Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik


1. Definisi
Para ahli telah memberikan definisi mengenai penyakit ginjal kronik (PGK).
Beberapa definisi PGK menurut beberapa ahli antara lain:
a. Penyakit ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologis dengan
etiologi beragam yang mengakibatkan fungsi ginjal menurun secara
progresif dan irreversibel sehingga tubuh tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan baik dan berakibat pada terjadinya uremia (Smeltzer,
Bare & Hinkle, 2008).
b. Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan kehilangan fungsi ginjal
yang progresif dan irreversibel. The Kidney Disease Outcomes Quality
Initiative (K/ DOQI) of the National Kidney Foundation mendefinisikan
bahwa PGK merupakan kerusakan ginjal atau penurunan laju filtrat
glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/ min/1,73 m2 yang berlangsung
lebih dari 3 bulan (Lewis, Dirksen, Heitkemper, dkk., 2011).
c. Penyakit ginjal kronik atau yang sering disebut penyakit ginjal tahap
akhir (end stage renal disease/ESRD) merupakan suatu kondisi
penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada
ginjal yang irreversibel (Potter & Perry, 2006).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PGK


adalah suatu kondisi sakit yang disebabkan kerusakan pada ginjal yang
irreversibel, sehingga menyebabkan ginjal kehilangan fungsinya yang
terjadi lebih dari 3 bulan dengan batasan karakteristik nilai LFG kurang dari
60 mL/mnt/1,73 m2.

8
9

2. Klasifikasi
Menurut National Kidney Foundation dalam Lewis, Dirksen, Heitkemper,
dkk. (2011), klasifikasi PGK berdasarkan derajat LFG adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi PGK berdasarkan derajat LFG
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥90
2 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan ↓ LFG berat 15-29
5 PGK <15
Sumber: National Kidney Foundation dalam Lewis, Dirksen, Heitkemper,
dkk. (2011)

3. Etiologi
PGK dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor utama penyebab PGK di
Indonesia menurut PERNEFRI (2011), berdasarkan prosentase kejadian
tertinggi adalah penyakit ginjal hipertensi (34%), nefropati diabetika (27%),
glumerulopati primer (14%), nefropati obstruksi (8%), pielonefritis kronik
(6%), nefropati asam urat (2%), nefropati lupus (1%), tidak diketahui (1%),
dan disebabkan karena lain-lain (6%).

4. Patofisiologi
Ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi vital di dalam
tubuh. Fungsi tersebut adalah menyaring darah dari kelebihan cairan, garam,
dan produk sisa untuk menjaga komposisi tubuh agar tetap stabil.
Mengingat fungsi ginjal yang sangat penting, maka apabila terjadi gangguan
pada ginjal akan berdampak signifikan terhadap keberlangsungan hidup
manusia (Desitasari, Utami & Misrawati, 2013).

Cairan akan dipertahankan pada kondisi yang seimbang antara retensi dan
ekskresi pada saat kondisi ginjal normal. Asupan cairan ke dalam tubuh
akan meningkatkan plasma yang bersirkulasi, sehingga meningkatkan
volume filtrat glomerulus dan ekskresi urin. Jumlah haluran urin akan
10

bervariasi sesuai dengan seberapa banyak asupan makanan dan cairan ke


dalam tubuh (Potter & Perry, 2006).

Adanya faktor-faktor yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal seperti


hipertensi, diabetes mellitus, glomerulonefritis, dan lain-lain akan
menyebabkan fungsi glomerulus menurun karena adanya tekanan yang kuat
pada glomerulus sehingga glomerulus menjadi radang. Leukosit bermigrasi
ke glomerulus dan berakumulasi yang terkadang mengisi seluruh
glomerulus ketika glomerulus radang. Reaksi peradangan ini dapat
menyebabkan sumbatan total ataupun parsial glomerulus, sehingga hal
tersebut menyebabkan permeabilitas membran glomerulus yang tidak
tersumbat meningkat. Peningkatan permeabilitas membran glomerulus
memungkinkan molekul berukuran besar seperti protein ikut keluar bersama
dengan urin. Bersamaan dengan hal tersebut, ruptur terjadi sehingga
memungkinkan banyak eritrosit masuk ke dalam filtrat glomerulus (Guyton,
2012).

Endapan fibrin mulai terbentuk di sekitar interstisium karena adanya jejas.


Mikroaneurisma terjadi karena kerusakan dinding vaskuler dan peningkatan
tekanan darah sekunder akibat obstruksi dan hipertensi. Kerusakan nefron
akhirnya terjadi yang akan memicu hiperfungsi kompensasi pada nefron
yang belum cidera. Kondisi tersebut pada akhirnya membuat glomerulus
yang sehat menanggung beban kerja berlebihan, sehingga mengalami
sklerosis dan nekrosis. Keadaan tersebut membuat fungsi ginjal sebagai
penyaring zat-zat toksik untuk dieskresikan ke luar tubuh tidak berjalan.
Zat-zat toksik yang menumpuk tersebut akan berisiko membawa kematian
pada semua organ penting di dalam tubuh (Kowalak, 2012).

5. Manifestasi klinik
Surrena, Gaghardi, Scott, dkk. (2010), mengemukakan bahwa manifestasi
klinik dari PGK adalah sebagai berikut:
11

a. Sistem kardiovaskuler
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini berupa hipertensi,
pitting edema pada kaki, tangan, dan tulang duduk, edema periorbital,
perikarditis, efusi perikardial, hiperkalemia, dan hiperlipidemia.
b. Sistem integumen
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini antara lain warna
kulit cenderung seperti perunggu keabu-abuan, kulit kering bersisik,
pruritis berat, echymosis, purpura, kuku tipis dan rapuh, rambut kasar
dan menipis.
c. Sistem pulmonal
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini antara lain nyeri
pleuritis, napas pendek, tachipnea, napas kussmaul.
d. Sistem gastrointestinal
Pada sistem gastrointestinal dapat muncul manifestasi klinik seperti
napas bau amonia, ulserasi di mulut dan perdarahan, anoreksia, mual dan
muntah, cegukkan, konstipasi atau diare, perdarahan saluran cerna.
e. Sistem neurologik
Manifestasi klinik yang dapat muncul dari sistem ini antara lain
kelemahan dan kelelahan, bingung, ketidakmampuan konsentrasi,
disorientasi, tremor, kejang, perubahan perilaku.
f. Sistem muskuloskeletal
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem ini antara lain kram
otot, kehilangan kekuatan otot, nyeri tulang, fraktur, dan foot drop.
g. Sistem reproduksi
Manifestasi klinik yang dapat muncul dari sistem ini antara lain
amenorea, atropi testis, infertilitas, dan penurunan libido.
h. Distibusi metabolik
Tanda yang dapat muncul dari terganggunya distribusi metabolik karena
PGK antara lain akan terjadi peningkatan BUN dan serum kreatinin yang
meningkat sebagai akibat adanya penurunan LFG.
12

i. Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa


PGK dapat bermanifestasi klinik seperti terjadi peningkatan kadar kalium
(hiperkalemia), sedangkan natrium cenderung rendah atau normal.
Asidosis metabolik dapat terjadi karena adanya akumulasi amonia di
dalam darah.
j. Sistem hematologi
Pada sistem hematologi, PGK akan bermanifestasi klinik seperti anemia,
trombositopenia, dan lain-lain.

6. Penatalaksanaan
Penanganan awal PGK difokuskan pada pengendalian gejala, pencegahan
terhadap komplikasi, dan memperlambat terjadinya progresi PGK. Obat
dapat dipakai untuk mengendalikan hipertensi, mengatur elektrolit, dan
mengendalikan volume cairan intravaskuler (Baradero, Dayrit & Siswadi,
2009; Husna, 2010). Menurut Aziz, Witjaksono & Rasjidi (2008), prinsip
dari penatalaksanaan pasien PGK adalah sebagai berikut:
a. Mengobati penyakit dasar dari tanda dan gejala yang ada.
b. Mengobati penyakit penyerta.
c. Menghambat terjadinya progresifitas kerusakan ginjal.
d. Pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit kardiovaskuler.
e. Pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi.
f. Persiapan dan pemilihan terapi pengganti ginjal.

Prinsip-prinsip di atas menurut Lewis, Dirksen, Heitkemper, dkk. (2011),


dapat dicapai dengan dua pendekatan, yaitu dengan manajemen
farmakolologi (dengan menggunakan obat-obatan) dan manajemen nutrisi.
Manajemen tersebut, antara lain:
a. Hiperkalemi diatasi dengan jalan membatasi asupan kalium melalui
makanan dan obat-obatan. Untuk akut hiperkalemia dapat dilakukan
koreksi dengan pemberian intra vena glukosa dioplos dengan insulin,
sedangkan untuk selanjutnya dapat diberikan kalitake.
13

b. Hipertensi dapat diatasi dengan mengurangi berat badan jika pasien


mengalami obesitas, menjalani pola hidup yang sehat dengan olahraga
dan tanpa alkohol, diet rendah garam, dan dengan obat-obatan
antihipertensi seperti ACE inhibitor dan Angiotensin receptor blocker.
c. Anemia dapat diatasi dengan pemberian exogenous erytropoietin (EPO),
pemberian tablet besi, atau dengan tranfusi darah.
d. Pembatasan asupan protein.
Protein yang dianjurkan untuk pasien PGK adalah protein yang memiliki
nilai biologis tinggi, seprti produk susu, telur, daging, dan produk hewani
lainnya (Surrena, Gaghardi, Scott, dkk., 2010). Jumlah protein harian
yang direkomendasikan adalah 1,2 gram/Kg berat badan ideal (Lewis,
Dirksen, Heitkemper, dkk., 2011).
e. Pembatasan cairan.
Pembatasan cairan hanya dilakukan pada pasien ESRD. Program
pembatasan cairan tidak diberlakukan sebelum ESRD. Penatalaksanaan
overhidrasi pada kasus ini biasanya menggunakan obat diuretik (Lewis,
Dirksen, Heitkemper, dkk., 2011). Jumlah cairan yang diizinkan masuk
dalam 24 jam untuk penderita PGK yang menjalankan program
pembatasan cairan adalah sebanyak urin out put dalam 24 jam terakhir +
500 sampai 600 ml (Insensible Water loss/IWL) (Istanti, 2009; Surrena,
Gaghardi, Scott, dkk., 2010; Tanujiarso, Ismonah, Supriyadi, 2014).
Salah satu bentuk kehilangan cairan tubuh adalah melalui IWL. IWL
meliputi kehilangan cairan dari evaporasi yang terjadi melalui kulit dan
paru selama respirasi. Jumlah cairan yang dikeluarkan adalah 600 ml dari
kulit, 300 ml dari paru, dan 200 ml dalam bentuk feses yang berasal dari
saluran gastrointestinal (Taylor, Lillis, LeMone, dkk., 2011).
Berdasarkan teori tersebut, Lewis, dkk. (2011), merumuskan jumlah
cairan yang boleh masuk dalam 24 jam pada penderita PGK sebanyak
urin out put + 600 sampai 1000 ml.
14

f. Pembatasan natrium dan kalium serta fosfat.


1) Pembatasan natrium
Jumlah natrium yang boleh dikonsumsi oleh penderita PGK setiap
harinya adalah 2 sampai 4 gram. Perlu diperhatikan bahwa natrium
dengan garam natrium klorida tidak sama kandungan natriumnya.
Satu gram natrium klorida mengandung 400 mg natrium.
2) Pembatasan kalium
Pembatasan kalium untuk penderita PGK tergantung kemampuan
ginjal dalam mengekskresikan kalium. Pembatasan kalium dalam
sehari adalah 2 sampai 3 gram, yang mana 39 mg kalium sama dengan
1 mEq kalium. Beberapa jenis makanan yang banyak mengandung
kalium antara lain jeruk, pisang, melon, tomat, buah-buahan yang
berwarna kuning, dan sebagainya.
3) Pembatasan fosfat
Pembatasan fosfat dalam sehari adalah 1 gram. Beberapa contoh
makanan yang banyak mengandung fosfat antara lain daging, susu, es
krim, keju, yogurt, dan lain sebagainya. Banyak makanan yang
mengandung tinggi fosfat mengandung tinggi protein. Semenjak
program hemodialisis dilakukan dan pasien dianjurkan untuk
mengkonsumsi makanan yang mengandung protein, maka pengikat
fosfat penting diberikan untuk mengontrol jumlah fosfat yang beredar
dalam tubuh.

7. Komplikasi
Masalah umum yang sering dihadapi pasien PGK adalah ketidakpatuhan
dalam pengobatan. Salah satu ketidakpatuhan yang paling sering ditemui
pada pasien PGK adalah ketidakpatuhan terhadap pembatasan intake cairan.
Ketidakpatuhan terhadap pembatasan intake cairan akan mengakibatkan
berbagai masalah antara lain: edema, sesak napas, hipertensi, dan gangguan
jantung, serta yang paling serius adalah kematian (Sulistyaningsih, 2011;
15

Arfany, Armiyati & Kusuma, 2015; Wizemann, Wabel, Chamney, dkk.,


2009).

B. Haus
1. Definisi
Haus merupakan istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Para ahli
memiliki pendapat mengenai definisi haus. Beberapa pendapat ahli tentang
definisi haus, antara lain:
a. Haus adalah panduan pada orang sehat untuk memenuhi kebutuhan
hidrasi tubuh (Millard-Stafford, Wendland, O’Dea, dkk., 2012).
b. Haus adalah keinginan individu untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh
yang dilakukan secara sadar (Guyton, 2012).
c. Haus adalah keinginan akan cairan yang menghasilkan naluri dasar untuk
minum (Said & Hanan, 2013).
d. Haus merupakan sensasi yang disebabkan oleh mulut dan tenggorokan
yang kering berhubungan dengan keinginan akan cairan (Kara, 2013).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa haus


adalah keinginan akan air (minum) yang muncul sebagai akibat tubuh
mengalami kekurangan cairan.

2. Faktor yang mempengaruhi rasa haus (dipsogenic factor)


Rasa haus akan muncul karena pusat rasa haus tubuh distimulasi oleh
beberapa faktor. Faktor yang dapat mempengaruhi munculnya rasa haus
antara lain karena adanya peningkatan konsentrasi plasma, penurunan
volume darah, membran mukosa dan mulut yang kering, angiotensin II,
kehilangan kalium, dan faktor-faktor psikologis (Potter & Perry, 2006;
Sung, Kuo, Guo, dkk., 2005).

Kara (2013), juga menyampaikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan


munculnya rasa haus. Menurutnya berdasarkan berbagai literatur, haus
16

muncul karena adanya restriksi cairan, berkurangnya sekresi saliva, adanya


perubahan biokimia dan biologi tubuh, abnormalitas hormonal, dan
penggunaan obat-obatan, tetapi Kara (2013), tidak dapat menjelaskan secara
pasti bagaimana rasa haus dapat muncul.

3. Fisiologi munculnya rasa haus


Munculnya rasa haus merupakan fenomena penting yang dialami tubuh
manusia sebagai salah satu sinyal akan kebutuhan air di dalam tubuh.
Jumlah air dalam tubuh harus seimbang antara yang masuk dan yang keluar.
Jika jumlah air yang keluar lebih banyak dibanding yang masuk, maka rasa
haus akan muncul (Guyton, 2012).

Peningkatan konsentrasi plasma dan penurunan volume darah merupakan


stimulus utama munculnya rasa haus. Osmoreseptor yang merupakan sel-sel
reseptor yang berada di pusat pengendali rasa haus di hipotalamus akan
memantau osmolalitas darah secara terus menerus. Apabila tubuh
kehilangan cairan terlalu banyak, maka osmoreseptor akan mendeteksi
kehilangan tersebut dan akan mengaktifkan pusat rasa haus. Akibat adanya
rangsangan tersebut, maka seseorang akan merasakan haus dan kemudian
mencari air. Selain itu, kondisi membran mukosa mulut dan faring yang
kering, pembentukan Angiotensin II, kehilangan kalium, dan kondisi
psikologis seseorang juga mempengaruhi rasa haus yang dirasakan
seseorang (Potter & Perry, 2006).

Rasa haus segera akan hilang ketika seseorang minum air bahkan sebelum
air tersebut diabsorpsi dari traktus gastrointestinalis. Seseorang yang
memiliki fistula esofagus (esofagus yang memiliki lubang sehingga air tidak
akan pernah sampai tepat di traktus gastrointestinalis), rasa haus akan tetap
berkurang setalah tindakan minum yang dilakukan seseorang, tetapi rasa
haus akan datang kembali setelah 15 menit atau lebih. Apabila air benar-
benar masuk ke lambung, maka peregangan lambung dan bagian traktus
17

gastrointestinalis bagian atas masih akan memberikan efek pengurangan


rasa haus lebih lanjut untuk sementara waktu (Millard-Stafford, Wendland,
O’Dea, dkk., 2012; Guyton, 2012).

4. Manajemen rasa haus


Rasa haus merupakan salah satu indikator normal tubuh dalam merangsang
adanya ketidakseimbangan yang terjadi di dalam tubuh. Orang yang sehat,
respon untuk mengurangi hal tersebut adalah dengan minum sehingga rasa
haus hilang (Potter & Perry, 2006; Guyton, 2012). Namun, hal tersebut tidak
berlaku bagi penderita PGK, yang mana penderita harus melaksanakan
pembatasan asupan cairan agar kualitas hidup tetap terjaga dengan terhindar
dari komplikasi yang ditimbulkan karena adanya cairan yang berlebihan
(Sulistyaningsih, 2011). DeBruyne, Pinna & Whitney (2012), menyebutkan
beberapa cara untuk mengurangi rasa haus pada pasien yang menjalani
program pembatasan cairan, diantaranya adalah dengan menghisap es batu,
frozen grapes, menyikat gigi, mengunyah permen karet atau permen mint
atau permen bebas gula, dan bilas mulut dengan obat kumur dingin (tidak
ditelan).
a. Mengulum Es Batu
Mengulum es batu merupakan salah satu dari banyak metode manajemen
rasa haus pada pasien PGK. Penelitian yang dilakukan Arfany, Armiyati
& Kusuma (2015), menyebutkan bahwa dengan mengulum es batu
selama 5 menit akan dapat menurunkan rasa haus pasien PGK. Dia
memberikan alasan bahwa dengan mengulum es batu, lama kelamaan es
batu akan mencair. Es batu yang telah mencair tersebut menurutnya akan
memberikan efek dingin dan menyegarkan sehingga keluhan haus pasien
berkurang.

Conchon & Fonseca (2014), dalam penelitiannya menyebutkan, 10 ml es


batu yang dikulum oleh pasien postoperasi efektif mengurangi rasa haus
pasien pada periode pemulihan di recovery room (RR). Dia juga
18

menambahkan bahwa es lebih efektif daripada air dalam menurunkan


rasa haus. Jumlah es yang dikulum pada manajemen rasa haus tetap harus
dipertimbangkan sebagai jumlah cairan yang dikonsumsi (Fransisca,
2013).
b. Frozen grapes
Menurut Dudek (2014), salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh
penderita PGK untuk mengurangi rasa haus yang muncul adalah dengan
mengulum frozen grapes. Anggur menurutnya merupakan salah satu
buah yang sedikit kandungan kaliumnya, sehingga aman untuk
dikonsumsi bagi penderita PGK. Frozen grapes memiliki kesamaan
dengan es batu. Sensasi dingin yang diberikan oleh frozen grapes akan
memberikan efek dingin dan segar di mulut. Kandungan air dalam buah
anggur juga akan lebih bertahan lama di mulut ketika dibekukan,
sehingga sensasi rasa haus akan berkurang.
c. Sikat gigi
Menyikat gigi merupakan prosedur rutin yang dapat dilakukan oleh
setiap orang. Tujuan dari menyikat gigi antara lain untuk memelihara
kesehatan mulut terutama gigi dan gusi, menimbulkan rasa segar di mulut
dengan menambahkan pasta gigi, mencegah tertumpuknya sisa-sisa
makanan pada sela-sela gigi yang dapat menjadi karies gigi, dan
menyikat gigi dengan pasta gigi dapat membantu melembabkan
permukaan mulut, sehingga dapat mencegah terjadinya xerostomia
(Winatha, 2014).

Xerostomia merupakan salah satu gejala yang sering muncul pada pasien
PGK. Xerostomia didefinisika sebagai perasaan mulut kering. Gejala ini
muncul karena menurunnya aliran saliva di rongga mulut. Xerostomia
dilaporkan sering membuat pasien meningkatkan frekuensi minum.
Xerostomia juga dapat menyebabkan gangguan kesehatan mulut dari
pasien seperti bau mulut dan stomatitis (Bruzda-Zwiech, Szczepanska &
Zwiech, 2013).
19

d. Mengunyah permen karet rendah gula


Bots, Brand, Veerman, dkk. (2005), dalam penelitiannya menyimpulkan
bahwa mengunyah permen karet dapat digunakan untuk mengurangi rasa
haus yang disebabkan oleh mulut kering karena berkurangnya saliva di
mulut. Permen karet yang dikunyah selama lebih dari 10 menit dan
dilakukan 6x per hari dapat merangsang sekresi saliva oleh kelenjar
saliva di mulut. Saliva yang terakumulasi di mulut akan membasahi
mulut, sehingga hal ini dapat menurunkan sensasi rasa haus yang muncul
akibat mulut kering (Said & Mohammed, 2013).

Proses mastiktasi dan rasa permen karet dapat merangsang sekresi saliva.
Kelenjar saliva yang tidak dirangsang akan menghasilkan saliva
sebanyak 0,4 ml/menit. Adanya proses mengunyah dapat meningkatkan
sekresi saliva sebanyak 10-12 kali lipat, sehingga merupakan keuntungan
tersendiri mengunyah permen karet dalam usaha menurunkan rasa haus
yang muncul akibat program pembatasan cairan (Arfany, Armiyati &
Kusuma, 2015).
e. Berkumur
Salah satu fungsi berkumur adalah untuk membersihkan rongga mulut.
Akan tetapi pada keadaan PGK, berkumur berguna membasahi rongga
mulut yang berfungsi menghindarkan mulut kering yang pada akhirnya
mengurangi rasa haus. Gerakan berkumur juga berfungsi untuk
merangsang otot-otot bibir, lidah, dan pipi untuk berkontraksi. Adanya
kontraksi otot-otot tersebut, maka kelenjar saliva akan terangsang untuk
menghasilkan saliva. Adanya saliva di mulut akan mencegah mulut dari
erosi dan kering, serta mengurangi rasa haus (Pratama, 2014).

Menurut Nirmaladewi, Handajani & Tandelilin (2008), berkumur yang


dilakukan secara efisien dan disertai dengan kemauan yang besar, dan
dengan cara yang baik akan dapat memberikan dampak yang baik bagi
otot-otot yang ada di mulut. Dia menambahkan bahwa berkumur dapat
20

dilakukan dengan media aquabidest sebanyak 5 ml dan dilakukan selama


30 detik.

5. Instrumen pengukuran rasa haus


Penelitian tentang rasa haus sudah banyak dilakukan oleh pendahulu.
Peneliti pendahulu menggunakan bermacam-macam instrumen dalam
mengukur rasa haus. Beberapa instumen yang dapat digunakan untuk
mengukur rasa haus, antara lain:
a. Visual Analogy Scale (VAS)
Instrumen ini sudah digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
Igbokwe & Obika (2007) telah melakukan uji reliabilitas terhadap
instrumen ini dan hasilnya VAS dinyatakan reliabel untuk mengukur rasa
haus dengan nilai Cronbach’s alpha coefficient= 0,96.

Seberapa berat haus yang Anda rasakan sekarang?

0 10
“Tidak haus sama sekali” “Sangat haus sekali”
Gambar 2.1 Visual analogy scale
Sumber: Millard-Stafford, Wendland, O’Dea, dkk. (2012)

b. Thirst Distres Scale (TDS)


Instrumen ini sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Uji reliabliitas
menunjukkan nilai Cronbach’s alpha coefficient= 0,78 (Kara, 2013).
Item yang ditanyakan dalam TDS adalah sebagai berikut.
Tabel 2.2 Thirst Distres Scale
No Item pertanyaan
1 Rasa haus saya menyebabkan saya merasa tidak nyaman
2 Rasa haus saya membuat saya minum sangat banyak
3 Saya sangat tidak nyaman ketika saya haus
4 Mulut saya terasa sangat kering ketika saya haus
5 Saliva saya sangat sedikit ketika saya haus
6 Ketika saya kurang minum, saya akan sangat kehausan
Sumber: Kara (2013)
21

TDS digunakan untuk mengukur haus pasien yang dihubungkan dengan


ketidaknyamanan pasien sejak dialisis terakhir. Masing-masing item
pertanyaan TDS diberikan skala Likert dengan rentang dari 1 (sangat
tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Jumlah skor yang mungkin
didapatkan adalah 6-30, yang mana semakin tinggi skor berarti sangat
stres terhadap rasa haus.

c. Dialysis Thirst Inventory (DTI)


Instrumen ini dapat digunakan untuk mengukur haus sebelum dan
sesudah dilakukan tindakan hemodialisis. DTI merupakan sebuah
kuesioner yang telah divalidasi yang terdiri dari 5 item, yang mana setiap
item memiliki 5 point yang berasal dari skala Likert (tidak pernah=1
sampai sangat sering=5). Respon dari kelima item tersebut kemudian
dijumlahkan, yang mana hasilnya berupa skor sebagai berikut: 5= tidak
pernah haus, 10 hampir tidak pernah haus, 15= kadang-kadang, 20=
hampir sering haus, dan 25= sangat sering haus (Said & Mohammed,
2013). Beberapa pertanyaan DTI dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.3 Dialysis Thirst Inventory
NNo Item pertanyaan
1 Haus adalah masalah untuk saya
2 Saya merasa haus sepanjang hari
3 Saya merasa haus sepanjang malam
4 Kehidupan sosial saya dipengaruhi oleh haus saya
5 Saya haus sebelum sesi dialisis
6 Saya haus selama sesi dialisis
7 Saya haus setelah sesi dialisis
Sumber: Said & Mohammed (2013)

Masing-masing dari item pertanyaan diberikan skala Likert dengan tipe


skala (1= tidak pernah hingga 5= sangat sering). Laporan pasien yang
mengatakan “tidak pernah dan “hampir tidak pernah” dikategorikan
“tidak ada haus”, “kadang-kadang” hingga “sangat sering” dikategorikan
sebagai “ada haus” (Said & Mohammed, 2013).
22

C. Kerangka Teori

Penyakit Ginjal Overhidrasi Restriksi Cairan


Kronika (PGK)

Munculnya
Rasa haus ↓
Rasa Haus

Mengulum es batu

Frozen grapes

Sikat gigi

Mengunyah permen
karet atau permen
mint atau permen
bebas gula

Bilas mulut dengan


obat kumur dingin

Skema 2.1 Kerangka Teori


(Lewis, Dirksen, Heitkemper, dkk., 2011; Sulistyaningsih, 2011; Guyton, 2012;
DeBruyne, Pinna & Whitney, 2012)

D. Kerangka Konsep

Variabel independent Variabel dependent

Mengulum es batu
Penurunan rasa haus

Berkumur air matang

Skema 2.2 Kerangka Konsep


23

E. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang diteliti meliputi:
1. Variabel independent (bebas)
Variabel independent dalam penelitian ini adalah manajemen rasa haus yang
terdiri dari mengulum es batu dan berkumur air matang.
2. Variabel dependent (terikat)
Variabel dependent dalam penelitian ini adalah penurunan rasa haus pasien
PGK di RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

F. Hipotesis
Peneliti mengajukan beberapa hipotesis penelitian pada penelitian ini.
Hipotesis disesuaikan dengan tujuan khusus penelitian. Hipotesis alternatif
(Ha) dalam penelitian ini, antara lain:
1. Ada perbedaan skor haus sebelum dan sesudah mengulum es batu.
2. Ada perbedaan skor haus sebelum dan sesudah berkumur air matang.
3. Ada perbedaan efektifitas mengulum es batu dan berkumur air matang
terhadap penurunan rasa haus pasien PGK di RSUP. Dr. Kariadi Semarang.

Anda mungkin juga menyukai