Anda di halaman 1dari 16

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................i

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 1

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................2

1.1 Latar belakang................................................................................................2

1.2 Rumusan masalah............................................................................................3

1.4 Manfaat penulisan............................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................4.

2.1 Penertian inflamasi ..........................................................................................5

2.2 Tahapan inflamasi............................................................................................6

2.2.1 inflamasi akut....................................................................................9

2.2.2 inflamasi kronis.................................................................................9

2.3 Penanganan pada saat terjadi inflamasi............................................................11

2.3.1 jenis obat anti inflamasi non steroid..................................................11

2.3.2 aspek farmakodinamik obat anti inflamasi non steroid.....................12

BAB III PENUTUP............................................................................................................14

3.1 Kesimpulan ......................................................................................................15

3.2 saran..................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................16

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

juga berpengaruh terhadap kemajuan teknologi di subsektor kedokteran hewan.


Perkembangan IPTEK di bidang imunologi misalnya telah memberikan dampak kemajuan di
subsektor kedokteran hewan dalam meningkatkan produktivitas dan kesehatan hewan.
Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi
juga pada ilmu-ilmu Perkembangan teknologi dalam dunia veteriner dari tahun ke tahun terus
mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hampir setiap saat para ahli menemukan
suatu metode baru yang berkaitan dengan sistem imun baik pada hewan maupun manusia
(inflamasi). Kemajuan IPTEK tersebut terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer,
biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan
kata lain, imunologi adalah ilmu terapan yang mempelajari mengenai sistem pertahanan
tubuh terhadap paparan benda asing dari luar tubuh.
Cakupan dari ilmu imunologi ini sangatlah luas, namun pada makalah kali ini cukup
berfokus pada satu pokok bahasan yaitu inflamasi. Inflamasi atau yang sering dikenal dengan
istilah radang merupakan suat kejadian normal dari tubuh yang berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh. Inflamasi ini terjadi akibat sistem pertahan yang ada dalam tubuh sudah
tidak mampu lagi melawan paparan benda asing dari tubuh ( virus dan bakteri) secara
biologis tempat tempat yang mendapatkan serangan dari luar tersebut akan terjadi inflamasi
atau peradangan. Di mana terlebih dahulu sebelum terjadi peradangan tubuh akan
mengarahkan ke tempat pertahan setelah antibodi yaitu kelenjar pertahanan, di kelenjar
pertahanan inilah semua benda asing ( virus dan bakteri) berkumpul dan di fagositosis oleh
sel darah putih ( netrofil, basofil, eusinofi, monosit, dan limfosit) semua bagian dari sel darah
putih ini mempunyai fagositosis terhadap benda asing ada yang fagositosi terhadap bakteri
dan mikroba sesuai dengan benda asing yang masuk ke Perkembangan teknologi dalam dunia
veteriner dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hampir
setiap saat, para ahli menemukan suatu metode baru yang dalam tubuh.

Bila semua itu sudah tidak mampu menahan serangan dari luar maka terjadilah
inflamasi atau peradangan. Peradangan itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu
regional dan sistemik. Peradangan regional misalnya pembengkakan yang terjadi pada
pangkal femur ketika kaki mengalami bisul atau luka yang terinfeksi kuman. Sedangkan

2
kalau peradangan yang menyerang seluruh tubuh atau sistemik maka manusia atau hewan
tersebut suhu tubuhnya akan meningkat dan mengalami demam kalau pada manusia. Hal
inilah yang membuat penulis tertarik untuk meninjau lebih dalam mengenai ilmu imunologi
khususnya tentang inflamasi. Karena dengan mengetahui suatu hewan mengalami
peradangan, kita sebagai calon dokter hewan dapat mendiagnosa lebih jauh lagi mengenai
penyakit yang menyerang pada hewan tersebut. Inflamasi menjadi indikator utama suat
hewan tersebut dalam keadaan tidak sehat, mengingat inflamasi ini berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh. Jika terjadi inflamasi pastilah tubuh sudah terpapar beda asing( virus dan
bakteri) sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan inflamasi atau peradangan?

1.2.2 Bagaimana tahapan terjadinya inflamasi ?

1.2.3 Bagaimana penanganan yang dilakukan ketika menemukan pasien terkena


Inflamasi?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui apa itu inflamasi atau peradangan.

1.3.2 Untuk mengetahui tahapan terjadinya inflamasi.

1.3.3 Untuk dapat mengetahui penanganan bila mengemuka pasien terkena inflamasi.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Melalui paper ini diharapkan kalangan mahasiswa poltekkes jambi, khususnya
prodi sarjana terapan keperawatan memiliki wawasan lebih mengenai inflamasi atau
peradangan.

1.4.2 Hasil tugas ini dapat menjadi arsip yang dapat membantu untuk mengerjakan
tugas yang berhubungan dengan imunologi khususnya mengenai inflamasi atau peradangan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Inflamasi

Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau
kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung
(sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).

Inflamasi merupakan respon terhadap cedera. Arti khususnya, inflamasi adalah reaksi
vascular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari
sirklasi darah ke jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis. Inflamasi sebenarnya
adalah gejala yang menguntungkan dan pertahanan, hasilnya adalah netralisasi dan
pembuangan agen-agen penyerang, penghancur jaringan nekrosis, dan pembentukan keadaan
yang dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan.

Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman,
maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini
kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan
baru. Rangkaian reaksi ini disebut inflamasi (Rukmono, 1973). Inflamasi atau inflamasi
adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi
distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin)
yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator inflamasi di dalam sistem
kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.

Inflamasi mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi

1. memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi infeksi untuk


meningkatkan performa makrofaga
2. menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi
3. mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak

4
Inflamasi adalah respons protektif untuk menghilangkan penyebab jejas (cell
injury), dengan mengencerkan, menghancurkan atau menetralkan agen berbahaya, serta
membuang penyebab awal jejas sehingga proses penyembuhan dapat dilaksanakan. Inflamasi
merupakan sebuah proses kompleks yang meliputi kerjasama banyak “Pemain”. “Pemain”
yang berkontribusi ini adalah sel dan protein dan sel plasma dalam sirkulasi, sel endotel
pembuluh darah dan sel serta matriks ekstraseluler jaringan ikat. Sel dalam sirkulasi meliputi
leukosit (neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit) dan trombosit; protein dalam sirkulasi
meliputi faktor pembekuan, kininogen dan komponen komplemen; sel endotel sendiri, sel
jaringan ikat meliputi sel mast, makrofag, limfosit dan fobroblas; dan yang terakhir
Extraceluler matrix (ECM) meliputi kolagen dan elastin susun fibrosa, proteoglikan bentuk
gel, glikoprotein adhesif (fibronektin) sebagai struktur penyambung antar ECM.

Ciri inflamasi salah satunya adalah udem (bengkak atau swelling), ini bisa terjadi
setelah beberapa menit terjadi cidera jaringan, ditemukan vasodilatasi yang menghasilkan
peningkatan volume darah di lokasi tersebut. Permeablitas vaskuler meningkat menimbulkan
kebocoran cairan pembuluh darah dan muncullah udem.

Setelah beberapa jam, leukosit menempel pada sel endotel di daerah inflamasi dan
bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan, proses ini disebut
ekstravasasi. Berbagai faktor plasma seperti imunoglobulin, komplemen, sistem aktivasi
kontak-koagulasi-fibrinolitik dan sel-sel inflamasi seperti neutrofil, mastosit, eosinofil,
monosit-fagosit, sel endotel dan molekul adhesi, trombosit, limfosit, dan sitokin berinteraksi
satu sama lain. Seperti gambar dibawah ini :

5
Gamabar 1. Gambar Leukosit Melewati Jaringan

Pada keadaan normal, hanya sebagian kecil molekul melewati dinding vaskuler. Bila
terjadi inflamasi, sel endotel mengkerut sehingga molekul-molekul besar dapat melewati
dinding vaskuler. Cairan yang mengandung banyak sel inflamasi disebut eksudat inflamasi.
Eksudat inflamasi mempunyai peranan penting yaitu mengencerkan toksin yang sering
dikeluarkan oleh bakteri. Sel-sel yang terlibat dalam inflamasi terutama adalah sel-sel pada
sistem imun nonspesifik yaitu neutrofil. Neutrofil merupakan sel utama pada early inflamasi,
bermigrasi ke jaringan dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama.

2.2. Tahapan inflamasi

2.2.1. Inflamasi akut

Inflamasi akut akan terjadi secara cepat (menit —hari) dengan ciri khas utama
eksudasi cairan, akumulasi neutrofil memiliki tanda-tanda umum berupa rubor (redness),
calor (heat), tumor (swelling), Dolor (pain), Functio laesa (lose of function). Seperti gambar
dibawah ini:

Gamabar 2. Gambar Tahapan terjadinya inflamasi akut.

6
Terjadi karena tujuan utama adalah mengirim leukosit ke tempat jelas bersihkan
setiap mikroba. Dengan dua proses utama, perubahan vaskular (vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas) dan perubahan selular (rekrutmen dan aktivasi selular). Perubahan
makroskopik yang dapat diamati berupa hiperemia yang memberikan penampakan eritema,
exudation yang memberikan penampakan edema, dan emigrasi leukosit.

1. Hyperaemia

Jejas yang terbentuk pertama-tama akan menyebabkan dilatasi arteri lokal (didahului
vasokonstriksi sesaat). Dengan demikian mikrovaskular pada lokasi jejas melebar, aliran
darah mengalami perlambatan, dan terjadi bendungan darah yang berisi eritrosit pada bagian
tersebut, yang disebut hiperemia. Pelebaran ini lah yang menyebabkan timbulnya warna
merah (eritema) dan hangat. Perlambatan dan bendungan ini terlihat setelah 10-30 menit

Hyperaemia di dalam inflamasi berhubungan dengan perubahan mikrovaskular, yang


disebut Lewis’ triple response – berupa “a FLUSH, a FLARE and a WEAL”. The FLUSH
ditandai dengan garis putih (dikarenakan adanya vasokonstriksi). The FLUSH merupakan
garis merah (dikarenakan dilatasi kapiler). The FLARE merupakan daerah dengan warna
merah yang lebih terang di sekitarnya (dikarenakan dilatasi arteri).

2. Exudating

Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas endotel disertai keluarnya protein


plasma dan sel-sel leukosit ke daerah extravaskular yang disebut eksudasi. Hal ini
menyebabkan sel darah merah dalam darah terkonsentrasi, viskositas meningkat, sirkulasi
menurun, terutama pada pembuluh darah-pembuluh darah kecil yang sisebut stasis.

Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke
dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya
konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar,
dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan
menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan
melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan
sampai berat jenis 10.000 dalton.

7
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020)
dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan
emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang
memungkinkan protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan
hidrostatik intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan
peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya

3. Emigration of leucocyte

Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas,
merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan
yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang
terdapat di dalamnya membantu perta beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih
merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan
jaringan yang berarti. Baik neutrofil, maupun sel berinti tunggal dapat melewati celah antar
sel endhotelial dengan menggunakan pergerakan amoeboid menuju jaringan target.

Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel
darah merah menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit
sendiri. Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah
dalam aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel
darah putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran
yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan
endotel.

Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari
pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel.
Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit
mampu menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa
perubahan nyata

4. Kemotaksi

Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama


lokasi jejas. Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh
kimia yang dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih

8
dipengaruhi oleh faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan
monosit paling reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah.
Beberapa faktor kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya
bekerja secara selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis
dapat endogen berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri berupa
protein maupun polipeptida

5. Fagositosis

Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-
sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses
pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme
diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang
mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan
meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak
pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada
waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma
neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang
disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah
dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa
organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit.

2.2.2. Inflamasi kronis

Inflamasi kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang


(berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi
aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut
ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar.
Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit,
dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah
baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003).

Inflamasi kronis dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul
radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi

9
radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen
penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada
kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki
toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3
kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme
intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu),
kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila
suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena
banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu
tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola
morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).

Inflamasi kronis telah dihubungkan dengan berbagai tahapan yang terlibat dalam
karsinogenesis termasuk transformasi seluler, promosi, surivival, proliferasi, invasi,
angiogenesis, dan metastasis. Inflamasi tersebut menjadi faktor risiko pada kebanyakan tipe
kanker. Misal induser asap rokok, menyebabkan inflamasi bronkitis, ada pada kanker paru, %
predisposisi pada progres kanker adalah sebesar 11-24%, dll. Inflamasi dan karsinogenesis
ada kemiripan, bedanya pada kanker proses inflamasi tidak untuk peroses perbaikan namun
untuk pertumbuhan kanker itu sendiri.

10
Gamabar 3. Gambar Terjadinya Inflamasi Kronis.

Beberapa produk gen pro-inflamasi telah diidentifikasi memiliki peran penting pada
penekanan apoptosis, proliferasi, angiogenesis, invasi, dan metastasis. Di antara produk gen
tersebut adalah TNF alfa dan anggota superfamilinya, IL-1alfa, IL-1beta, IL-6, IL-8, IL-18,
kemokin, MMP-9, VEGF, COX-2, dan 5-LOX. Ekspresi semua gen di atas utamanya diatur
oleh faktor transkripsi NF-kB yang secara konstitutif aktif pada kebanyakan tumor dan
diinduksi oleh karsinogen (asap rokok), tumor promoter, protein virus onkogenik, agen
kemoterapi, dan iradiasi gama.

2.3. Penanganan pada saat jerjadi inflamasi

Ketika kita mengemuka kasus inflamasi pada hewan maupun manusia, hal pertama
yang mesti kita lakukan adalah memberikan pertolongan kepada pasien. Pertolongan yang
dapat dilakukan adalah dengan memberikan obat anti inflamasi sebelum. Berikut akan
dijelaskan lebih mendetail menganai obat anti inflamasi:

Obat Anti-inflamasi Nonsteroid

2.3.1. Jenis Obat Anti-inflamasi Nonsteroid

Obat anti-inflamasi nonstreoid (OAINS) merupakan kelompok obat yang paling


banyak dikonsumsi di seluruh dunia untuk mendapatkan efek analgetika, antipiretika, dan
anti-inflamasi.9 OAINS merupakan pengobatan dasar untuk mengatasi peradangan-
peradangan di dalam dan sekitar sendi seperti lumbago, artralgia, osteoartritis, artritis
reumatoid, dan gout artritis. Disamping itu, OAINS juga banyak pada penyakit-penyakit non-
rematik, seperti kolik empedu dan saluran kemih, trombosis serebri, infark miokardium, dan
dismenorea.

OAINS merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat
sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini mempunyai banyak
persamaan dalam efek terapi maupun efek samping.15 Prototip obat golongan ini adalah
aspirin, karena itu OAINS sering juga disebut sebagai obat-obat mirip aspirin (aspirin-like
drug). Aspirin-like drugs dibagi dalam lima golongan, yaitu:

11
1. Salisilat dan salisilamid, derivatnya yaitu asetosal (aspirin), salisilamid, diflunisal
2. Para aminofenol, derivatnya yaitu asetaminofen dan fenasetin
3. Pirazolon, derivatnya yaitu antipirin (fenazon), aminopirin (amidopirin), fenilbutazon
dan turunannya
4. Antirematik nonsteroid dan analgetik lainnya, yaitu asam mefenamat dan
meklofenamat, ketoprofen, ibuprofen, naproksen, indometasin, piroksikam, dan
glafenin
5. Obat pirai, dibagi menjadi dua, yaitu (1) obat yang menghentikan proses inflamasi
akut, misalnya kolkisin, fenilbutazon, oksifenbutazon, dan (2) obat yang
mempengaruhi kadar asam urat, misalnya probenesid, alupurinol, dan sulfinpirazon.
a. Sedangkan menurut waktu paruhnya, OAINS dibedakan menjadi:
6. AINS dengan waktu paruh pendek (3-5 jam), yaitu aspirin, asam flufenamat, asam
meklofenamat, asam mefenamat, asam niflumat, asam tiaprofenamat, diklofenak,
indometasin, karprofen, ibuprofen, dan ketoprofen.
7. AINS dengan waktu paruh sedang (5-9 jam), yaitu fenbufen dan piroprofen.
8. AINS dengan waktu paruh tengah (kira-kira 12 jam), yaitu diflunisal dan naproksen.
9. AINS dengan waktu paruh panjang (24-45 jam), yaitu piroksikam dan tenoksikam.
10. AINS dengan waktu paruh sangat panjang (lebih dari 60 jam), yaitu fenilbutazon dan
oksifenbutazon.

2.3.2. Aspek Farmakodinamik Obat Anti-inflamasi Nonsteroid

Semua OAINS bersifat antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi.

1. Efek Analgesik

Sebagai analgesik, OAINS hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah
sampai sedang, misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia, dismenorea dan juga efektif
terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan. Efek analgesiknya
jauh lebih lemah daripada efek analgesik opioat, tetapi OAINS tidak menimbulkan ketagihan
dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Untuk menimbulkan efek
analgesik, OAINS bekerja pada hipotalamus, menghambat pembentukan prostaglandin
ditempat terjadinya radang, dan mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang
mekanik atau kimiawi.

2. Efek Antipiretik

12
Temperatur tubuh secara normal diregulasi oleh hipotalamus. Demam terjadi bila
terdapat gangguan pada sistem “thermostat” hipotalamus. Sebagai antipiretik, OAINS akan
menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam. Penurunan suhu badan berhubungan
dengan peningkatan pengeluaran panas karena pelebaran pembuluh darah superfisial.
Antipiresis mungkin disertai dengan pembentukan banyak keringat. Demam yang menyertai
infeksi dianggap timbul akibat dua mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di
dalam susunan syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek
interleukin-1 pada hipotalamus. Aspirin dan OAINS lainnya menghambat baik pirogen yang
diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun respon susunan syaraf pusat terhadap
interleukin-1 sehingga dapat mengatur kembali “thermostat” di hipotalamus dan
memudahkan pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.

3. Efek Anti-inflamasi

Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang
merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin,
serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa
panas, nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi. Kebanyakan OAINS lebih
dimanfaatkan pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid, osteoartritis, dan
spondilitis ankilosa. Namun, OAINS hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang
berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki, atau
mencegah kerusakan jaringan pada kelainan muskuloskeletal.

Meskipun semua OAINS memiliki sifat analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi,


namun terdapat perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut. Salisilat khususnya aspirin
adalah analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan. Selain sebagai
prototip OAINS, obat ini merupakan standar dalam menilai OAINS lain. OAINS golongan
para aminofenol efek analgesik dan antipiretiknya sama dengan golongan salisilat, namun
efek anti-inflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan untuk anti rematik seperti
salisilat. Golongan pirazolon memiliki sifat analgesik dan antipiretik yang lemah, namun efek
anti-inflamasinya sama dengan salisilat.

13
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas maka dapat disimpulkan bahwa Radang
atau inflamasi adalah reaksi jaringan hidup terhadap semua bentuk jejas yang berupa reaksi
vascular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari
sirkulasi darah ke jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis. Tujuan inflamasi
yaitu untuk memperbaiki jaringan yang rusak serta mempertahankan diri terhadap infeksi.
Tanda-tanda inflamasi adalah berupa kemeraham (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor),
pembengkakan (tumor), dan function laesa.

Secara garis besar tahapan inflamasi dibagi menjadi 2 tahap :

1. Inflamasi akut
2. Inflamasi akut adalah inflamasi yang terjadi segera setelah adanya rangsang
iritan. Pada tahap ini terjadi pelepasan plasma dan komponen seluler darah ke
dalam ruang-ruang jaringan ekstraseluler. Termasuk didalamnya granulosit
neutrofil yang melakukan pelahapan (fagositosis) untuk membersihkan debris
jaringan dan mikroba.
3. Inflamasi kronis
4. Inflamasi kronis terjadi jika respon inflamasi tidak berhasil memperbaiki
seluruh jaringan yang rusak kembali ke keadaan aslinya atau jika perbaikan
tidak dapat dilakukan sempurna.
5. Penanagan yang dapat diberikan ketika mendapati pasian mengalamai radang
atau inflamasi yakni dapat dilakukan dengan cra pemberian obat anti
inflamasi. Karena obat anti inflamasi memiliki sifat analgesik, antipiretik dan
anti-inflamasi,

3.2 Saran

Meskipun perkembangan teknologi dalam bidang Imunologi sudah berkembang pesat,


akan tetapi sebagai manusia kita tidak boleh lengah dalam kemudahan. Kita, khususnya

14
sebagai mahasiswa harus menyikapi suatu fenomena, kepentingan, dan permasalahan dengan
bijaksana. Hal ini berdasarkan pada tujuan dari imun itu sendiri yaitu melindungi dari
gangguan benda asing dari luar, kita sebagai mahasiswa haru bisa menyesuaikan diri seiring
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson,
Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P.,
penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).

Albini A, Sporn MB. The tumour microenvironment as a target for chemoprevention. Nat
Rev Cancer. 2007 Feb;7(2):139-47.

Anas, Khairul.2011. Penertian Inflamasi. Khairul-anas.blogspot.com. Diakses Tanggal 20


November 2013.

Bratawidjaja KG dan Rengganis I, 2010, Imunologi Dasar Edisi ke-9, FKUI Jakarta

Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja,
A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli
diterbitkan 2000).

Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I.,
Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).

16

Anda mungkin juga menyukai