Etika Politik
Etika Politik
Upaya bangsa ini untuk keluar dari berbagai persoalan ekonomi, hukum,
politik, dan sosial tidak mudah diselesaikan. Dalam pandangan Yudi
Latif (2017), sulitnya pemulihan krisis yang dihadapi saat ini bukan
karena defisit sumber daya manusia dan orang pintar, melainkan karena
bangkrutnya moral kapital dari para pemimpin politik di negeri ini.
Upaya pemerintah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi
Pancasila (UKP-PIP) atau program revolusi mental Jokowi adalah wujud
nyata bahwa persoalan moral yang dihadapi bangsa ini sebagai
masalah yang serius. Namun, di era Jokowi ada kesadaran bahwa
persoalan nilai menjadi sangat penting agar negara ini bisa bertahan
dan bisa membangun dengan kesadaran baru. Yakni, pengelolaan
negara harus didasarkan pada prinsip moral (moral capital), yaitu
kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan
nilai-nilai, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat (Yudi Latif, Republika,
15/10/2017).
Cara-cara pengelolaan pemerintahan dan pembangunan tidak cukup
dilakukan dengan pendekatan yuridis formal. Sebab, sering pejabat
publik berlindung di balik aturan formal untuk mencari keuntungan
pribadi dan menikmati fasilitas negara secara berlebihan. Demikian
halnya, demokrasi yang dianut dalam kehidupan bernegara sekarang
menjadi semu dan tidak memiliki makna jika prosesnya dilakukan
dengan menghalalkan segala cara dan tidak beradab.
Oleh sebab itu, kesadaran etika sosial politik harus segara dicontohkan
oleh para pemimpin di negeri ini. Jika, seorang kepala daerah tidak
berhasil dalam melaksanakan programnya selama berkuasa, tidak perlu
mencalonkan diri untuk kedua kalinya. Jika seorang pelaku bisnis ingin
mencari keuntungan, lakukanlah dengan cara yang sesuai dengan
prinsip moral berbisnis sehingga konsumen tidak dirugikan.
Demikian halnya, ajaran moral masyarakat Indonesia, seperti
keramahtamahan, tumbuhnya rasa malu, pola hidup berdampingan,
serta gotong royong, perlu dipertahankan agar masyarakat kembali
disadarkan bahwa kita hidup di Indonesia memiliki sejumlah karakter
yang menjadi penciri bangsa ini. Sekaligus sebagai senjata untuk
melawan nilai-nilai dari luar yang tidak sejalan dengan kepribadian
bangsa Indonesia.
Akhirnya, etika sosial politik akan tumbuh kuat dan bisa
diimplementasikan dalam tataran kehidupan bernegara dan
bermasyarakat apabila negara ini bisa menumbuhkan kepercayaan
masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial. Negara ini akan roboh jika
terus-menerus mengalami krisis kepercayaan publik. Rakyat akan terus
mendambakan pengelolaan negara ini dilakukan dengan jujur,
transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Jika tidak? Krisis negara akan
terus berlanjut dan kita akan menuju negara gagal.
###
Etika berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus mengakui
bahwa saat ini banyak kalangan elite politik cenderung berpolitik dengan melalaikan
etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa mereka berpolitik dilakukan
tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan kepentingan kelompok, serta tidak
mengutamakan kepentingan berbangsa. Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan
hanya terjadi pembunuhan karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu
penyerangan pribadi, namun juga politik kekerasan pun terjadi. Para elite politik yang
saat ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan
tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka sebagian
besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang
berbasis primordial sehingga elite politik pun cenderung berperilaku yang sama
dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini merasa halal untuk
membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung langkah politiknya.
Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan mengabaikan etika, mereka tidak
sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang berbasis primordial di negeri ini cenderung
berimbang. Jika mereka terus berbenturan, tak akan ada yang menang.
Kurangnya etika berpolitik sebagaimana prilaku elite di atas merupakan akibat dari
ketiadaan pendidikan politik yang memadai. Bangsa kita tidak banyak mempunyai
guru politik yang baik, yang dapat mengajarkan bagaimana berpolitik tak hanya
memperebutkan kekuasaan, namun dengan penghayatan etika serta moral. Politik
yang mengedepankan take and give, berkonsensus, dan pengorbanan. Selain itu
kurangnya komunikasi politik juga menjadi penyebab lahirnya elite politik seperti ini.
Yaitu elite politik yang tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat, namun juga
menghasilkan orang-orang yang cenderung otoriter, termasuk politik kekerasan yang
semakin berkembang karena perilaku politik dipandu oleh nilai-nilai emosi.
Saat ini negara sedang mengalami berbagai persoalan, tentu kita semua telah mahfum.
Tidak hanya pada sektor atau bidang tertentu saja, persoalan telah muncul di hampir
semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan yang ada, persoalan itu semakin
hari bukannya semakin menyederhana tetapi kian kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi
bukan karena kita tidak melakukan apapun untuk mengatasinya. Setiap persoalan
telah coba kita atasi dan hadapi dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tertentu.
Pun demikian, reformasi segala bidang sudah ditempuh untuk melakukan perbaikan-
perbaikan. Itu sebabnya, reformasi pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi
segera berubah dan lebih baik. Sudah lebih kurang 14 tahun reformasi dilakukan,
persoalan-persoalan itu tak juga dapat tuntas diselesaikan. Ada beberapa bidang yang
mendapat klaim agak sedikit membaik, seperti bidang ekonomi misalnya, namun tidak
sedikit yang makin terpuruk seperti bidang hukum, politik, dan sosial.
Dulu, reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki hukum dan politik yang
kurang memberikan makna bagi kemaslahatan rakyat. Setelah reformasi, bukannya
tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering dibelokkan menjadi instrumen
untuk mencapai atau melanggengkan kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya
juga tak mampu meredam kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan
praktik-praktik kotor lainnya. Politik dipraktikkan dengan perilaku yang minim
kesantunan. Praktiknya, politik direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses
mewujudkan kebaikan bersama. Politik identitas semakin menguat mengalahkan visi
kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya diantara sesama warga bangsa
yang memudar pelan-pelan.Distrust itu telah menimbulkan disorientasi, tak ada
pegangan bagi rakyat mengenai hendak dibawa kemana bangsa ini dijalankan. Pada
gilirannya, disorientasi itu pun berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience),
yang dalam skala kecil atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa
dan negara.
Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik, dan ekonomi
dilakukan dan tak juga menunjukkan hasil, maka banyak yang kemudian meyakini
bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka, melainkan berkait dengan
soal etika berbangsa dan bernegara yang meredup. Betapapun sistem diubah dan
diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu
membenahi etika berbangsa dan bernegara. Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal
melemahnya etika berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya
perbaikan kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian
erat dengan krisis etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi harus
disertai upaya mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-
moral dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa
Indonesia sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945.
Untuk itu perlu diketahui tentang bagaimana sesungguhnya Carut marut politik
nasional, bagaimana Membangun politik etis dan berakhlak mulia, dan bagaimana
Membangun politik social.
Ketika Soeharto jatuh dan digantikan oleh B. J. Habibie, gerakan reformasi menggulir
terutama dibidang politik dan pemerintahan. Habibie berusaha untuk menegakkan
demokrasi dan meminta pemeilihan umum dipercepat dengan mengeluarkan UU No.
3 Tahun 1999 tentang Partai Politik dan Pemilu. Undang-undang ini membuka
kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang atau golongan untuk membentuk
partai politik yang tadinya sangat terbatas dan tertutup pada masa orde baru.
Menjelang pelaksanaan pemilu 1999 sudah ada 150 partai politik tercatat
didepartemen Kehakiman dan Perundang-undangan, namun hanya 48 partai politik
yang memenuhi persayaratan dan diperkenankan ikut menjadi peserta pemilu 1999.
Pada periode tersebut, terjadi konstalasi politik yang berubah karena Golkar sudah
berpisah dengan Karya ABRI setelah Edy Sudrajat dikalahkan oleh Akbar Tanjung
dalam memperebutkan jabatan Ketua Umum Golkar. Edy Sudrajat keluar membentuk
Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).
Liberalisasi politik telah dibuka oleh Habibie dengan membebaskan tahanan politik
yang bersikap kritis terhadap SOeharto, termasuk kelompok radikal bermukim di
Malaysia, Pakistan, dan Afganistan dibolehkan kembali ke Indonesia. Habibie juga
membuka kran kebebasan pers dan memberi kebebasan berorganisasi yang seluas-
luasnya kepada anggota masyarakat. Liberalisasi ini membawa dampak yang luas bagi
dinamika perpolitikan di Indonesia dengan perubahan jumlah partai politik dalam
pemilu 1999 sebanyak 48 partai politik. Adanya pertimbangan melihat jumlah partai
yang ada, serta banyaknya partai kecil yang tidak memenuhi syarat perolehan
suara (threshold) dalam pemilu 1999, maka melalui UU No. 12 Tahun 2002, partai
politik yang bisa diperkenankan ikut pemilu 5 April 2004 harus memenuhi ketentuan
pasal 9 yang menyatakan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik
peserta pemilu harus memenuhi kebijakan tersebut. Dalam pemilu 2004 tercatat ada
148.000.369 warga Negara Indonesia yang memiliki hak pilih, namun hanya
124.420.339 jiwa yang menggunakan suaranya. Ini berarti ada 23.580.030 orang tidak
menggunakan hak pilihnya. Pada pemilu 2004 tersebut juga dilakukan pemilihan DPR
dan DPD, dengan demikian, dalam tubuh MPR terdapat dua tempat, yakni DPR dan
DPD. Model ini sekali lagi mencoba meniru model pemerintahan Amerika dimana
kongres terdiri dari 2 rumah, yakni senat dan DPR. Berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, jika dalam DPR terdapat 100 orang wakil ditunjuk untuk jatah ABRI dan
Non-ABRI serta penempatan wakil daerah di MPR setelah melalui pemilihan di
DPRD tingkat provinsi, maka dalam pemilu 2004 semua anggota DPR dan anggota
DPD dipilih langsung oleh rakyat sesuai pasal 2 UU Nomor 22 tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR. Dengan demikian, terpilih tidaknya seseorang anggota
DPR dan DPD sangat tergantung dari pemilih. Perubahan ini sangat fundamental
karena sebelumnya keterwakilan seorang anggota DPR sangat ditentukan oleh
pimpinan partai.
Selain masalah partai politik, yang terjadi di masyarakat belakangan ini, pengabaian
moral dan etika berlangsung secara massif di hampir semua segi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Etika mengalami proses marginalisasi secara serius sedemikian rupa.
Pergeseran nilai akibat transaksi informasi global dan pola pikir pragmatis-
materialisme telah berimbas pada peminggiran etika, dalam arti, etika seringkali tak
lagi dijadikan acuan tindakan dan perilaku. Drama yang kita lihat belakangan ini, baik
di pentas politik, panggung sosial, maupun di arena penegakan hukum, hampir semua
mementaskan aktor dengan perilaku miskin etika.
Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Barangkali, seperti pernah dikatakan
oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanyaacademic exercise, hanya menarik
dibicarakan dalam konteks akademis di bangku-bangku kuliah. Senyatanya, terutama
di waktu sekarang ini, etika politik sekedar pemanis bibir saja. Kompetisi politik
terreduksi hanya pada persoalan kalah dan menang dalam meraih jabatan politik dan
kekuasaan. Padahal jelas, politik tanpa etika melahirkan sinetron demokrasi, yang
hanya menyuguhkan kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-
jelas mengancam demokrasi. Padahal, etika dalam politik akan memberikan jaminan
bahwa politik itu ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan
akhlak bangsa.
Karena persepsi kegiatan dan anggaran untuk keuntungan pribadi tersebut, berlomba-
lombalah para pejabat pemerintahan mengajukan dan mendapatkan anggaran
sebanyak-banyaknya walaupun tidak rasional jika dibandingkan dengan kemampuan
jabatan dan organisasi yang dimiliki untuk menjalankan program tersebut. Bahkan
untuk memperoleh anggaran itupun sudah dilakukan dengan ketidakjujuran data serta
melakukan penyuapan terhadap lembaga yang menentukan anggaran. Jika di hulu
anggaran sudah dilakukan dengan menghalalkan cara, tentu dalam pelaksanaan dan
pertanggungjawabannya pasti dipenuhi dengan kebohongan, yang pada akhirnya
merugikan rakyat.
Saat ini, banyak pejabat negara yang berperilaku tidak etis atau melanggar etika.
Banyak pejabat negara yang sedang mendapat sorotan masyarakat karena diduga
terlibat dalam kasus hukum tertentu, dengan enteng menjawab, buat apa mundur,
bukankah pengadilan belum membuktikan kalau saya bersalah. Padahal, seseorang
yang melanggar etika seharusnya merasa lebih berdosa daripada melanggar hukum
karena pada dasarnya etika merupakan dasar hukum. Hukum itu ada karena etika,
hukum merupakan nilai etik yang diundangkan. Karena itu, jika ada seorang
pemimpin atau pejabat negara sudah terbukti melanggar etika, maka seharusnya ia
malu dan lalu mengundurkan diri tanpa perlu menunggu putusan pengadilan. Pelajar
ilmu hukum pasti paham bahwa hukum itu adalah formalisasi dari nilai-nilai agama,
etika, dan kesusilaan yang semua menjadi kaidah-kaidah dalam bermasyarakat untuk
kemudian diformalkan menjadi aturan hukum. Oleh sebab itulah, kaidah-kaidah itu
harus dijadikan landasan dalam penegakan hukum.
Di bidang sosial, etika dalam pergaulan antar sesama warga semakin tergerus oleh
berbagai hal, mulai dari pergeseran nilai sebagai imbas modernitas, derasnya arus
informasi yang tak terbendung, sampai dengan menyeruaknya kembali politik
identitas. Perbedaan latar belakang, apakah itu agama, keyakinan, suku, aliran, atau
perbedaan lainnya, mudah sekali menyulut konflik meski dipicu oleh persoalan-
persoalan sepele. Terlebih lagi, perbedaan pendapat lebih sering diselesaikan dengan
menggunakan "okol" ketimbang akal. Akibatnya, alih-alih menyelesaikan masalah,
yang ada persoalan makin rumit dan kian meruncing. Kecenderungan lebih
menggunakan "okol" ketimbang akal menunjukkan melemahnya penghargaan dan
penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia.
Tak berhenti sampai di situ, etika di dunia pendidikan juga nyata-nyata semakin
dipinggirkan. Sekarang ini banyak orang yang suka melanggar etika akademis dan
etika keilmuan, misalnya orang membeli gelar akademik dan suka mencuri karya
keilmuan orang lain (plagiasi). Pada kasus lain, ada akademisi yang suka "menjual"
keahlian untuk menuliskan tesis atau disertasi orang lain dengan imbalan tertentu. Ada
pula pakar dari perguruan tinggi yang diminta menyampaikan pendapat ahli di
persidangan tetapi pendapatnya tidak mengacu pada pakem ilmiah-akademis
melainkan bergantung pesanan dan pendapatan. Dulu, orang menulis buku dan
menerbitkan merupakan prestasi akademik luar biasa yang membanggakan. Tetapi
sekarang, orang bisa punya artikel, buku, atau bahkan karya ilmiah tanpa harus
memiliki tradisi berpikir ilmiah dengan cara menyewa ghost writer lalu mengklaim
hasil tulisan itu sebagai karyanya, padahal ia tak paham substansinya. Mereka yang
mengabaikan etika ilmiah akademik itu merupakan orang yang tidak keberatan
membohongi diri sendiri. Dan apabila seseorang sudah bisa membohongi diri sendiri,
maka dia tidak sungkan untuk membohongi orang lain, itulah ciri koruptor atau calon
koruptor. Artinya, kemerosotan etika di dunia pendidikan turut berkontribusi banyak
dalam keterpurukan moral dan etika bangsa.
Dewasa ini, ukuran etis atau tidak, menjadi sangat lentur karena sikap permisif
masyarakat terhadap hal-hal yang sesungguhnya merupakan bentuk penyimpangan
sosial. Korupsi di negeri ini kian mengerikan dan merajalela, salah satunya karena
dianggap wajar. Sebagian lain malah menganggap korupsi sebagai budaya. Orang
korupsi itu hanya soal kesempatan, kalau pun ada kesempatan tapi tak korupsi,
dianggap sebagai orang yang sok bersih. Alhasil, kita sendiri tidak tahu bagaimana
cara memberantasnya. Seperti sering saya katakan, teori pemberantasan korupsi dari
gudang sudah habis. Semua teori dan cara sudah disarankan namun seolah tak ada
yang mempan, sementara negara terus menerus digerogoti.
Di bidang hukum, yang terjadi sekarang adalah hukum dibuat dan ditegakkan tanpa
bertumpu pada etika, moral, dan hati nurani sehingga menjauhi rasa keadilan. Aturan
hukum yang dibuat seringkali tak membawa perbaikan yang diinginkan. Salah satu
sebabnya karena terjadinya pelanggaran etika melalui politik kompromistis-
transaksional saat pembahasan di lembaga legislatif. Di ranah penegakan hukum, para
penegak hukum sering berhenti pada keinginan menegakkan bunyi pasal-pasal
undang-undang itu sendiri tanpa melibatkan moral dan etika. Penegakan hukum yang
hanya sekedar menekankan dan mengedepankan formalitas-prosedural di atas etika
dan moral keadilan publik sebagai sukma hukum, menyebabkan keadilan seringkali
gagal diwujudkan.
Hal serupa terjadi di bidang ekonomi. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari etika dan
moral, karena ekonomi tanpa etika sama halnya dengan kejahatan. Namun demikian,
saat ini kita melihat bagaimana aktivitas ekonomi yang dijalankan justru
mengesampingkan etika. Maraknya kasus korupsi berupa suap dalam
bentuk commitment feeatau kick back dalam proyek misalnya, menujukkan bagaimana
aktivitas ekonomi telah mengesampingkan etika. Padahal, jika saja etika untuk
memperoleh proyek pemerintah dipegang teguh, korupsi dan suap akan bisa dicegah.
Saat ini kita juga dapat melihat dikesampingkannya etika aktivitas ekonomi terhadap
lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat saat ini dan di
masa yang akan datang. Pelanggaran-pelanggaran atas etika terjadi pula dalam bidang
ekonomi terkait dengan lemahnya etika pemerintahan di birokrasi. Saya pernah
bertemu dengan pengusaha yang mengaku terpaksa menyuap pejabat karena
pejabatnya yang minta disuap sehingga kalau tidak menyuap dia akan kalah atau
dikalahkan oleh orang lain yang berani menyuap lebih tinggi.
Tentu kita miris dengan fenomena ini. Manakala etika tidak lagi dijadikan sebagai
acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ini bukan lain adalah suara
sirine tanda bahaya bagi negara ini. Saya sering menyebut kondisi negara saat ini
sedang dalam bahaya. Di dalam konstitusi memang ada ketentuan tentang negara
dalam bahaya dalam arti serangan dari luar, dari negara lain, sehingga negara dapat
menyatakan perang, namun keadaan sekarang ini lebih bahaya karena ancaman itu
justru datang dari dalam negara. Ancaman bahaya itu ialah terjadinya penggerogotan
dan pembusukan dari dalam negara ini sendiri. Krisis etika telah membuat kita sulit
menemukan orang-orang dengan perangai santun, tulus, toleran, mengapresiasi orang
lain secara berkeadaban dan manusiawi, dalam segala hal. Itu sesuatu yang ironis
mengingat jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya dibingkai oleh nalar untuk
memberikan penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan.
Sebenarnya, mulai hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah
disadari sejak awal reformasi. Hal ini karena salah satu faktor penyebab runtuhnya
rezim Orde Baru juga ialah masalah etika bernegara yang dilupakan. Tak dapat
disangkal bahwa Orde Baru berhasil memajukan pembangunan fisik atau ekonomi,
tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral.
Untuk mengembalikan dan meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR
membuat Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Ketetapan ini sesungguhnya saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan,
bahkan oleh para pejabat negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan
Etika Kehidupan Berbangsa meliputi:
1. Etika Sosial Budaya
Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan
menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling
menghargai, saling mencitai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan
warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yaitu malu
berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai
luhur budaya bangsa. Untuk itu juga perlu ditumbuhkan kembali budaya keteladanan
yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal
pada setiap lapisan masyarakat.
Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit
politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki
keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti
melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata
krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari
sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan
berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
a. Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal,
informal, dan nonformal dan pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin
negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat.
Atas dasar itu semua, harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dari situasi dan
lilitan bahaya ini. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran akibat
perilaku minim etika, sebaiknya kita harus segera mengembalikan etika dan moral
keadilan publik ke dalam setiap bidang kehidupan kita. Secara kolektif kita harus
segera menyadari kembali bahwa semua perilaku dan tindakan kita haruslah berbasis
pada etika dan moral dan mendudukannya sebagai ukuran paling penting. Sebab
secara kodrat, dimensi-dimensi etis dan keluhuran bangsa ini menjadi bagian tak
terpisahkan dari kultur dan jati diri bangsa.
Semua cara tentu harus ditempuh untuk memperkuat etika bernegara. Namun, terdapat
dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, pendidikan etika merupakan
pendidikan karakter yang berbeda dengan pendidikan sebagai transfer pengetahuan.
Dalam proses pendidikan karakter ini peran keteladanan jauh lebih besar dibanding
dengan proses verbal. Perilaku dosen dan pimpinan perguruan tinggi lebih besar
pengaruhnya terhadap pembentukan etika mahasiswa dibanding kuliah tentang etika
di kelas. Keteladanan dalam menegakkan kejujuran ilmiah dan keberanian dalam
menegakkan kebebasan akademik serta kebebasan mimbar akademik menjadi hal
yang sangat penting untuk ditumbuhsuburkan di kampus-kampus. Demikian pula,
keteladanan aparat dan pimpinan pemerintahan akan berpengaruh lebih tinggi
terhadap upaya memperkuat etika bernegara di kalangan masyarakat dibanding
dengan model penataran, berapa jam pun penataran itu diberikan.
Kedua, persoalan etika bernegara tidak dapat diselesaikan hanya oleh negara dan para
aparatnya. Negara dalam geraknya diwakili oleh aparat yang juga merupakan anggota
masyarakat. Dengan sendirinya perubahan etika bernegara yang terjadi di kalangan
aparat sesungguhnya mencerminkan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Sebaliknya, aparat dan pimpinan adalah model bagi anggota masyarakat. Semuanya
saling terkait sehingga harus dilakukan secara simultan. Di era demokrasi saat ini,
masyarakat memiliki peran besar untuk menentukan pemimipin yang beretika
sekaligus mampu memperkuat etika berbangsa dan bernegara. Untuk dapat melakukan
hal ini, tentu harus ada kesadaran terlebih dahulu di kalangan masyarakat serta
organisasi masyarakat dan politik tentang pentingnya etika berbangsa dan bernegara.
Atas dasar itulah, nilai-nilai etika dan moral harus benar-benar hidup di dalam
sanubari dan kehidupan kita. Sebab, apapun itu, kalau tidak bersumber atau dilandasi
oleh etika dan moral, akan berpotensi besar membahayakan masa depan dan
menggagalkan tujuan kita mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang
demokratis, berkeadaban, dan berkeadilan.
Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai
hubungan timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian
dari perilaku komunikasi kemudia komunikasi juga ikut menentukan, memelihara,
mengembangkan atau mewariskan budaya. Ini berlaku juga pada budaya politik yang
berpengaruh kuat terhadap komunikasi politik di Indonesia.
Dalam kehidupan masyarakat, Almond dan Verba mengatakan bahwa ada tiga tipe
budaya politik yang dapat ditemukan, yaitu budaya parokial, kaula, dan partisipan.
Untuk Indonesia sendiri saat ini ada dua budaya politik yang ada dalam masyarakat,
yaitu budaya politik parokial dan kaula. Masyarakat Indonesia masih tertinggal dalam
hak dan kewajiban akan politiknya. Hal ini disebabkan pengalaman politik di
kehidupan masa lalu, seperti imperialisme, feodalisme, dan patrimonialisme. Hanya
sebagian saja yang sudah memiliki budaya partisipan dalam kehidupan politknya,
yaitu kalangan elite politik dan masyarakat perkotaan. Hal ini ditopang oleh
kemampuan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi.
Sistem politik demokratis yang dijalankan Indonesia saat in masih belum seiring
dengan kebudayaan politik yang ada di dalamnya. Idealnya, negara yang
demokratis bisa didapatkan jika budaya politik masyarakat yangpartisipan. Namun,
kembali pada budaya politik yang terdapat di Indonesia-parokial dan kaula-belum bisa
mewujudkan sistem yang demokrasi. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya,
kalangan pemerintah dan elite politik harus mengambil langkah-langkah strategis
demi mewujudkan budaya politik partisipan (demokrasi). Ini dilakukan untuk
mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratis. Kepentingan dan
aspirasi rakyat harus menjadi pusat perhatian dalam pengambilan kebijakan.
Penerapan suatu konsep seringkali menjadi kabur ketika akan diaplikasikan di dalam
praktek berpolitik dalam kehidupan sehari-hari, namun proses institusionalisasi
demokrasi partisipatif akan terdorongmelalui desentralisasi dan devolusi kewenangan
ke tigkat lokal karena partisipasi maksimum masyarakat dapat ditingkatkan dengan
mengurangi ukuran dariunit pengambilan keputusan. Demokrasi pertisipatif juga
dapat ditingkatkan dengan memfasilitasi terbangunnya institusi masyarakat seperti
asosiasi berbasis tempat tinggal, mata pencaharian, hobi dan sebagainya yang
memungkinkan berlangsungnya solidaritas antar individu dan upaya kolektif.
Keberadaan komite masyarakat, forum masyarakat dan bentuk-bentuk asosiasi yang
demokratis lainnya dianggap strategis untuk mengimplementasikan demokrasi
partisipatif.
###