Anda di halaman 1dari 23

ISSN 1829 - 5118

Vol. 7 - Oktober 2010

JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA

DAFTAR ISI :
l PENATALAKSANAAN TB MDR DAN STRATEGI DOTS Plus
l DIAGNOSIS “MULTI DRUG RESISTANT MYCOBACTERIUM” TUBERCULOSIS
l PERAN ISTC DALAM PENCEGAHAN MDR
l DIAGNOSIS DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TB-MDR

Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI)
The Indonesian Association Againts Tuberculosis
Vol. 7 - Oktober 2010 ISSN 1829 - 5118

JURNAL
TUBERKULOSIS
INDONESIA
Diterbitkan Oleh
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia

Pemimpin Umum
Ketua Umum PP PPTI

Penanggung Jawab
Dr. Achmad Hudoyo, Sp.P, FCCP

Pemimpin Redaksi
Dra. R. Bahrawi Wongsokusumo
DR. Prasenohadi, Sp.P, Ph.D
Dr. Daniati Kusumo Sutoyo, Sp.P
Dr. Henry Diatmo

Sekretariat Redaksi
H. Undang Zahar, SKM

Alamat Sekretariat Redaksi & Iklan


Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A
Kebayoran Lama Utara, Jakarta 12240
Telp. 021 - 7397494; 7228125
Fax. 021 - 7397494
http://www.ppti.info, email: ppti66@yahoo.com

Terbit pertama kali Agustus 2004


Frekuensi Terbit Dua Kali Setahun
Petunjuk Untuk Penulis

Redaksi menerima naskah yang hanya ditujukan untuk Abstrak


Jurnal Tuberkulosis Indonesia (JTI) dalam bahasa Dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, secara
Indonesia/Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut: terstruktur yang memuat inti pendahuluan; subjek
Pedoman Umum dan metode; hasil; dan kesimpulan penlis. Abstrak
l Naskah adalah karangan asli tidak lebih dari 250 kata.
l Naskah belum pernah diterbitkan sebelumnya dalam Tabel dan Gambar
bentuk dan media/jurnal apapun l Tabel dan gambar disajikan dalam lembar terpisah,
l Seluruh isi naskah adalah tanggung jawab penulis dan telah disebutkan letaknya dalam narasi naskah
l Naskah yang telah dikirim menjadi hak redaksi, dan l Judul tabel diletakkan di atas dan setiap tabel
seluruh isinya tidak dapat direproduksi kembali untuk l Setiap singkatan pada tabel diberi keterangan sesuai
publikasi dalam bentuk apapun tanpa seijin redaksi urutan alfabet berupa catatan kaki di bawah tabel
l Redaksi berhak untuk melakukan proses penyuntingan atau gambar.
naskah, dalam bentuk gaya, bentuk, tampilan, dan l Gambar, tabel, atau foto, harus diberi keterangan secara
kejelasan isi, tanpa harus mengubah isi naskah informative sehingga mudah untuk dimengerti
l Redaksi berhak untuk meminta penulis untuk l Permintaan pemuatan gambar berwarna dikenakan
memperbaiki isi dan bentuk tulisan biaya reproduksi
l Naskah yang tidak dimuat, akan dikembalikan kepada
Daftar Pustaka
penulis apabila ada permintaan sebelumnya
l Daftar rujukan dibuat sesuai dengan ketentuan
l Naskah menggunakan Bahasa Indonesia baku, yang
Vancouver.
efektif dan efisien. Atau dalam keadaan tertentu,
l Daftar rujukan tidak lebih dari 25 buah, dan
naskah dapat dibuat dalam Bahasa Inggris dengan
merupakan rujukan terbaru dalam satu dekade
ejaan yang standar
terakhir.
Naskah l Setiap rujukan diberi nomor sesuai urutan dalam
l Naskah diketik dengan spasi ganda, dengan jarak narasi naskah.
tepi-tepi kertas 2,5 cm dan menggunakan ukuran l Nama jurnal disingkat seperti tercantum dalam
kertas A4 (21x 30 cm) Index Medicus.
l Naskah dapat dikirim ke redaksi dalam bentuk disket l Rujukan yang telah masuk dalam naskah, namun
berupa copy file dari naskah tersebut belum diterbitkan dalam satu jurnal ditulis sesuai
Kelengkapan Naskah aturan dan ditambahkan: In Press
l Naskah dikirim ke alamat sekretariat redaksi Jurnal Contoh Penulisan Daftar Rujukan
Tuberkulosis Indonesia: 1. Artikel jurnal baku. Contoh: Aditama.TJ.Y, Priyanti ZS,
Jl. Sultan Iskandar Muda No. 66A Kebayoran Lama Tuberkulosis, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Lab.
Utara Jakarta 12240, Telp. (021) 7397494, atau Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Collaborating
via email: jti_indonesia@yahoo.com Center for Tuberculosis, Edisi 3, 2000, hal 32-80.
l Naskah dikirim dalam 2 berkas salinan (print-out) 2. Organisasi sebagai penulis. Contoh: Bureau of Tu-
yang tersusun sesuai urutan: 1) halaman judul, 2) berculosis Control. Clinical policies and protocols.
abstrak, 3) abstark dalam Bahasa Inggris termasuk 3 rd ed. New York, NY: New York City Department of
key words, 4) isi, 5) ucapan terimakasih bila ada, 6) Health, 1999
daftar pustaka, 7) tabel-tabel, 8) gambar/ilustrasi 3. Tanpa nama penulis. Contoh: Tuberculosis in South
dan foto berikut keterangannya Africa (editorial). A Kalvin 1993; 74:5
l Naskah disampaikan dalam bentuk disket dengan 4. Penulis perorangan. Contoh: Wallgreen A. Primary
program MS-Word pulmonary tuberculosis in chilhood.; 2nd ed. California:
Halaman Judul dan Penulis Aicon Publishers; 1985
l Judul makalah ditulis lengkap, dan tidak 5. Bab dalam buku. Contoh: Rock JA, Surgical Condi-
menggunakan singkatan tion of the Vaginal and Urethra, te Linde’s Opera-
l Nama penulis ditulis lengkap dengan gelar akademis tive Gynecology Eigth Edition, New York; Ralf press;
l Nama departemen dan institusi 1995. p. 911-938
l Alamat korespondensi penulis

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 i


EDITORIAL

FAKTOR RISIKO MDR-TB DI INDONESIA : Spesifik dan khas Indonesia?


“Drug-resistant tuberculosis a man-made problem : HUMAN ERROR” (Espinal M & Frieden T)1

Pasien-pasien yang sedang menjalani pengobatan sebagai MDR-TB pasti menyesal, kalau tahu harus menjalani pengobatan
seperti ini. Betapa tidak, karena harus diinjeksi setiap hari selama 6 (enam) bulan, disamping harus minum obat sekian
banyak macam obat dihadapan petugas langsung, setiap hari selama hampir 2 (dua) tahun, tepatnya 18 bulan setelah
konversi dahak. Pengalaman di rumahsakit Persahabatan sebagai pilot proyek DOTS-plus untuk mengobati MDR-TB
memperlihatkan betapa tidak mudahnya pasien MDR-TB harus menjalani pengobatan. Setiap hari mereka harus datang
untuk minum obat dihadapan petugas langsung, selama kurang lebih 24 bulan. Meskipun demikian tidak dijamin dapat
sembuh 100%. Memang obat-obat tersebut diberikan secara cuma-cuma. Bagi pasien MDR-TB yang tidak mau berobat di
RS Persahabatan, dengan sedikit modifikasi pasien harus membeli sendiri obatnya dengan harga Rp.100.000,- setiap hari.
Dengan demikian bila menyaksikan betapa sedih dan menderitanya pasien MDR-TB, maka pilihan yang paling tepat adalah
mencegah jangan sampai terjadi MDR-TB pada setiap pasien yang kita obati. Sekedar mengobati pasien TB, tanpa komitmen
untuk menyembuhkannya adalah tindakan yang tidak professional dan sikap yang tidak bertanggung jawab.

Sangat logis bila kemudian timbul pertanyaan faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan MDR-TB.

Sebuah penelitian kualitatif systematic review dari 44 artikel, 7.814 sitasi dari 19 database (1966-2005) dari berbagai
negara, tentang ketaatan pasien TB dalam menjalani pengobatan. Simpulan yang didapat adalah bahwa pasien dalam
menjalani pengobtan sering dibawah kondisi yang sulit dan tantangan yang berat. Kadang diluar kontrol mereka. Waktu
yang lama adalah kendala yang sering dihadapi. Informasi yang tidak lengkap, tidak ada penjelasan yang terus menerus
berpengaruh pada ketaatan pasien. Faktor-faktor yang berpengaruh tersebut adalah² :
1. Faktor struktural (kemiskinan –khususnya yg terpaut dengan pembiayaan dan keuangan, masalah gender dan
hukum)
2. Faktor personal (pengetahuan, keyakinan, sikap terhadap pengobatan, interpretasi sakit dan sehat)
3. Faktor sosial (dukungan keluarga, kerabat, masyarakat, dan masalah ‘stigma’)
4. Faktor pelayanan kesehatan (pengobatan, perawatan, kemajuan penyakit dan efek-samping)

Hasil penelitian oleh dr Dedi Nofizar di Poliklinik MDR-TB di RS Persahabatan, ternyata berbeda. Misalnya pada faktor
struktural yang menyangkut maslah pembiayaan dan keuangan, ternyata 84,4% responden menyatakan bahwa biaya tidak
menjadi kendala saat menjalani pengobatan TB pertama kali. Tentang faktor personal, dalam hal ini berkaitan dengan
informasi yang telah diberikan oleh dokter sehingga pasien mempunyai pengetahuan tentang TB dan menentukan sikap
dalam mengambil keputusan dalam pengobatan TB. Dari 50 pasien, ternyata 90% mentaakan bahwa dokter telah memberikan
informasi cukup baik. Dalam hal faktor keluarga, ternyata 80% responden menyatakan ada dukungan keluarga. Demikian
juga terhadap faktor pelayanan kesehatan. Sebagian besar pasien yang mencapai angka 73% mengatakan bahwa mereka
kontrol teratur pada riwayat pertama pengobatan. Tentang efek samping obat yang dikhawatirkan memicu ketidakteraturan
berobat, ternyata juga tidak terbukti, karena kurang dari separuh yaitu 30% responden yang menyatakan mengalami efek
samping3.

Kalau melihat hasil studi diatas, jelas tidak sesuai dengan teori hasil tinjauan atau reviu internasional. Bila demikan masih
timbul pertanyaan apakah sebenarnya penyebab MDR-TB di Indonesia? Atau, apakah fenomena MDR-TB di Indonesia
bersifat spesifik, unik atau khas Indonesia ? Perlu penelitian lebih lanjut.

ii Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7


Ada satu hal lagi, masih berdasar hasil penelitian tersebut yaitu tentang “tempat mendapat OAT” patut mendapat perhatian,
atau kalau tidak berlebihan dapat dianggap sebagai faktor penyebab MDR-TB. Ternyata lebih dari setengah responden,
yaitu 56% mendapatkan obat lansung di tempat praktek dokter dan menebus sendiri obat di apotik. Hal ini tentu saja sulit
dikontrol tentang jenis obat, kombinasi OAT, dosis obat serta kepastian bahwa pasien telah minum obat. Selebihnya
sebanyah 44% responden menyatakan mendapat OAT dari Program-TB di Rumahsakit dan Puskesmas. Bila asumsi ini
terbukti benar, maka merupakan tugas dan tanggug jawab pemerintah untuk membenahi kebijakan, misalnya dengan
memberlakukan peraturan bahwa OAT bukan komoditi yang dapat diperdagangkan, dengan kata lain OAT tidak dapat lagi
diperjual belikan baik di klinik tempat praktek dokter atau juga di apotik. OAT hanya dapat diberikan di Rumahsakit-
Program atau di Puskesmas.

“A basic principle of tuberculosis control is that the health system, not the patient, is responsible and accountable for
ensuring complete treatment of all patient who start treatment”(Toman’s)1.

(Achmad Hudoyo,Sp.P)

DAFTAR PUSTAKA

1. Espinal M & Frieden T. What are the causes of drugs resistant tuberculosis?. In Toman’s tuberculosis – Case detection,
Treatment, and Monitoring. WHO, Geneva 2004 : 207-209.

2. Munro SA, Lewin SA, Smith H, Engel ME, Fretheim A, Volmink J. Patient adherence to tuberculosis treatment: A systemic
review of qualitative research. PLoS Med 2007; 4(7):1230-1244.

3. Nofizar D, Nawas A, Burhan E. Identifikasi faktor risiko pada MDR-TB (studi retrospektif terhadap 50 pasien MDR-TB di RS
Persahabatan Jakarta). Tesis Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi 2010 (un-published).

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 iii


PENATALAKSANAAN TB MDR DAN STRATEGI DOTS Plus

Arifin Nawas

PENDAHULUAN Pilihan berdasarkan :


n Ketersediaan OAT lini kedua (second-line)
Latar Belakang n Pola resistensi setempat dan riwayat penggunaan OAT
Masalah resistensi obat pada pengobatan TB lini kedua
khususnya MDR dan XDR menjadi masalah kesehatan n Uji kepekaan obat lini pertama dan kedua
masyarakat yang penting dan perlu segera ditanggulangi.
Insidens resistensi obat meningkat sejak diperkenalkannya Program TB MDR yang akan dilaksanakan saat ini
pengobatan TB yang pertama kali pada tahun 1943. menggunakan strategi pengobatan yang standard
TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya (standardized treatment).
adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat Klasifikasi obat anti tuberkulosis dibagi atas 5 kelompok
dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat dan penularan berdasarkan potensi dan efikasinya, yaitu :
dari pasien TB MDR tersebut. Pengobatan yang tidak adekuat m Kelompok 1: Sebaiknya digunakan karena kelompok
biasanya akibat dari satu atau lebih kondisi berikut ini: ini paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik
• Regimen, dosis, dan cara pemakaian yang tidak benar (Pirazinamid, Etambutol)
• Ketidakteraturan dan ketidakpatuhan pasien untuk m Kelompok 2: Bersifat bakterisidal (Kanamisin atau

minum obat kapreomisin jika alergi terhadap kanamisin)


• Terputusnya ketersediaan OAT m Kelompok 3: Fluorokuinolon yang bersifat bakterisidal

• Kualitas obat yang rendah tinggi (Levofloksasin)


m Kelompok 4: Bersifat bakteriostatik tinggi (PAS,
Standard 15 : Penatalaksanaan TB Resisten Obat Ethionamid, Sikloserin)
n Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten m Kelompok 5: Obat yang belum jelas efikasinya. Tidak
obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan disediakan dalam program inI.
paduan obat khusus yang mengandung obat anti
tuberkulosis lini kedua.
n Paling tidak harus digunakan empat obat yg masih II. Paduan obat TB MDR
efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit Paduan obat TB MDR yang akan diberikan kepada
18 bulan. semua pasien TB MDR (standardized treatment) adalah:
n Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan
untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap 6 Km - E – Etho – Levo – Z – Cs / 18 E – Etho – Levo – Z – Cs
pengobatan.
n Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan terbukti TB MDR
MDR-TB harus dilakukan. Paduan obat standard diatas harus disesuaikan kembali
I. Strategi Pengobatan TB MDR berdasarkan keadaan di bawah ini:
a. Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten
Tiga pendekatan pengobatan : terhadap salah satu obat diatas. Etambutol dan
pirazinamid tetap digunakan
n Paduan standard
b. Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di
n Paduan empirik
atas sebelumnya sehingga dicurigai ada resistensi,
n Paduan disesuaikan masing-masing pasien (Ideal, tapi
misalnya : pasien sudah pernah mendapat kuinolon
tergantung sumber daya & sarana)

1 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7


untuk pengobatan TB sebelumnya, maka dipakai untuk 1 bulan mulai dari awal sampai akhir
levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti pengobatan sesuai dosis yang telah dihitung oleh
resisten terhadap levofloksasin regimen pengobatan dokter yang menangani. Paket obat yang sudah
ditambah PAS, atas pertimbangan dan persetujuan disiapkan untuk 1 bulan tersebut akan di simpan di
dari tim ahli klinis atau tim terapeutik Poliklinik DOTS Plus UPK pusat rujukan TB MDR
c. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu o Penyerahan obat setiap minggu kepada pasien pada
obat yang sudah dapat diidentifikasi sebagi fase lanjutan dibawah pengawasan dokter yang
penyebabnya menangani.
d. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun o Bila pasien meneruskan pengobatan di UPK satelit
setelah konversi biakan. Hal-hal yang harus maka paket obat ini akan diambil oleh petugas farmasi
diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi UPK satelit setiap bulannya di unit farmasi UPK pusat
dahak, demam, penurunan berat badan rujukan TB MDR.
o Perhitungan dosis OAT dapat dilihat pada tabel 2
III. Prinsip paduan pengobatan TB MDR dibawah ini.
1. Setiap rejimen TB MDR terdiri dari paling kurang 4
macam obat dengan efektifitas yang pasti atau
hampir pasti. OAT BB
2. PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan < 33 kg 33-50 kg 51-70 kg >70 kg
atau hampir dipastikan ada pada fluorokuinolon. mg/kg/hari mg/kg/hari mg/kg/hari mg/kg/hari
Kapreomisin diberikan bila terbukti resisten kanamisin.
Pirazinamid 30-40 1000-1750 1750-2000 2000-2500
3. Dosis obat berdasarkan berat badan.
4. Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) Kanamisin 15-20 500-750 1000 1000
digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau Kapreomisin 15-20 500-750 1000 1000
4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Periode ini
dikenal sebagai fase intensif. Levoflosasin 750 750 750 750-1000
5. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah Sikloserin 15-20 500 750 750-1000
konversi biakan
Etionamid 15-20 500 750 750-1000
6. Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan
2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari PAS 150 8000 8000 8000
menunjukkan hasil negatif.
7. Suntikan diberikan 5x/minggu selama rawat inap dan
rawat jalan. Obat per oral diminum setiap hari. Pada V. Pengobatan ajuvan pada TB MDR
fase intesif obat oral diminum didepas petugas
kesehatan kecuali pada hari libur diminum didepan • Pemberian tambahan zat gizi :
PMO. Sedangkan pada fase lanjutan obat oral Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi
diberikan maksimum 1 minggu dan diminum didepan kurang akan lebih berhasil bila diberi tambahan zat
PMO. Setiap pemberian suntikan maupun obat oral gizi protein, vit dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll).
dibawah pengawasan selama masa pengobatan. Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan
8. Pada pasien yang mendapat sikloserin harus fluorokuinolon karena akan mengganggu absorbsi
ditambahkan Piridoxin (vit. B6), dengan dosis 50 mg obat, berikan masing – masing dengan jarak minimal
untuk setiap 250 mg sikloserin 4 jam.
9. Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal • Kortikosteroid.
Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan
III. OAT dan dosisnya gangguan respirasi berat, gangguan susunan saraf
pusat atau perikarditis. Prednison digunakan 1 mg/
o Penentuan dosis OAT oleh dokter yang menangani
kg dan diturunkan (tappering off) apabila digunakan
dan berdasarkan berat badan pasien. Penentuan dosis
dalam jangka waktu lama. Kortikosteroid juga
dapat dilihat tabel 2
digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi
o Obat akan disediakan dalam bentuk paket (disiapkan kronik eksaserbasi.
oleh petugas farmasi UPK pusat rujukan TB MDR)

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 2


FASE-FASE PENGOBATAN TB MDR dengan jadwal pemeriksaan sputum atau
laboratorium lain) sampai dokter memutuskan
I. Fase Pengobatan intensif kunjungan dikurangi menjadi sebulan sekali
Fase intensif adalah fase pengobatan dengan 4. Dokter UPK satelit memastikan:
menggunakan obat injeksi (kanamisin atau kapreomisin) • bahwa pasien membawa spesimen sputum
yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau yang layak untuk pemeriksaan mikroskopik dan
4 bulan setelah terjadi konversi biakan kultur setiap bulannya dan dilakukan
pemeriksaan darah atau lainnya jika
a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu dibutuhkan.
Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien
• Anggota Tim Ahli Klinis dan wasor memperoleh
diamati untuk:
informasi klinis yang diperlukan untuk
- Menilai keadaan pasien secara cermat
dibicarakan pada pertemuan Tim Ahli Klinis
- Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek
(hasil pemeriksaan sputum dan kultur, efek
samping
samping dst)
- Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
yang intensif • Mencatat perjalanan penyakit pasien dan bila
ada kejadian khusus maka akan melaporkan
Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat kepada Tim Ahli Klinis di pusat rujukan
jalan berdasarkan:
• Tidak ditemukan efek samping II. Fase pengobatan lanjutan
• Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan
suntikan sesuai dengan pedoman pengobatan TB • Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan
MDR • Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi
biakan
Penentuan tempat pengobatan • Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS
Sebelum pasien memulai rawat jalan, Tim ahli klinis Rujukan TB MDR mengambil obat setiap minggu dan
rujukan MDR membuat surat pengantar ke UPK satelit berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan
TB MDR yang terdekat dengan tempat tinggal pasien • Pasien yang berobat di UPK satelit akan mengunjungi
untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya. Pasien RS rujukan TB MDR setiap 1 bulan untuk berkonsultasi
juga dapat memilih RS rujukan TB MDR sebagai tempat dengan dokter (sesuai dengan jadwal pemeriksaan
melanjutkan pengobatan rawat jalan hingga selesai dahak dan biakan)
pengobatan • Obat diberikan setiap minggu oleh petugas UPK satelit
atau RS Rujukan TB MDR kepada pasien. Pasien
b. Fase rawat jalan minum obat setiap hari dibawah pengawasan PMO
Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum • Perpanjangan lama pengobatan hingga 24 bulan
diberikan oleh petugas kesehatan dengan disaksikan diindikasikan pada kasus-kasus kronik dengan
PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat kerusakan paru yang luas
oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur
Pada fase rawat jalan: PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN
1. Pasien mendapat suntikan setiap hari (Senin s/d Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons
Jumat) sedangkan obat oral 7 hari per minggu. terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping
Penyuntikan obat dan menelan minum obat pengobatan. Gejala klasik TB – batuk, berdahak, demam dan
dilakukan didepan petugas kesehatan BB menurun – umumnya membaik dalam beberapa bulan
2. Pasien berkonsultasi dan diperiksa oleh dokter UPK pertama pengobatan.
satelit-2 setiap 1 minggu Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan
3. Pasien yang memilih pengobatan di UPK satelit biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2
akan mengunjungi dokter di RS rujukan MDR bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan
setiap 2 minggu (jadwal kedatangan disesuaikan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan.

3 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7


Evaluasi pada pasien TB MDR adalah : bersamaan waktu tidak ada bukti klinis memburuknya
• Penilaian klinis termasuk berat badan keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan
kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang
• Penilaian segera bila ada efek samping 3 hasil kultur negatif berturut-turut yang diambil
• Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan sampelnya berselang sekurangnya 30 hari
setiap 2 bulan pada fase lanjutan
• Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah
• Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program tetapi
konversi biakan tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil
• Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus pemeriksaan bakteriologis
kecurigaan akan kegagalan pengobatan • Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab
• Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien apapun selama masa pengobatan TB MDR.
mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin)
• Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari
• Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada 5 kultur yang dicatat dalam 12 bulan terakhir masa
tanda-tanda hipotiroid pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3
kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat
Konversi dahak dikatakan gagal apabila tim ahli klinis memutuskan untuk
• Definisi konversi dahak : pemeriksaan dahak dan biakan menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan
2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari respons klinis, radiologis atau efek samping.
menunjukkan hasil negatif. ‘ • Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya
• Tanggal set pertama dari sediaan apus dahak dan kultur terputus selama berturut-turut dua bulan atau lebih
yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi (dan dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik
tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya • Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan
pengobatan fase intensif dan lama pengobatan). dan pelaporan lain dan hasil pengobatan tidak diketahui

Penyelesaian pengobatan fase intensif Tabel 2. Pemantauan selama pengobatan TB


Frekuensi yang dianjurkan
• Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan Pemantauan Bulan Pengobatan
oleh hasil konversi kultur 0 1 2 3 4 5 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Evaluasi klinis
• Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan (termasuk BB) Setiap bulan sampai prengobatan selesai atau lengkap
paling kurang 6 bulan dan sekurang-kurangnya 4 bulan Pengawasan oleh
PMO
setelah pasien menjadi negatif dan tetap negatif untuk Pemeriksaan dahak
3 Setiap bulan sampai konversi, bila sudah konversi setiap 2 bulan
dan biakan dahak
pemeriksaan dahak dan kultur
Uji kepekaan obat * 3
Foto toraks 3 3 3 3
Lama pengobatan Kreatinin serum **
Kalium serum **
3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3
Thyroid stimulating
• Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh hormon (TSH)***
3 3 3 3
konversi dahak dan kultur Enzim hepar (SGOT,
SGPT)# 3 Evaluasi secara periodik
• Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung Tes kehamilan 3
sekurang-kurangnya 18 bulan setelah konversi kultur Hb dan Leukosit ∞ 3 Berdasarkan indikasi
Lipase ∞ Berdasarkan indikasi
sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek lama Asidosis laktat ∞ Berdasarkan indikasi
pengobatan Gula darah ¥ Berdasarkan indikasi

* sesuai indikasi uji kepekaaan bisa diulang, seperti gagal konversi


Hasil pengobatan TB MDR (atau kategori IV) atau memburuknya keadaan klinis. Untuk pasien dengan hasil kultur
tetap positif uji kepekaan tidak perlu diulang sebelum 3 bulan
• Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan ** Bila diberikan obat injeksi. Pada pasien dengan HIV, diabetes dan
risiko tinggi lainnya pemeriksaan ini dilakukan setiap 1-3 minggu
pengobatan sesuai protokol program dan telah *** Bila diberikan etionamid/protionamid atau PAS, bila ditemukan
mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif tanda dan gejala hipotiroid
berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang #
Bila mendapat pirazinamid untuk waktu yang lama atau pada
30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya pasien dengan risiko, gejala hepatitis

Bila mendapat linezolid atau ARV
satu kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan ¥
Bila mendapat gatifloksasin

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 4


PENANGANAN EFEK SAMPING Efek samping ringan dan sedang
A. Pemantauan efek samping selama pengobatan Penatalaksanaan oleh dokter UPK satelit tanpa harus
menghentikan pengobatan
• OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih
banyak, lebih berat dan lebih sering dari pada OAT lini - Kemerahan (rash) ringan
pertama - kesemutan atau rasa panas pada kulit kaki (neuropati
• Deteksi dini efek samping penting karena makin cepat perifer)
ditemukan dan ditangani makin baik prognosanya, jadi - mual dan muntah
pasien harus di monitor tiap hari - diare
• Efek samping sering terkait dosis - sakit kepala
- gangguan tidur
• Gejala efek samping harus diketahui oleh PMO dan
- Tidak napsu makan (anoreksia)
pasien sehingga pasien tidak menjadi takut saat
- bingung,depresi
mengalaminya dan drop-out
• Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius.
Semua hal harus tercatat dalam pencatatan dan PENGOBATAN TB MDR PADA KEADAAN KHUSUS
pelaporan
Pengobatan TB MDR pada wanita usia subur
B. Tempat penatalaksanaan efek samping • Semua pasien wanita usia subur harus didahului
• RS rujukan TB MDR dan UPK satelit menjadi tempat pemeriksaan kehamilan.
penatalaksanaan efek samping tergantung berat ringan • Pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia
gejala. produktif yang akan mendapat pengobatan TB MDR.
• Dokter Puskesmas akan menatalaksana efek samping Pengobatan TB MDR pada ibu hamil
ringan dan sedang. Tim klinis TB MDR di RS rujukan
TB MDR akan mendapat laporannya • Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB
• Pasien dengan efek samping berat atau serius dan MDR tetapi sampai saat ini keamanannya belum diketahui
pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah • Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini
penanganan efek samping ringan atau sedang harus • Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester
segera dirujuk ke Tim Klinis RS rujukan MDR dengan pertama sehingga pengobatan bisa ditangguhkan sampai
transportasi dari Puskesmas trimester kedua
Pengobatan TB MDR pada ibu menyusui
• Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan
Efek samping berat atau serius: TB MDR harus mendapat pengobatan penuh
Pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk • Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI
dengan didampingi ke RS rujukan TB MDR dengan konsentrasi yang lebih kecil
Contoh • Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa
• kulit dan mata pasien nampak kuning waktu sampai BTA nya menjadi negatif atau ibu
• Pendengaran berkurang (tuli) atau telinga berdengung menggunakan masker N-95
• mendengar suara-suara, halusinasi, delusi/waham, Pengobatan TB MDR pada pasien yang sedang memakai
bingung kontrasepsi hormon
• Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan • Tidak ada kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi
angionerotik edema, harus segera ditangani oleh dokter oral dengan rejimen yang tidak mengandung riyfamycin
puskesmas sesuai standard penanganan syok sebelum • Seorang wanita yang mendapat kontrasepsi oral
segera dirujuk ke RS rujukan TB-MDR sementara mendapat pengobatan dengan rifampycin bisa
• Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan memilih salah satu metode berikut: gunakan kontrasepsi
pada mukosa (selaput lendir) seperti mulut, mata dan oral yang mengandung dosis oestrogen yang lebih besar
dapat mengenai seluruh tubuh berupa pengelupasan (50 µg) atau menggunakan kontrasepsi bentuk lain
kulit (Steven Johnsons Syndrome)

5 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7


Pengobatan pasien TB MDR dengan diabetes mellitus
• Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini
• Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT,
terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer • Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya
harus diatasi
• Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan
kontraindikasi selama pengobatan TB MDR, tetapi • Cycloserine harus dihindarkan pada pasien dengan
mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi sehingga gangguan kejang yang aktif dan tidak cukup terkontrol
perlu penanganan khusus dengan pengobatan
• Penggunaan ethionamida lebih sulit penanganannya Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan psikiatri
• Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu • Pasien harus dinilai dengan pelatihan psikiatris sebelum
selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang- pengobatan dimulai
kurangnya sekali sebulan • Penilaian awal harus merekam kondisi psikiatris apapun
Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan ginjal sebagai suatu keadaan awal(baseline) untuk perbandingan
jika gejala psikiatri baru muncul pada saat pasien sedang
• Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan dalam pengobatan
ginjal harus dilakukan dengan hati – hati
• Depresi dan kecemasan pada pengobatan TB MDR sering
• Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu bertalian dengan kronisnya pasienan dan faktor stres
selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang
sosio-ekonomi yang berkaitan dengan penyakit
kurangnya sekali sebulan
• Pengobatan dengan obat psikiatri, konseling perorangan
• Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus dan/atau kelompok perlu dilakukan untuk mengendalikan
disesuaikan dengan tabel diatas (jika terjadi gangguan gejala
ginjal) • Pemantauan ketat diperlukan jika Cycloserine digunakan
Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan hati pada pasien dengan gangguan psikiatris
• OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding
OAT lini pertama STRATEGI DOTS PLUS
• Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang
pengobatan TB MDR jika tidak ada bukti klinis penyakit sana dengan strategi DOT , dimana setiap komponen yang
hati kronis, karier virus hepatitis, riwayat akut hepatitis ada lebih ditekankan kepada penanganan TB MDR
dahulu atau pemakaian alkohol berlebihan.
• Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas Strategi DOTS plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci:
sehingga harus lebih diawasi 1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk
• Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan masalah MDR/XDR.
Pirazinamid 2. Strategi penemuan kasussecara rasional yang akurat
• Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan
jika kadar enzim meningkat, OAT harus dihentikan dan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang
dilaporkan kepada tim therapeutic advisory terjaminmutunya.
• Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB MDR selama 3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini
hepatitis akut, kombinasi empat OAT yang tidak kedua ,dengan pengawasan yang ketat (Direct
hepatotoksis merupakan pilihan yang paling aman Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan kejang- 5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku
kejang (epilepsi)
• Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks
menelan obat anti kejang dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan
• Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau pasien TB bukan MDR
penyesuaian pengobatan anti kejang diperlukan sebelum Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat Program
mulai pengobatan Penanggulangan TB Nasional.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 6


DAFTAR PUSTAKA

- World Health Organization .Guidelines for the


programmatic management drug –resistant tuberculosis
emergency edition ,Geneve.2008
- Dep.Kes RI,Buku pedoman pengobatan nasional.Jakarta
2007
- TBCTA.International Standard for TB care.Geneve 2006

7 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7


DIAGNOSIS “ MULTI DRUG RESISTANT MYCOBACTERIUM “ TUBERCULOSIS

Agus Sjahrurachman
Departemen Mikrobiologi FKUI

Pendahuluan yaitu 2 rantai alfa dan satu rantai beta dan satu rantai
beta nascen. Tiap rantai disandi oleh leh berbeda, dengan
Pada tahun 1963, WHO menyimpulkan bahwa rantai beta disandi oleh ben rpobeta.
morbiditas dan mortalitas TB terus meningkat dan
Isoniazid
menyatakan bahwa TB merupakan kegawat darutan
global .Tiga negara dinyatakan sebagai negara dengan INH adalah obat yang aktif terhadap MTB yang
“ disease burden” tertinggi, yaitu Cina, India dan membelah dan tidak aktif terhadap MTB dalam fase
stasioner. INH juga tidak bekerja dalam suasana anaerob,
Indonesia. Masalah menjadi makin meluas karena hasil
INH adalah “ prodrug “ yang masuk ke dalam kuman
“ global survellance “ menunjukkan bahwa
dengan cara pasif. Prodrug selanjtnya akan diubah oleh
Mycobacterium yang bersamaan resisten terhadap
katalase G Mtb menjadi bentuk aktif.Aktifasi
rifampisin dan isoniazid ( INH ), dan selanjutnya disebut menghasilkan berbagai oksigen dan senyawa reaktif yang
sebagai MDRTb, ditemukan di semua negara yang menyerang target di dalam kuman, yaitu sintesa asam
mengadakan surveilans. Peningkatan prevalensi MDRTb mikolat, metabolisme NAD dan mungkin juga merusak
ini akan meningkat seandainya keberhasilan program DNA. Akbatnya kuman mudah lisis. Dalam sintesa asam
pengendalian Tb tidak optimal dan prevalensi infeksi mikolat, diperlukan juga enoyl ACP reductase, NADH
oleh Human Immunodeficiency virus ( HIV ) terus dehydrogenase, dan alkyl hydroperoxidase. Secara
meningkat. berurutan ensim-esnim terasbut disandi oleh berturut-
turut gen inhA,ndh dan ahpC. Sementara katalase disandi
Kasus MDRTb tersebut, yang pengobatannya oleh gen katG. Selain itu, diketahui pula bahwa aktifitas
jauh lebih sukar daripada kasus Tb biasa, tidak hanya gen katG diatur oleh regulatornya yaitu gen furA.
membahayakan dirinya tetapi juga menular bagi
masyarakat sekitarnya.Karena itu kasus tersebut harus Mekanisme resitensi
diidenfikasi dengan benar dan cepat agar pengobatan Pada Mtb belum pernah dilaporkan adanya plasmid
dapat dilakukan dengan tepat dan secepatnya. pembawa resistensi, karena itu resistensi Mtb terhadap
Mengingat bahwa diagnosa MDRTb adalah bukanlah OAT tidak dipindahkan dari satu kuman ke kuman lain.
diagnosis klinis, maka pemeriksaan uji kepekaan Dengan kata lain, terjadinya resistensi Mtb terhadap OAT
menjadi sangat penting dalam tatalaksana kasus terutama terjadi karena mutasi genetik pada Mtb sendiri,
MDRTb, apalagi pernyataan kesembuhan juga dan mutasi ini terjadi secara alami, tidak dibawah tekanan
OAT. Penyebaran resistensi Mtb terjadi pasca amplifikasi
didasarkan atas hasil pemeriksaan biakan Mtb.
kuman resisten sebagai akibat inadequatnya obat
disekitar kuman.
Mekanisme kerja obat Rifampisin
Rifampisin Pada Mtb, resistensi terhadap rifampisin terjadi pada satu
Rifampisin merupakan obat yang aktif terhadap MTB dari sepuluh sampai seratus juta kuman. Resistensi pada
yang tumbuh dan juga aktif terhadap Mtb dalam fase > 95% Mtb terhadap rifampisin terjadi akibat mutasi
stasioner. Daya antibakterial rifampisin terjadi melalui pada gen rpobeta. Mutasi masif pada gen rpobeta akan
hambatan sintesa RNA, yaitu dengan jalan berikatan menyebabkan tingkat resistensi tinggi dan resistensi
pada RNA polimerase kuman. RNA polimerase ini silang terhadap semua anggota golongan rifampisin.
merupakan oligomer yang tersusun dari empat ratai, Umumnya mutasi terjadi selektif dan sebagian besar

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 8


terjadi pada kodon 511,516,518 dan 522. Mutasi pada egg-based” atau “ agar-based”. Dalam penerapannya, cara
kodon tersebut akan menyebabkan resistensi silang pada ini dapat berupa cara langsung ataupun cara tak langsung.
rifapentin, tetapi tidak pada rifabutin. Resistensi tingkat Pada cara langsung, sputum dicairkan lebih dahulu dan
lebih rendah terjadi akibat mutasi pada kodon L176F. kuman didalamnya dipekatkan dengan sentrifugasi.
Setelah jumlah kuman disesuaikan dengan bakunya,
Isoniazid
kuman ditanamkan pada media mengandung OAT.
Resistensi Mtb terhadap INH akibat hilangnya gen katG Keberhasilan cara ini sangat bergantung pada jumlah
akan menyebabkan resistensi tingkat tinggi, Fenomena
kuman hidup yang ada di dalam sputum penderita. Pada
ini jarang dan yang lebih sering terjadi adalah mutasi
penderita yang sedang dalam pengobatan, sebagian dari
noktah. Frequensi kuman resisten terhadap INH akibat
kuman telah mati akibat pengaruh OAT. Dibandingkan
dari mutasi gen katG bervariasi antara 20-80%,
dengan cara tak langsung, cara langsung lebih banyak
tergantung asal Mtb. Diantara berbagai mutasi pada
gagal/biasnya, apalgi jika di terapkan pada daerah endemis
katG, mutasi pada daerah S315T merupakan yang
tersering, teramati pada kira-kira 50% isolat. Mutasi HIV. Pada cara tak langsung, kuman dari bahan dibiakkan
pada S315T ini menyebabkan aktifitas katalase berkurang dan didiferensiasi antara Mtb dan Non Tuberculous
50% dan karena itu tingkat resistensi yang mycobacterium ( NTM ). Isolat Mtb dengan viabilitas
ditimbulkannya cukup tinggi. Telah diketahui pula bahwa tinggi dalam jumlah sesuai baku dipaparkan pada OAT
aktfitas gen katG diatur oleh gen lain,yaitu gen furA. yang terdapat dalam media. Cara konvensional ini dapat
Mutasi gen furA telah ditemukan pada mycobacteria dibagi lagi atas 3 cara, yaitu : cara proporsi, cara rasio
lain, tetapi belum ditemukan pada Mtb resisten dan cara absolut.
a. Cara proporsi
Mutasi pada gen inhA yang telah teridentifikasi adalah
pada “promoter”nya dan pada gen strukturalnya. Cara proporsi merupakan cara yang paling banyak
Resistensi pada inhA terjadi pada 15-43% isolat yang digunakan. Pada cara ini, sejumlah Mtb sesuai baku dan
resisten INH dan menyebabkan tingkat resistensi rendah. yang viabilitasnya tinggi ditanamkan pada media
Namun mutasi pada inhA ini beresiko besar mengandung OAT, sementara sebagi kontrol isolat
menyebabkan juga resisteni pada etambutol. Berbagai tersebut ditanam pada media tanpa OAT. Pembacaan hasil
lokus mutasi inhA penyebab resistensi terhadap INH umumnya dilakukan pada hari ke 28 dan jika hasil pada
telah diketahui, diantaranya adalah pada lokus hari 28 meragukan, pembacaan diulang pada hari ke 42,
S94A,121T dan 121V. kecuali jika memamakia media Middlebrook 7H10/11 dan
inkubasinya pada lingkungan CO2 10 % yang dapat
Konfirmasi MDRTb secara mikrobiologik dibaca pada hari ke 21. Pada pembacaan, jumlah koloni
Mtb yang tumbuh pada media mengandung OAT
Pemeriksaan mkrobiologik untuk konfirmasi MDR-TB dapat
dibandingkan dengan jumlah koloni Mtb yang ditanam
berupa pemeriksaan fenotifik , yang merupakan pemeriksaan
kondisi faktual dan pemeriksaan genotifik. Pemeriksaan pada media yang tak mengandung OAT. Umumnya Mtb
dinyatakan sensitif terhadap obat, jika jumlah koloni yang
fenotipik dapat dilakukan dengan jalan memaparkan kuman
tumbuh pada media dengan obat masimum 1%
terhadap obat dan selanjutnya melihat ( i). ada-tidaknya
pertumbuhan kuman , (ii) membandingkan jumlah kuman dibandingkan jumlah koloni Mtb pada media tanpa OAT.
Untuk cara ini, konsentrasi OAT dalam media tergantung
yang dipaparkan terhadap obat dibandingkan kontrolnya.
pada jenis media yang dipakai.
Ada tidaknya pertumbuhan kuman dapat diamati dengan
melihat koloni khas Mtb secara makroskopik atau b. Cara rasio resisten
mikroskopik atau menggunakan indikator warna yang akan/ Penyimpulan apakah Mtb sensitif atau resisten terhadap
tidak berubah warnanya jika ada/tidak ada pertumbuhan OAT tertentu didasarkan atas perhitungan rasio kadar
kuman. hambat minimal ( KHM ) OAT untuk kuman dari penderita
1. Cara fenotifik dibandungkan KHM kuman baku ( umumnya galur H37RV
yang bersifat “ pansusceptible “. Isolat Mtb dinyatakan
Dasar cara ini adalah hambatan pertumbuhan Mtb pada
sensitif terhadap OAT tertentu jika rasio KHM maksmum
media yang mengandung obat antituberkulosis ( OAT ).
2 dan dinyatakan resisten jia rasio KHM minimum 8.
Media yang dipakai merupakan media padat baik yang “

9 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7


c. Cara konsentrasi absolut yang tumbuh cepat. Terdapat dua format uji kepekaan
Pada cara ini Mtb yang akan diuji ditanam pada media berdasarkan mycobacteriofaga ini. Format pertama dengan
yang mengandung berbagai kadar OAT dan pada media jalan menghitung “ plaque “ ( M smegmatis yang lisis
kontrol. Pembacaan dilakukan antara minggu 4-6. Mtb dalam bentuk noktah ), dan format kedua memakai gen
dinyatakan sensitif terhadap OAT tertentu jika pada media penyandi ensim luciferase yang di ligasi pada DNA
dengan konsentrasi tertentu jumlah koloninya kurang mycobacteriofaga. Ensim luciferase yang dibentuk dengan
dari 20 sedangkan pada media kontrol, jumlah koloninya bantuan Adenosin Triphosphate ( ATP ) sel akan
harus 3+ atau 4+. menghasilkan foton yang dideteksi dengan film atau
luminimeter. Cara bakteriofaga telah cukup banyak diteliti
d. BACTEC Radiometrik dengan hasil baik
Pada cara ini Mtb ditanam pada media cair Middlebrook
g. Cara kolorimetrik
7H9 yang mengandung asam palmitat yang dilabel
dengan karbon radioaktif. Pertumbuhan Mtb akan Beberapa cara kolorimetrik telah dikembangkan dalam
melepas CO2 radioaktif dan selanjutnya dideteksi dengan beberapa tahun terhair ini. Dasarnya dalah penggunaan
alat yang tersedia. Dengan paparan pada OAT, hambatan indikator redoks atau garam tetrazolium untuk
pertumbuhan Mtb yang dinyatakan sebagai indek mendeteksi pertumbhna Mtb. Reduksi indikator yang
pertumbuhan dilakukan harian. Hasil uji kepekaan didapat timbul akibat pertumbuhan Mtb dalam media akan
lebih cepat dibandingkan dengan pada media padat. Cara mengubah warna indikator. Alamar blue merupakan
ini merupakan cara yang sangat baik untuk uji kepekaan indikator pertama yang dipakai. Alamar blue berwarna
Mtb terhadap OAT lini pertama dan kedua, namun biru dalam keadaan teroksidasi dan menjadi merah dalam
sekarang hampir tidak dipakai lagi karena alasan keamanan keadaan tereduksi. Hasil uji kepekaan dengan
terhadap radioaktif menggunakan alamar blue didapat dalam 1-2 minggu.
Pada berbagai kajian, akurasi hasilnya cukup tinggi.
e. Cara Mycobacterial Growth Index ( MGIT ) Indikator lain adalah garam tetrazoilum atau MTT yang
Cara ini menggunakan media cair Middlebrook 7H9 yang berwarna kuning dan jika tereduksi akan berubah menjadi
dimodifikasi.Pada dasar botol media terdapat indikator MTT formazan yang tak larut dan berwarna “ purple “.
yang akan berfluorosensi jika kadar oksigen dalam botol Intensitas warna MTT formazan dapat diukur setelah
menurun sebagai akibat pertumbuhan Mtb.Tingkat senyawa tersebut dilarutkan kembali. Hasil uji kepekaan
fluorosensi dapat diukur secara manual ataupun secara juga akan didapat dalam dua minggu dan hasil beberapa
otomatik. Pada cara manual, fluorosensi diamati sejak kajian menunjukan bahwa akurasinya cukup tinggi.
hari kedua dan isolat Mtb dinyatakan resisten jika Setelah diketahuinya bahwa komponen utama lamar blue
fluorosensi terjadi bersamaan sampai dua hari kemudian adalah resazurin, maka dikembangkan Resazurin
dibandingkan kontrolnya. Cara manual ini dapat pula microtiter asaay ( REMA ). Rema telah dikaji penggunaan
diterapkan untuk uji kepekaan langsung dari sputum. sebagai cara uji kepekaan cepat untuk mennetukan
Cara MGIT ini telah diakui oleh Ferderal Drug MDRTb dengan akurasi sekitar 97%. REMA juga telah
Administration ( FDA ) Amerika dan setara dengan uji dikaji untuk OAT lini kedua. Cara kolorimetrik lain
kepekaan cara konvensional maupun BACTEC radiometrik. medasarkan pada kemapuan Mtb mereduksi nitrat menjadi
f. Cata berdasarkan bakteriofaga nitrit. Perubahan nitrat menjadi nitrit ini kemudian di
deteksi dengan senyawa indikator dan disebut sebagai
Dasar cara ini adalah kemampuan bakteriofaga yang
cara Nitrate Reduction Assay ( NRA ). Mtb yang resisten
mampu berkembang biak pada kuman. Secara ringkas,
terhadap OAT akan terus tumbuh dalam media
Mtb ditanam pada media padat yang mengandung OAT
mengandung OAT tersebut dan mengubah nitrat dalam
dan selanjutnya mycobacteriofaga diinfeksikan pada
media menjdi nitrit, sebaliknya Mtb yang sensitif tidak
isolat. Jika terdapat Mtb yang masih berkembang biak,
akan tumbuh dalam media yang mengandung OAT
maka mycobacteriofaga akan tumbuh didalamnya dan
tersebut dan tak akan mengubah nitrat menjadi nitrit.
jumlah akan sesuai dengan jumlah Mtb. Selanjutnya
Dalam berbagai kajian, NRA mempunyai akurasi tinggi
jumlah mycobacteriofaga yang menginfeksi Mtb diukur
untuk rifampisin, INH dan etambutol namun agak rendah
jumlahnya dengan memakai Mycobacterium smegmatis
untuk streptomisin.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 10


Peran ISTC dalam Pencegahan MDR

Erlina Burhan

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


FKUI - RS Persahabatan

TB-MDR pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan • Intergrasi program DOTS dengan pengobatan resisten
manusia (man-made phenomenon), sebagai akibat TB akan bekerja sinergis untuk menghilangkan sumber
pengobatan TB tidak adekuat . potensial penularan
Penyebab pengobatan TB yang tidak adekuat • Pengendalian infeksi
n Penyedia pelayanan kesehatan:
• Buku paduan yang tidak sesuai
Masalah resistensi obat pada pengobatan TB khususnya MDR
• Tidak mengikuti paduan yang tersedia
dan XDR menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting
• Tidak memiliki paduan di sejumlah negara dan merupakan hambatan terhadap
• Pelatihan yang buruk efektivitas program penanggulangan. Insidens resistensi obat
• Tidak terdapatnya pemantauan program meningkat sejak diperkenalkannya pengobatan TB yang
pengobatan pertama kali pada tahun 1943. TB-MDR muncul seiringan
• Pendanaan program penanggulangan TB yang dengan mulai digunakannya Rifampisin secara luas sejak tahun
lemah 1970-an. Laporan global ke-3 tentang survailans resistensi
n Obat: Penyediaan atau kualitas obat tidak adekuat OAT menunjukkan beberapa daerah di dunia menghadapi
• Kualitas obat yang buruk endemi dan epidemi TB-MDR, dan di beberapa wilayah
terdapat angka resistensi yang sangat tinggi.
• Persediaan obat yang terputus
• Kondisi tempat penyimpanan yang tidak Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan
terjamin sebelumnya. Pada pasien dengan riwayat pengobatan
• Kombinasi obat yang salah atau dosis yang sebelumnya, kemungkinan terjadi resistensi sebesar 4 kali lipat
kurang sedangkan terjadinya TB-MDR sebesar 10 kali lipat atau lebih
n Pasien: Kepatuhan pasien yang kurang dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati.
• Kepatuhan yang kurang Prevalensi kekebalan obat secara keseluruhan berhubungan
• Kurangnya informasi dengan banyaknya pasien yang diobati sebelumnya di negara
• Kekurangan dana (tidak tersedia pengobatan tersebut. Pasien TB-MDR sering tidak bergejala sebelumnya
cuma-cuma) sehingga dapat menularkan penyakitnya sebelum ia menjadi
• Masalah transportasi sakit. Oleh karena itu prevalensi TB-MDR dapat 3 kali lebih
besar dari insidensinya sebenarnya yaitu mendekati atau
• Masalah efek samping melampaui 1 juta.
• Masalah sosial
• Malabsorpsi Indonesia menduduki peringkat ke tiga dalam daftar High
• Ketergantungan terhadap substansi tertentu Burden Countries. Insidens TB diperkirakan (laporan WHO
2005) sekitar 623.000 kasus ‘semua dianosis’ (285/100.000),
Pencegahan terhadap terjadinya resistensi OAT sedangkan prevalensi semua kasus diperkirakan sekitar 1.4
• Pengelompokkan kasus pasien TB secara tepat juta pasien dimana 282,000 kasus baru BTA positif (Perkiraan
• Regimen obat yang adekuat untuk semua kategori insidensi 128/100.000). Tuberkulosis juga menduduki
pasien peringkat 3 daftar 10 penyebab kematian di Indonesia, yang
menyebabkan 146,000 kematian setiap tahun (10% mortalitas
• Identifikasi dini dan pengobatan yang adekuat untuk
total). Tuberkulosis sering mengenai orang berpendapatan
kasus TB resisten
rendah. Data awal survei resistensi obat OAT lini pertama

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 12


yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan angka TB- PAMKI, PDS PATKLIN) dan sudah selesai disosialisasikan
MDR yang rendah pada kasus baru (1-2%), tetapi angka ini berkoordinasi dengan Depkes dan IDI.
meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya ISTC tidak hanya mencakup panduan penatalaksanaan kasus
(15%). Limited and unrepresentative hospital data (2006) TB nonresisten, namun juga mencakup panduan untuk
menunjukkan kenyataan dari TB-MDR dan TB-XDR, sepertiga pencegahan TB MDR. Panduan pencegahan TB MDR ini telah
kasus TB-MDR resisten terhadap Ofloxacin dan ditemukan dijelaskan dalam standard 14, di mana pada semua pasien
satu kasus TB-XDR (diantara 24 kasus TB-MDR). Tuberkulosis seharusnya dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat
MDR di Indonesia belum mendapat akses pengobatan yang berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan
memadai karena tidak semua obat yang dibutuhkan oleh sumber yang mungkin resisten, dan prevalensi resistensi obat
TB-MDR tersedia di Indonesia. dalam masyarakat. Pasien gagal pengobatan dan kasus kronik
juga harus selalu dipantau kemungkinan resistensi obatnya.
Terdapat 8 kriteria pasien yang menjadi suspek MDR TB Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan
yaitu: dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan
1. Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan kategori etambutol seharusnya dilaksanakan segera.
2. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif Jika penanganan TB dilakukan dengan benar sesuai dengan
setelah bulan ke 3 dengan kategori 2 standard ISTC dan memakai strategi DOTS maka kemungkinan
3. Pasien yang pernah diobati TB termasuk OAT lini untuk terjadi MDR akan sangat kecil.
kedua seperti kuinolon dan kanamisin
4. Pasien gagal pengobatan kategori 1 INTERNATIONAL STANDARDS FOR TUBERCULOSIS CARE
5. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif
setelah sisipan dengan kategori 1 STANDARD UNTUK DIAGNOSIS
6. Kasus TB kambuh Standard 1
7. Pasien yang kembali setelah lalai/default pada
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu
pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2
atau lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat
untuk tuberkulosis.
dengan pasien MDR TB konfirmasi, termasuk petugas
*) Lihat addendum
kesehatan yang bertugas dibangsal MDR TB
Standard 2
Program TB yang berkinerja baik memastikan regimen yang Semua pasien (dewasa, remaja dan anak yang dapat
adekuat, suplai obat yang berkualitas dan tidak terputus mengeluarkan dahak) yang diduga menderita tuberkulosis
serta pengawasan menelan obat yang berorientasi kepada paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal
pasien akan menjadikan case-holding. Akan tetapi, program 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu
yang bagus pun akan menghadapi kendala-kendala terutama spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
pasien. Pasien yang pernah diobati (kasus pengobatan ulang)
berisiko tinggi untuk terjadinya resistensi OAT. Agar pasien Standard 3
TB dapat didiagnosis dengan benar dan diobati dengan benar Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga
hingga selesai serta dengan memperhatikan unsur tanggung menderita tuberkulosis ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh
jawab kesehatan masyarakat maka diperlukan suatu standard yang sakit seharusnya diambil untuk pemeriksaan mikroskopik
bagi seluruh penyedia kesehatan yang menangani TB. dan jika tersedia fasiliti dan sumber daya, dilakukan
pemeriksaan biakan dan histopatologi.
Pada tahun 2006 berbagai organisasi dunia yang terlibat *) Lihat addendum
dalam upaya penganggulangan TB seperti: World Health Standard 4
Organization (WHO), Dutch Tuberculosis Foundation (KNCV),
American Thoracic Society (ATS), International Union Against Semua orang dengan temuan foto toraks diduga
tuberculosis seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara
Tuberculosis and Lung Disease, US Centers for disease
mikrobiologi.
control & prevention, Stop TB Partnership, Indian Medical
Association menyusun suatu standard untuk pengobatan Standard 5
TB, yaitu International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus
Di Indonesia, ISTC sudah diterima dan didukung oleh IDI didasarkan kriteria berikut : minimal pemeriksaan dahak
dan berbagai organisasi profesi (PDPI, PAPDI, IDAI, POGI, mikroskopik 3 kali negatif (termasuk minimal 1 kali dahak

13 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7


pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis dan tidak Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai
ada respons terhadap antibiotika spektrum luas (Catatan : dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap
fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap yang terdiri kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3
M.tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan obat (isoniazid, rifampisin dan pirazinamid), dan 4 obat
perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis). Untuk pasien (isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol) sangat
ini, jika tersedia fasiliti, biakan dahak seharusnya dilakukan. direkomendasikan terutama jika menelan obat tidak diawasi.
Pada pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik *) Lihat addendum
harus disegerakan.
Standar 9
Standard 6 Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada
Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan pengobatan, suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak
kelenjar getah bening hilus atau mediastinum) pada anak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan pasien dan rasa
dengan gejala namun sediaan apus dahak negatif seharusnya
Standard 10
didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis
dan pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau Semua pasien harus dimonitor responsnya terhadap terapi;
bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau penilaian terbaik pada pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan
interferron gamma release assay). Untuk pasien seperti ini, dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) paling tidak pada
bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya diambil untuk waktu fase awal pengobatan selesai (dua bulan), pada lima
biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung atau induksi bulan, dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan
dahak). apus dahak positif pada pengobatan bulan kelima harus
*) Lihat addendum dianggap gagal pengobatan dan pengobatan harus
dimodifikasi secara tepat (lihat standard 14 dan 15). Pada
STANDARD UNTUK PENGOBATAN pasien tuberkulosis ekstraparu dan pada anak, respons
pengobatan terbaik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto
Standard 7 toraks umumnya tidak diperlukan dan dapat menyesatkan.
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis *) Lihat addendum
mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang Standard 11
penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak
hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons
juga harus mampu menilai kepatuhan pasien kepada bakteriologis dan efek samping seharusnya disimpan untuk
pengobatan serta dapat menangani ketidakpatuhan bila semua pasien.
terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan Standard 12
akan mampu meyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum
pengobatan selesai. dan daerah dengan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi
Standard 8 HIV muncul bersamaan, konseling dan uji HIV diindikasikan
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang bagi semua pasien tuberkulosis sebagai bagian
belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama penatalaksanaan rutin. Di daerah dengan prevalensi HIV
yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang yang lebih rendah, konseling dan uji HIV diindikasikan bagi
biovalibilitinya telah diketahui. Fase awal seharusnya terdiri pasien tuberkulosis dengan gejala dan/atau tanda kondisi
dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. yang berhubungan dengan HIV dan pada pasien tuberkulosis
Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial pengobatan yang mempunyai riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
untuk orang dewasa dan anak dengan sediaan hapus dahak Standard 13
negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV
penyakit ekstraparu yang berat, serta telah diketahui HIV seharusnya dievaluasi untuk menentukan perlu/tidaknya
negatif. Fase lanjutan yang dianjurkan terdiri dari isoniazid pengobatan antiretroviral diberikan selama masa
dan rifampisin diberikan selama 4 bulan. Isoniazid dan pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk
etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif pada mengakses obat antiretroviral seharusnya dibuat untuk
fase lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat kompleksnya
dapat dinilai, akan tetapi hal ini berisiko tinggi untuk gagal penggunaan serentak obat antituberkulosis dan
dan kambuh , terutama untuk pasien yang terinfeksi HIV. antiretroviral, konsultasi dengan dokter ahli di bidang ini

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 14


sangat direkomendasikan sebelum mulai pengobatan ADDENDUM
serentak untuk infeksi HIV dan tuberkulosis, tanpa
memperhatikan mana yang muncul lebih dahulu. Standard 1.
Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi
tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV adalah berat badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih
juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan 2 bulan terakhir atau gizi buruk.
infeksi lainnya.
Standard 3.
Standard 14 Sebaiknya dilakukuan juga pemeriksaan foto toraks untuk
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat mengetahui ada tidaknya TB paru dan TB millier. Pemeriksaan
pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang dahak juga dilakukan, bila mungkin pada anak.
mungkin resisten obat dan prevalensi resistensi obat dalam Standard 6.
masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Pasien
gagal pengobatan dan kasus kronik seharusnya selalu Untuk pelaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas
dipantau kemungkinannya akan resistensi obat. Untuk pasien pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti
dengan kemungkinan resitensi obat, biakan dan uji sensitiviti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferron
obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan etambutol seharusnya gamma release assay) dan kelainan radiografi toraks sesuai
dilaksanakan segera. TB.

Standard 15 Standard 8.
Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten a. Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial
obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan
obat khusus yang mengandung obat antituberkulosis lini sediaan hapus dahak negatif, tidak menderita
kedua. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih tuberkulosis paru yang luas atau penyakit extraparu
efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 yang berat, serta telah diketahui HIV negatif.
bulan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan b. Secara umum terapi TB pada anak diberikan selama 6
untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. bulan, namun pada keadaan tertentu (meningitis TB,
Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang TB tulang, TB milier dan lain-lain) terapi TB diberikan
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR- TB lebih lama (9-12) dengan paduan OAT yang lebih
harus dilakukan. lengkap sesuai dengan derajat penyakitnya.
Standard 10.
STANDARD UNTUK TANGGUNG JAWAB KESEHATAN Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi
MASYARAKAT pleura atau TB paru BTA negatif dapat dinilai dengan foto
toraks .
Standard 16
Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis Standard 17.
seharusnya memastikan bahwa semua orang (khususnya anak Pelaksanaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan
berumur di bawah 5 tahun dan orang terinfeksi HIV) yang dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan setempat, sesuai
mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular dengan kesepakatan yang dibuat.
seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan
rekomendasi internasional. Anak berumur di bawah 5 tahun Kepustakaan
dan orang terinfeksi HIV yang telah terkontak dengan kasus Sub Direktorat Tuberkulosis. Buku Modul Pelatihan
menular seharusnya dievaluasi untuk infeksi laten Penanggulangan TB MDR. Jakarta : Direktorat Jenderal
M.tuberkulosis maupun tuberkulosis aktif. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Standard 17 Departemen Kesehatan RI ; 2009.
Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International
melaporkan kasus tuberkulosis baru maupun kasus Standards for Tuberculosis Care (ISTC). The Hague :
pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor dinas Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006.
kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan
kebijakan yang berlaku.
*) Lihat addendum

15 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7


DIAGNOSIS DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TB-MDR

Priyanti Z Soepandi
Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan, Jakarta

PENDAHULUAN TB-MDR
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama DEFINISI
kesehatan masyarakat. Hasil surveilans secara global Resistensi ganda adalah M. tucerkulosis yang resisten minimal
menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap M. terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya.
tuberculosis sudah menyebar dan mengancam program
tuberkulosis kontrol di berbagai negara. Pada survei WHO Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting
dilaporkan lebih dari 90.000 pasien TB di 81 negara, ternyata pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS.
angka TB-MDR lebih tinggi dari yang diperkirakan. Enam Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi
negara dengan kekerapan TB-MDR tinggi di dunia adalah menjadi :
Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi • Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak
Rusia dan Uzbekistan. WHO memperkirakan ada 300.000 pernah mendapat pengobatan OAT atau telah
kasus TB—MDR baru per tahun. OAT yang resisten terhadap mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
kuman tuberkulosis akan semangkin banyak, saat ini 79%
• Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti
dari TB-MDR adalah “ super strains” yang resisten paling
apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT
sedikit 3 atau 4 obat antituberkulosis
sebelumnya atau belum pernah
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/ • Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah
TB-MDR ) merupakan masalah terbesar terhadap pencegahan mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan
dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun 2003 WHO
menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap Kategori TB-MDR
rerata 2% pertahun. Prevalens TB diperkirakan WHO
Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB :
meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus
baru terjadi di dunia. Di negara berkembang prevalens TB- • Mono-resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT
MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.5 Pola TB-MDR di • Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT,
Indonesia khususnya RS Persahabatan tahun 1995-1997 selain kombinasi isoniazid dan rifampisin
adalah resistensi primer 4,6%-5,8% dan resistensi sekunder • Multidrug-resistance (MDR) : kekebalan terhadap
22,95%-26,07%. 6 Penelitian Aditama mendapatkan resistensi sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin
primer 6,86% sedangkan resistensi sekunder 15,61%. Hal • Extensive drug-resistance (XDR) : TB- MDR ditambah
ini patut diwaspadai karena prevalensnya cenderung
kekebalan terhadap salah salah satu obat golongan
menunjukan peningkatan. Penelitian di RS Persahabatan
fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi
tahun 1998 melaporkan proporsi kesembuhan penderita TB-
lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)
MDR sebesar 72% menggunakan paduan OAT yang masih
sensitif ditambah ofloksasin. Klasifikasi Kasus TB
Banyak negara sudah menerapkan strategi DOTS Sesuai dengan pedoman penanggulangan TB Nasional
dalam penatalaksanaan TB hal ini tenyata sangat bermanfaat dibagi menjadi
untuk meningkatkan angka kesembuhan sehingga o Kasus kronik
mengurangi angka resitensi termasuk resitensi ganda. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulang (kategori
2). Hal ini ditunjang dengan rekam medis sebelumnya
dan atau riwayat penyakit dahulu.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 16


o Kasus gagal pengobatan
Pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya positif Pengenalan kegagalan pengobatan secara dini :
atau kembali positif pada bulan kelima atau lebih - Batuk tidak membaik yang seharusnya membaik
selama pengobatan dalam waktu 2 minggu pertama setelah pengobatan
o Kasus kambuh (relaps) - Tanda kegagalan : sputum tidak konversi , batuk
Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan tidak berkurang , demam , berat badan menurun
pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau atau tetap
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan Hasil uji kepekaan diperlukan :
BTA positif (dahak atau kultur)
- Untuk diagnosis resistensi
o Kasus gagal - Sebagai acuan pengobatan
Pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali positif atau kembali menjadi Bila kecurigaan resistensi sangat kuat kirim sampel sputum
positif pada bulan kelima atau lebih selama ke laboratorium untuk uji resitensi kemudian rujuk ke pakar.
pengobatan
LIMA CELAH PENYEBAB TERJADINYA TB-MDR (“SPIGOTS”)
Suspek TB-MDR 1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan
menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat ditakuti
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah : karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
1. Kasus TB paru kronik 2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan
2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2 diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resitensi
3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah
kedua seperti kuinolon dan kanamisin sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama,
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1 penjara dan keluarga pasien
5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap 3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka
positif setelah sisipan dengan kategori 1 pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman.
6. TB paru kasus kambuh Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal
pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2
4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan
tuberkulosis yang mendapat pengobatan jangka pendek
pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan
dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah
yang bertugas dibangsal TB-MDR
banyak OAT yang resisten ( ’’The amplifier effect”). Hal
Pasien yang memenuhi ‘kriteria suspek’ harus dirujuk secara ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena
ke laboratorium dengan jaminan mutu eksternal yang penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif
ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat. 5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi
Diagnosis TB MDR sakit TB dan akan memperpanjang periode infeksious
o Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TB-MDR
kepekaan
o Semua suspek TB-MDR diperiksa dahaknya untuk Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-
selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji MDR akan menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten
terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya
kepekaan. Jika hasil uji kepekaaan terdapat M.
merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada
tuberculosis yang rrsisten minmal terhadap rifampisi
dan INH maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR masyarakat.
TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah
suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari
Diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk TB- pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan
MDR didukung oleh terjadinya penularan dari pasien TB-MDR ke.orang lain /
- pengenalan factor risiko untuk TB-MDR masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman
- pengenalan kegagalan obat secara dini M. tuberculosis antara lain :
- uji kepekaan obat

17 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7


1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK e. Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada
- Resisten yang natural f. Masalah sosial
- Resisten yang didapat g. Gangguan penyerapan obat
- Ampli fier effect
3. FAKTOR PROGRAM
- Virulensi kuman
- Tertular galur kuman -MDR a. Tidak ada fasiliti untuk biakan dan uji kepekaan
b. Ampli fier effect
2. FAKTOR KLINIK c. Tidak ada program DOTS-PLUS
d. Program DOTS belum berjalan dengan baik
A. Penyelenggara kesehatan
e. Memerlukan biaya yang besar
a. Keterlambatan diagnosis
b. Pengobatan tidak mengikuti guideline 4. FAKTOR AIDS–HIV
c. Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu a. Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar
karena jenis obatnya yang kurang atau karena b. Gangguan penyerapan
lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar
tinggi terhadap OAT yang digunakan misal
rifampisin atau INH 5. FAKTOR KUMAN
d. Tidak ada guideline Kuman M. tuberculosis super strains
e. Tidak ada / kurangnya pelatihan TB
f. Tidak ada pemantauan pengobatan • Sangat virulen
g. Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat • Daya tahan hidup lebih tinggi
yang ditambahkan pada satu paduan yang telah • Berhubungan dengan TB-MDR
gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman
tuberkulosis telah resisten pada paduan yang STRATEGI DOTS
pertama maka “penambahan” 1 jenis obat tersebut
akan menambah panjang daftar obat yang resisten. Pengobatan jangka pendek untuk TB-MDR tidak
tepat .Merupakan suatu kenyataan bahwa pengobatanTB
h. Organisasi program nasional TB yang kurang baik
apapun, tulang punggungnya adalah penetrapan strategi
B. Obat DOTS . Strategi DOTS diperlukan untuk mencegah resistensi
a. Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 dan pengobatan TB. Pada penatalaksanaan TB-MDR yang
bulan sehingga membosankan pasien diterapkan adalah strategi DOTS- plus. “S” diartikan strategi
b. Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga bukan Short –course therapy , “Plus” yang dimaksud adalah
pengobatan kompllit atau sampai selesai gagal menggunakan OAT lini kedua dan kontrol infeksi.
c. Obat tidak dapat diserap dengan baik misal
PENUTUP
rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare
d. Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat Penatalaksanaan TB harus sesuai dengan guideline; dosis,
kombinasi dosis tetap yang mana bioavibiliti regimen dan lama pengobaatan yang tepat serta jangan lupa
rifampisinnya berkurang menerapkan strategi DOTS. Hal ini akan meningkatkan angka
kesembuhan serta mencegah resistensi. Jika ditemukan kasus
e. Regimen / dosis obat yang tidak tepat
yang dicurigai resisten segera lakukan pemeriksaan biakan
f. Harga obat yang tidak terjangkau dan uji kepekaan. Pada pengobtan TB-MDR harus
g. Pengadaan obat terputus menerapkan strategi DOTS-PLUS.
C. Pasien Program TB Nasional harus meliputi penemuan kasus secara
a. PMO idak ada / kurang baik agresif, diagnosis secara cepat dan tepat, serta penyedian
b. Kurangnya informasi atau penyuluhan OAT lini kedua secara berkesinambungan . Sarana dan
c. Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang prasarana untuk pemeriksaan penunjang terutama biakan
dll dan uji kepekaan harus tersedia di berbagasi daerah.
d. Efek samping obat Peningkatan kasus TB-MDR menunjukkan kegagalan program
TB Nasional.

Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7 18


DAFTAR PUSTAKA
1. Rabia J, Elizabeth MS, Gail EL, Warren RM, Paul DH,
Thomas CV . Drug Resistance in Mycobacterium
tuberculosis. Curr. Issues Mol.Biol.8:97-112
2. Priantini NN. MDR-TB masalah dan
penanggulangannya. Medicinal 2003;4:27-33.
3. World Health Organization. Guideline for the
programmatic management of drug-resistant
tuberculosis . Emergency Update 2008.
4. Aditama TY. MOTT dan MDR. J Respir Indo 2004;
24:157-9
5. Frieden T. Toman’s tuberculosis case detection,
treatment and monitoring,question and answers. 2nd
ed. Geneva:WHO; 2004: p. 104-6
6. Aditama TY, Wijanarko P. resistensi primer dan sekunder
Mycobacterium tuberculosis di RSUP Persahabatan
tahun 1994. J Respir Indo 1996;16:12-4
7. Tulak AD. Efektifiti ofloksasin bersama dengan obat anti
tuberculosis lain pada pengobatan multidrug resistants
tuberculosis (MDR-TB) di RSUP Persahabatan. Tesis.
Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI, 1998
8. Patricia MS, Samuel WD. Multidrug-Resistant
Tuberculosis 1994
9. DEPKES . Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Dep Kes 2008
10. Why DOTS-Plus for MDR-TB (cited 2008 april 14).
http://www.who.int/gtb /publication/busdocs/
index.html

19 Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.7

Anda mungkin juga menyukai