Anda di halaman 1dari 16

PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN INDONESIA DENGAN

SINGAPURA DALAM PENGATURANNYA MENGENAI AKIBAT


PUTUSNYA PERKAWINAN TERHADAP MANTAN SUAMI DAN
MANTAN ISTRI, ANAK, DAN HARTA BERSAMA

MUHAMAD YUSUF BAHARUDDIN SM ALAMSJAH, SURINI AHLAN


SJARIF, ENDAH HARTATI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

E-mail: kobohar@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai perbandingan pengaturan akibat putusnya perkawinan terhadap
mantan suami dan mantan istri, anak, dan harta bersama menurut hukum perkawinan di Indonesia
dengan Singapura. Dalam skripsi ini, yang akan dibandingkan adalah aturan-aturan mengenai
akibat putusnya perkawinan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dengan Women’s Charter 1961 (Revised Edition 2009), untuk mengetahui apa saja persamaan dan
perbedaannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu
metode penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
hukum positif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan dalam
pengaturan terhadap akibat putusnya perkawinan terhadap hak dan kewajiban mantan suami dan
mantan istri, anak, dan harta bersama.

Kata kunci : Perbandingan Hukum, Akibat Hukum, Putusnya Perkawinan.

Abstract

In this research, the ones that will be compared are the rules regarding the marriage breakdown
contained in the Act No. 1 of 1974 on Marriage with the Women's Charter 1961 (Revised Edition
2009), to find out the similarities and the differences. The legal research method applies a
juridical normative research methodology which focuses on the aspects or norms of positive law.
This research concluded that there are similarities and differences in rules regarding the matter of
marriage breakdown on the Rights and Duties of Former Husband and Wife, Children, and Joint
Assets.

Keywords : Law Comparison, Legal Consequences, Marriage Breakdown.

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


PENDAHULUAN

Perkawinan 1 merupakan cara bagi umat manusia untuk menjamin


kelangsungan hidup spesiesnya. Perkawinan merupakan suatu kewajiban yang
telah diperintahkan oleh Tuhan kepada umat manusia agar manusia tidak
mengalami kepunahan, perkawinan juga bertujuan untuk memenuhi unsur
biologis antara seorang pria dan seorang wanita. Selain alasan-alasan tersebut,
alasan yang tidak kalah pentingnya adalah agar pasangan yang telah menikah itu
memiliki keturunan.

Tujuan dilaksanakannya suatu perkawinan adalah untuk membentuk suatu


keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan perintah dari Tuhan Yang Maha
Esa. Akan tetapi ada kalanya suatu perkawinan tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan dan dapat berujung kepada putusnya perkawinan. Pada dasarnya suatu
perkawinan itu harus berlangsung kekal dan hanya putus karena kematian akan
tetapi pada kenyataannya putusnya perkawinan itu bukan hanya disebabkan oleh
adanya kematian dari salah satu pihak tetapi ada hal-hal atau alasan lain yang
menyebabkannya.

Dalam hal ini penulis ingin membandingkan pengaturan mengenai akibat


putusnya perkawinan terhadap hak dan kewajiban mantan suami dan mantan istri,
anak, dan harta bersama yang ada di Indonesia dan di Singapura.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan


permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana perbandingan pengaturan akibat putusnya


perkawinan terhadap hak dan kewajiban mantan suami dan
mantan istri menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Women’s Charter 1961 (Revised
Edition 2009)?

                                                                                                                       
1
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


2. Bagaimana perbandingan pengaturan akibat putusnya
perkawinan terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Women’s Charter 1961
(Revised Edition 2009)?
3. Bagaimana perbandingan pengaturan akibat putusnya
perkawinan terhadap harta bersama menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Women’s
Charter 1961 (Revised Edition 2009)?

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan diatas, maka penulisan skripsi


ini memiliki tujuan yang ingin dicapai. Secara umum penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji hukum perkawinan di Indonesia dan Singapura berdasarkan
ketentuan mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap mantan suami dan
mantan istri, anak, dan harta bersama. Sedangkan secara khusus skripsi ini
bertujuan:

1. Mengetahui perbandingan pengaturan di Indonesia dan


Singapura mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap
hak dan kewajiban mantan suami dan mantan istri.
2. Mengetahui perbandingan pengaturan di Indonesia dan
Singapura mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap
anak.
3. Mengetahui perbandingan pengaturan di Indonesia dan
Singapura mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap
harta bersama.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini


adalah penelitian hukum yuridis normatif2, yaitu dengan cara metode penelitian
kepustakaan. Berdasarkan sifat penelitian, maka penelitian ini termasuk dalam
penelitian deskriptif yang menggambarkan suatu keadaan tertentu tetapi informasi
                                                                                                                       
2
 Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10.
 

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


yang tersedia masih minim, sehingga penulis mengadakan penelitian untuk
mendapat informasi tambahan yang lebih lengkap.
Melalui studi kepustakaan, penulis akan memperoleh data sekunder
mengenai pokok permasalahan yang sedang diteliti. Sedangkan data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini dapat digolongkan dalam:
1. Bahan hukum primer yakni bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat terhadap masyarakat. Dalam hal ini adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Women’s Charter 1961 (revised edition 2009).
2. Bahan hukum sekunder yakni bahan-bahan tambahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku,
artikel, website, jurnal, dan tesis.
3. Bahan hukum tersier yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, seperti
kamus dan ensiklopedia.
Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen yang
merupakan alat untuk memperoleh data sekunder. Metode pengolahan dan analisis
atas data yang telah terkumpul akan dilakukan melalui metode kualitatif3, untuk
menghasilkan data deskriptif analistis yang dimaksudkan untuk memberikan data
sedetil-detilnya.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya suatu perkawinan itu dilakukan oleh satu orang pria dan
satu orang wanita karena rasa saling menyayangi dan saling mencintai yang ada
pada diri mereka masing-masing terhadap pasangannya. Perkawinan bertujuan
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal seperti yang disebutkan dalam
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974.

                                                                                                                       
3
Burhan Ashshofa dalam “Metode Penelitian Hukum”, pada halaman 20-22 menjelaskan,
pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari
perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang
dianalisis gejala-gejala sosial-budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola yang berlaku.

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


Memiliki keluarga yang bahagia sudah pasti menjadi dambaan setiap
orang. Akan tetapi ada kalanya suatu keluarga itu mengalami suatu goncangan
yang dahsyat sehingga keutuhan dari keluarga tersebut tidak lagi dapat
dipertahankan dan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah adalah dengan
memutuskan hubungan perkawinan. Jika sepasang suami istri ingin melakukan
perceraian, akan banyak sekali dampak yang dapat ditimbulkan. Perceraian pada
hakikatnya bertentangan dengan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang mana disitu
disebutkan bahwa suatu perkawinan itu bersifat kekal, logika sederhananya adalah
kalau kekal seharusnya tidak putus kecuali karena kematian.

Sekarang akan kita bahas mengenai hal-hal yang dapat mengakibatkan


putusnya suatu perkawinan. Menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, suatu
perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu:

1. kematian;

2. perceraian, dan;

3. atas keputusan pengadilan.

Jika suatu perkawinan putus karena kematian, maka disebut sebagai cerai
mati. Perceraian dan keputusan pengadilan pada poin 2 dan 3 sebenarnya sama
saja, karena jika ingin melakukan perceraian maka harus ada putusan dari
pengadilan yang menetapkan apakah seseorang itu statusnya sudah cerai atau
belum, yang demikian di namakan sebagai cerai hidup. Kemudian alasan-alasan
yang dapat digunakan untuk mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan adalah
sebagai berikut:4

                                                                                                                       
4
Di dalam BW dikenal dengan istilah “pisah meja dan ranjang” (scheiding van tafel en
bed), pisah ranjang merupakan perpisahan antara suami-istri yang tidak mengakhiri pernikahan.
Tepatnya di Pasal 233-249 BW, dan berlaku bagi golongan Tionghoa. Pasal 233 menyatakan, jika
ada hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk menuntut perceraian perkawinan, suami atau istri
berhak untuk menuntut pisah meja dan ranjang. Gugatan untuk itu dapat juga diajukan atas dasar
perbuatan-perbuatan yang melampaui batas kewajaran, penganiayaan, dan penghinaan kasar yang
dilakukan oleh salah seorang suami atau istri.

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


1. Salah satu pihak tersebut berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama lima tahun atau
hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami-istri;
6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Perpisahan meja dan ranjang membawa akibat hapusnya kewajiban untuk berdiam
bersama, apabila para pihak berdamai maka perpisahan meja dan ranjang menjadi hapus dengan
sendirinya. Perpisahan meja dan tempat tidur juga dapat diperintahkan oleh Hakim atas kata
sepakat antara suami dan istri dengan tanpa mengajukan alasannya, apabila perkawinan antara
mereka telah berlangsung selama 2 (dua) tahun.
Menurut Wienarsih Imam Soebekti dan Sri Soesilowati Mahdi dalam bukunya yang
berjudul Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, pada halaman 122, ada 3 (tiga)
akibat dari pisah meja dan ranjang, yaitu:
a. Perpisahan harta kekayaan suami dan istri, seolah-olah perkawinan telah bubar;
b. Istri memperoleh kembali kebebasan hubungannya terhadap harta kekayaannya;
c. Jika sebelum perkawinan diadakan perjanjian kawin, maka sejak perpisahan meja dan
ranjang perjanjian kawin itu berlaku.
Perpisahan meja dan ranjang harus diumumkan, agar supaya diketahui orang banyak
berhubung dengan hak istri untuk bertindak sendiri setelah adanya perpisahan kekayaan setelah
adanya perpisahan meja dan ranjang. Perpisahan meja dan ranjang tidak perlu dicatatkan ke
register Catatan Sipil, perpisahan meja dan ranjang batal demi hukum apabila terjadi perdamaian
antara suami dan istri, akibatnya adalah akibat yang sebelumnya pernah ada timbul kembali (Pasal
248 BW). Jika perdamaian terjadi, maka perdamaian antara suami dan istri tersebut harus
diumumkan (Pasal 249 BW).

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Hak dan Kewajiban Mantan Suami
dan Mantan Istri di Indonesia.

Secara garis besar, maka akibat putusnya perkawinan terhadap mantan


suami dan mantan istri adalah:

1. Mantan suami memiliki kewajiban untuk tetap menafkahi atau


memberikan biaya hidup kepada mantan istri sampai mantan istri
tersebut menikah lagi, mengenai besaran biaya hidup yang harus
ditanggung oleh mantan suami ditentukan oleh Pengadilan supaya adil
(Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974);
2. Terdapat waktu tunggu bagi mantan istri yaitu 130 hari apabila
perkawinan putus karena kematian, selama tiga kali suci atau
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari apabila perkawinan
putus karena perceraian, sedangkan untuk mantan istri yang masih
hamil adalah sampai dia melahirkan (Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974
jo. Pasal 39 PP No. 39 Tahun 1975).

Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Anak di Indonesia.

Secara garis besar, maka akibat putusnya perkawinan terhadap anak


menurut UU No.1 Tahun 1974 adalah:

1. Kedua orang tua tetap diwajibkan untuk memelihara dan membiayai


anaknya sampai anak itu dewasa (Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun
1974);
2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan dari si anak ditanggung oleh
ayahnya, apabila oleh Pengadilan, ayah dianggap tidak mampu untuk
memikul seluruh beban pemeliharaan si anak itu seorang diri, maka
kepada ibu dari anak itu juga bisa dibebankan biaya pemeliharaan,
hakim melihat jumlah tanggungan yang ditanggung oleh si ayah dalam
menentukan hal ini;
3. Adanya lembaga perwalian, yang mana wali ditunjuk oleh salah satu
dari orang tua sebelum meninggal dengan menggunakan surat wasiat
(Pasal 50-Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974).

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Harta Bersama di Indonesia.

Secara garis besar, maka akibat putusnya perkawinan terhadap harta


bersama adalah:

1. Tergantung apakah mantan suami dan mantan istri melakukan


perjanjian perkawinan apa tidak, jika melakukan perjanjian
perkawinan, maka harta bersama dibagi menurut ketentuan yang
terdapat didalam perjanjian perkawinan itu, jika tidak melakukan
perjanjian perkawinan maka, harta bersama dibagi merata secara adil
kepada kedua belah pihak;
2. Harta bawaan tidak dibagi jika terjadi perceraian kecuali diperjanjikan
lain dalam perjanjian perkawinan (Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974.

Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Hak dan Kewajiban Mantan Suami


dan Mantan Istri di Singapura.

Secara garis besar, maka akibat putusnya perkawinan terhadap mantan


suami atau mantan istri menurut Women’s Charter 1961 Singapura adalah:

1. Mantan suami dapat dikenakan kewajiban untuk memberikan biaya


pemeliharaan untuk mantan istri, baik selama proses perkawinan
atau setelah perceraian, pemisahan yuridis (judicial separation),
atau ketika pembatalan perkawinan telah selesai. (Pasal 113
Women’s Charter ). Pengadilan akan menentukan apakah istri atau
mantan istri membutuhkan pemeliharaan, dan jumlah biaya
pemeliharaan yang diperlukan akan ditentukan berdasarkan faktor
yang terdapat dalam Pasal 114 Women’s Charter. Pemeliharaan
dapat dibayar baik secara langsung, atau pembayaran secara
berkala;
2. Adanya jangka waktu dari mantan suami untuk membiayai mantan
istrinya, yaitu sampai salah satu meninggal atau mantan istri
menikah kembali (Pasal 117 Women’s Charter);

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


3. Pengadilan berwenang untuk mengubah perjanjian pemeliharaan
yang dibuat antara suami dan istri, yaitu pada waktu apapun dan
dari waktu ke waktu berwenang mengubah klausula dari perjanjian
pemeliharaan apapun yang dibuat antara suami dan istri, baik yang
dibuat sebelum atau sesudah 1 Juni 1981, dimana dipandang bahwa
telah terdapat perubahan meteril dalam situasi, dan sekalipun
terdapat kebijakan apapun yang bertentangan dengan perjanjian
apapun yang semacam itu. (Pasal 119 Women’s Charter).

Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Anak di Singapura.

Secara garis besar, maka akibat putusnya perkawinan terhadap anak


menurut Women’s Charter 1961 Singapura adalah:

1. Kewajiban mengurus sang anak ditentukan oleh Pengadilan sampai


anak mereka memasuki usia dewasa, apakah secara bersama-sama atau
sendiri serta membiayai segala kebutuhan hidupnya (Pasal 68
Women’s Charter);
2. Terdapat aturan yang mengatur mengenai larangan untuk membawa
anak ke luar negeri apabila Pengadilan memandang perlu
dikeluarkannya putusan itu (Pasal 131 Women’s Charter);
3. Kepentingan anak harus menjadi pertimbangan utama oleh hakim
dalam memberikan putusannya, agar anak mendapatkan
kesejahteraan, termasuk pemeliharaan anak dan pendidikan anak, serta
perbekalan melalui putusan pengadilan. (Pasal 123 Women’s
Charter);
4. Anak berhak untuk tetap mendapatkan akses bertemu dengan orang tua
yang tidak mendapatkan hak pemeliharaan dan kontrol anak. (Pasal
126 ayat (2) Women’s Charter);
5. Anak berhak untuk menyatakan keinginannya tentang pada siapa hak
pemeliharaannya akan diberikan oleh pengadilan, apabila anak tersebut
berada dalam umur yang dapat menyatakan pendapatnya secara
independen. (Pasal 125 ayat (2) Women’s Charter).

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Harta Bersama di Singapura.

Secara garis besar, maka akibat putusnya perkawinan terhadap harta


bersama menurut Women’s Charter 1961 Singapura adalah:

1. Harta perkawinan yang dimiliki baik oleh mantan istri maupun


mantan suami, maupun yang sedang dalam proses penjualan, dapat
dipisahkan, ataupun dihentikan proses penjualannya oleh
Pengadilan;
2. Aset/harta benda yang diterima sebagai hadiah atau warisan
umumnya tidak dianggap sebagai aset perkawinan;
3. Harta perkawinan dibagi secara adil dan merata sesuai dengan
putusan pengadilan (Pasal 112 Women’s Charter).

Perbandingan Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Hak dan Kewajiban


Mantan Suami dan Mantan Istri, Anak, dan Harta Bersama di Indonesia
dan Singapura.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang diberikan sebelumnya, maka perbandingan


antara hukum perkawinan Indonesia dengan Singapura mengenai akibat putusnya
perkawinan terhadap hak dan kewajiban mantan suami dan mantan istri, anak, dan
harta bersama adalah sebagai berikut:

1. Persamaan akibat putusnya perkawinan terhadap hak dan kewajiban


mantan suami dan mantan istri antara UU No. 1 tahun 1974 dengan
Women’s Charter adalah mantan suami wajib untuk membiayai kebutuhan
hidup sehari-hari dari mantan istri (Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974
dan Pasal 113 Women’s Charter ) dan adanya jangka waktu bagi suami
dalam membiayai kebutuhan hidup sang istri, yaitu sampai salah satu
meninggal atau istri sudah kawin kembali. (Pasal 41 huruf c UU No. 1
Tahun 1974 dan Pasal 117 Women’s Charter). Perbedaannya adalah,
dalam UU No.1 Tahun 1974 terdapat pengaturan mengenai jangka waktu
tunggu bagi sang istri untuk menikah kembali, yaitu 130 hari untuk cerai
mati, tiga kali suci atau 90 hari untuk cerai hidup, dan sampai melahirkan

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


jika bercerai ketika sang sedang dalam keadaan hamil. (Pasal 11 UU No. 1
Tahun 1974 jo. Pasal 39 PP No. 39 Tahun 1975), berbeda dengan
Women’s Charter yang tidak mengatur mengenai jangka waktu tunggu
bagi seorang istri untuk melakukan perkawinan kembali setelah dia
bercerai.

2. Persamaan akibat putusnya perkawinan terhadap anak antara UU No. 1


tahun 1974 dengan Women’s Charter adalah kedua orang tua tetap
mempunyai kewajiban untuk mendidik dan memelihara anak/anak-anak
mereka walaupun mereka telah bercerai (Pasal 68 Women’s Charter dan
Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974) serta salah satu dari kedua orang tua
dapat dikenakan biaya pemeliharaan (akomodasi, pakaian, makanan),
maupun pendidikan anak melalui putusan Pengadilan sesuai dengan
kemampuan finansialnya. (Pasal 68 Women’s Charter dan Pasal 41 huruf a
UU No. 1 Tahun 1974). Perbedaannya adalah, (1) dalam UU No.1 Tahun
1974 diatur dengan jelas mengenai lembaga perwalian, yang mana wali
ditunjuk oleh salah satu dari orang tua sebelum meninggal dengan
menggunakan surat wasiat (Pasal 50-Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974), (2)
tidak ada aturan yang mengatur mengenai kehendak anak perihal kepada
siapa hak pemeliharaan akan diberikan apabila terjadi perceraian, (3) tidak
ada aturan yang mengatur mengenai larangan membawa anak ke luar
negeri. Sedangkan dalam Women’s Charter, (1) tidak terdapat pengaturan
mengenai lembaga perwalian secara khusus, namun dalam keadaan khusus
yang tidak memungkinkan untuk mempercayakan anak kepada kedua
orang tuanya, Pengadilan dapat menentukan hak asuh jatuh pada saudara
lainnya dari anak, atau organisasi apapun, atau asosiasi yang mempunyai
bidang kerja meliputi kesejahteraan anak, atau orang lainnya yang
dianggap pantas (Pasal 125 ayat 1 Women’s Charter), (2) terdapat aturan
yang mengatur mengenai kehendak anak perihal kepada siapa hak
pemeliharaan akan diberikan setelah terjadi perceraian (Pasal 125 ayat (2)
huruf b), (3) terdapat aturan yang mengatur mengenai larangan untuk
membawa anak ke luar negeri apabila Pengadilan memandang perlu
dikeluarkannya putusan itu (Pasal 131 Women’s Charter).

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


3. Persamaan akibat putusnya perkawinan terhadap harta bersama antara UU
No. 1 tahun 1974 dengan Women’s Charter adalah hibah atau warisan
yang didapat oleh suami atau istri termasuk harta pribadi sehingga tidak
termasuk dalam aset perkawinan yang dibagi dalam putusan pengadilan.
(Pasal 112 Women’s Charter dan Pasal 35 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Perbedaannya adalah dalam UU No. 1 tahun 1974 (1) mengatur mengenai
perjanjian perkawinan, dimana dengan adanya perjanjian perkawinan, para
pihak dapat menentukan agar harta yang diperoleh selama perkawinan
tidak menjadi harta bersama (Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974), (2)
pembagian harta akibat putusnya perkawinan diatur menurut hukumnya
masing-masing, yaitu hukum adat, hukum agama, atau hukum lainnya
seperti peraturan perundang-undangan (Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974,
(3) adanya percampuran harta, pada dasarnya harta yang didapat setelah
perkawinan akan dianggap sebagai harta bersama antara suami dan istri,
kecuali dengan adanya perjanjian perkawinan diantara keduanya;
pengaturan akan pembagian harta akan ditentukan melalui putusan
Pengadilan (Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Sedangkan dalam
Women’s Charter (1) tidak mengatur secara khusus mengenai perjanjian
perkawinan, tetapi Pengadilan mengakui keabsahan dari perjanjian
perkawinan, (2) pembagian harta dilakukan secara adil dan proporsional
oleh Pengadilan (Pasal 112 Women’s Charter), (3) tidak terjadi
percampuran harta selama para pihak masih dalam ikatan perkawinan,
sehingga harta yang didapat dalam perkawinan akan dianggap sebagai
harta pribadi pihak yang mengusahakannya, masalah pembagian harta
setelah putusnya perkawinan akan ditentukan melalui putusan pengadilan
secara adil dan proporsional.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis ingin memberikan saran sebagai berikut:

1. Ketentuan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan kurang bisa mengakomodasi keadaan masyarakat sekarang
ini sehingga perlu diamandemen. Oleh karena itu undang-undang

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


perkawinan di Indonesia dapat mengadopsi hal-hal yang baik dari
Women’s Charter dan kemudian dituangkan dalam bentuk yang
konkrit dan lebih detail, yaitu dalam bentuk Undang-undang dan
Peraturan Pemerintah yang baru.

2. Walaupun menurut penulis amandemen UU No.1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan perlu dilakukan, pada kenyataannya tidak akan semudah
itu untuk melakukannya. Hal ini dikarenakan banyaknya nilai, adat
istiadat, dan tradisi yang masih berlaku di masyarakat yang mungkin
berbeda dengan nilai, adat istiadat, dan tradisi yang berlaku dan dianut
di Singapura. Oleh karena itu sebelum mengadopsi aturan-aturan yang
ada di Women’s Charter perlu dikaji dan dipilih-pilih terlebih dahulu
mana saja yang cocok dengan keadaan di Indonesia agar kelak tidak
terjadi masalah dikemudian hari.

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


DAFTAR REFERENSI

A. Buku
Cahyono, Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata.
Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008.

Ernaningsih, Wahyu dan Putu Samawati. Hukum Perkawinan Indonesia.


Palembang: PT. Rambang Palembang, 2008.

Fuady, Munir. Perbandingan Hukum Perdata. Bandung: Penerbit PT. Citra


Aditya Bakti, 2005.

Garner, Bryan A. et.al. Black’s Law Dictionary 9th ed. United States of America:
Thomson Reuters, 2009.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan,


Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 2007.

Ibrahim, Ahmad. Family Law in Malaysia and Singapore. Singapore: Malayan


Law Journal (PTE) LTD, 1978.

Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Kum, Leong Wai. Cases and Materials of Family Law in Singapore. Singapore:
Utopia Press, 2005.

_______________. Principles of Family Law in Singapore. Singapore: Utopia


Press, 2005.

_______________. The Singapore Women’s Charter. Singapore: Institue of South


East Asian Studies, 2011.

Kurnia, Titon Slamet. Pengantar Sistem Hukum Indonesia. Bandung: PT. Alumni,
2009.

Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya


Bakti, 2000.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Ed.1. Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2007.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (UU No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 1992.
Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa, 2008.

Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.

Syahrani, Riduan. Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum. Bandung: PT.


Alumni, 2009.

Syaifuddin, Muhammad, et.al. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. cet.3. Jakarta:Kencana


Prenada Media Group, 2009.
Talib, Norchaya, et.al. Impact of Law On Family Institutions. Kuala Lumpur:
University of Malaya Press, tanpa tahun.

Thalib, Sajuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit


Universitas Indonesia, 1974.

Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung


Agung, 1995.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 tahun 1974, LN No. 1 Tahun


1974, TLN No.3019.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.
Singapura. Women’s Charter No.18 Tahun 1961 (Revised Edition 2009).
C. Internet
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/204101/feme-sole, diunduh pada 19
Juni 2014.

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014


http://singaporelegaladvice.com/
http://statutes.agc.gov.sg/aol/search/display/view.w3p;page=0;query=DocId%3A
%22f0897dd7-1f3a-45a9-b1e7-
ba30fef2dbba%22%20Status%3Ainforce%20Depth%3A0;rec=0, diunduh
pada tanggal 22 Februari 2014.
http://forum.singaporeexpats.com/viewtopic.php?t=76536, diunduh pada 1
Desember 2014.

Perbandingan hukum perkawinan..., Muhamad Yusuf Baharuddin Sm Alamsjah, FH UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai