S57799 Muhamad Yusuf
S57799 Muhamad Yusuf
E-mail: kobohar@gmail.com
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai perbandingan pengaturan akibat putusnya perkawinan terhadap
mantan suami dan mantan istri, anak, dan harta bersama menurut hukum perkawinan di Indonesia
dengan Singapura. Dalam skripsi ini, yang akan dibandingkan adalah aturan-aturan mengenai
akibat putusnya perkawinan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dengan Women’s Charter 1961 (Revised Edition 2009), untuk mengetahui apa saja persamaan dan
perbedaannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu
metode penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan dalam
pengaturan terhadap akibat putusnya perkawinan terhadap hak dan kewajiban mantan suami dan
mantan istri, anak, dan harta bersama.
Abstract
In this research, the ones that will be compared are the rules regarding the marriage breakdown
contained in the Act No. 1 of 1974 on Marriage with the Women's Charter 1961 (Revised Edition
2009), to find out the similarities and the differences. The legal research method applies a
juridical normative research methodology which focuses on the aspects or norms of positive law.
This research concluded that there are similarities and differences in rules regarding the matter of
marriage breakdown on the Rights and Duties of Former Husband and Wife, Children, and Joint
Assets.
1
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
METODE PENELITIAN
3
Burhan Ashshofa dalam “Metode Penelitian Hukum”, pada halaman 20-22 menjelaskan,
pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang
dianalisis gejala-gejala sosial-budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola yang berlaku.
1. kematian;
2. perceraian, dan;
Jika suatu perkawinan putus karena kematian, maka disebut sebagai cerai
mati. Perceraian dan keputusan pengadilan pada poin 2 dan 3 sebenarnya sama
saja, karena jika ingin melakukan perceraian maka harus ada putusan dari
pengadilan yang menetapkan apakah seseorang itu statusnya sudah cerai atau
belum, yang demikian di namakan sebagai cerai hidup. Kemudian alasan-alasan
yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan adalah
sebagai berikut:4
4
Di dalam BW dikenal dengan istilah “pisah meja dan ranjang” (scheiding van tafel en
bed), pisah ranjang merupakan perpisahan antara suami-istri yang tidak mengakhiri pernikahan.
Tepatnya di Pasal 233-249 BW, dan berlaku bagi golongan Tionghoa. Pasal 233 menyatakan, jika
ada hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian perkawinan, suami atau istri
berhak untuk menuntut pisah meja dan ranjang. Gugatan untuk itu dapat juga diajukan atas dasar
perbuatan-perbuatan yang melampaui batas kewajaran, penganiayaan, dan penghinaan kasar yang
dilakukan oleh salah seorang suami atau istri.
Perpisahan meja dan ranjang membawa akibat hapusnya kewajiban untuk berdiam
bersama, apabila para pihak berdamai maka perpisahan meja dan ranjang menjadi hapus dengan
sendirinya. Perpisahan meja dan tempat tidur juga dapat diperintahkan oleh Hakim atas kata
sepakat antara suami dan istri dengan tanpa mengajukan alasannya, apabila perkawinan antara
mereka telah berlangsung selama 2 (dua) tahun.
Menurut Wienarsih Imam Soebekti dan Sri Soesilowati Mahdi dalam bukunya yang
berjudul Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, pada halaman 122, ada 3 (tiga)
akibat dari pisah meja dan ranjang, yaitu:
a. Perpisahan harta kekayaan suami dan istri, seolah-olah perkawinan telah bubar;
b. Istri memperoleh kembali kebebasan hubungannya terhadap harta kekayaannya;
c. Jika sebelum perkawinan diadakan perjanjian kawin, maka sejak perpisahan meja dan
ranjang perjanjian kawin itu berlaku.
Perpisahan meja dan ranjang harus diumumkan, agar supaya diketahui orang banyak
berhubung dengan hak istri untuk bertindak sendiri setelah adanya perpisahan kekayaan setelah
adanya perpisahan meja dan ranjang. Perpisahan meja dan ranjang tidak perlu dicatatkan ke
register Catatan Sipil, perpisahan meja dan ranjang batal demi hukum apabila terjadi perdamaian
antara suami dan istri, akibatnya adalah akibat yang sebelumnya pernah ada timbul kembali (Pasal
248 BW). Jika perdamaian terjadi, maka perdamaian antara suami dan istri tersebut harus
diumumkan (Pasal 249 BW).
Kesimpulan
SARAN
A. Buku
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata.
Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008.
Garner, Bryan A. et.al. Black’s Law Dictionary 9th ed. United States of America:
Thomson Reuters, 2009.
Kum, Leong Wai. Cases and Materials of Family Law in Singapore. Singapore:
Utopia Press, 2005.
Kurnia, Titon Slamet. Pengantar Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni,
2009.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
B. Peraturan Perundang-Undangan