Arifin Rudiyanto *)
Pendahuluan
Pembangunan ekonomi Indonesia pada masa yang lalu ditekankan pada pertumbuhan
(growth) ternyata telah menimbulkan berbagai ketimpangan (disparity). Manfaat
pembangunan lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat lapisan atas, sehingga terjadi
kesenjangan sosial (social gap) yang besar. Orientasi pertumbuhan tersebut hanya mendorong
perkembangan usaha dan industri skala besar serta kelompok-kelompok tertentu, sehingga
terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara usaha skala kecil dan mikro (UKM) dan usaha
menengah-besar (UMB). Pendekatan sektoral yang diharapkan dapat membentuk keterkaitan
(lingkaged) ternyata telah menumbuhkan ”ego sektoral” yang juga menyebabkan
ketimpangan sektoral. Begitu juga terjadinya ketimpangan wilayah, khususnya antara desa-
kota, lebih banyak diakibatkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan)
diarahkan untuk melayani daerah perkotaan yang memiliki pertumbuhan cepat. Selain itu,
ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah yang proporsional akibat dari wilayah
perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas
primer dari perdesaan. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan
sumberdaya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis, dan kemudian kota
hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi
kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi kota dan desa.
* )
Dr. Ir. Arifin Rudiyanto. M.Sc adalah Direktur Kerja Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas. Pokok-
pokok pikiran dalam tulisan ini pernah disampaikan sebagai Policy Paper dalam rangka uji kompetensi untuk pengisian
jabatan Direktur Kerja Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas (Eslon IIa)-red
Halaman 1
Berkaca kepada pembangunan daerah (regional development) selama ini, yang
sesungguhnya merupakan pembangunan sektoral di daerah, merupakan asal muasal
kesenjangan antar wilayah dan cermin kegagalan koordinasi dan keterpaduan dalam
pembangunan wilayah. Sesuai dengan visi dan misi otonomi daerah, maka perubahan
paradigma harus dilakukan, sehingga pendekatan-pendekatan pembangunan kewilayahan
dapat benar-benar mampu memanfaatkan dan mengelola potensi sumber daya daerah bagi
sebesar-besarnya kesejahtraan masyarakat di daerah itu sendiri.
Pendekatan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu akan mampu mewujudkan
pembiayaan pembangunan yang efisien, mengingat tidak terdapat lagi duplikasi dan tumpang
tindih (overlaping) antarsektor serta dengan daerah, sehingga pembiayaan pembangunan tidak
lagi membutuhkan pembiayaan penganggaran yang mahal. Dalam upaya mencapai
keberhasilan pembangunan melalui pendekatan pembangunan yang utuh dan terpadu tersebut,
seyogyanya memenuhi kondisi-kondisi, yaitu: (1) melibatkan stakeholder yang terkait baik
dari unsur pemerintah maupun non pamerintah, dan (2) melibatkan berbagai tingkat
pemerintahan atau penyelenggaraan negara. Pada kondisi pertama, maka proses penyusunan
konsep pembangunan harus menjadi proses interaksi lintaspelaku yang terbuka dan sistemik.
Artinya, tahap-tahap sosialisasi, dialog, diskusi, dan publik policy hearing/consultation harus
secara intensif dilakukan dilakukan bersama-sama di antara seluruh stakeholders. Inti proses
perencanaan tersebut adalah memadukan dua alur proses perencanaan, yaitu, antara
perencanaan yang dilakukan oleh unsur pemerintah sebagai pihak eksekutif dan yang
dilakukan unsur non pemerintah, yang difasilitasi oleh pihak legislatif. Keterpaduan dan
sinkronisasi antara kedua bentuk perencanaan tersebut pada akhirnya bermuara pada
terjadinya pada keputusan publik untuk mewudkan kebijakan dan strategi pengembangan
wilayah yang didukung kesepakatan seluruh pelaku pembangunan (stakeholders). Sementara
pada kondisi yang kedua, proses penyusunan konsep tersebut merupakan proses levelling
dua arah yang mamadukan bentuk bottom up planning – mulai dari level desa, kecamatan,
kabupaten/kota sampai dengan propinsi – dan top down policy – mulai dari propinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan desa.
Pengamatan tentang proses pembangunan daerah tidak dapat dilepaskan dari system
ekonomi-politik negara yang bersangkutan. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu
dimulai dengan pertanyaan yang menyangkut sektor apa yang perlu dikembangkan (hirarki
2), untuk mencapai suatu tujuan pembangunan nasional (hirarki 1); sub-pertanyaan dapat
berbentuk: berapa banyak harus diproduksi, dengan cara atau teknologi apa, dan kapan
Halaman 2
produksi dimulai. Setelah tahapan hirarki tersebut selesai, baru muncul pertanyaan: di mana
aktivitas tiap sektor akan dijalankan (hirarki 3), selanjutnya hirarki proses perencanaan
ditutup dengan pertanyaan standar menyangkut (hirarki 4): kebijakan apa, strategi apa, dan
langkah-langkah apa yang perlu diambil (Aziz, 1993).
Tujuan Pembangunan
Hirarki 1 Nasional
Hirarki 2 Sektor terpilih
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa berbeda dengan pendekatan sektoral, sesuai
dengan namanya, pendekatan regional lebih menitikberatkan pertanyaan: daerah mana yang
perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan baru kemudian sektor apa yang sesuai untuk
dikembangkan di masing-masing daerah. Jadi hirarki 2 dan hirarki 3 di bagian 1 bertukar
tempat. Di dalam kenyataan, pendekatan regional sering diambil tidak dalam kerangka
totalitas, melainkan hanya untuk beberapa daerah tertentu; misalnya daerah terbelakang,
daerah perbatasan, atau daerah yang diharapkan mempunyai posisi strategis dalam arti
ekonomis-politis. Untuk Negara Indonesia, yang diperlukan adalah gabungan (kombinasi)
antara dua pendekatan tersebut; bukan ”sektoral” atau ”regional,” tetapi keduanya perlu
berjalan bersama. Hal ini sangat penting, tidak hanya dari segi konsep, tetapi juga dari segi
pelaksanaan khususnya yang menyangkut koordinasi pembangunan di daerah dalam kerangka
sistem pemerintahan yang ada. Arah tersebutlah yang perlu dituju. Selama ini tampaknya
selalu ada kecenderungan berat sebelah. Pendekatan sektoral kerap kali (kalau tidak, selalu)
mendominasi proses perencanaan. ltulah sebabnya kita temui suatu keadaan dimana otoritas
dan pengawasan departemen untuk tiap sektor, misalnya Departemen Pertanian, Departemen
Perindustrian dan Departemen Pertambangan, lebih efektif daripada Pemerintah dan instansi
daerah, meskipun di atas kertas keterlihatannya adalah sebaliknya. Karena arah yang dituju
adalah gabungan antara pendekatan ”sektoral” dan ”regional” maka dalam melakukan
pengamatan tentang pembangunan daerah di Indonesia perlu selalu dikaitkan dimensi sektoral
dengan dimensi spasial.
Halaman 3
para asosiasi dan pengusaha swasta, pemerintah daerah, LSM, serta masyarakat pelaku
langsung. Dengan adanya keterlibatan berbagai pelaku pembangunan untuk pengembangan
ekonomi daerah, maka kerjasama antara seluruh pihak mutlak dilaksanakan.
UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah telah membuka kewenangan yang semakin besar bagi pemerintah daerah dalam
merencanakan dan menggunakan sumber-sumber keuangannya. Untuk itu, perlu pula
dilakukan reformasi fiskal yang mendukung alokasi sumber daya yang lebih baik terutama ke
kawasan-kawasan yang belum berkembang, termasuk diantaranya reformasi di bidang
perpajakan. Deregulasi sektor riil juga perlu memperhatikan perkembangan kemampuan
daerah.
Struktur kelembagaan dan aparat pemerintah daerah selama ini mencerminkan sistem
pemerintahan berjenjang. Walaupun propinsi dan Kabupaten juga berfungsi sebagai daerah
otonom, yang mempunyai kewenangan dalam daerahnya sendiri, namun dalam berbagai
implementasi pelaksanaan pembangunan selama ini daerah lebih menunggu petunjuk dari
Pusat. Proses pengambilan keputusan yang demikian kemudian berkembang menjadikan
aparat daerah lebihmelayani aparat Pusat daripada melayani masyarakat daerahnya.
Dalam era demokratisasi yang semakin berkembang seperti sekarang ini, yang
ditunjang oleh berbagai peraturan dan perundang-undangan mengenai penataan ruang di
setiap propinsi dan kabupaten/kota dapat menjadi acuan aparat daerah dalam mengelola
berbagai unsur ruang (seperti sumber daya alam, manusia dan buatan) secara optimal, serta
mengembangkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Halaman 4
Untuk kepentingan stabilitas ekonomi dan politik selama ini pemerintah memegang
kendali yang lebih besar terhadap sumber-sumber penerimaan dan berbagai kebijaksanaan
pelayanan masyarakat. Hal ini dilakukan mengingat kebutuhan dasar masih sangat kurang,
resiko investasi masih sangat besar, dan tingkat pendidikan rata-rata manusia di daerah masih
rendah.
Sebagai suatu organisasi, setiap negara pada dasarnya memerlukan rencana yang
memuat tujuan dan sasaran nasional yang akan dicapai dalam suatu kurun waktu tertentu di
masa yang akan datang serta strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut. 1 Pemerintah
Republik Indonesia menyadari bahwa alokasi sumberdaya yang efisien dan efektif, serta
koordinasi perencanaan Pembangunan Nasional adalah tugas, fungsi dan wewenangnya. Pada
saat ini, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2002, Kantor Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kantor
Meneg PPN/Bappenas) mempunyai tugas membantu Presiden di bidang perencanaan
pembangunan nasional.2
1
Perencanaan (jangka panjang, menengah dan tahunan) tersebut diperlukan untuk mencapai tujuan bangsa menurut
Pembukaan UUD 1945 yaitu kehidupan masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas.
2
Pada tahun 1955, Ir. Juanda menerbitkan suatu policy paper tentang “Organization of economic development
planning” yang dianggap sangat fundamental sebagai cikal bakal pembentukan Bappenas sebagai institusi perencana
(Higgins, 1957:40-94). Selanjutnya, dibentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dengan Keputusan Presiden No.
12/1963. Kemudian, pada masa Orde Baru Keppres No. 12/1963 diganti dengan Keppres No. 35/1973 tentang pembentukan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Halaman 5
Selanjutnya, Keputusan Meneg PPN/Kepala Bappenas Nomor: 050/M.PPN/03/2002
tanggal 26 Maret 2002 dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa “Kantor Meneg PPNN/Bappenas
menyelenggarakan fungsi antara lain pengkoordinasian kebijakan perencanaan pembangunan
nasional, serta pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan
program, pemantauan, analisis dan evaluasi di bidang perencanaan pembangunan nasional.”
Sedangkan Pasal 4 ayat d (ii) menyebutkan bahwa “Kantor Meneg PPN/Bappenas
mempunyai kewenangan dalam merumuskan kebijakan perencanaan nasional secara makro
dan memadukan perencanaan lintas sektoral dan lintas wilayah.” Sejak dibentuknya pada
tahun 1973, Bappenas telah melakukan peran strategis baik dalam penyusunan makro,
sektoral dan regional.3
Dinamika perubahan yang terjadi baik di jenjang nasional maupun global saat ini dan
di masa datang menuntut terjadinya perubahan orientasi dan pendekatan yang digunakan
dalam perencanaan dan koordinasi pembangunan. Perubahan lingkungan strategis nasional
dan internasional yang perlu diperhatikan antara lain:
(i) Demokratisasi. Proses perencanaan pembangunan dituntut untuk disusun secara terbuka
dan melibatkan semakin banyak unsur masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan
yang dihasilkan merupakan komitmen kuat dari seluruh masyarakat mengenai tatanan
masyarakat yang hendak dibangun dan bagaimana cara mencapainya. 4
(ii) Otonomi Daerah. Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu sinkron dan sinergis
antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten serta menghindari kemungkinan timbulnya
kesenjangan yang makin melebar akibat perbedaan sumberdaya pembangunan yang
dimiliki masing-masing daerah.
(iii) Globalisasi. Perencanaan pembangunan dituntut untuk mampu mengantisipasi
kepentingan nasional dalam kancah persaingan global. Diperlukan kebijakan yang
mampu mewujudkan koordinasi dan integrasi upaya-upaya Pemerintah RI dengan
pemerintah negara lain atau organisasi-organisasi internasional. 5
(iv) Perkembangan Teknologi. Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu beradaptasi
dengan perubahan teknologi yang cepat yang dapat merubah perekonomian dunia dalam
waktu singkat.6
3
Bappenas memiliki kewenangan alokasi Anggaran Pembangunan, yang tercakup dalam pengajuan RAPBN oleh
Presiden pada tanggal 5 Januari setiap tahun, termasuk rencana penerimaan dan penggunaan pinjaman dan bantuan luar
negeri. Kewenangan penganggaran ini merupakan perangkat perencanaan (planning instrument) bagi Bappenas untuk
menjamin keterpaduan ketiga macam perencanaan tersebut dan keserasian pelaksanaan pembangunan pada tingkat nasional
maupun pada tingkat daerah. Kinerja pembangunan, sejak tahun 1973 sampai saat sebelum terjadinya krisis multidimesi pada
akhir tahun 1990an, yang cukup stabil dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi adalah gambaran hasil peran dan fungsi
BAPPENAS dalam pembangunan nasional. Peran strategis BAPPENAS, yang didukung oleh kewenangan penganggaran dan
kualitas staf yang cukup tinggi, adalah faktor yang menentukan mengingat besarnya peran investasi dan intervensi pemerintah
dalam pembangunan nasional pada saat itu. Peran dan fungsi BAPPENAS dapat dilakukan dengan baik karena BAPPENAS
berkapasitas memperoleh informasi yang baik, akses kepada pimpinan pemerintahan dan negara serta adanya kewenangan
dalam alokasi anggaran.
4
Mengingat mulai tahun 2004 tidak ada lagi GBHN, dominasi legislatif dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat,
maka diperlukan suatu pedoman pembangunan nasional yang menjadi acuan program kerja Presiden terpilih agar arah
pembangunan nasional sesuai dengan apa yang tertuang dalam UUD 1945. Dalam kaitan ini peran BAPPENAS sebagai
lembaga perencanaan yang mampu menghasilkan perencanaan pembangunan yang disusun secara obyektif, ilmiah, rasional
serta non partisan menjadi sangat penting.
5
Dalam kaitan ini, kondisi social-ekonomi-politik-hankam dalam negeri sangat sensitive terhadap gangguan kecil di
masyarakat.
6
Hal ini menuntut kelembagaan perencanaan dengan SDM yang mampu mengidentifikasi isu-isu strategis dalam
perencanaan pembangunan nasional; mengumpulkan, menyeleksi, dan memproses informasi-informasi berkaitan dengan isu-
isu strategis tersebut; dan juga menunjukkan prioritas-prioritas yang harus dikerjakan oleh lembaga pelaksana terkait dengan
isu-isu strategis yang berkembang sangat cepat ini.
Halaman 6
budaya nasional; dan (v) kurang berkembangnya kapasitas pembangunan daerah dan
masyarakat.7
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka secara ringkas misi yang dapat dijalankan
oleh Bappenas adalah:
(i) Menyusun sistem dan mekanisme proses perencanaan pembangunan nasional yang
partisipatif, rasional, obyektif dan nonpartisan.
(ii) Menyusun perencanaan yang komprehensif, terpadu dan fleksibel.
(iii) Melaksanakan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan pembangunan nasional serta
pelaksanaannya.
7
Tertulis dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
8
Perencanaan yang dimaksud adalah terkait dengan: (i) mendefinisikan kondisi ideal jangka panjang; (ii) pola interaksi
terkait dengan perkembangan lingkungan internasional; (iii) terkait dengan struktur kelembagaan; (iv) kegiatan yang harus
dilakukan beserta prioritasnya; serta (v) alokasi semua bentuk sumber daya
9
Sebagai contoh isu “jangka pendek” bidang kependudukan mungkin satu decade, sedangkan isu “jangka panjang”
untuk harga komoditi mungkin dalam kurun waktu bulanan.
10
Memberikan akses untuk informasi, metodologi, dan pelatihan kepada semua pihak yang tertarik dengan berbagai alternatif
dan strategi perencanaan pembangunan.
11
Perencanaan yang dimasud meliputi perencanaan jangka panjang, yang dijabarkan dalam program jangka menengah
dan jangka panjang. Komprehensif berarti meliputi bidang-bidang sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan lainnya, disamping ekonomi. Terpadu, yaitu antarkementerian, antara pusat dan daerah, dan
antar daerah, antar sektor dan daerah, antara kepentingan dalam negeri dan komitmen internasional, serta antar Pemerintah
dan swasta. Fleksibel, yaitu mengantisipasi jaman yang cepat berubah.Partisipatif, yaitu dengan memfasilitasi dan
mensinergikan seluruh sumberdaya yang dimiliki bangsa, tidak hanya dari APBN/D. Rasional, yaitu berdasarkan data dan
informasi akurat serta kaidah-kaidah yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Obyektif dan nonpartisan, yaitu
semata-mata untuk kepentingan masyarakat dan bukan kepentingan golongan/partai politik.
Halaman 7
(iv) Melakukan monitoring dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pembangunan nasional.
Peran Direktorat KPSD dalam mendukung fungsi dan tugas pokok Bappenas tentu
tidak terlepas dari visi dan misi Bappenas. Berdasarkan Pasal 249 Keputusan Meneg
PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP. 050/M.PPN/03/2002 tanggal 26 Maret 2003, tugas
pokok Direktorat KPSD adalah melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi,
sinkronisasi pelaksanaan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional di
bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah serta pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaannya.
12
Penjelasan lebih rinci dapat dibaca dalam dokumen “Rencana Strategis Direktorat Kerjasama Pembangunan
Sektoral dan Daerah, Bappenas”, April 2003.
13
Sinkronisasi, berarti hal-hal yang menjadi prioritas kegiatan sektor sesuai dengan aspirasi/kebutuhan daerah. Koordinasi,
berarti kegiatan yang dilakukan lembaga-lembaga di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten terarah pada satu tujuan dan
sasaran yang disepakati bersama. Desentralisasi dan otonomi daerah, dimaksudkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya menurut UU No. 22/1999 dan aturan-aturan
pelaksanaannya. Optimal, berarti semua stakeholder telah berupaya sebaik-baiknya untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Halaman 8
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang dapat dijalankan oleh Direktorat
KPSD adalah:
Tujuan dari dari kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Direktorat KPSD sesuai
visi dan misi yang ditetapkan adalah:
(i) Mengembangkan sistem deteksi dini (early warning system) untuk isu-isu strategis dalam
kerjasama pembangunan sektor dan daerah.
(ii) Mengembangkan sistem dan mekanisme kerjasama pembangunan sektor dan daerah, baik
intern BAPPENAS, antar sektor di Pusat, antar pusat dan daerah, antar Pemerintah dan
masyarakat (swasta).
(iii) Mengembangkan sistem dan prosedur untuk menjamin partisipasi masyarakat seluas-
luasnya dalam proses perencanaan pembangunan.
(iv) Memberi masukan tentang prioritas-prioritas kegiatan sektoral yang dibutuhkan daerah
serta prioritas-prioritas pembangunan daerah kepada sektor dalam konteks kerjasama
pembangunan sektor dan daerah.
Sasaran-sasaran yang ingin dicapai melalui berbagai kegiatan di Direktorat KPSD adalah:
Dalam rangka mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran Direktorat KPSD, maka
perlu disusun rencana tindak (action plan) yang lebih operasional dan merujuk pada skala
prioritas (Penjabaran secara rinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran). Secara garis besar
kebijakan dalam rencana tindak Direktorat KPSD adalah sebagai berikut:
(i) Identifikasi isu-isu strategis berikut dinamika perubahannya melalui analisa data
kuantitatif (sosio-ekonomi, spatial, statistik, dll) serta kualitatif (hasil-hasil penelitian dan
kajian).
(ii) Analisa potensi dan masalah lingkup regional (propinsi dan kabupaten)
(iii) Analisa dan penyusunan dokumen “Wilayah Pengembangan Sektor”
(iv) Komunikasi, sinkronisasi dan koordinasi kerjasama pembangunan sektor dan daerah.
(v) Pengembangan profesionalisme dan infrastruktur kelembagaan.
Halaman 9
Good Governance dalam Perencanaan Pembangunan Nasional
Pengelolaan yang baik (good governance) yang antara lain mencakup prinsip-prinsip
partisipasi, taat azas (hukum), transparansi, kesamaan, kepekaan, visi, akuntabilitas,
pengawasan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme telah menjadi tuntutan dalam
penyelenggaraan pemerintahan saat ini. Dalam konteks perencanaan pembangunan pada
umumnya dan Bappenas khususnya, good governance memerlukan tiga faktor yang harus
ditangani dengan baik yaitu: dukungan politik, kualitas administrasi kelembagaan dan
kapasitas menyusun, menerapkan serta mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang diterapkan di
berbagai bidang.
Sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini, peran dan fungsi Bappenas sangat rentan
terhadap perubahan konfigurasi politik dalam negeri. Pasang-surut peran dan fungsi lembaga
perencanaan diyakini sebagai akibat tidak adanya “political will” berupa landasan hukum
yang kuat bagi lembaga perencanaan nasional. Idealnya, ada Undang-undang Sistem
Perencanaan Nasional sebagai dasar pelaksanaan proses perencanaan pembangunan nasional.
Kalaupun keberadaan UU tidak memungkinkan, Peraturan Pemerintah yang mengatur sistem
dan proses perencanaan juga cukup memadai. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah
dukungan Presiden terpilih tentang perlunya kelembagaan perencanaan.
Penutup
Proses untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran melalui berbagai rencana
tindak yang diterapkan sangat dipengaruhi oleh kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang
yang dimiliki dan dihadapi Bappenas pada umumnya serta Direktorat KPSD pada khususnya.
Kekuatan yang dimiliki Bappenas adalah pada kualitas dan diversifikasi keahlian
SDM yang dimiliki, etos kerja serta karakteristik proses perencanaan yang partisipatif,
rasional, obyektif dan nonpartisan, serta adanya semangat dan komitmen yang tinggi dari para
staf untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kelemahan Bappenas serta Direktorat
KPSD sebagai unit organisasi Bappenas adalah relatif masih lemahnya komunikasi dan
koordinasi antar Direktorat dan antar staf di Bappenas, serta belum adanya sistem dan
mekanisme yang memaksa Direktorat untuk saling bersinergi.
Halaman 10
Negara yang bila berlaku sepenuhnya akan mengurangi bahkan meniadakan peran Bappenas;
serta status Bappenas yang sangat tergantung pada kepentingan atau selera elit politik
nasional.
Halaman 11
Daftar Pustaka
Ackoff, Russell. 1977. National development planning revisited. Operation Research. Vol.
23, No. 2 (March – April, 1977).
Aggarwala, Ramgopal. 1983. Planning in developing countries: Lessons from experience.
World Bank Staff Working Paper No. 576. Washington D,C.: The World Bank.
Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah. 2003. Rencana Strategis.
Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000
Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 – 2004.
Sagasti, Fransisco. 1987. National development planning in turbulent times. Social Systems
Science Department, The Wharton School, University of Pennsylvania, Philadelphia.
Sagasti, Fransisco. 1990. An institutional approach to national development planning.
Technological Forecasting and Social Change, Vol. 37:321-334. Elsevier Science
Publishing Co., Inc.
Aziz, Iwan Jaya, 1993. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004.
The Peter F. Drucker Foundation for Nonprofit Management, 1996. “Emerging Partnership”,
Report.
UNDP, UN-Habitat & Bappenas. KPEL’s 13 Steps to Local Economic Development. July
2002.
Blakely, Edward. J. Planning Local Economic Development. Theory and Practice. Second
Edition. Sage Publications, Inc. 1994.
Halaman 12