Anda di halaman 1dari 3

Nama : Olivia Sri Andini

NIM : 2002501010086

COLISTIN RESISTANCE DAN PERMASALAHANNYA

A. Pendahuluan

Colistin merupakan antimikroba peptida polikationik yang ditemukan pada tahun 1949 di
Jepang, diproduksi oleh Bacillus polymyxa. Colistin merupakan golonan antibiotik polimiksin,
dengan sifat hidrofilik dan lipofilik. Gugus polimiksin mencakup lima senyawa kimia yang
berbeda (polimiksin A, B, C, D, dan E). Hanya dua polimiksin yang digunakan secara klinis
yaitu polimiksin B dan polimiksin E (Colistin). Untuk penggunaan klinis, tersedia dua bentuk
colistin yaitu prodrug colistin methanesulfonate sodium (CMS) untuk penggunaan parenteral,
dan colistin sulfate (CS) untuk penggunaan oral, inhalator, atau topikal. 
Colistin pertama kali digunakan dalam pengobatan manusia dan hewan pada tahun 1952,
tetapi antara tahun 1970-an dan 1980-an, penggunaan antimikroba ini hampir dihapuskan, tetapi
penggunaan pada hewan tetap berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir, colistin telah mulai
digunakan pada manusia sebagai pilihan terakhir dalam kasus infeksi resisten terhadap
antimikroba basil Gram-negatif, terutama bakteri penghasil karbapenemase seperti
Enterobacterales, Pseudomonas aeruginosa, dan Acinetobacter baumannii. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dan organisasi Health Canada telah mereklasifikasi colistin dalam
kategori sangat penting untuk pengobatan manusia.
Colistin dianggap oleh European Medicines Agency (EMA) sebagai antibiotik yang sangat
penting dalam pengobatan manusia dengan kategori B (restrick). Artinya, penggunaan di bidang
kedokteran hewan harus dibatasi untuk mengurangi bahaya bagi kesehatan masyarakat.
Kuinolon, sefalosporin generasi ketiga dan keempat (kecuali yang memiliki beta-laktamase
inhibitor), dan polimiksin adalah obat yang termasuk dalam kategori ini. Antibiotik dalam
kategori B harus disediakan untuk pengobatan bila antimikroba dalam Kategori C atau D tidak
efektif dari sudut pandang klinis dan tidak ada alternatif lain. Secara umum, penggunaan
antibiotik harus bergantung pada kinerja tes kerentanan antimikroba (AST), terutama yang
termasuk dalam Kategori B.
B. Mekanisme Kerja

Asam colistin L-diaminobutyric yang bermuatan positif berikatan dengan gugus fosfolipid
A yang bermuatan negatif melalui interaksi elektrostatistik. Fosfolipid A merupakan komponen
penting dari lipopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif basil. Lipid A memainkan peran
penting dalam permeabilitas bakteri dan pertukaran dengan eksterior sel. Colistin menggantikan
kation divalen kalsium (Ca2+) dan magnesium (Mg2+) dengan cara yang kompetitif, merusak
struktur tiga dimensi LPS. Colistin kemudian memasukkan rantai lemak asil terminal
hidrofobiknya sehingga menyebabkan ekspansi lapisan membran luar (outer membrane/ OM)
tunggal. Terjadi permeabilisasi OM memungkinkan colistin dapat melewati OM. Lapisan ganda
fosfolipid pada membran dalam (inner membrane/ IM), yang hanya terdapat dalam Gram-negatif
kehilangan stabilitasnya karena aksi colistin yang memasukkan gugus hidrofilik dalam rantai
asam lemak yang dapat mengubah integritas dan lisisnya IM. Akibat berikatan dengan lipid A,
colistin juga memberikan aktivitas anti-endotoksin yang dapat mencegah induksi syok oleh
endotoksin. Colistin pada dasarnya melarutkan membran sel bakteri dan menghasilkan efek
bakterisidal. 

C. Resistensi Colistin
LPS adalah target colistin, setiap perubahan di dalamnya dapat mengubah perilaku colistin.
Salmonella dan E. coli mampu memodifikasi LPS dengan mengubah lipid A melalui biosintesis
4-amino-4-deoxy-L-arabinose (L-Ara4N) dan / atau phosphoethanolamine (PEtn). Biosintesisnya
dikaitkan dengan resistensi yang dimediasi kromosom, bergantung pada dua komponen regulator
responsdan sistem sensor kinase yaitu PmrA / PmrB dan PhoP / PhoQ. Sistem pertama PmrA /
PmrB juga mengontrol operon PMr HIJKLM, yang mendorong sintesis N4-aminoarabinosis,
yang bekerja dengan mengikat fraksi lipid A, kemudian mengubah muatan negative sel
membrane dengan menetralkan fosfolipid yang bermuatan negatif secara kimiawi. Mekanisme
resistensi ini ditunjukkan oleh Pseudomonas aeruginosa.
Resistensi terhadap colistin yang diekspresikan oleh Acinetobacter baumannii didasarkan
pada penghentian produksi LPS. Tidak adanya produksi LPS ini dapat terjadi akibat inaktivasi
gen biosintesis lipid A, lpxA, lpxC, atau lpxD, dan menyebabkan resistensi terhadap colistin
karena tidak adanya lipid A. Bakteri resisten colistin juga mengakibatkan resistansi terhadap
jenis antibiotik lain yang digunakan seperti aminoglikosid, tetrasiklin, sulfonamide, trimetoprin,
lincosamide, b-laktamik, kuinolon dan sefalosporin generasi ketiga yang melibatkan mekanisme
resistensi yang berbeda seperti enzimatik, eflux, impermeabilitas atau mutasi titik.

D. Penggunaan colistin pada hewan dan dampaknya


Saat ini, colistin adalah antibiotik yang masih banyak digunakan dalam pengobatan hewan,
terutama pada babi, untuk pengobatan infeksi usus yang disebabkan oleh Enterobacter.
Pemberian antibiotik seperti colistin pada hewan mendukung pertumbuhan produksi hewan
ternak, memungkinkan penyapihan dengan kepadatan hewan yang lebih tinggi, dan
kemungkinan viabilitas pengendalian ekonomi yang lebih tinggi terhadap patologi yang
disebabkan oleh infeksi E. coli yang disebabkan oleh verotoksigenik E. coli ( VTEC). Colistin
sulit diserap oleh saluran gastrointestinal. Hal ini menekankan munculnya resistensi colistin
sebagai akibat dari tekanan selektif pada mikrobiota usus. Babi yang diobati dengan colistin
secara keseluruhan memiliki kemungkinan resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan babi
yang tidak diobati. Colistin juga digunakan secara oral pada anak sapi untuk pengobatan
penyakit gastrointestinal yang disebabkan oleh bakteri gram negatif.
Penggunaan colistin yang paling umum dalam produksi industri babi di seluruh dunia
adalah pemberian jalur oral untuk pengobatan profilatis. Colistin terutama diberikan melalui
pakan dan air minum. Terapi colistin dengan tujuan profilaksis memiliki risiko tinggi dalam
munculnya resistensi, dan penggunaannya dilarang. Penggunaan klinis harus dibatasi pada
infeksi enterik yang disebabkan oleh bakteri non-invasif yang rentan seperti E. coli. Penggunaan
colistin sebagai pemacu pertumbuhan pada hewan ternak yang digunakan secara khusus di Asia,
harus dilarang. Konsentrasi antibiotik yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan hewan
telah dikaitkan dengan munculnya resistensi antibiotik. Sanitasi yang baik yaitu dengan
mengendalikan mikroba di peternakan yang merupakan faktor kunci untuk menekan
penyalahgunaan antimikroba. 

Anda mungkin juga menyukai