2.000 IU/mL) adalah

prediktor sirosis dan KHS yang kuat. Maka penggunaan kadar DNA VHB

sebagai indikasi memulai terapi dan sebagai tujuan akhir terapi merupakan

hal yang sangat penting14,16,17.

 Status HbeAG

Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peranan penting dalam

prognosis pasien dengan hepatitis B kronik. Beberapa panduan yang ada

telah mencoba membedakan indikasi terapi hepatitis B berdasarkan status

HBeAg, dengan pasien HBeAg negatif diindikasikan memulai terapi pada

kadar DNA VHB yang lebih rendah14,16.

 Nilai ALT Serum

16
Kadar ALT serum telah lama dikenal sebagai penanda kerusakan hati,

namun kadar ALT yang rendah juga menunjukkan bahwa pasien berada

pada fase IT dan akan mengalami penurunan respons terapi. Telah banyak

penelitian yang menunjukkan bahwa respons obat yang lebih baik dapat

ditemukan pada pasien dengan ALT yang meningkat14,16.

 Derajat kerusakan hati pada pemeriksaan histopatologi anatomi

Adanya tingkat kerusakan histologis yang tinggi juga merupakan prediktor

respons yang baik pada pasien dengan hepatitis B. Namun, mengingat

tindakan ini bersifat invasif, penggunaannya sebaiknya hanya pada pasien

yang memiliki risiko tinggi KHS atau pada populasi tertentu14,16.

Pemeriksaan awal pada semua pasien yang dicurigai menderita hepatitis B adalah

pemeriksaan HBsAg. Pasien lalu dapat dikelompokkan berdasarkan status

HBeAg-nya menjadi pasien hepatitis B kronik HBeAg positif atau HBeAg

negatif. Pasien HBeAg positif lalu dapat dikelompokkan lagi menjadi 2

berdasarkan status DNA VHB-nya. Pasien yang memiliki DNA VHB < 2 x 104

IU/mL dan memiliki kadar ALT normal tidak memerlukan pengobatan apapun.

Pasien cukup menjalani pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutin setiap 3

bulan. Demikian pula pasien yang memiliki kadar DNA VHB ≥ 2 x 104 IU/mL

harus dipertimbangkan untuk mendapat terapi bila nilai ALT-nya lebih besar dari

2 kali batas atas normal. Pasien dengan kadar DNA VHB tinggi dan ALT di

bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukan pengobatan dan cukup

menjalani pemantauan DNA VHB, HBeAg, dan ALT rutin setiap 3 bulan. Pasien-

pasien ini berada pada fase IT sehingga terapi tidak akan efektif. Pada pasien-

17
pasien ini, pemeriksaan biopsi hati atau pemeriksaan fibrosis non invasif harus

dipertimbangkan pada semua pasien yang berusia ≥ 30 tahun atau pasien yang

berusia < 30 tahun namun memiliki riwayat KHS atau sirosis dalam keluarga. Bila

pada pemeriksaan ini ditemukan adanya inflamasi derajat sedang atau lebih, maka

terapi diindikasikan. Pasien yang memiliki kadar DNA VHB tinggi dan kadar

ALT 2-5 kali batas atas normal yang menetap selama lebih dari 3 bulan atau

memiliki risiko dekompensasi hati harus mendapat terapi. Pemberian terapi juga

dianjurkan pada pasien dengan DNA VHB tinggi dan ALT di atas 5 kali batas atas

normal. Namun pada pasien di kelompok terakhir ini, bila DNA VHB masih di

bawah 2 x 105 IU/mL dan tidak ditemukan tanda dekompensasi hati, maka terapi

bisa ditunda 3-6 bulan untuk memantau munculnya serokonversi HBeAg spontan.

Semua pasien yang berada dalam kelompok indikasi terapi ini diduga berada di

fase IC sehingga terapi bisa memberikan hasil optimal. Pada pasien yang

memberikan respons baik terhadap terapi, pemantauan lebih lanjut masih tetap

perlu dilakukan, sementara pada pasien yang tidak respons, penggantian ke

strategi terapi lain harus dipertimbangkan14,17,18.

Prinsip tatalaksana pada kelompok pasien dengan HBeAg negatif hampir

sama dengan pada pasien dengan HBeAg positif, namun batasan DNA VHB yang

digunakan lebih rendah, yaitu 2 x 103 IU/mL. Pasien yang memiliki DNA VHB <

2 x 103 IU/mL dan memiliki kadar ALT normal tidak memerlukan pengobatan

apapun dan cukup menjalani pemantauan DNA VHB dan ALT rutin setiap 6

bulan. Demikian pula pasien dengan kadar DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL dan ALT

di bawah 2 kali batas atas normal tidak memerlukan pengobatan dan cukup

menjalani pemantauan DNA VHB dan ALT rutin setiap 6 bulan. Pada pasien-

18
pasien ini, berdasarkan konsensus Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI)

2012, pemeriksaan biopsi hati atau pemeriksaan fibrosis non invasif harus

dipertimbangkan pada semua pasien yang berusia ≥ 30 tahun atau pasien yang

berusia < 30 tahun namun memiliki riwayat KHS atau sirosis dalam keluarga. Bila

pada pemeriksaan ini ditemukan adanya inflamasi derajat sedang atau lebih, maka

terapi diindikasikan14,17,18.

Pasien yang memiliki kadar DNA VHB tinggi dan kadar ALT di atas 2

kali batas atas normal yang menetap selama lebih dari 3 bulan atau memiliki

risiko dekompensasi harus mendapat terapi. Pada pasien yang memberikan

respons baik terhadap terapi, pemantauan lebih lanjut masih tetap perlu dilakukan,

sementara pada pasien yang tidak respons, penggantian ke strategi terapi lain

harus dipertimbangkan. Pembahasan lebih lanjut mengenai pemantauan dan hasil

akhir terapi dapat dilihat di masing-masing bagian di bawah14,19,20.

Pasien-pasien hepatitis B kronik yang memiliki risiko KHS yang tinggi

juga harus menjalani pemantauan (surveilans) KHS setiap 6 bulan sekali. Pasien

yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi mencakup laki-laki ras Asia dengan

usia >40 tahun, perempuan ras Asia dengan usia >50tahun, pasien dengan sirosis

hati, dan pasien dengan riwayat penyakit hati lanjut di keluarga. Surveilans ini

dilakukan dengan melakukan pemeriksaan AFP dan USG hati secara berkala14.

Terapi pada pasien hepatitis B kronik dengan sirosis sedikit berbeda dari

kelompok yang belum sirosis. Pada pasien dengan sirosis kompensata, indikasi

terapi masih ditentukan kadar DNA VHB. Pasien dengan kadar DNA VHB < 2 x

103 IU/mL tidak perlu diterapi dan cukup menjalani pemantauan DNA VHB,

19
HBeAg, dan ALT rutin setiap 3-6 bulan. Sebaliknya, pasien yang memiliki kadar

DNA VHB ≥ 2 x 103 IU/mL harus mendapat terapi. Pilihan jenis terapi pada

pasien hepatitis B kronik dengan sirosis kompensata ditentukan oleh kadar ALT

pasien. Pada pasien yang memiliki kadar ALT < 5 kali batas atas normal,

pemberian terapi interferon maupun analog nukleos(t)ida sama-sama bisa

dipertimbangkan. Namun pada pasien dengan ALT ≥ 5 kali batas atas normal,

terapi interferon tidak bisa diberikan sehingga pilihan yang tersisa hanya analog

nukleos(t)ida. Pada pasien hepatitis B kronik yang mengalami sirosis

dekompensata, terapi antiviral harus segera diberikan tanpa memandang kadar

DNA VHB ataupu ALT. Interferon dikontraindikasikan pada kondisi ini sehingga

pilihan yang tersedia tinggal analog nukleos(t)ida. Terapi suportif sirosis lain juga

harus diberikan dan transplantasi hati bisa dipertimbangkan. Pemilihan terapi

yang paling sesuai dengan pasien adalah hal yang perlu diperhatikan sebelum

memulai terapi. Sampai saat ini terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B yang

diterima secara luas, dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing,

yaitu14,16,19,20:

(1) Terapi interferon

Terapi dengan interferonhanya diberikan dalam jangka maksimal 1

tahun. Terapi dengan interferon selama 1 tahun secara umum lebih

baik dalam hal serokonversi HBeAg dan HBsAg daripada terapi

analog nukleos(t)ida yang diberikan pada durasi yang sama. Untuk

inteferon yang tersedia saat ini antara lain14,16:

20
o Interferon a (IFN-a_ konvensional Pemberian interferon 4,5 mu

atau 5 mu seminggu 3x selama 4-6 bulan dapat efektif pada orang

Oriental (Asia) Terdapat bukti baru bahwa pengobatan selama 12

bulan dapat memperbaiki angka serokonversi HbeAg. Penderita

hepatitis anak dengan ALT tinggi memberikan respons terhadap

IFN-a dengan angka keberhasilan yang sama dengan orang

dewasa16,18,19,20.

o Pegylated interferon α-2a

Pegylated interferon a adalah interferon a yang dipegilasi. Sama

seperti interferon a, pegylated interferon a memiliki mekanisme

kerja ganda yaitu sebagai imunomodulator dan anti-virus. Telah

dilakukan uji klinis fase II pada penderita hepatitis B kronis

HBeAg (+) yang membandingkan efikasi pegylated interferon a-2a

dengan interferon konvensional. Hasilnya menunjukkan bahwa

respon kombinasi (hilangnya HBeAg, supresi HBV-DNA <

100.000 kopi/mL dan normalisasi SGPT) dari pegylated interferon

a-2a lebih tinggi secara bermakna dibandingkan Interferon

konvensional. Uji klinis fase III pada penderita HBeAg positif

dengan mayoritas pasien dalam studi ini adalah ras Asia (85-87%),

pernah diterapi lamivudine (9-15%) serta interferon konvensional

(11-12%) yang pegylated interferon a-2a dengan lamivudine dan

kombinasi pegylated interferon a-2a dan lamivudine, hasilnya

menunjukkan bahwa efikasi monoterapi pegylated interferon a-2a

lebih baik secara bermakna dibandingkan monoterapi lamivudine,

21
yaitu normalisasi ALT 41 % kasus, HBeAg serokonversi 32 %,

kadar HBV DNA < 100.000 kopi/mL 42%, kadar HBV DNA <

400 kopi/mL 14 % dan HBsAg klirens 3 % (40) Penambahan

lamivudine sebagai kombinasi dengan pegylated interferon a-2a

tidak meningkatkan respon 24 minggu pasca terapi dibandingkan

pegylated interferon a-2a tunggal. Uji klinis fase III pada 537

pasien hepatitis B kronik (mayoritas pasien ras asia) yang

membandingkan pegylated interferon a-2a dengan lamivudine dan

kombinasi pegylated interferon a-2a dan lamivudine lebih baik

secara bermakna dibandingkan monoterapi

lamivudine.Penambahan lamivudine sebagai kombinasi dengan

pegylated interferon a-2a tidak meningkatkan respon 24 minggu

pasca terapi dibandingkan pegylated interferon a-2a tunggal14,16,19

(2) Terapi analog nukleostida

Terapi ini memiliki efektivitas yang cukup baik, walau pada

pemakaian 1 tahun efektivitas beberapa jenis analog nukleostida masih

kurang baik daripada interferon. Namun penggunaan analog

nukleostida jangka panjang memiliki efektivitas yang sebanding atau

bahkan lebih baik daripada interferon. Bila dibandingkan dengan

interferon, terapi analog nukleostida memiliki kelebihan berupa

ringannya efek samping dan cara pemberian yang oral. Obat jenis ini

juga bisa digunakan pada pasien yang mengalami penyakit hati lanjut.

Pada prinsipnya, terapi analog nukleostida harus diteruskan sebelum

tercapai indikasi penghentian terapi atau timbul kemungkinan

22
resistensi dan gagal terapi (lihat bagian kegagalan terapi). Namun

khusus untuk pasien dengan fibrosis hati lanjut, terapi analog

nukleostida harus diberikan seumur hidup. Analog nukleostida yang

tersedia di Indonesia antara lain 16-20:

o Lamivudine

Lamivudine menunjukkan efektifitas supresi HBV DNA,

normalisasi ALT, dan perbaikan secara histologi baik pada BeAg

positif dan HbeAg negatif / HBV DNA positif. Pada penderita

dengan HBeAg (+) yang diterapi selama satu tahun dengan

lamivudine (100 mg per hari) menghasilkan serokonversi HBeAg

dengan perbandingan kadar ALT sebelum terapi. penderita dengan

respons imun terhadap HBV yang lebih kuat memberikan respons

yang lebih baik terhadap efek langsung anti virus pada terapi

lamivudine. Pasien anak juga memberikan respons yang sama.

Hepatitis flare kadang dapat terjadi jika lamivudine dihentikan

sebelum serokonversi HbeAg 14,15.

o Adefovir diprovxil

Adefovir difosfat bekerja menghambat HBV polymerase dengan

berkompetisi langsung dengan substrat endogen deoksiadenosin

trifosfat dan setelah berintegrasi dengan HBV-DNA sehingga

pembentuk rantai DNA virus hepatitis B terhenti. Efektifitas

adefovir dipivoxil sudah diteliti pada pasien baru hepatitis dengan

replikasi virus yang aktif, pada pasien yang gagal dengi

23
lamivudine, pasien pasca transplantasi hati hingga pasien dengan

dekompensasi hati maupun yang dengan koinfeksi dengan HIV.

Adefo difosfat bekerja menghambat HBV polymerase dengan

berkompet langsung dengan substrat endogen deoksiadenosin

trifosfat dan setel; berintegrasi dengan HBV-DNA sehingga

pembentukan rantai DNA vir hepatitis B terhenti14.

o Entecavir

Entecavir adalah analog nukleosida guanosin yang menghambat

replikasi virus melalui tiga jalur yaitu : priming, negative strand

synthesis, dan positive strand synthesis, dengan demikian produksi

double stranded viral DNA akan sangat menurun. Penelitian klinis

multinasional fase III, samar-ganda, mengamati 715 penderita

hepatitis B kronik nukelosida naif, HBeAg positif, yang secara

acak menerima entecavir 0.5 mg satu kali sehari (n=357) atau

lamivudine 100 mg satu kali sehari (n=358) setidaknya selama 52

minggu. Dilaporkan setelah 48 minggu pengobatan perbaikan

histologi (skor Knodell) pada 72% kelompok pasien yang

entecavir. dibandingkan dengan 62% dari kelompok pasien

lamivudine (p=0,009), dan juga menghasilkan penurunan pada

fibrosis sebagaimana diukur dengan Skor Fibrosis Ishak (39% pada

kelompok entecavir dan 35% pada kelompok lamivudine, p=0,41).

Normalisasi kadar ALT juga diamati lebih banyak pada kelompok

pasien yang menerima entecavir (68%) dibandingkan dengan

kelompok pasien lamivudine (60%) (p=0,02). Dari penelitian ini,

24
67% dari kelompok pasien entecavir mengalami penurunan muatan

virus hingga mencapai kadar tidak terdeteksi (kurang dari 300

kopi/mL dengan metode PCR) dibandingkan 36% kelompok

pasien lamivudine (p<0,001) Selain itu, kelompok pasien enteca

mengalami penurunan 6,9 Iog10 kopi/mL rata-rata penurunan HB

DNA dari nilai dasar yang secara bermakna lebih besar daripada

kelompok pasien lamivudine yang mengalami penurunan 5,4 loc

kopi/mL (p<0,001). Pada minggu ke 48 tidak terdapat bukti adanya

mutasi virus yang dapat mengarah kepada resistensi terhadap

entecavir di antara 3.’ pasien yang diamati 14.

Kesimpulan

Pengobatan Hepatitis merpakan salah satu yang masih menjadi

permasalahan kesehatan di Indonesia. Hepatitis lebih rentan menyerang anak-anak

dikarenakan sistem kekebalan tubuh anak yang belum sempurna. Di Indonesia

sudah memiliki panduan pengobatan hepatitis B untuk mengatasi permasalahan

tersebut. Pengobatan bertujuan untuk menurunkan aktivitas virus, meredakan

gejala serta mencegah terjadinya komplikasi.

Daftar Pustaka

25
1. Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all.
In Harrison’s : Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill, Medical
Publishing Division, 2005.p. : 1822-37
2. CDC.Hepatitis B Information; 2016. Available at:

http://www.cdc.gov/Hepatitis/hbv/ [Accessed September 1, 2018].

3. WHO. Hepatitis B; 2016. Available at:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs20 4/en/ [Accessed

September 1, 2018].

4. Mohammad Juffrie, dkk. Gastroenterologi-Hepatologi. Jilid 1. IDAI.


2011
5. CDC. Hepatitis B. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention;

2010.

6. WHO. Hepatitis B. World Health Organization; 2002.

7. Anandhara et all. Pencegahan Transmisi Vertikal Hepatitis B: Fokus pada

Penggunaan Antivirus Antenatal. Jurnal Penyakit Dalam

Indonesia.2016;3: 225-31

8. Swanand SR, et all. Etiology of hepatitis in children . Int J Contemp

Pediatr. 2017 Nov;4(6):2130-2135

9. Feld J, et all. Hepatitis B. WGO Global Guideline.2015 Feb;1-35

10. Haruki K, Ayano I, Tomoo F. Pediatric hepatitis B treatment. Ann Transl

Med. 2017;5(3):1-13

11. Rukunuzzaman, et all. Management of Chronic Hepatitis B in Childhood:

A Comprehensive Guideline. Bangladesh J Child Health 2016; Vol 40

(2) : 103-114

12. Szu TC, Mei HC. Epidemiology and Natural History of Hepatitis B in

Children. Clinical Gastroenterology 2010; p.13-28

26
13. National Clinical Guideline Centre. Diagnosis and management of chronic

hepatitis B in children, young people and adults. National Institute for

Health and Care Excellence. June 2013.

14. PPHI. Panduan tatal laksana infeksi hepatitis B kronik Jakarta: PPHI;

2006.

15. Nel E, Sokol RJ, Comparcola D, Nobili V, Hardikar W, Gana JC, et al.

Viral hepatitis in children. JPGN. 2012 November; LV(5).

16. MENKES. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 53 tahun

2015 Tentang Penanggulangan Hepatitis Virus.

17. Maureen MJ, et all. Antiviral Therapy in Management of Chronic

Hepatitis B Viral Infection in Children: A Systematic Review and Meta-

analysis. Hepatology 2016;63:307-318

18. Grammati S, et all. Diagnosis and management of chronic hepatitis B in

children, young people, and adults: summary of NICE guidance. BMJ July

2013;347.p 31-5

19. Maureen MJ, et all. Treatment of Children With Chronic Hepatitis B Virus

Infection in the United States: Patient Selection and Therapeutic Options.

HEPATOLOGY, 2010. P 1-14

20. Mieli V, et all. Treatment of hepatitis B virus in children: why, whom,

how?. Indian Journal of Gastroenterology 2006 Vol 25 May – June. P

121-24

27

Anda mungkin juga menyukai