Anda di halaman 1dari 4

A.

Epidemiologi Penyakit Filariasis


Epidemiologi penyakit filaria bergantung dari daerah asal spesies filaria. Spesies
penyebab filaria limfatik (kaki gajah) lebih banyak ditemukan di Asia, termasuk Indonesia,
sedangkan Onchocerca, Loa loa, dan Mansonella lebih sering ditemukan di negara-negara
Afrika dan Amerika. Secara umum, filaria dapat ditemukan di negara-negara tropis dan
subtropis, tetapi masing-masing spesies filaria memiliki persebaran geografis tersendiri.
Indonesia merupakan negara endemis untuk Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori. Filariasis limfatik merupakan salah satu penyakit menular menahun yang
termasuk ke dalam Neglected Tropical Disease (NTD). Termasuk penyakit zoonosis
yang disebabkan oleh infeksi cacing fi laria dan ditularkan melalui gigitan berbagai jenis
nyamuk. Spesies cacing fi laria di Indonesia adalah Wuchereria bancrofti, menyebabkan
fi lariasis limfatik (fi lariasis bancrofti), Brugia malayi dan Brugia timori menyebabkan
filariasis brugia. Penyakit ini memiliki prevalensi di pedesaan dan perkotaan dengan cara
menyerang semua golongan tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. (Kemenkes RI
2010)

B. Riwayat Alamiah Penyakit Filariasis


Riwayat alamiah penyakit filariasis terjadi dalam 3 tahap. Tahap pertama adalah
prepatogenesis, yaitu saat host dalam keadaan sehat tidak ada interaksi antara host dan
agent. Tetapi jika agent, host, dan lingkungan berubah maka agent akan masuk ke dalam
host. Tahap kedua adalah patogenesis, yaitu tahap dimulainya agent memasuki host
hingga timbul gejala sakit. Tahap ketiga adalah pasca patogenesis, yaitu tahap perjalanan
penyakit atau dalam bentuk penyembuhan dalam bentuk sempurna.
Pada tahap pertma (prepatogenesis), fase ini terjadi ketika seorang digigit nyamuk
yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium 3. Larva menuju
ke sistem limfe lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan berkembang biak. Pada tahap
kedua (patogenesis) pada penyakit faliariis terbagi lagi dalam tiga fase yaitu fase
subklinis, fase klinis, dan fase konvalenses. Pada fase subklinis (presymtomatic) dimana
perubahan sistem dalam tubuh manusia terjadi, tetapi perubahan tidak cukup kuat untuk
menimbulkan kelihan sakit dan pada fase ini pengobatan belum dilakukan. Selanjutnya
pada fase klinis, perubahan terjadi pada jaringan tubuh dan memunculkan gejala dan
tanda penykit. Gejala akut yang terjadi adalah demam berulang-ulang selama 3-5 hari,
pembengkakan kelenjar getah bening di daerah lipatan paha dan ketiak tampak
kemerahan. Pada fase konvalenses adalah fase terakhir untuk menentukan penyembuhan
dan atau meninggal. Fase ini berkembang dalam sembuh total dan sembuh dengan
gejala sisa. Filariasis dapat diobati jika tertangani sedini mungkin, jika tidak maka akan
menyebabkan kecacatan. Lingkungan biologi yang diteliti meliputi keberadaan
tumbuhan air, semak liar, genangan air di sekitar rumah dan tinggal di pinggir pantai.
Pemberantasan fi lariasis merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan
masyarakat, sehingga peran serta masyarakat sangat menentukan keberhasilan eliminasi
di tingkat kabupaten atau kota (Santoso Loka Litbang 2013)

C. Rantai Penularan Filariasis


Banyak faktor risiko yang dapat memicu kejadian filariasis limfatik. Beberapa
diantaranya adalah faktor lingkungan biologi merupakan salah satu yang dapat
mempengaruhi kepadatan vektor filariasis. Lingkungan ideal bagi nyamuk untuk
dijadikan sebagai breeding place dan resting place sehingga kepadatan vektor akan
meningkat. Beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan biologi merupakan salah satu
yang dapat mempengaruhi kepadatan vektor filariasis. Lingkungan ideal bagi nyamuk
untuk dijadikan sebagai breeding place dan resting place sehingga kepadatan vektor akan
meningkat (Kemenkes RI 2010)
Filariasis limfatik atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah jarang menyebabkan
kematian, tetapi pada kasus kronis dapat menyebabkan pembesaran bagian tubuh lain
seperti pembesaran kaki, tangan, payudara, skrotum pada laki-laki dan pembesaran vulva
pada wanita (Waris and Ridha 2012)
Perlu dilakukan upaya yang lebih besar untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat tentang filariasis limfatik, melalui kegiatan promosi kesehatan oleh petugas
kesehatan. Hal ini akan berkontribusi pada suksesnya penghapusan (eliminasi) fi lariasis
yang telah di programkan di kabupaten atau kota.(Rath et al. 2006)
Perlu diingat filariasis limfatik terkait dengan masalah gizi, kebersihan
lingkungan, dan kemiskinan. Hasil karakteristik pendapatan responden yang didapatkan
di lapangan mayoritas adalah tingkat pendapatan rendah pada kelompok kontrol
sedangkan pada kelompok kasus semuanya adalah tingkat pendapatan rendah. Faktor
sosial ekonomi dan kemiskinan merupakan faktor yang meningkatkan penyebaran
penyakit filariasis (Kemenkes RI 2010)
Daftar Pustaka

Kemenkes RI. 2010. “Buletin Jendela Epidemiologi.” Buletin Jendela Epidemiologi.

Rath, K. et al. 2006. “Knowledge and Perceptions about Lymphatic Filariasis: A Study during
the Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis in an Urban Community of Orissa, India.”
Tropical biomedicine.

Santoso Loka Litbang, dan P. 2013. “STUDI ENDEMISITAS FILARIASIS DI WILAYAH


KECAMATAN PEMAYUNG, KABUPATEN BATANGHARI PASCA PENGOBATAN
MASSAL TAHAP III.” Buletin Penelitian Kesehatan.

Waris, Lukman, and M. Ridha. 2012. “EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM


PEMBERANTASAN FILARIASIS DI KABUPATEN TANAH BUMBU PROVINSI
KALIMANTAN SELATAN.” Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.

{Bibliography}

Anda mungkin juga menyukai