Anda di halaman 1dari 12

Urgensi Kerja Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah

Dalam Mendukung Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas


Dalam Era Otonomi Daerah

Arifin Rudiyanto *)

‘Politics has been defined as the art of the possible ..........


Planning should be the art and science of the impsossible’
(Russell Ackoff, 1977)

Pendahuluan

Pembangunan ekonomi Indonesia pada masa yang lalu ditekankan pada pertumbuhan
(growth) ternyata telah menimbulkan berbagai ketimpangan (disparity). Manfaat
pembangunan lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat lapisan atas, sehingga terjadi
kesenjangan sosial (social gap) yang besar. Orientasi pertumbuhan tersebut hanya mendorong
perkembangan usaha dan industri skala besar serta kelompok-kelompok tertentu, sehingga
terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara usaha skala kecil dan mikro (UKM) dan usaha
menengah-besar (UMB). Pendekatan sektoral yang diharapkan dapat membentuk keterkaitan
(lingkaged) ternyata telah menumbuhkan ”ego sektoral” yang juga menyebabkan
ketimpangan sektoral. Begitu juga terjadinya ketimpangan wilayah, khususnya antara desa-
kota, lebih banyak diakibatkan oleh investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan)
diarahkan untuk melayani daerah perkotaan yang memiliki pertumbuhan cepat. Selain itu,
ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah yang proporsional akibat dari wilayah
perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas
primer dari perdesaan. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan
sumberdaya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis, dan kemudian kota
hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi
kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi kota dan desa.

Sejalan dengan permasalahan tersebut, terdapat persoalan yang sebetulnya


memerlukan penanganan yang sangat serius yaitu kesenjangan antar daerah serta kesenjangan
antara sektoral dan daerah. Secara empiris, kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh faktor-
faktor: (i). struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi
rumahtangga atau masyarakat, khususnya pada sektor-sektor ekonomi yang menjadi basis
ekspor dengan orientasi domestik; (ii).potensi regional (sumber daya alam, lingkungan,
kelembagaan, asset pengalaman dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan
struktur kegiatan produksi. Pada daerah-daerah yang beruntung memiliki sumberdaya
berbasis ekspor, maka daerah-daerah ini secara relatif lebih makmur dibandingkan dengan
daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya yang dapat dipasarkan keluar; dan (iii).
kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala
lokal, regional dan global. Adanya kerangka kelembagaan yang kokoh akan sangat
mempengaruhi posisi tawar-menawar dengan pihak pemasok (supplier) maupun pihak
hilirnya.

Keterpaduan & Koordinasi Dalam Pengembangan Wilayah

* )
Dr. Ir. Arifin Rudiyanto. M.Sc adalah Direktur Kerja Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas. Pokok-
pokok pikiran dalam tulisan ini pernah disampaikan sebagai Policy Paper dalam rangka uji kompetensi untuk pengisian
jabatan Direktur Kerja Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas (Eslon IIa)-red

Halaman 1
Berkaca kepada pembangunan daerah (regional development) selama ini, yang
sesungguhnya merupakan pembangunan sektoral di daerah, merupakan asal muasal
kesenjangan antar wilayah dan cermin kegagalan koordinasi dan keterpaduan dalam
pembangunan wilayah. Sesuai dengan visi dan misi otonomi daerah, maka perubahan
paradigma harus dilakukan, sehingga pendekatan-pendekatan pembangunan kewilayahan
dapat benar-benar mampu memanfaatkan dan mengelola potensi sumber daya daerah bagi
sebesar-besarnya kesejahtraan masyarakat di daerah itu sendiri.

Perwujudan strategi pengembangan daerah secara praktis sebenarnya terletak pada


aktualisasi konsep pembangunan wilayah secara utuh dan terpadu (comprehensive and
integrated area development concept). Prinsip penting dalam pelaksanaan pendekatan
pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu adalah kemampuan menemukenali potensi
wilayah yang ada untuk dikembangkan dengan berbagai masukan program pembangunan.
Ciri dari pendekatan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu adalah kemampuan untuk
mewujudkan efisiensi dan efektifitas fungsi perencanaan dan penganggaran pembangunan
daerah. Prinsip-prinsip yang dianut adalah: (1) azas keseluruhan (comprehensive) sektor dan
daerah secara terpadu, bukan lagi ‘penjumlahan’ (agregative) masing-masing sektor secara
terpisah, mengingat proses awal perencanaan diletakkan dalam kebutuhan suatu wilayah
secara keseluruhan, yang nantinya akan diterjemahkan kedalam spesifikasi masing-masing
sektor, sehingga pelaksanaan pembangunan masing-masing sektor secara otomatis akan
berakumulasi dalam mendukung sasaran pembangunan wilayah yang menjadi konsep
indunya; (2) azas saling keterkaitan (lingkaged) diantara masing-masing sektor dan daerah
secara signifikan, mengingat semua sektor berada dalam suatu kerangka perencanaan
pembangunan daerah yang utuh.

Pendekatan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu akan mampu mewujudkan
pembiayaan pembangunan yang efisien, mengingat tidak terdapat lagi duplikasi dan tumpang
tindih (overlaping) antarsektor serta dengan daerah, sehingga pembiayaan pembangunan tidak
lagi membutuhkan pembiayaan penganggaran yang mahal. Dalam upaya mencapai
keberhasilan pembangunan melalui pendekatan pembangunan yang utuh dan terpadu tersebut,
seyogyanya memenuhi kondisi-kondisi, yaitu: (1) melibatkan stakeholder yang terkait baik
dari unsur pemerintah maupun non pamerintah, dan (2) melibatkan berbagai tingkat
pemerintahan atau penyelenggaraan negara. Pada kondisi pertama, maka proses penyusunan
konsep pembangunan harus menjadi proses interaksi lintaspelaku yang terbuka dan sistemik.
Artinya, tahap-tahap sosialisasi, dialog, diskusi, dan publik policy hearing/consultation harus
secara intensif dilakukan dilakukan bersama-sama di antara seluruh stakeholders. Inti proses
perencanaan tersebut adalah memadukan dua alur proses perencanaan, yaitu, antara
perencanaan yang dilakukan oleh unsur pemerintah sebagai pihak eksekutif dan yang
dilakukan unsur non pemerintah, yang difasilitasi oleh pihak legislatif. Keterpaduan dan
sinkronisasi antara kedua bentuk perencanaan tersebut pada akhirnya bermuara pada
terjadinya pada keputusan publik untuk mewudkan kebijakan dan strategi pengembangan
wilayah yang didukung kesepakatan seluruh pelaku pembangunan (stakeholders). Sementara
pada kondisi yang kedua, proses penyusunan konsep tersebut merupakan proses levelling
dua arah yang mamadukan bentuk bottom up planning – mulai dari level desa, kecamatan,
kabupaten/kota sampai dengan propinsi – dan top down policy – mulai dari propinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan desa.

Pendekatan Sektoral dan Daerah

Pengamatan tentang proses pembangunan daerah tidak dapat dilepaskan dari system
ekonomi-politik negara yang bersangkutan. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu
dimulai dengan pertanyaan yang menyangkut sektor apa yang perlu dikembangkan (hirarki
2), untuk mencapai suatu tujuan pembangunan nasional (hirarki 1); sub-pertanyaan dapat
berbentuk: berapa banyak harus diproduksi, dengan cara atau teknologi apa, dan kapan

Halaman 2
produksi dimulai. Setelah tahapan hirarki tersebut selesai, baru muncul pertanyaan: di mana
aktivitas tiap sektor akan dijalankan (hirarki 3), selanjutnya hirarki proses perencanaan
ditutup dengan pertanyaan standar menyangkut (hirarki 4): kebijakan apa, strategi apa, dan
langkah-langkah apa yang perlu diambil (Aziz, 1993).

Hirarki Pembangunan Daerah

Tujuan Pembangunan
Hirarki 1 Nasional
Hirarki 2 Sektor terpilih

Hirarki 3 Daerah terpilih

Kebijakan Siasat dan


Hirarki 4 Langkah-langkah

Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa berbeda dengan pendekatan sektoral, sesuai
dengan namanya, pendekatan regional lebih menitikberatkan pertanyaan: daerah mana yang
perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan baru kemudian sektor apa yang sesuai untuk
dikembangkan di masing-masing daerah. Jadi hirarki 2 dan hirarki 3 di bagian 1 bertukar
tempat. Di dalam kenyataan, pendekatan regional sering diambil tidak dalam kerangka
totalitas, melainkan hanya untuk beberapa daerah tertentu; misalnya daerah terbelakang,
daerah perbatasan, atau daerah yang diharapkan mempunyai posisi strategis dalam arti
ekonomis-politis. Untuk Negara Indonesia, yang diperlukan adalah gabungan (kombinasi)
antara dua pendekatan tersebut; bukan ”sektoral” atau ”regional,” tetapi keduanya perlu
berjalan bersama. Hal ini sangat penting, tidak hanya dari segi konsep, tetapi juga dari segi
pelaksanaan khususnya yang menyangkut koordinasi pembangunan di daerah dalam kerangka
sistem pemerintahan yang ada. Arah tersebutlah yang perlu dituju. Selama ini tampaknya
selalu ada kecenderungan berat sebelah. Pendekatan sektoral kerap kali (kalau tidak, selalu)
mendominasi proses perencanaan. ltulah sebabnya kita temui suatu keadaan dimana otoritas
dan pengawasan departemen untuk tiap sektor, misalnya Departemen Pertanian, Departemen
Perindustrian dan Departemen Pertambangan, lebih efektif daripada Pemerintah dan instansi
daerah, meskipun di atas kertas keterlihatannya adalah sebaliknya. Karena arah yang dituju
adalah gabungan antara pendekatan ”sektoral” dan ”regional” maka dalam melakukan
pengamatan tentang pembangunan daerah di Indonesia perlu selalu dikaitkan dimensi sektoral
dengan dimensi spasial.

Kebijakan dalam Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah

Percepatan pembangunan ekonomi daerah dalam Program Pembangunan Nasional


(Propenas), diwujudkan dalam program-program pokoknya antara lain adalah pengembangan
kawasan-kawasan potensial dari seluruhsistem produksi, pengolahan sampai kepada
pemasaran dalam kesatuan sistem yang terpadu, pengembangan kerjasama dan kemitraan
antara seluruh pelaku melalui pengembangan jaringan dan forum bersama dengan
memanfaatkan seluruh potensi daerah dan nasional, pengembangan infrastruktur, sarana dan
prasarana sosial dan ekonomi yang diperlukan dan pengembangan SDM, teknologi, dan
jaringan informasi yang terpadu. Seluruh instansi dan institusi yang diharapkan saling bekerja
sama dalam memacu pembangunan daerah adalah sektor-sektor dalam pemerintah daerah,

Halaman 3
para asosiasi dan pengusaha swasta, pemerintah daerah, LSM, serta masyarakat pelaku
langsung. Dengan adanya keterlibatan berbagai pelaku pembangunan untuk pengembangan
ekonomi daerah, maka kerjasama antara seluruh pihak mutlak dilaksanakan.

Kewenangan daerah baru diterjemahkan menjadi keleluasaan menetapkan beberapa


peraturan daerah (perda) yang amat tidak kondusif bagi pengemabngan ekonomi lokal. Fokus
dari langkah dan kebijakan daerah masih seputar peningkatan pendapatan asli daerah (PAD),
yang justru dapat berdampak inflatoir, jika tidak dikatakan justru menciptakan ketidakpastian
baru di daerah yang sangat kontraproduktif bagi aktivitas investasi dan ekonomi lain di
daerah.
Berdasarkan berbagai pengalaman baik di dalam negeri maupun internasional, serta
berkembangnya kebijaksanaan pembangunan daerah seperti terbitnya UU No.22 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah beserta beberapa
peraturan pemerintahnya, beberapa pemikiran yang dapat dikembangkan untuk strategi
pengembangan regional di masa mendatang antara lain adalah:

a. Alokasi sumber daya yang lebih berkeseimbangan

UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah telah membuka kewenangan yang semakin besar bagi pemerintah daerah dalam
merencanakan dan menggunakan sumber-sumber keuangannya. Untuk itu, perlu pula
dilakukan reformasi fiskal yang mendukung alokasi sumber daya yang lebih baik terutama ke
kawasan-kawasan yang belum berkembang, termasuk diantaranya reformasi di bidang
perpajakan. Deregulasi sektor riil juga perlu memperhatikan perkembangan kemampuan
daerah.

b. Peningkatan sumberdaya manusia di daerah

Kualitas manusia di kawasan-kawasan tertinggal umumnya masih di bawah rata-rata


kualitas nasional. Untuk itu pendekatan pembangunan sektoral yang telah meningkatkan
standard kualitas manusia Indonesia sampai pada taraf tertentu, pada masa mendatang perlu
diikuti oleh pendekatan pembangunan yang lebih memperhatikan kondisi dan aspirasi
wilayah, bukan oleh pendekatan yang bersifat uniform. Strategi pembangunan di masa
mendatang harus mampu mengidentifikasi jenis pendidikan dan pelatihan yang dapat
menempatkan tenaga kerja dan lulusan terdidik dalam pasar peluang kerja yang senantiasa
menuntut adanya peningkatan keahlian.

c. Pengembangan kelembagaan dan aparat daerah

Struktur kelembagaan dan aparat pemerintah daerah selama ini mencerminkan sistem
pemerintahan berjenjang. Walaupun propinsi dan Kabupaten juga berfungsi sebagai daerah
otonom, yang mempunyai kewenangan dalam daerahnya sendiri, namun dalam berbagai
implementasi pelaksanaan pembangunan selama ini daerah lebih menunggu petunjuk dari
Pusat. Proses pengambilan keputusan yang demikian kemudian berkembang menjadikan
aparat daerah lebihmelayani aparat Pusat daripada melayani masyarakat daerahnya.

Dalam era demokratisasi yang semakin berkembang seperti sekarang ini, yang
ditunjang oleh berbagai peraturan dan perundang-undangan mengenai penataan ruang di
setiap propinsi dan kabupaten/kota dapat menjadi acuan aparat daerah dalam mengelola
berbagai unsur ruang (seperti sumber daya alam, manusia dan buatan) secara optimal, serta
mengembangkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.

d. Pelayanan masyarakat yang efisien

Halaman 4
Untuk kepentingan stabilitas ekonomi dan politik selama ini pemerintah memegang
kendali yang lebih besar terhadap sumber-sumber penerimaan dan berbagai kebijaksanaan
pelayanan masyarakat. Hal ini dilakukan mengingat kebutuhan dasar masih sangat kurang,
resiko investasi masih sangat besar, dan tingkat pendidikan rata-rata manusia di daerah masih
rendah.

Dengan semakin meningkatnya kemampuan kelembagaan dan kualitas aparat di


daerah, sudah masanya sekarang untuk memperbesar kewenangan daerah dalam menata
pemabangunan di daerah. Keterlibatan pihak swasta sebagai mitra kerja sekaligus sebagai
pelaku pembangunan perlu diperbesar, sejalan ddengan kewenangan daerah yang semakin
besar dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan daerahnya. Hal ini ditujukan
agar pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.

Kerangka Perencanaan dan Strategi

Upaya pengurangan kesenjangan sektoral dan daerah dalam rangka pengelolaan


potensi dan pembangunan daerah, jelas memerlukan strategi khusus yang bersifat
komprehensif dan berkesinambungan. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan makro dan mikro
yang mampu menjembatani persoalan-persoalan tersebut, melalui mekanisme kemitraan
(partnership), yang melibatkan unsur-unsur masyarakat, pihak swasta (private sector), dan
pemerintah (government) atau disebut dengan “kemitraan tripartit” (UNDP, UN-Habitat,
Bappenas, 2002) sebagai paradigma baru dalam pembangunan (Paoletto dalam Wang, 2000).
Upaya penanggulangan permasalahan tersebut berintikan suatu paradigma baru, dimana
inisiatif pembangunan daerah tidak lagi digulirkan dari pusat, namun merupakan inisiatif
lokal (daerah) untuk memutuskan langkah-langkah yang terbaik dalam mengimplementasikan
rencana aksi yang sesuai dengan potensi sumberdaya dan kapasitasnya. Dalam konteks
otonomi daerah, pemerintah daerah bersama seluruh stakeholdernya, harus mampu mengelola
dan mempromosikan kekuatan atau potensi lokalnya agar mampu menarik minat pihak luar
untuk berinvestasi dalam memacu roda pembangunan daerah. Sebagai suatu paradigma baru
dalam pengelolaan potensi dan pembangunan daerah, beberapa hal kritis perlu mendapat
perhatian adalah sebagai berikut: (1) Reposisi Peran Semua Stakeholders sesuai dengan tugas
dan kewenengan masing-masing; (2) Koalisi Antar Pelaku Pembangunan; (3) Peningkatan
Daya Saing; (4) Mendorong Minat Investasi; (5) Pendayagunaan Modal Sosial yang dimiliki
Masyarakat Daerah.

Peran Bappenas dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Sebagai suatu organisasi, setiap negara pada dasarnya memerlukan rencana yang
memuat tujuan dan sasaran nasional yang akan dicapai dalam suatu kurun waktu tertentu di
masa yang akan datang serta strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut. 1 Pemerintah
Republik Indonesia menyadari bahwa alokasi sumberdaya yang efisien dan efektif, serta
koordinasi perencanaan Pembangunan Nasional adalah tugas, fungsi dan wewenangnya. Pada
saat ini, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2002, Kantor Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kantor
Meneg PPN/Bappenas) mempunyai tugas membantu Presiden di bidang perencanaan
pembangunan nasional.2

1
Perencanaan (jangka panjang, menengah dan tahunan) tersebut diperlukan untuk mencapai tujuan bangsa menurut
Pembukaan UUD 1945 yaitu kehidupan masyarakat yang terlindungi, sejahtera dan cerdas.
2
Pada tahun 1955, Ir. Juanda menerbitkan suatu policy paper tentang “Organization of economic development
planning” yang dianggap sangat fundamental sebagai cikal bakal pembentukan Bappenas sebagai institusi perencana
(Higgins, 1957:40-94). Selanjutnya, dibentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) dengan Keputusan Presiden No.
12/1963. Kemudian, pada masa Orde Baru Keppres No. 12/1963 diganti dengan Keppres No. 35/1973 tentang pembentukan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Halaman 5
Selanjutnya, Keputusan Meneg PPN/Kepala Bappenas Nomor: 050/M.PPN/03/2002
tanggal 26 Maret 2002 dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa “Kantor Meneg PPNN/Bappenas
menyelenggarakan fungsi antara lain pengkoordinasian kebijakan perencanaan pembangunan
nasional, serta pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan
program, pemantauan, analisis dan evaluasi di bidang perencanaan pembangunan nasional.”
Sedangkan Pasal 4 ayat d (ii) menyebutkan bahwa “Kantor Meneg PPN/Bappenas
mempunyai kewenangan dalam merumuskan kebijakan perencanaan nasional secara makro
dan memadukan perencanaan lintas sektoral dan lintas wilayah.” Sejak dibentuknya pada
tahun 1973, Bappenas telah melakukan peran strategis baik dalam penyusunan makro,
sektoral dan regional.3
Dinamika perubahan yang terjadi baik di jenjang nasional maupun global saat ini dan
di masa datang menuntut terjadinya perubahan orientasi dan pendekatan yang digunakan
dalam perencanaan dan koordinasi pembangunan. Perubahan lingkungan strategis nasional
dan internasional yang perlu diperhatikan antara lain:

(i) Demokratisasi. Proses perencanaan pembangunan dituntut untuk disusun secara terbuka
dan melibatkan semakin banyak unsur masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan
yang dihasilkan merupakan komitmen kuat dari seluruh masyarakat mengenai tatanan
masyarakat yang hendak dibangun dan bagaimana cara mencapainya. 4
(ii) Otonomi Daerah. Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu sinkron dan sinergis
antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten serta menghindari kemungkinan timbulnya
kesenjangan yang makin melebar akibat perbedaan sumberdaya pembangunan yang
dimiliki masing-masing daerah.
(iii) Globalisasi. Perencanaan pembangunan dituntut untuk mampu mengantisipasi
kepentingan nasional dalam kancah persaingan global. Diperlukan kebijakan yang
mampu mewujudkan koordinasi dan integrasi upaya-upaya Pemerintah RI dengan
pemerintah negara lain atau organisasi-organisasi internasional. 5
(iv) Perkembangan Teknologi. Perencanaan pembangunan dituntut untuk selalu beradaptasi
dengan perubahan teknologi yang cepat yang dapat merubah perekonomian dunia dalam
waktu singkat.6

Selanjutnya, permasalahan-permasalahan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia


pada saat ini adalah: (i) merebaknya konflik sosial dan munculnya gejala disintegrasi bangsa;
(ii) lemahnya penegakan hukum dan hak azazi manusia; (iii) lambatnya pemulihan ekonomi;
(iv) rendahnya kesejahteraan rakyat, meningkatnya penyakit sosial, dan lemahnya ketahanan

3
Bappenas memiliki kewenangan alokasi Anggaran Pembangunan, yang tercakup dalam pengajuan RAPBN oleh
Presiden pada tanggal 5 Januari setiap tahun, termasuk rencana penerimaan dan penggunaan pinjaman dan bantuan luar
negeri. Kewenangan penganggaran ini merupakan perangkat perencanaan (planning instrument) bagi Bappenas untuk
menjamin keterpaduan ketiga macam perencanaan tersebut dan keserasian pelaksanaan pembangunan pada tingkat nasional
maupun pada tingkat daerah. Kinerja pembangunan, sejak tahun 1973 sampai saat sebelum terjadinya krisis multidimesi pada
akhir tahun 1990an, yang cukup stabil dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi adalah gambaran hasil peran dan fungsi
BAPPENAS dalam pembangunan nasional. Peran strategis BAPPENAS, yang didukung oleh kewenangan penganggaran dan
kualitas staf yang cukup tinggi, adalah faktor yang menentukan mengingat besarnya peran investasi dan intervensi pemerintah
dalam pembangunan nasional pada saat itu. Peran dan fungsi BAPPENAS dapat dilakukan dengan baik karena BAPPENAS
berkapasitas memperoleh informasi yang baik, akses kepada pimpinan pemerintahan dan negara serta adanya kewenangan
dalam alokasi anggaran.
4
Mengingat mulai tahun 2004 tidak ada lagi GBHN, dominasi legislatif dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat,
maka diperlukan suatu pedoman pembangunan nasional yang menjadi acuan program kerja Presiden terpilih agar arah
pembangunan nasional sesuai dengan apa yang tertuang dalam UUD 1945. Dalam kaitan ini peran BAPPENAS sebagai
lembaga perencanaan yang mampu menghasilkan perencanaan pembangunan yang disusun secara obyektif, ilmiah, rasional
serta non partisan menjadi sangat penting.
5
Dalam kaitan ini, kondisi social-ekonomi-politik-hankam dalam negeri sangat sensitive terhadap gangguan kecil di
masyarakat.
6
Hal ini menuntut kelembagaan perencanaan dengan SDM yang mampu mengidentifikasi isu-isu strategis dalam
perencanaan pembangunan nasional; mengumpulkan, menyeleksi, dan memproses informasi-informasi berkaitan dengan isu-
isu strategis tersebut; dan juga menunjukkan prioritas-prioritas yang harus dikerjakan oleh lembaga pelaksana terkait dengan
isu-isu strategis yang berkembang sangat cepat ini.

Halaman 6
budaya nasional; dan (v) kurang berkembangnya kapasitas pembangunan daerah dan
masyarakat.7

Kompleksitas dan beratnya tantangan pembangunan nasional tersebut di atas


memerlukan suatu perencanaan yang berparadigma dan bervisi baru agar bangsa kita
terhindar dari langkah-langkah yang menjerumuskan. Kemampuan menganalisa dan
merumuskan agenda-agenda utama perencanaan nasional masa depan sangat menentukan
keberhasilan suatu produk perencanaan untuk tidak saja mampu mengarahkan dinamika
pembangunan nasional secara tepat namun juga dituntut untuk dapat memaksimalkan sinergi
antar sektor, antarwilayah, antarwaktu serta antargolongan pendapatan masyarakat. Untuk itu,
perlu adanya penyegaran pendekatan dan strategi Bappenas dalam melaksanakan peran dan
fungsinya sebagai lembaga layanan publik dalam hal perencanaan sektoral dan wilayah.

Menghadapi dinamika perubahan serta kompleksitas permasalahan pembangunan


nasional tersebut di atas, maka sistem perencanaan pembangunan nasional dituntut untuk
mampu:

(i) mengalokasikan sumberdaya pembangunan kedalam kegiatan-kegiatan melalui


kelembagaan-kelembagaan dalam konteks untuk mencapai masa depan yang
diinginkan;8
(ii) fleksible dengan horizon perencanaan yang ditetapkan, sehingga tidak terlalu kaku
dengan penerapan konsep pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang; 9
(iii) memperluas dan mendiseminasikan kemampuan perencanaan ke seluruh lapisan
masyarakat.10

Dalam konteks Bappenas, untuk mampu merencanakan pembangunan nasional sesuai


tujuan berbangsa yang tertuang dalam UUD 1945 dalam dinamika perubahan domestik dan
internasional yang begitu cepat, maka visi yang diperlukan adalah:

“Terwujudnya BAPPENAS yang mampu menyusun perencanaan yang komprehensif,


terpadu, dan fleksibel secara partisipatif, rasional, obyektif dan nonpartisan dalam
rangka mewujudkan tujuan bernegara sesuai UUD 1945.”11

Untuk mewujudkan visi tersebut, maka secara ringkas misi yang dapat dijalankan
oleh Bappenas adalah:

(i) Menyusun sistem dan mekanisme proses perencanaan pembangunan nasional yang
partisipatif, rasional, obyektif dan nonpartisan.
(ii) Menyusun perencanaan yang komprehensif, terpadu dan fleksibel.
(iii) Melaksanakan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan pembangunan nasional serta
pelaksanaannya.

7
Tertulis dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
8
Perencanaan yang dimaksud adalah terkait dengan: (i) mendefinisikan kondisi ideal jangka panjang; (ii) pola interaksi
terkait dengan perkembangan lingkungan internasional; (iii) terkait dengan struktur kelembagaan; (iv) kegiatan yang harus
dilakukan beserta prioritasnya; serta (v) alokasi semua bentuk sumber daya
9
Sebagai contoh isu “jangka pendek” bidang kependudukan mungkin satu decade, sedangkan isu “jangka panjang”
untuk harga komoditi mungkin dalam kurun waktu bulanan.
10
Memberikan akses untuk informasi, metodologi, dan pelatihan kepada semua pihak yang tertarik dengan berbagai alternatif
dan strategi perencanaan pembangunan.
11
Perencanaan yang dimasud meliputi perencanaan jangka panjang, yang dijabarkan dalam program jangka menengah
dan jangka panjang. Komprehensif berarti meliputi bidang-bidang sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan lainnya, disamping ekonomi. Terpadu, yaitu antarkementerian, antara pusat dan daerah, dan
antar daerah, antar sektor dan daerah, antara kepentingan dalam negeri dan komitmen internasional, serta antar Pemerintah
dan swasta. Fleksibel, yaitu mengantisipasi jaman yang cepat berubah.Partisipatif, yaitu dengan memfasilitasi dan
mensinergikan seluruh sumberdaya yang dimiliki bangsa, tidak hanya dari APBN/D. Rasional, yaitu berdasarkan data dan
informasi akurat serta kaidah-kaidah yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Obyektif dan nonpartisan, yaitu
semata-mata untuk kepentingan masyarakat dan bukan kepentingan golongan/partai politik.

Halaman 7
(iv) Melakukan monitoring dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pembangunan nasional.

Peran Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah Kedepan Dalam


Mendukung Tugas dan Fungsi Bappenas

Peran Direktorat KPSD dalam mendukung fungsi dan tugas pokok Bappenas tentu
tidak terlepas dari visi dan misi Bappenas. Berdasarkan Pasal 249 Keputusan Meneg
PPN/Kepala Bappenas Nomor KEP. 050/M.PPN/03/2002 tanggal 26 Maret 2003, tugas
pokok Direktorat KPSD adalah melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi,
sinkronisasi pelaksanaan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional di
bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah serta pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaannya.

Dalam melaksanakan tugas, sebagaimana dimaksud pasal 249 di atas, Direktorat


KPSD menjalankan fungsi:

(i) Penyiapan perumusan kebijakan perencanaan pembangunan nasional di bidang kerjasama


pembangunan sektoral dan daerah.
(ii) Koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di bidang kerjasama
pembangunan sektoral dan daerah.
(iii) Pelaksanaan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang kerjasama
pembangunan sektoral dan daerah.
(iv) Koordinasi penyusunan rencana pendanaan pembangunan di bidang kerjasama
pembangunan sektoral dan daerah.
(v) Pengkajian kebijakan perencanaan pembangunan nasional di bidang kerjasama
pembangunan sektoral dan daerah.
(vi) Evaluasi, pemantauan dan penilaian pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional di
bidang kerjasama pembangunan sektoral dan daerah.

Permasalahan-permasalahan perencanaan pembangunan nasional yang terkait dengan


tugas dan fungsi Direktorat KPSD antara lain adalah12:

(i) Masih kuatnya orientasi pembangunan sektoral.


(ii) Terjadinya kesenjangan yang semakin lebar antar daerah (Jawa – luar Jawa, Kawasan
Barat Indonesia – Kawasan Timur Indonesia, serta antar kota – desa).
(iii) Adanya kebijakan mikro yang ditetapkan masing-masing daerah yang cenderung
menghambat peluang kerjasama dan koordinasi antara daerah, sehingga berdampak pada
munculnya ekonomi biaya tinggi, semangat kedaerahan, menurunnya tingkat kedaerahan,
degradasi kualitas lingkungan, serta semakin tingginya kesenjangan.

Didasarkan pada kondisi dan permasalahan yang dihadapi BAPPENAS pada


umumnya serta Direktorat KPSD khususnya, maka visi untuk Direktorat KPSD adalah:

“Terwujudnya Direktorat KPSD yang mampu mewujudkan sinkronisasi dan


koordinasi kerjasama pembangunan sektoral dan daerah dalam kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah secara optimal”13

12
Penjelasan lebih rinci dapat dibaca dalam dokumen “Rencana Strategis Direktorat Kerjasama Pembangunan
Sektoral dan Daerah, Bappenas”, April 2003.
13
Sinkronisasi, berarti hal-hal yang menjadi prioritas kegiatan sektor sesuai dengan aspirasi/kebutuhan daerah. Koordinasi,
berarti kegiatan yang dilakukan lembaga-lembaga di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten terarah pada satu tujuan dan
sasaran yang disepakati bersama. Desentralisasi dan otonomi daerah, dimaksudkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga tersebut sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya menurut UU No. 22/1999 dan aturan-aturan
pelaksanaannya. Optimal, berarti semua stakeholder telah berupaya sebaik-baiknya untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Halaman 8
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang dapat dijalankan oleh Direktorat
KPSD adalah:

(i) Mengoptimalkan komunikasi, koordinasi dan sinkronisasi upaya kerjasama pembangunan


sektoral dan daerah antar Direktorat di BAPPENAS serta antar lembaga teknis pelaksana
pembangunan dalam menyusun perencanaan pembangunan.
(ii) Mengoptimalkan partisipasi semua pihak (lembaga pemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, gerakan akar rumput, asosiasi profesional, dan lain-lain) yang berminat
dalam proses perencanaan pembangunan nasional yang partisipatif.
(iii) Melakukan sinkronisasi dan koordinasi prioritas-prioritas kegiatan sektor sesuai aspirasi
dan kebutuhan daerah dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah viz a viz
menginformasikan aspirasi dan kebutuhan daerah untuk menjadi prioritas kegiatan sektor.
(iv) Mengidentifikasi isu-isu strategis dan dinamika perubahan berkaitan dengan kerjasama
pembangunan sektoral dan daerah.

Tujuan dari dari kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh Direktorat KPSD sesuai
visi dan misi yang ditetapkan adalah:

(i) Mengembangkan sistem deteksi dini (early warning system) untuk isu-isu strategis dalam
kerjasama pembangunan sektor dan daerah.
(ii) Mengembangkan sistem dan mekanisme kerjasama pembangunan sektor dan daerah, baik
intern BAPPENAS, antar sektor di Pusat, antar pusat dan daerah, antar Pemerintah dan
masyarakat (swasta).
(iii) Mengembangkan sistem dan prosedur untuk menjamin partisipasi masyarakat seluas-
luasnya dalam proses perencanaan pembangunan.
(iv) Memberi masukan tentang prioritas-prioritas kegiatan sektoral yang dibutuhkan daerah
serta prioritas-prioritas pembangunan daerah kepada sektor dalam konteks kerjasama
pembangunan sektor dan daerah.

Sasaran-sasaran yang ingin dicapai melalui berbagai kegiatan di Direktorat KPSD adalah:

(i) Terumuskannya isu-isu strategis berikut analisa dinamika perubahannya yang


memerlukan penyelesaian mendesak.
(ii) Terwujudnya komunikasi dan koordinasi yang baik antar Direktorat/Pusat/Biro di
Bappenas, antar lembaga, serta antar sektoral dan daerah dalam kerjasama pembangunan
sektoral dan daerah.
(iii) Terwujudnya sistem dan model partisipasi aktif semua pihak dalam proses perencanaan
pembangunan.
(iv) Tercapainya keserasian pelaksanaan pembangunan yang berdampak pada sinergi dan
kesinambungan pembangunan sektoral dan daerah.

Dalam rangka mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran Direktorat KPSD, maka
perlu disusun rencana tindak (action plan) yang lebih operasional dan merujuk pada skala
prioritas (Penjabaran secara rinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran). Secara garis besar
kebijakan dalam rencana tindak Direktorat KPSD adalah sebagai berikut:

(i) Identifikasi isu-isu strategis berikut dinamika perubahannya melalui analisa data
kuantitatif (sosio-ekonomi, spatial, statistik, dll) serta kualitatif (hasil-hasil penelitian dan
kajian).
(ii) Analisa potensi dan masalah lingkup regional (propinsi dan kabupaten)
(iii) Analisa dan penyusunan dokumen “Wilayah Pengembangan Sektor”
(iv) Komunikasi, sinkronisasi dan koordinasi kerjasama pembangunan sektor dan daerah.
(v) Pengembangan profesionalisme dan infrastruktur kelembagaan.

Halaman 9
Good Governance dalam Perencanaan Pembangunan Nasional

Pengelolaan yang baik (good governance) yang antara lain mencakup prinsip-prinsip
partisipasi, taat azas (hukum), transparansi, kesamaan, kepekaan, visi, akuntabilitas,
pengawasan, efisiensi dan efektivitas, serta profesionalisme telah menjadi tuntutan dalam
penyelenggaraan pemerintahan saat ini. Dalam konteks perencanaan pembangunan pada
umumnya dan Bappenas khususnya, good governance memerlukan tiga faktor yang harus
ditangani dengan baik yaitu: dukungan politik, kualitas administrasi kelembagaan dan
kapasitas menyusun, menerapkan serta mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang diterapkan di
berbagai bidang.

Sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini, peran dan fungsi Bappenas sangat rentan
terhadap perubahan konfigurasi politik dalam negeri. Pasang-surut peran dan fungsi lembaga
perencanaan diyakini sebagai akibat tidak adanya “political will” berupa landasan hukum
yang kuat bagi lembaga perencanaan nasional. Idealnya, ada Undang-undang Sistem
Perencanaan Nasional sebagai dasar pelaksanaan proses perencanaan pembangunan nasional.
Kalaupun keberadaan UU tidak memungkinkan, Peraturan Pemerintah yang mengatur sistem
dan proses perencanaan juga cukup memadai. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah
dukungan Presiden terpilih tentang perlunya kelembagaan perencanaan.

Kualitas kelembagaan juga sangat menentukan keberhasilan good governance.


Komposisi SDM Bappenas menyangkut jenjang pendidikan dan diversifikasi keahlian yang
dimiliki, merupakan modal yang cukup untuk terlaksananya good governance. Hal yang perlu
dilakukan adalah membentuk ”corporate culture” menuju Bappenas yang transparan, peka,
visioner, akuntabel, efisien dan efektif. Dengan bekal kualitas administrasi yang kuat maka
akan dapat dihasilkan proses perencanaan yang partisipatif, rasional dan obyektif serta produk
perencanaan yang komprehensif, terpadu dan fleksibel dengan perkembangan jaman.

Dalam implementasinya, produk perencanaan berkualitas yang dihasilkan melalui


proses yang partisipatif ini ditambah dengan dukungan politik yang kuat dari Presiden serta
landasan hukum yang pasti, akan menjadi acuan yang dihormati dan ditaati oleh semua pihak
yang terkait dengan pembangunan nasional di Indonesia.

Penutup

Proses untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran melalui berbagai rencana
tindak yang diterapkan sangat dipengaruhi oleh kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang
yang dimiliki dan dihadapi Bappenas pada umumnya serta Direktorat KPSD pada khususnya.

Kekuatan yang dimiliki Bappenas adalah pada kualitas dan diversifikasi keahlian
SDM yang dimiliki, etos kerja serta karakteristik proses perencanaan yang partisipatif,
rasional, obyektif dan nonpartisan, serta adanya semangat dan komitmen yang tinggi dari para
staf untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kelemahan Bappenas serta Direktorat
KPSD sebagai unit organisasi Bappenas adalah relatif masih lemahnya komunikasi dan
koordinasi antar Direktorat dan antar staf di Bappenas, serta belum adanya sistem dan
mekanisme yang memaksa Direktorat untuk saling bersinergi.

Peluang-peluang yang ada untuk tetap eksisnya kelembagaan perencanaan


(Bappenas) serta kebutuhan akan proses dan produk perencanaan antara lain: tiadanya Garis-
garis Besar Haluan Negara (GBHN) mulai tahun 2004 mendatang; kemungkinan Presiden
yang dipilih langsung oleh rakyat yang tentunya membutuhkan kerangka acuan yang obyektif
dan rasional untuk menyusun program-program kerjanya; berbagai dukungan dari kalangan
legislatif dan aparat perencana di Pusat dan Daerah untuk keberadaan Bappenas. Sedangkan
ancaman yang dihadapi antara lain adalah: berlakunya UU No. 17/2003 tentang Keuangan

Halaman 10
Negara yang bila berlaku sepenuhnya akan mengurangi bahkan meniadakan peran Bappenas;
serta status Bappenas yang sangat tergantung pada kepentingan atau selera elit politik
nasional.

Berbekal semangat kebersamaan dan profesionalisme yang dimiliki staf Bappenas


serta dukungan politik dan moral yang kuat dari unsur Pimpinan Bappenas, Insya Allah
berbagai kelemahan dan ancaman dapat kita atasi serta berbagai kekuatan dan peluang dapat
kita manfaatkan demi terwujudnya proses dan produk perencanaan terbaik yang kita inginkan.
Semua upaya ini pada hakikatnya adalah ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

Halaman 11
Daftar Pustaka

Ackoff, Russell. 1977. National development planning revisited. Operation Research. Vol.
23, No. 2 (March – April, 1977).
Aggarwala, Ramgopal. 1983. Planning in developing countries: Lessons from experience.
World Bank Staff Working Paper No. 576. Washington D,C.: The World Bank.
Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah. 2003. Rencana Strategis.
Republik Indonesia. 2000. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000
Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 – 2004.
Sagasti, Fransisco. 1987. National development planning in turbulent times. Social Systems
Science Department, The Wharton School, University of Pennsylvania, Philadelphia.
Sagasti, Fransisco. 1990. An institutional approach to national development planning.
Technological Forecasting and Social Change, Vol. 37:321-334. Elsevier Science
Publishing Co., Inc.
Aziz, Iwan Jaya, 1993. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004.
The Peter F. Drucker Foundation for Nonprofit Management, 1996. “Emerging Partnership”,
Report.
UNDP, UN-Habitat & Bappenas. KPEL’s 13 Steps to Local Economic Development. July
2002.
Blakely, Edward. J. Planning Local Economic Development. Theory and Practice. Second
Edition. Sage Publications, Inc. 1994.

Halaman 12

Anda mungkin juga menyukai