Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Scabies merupakan penyakit kulit yang dapat ditularkan lewat kontak

langsung manusia.1 Scabies juga merupakan penyakit kulit dengan

insidensi yang tinggi di seluruh dunia, terutama di daerah beriklim tropis

dan subtropis. Selain itu morbiditas dan mortalitas penyakit kulit ini pada

dasarnya disebabkan oleh infeksi bakteri sekunder.2

Prevalensi scabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus

per tahun. Prevalensi scabies di negara berkembang lebih tinggi dari di

negara maju. Di Inggris pada tahun 1997-2005, scabies terjadi pada 3

orang per 1.000 penduduk. Di Spanyol pada tahun 2012, prevalensi

scabies pada imigran adalah 4,1%. Prevalensi scabies di daerah endemis di

India adalah 13% dan di daerah kumuh Bangladesh prevalensi pada anak

berusia 6 tahun adalah 29%. Pada populasi umum, prevalensi scabies di

Kamboja adalah 43% dan di Chile prevalensi scabies sekitar 1-5%. Di

Timor Leste, survei scabies di empat kabupaten pada tahun 2010

menunjukkan prevalensi 17,3%.3

1
Luthfa, dkk, 2019, Life Behavior Determines Scabies Disease, 67-75.
2
Bernigaud, charlotte samarawickrama, 2019, The Challege Of Developing A Single-Dose
Treatment For Scabies : Journal Trends In Parasitology, 1-13.
3
Sungkar, Saleha Park, 2016, Scabies, Jakarta, FKUI.

1
2

Prevalensi scabies di Indonesia sebesar 4,60% -12,95% dan

penyakit scabies ini menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit

tersering.4 Prevelensi scabies provinsi Jawa Timur terdapat 72.500 (0,2%)

dari jumlah penduduk 36.269.500 jiwa yang menderita scabies.5 Menurut

penelitian (Murlistyarini, 2015) Prevalensi di negara berkembang masih

tinggi terutama di tempat-tempat padat penduduk seperti dipesantren,

seperti dipondok Pesantren Lamongan mencapai 73,3% dan hasil tersebut

menunjukkan angka kejadian scabies sering berada di lingkungan

pesantren.6

Berdasarkan study pendahuluan pada bulan desember tahun 2019 di

pondok pesantren Darullughah Wal Karomah Sidomukti Kraksaan

Probolinggo, dari study pendahuluan hasil data santri dengan scabies yang

diperoleh peneliti pada bulan november-desember, siswa MA terdapat 91

siswa dengan scabies 13 siswa, siswa SMK terdapat 105 siswa dengan

scabies 6 siswa, siswa MTs terdapat 144 siswa dengan scabies 40 siswa,

siswa SMP terdapat 101 dengan scabies 24 siswa, jumlah santri

keseluruhan terdapat 441 santri dengan scabies terdapat 83 santri.

Scabies merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

tungau Sarcoptes scabei var hominis.7 Penyebab skabies juga terjadi

4
Mayrona, Sindy Tia Subchan, 2018, Pengaruh Sanitasi Lingkungan Terhadap Prevelenvsi
Terjadinya Scabies di Pondok Pesantren : Jurnal Kedokteran di Ponogoro, Vol.7, No.1, 100-112.
5
Sylvie Puspita, Dkk, 2018, Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian Scabies Pada Santri :
Jurnal Keperawatan, Vol.2, No.3, 33-38.
6
Murlistyarini, Sinta, 2015, Intisari Ilmu Kesehatan Dan Kelamin, Jakarta, UB Press.
7
Hilma, Dkk, 2014, Faktot-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Scabies di Pondok
Pesantrenmlangi Nogotorto Gamping Sleman Yogyakarta : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Indonesia, Vol.6, No.3, 148-157.
3

karena personal hygiene yang kurang baik terutama di kalangan santri. 8

Seperti kondisi lingkungan pesantren dan kepadatan hunian dapat

mempengaruhi kesehatan santri, diantaranya dalam penularan scabies.9

Memelihara personal hygiene berarti tindakan menjaga kebersihan dan

kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya.10

Personal hygiene atau kebersihan diri perorangan juga perlu

diaplikasikan pada diri pribadi untuk meningkatkan derajat kesehatan. 11

Adapun faktor yang berperan dalam tingginya prevalensi scabies terkait

dengan personal hygiene yang kurang, masih banyak orang yang tidak

memperhatikan personal hygiene karena hal-hal seperti ini dianggap

tergantung kebiasaan seseorang, jadi personal hygiene yang buruk dapat

menyebabkan tubuh terserang berbagai penyakit seperti penyakit kulit.12

Adapun contoh kejadian scabies yang berhubungan dengan personal

hygiene berdasarkan penelitian (Ma’rufi, 2005) ialah pada santri Pondok

Pesantren Lamongan, penilaian hygiene perorangan dalam penelitian

tersebut meliputi frekuensi mandi, memakai sabun atau tidak, penggunaan

pakaian dan handuk bergantian, dan kebersihan alas tidur. Perilaku yang
8
Mayrona, Sindy Tia Subchan, 2018, Pengaruh Sanitasi Lingkungan Terhadap Prevelenvsi
Terjadinya Scabies di Pondok Pesantren : Jurnal Kedokteran di Ponogoro, Vol.7, No.1, 100-112.
9
Sumiatin, Dkk, 2017, Effectiveness Of Health Education On Attitude About Clean And Healthy
In Prevention Scabies : Jurnal Ners And Midwife, Vol.4, No.3, 224-227.
10
Susanto, Dkk, 2017, Perubahan Perilaku Santri (Study Kasus Alumni Pondok Pesantren
Salafiyah di Desa Langkap Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo) : Jurnal Pendidikan Islam,
Vol.2, No.1, 1.
11
Herdyana, Erma Qomari, 2016, Perbedaan Sikap Remaja Putri Usia 13-15 Tahun Sebelum Dan
Sesudah Diberi Penyuluhan Tentang Personal Hygiene Di Pondok Pesantren Wali Barokah Kediri
: Jurnal Kebidanan, Vol.5, No.2, 67-75.
12
Desmawati Dewi, Dkk, 2015, Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Dengan
Kejadian Scabies di Pondok Pesantren Al-Kautsar Pekanbaru : Jurnal Universitas Riau, Vol.2,
No.1, 628-637.
4

mendukung santri mudah terserang scabies karena sering memakai baju

atau handuk bergantian dengan teman serta tidur bersama dan berhimpitan

dalam satu tempat tidur.13

Berdasarkan fenomena yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan

bahwa klien dengan scabies banyak dialami oleh santri karena personal

hygienenya yang kurang baik. Seperti penelitiannya (Desmawati, Dewi,

hasnah, 2015) bahwa santri yang terkena scabies cenderung karena

frekuensi mandi, memakai sabun atau tidak, serta menggunakan pakaian

dan handuk yang bergantian. Dengan begitu penulis tertarik untuk

melakukan penelitian kualitatif pada klien scabies untuk lebih mengetahui

tentang pengalaman personal hygiene pada santri dengan scabies di

pondok pesantren Darullughah Wal Karomah Sidomukti Kraksaan

Probolinggo.

B. Rumusan Masalah

Personal hygiene merupakan memelihara tindakan menjaga kebersihan

dan kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya,

mereka yang personal hygienenya tidak baik akan sangat mudah terlular

penyakit seperti scabies, salah satu contoh personal hygiene yang tidak

baik ialah mereka yang pola hidupnya tidak di biasakan bersih seperti

mandi tidak memakai sabun, pakaian atau handuk yang dipakai secara

bergantian, dan juga tempat yang pengap tanpa ventilasi. Berdasarkan

13
Mufidah, Dkk, 2016, Hubungan Personal Hygiene Dengan Kejadian Scabies Pada Santri di
Pondok Pesantren Al-Falah Putra Kecamatan Liang Anggang : Journal Of Health Science And
Prevention, Vol.1, No.1, 1-9.
5

uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik bagaimana mengeksplorasi

pengalaman personal hygiene pada santri dengan scabies ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mendapatkan gambaran secara mendalam dan menyeluruh tentang

pengalaman personal hygiene pada santri dengan scabies

2. Tujuan Khusus

a) Tereksplorasinya informasi tentang personal hygiene pada santri

yang terkena scabies di pondok pesantren.

b) Tereksplorasinya informasi tentang kebersihan lingkungan santri

yang terkena scabies di pondok pesantren.

c) Tereksplorasinya informasi tentang penanganan santri yang terkena

scabies di pondok pesantren.

d) Tereksplorasinya informasi tentang dampak yang timbul pada

santri yang terkena scabies di pondok pesantren.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Profesi Keperawatan

Lebih mengetahui pengalaman personal hygiene pada santri

dengan scabies.

2. Bagi Responden

Responden mendapatkan pengetahuan betapa pentingnya menjaga

personal hygiene untuk mencegah terjadi suatu penyakit.


6

3. Bagi Peneliti

Peneliti diharapkan lebih memahami dan mengetahui pengalaman

personal hygiene pada santri dengan scabies, sehingga peneliti lebih

tau pentingnya menjaga personal hygiene pada klien yang terkena

scabies.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Konsep Pengalaman

a. Definisi pengalaman

Pengalaman diartikan sebagai sesuatu yang pernah dialami,

dijalani, dirasakan, ditanggung dan sebagainya).14 Ciri pokok

pengalaman manusia adalah berkaitan dengan objek tertentu diluar

diri kita sebagai subjek. Dalam setiap pengalaman terjalin

hubungan antara subjek yang mengalami dan objek yang dialami.

Objek itu bisa benda, orang, peristiwa, hal, ataupun gagasan.

Dalam pengalaman, manusia selalu berhadapan dengan sesuatu

yang lain diluar diri. Dengan mengalami aneka ragam hal dalam

hidup, pengalaman manusia terus bertambah seiring dengan

bertambahnya umur dan tersedianya kesempatan manusia dapat

mengalami banyak hal baru yang menambahkan pada apa yang

sampai saat ini belum pernah dialami.15

b. Pengalaman santri scabies

Pengalaman santri dengan scabies di pondok pesantren

didapatkan informasi bahwa hampir keseluruhan santri mengalami

gatal-gatal pada kulit. Keluhan gatal dialami santri pada tangan,

14
Santoso, Sanarto, 2016, Skin Infection It’s Must Know Dissase, Malang UB Press ; 260
15
Sudarmita, 2002, Epistemologi Pengantar Filsafat Pengetahuan Dasar, Yogyakarta.

7
8

kaki dan dapat menular dari santri satu ke santri yang lain.

Keadaan WC dan kamar mandi yang kotor, kondisi pesantren yang

kumuh, kebiasaan santri menggantung pakaian di kamar, dan

kepadatan hunian lingkungan pesantren ditinjau dari jumlah dan

luas kamar, satu kamar di huni oleh 22 sampai 25 santri dengan

tempat yang relatif sempit memberikan resiko penyebaran

penyakit scabies. Kontak langsung dengan penderita scabies bisa

terjadi di pondok pesantren ini karena tidak ada jarak kasur antara

santri yang satu dengan santri lainnya dan tidur secara berhimpitan

dengan jumlah yang banyak.16

2. Konsep Scabies

a. Definisi Scabies

Scabies merupakan penyebab kulit yang menyebabkan gatal

dan sangat menular disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes

scabie.17 Scabies (bahasa latin = keropeng, kudis, gatal) disebabkan

oleh tungau kecil berkaki delapan (Sarcoptes scabie) dan

didapatkan melalui kontak fisik yang erat dengan orang lain yang

menderita penyakit scabies.18 Scabies adalah penyakit kulit yang

sangat menular dan disebabkan oleh kutu yang sangat kecil dan

hanya dapat dilihat menggunakan kaca pembesar atau mikroskop.19

16
Luthfa, dkk, 2019, Life Behavior Determines Scabies Disease, 67-75.
17
Andareto, Obi, 2015, Penyakit Menular di Sekitar Anda Edisi 1, Jakarta, Pustaka Ilmu Medika.
18
Brown, Robin Graham, 2009, Lecture Notes On Dermatologi Edisi 8, Jakarta, Erlangga.
19
Desmawati Dewi, Dkk, 2015, Hubungan Personal Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Dengan
Kejadian Scabies di Pondok Pesantren Al-Kautsar Pekanbaru : Jurnal Universitas Riau, Vol.2,
No.1, 628-637
9

Scabies juga di definisikan sebagai infetasi kulit oleh serangga

parasistik dari spesies sarcoptes scabei var humanus yang saat ini

oleh badan dunia dianggap sebagai pengganggu dan perusak

kesehatan yang tidak dapat lagi dianggap hanya sekedar

penyakitnya orang miskin karena penyakit ini, kini telah merebak

menjadi penyakit kosmopolit yang menyerang semua tingkat

sosial.20

b. Sejarah Scabies

Scabies adalah penyakit kuno yang telah lama dikenal,

setidaknya selama 2500 tahun terakhir. Kata skabies berasal dari

bahasa Latin scabere yang berarti menggaruk karena gejala utama

scabies adalah rasa gatal hebat sehingga penderita sering

menggaruk. Hieroglif dan bukti-bukti arkeologi Mesir

menunjukkan bahwa scabies telah menginfestasi manusia sejak

berabad-abad yang lalu. S.scabiei dideskripsikan dalam risalah

ilmiah pada tahun 1100 SM, namun kaitannya dengan penyakit

kulit baru terungkap 500 tahun kemudian. Aristoteles (384-322

SM) adalah orang pertama yang mengidentifikasi tungau penyebab

scabies dan menyebutkan sebagai lice in the flesh.21

Kepustakaan tertua menyatakan orang pertama yang

menguraikan scabies adalah Aboumezzan Abdel Malek ben

20
Djaenudin Natadisastra, 2009, Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang di
Serang Edisi 1, Jakarta, EGC.
21
Sungkar, Saleha Park, 2016, Scabies, Jakarta, FKUI.
10

Zohar14 yang lahir di Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di

Maroko pada tahun 1162. Dokter tersebut menulis sesuatu yang

disebut soab yang hidup di kulit dan menimbulkan gatal. Bila kulit

digaruk muncul hewan kecil yang sulit dilihat dengan mata

telanjang. Bahkan dikalangan penghuni pondok pesantren, salah

satu komunitas yang hampir selalu dijumpai pasien yang mengidap

scabies.22

c. Epidemiologi Scabies

Scabies disebut juga the itch, paman itch, seven year itch

karena gatal hebat yang berlangsung menahun. Di Indonesia

scabies disebut penyakit kudis, gudik, atau buduk. Scabies terdapat

di seluruh dunia dengan prevalensi yang bervariasi, tetapi

umumnya terdapat di wilayah beriklim tropis dan subtropis di

negara berkembang. Siapapun yang kontak dengan S.scabiei dapat

terinfestasi scabies, meskipun demikian scabies lebih banyak

terdapat pada penduduk yang memiliki faktor risiko tinggi untuk

terinfestasi scabies. Di masyarakat yang memiliki risiko tinggi

scabies prevalensi dapat mencapai 80%.23

Scabies memiliki hubungan erat dengan kebersihan personal

dan lingkungan tempat tinggal sehingga sering terjadi pada orang

yang tinggal bersama di pemukiman padat penghuni misalnya di

perkampungan padat penduduk atau di pondok pesantren dengan

22
Santoso, Sanarto, 2016, Skin Infection It’s Must Know Dissase, Malang UB Press ; 260.
23
Sungkar, Saleha Park, 2016, Scabies, Jakarta, FKUI.
11

kepadatan penghuni yang tinggi. Wabah scabies sering dijumpai di

lingkungan padat penghuni dengan kontak kulit yang erat dan lama

seperti di tempat penitipan anak, panti asuhan, tempat perawatan

orang usia lanjut, penjara, pengungsian, dan pesantren bahkan di

rumah sakit.

d. Faktor Resiko Scabies

Keberadaan scabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia,

jenis kelamin, tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi

bersama-sama, kepadatan penghuni, tingkat pendidikan dan

pengetahuan tentang scabies, budaya setempat, serta sosio-

ekonomi.24

1) Usia

Scabies dapat ditemukan pada semua usia tetapi lebih sering

menginfestasi anak-anak dibandingkan orang dewasa.

2) Jenis kelamin

Scabies dapat menginfestasi laki-laki maupun perempuan,

tetapi laki-laki lebih sering menderita scabies. Hal tersebut

disebabkan laki-laki kurang memerhatikan kebersihan diri

dibandingkan perempuan. Perempuan umumnya lebih peduli

terhadap kebersihan dan kecantikannya sehingga lebih merawat

diri dan menjaga kebersihan dibandingkan laki-laki.

24
Sungkar, Saleha Park, 2016, Scabies, Jakarta, FKUI.
12

3) Tingkat Kebersihan

Memelihara kebersihan diri pada seseorang harus menyeluruh,

mulai dari kulit, tangan, kaki, kuku, sampai ke alat kelamin.

Cuci tangan sangat penting untuk mencegah infeksi bakteri,

virus, dan parasit.

4) Penggunaan Alat Pribadi Bersama

Penggunaan alat pribadi bersama-sama merupakan salah satu

faktor risiko scabies. Kebiasaan tukar menukar barang pribadi

seperti sabun, handuk, selimut, sarung dan pakaian bahkan

pakaian dalam merupakan perilaku santri sehari-hari.

5) Kepadatan Penghuni

Paktor utama risiko scabies adalah kepadatan penghuni rumah

dan kontak yang erat. Prevalensi scabies dua kali lebih tinggi di

pemukiman kumuh perkotaan yang padat penduduk

dibandingkan di kampung nelayan yang tidak padat.

6) Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan tentang Scabies

Secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang

semakin bertambah pengetahuannya termasuk pengetahuan

kesehatan.

7) Budaya

Budaya masyarakat dapat mempengaruhi prevalensi penyakit

di suatu daerah. Di daerah tertentu, orang sakit tidak boleh

dimandikan karena kuatir akan memperparah penyakitnya.


13

Oleh karena itu, jika seseorang menderita scabies, maka tidak

boleh mandi dan cuci tangan bahkan tidak boleh terkena air

sama sekali. Budaya seperti itu perlu dihentikan dengan

memberikan penyuluhan kepada masyarakat.

8) Tingkat Sosio-Ekonomi

Untuk menjaga kebersihan diri diperlukan berbagai alat

pembersih seperti pasta gigi, sampo, dan sabun, namun karena

santri biasanya berasal dari keluarga dengan tingkat sosio-

ekonomi kurang maka santri merasa berat untuk membeli alat-

alat pembersih diri. Karena tingkat ekonomi yang kurang,

santri juga tidak dapat tidur di kamar sendiri melainkan harus

bersama temannya.

e. Patofisiologi

Seorang yang terinfeksi kuman atau kutu sarcoptes scabie var.

homonis dapat terkena scabies. Sarcoptes betina yang berada

dilapisan kulit stratum corneum dan lucidum membuat terowongan

ke dalam lapisan kulit. Di dalam terowongan inilah sarcoptes

betina bertelur dan dalam waktu singkat telur tersebut menetas

menjadi hypopi atau sarcoptes muda. Akibat terowongan yang

digali sarcoptes betina dan hypopi yang memakan sel-sel di lapisan

kulit itu, penderita mengalami rasa gatal, tungau tersebut

mengeluarkan telur scabies dapat menularnya 2-3 butir sehari

selama 2 bulan. Kemudian kutu betina tersebut akan mati.


14

Larva atau telur menetes dalam waktu 3-4 hari dan berlanjut

lewat stadium larva serta nimfa menjadi bentuk tungau dewasa

dalam tempo 10 hari. Cara penularan scabies dapat melalui kontak

langsung dan tidak langsung misalnya terjebak tangan,tidur

bersama dan hubungan seksual, sedangkan tidak langsung

misalnya melalui pakaian, handuk, seprei bantal.25

f. Etiologi Scabies

Scabies penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi S.scabiei

varietas hominis. Parasit tersebut termasuk kelas arachnida,

subkelas acarina, ordo astigmata, dan famili sarcoptidae. Selain

varietas hominis, S.scabiei memiliki varietas binatang namun

varietas itu hanya menimbulkan dermatitis sementara, tidak

menular, dan tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya di manusia.26

S.scabiei bersifat host specific dan sifat itu terjadi karena

perbedaan fisiologi tungau dan variabel hospes seperti bau, diet,

faktor-faktor fisik dan respons imun. Arlian melakukan penelitian

in vivo menggunakan S.scabiei varietas suis, canis dan hominis.

Pada penelitian tersebut S.scabiei varietas canis berhasil ditransfer

dari anjing ke kelinci tetapi tidak dapat ditransfer ke babi, tikus,

mencit dan marmut. Arlian juga gagal mentransfer S.scabiei

varietas suis dan varietas hominis ke anjing dan kelinci yang

25
Scholastica Fina Aryu Puspita, Ns., M. K. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Integumen (S. P. Mariyatul Qibtiyah., ed.). Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
26
Sungkar, Saleha Park, 2016, Scabies, Jakarta, FKUI.
15

merupakan dua hospes paling peka terhadap S.scabiei varietas

canis.

S.scabiei berbentuk lonjong dan gepeng, berwarna putih kotor,

punggungnya cembung, bagian dadanya rata, dan tidak memiliki

mata. Tungau betina berukuran lebih besar dibandingkan tungau

jantan, yakni 0,3-0,45mm sedangkan tungau jantan berukuran 0,2-

0,25mm. S.scabiei memiliki dua segmen tubuh yaitu bagian

anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang disebut

notogaster. Larva mempunyai tiga pasang kaki sedangkan nimfa

memiliki empat pasang kaki. Tungau dewasa mempunyai empat

pasang kaki, dua pasang kaki di bagian depan dan 2 pasang kaki di

bagian belakang. Dua pasang kaki bagian belakang tungau betina

dilengkapi dengan rambut dan pada tungau jantan hanya pasangan

kaki ketiga saja yang berakhir dengan rambut sedangkan pasangan

kaki keempatnya dilengkapi dengan ambulakral (perekat). Alat

reproduksi tungau betina berbentuk celah di bagian ventral

sedangkan pada tungau jantan berbentuk huruf Y yang terletak di

antara pasangan kaki keempat.27

g. Gejala dan Klinis

Gatal merupakan gejala klinis utama pada scabies. Rasa gatal

pada masa awal infestasi tungau biasanya terjadi pada malam hari

(pruritus nokturna), cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal

terasa di sekitar lesi, namun pada skabies kronik gatal dapat


27
Sungkar, P. S., & Park, S. (2016). Skabies.
16

dirasakan hingga ke seluruh tubuh. Gatal disebabkan oleh

sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang

dikeluarkan pada waktu membuat terowongan. Masa inkubasi dari

infestasi tungau hingga muncul gejala gatal sekitar 14 hari.28

Ketika seseorang menderita penyakit scabies untuk pertama

kalinya, akan memakan waktu empat sampai enam minggu untuk

kulit bereaksi.

Gejala yang paling umum adalah :

1) Rasa gatal, terutama pada malam hari

2) Bentol atau bintil merah seperti jerawat

3) Kulit lecet atau melepuh

4) Kulit luka yang disebabkan oleh garukan

h. Tahapan Gejala

1) Gejala awal dari penyakit scabies

Banyak gejala awal dan tanda-tanda penyakit scabies mirip

dengan berbagai keluhan ringan. Seseorang tidak dapat

mengunjungi dokter mereka percaya, misalnya, bahwa mereka

memiliki flue atau penyakit yang sembuh sendiri lainnya.29

Beberapa gejala non-spesifik scabies mungkin termasuk :

Umumnya merasa tidak sehat

28
Sungkar, Saleha Park, 2016, Scabies, Jakarta, FKUI.
29
Andareto, O. (2015). Penyakit Menular di Sekitar Anda (pertama; R. D. Aryanti, ed.).
Jakarta.
17

a) Kelelahan

b) Kehilangan nafsu makan

c) Mual

d) Diare

e) Deman

f) Nyeri sendi dan otot

g) Kecil pinpoint perdaran di sekitar folikel rambut terlihat di

kulit

2) Gejala akhir dari penyakit scabies

Gejala dan tanda-tanda penyakit scabies yang parah lebih

spesifik dan mungkin termasuk :

a) Bengkak, kenyal dan keunguan gusi yang rentan terhadap

perdarahan

b) Gigi longgar

c) Mata menonjol (proptosis)

d) Perdarahan ke dalam kulit (memar parah dan mudah)

e) Bersisik, kering dan kulit kecoklatan

f) Rambut yang sangat kering yang ikal dan terputus dekat

dengan kulit

g) Luka lambat penyembuhan

i. Klasifikasi

Scabies dibedakan menjadi beberapa antara lain :30

30
Scholastica Fina Arya Puspita, 2009, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Integumen, yogyakarta, Putaka Baru Press ; 160.
18

1) Scabies cultivated

Scabies cultivated ditandai dengan lesi berupa papul dan

terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar

ditemukan. Kutu biasanya hilang dengan mandi secara teratur.

2) Scabies nodular

Pada bentuk ini lesi berupa nodus cokelat kemerahan yang

gatal. Nodus ini timbul akibat reaksi hipersensetivitas terhadap

tungau scabies. Biasanya terhadap didaerah tertutup, terutama

pada genetalia laki-laki, inguinal, dan aksila. Nodus ini dapat

menetap beberapa minggu hingga lebih dari satu bulan bahkan

satu tahun, meskipun telah diberi pengobatan anti-scabies dan

kortikosteroid.

3) Scabies pada bayi dan anak

Lesi scabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh,

termasuk seluruh kepala,leher,telapak tangan, dan telapak kaki.

Akan tetapi, terowongan jarang ditemukan karena sering terjadi

infeksi sekunder berupa impetigo atau eksim. Pada bayi, lesi

trdapat di muka.

4) Scabies pada klien bedrest


19

Penderita penyakit kronis dan oranag tua yang terpaksa harus

tinggal di tempat tidur dapat menderita scabies yang lesinya

terbatas.

5) Scabies incognito

Scabies incognito sering ditunjukkan dengan gejala klinis yang

tidak biasa, distribusi atopik, dan lesi yang luas. Pemakaian

obat steroid topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala

dan tanda scabies, tetapi tanda dan gejala tetap ada dan dapat

pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hak ini mungkin

disebabkan oleh penurunan respons imun seluler.

6) Scabies yang ditularkan oleh hewan

Sarcoptes scabiei varian canis dapat menyerang manusia

melaui hewan. Misalnya peternak dan gembala. Gejala yang

ditimbul terowongan, dan lesi timbul pada tempat-tempat

kontak. Scabies ini akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan

tersebut dan mandi.

7) Scabies norwegia atau scabies krustosa

Scabies norwigia terjadi akibat defisiensi imunologik sehingga

sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau sehingga

tungau dengan mudah berkembang biak. Scabies ini ditandai

oleh lesi yang luas dengan krusta, distrofi kuku, skuama

geeneralisat, dan hiperkeratosis yang tebal. Biasanya terdapat

pada kulit kepala yang berambut, telinga, bokong, siku, lutut,


20

telapak tangan, dan kaki. Lain halnya dengan scabies iasa,

rasa gatal pada penderita scabies norwegia tidak menonjol.

j. Bentuk – Bentuk Scabies

1) Scabies pada Orang Bersih

Scabies pada orang bersih atau scabies of cultivated biasanya

ditemukan pada orang dengan tingkat kebersihan yang

baik.Penderita scabies mengeluh gatal di daerah predileksi

scabies seperti sela-sela jari tangan dan pergelangan tangan.

Rasa gatal biasanya tidak terlalu berat.31

2) Skabies Incognito

Skabies incognito sering menunjukkan gejala klinis yang tidak

biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.51

Bentuk incognito terdapat pada scabies yang diobati dengan

kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi

tungau tetap ada dan masih dapat menularkan scabies. Di sisi

lain, pengobatan steroid topikal jangka panjang mengakibatkan

lesi bertambah parah karena penurunan respons imun seluler.

3) Scabies Bulosa

Scabies yang menginfestasi bayi dan individu immunocompro

mised memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami

skabies bulosa. Bula yang terbentuk mirip dengan bula pada

pemfigoid bulosa yaitu penyakit kulit yang ditandai dengan

31
Sungkar, Saleha Park, 2016, Scabies, Jakarta, FKUI.
21

lepuh berukuran besar. Walaupun secara klinis dan

histopatologis scabies bulosa mirip dengan pemfigoid bulosa,

keduanya tidak mirip apabila diperiksa dengan

immunofluorensi baik secara langsung maupun tidak langsung.

4) Scabies yang Ditularkan Melalui Hewan

Scabies dapat menginfeksi binatang seperti anjing, kuda,

kambing, kelinci, monyet dan lain-lain. Sumber utama scabies

pada binatang di Amerika adalah anjing. Penyebab scabies

pada binatang mirip dengan yang menginfestasi manusia tetapi

berbeda strain. Manusia dapat menularkan scabies ke binatang

peliharaan, namun yang lebih sering adalah infestasi silang dari

binatang peliharaan seperti anjing ke manusia.

5) Scabies pada Orang Terbaring di Tempat Tidur

Scabies pada orang yang terbaring di tempat tidur (bedridden)

banyak dijumpai pada orang yang menderita penyakit kronik

atau orang berusia lanjut yang berbaring di tempat tidur dalam

jangka waktu lama. Lesi pada scabies bedridden hanya

terbatas.

6) Scabies pada Acquired Immunodeficiency Syndrome

Pada penderita AIDS sering dijumpai scabies atipik dan

pneumonia Pneumocystis carinii. Diagnosis scabies atipik

dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk adanya infeksi

oportunistik-AIDS.
22

7) Scabies yang Disertai Penyakit Menular Seksual Lain

Scabies dapat disertai penyakit menular seksual lain seperti

sifilis, gonorhea, herpes genitalis, pedikulosis pubis, dan

sebagainya. Oleh karena itu, apabila ditemukan lesi skabies di

daerah genitalia perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa

biakan untuk gonore dan pemeriksaan serologis untuk sifilis

pada orang-orang yang berisiko tinggi.49 Pada skabies tipikal

terowongan dan papul sering ditemukan di glans penis,

skrotum, dan penis.

8) Scabies pada Bayi dan Orang Lanjut Usia Lesi scabies pada

bayi dan orang lanjut usia dapat timbul di telapak tangan,

telapak kaki, wajah, dan kulit kepala. Pada orang berusia lanjut

infestasi tungau akan menjadi lebih berat. Lesi kulit pada

skabies biasanya khas dan memberikan rasa gatal hebat

terutama malam hari akan tetapi pada bayi, anak kecil dan

orang berusia lanjut gambaran skabies dapat tidak khas. Lesi

atipik sering menyerupai dermatitis seboroik, dermatitis

eksematosa, impetigo, gigitan serangga, dan langerhans cell

histiocytosis (LCH).

9) Scabies Krustosa

Scabies krustosa ditandai dengan lesi berupa krusta yang luas,

skuama generalisata dan hiperkeratosis yang tebal. Scabies

krustosa pertama kali dilaporkan oleh Danielsen dan Boeck


23

pada tahun 1848 pada seorang warga Norwegia yang

mengalami morbus hansen (kusta/lepra) sehingga scabies

krustosa disebut juga Norwegian scabies.

k. Cara Penularan Scabies

Penyebaran scabies biasanya membutuhkan waktu lama,

kontak kulit ke kulit yang memberikan waktu tungau merangkak

dari satu orang ke orang lain. Barang-barang pribadi bersama,

seperti tempat tidur atau handuk, mungkin bisa menjadi penyebab.

Scabies dapat di tularkan dengan mudah antara anggota keluarga

atau pasangan seksual. Tetapi tidak mungkin untuk menyebar

melalui jabat tangan cepat atau pelukan. Tungan scabies tidak bisa

melompat atau terbang, dan merangkan sangat lambat.32

Menurut (Santoso, 2016) sebagian besar penularan scabies

terjadi melaui kontak langsung antara kulit yang mengandung

parasit dengan kulit yang sehat, termasuk ketika berhubungan seks.

Dalam siklus hidup sarcoptes scabie tidak di kenal dengan adanya

vektor, tetapi tungau ini masih dapat hidup hingga tiga hari di luar

lapisan kulit, seperti di bawah kuku, pakaian, handuk, dan

sebagainya. Oleh karenanya penularan juga bisa terjadi melalui

kontak secara tidak langsung, misalnya melalui alat-alat yang di

pakai bersama, seperti handuk, selimut, jaket dan sebagainya.33

32
Andareto, Obi, 2015, Penyakit Menular di Sekitar Anda Edisi 1, Jakarta, Pustaka Ilmu Medika.
33
Santoso, Sanarto, 2016, Skin Infection It’s Must Know Dissase, Malang UB Press ; 260
24

l. Komplikasi

1) Urtikaria

2) Infeksi sekunder

3) Folikulitis

4) Furunkel

5) Infiltrat

6) Eksema infantum

7) Pioderma

8) Impetigo34

m. Penatalaksanaan

1) Permetrin 5% krim

2) Lindane 1% lotion (gamma benzen heksakloid)

3) Krotamiton 10%

4) Sulfur presititatum 5%-10%

5) Benzin benzoat 10% lotion

6) Invermektin 200 g/KgBB

Syarat dan obat ideal ialah obat yang efektif terhadap semua

staduim tungau dengan tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksin,

tidak berbau atau kotor, tidak merusak atau mewarnai pakaiann ,

mudah diperoleh, dan harganya terjangkau. Jenis obat topikal.35

34
Scholastica Fina Arya Puspita, 2009, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Integumen, yogyakarta, Putaka Baru Press ; 160.
35
Murlistyarini, Sinta, 2015, Intisari Ilmu Kesehatan Dan Kelamin, Jakarta, UB Press.
25

1) Berelang endap (sulfur presipitatum) 4-20%dalam bentuk salep

atau krim. Pemakai obat ini tidak efektif terhadap stadiu telur,

berbau, mengotori pakaian, dan menimbulkan iritasi.

2) Emulsi bezyl-benzoate 20-25% efektif terhadap semua

stadium, diberikan setia malam selama 3 kali. Pemberian obat

ini perlu berhati-hati karena kadang-kadang semakin gatal

setelah dipakai.

3) Gama benzene heksa klorida (gemeksan) 1% dalam bentuk

krim atau losion. Pemberiannya cukup sekali setia 8 jam,

apabila masih terdapat gejalanya maka ulangi seminggu

kemudian.

4) Krotamiton 10% dalam krim atau llaton mempunyai dua efek,

sebagai antiskabies danantigata. Krim (eurax) hanya efek pada

50-60% klien. Digunakan selaama 2 malaam berturut-turut dan

dibersihkan setelah 24 jam pemakaian terakhir, kemdian

diunakana lagi 1 minggu kemudian, obat ini dioleskan ke

badan dari lehherk bawah. Penggunaan berlebihan dapat

menyebabkan iritasi. Bila digunakan untuk bayi dan anak-anak

harus ditambahkan air 2-3 bagian. Ketika menggunakan obat

ini sebaiknya jauhkan dari mata ,mulut, dan uretra.

5) Krim permetrin 5% sebagai dosis tungau. Penggunaanya

selama 8-12 jam dan kemudian dicuci bersih-bersih. Obat ini

merupakan obat yang paling efektif dan aman karena sangat


26

mematikan untuk parasit sarcopta scabiei dan aman karena

sangat mematikan untuk parasi sarcopta scabiei ssan memiliki

toksisitas rendah pada manusia.

n. Pencegahan

Pada umumnya ada yang disebut tungau yang asimtomatis

(karier) sehingga untuk mencegah terjadinya re-infestasi, semua

anggota keluarga satu rumah dan kontak dengan pasien terdekat

harus diterapi secara serentak. Pasien atau kontak yang telah

diobati harus memakai pakaian yang bersih dan semua pakaian,

sarung bantal, handuk, dan seprei yang digunakan 1 minggu

sebelumnya harus di cuci dengan air panaas dan dikeringkan pad

suhu panas (setrika). Benda yang tidak dapat dicuci diletakkan

pada tas plastik yang tertutup pada area hangat selama 2 minggu.

Lantai, karpet, kain pelapis (rumah dan mobil) pada area bermain,

dan furnitur harus ddi sedot (vacumm). Pengasapan tidak

direkomendasikan. Hewan peliharaan tidak perlu diobati karena

tidak dapat sebagai host tungau scabies.36

o. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan kerokan kulit secara mikroskopis

2) Mengambil tungau dengan jarum

3) Burrow ink test ( tes tinta pada terowongan )

4) Epidermal shave biopsy ( membuat biospi irisan )

36
Murlistyarini, Sinta, 2015, Intisari Ilmu Kesehatan Dan Kelamin, Jakarta, UB Press.
27

5) Uji tetrasiklin37

p. Tempat Dimana Scabies Bisa Hidup

Tungau Scabies dapat hidup dimana saja pada tubuh, tetapi

beberapa tempat faforit mereka termasuk.38

1) Antara jari-jari

2) Lipatan pergelangan tangan, siku, lutut

3) Sekitar pinggang dan pusar

4) Pada payudara dan alat kelamin

5) Kepala, leher, telapak tangan, dan telapak kaki pada anak-anak

yang sangat muda

6) Selengkangan pangkal paha

3. Personal Hygiene

a. Definisi personal hygiene

Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yang berarti

personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat.

Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk

memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk

kesejahteraan fisik dan psikis. Personal hygiene merupakan

37
Scholastica Fina Arya Puspita, 2009, Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Integumen, yogyakarta, Putaka Baru Press ; 160.
38
Andareto, Obi, 2015, Penyakit Menular di Sekitar Anda Edisi 1, Jakarta, Pustaka Ilmu Medika.
28

perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk memperthankan

kesehatan baik secara fisik maupun psesikologi.39

Devinisi-devinisi di atas dapat disimpulkan bahwa personal

hygiene merupakan kegiatan atau tindakan membersihkan seluruh

anggota tubuh yang bertujuan untuk memelihara kebersihan dan

kesehatan seseorang. Hygiene adalah adalah ilmu pengetahuan

tentang kesehatan dan pemeliharaan kesehatan. Personal Hygiene

adalah perawatan diri dengan melakukan beberapa fungsi seperti

mandi, toileting, hygiene tubuh uum, dan berhias. Hygiene adalah

persoalan yang sangat pribadi dan ditentukan oleh berbagai faktor,

termasuk nilai-nilai praktek individual. Hygiene meliputi perawatan

kulit, rambut, kuku, gigi, rongga mulut, dan hidung., mata, telinga,

dan area perinium-genital.40

Pemeliharaan hygiene perseorangan diperlukan untuk

kenyamanan individu, keamanan, kesehatan. Seperti pada orang

sehat mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya sendiri, pada

orang sakit atau tantangan fisik memerlukan bantuan perawat untuk

melakukan praktk kesehatan yang rutin. Selain itu, beragam faktor

pribadi dan sosial budaya mempengaruhi praktik hygiene klien.

Perawat menentukan kemampuan klien untuk melakukan perawatan

diri dan memberikan perawatan hygiene menurut kebutuhan dan

39
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika
40
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
29

pilihan klien. Di lingkungan rumah, perawat membantu klien dan

anggota keluarga beradaptasi teknik dan pendekatan hygiene. Ketika

memberikan perawatan kesehatn rutin, perawtan mengkaji status

fisik dan emosional klien, dan mengimplementasikan proses

perawatan bagi kesehatan total klien. Misalnya, pengkajian lengkap

tentang integumen dapat dilakukan selama klien mandi dan perawat

mengkaji tingkat psikososial klien juga.

b. Tujuan Perawatan Personal Hygiene

1) Meningkatkan derajat kesehatan seseorang

2) Memelihara kebersihan diri seseorang

3) Memperbaiki personal hygiene yang kurang

4) Pencegahan penyakit

5) Meningkatkan percaya diri seseorang

6) Menciptakan keindahan(Laily Isro’in, 2012)41

c. Dampak Yang Timbul Masalah Personal Hygiene

Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene

meliputi :42

1) Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena

tidak terpelihara kebersihan perorangan dengan baik. Gangguan

fisik yang sering terjadi adalah gangguan integritas kulit,

41
Laily Isro’in, Sulistyo Andarmoyo, 2012, Personal Hygiene Konsep Proses dan Aplikasi dalam
Praktek Keperawatan Edisi 1, Yogyakarta, Graha Ilmu.
42
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
30

gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan

telinga, dan gangguan fisik pada kuku.

2) Dampak psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene

adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai

dan mencintai, kebutuhan harga diri, dan gangguan interaksi

sosial.

d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Personal Hygiene

Sikap seseorang melakukan personal hygiene dipengaruhi oleh

sejumlah faktor antara lain :43

1) Citra tubuh (body image)

Citra tubuh mempengaruhi cara seseorang memelihara hygiene.

Jika seorang klien rapi sekali maka perawat mempertimbangkan

rincian kerapian ketika merencanakan keperawatan dan

berkonsultasi pada klien sebelum membuat keputusan tentang

bagaimana memberikan perawatan hygienis. Klien yang tampak

berantakan atau tidak peduli dengan hygiene atau pemerikasaan

lebih lanjut untuk melihat kemampuan klien berpartisipasi

dalam hygiene harian.

43
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
31

2) Praktik sosial

Kelompok sosial mempengaruhi bagaimana pasien dalam

pelaksanaan praktik personal hygiene. Termasuk produk dan

frekuensi perawatan pribadi. Selama masa kanak-kanak,

kebiasaan keluarga mempengaruhi hygiene, misalnya frekuensi

mandi, waktu mandi dan jenis hygiene mulut. Pada masa

remaja, hygiene pribadi dipengaruhi oleh teman. Misalnya

remaja wanita mulai tertari pada penampilan pribadi dan mulai

memakai riasan wajah. Pada maa dewasa, temann dan kelompok

kerja membentuk harapan tentang penampilan pribadi.

Sedangkan pada lansia beberapa praktik hygiene berubah karena

kondisi hidupnya dan sumber yang tersedia. Pada anak-anak

selalu dimanja kebersihan diri, maka kemungkinan akan terrjadi

perubahan pola personal hygiene.

3) Status sosial ekonomi

Status ekonomi akan mempengaruhi jenis dan sejauh mana

praktik hygiene dilakukan. Perawat harus sensitif terhadap status

ekonomi klen dan pengaruhnya terhadap kemampuan

pemeliharaan hygiene klien tersebut. Jika klien mengalami

masalah ekonomi, klien akan sulit berpartisipasi dalam aktifitas

promosi kesehatan seperti hygiene dasar. Jika barang perawatan

dasar tidak dapat dipenuhi pasien, maka perawat harus berusaha

mencari alternatifnya. Pelajari juga apakah penggunaan produk


32

tersebut merupakan bagian dari kebiasaan yang dilakukan oleh

kelompok sosial klien. Contohnya, tidak semua klien

menggunakan deodorant atau kosmetik.

4) Pengetahuan dan motivasi kesehatan

Penggetahuan tentang personal hygiene sangat penting, karena

pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan.

Pengetahuan tentag pentingnya hygiene dan kendati demikian,

pengetahuan itu sendiri tidaklah cukup, pasien harus juga

termotivasi untuk memelihara personal hygiene. Individu

dengan pengetahuan tentang pentingnya personal hygiene akan

selalu menjaga kebersihan dirinya untuk mencegah dari kondisi

atau keadaan sakit.

Pengetahuan tentang hygiene akan mempengaruhi praktik

hygiene. Namun, hal ini saja tidak cukup, karena motivasi

merupakan kunci pelaksanaan hygiene. Kesulitan internal yang

mempengaruhi akses praktek hygiene adalah ketidakadaan

motivasi karena kurangnya pengetahuan. Atasi hal ini dengan

memeriksa kebutuhan klien dan memberikan informasi yang

tepat.

5) Variabel budaya

Kebudayaan dan nilai pribadi mempengaruhi kemampuan

perawatan personal hygiene. Seseorang dari latar belakang

kebudayaan yang berbeda, mengikuti praktek perawatan


33

personal hygiene yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur

sring menentukan definisi tentang kesehtan dan keperawatan

diri. Dalam perawat pasien dengan peraktek hygiene yang ber

beda, perawat menghindarai menjadi pembuat keputusan atau

mncoba untuk menentukan standar kebersihanya (Yuni, 2015).

Beberapa budaya tidak menagnap sebagai hal penting. Perawat

tidak boleh menyatakan ketidak setujuan jika klien memiliki

praktek hygiene yanag berbada dari diriny.di amaerika

utara,kebiasaan mandi adalah kebiasaan setiap hari sedangkan

pada budaya lain hal ini hanya di lakukan satu kali seminngu.

6) Kebiasaan dan Pilihan Pribadi

Setiap pasien memiliki keinginan individu dan pilihan tentang

kapan untuk mandi, bercukur, dan melakukan perawatan

rambut. Pemilihan produk didasarkan pada selera pribadi,

kebutuhan dan dana. Pengetahuan tentang pilihan klien akan

membantu perawatan yang terindividualisai. Selain itu, bantu

klien untuk membangun praktik hygiene baru jika ada penyakit.

Contohnya, perawat harus mengajarkan perawatan hygiene kaki

pada penderita diabetes.

7) Fisik Seseorang

Klien dengan keterbatasan fisik biasanya tidak memiliki energy

dan ketangkasan untuk melakukan hygiene. Contohnya: pada

klien yang traksi atau gips, atau terpasang infus intravena.


34

Penyakit dengan rasa Kondisi nyeri membatasi ketangkasan

adan rentang gerak. Klien di bawah efek sedasi tidak memiliki

koordinasi mental untuk melakukan perawatan diri. Penyakit

kronis (jantung, kanker, neurologis, psikiatrik) sering

melelahkan klien. Genggaman yang melemah akibat artritis,

stroke atau kelainan otot menghambat klien untuk menggunakan

sikat gigi, handuk basah, atau sisir.

e. Jenis-jenis Perawatan Hygiene

Jenis- jenis perawatan personal hygiene menurut dibedakan

menjadi dua, yaitu:44

Tujuan umum perawatan diri adalah untuk mempertahankan

perawatan diri baik secara sendiri maupun dengan menggunakan

bantuan, dapat melatih hidup sehat/bersih dengan cara memperbaiki

gambaran atau persepsi terhadap kesehatan dan kebersihan serta

menciptakan penampilan yang sesuai denagn kebutuhan kesehatan.

Membuat rasa nyaman dan relaksasi dapat dilakukan untuk

menghilangkan kelelahan serta mencegah infeksi, mencegah

gangguan sirkulasi darah, dan mempertahankan integritas pada

jaringan.

1) Berdasarkan Waktu

a) Perawatan dini hari

44
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
35

Perawatan dini hari merupakan perawatan diri yang

dilakukan pada waktu bangun tidur untuk melakukan

tindakan seperti perapian dalam pemeriksaan,

mempersiapkan pasien melakukan sarapan dan lain-lain.

b) Perawatan pagi hari

Perawatan pagi hari merupakan perawatan yang dilakukan

setelah melakukan pertolongan dalam memenuhi kebutuhan

eliminasi mandi sampai merapikan tempat tidur pasien.

c) Perawatan siang hari

Perawatan siang hari merupakan perawatn yang dilakukan

setelah melakukan perawatan diri yanga dapat dilakukan

antara lain mencuci muka dan tangan, membersihkan mulut,

merapikan tempat tidur, serta melakukan pembersihan

lingkunagn pasien.

d) Perawatan menjelang tidur

Perawatan menjelang tidur merupakanperawatan yang

dilakukan pada saat menjelang tidur agar pasien dapat tidur

beristirahat dengan tenang. Seperti mencuci tangan dan

muka, membersihkan mulut, dan memijat daerah punggung.

2) Berdasarkan Tempat45

a) Perawatan Diri Pada Kulit

45
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
36

Kulit merupakan salah satu bagian penting dari tubuh yang

dapat melindungi tubuh dari berbagai kuman atau trauma

sehingga diperlukan perawatan yang adekuat dalam

mempertahankan fungsinya.

Fungsi kulit :

1) Proteksi tubuh

2) Pengaturan temperatur tubuh

3) Pengeluaran pembuangan air

4) Sensasi dari stimulus lingkungan

5) Membantu keseimbangan cairan dan elektrolit

6) Memproduksi dan mengabsorsi vitamin D

Factor yang mempengaruhi perubhan dan kebutuhan pada

kulit :46

1) Umur

2) Jaringan kulit

3) Kondisi atau keadaan lingkungan

a) Mandi

Mandi bermanfaat untuk menghilangkan atau

membersihkan bau badan, keringat, dan sel yang mati

46
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
37

serta merangsang sirkulasi darah dan membuat rasa

nyaman. Memandikan pasien merupakan perawatan

higienis total. Mandi dapat dikategorikan sebagai

pembersihan atau terapeutik. Mandi ditempat tidur

yang lengkap diperlukan bagi pasien dengan

ketergantungan total dan memerlukan personal

hygiene total.

Keluasan mandi pasien dan metode yang digunakan

untuk mandi berdasarkan pada kemampuan fisik

pasien dan kebutuhan tingkat hygiene yang

dibutuhkan. Pasien yan bergantung dalam

pemenuhan kebutuhan personal hygiene, terbaring

ditempat tidur dan tidak mampu mencapai semua

anggota badan dapat memperoleh mandi sebagian di

tempat tidur. Tujuan memandikan pasien di tempat

tidur adalah untuk menjaga kebersihan tubuh,

mengurangi infeksi akibat kulit kotor, mmeperlancar

system peredaran darah, dan menambah kenyaman

pasien.47

b) Perawatn Diri Pada Kuku dan Kaki

Perawatan kaki dan kuku untuk mencegah infeksi,

bau kaki, dan cedera jaringan lunak. Integritas kaki

47
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
38

dan kuku ibu jari penting untuk mempertahankan

fungsi normal kaki sehingga orang dapat berdiri atau

berjalan dengan nyaman.

c) Perawatan Rambut

Rambut merupakan bagian dari tubuh yang memiliki

fungsi sebagai proteksi dan pengatur suhu. Indikasi

perubahan status kesehatan diri juga dapat dilihat

rambut. Perawatan ini bermanfaat mencegah infeksi

daerah kepala.

Kebersihan kepala, rambut

1) Cuci rambut secara teratur paling sedikit dua kali

seminggu untuk menghilangkan debu dan kotoran

yang melekat di rambut dan kulit kepala.

2) Potong kuku secara teratur.

d) Perawatn Gigi dan Mulut

Gigi dan mulut adalah bagian penting yang harus

dipertahankan kebersihannya. Sebab melalui organ

ini berbagai kuman dapat masuk.

Kebersihan Mulut dan Gigi Dijaga dengan :48

1) Untuk yang masih mempunyai gigi :

Menyikat gigi secara teratur sekurang-kurangnya

dua kali dalam sehari, pagi hari dan malam

48
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
39

sebelum tidur, termasuk bagian gusi dan lidah.

Bila ada gigi berlubang, sebaiknya segera ke

puskesmas. Bila ada endapan warna kuning

sampai cokelat, kirim ke puskesmas/dokter gigi.

2) Bagi yang menggunakan gigi palsu :

Gigi dibersihkan dengan sikat gigi perlahan-

lahan di bawah air yang mengalir. Bila perlu

dapat digunakan pasta gigi. Pada waktu tidur,

gigi tiruan/palsu tidak dipakai dan direndam

dalam aiar bersih.

3) Bagi mereka yang tidak mempunyai gigi sama

sekali:

Setiap habis makan juga harus menyikat bagian

gusi dan lidah untuk membersihkan sisa

makanan yang melekat.

e) Perawatan Parineal Wanita49

Perawatan perineal wanita meliputi genetalia

eksternal. Prosedur biasanya dilakukan selama

mandi. Perawatan parineal mencegah dan mengontrol

penyebaran infeksi, mencegah kerusakan kulit,

meningkatkan kenyamanan dan mempertahankan

kebersihan.

49
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
40

f) Perawatan Parineal Pria

Klien pria memerlukan perhatian khusus selama

perawatan parineal, khususnya bila ia tidak di

sirkumsisi. Foreskin menyebabkan sekresi mengumul

dengan mudah di sekitar mahkota penis dekat meatus

uretral. Kanker penis terjadi lebih sering pada pria

yang tidak disirkumsisi dan diyakini berkaitan

kebersihan.

g) Kebutuhan Kebersihan Lingkungan Pasien

Yang dimaksud disini adalah kebersihan pada tempat

tidur. Melalui kebersihan tempat tidur diharapkan

pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa gangguan

selama tidur sehingga dapat membantu proses

penyembuhan.50

50
Yuni, Natalia Erlina, 2015, Buku Saku Personal Hygiene Edisi 1, yogyakarta, Nuha Medika.
41

B. Kerangka Teori

Skema 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Personal
hygiene Faktor resiko scabies

1. Usia
2. Jenis kelamin
Faktor yang 3. Tingkat
mempengaruhi kebersihan
4. Penggunaan alat
1. Citra tubuh pribadi bersama
2. Praktek sosial Scabies 5. Kepadatan
3. Status sosial penghuni
ekonomi 6. Tingkat
4. Pengetahuan pengetahuan
5. Budaya 7. Budaya
6. Kebiasaan 8. Sosial ekonomi
pribadi
42

dampak Kejadian scabies

1. Rasa gatal terutama malam hari


2. Bentol dan bintik seperti jerawat
3. Kulit lecet atau melepuh
4. Kulit luka sebab garukan

Sumber : ( Yuni, 2015; Sumgkar, 2016; Andareto, 2016)


BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Tahapan penting dalam satu penelitian adalah menyusun kerangka

konsep. Konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan

keterkaitan antarvariabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak

diteliti). Kerangka konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil

penemuan dengan teori.51

1. Variabel independent (bebas)

Variabel yang mempengaruhi atau nilainya menentukan variabel lain.

Variabel bebas pada penelitian ini adalah pengalaman personal

hygiene.

2. Variabel dependent (terikat)

Variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh variabel lain.

Tetapi tidak dapat mempengaruhi variabel lain. Variabel terikat

penelitian ini santri dengan scabies.

51
Nursalam, 2017, Metode Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 4, Jakarta, Salemba Medika.

43
44

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel independent Variabel dependent variabel perancu

Pengalaman personal Santri dengan scabies


hygiene

Faktor eksternal

a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Tingkat kebersihan
d. Penggunaan alat pribadi
bersama
e. Kepadatan penghuni
f. Tingkat pendidikan dan
pengetahuan
g. Tingkat sosial ekonomi

Keterangan : : Variable yang di teliti

: Variabel yang tidak di teliti


BAB IV

METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan tentang metodologi penelitian, cara pemilihan partisipan,

tempat dan waktu penelitian, etika penelitian, prosedur pengumpulan data,

rancangan pengumpulan data dan keabsahan data.

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan

fenomenologi, yang bertujuan untuk mendeskripsikan, menginterpretas

ikan dan menganalisis data secara mendalam, lengkap, dan terstruktur

untuk memperoleh intisari pengalaman hidup individu membentuk

kesatuan makna atau arti dari pengalaman hidup tersebut dalam bentuk

cerita, narasi, dan bahasa /perkataan masing-masing individu. 52

Pendekatan penelitian praktek interpretif memiliki sederet asumsi

subjektif tentang hakikat pengalaman nyata dan tatanam sosial.53

Penelitian ini pendekatan kualitatif digunakan untuk memperoleh

informasi yang menyeluruh dan mendalam tentang pengalaman

personal hygiene pada pasien dengan scabies di pondok pesantren

Darullughah wal karomah sidomukti kraksaan Probolinggo.

Pendekatan ini juga memberikan peluang bagi partisipan untuk berbagi

cerita dan pengalaman personal hygienenya berdasarkan perspektif

individual.
52
Afiyanti, Y., & Rachmawati. (2014). Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Keperawatan (II).
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
53
Creswell, J. W. (2010). Research Design. Pustaka Pelajar.

45
46

B. Partisipan Penelitian

Metode dengan fenomenologi memungkinkan peneliti menyeleksi

karakteristik partisipan yang heterogen untuk lebih memperdalam

pemahaman terhadap fenomena yang diteliti.54 Rekrutmen partisipan

dilakukan dengan cara purposive sampling (Y. Afiyanti &

Rachmawati, 2014) kriteria penelitian ini adalah :

1. Santri yang mengalami scabies di pondok pesantren Darullughah

wal Karomah Sidomukti Kraksaan Probolinggo, dengan tujuan

agar mempermudah untuk wawancara..

2. Santri putra berusia 14-18 tahun

Kriteria ini bermaksud mendapatkan variasi data, supaya hasil

peneliti lebih kompleks.

3. Dapat menceritakan dengan lancar tentang pengalaman dalam

personal hygienenya santri putra yang terkena scabies.

Kriteria ini penting di penuhi oleh partisipan untuk tujuan

penyampaian pengetahuan dan informasi tentang fenomena yang

ada.

Fokus penelitian kualitatif pada kedalaman dan proses, peneliti

melibatkan 3-5 partisipan sehingga menemukan data yang jenuh dan

54
Afiyanti, Y., & Rachmawati. (2014). Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Keperawatan
(II). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
47

teraturasi, yaitu informasi yang diberikan oleh partisipan selanjutnya

tidak memberikan tambahan informasi baru.55

Untuk menentukan partisipan peneliti dibantu oleh pengurus

pesantren sebagai informasi. Pengurus pesantren membantu

memberikan nama calon partisipan dan menunjuk para partisipan

kepada peneliti. Setelah itu peneliti mendatangi dan menjalin

hubungan kedekatan dengan partisipan untuk memeberikan

kepercayaan penuh kepada partisipan agar partisipan memberikan info

rmasi dan menceritakan pengalaman nya kepada peneliti.

Sebelum dimulai peneliti harus menjelaskan secara detail tentang

studi yang dilakukan dan meminta persetujuan mereka (partisipan)

untuk ikut serta dalam penelitian ini, tujuannya agar tidak terjadi

kesalah fahaman dikemudian hari antara peneliti dan partisipan

termasuk izin merekam semua pernyataan dengan menggunakan bukti

tandatangan para partisipan pada lembar persetujuan mengikuti

penelitian ini. Peneliti harus menjawab pertanyaan yang di ajukan para

partisipan, dan para partisipan diminta persetujuan oleh peneliti untuk

menentukan waktu dan tempat untuk melakukan wawancara sesuai

dengan keinginan para partisipan yang bertujuan menciptakan rasa

nyaman ketika menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sesuai

dengan kenyamanan para partisipan.

55
Afiyanti, Y., & Rachmawati. (2014). Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Keperawatan
(II). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
48

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Darullughah wal

Karomah Sidomukti Kraksaan Probolinggo. Alasan peneliti

memilih pondok pesantren Darullughah wal karomah pertama

dikarenakan pondok pesantren ini merupakan pondok pesantren

terpencil sehingga dapat mempermudah peneliti menemukan

partisipan, alasan kedua peneliti memilih pondok pesantren

Darullughah wal karomah dikarenakan juga memberikan

kemudahan bagi peneliti mendapatkan partisipan, kemudahan

tersebut dari sisi budaya seperti bahasa daerah karena peneliti

termasuk bagian dari budaya setempat.

Dalam proses pengambilan data, peneliti menggukan Bahasa

Indonesia begitu juga partisipan. Akan tetapi, terdapat istilah-

istilah bahasa daerah yang digunakan partisipan dalam wawancara.

Peneliti pun mengerti istilah tersebut sehingga mempermudah

proses komunikasi. Sedangkan tempat pengambilan data

tergantung kesepakatan awal dari peneliti dan partisipan.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat ijin dari kepala

pesantren Darullughah wal karomah sidomukti kraksaan

Probolinggo.
49

D. Etika Peneliian

Penelitian kualitatif pada dasarnya tidak menimbulkan resiko yang

berkenaan dengan kemungkinan dampak yang membahayakan secara

langsung, terutama bahaya secara fisik untuk para partisipan. Namun,

kemungkinan para partisipan tidak menerima manfaat langsung atau

berpotensi mengalami ketidaknyamanan secara psikologis karena data

inti penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi memaparkan

pengalaman pribadi partisipan untuk para pembaca. Untuk itu,

penelitian ini menggunakan prinsip etik agar terhindar dari

permasalahan etik .56

1. Prinsip menghargai harkat dan martabat partisipan

Penerapan prinsip ini dapat dilakukan peneliti untuk memenuhi

hak-hak partisipan dengan cara menjaga kerahasiaan identitas

partisipan (Anonymity), kerahasiaan data (Confidentiality),

menghargai privacy dan dignity, dan menghormati otonomi

(respect for autonomy). Partisipan memiliki hak otonomi untuk

menentukan keputusannya secara sadar dan sukarela/ tanpa

paksaan setelah diberikan penjelasan oleh peneliti dan memahami

bentuk partisipasinya dalam penelitian ini.

Peneliti wajib menjaga kerahasiaan sebagai informasi yang

diberikan oleh para partisipan dengan sebaik-baiknya. Untuk

56
Afiyanti, Y., & Rachmawati. (2014). Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Keperawatan
(II). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
50

menjamin kerahasiaan data, peneliti wajib menyimpan seluruh

dokumen hasil pengumpulan data berupa lembar persetujuan

penelitian, biodata, rekaman dan hasil traskrip wawancara. Hasil

rekaman diberi kode tanpa nama untuk selanjutnya disimpan di file

khusus dengan kode partisipan yang sama. Semua bentuk data

hanya digunakan untuk keperluan proses analisis data sampai

penyusunan laporan penelitian.

Partisipan memiliki hak untuk dihargai tentang apa saja yang

mereka lakukan, hak kebebasan partisipan lainnya adalah

menentukan waku dan tempat dilakukannya pengambilan data,

misalnya pengambilan data dengan metode wawancara pada waktu

dan tempat yang telah dipilih oleh para partisipan. Partisipan juga

berhak untuk tidak menjawab pertanyaan wawancara yang dapat

menimbulkan rasa tidak nyaman pada dirinya untuk mengungkap

atau menceritakan pada orang lain.

2. Prinsip memerhatikan kesejahteraan partisipan

Penerapan prinsip ini dilakukan peneliti dengan memenuhi

hak-hak partisipan dengan cara memerhatikan kemanfaatan

(beneficience) dan meminimalkan resiko (nonmaleficience) dari

kegiatan penelitian yang dilakukan dengan memperhatikan

kebebasan dari bahaya (free from harm). Setiap penelitian harus

meyakinkan dan memastikan bahwa kegiatan riset yang dilakukan

tidak hanya untuk kepentingan peneliti, manfaat bagi para


51

partisipan yaitu dapat berbagai pengalaman personal hygiene pada

santri dengan scabies di pondok pesantren.

3. Prinsip keadilan

Hak ini diberikan kepada semua partisipan dengan hak yang

sama untuk dipilih atau berkontribusi dalam penelitian tanpa

diskriminasi. Peneliti memberikan perlakukan dan penghargaan

yang sama dalam hal apapun selama kegiatan riset dilakukan tanpa

memandang suku, agama, etnis, dan kelas sosial. Jadi disini semua

klien bethak menjadi partisipan hanya saja mencari yang lebih

berpengalaman. Dan saat peneliti memberikan penghargaan, semua

penghargaan itu sama tanpa membedakan pertisipan itu

kaya/miskin, suka, agama dll.

4. Persetujuan setelah penjelasan (informed consent)

Peneliti memberikan penjelasan berkenaan proses penelitian

sebelum penandatanganan persetujuan berpartisipan dalam

penelitian. Peneliti menjelaskan tujuan peneliti, manfaat peneliti,

dan kemungkinan bahaya yang akan di dapatkan selama penelitian.

Jadi sebelum peneliti memberikan kertas tandatangan untuk

menyetujui, sebelumnya peneliti sudah menjelaskan bahaya,

manfaat, atau pun hal-hal yang menyimpang.

E. Alat Pengumpulan Data

Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti merupakan

instrument utama dalam penelitian ini (Creswell, 2014),57 selain itu


57
Creswell, J. W. (2010). Research Design. Pustaka Pelajar.
52

peneliti juga menggunakan alat bantu berupa format pengumpulan data

berisi data-data santri, pertanyaan-pertanyaan tertulis sebagai pedoman

untuk wawancara, buku catatan dan alat tulis serta perekam (tape

recorder) untuk merekam wawancara antara peneliti dengan partisipan

(Y. Afiyanti & Rachmawati, 2014). Pada saat uji coba instrument

peneliti menggunakan handpone (HP) untuk merekam pernyataan

partisipan, hasilnya tidak ada masalah.

F. Prosedur Pengumpulan Data

Dari studi ini, data diperoleh dikumpulkan melalui wawancara

mendalam dengan para partisipan. Wawancara formal tidak berstruktur

digunakan sebagai metode utama pengumpulan data. Hal ini

merupakan metode pengumpulan data yang sesuai dalam studi

fenomenologi. Dengan pertanyaan-pertanyaan spesifik dari studi ini

yang tidak berstruktur, peneliti dan para partisipan berada pada suatu

diskusi yang tidak berstruktur dalam usaha untuk lebih memperjelas

suatu arti dari suatu pengalaman.58 Pengumpulan data dari partisipan

dilakukan peneliti beberapa tahapan, antar lain :

1. Tahap persiapan

a. Mengurus surat ijin penelitian dari Fakultas Kesehatan

Universitas Nurul Jadid Probolinggo

b. Ijin penelitian dari kepala pesantren Darullughah wal karomah

58
Afiyanti, Y., & Rachmawati. (2014). Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Keperawatan
(II). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
53

Sidomukti Kraksaan Probolinggo

c. Setelah mendapat ijin peneliti menemui kepala

pesantren/pengurus kesehatan untuk meminta data sebagai

acuan prevelensi

2. Tahap pengumpulan data

Pada tahap ini, peneliti melakukan wawancara dengan tiap

partisipan sebanyak dua kali. Peneliti membantu partisipan dalam

mendeskripsikan pengalaman-pengalaman partisipan tanpa

memimpin diskusi tersebut. Untuk meningkatkan akurasi data,

peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka, merekam

wawancara, dan membuat transcip verbatim (kata demi kata).

Sebagai tambahan, peneliti juga membuat catatan lapangan (file

notes) untuk lebih menjamin percapaian hasil deskripsi yang

komperhensif dan keakuratan hasil deskripsi tersebut. Selain itu,

peneliti berusaha mensupresi segala hal yang diketahui dan dialami

peneliti tentang pengalaman personal hygiene pada santri dengan

scabies (bracketing process).

Sebelum pengambilan data peneliti melakukan uji coba

wawancara. Tujuan dilakukan uji coba wawancara adalah untuk

mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam

pedoman wawancara dapat di pahami oleh partisipan. Uji coba

juga dilakukan perekaman wawancara untuk menghindari tidak

berfungsinya alat pada saat digunakan. Setelah uji coba wawancara


54

dan hasil sesuai dengan harapan peneliti, maka dilanjutkan dengan

pengumpulan data.

Berikut item-item pengumpulan data: Menghubungi partisipan

untuk memberikan penjelasan sebelum persetujuan tentang

penelitian, setelah partisipan menyetujui maka dipersilahkan

menandatangani lembar persetujuan menjadi partisipan.

a. Pra interaksi

1) Membuat kesepakatan wawancara terkait waktu dan

tempat.

b. Fase kerja

1) Tahap awal pengambilan data biografi dan riwayat medik

dari seluruh partisipan yang terdiri nama, umur, jenis

kelamin, pendidikan, agama dll.

2) Wawancara pertama, dirancang untuk mendapatkan

berbagai perasaan dan pikiran berkaitan dengan

pengalaman personal hygienenya selama mengalami

scabies. Mula-mula partisipan diberikan kesempatan untuk

mendeskripsikan pengalaman-pengalaman meraka tanpa

interupsi. Peneliti juga menggunakan pertanyaan-

pertanyaan pedoman wawancara yang dibuat peneliti.

Wawancara pertama ini membutuhkan waktu 30-60 menit.

Para partisipan di wawancarai secara pribadi dan semua

wawancara di rekam dengan menggunakan hanphone atas


55

izin pertisipan. Pada saat wawancara pertama, dari

kesepakatan tempat wawancara.

3) Wawancara kedua, dilakukan setelah semua data dari hasil

wawancara pertama dibuat dalam suatu transkip data dan

peneliti telah mengidentifikasi kemungkinan berbagai tema

sementara dari berbagai pengalaman yang dideskripsikan

para partisipan. Selama wawancara ini, partisipan diminta

untuk mengkonfirmasi tema-tema yang sementara

dihasilkan berhubungan dengan pengalaman partisipan

berdasarkan hasil interprestasi data yang di buat oleh

peneliti dan pada kesempatan pula peneliti dapat menbuat

perbaikan atau koreksi jika terdapat berbagai gap dari data

yang di peroleh pada wawancara pertama.

Sebagai tambahan, wawancara kedua semua partisipan

tidak ada penambahan ataau pun pengurangan pertanyaan

dari wawancara pertama. Wawancara kedua ini

memerlukan waktu 30 menit dan dengan izin partisipan,

wawancara keduapun di rekam.

c. Fase terminasi

1) Setelah pengambilan data dan wawancara selesai, peneliti

memberikan kesempatan kepada partisipan untuk

pengalaman lainnya yang ingin diceitakan partisipan.

2) Peneliti mengumpulkan semua berkas termasuk alat rekam


56

dan field notes.

3) Pada tahap wawancara pertama, peneliti memberikan

penjelasan untuk wawancara kedua sekaligus membuat

janji waktu dan tempat untuk wawancara kedua.

4) Pada tahap akhir wawancara kedua, peneliti memberikan

ucapan terima kasih kepada partisipan.

G. Analisa Data

Analisia data dilakukan setiap selesai mengumpulkan data dari satu

partisipan. Hasil analisis dapat mengalahkan pada proses selanjutnya.

Transkip-transkrip dari hasil wawancara dan catatan lapangan (field

notes) yang telah dibuat peneliti secara bersamaan di analisis. Tehnik

analisis spesifik dengan menggunakan pendekatan analisis selektif dan

focusing (the selective or highlighting approach) yang telah diuraikan

oleh seorang fenomenologi,

H. Keabsahan Data

Untuk menjamin kebenaran data maka peneliti akan

mengkonfirmasikan yang telah ditemukan dengan cara credicility,

dependability, confirmability, dan transferability.59

1. Credibility ( kredibilitas) merupakan suatu tujuan untuk menilai

kebenaran dari suatu temuan peneliti kualitatif. Kredibilitas

ditujukan keteika partisipan mengungkapkan bahwa pernyaan yang

59
Afiyanti, Y., & Rachmawati. (2014). Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam Keperawatan
(II). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
57

tertulis pada trnskip penelitian memang benar pernyataan

partisipan yang menggambarkan pengalaman dirinya sendiri.

Dalam hal ini peneliti memberikan transkip wawancara untuk

dibaca ulang oleh partisipan. Jika partisipan menyatakan bahwa

data tersebut sesuai dengan dengan pernyataan partisipan pada saat

wawancara, peneliti meminta partisipan untuk memberikan paraf

pada transkip verbatim, sehingga transkip dianggap telah memiliki

kredibilitas.

2. Dependability (keabsahan data/ reliable). Salah satu teknis untuk

mencapai realibilitas adalah dengan melibatkan seorang auditor

external untuk melakukan audit dan menelaah hasil penelitian

secara keseluruhan. Auditor external yang terlibat dalam penelitian

ini adalah pembimbing selama melakukan penelitian dan

menyusun skripsi.

3. Confirmability adalah objekfitas atau netralitas data, dimana

tercapai persetujuan antara dua orang atau lebih tentang relevansi

dan arti data. Dalam penelitian kualitatif, ui confirmability mirip

dengan uji dependability sehingga pengujinya dapat dilakukan

secara bersamaan. Peneliti melakukan confirmability dengan cara

menunjukkan hasil pengumpulan data termasuk transkip verbatim

yang sudah ditambahkan catatan lapangan, analisa tema kepada

partisipan dan pembimbing sebagai auditor. Kemudian peneliti


58

bersama-sama dengan pembimbing menentukan analisa tematik

hasil penelitian.

4. Transferability sering disebut validitas ekstrelnal dalam penelitian

kualitatif. Validitas ekternal menunjukkan derajat ketepatan atau

dapat di terapkannya hasil penelitian ke populasi dimana sampel

tersebut diambil. Transeferalbility dilakukan peneliti dengan cara

menanyakan tema-tema yang ditemukan dalam penelitian ini

kepada 2 orang hemodialisis yang bukan sebagai partisipan. Dari 2

orang klien hemodialysis tersebut menyatakan tema-tema yang

telah diidentifikasi juga dialami oleh klien tersebut. Maka dengan

validitas dalam penelitian ini telah tercapai.


59

Daftar Pustaka

Bernigaud, C., Samarawickrama, G. R., Jones, M. K., & Gasser, R. B. (2019). The
Challenge of Developing a Single-Dose Treatment for Scabies. Trends in
Parasitology, 1–13. https://doi.org/10.1016/j.pt.2019.08.002
Desmawati, Dewi, A. P., & Hasanah, O. (2015). Hubungan Personal Hygiene Dan
Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Skabies Di Pondok Pesantren Al-
Kautsar Pekanbaru. Universitas Riau, 2(1), 628–637.
Herdyana, E., & Qomari, N. U. R. (2016). Perbedaan Sikap Remaja Putri Usia 13-
15 Tahun Sebelum Dan Sesudah diberi Penyuluhan Tentang Personal
Hygiene (Di Pondok Pesantren Wali Barokah Kediri). Jurnal Kebidanan,
5(2), 67–75.
Hilma, U. D., & Ghazali, L. (2014). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
Skabies Di Pondok Pesantren Mlangi Nogotirto Gamping Sleman
Yogyakarta. Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Indonesia, 6(3), 148–157.
https://doi.org/10.20885/jkki.vol6.iss3.art6
Luthfa, I., Nikmah, S. A., Islam, U., & Agung, S. (2019). Life Behavior
Determines Scabies Disease. 35–41.
Mayrona, C. T., Subchan, P., Widodo, A., & Lingkungan, S. (2018). Pengaruh
Sanitasi Lingkungan Terhadap Prevalensi Terjadinya Penyakit Scabies Di
Pondok Pesantren. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 7(1), 100–112.
Mufidah, N., Imam, S., Darmiah, Muafidah, N., Santoso, I., & Darmiah. (2016).
Hubungan Personal Higiene dengan Kejadian Skabies pada Santri Pondok
Pesantren Al Falah Putera Kecamatan Liang Anggang. Journal of Health
Science and Prevention, 1(1), 1–9. https://doi.org/ISSN 2549-919X
Murlistyarini, S. (2015). Intisari Imlu Kesehatan Kulit dan Kelamin (pertama; S.
Prawitasari, ed.). Jakarta: UB press.
Sumiatin, T., & Yunariyah, B. (2017). Effectiveness of Health Education on
attitude about clean and healthy in prevention Scabies. Jurnal Ners Dan
Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 4(3), 224–227.
https://doi.org/10.26699/jnk.v4i3.art.p224-227
Sungkar, P. S., & Park, S. (2016). Skabies. Jakarta: FKUI.
Susanto, H., & Muzakki, M. (2017). Perubahan Perilaku Santri (Studi Kasus
Alumni Pondok Pesantren Salafiyah di Desa Langkap Kecamatan Besuki
Kabupaten Situbondo). Istawa: Jurnal Pendidikan Islam, 2(1), 1.
https://doi.org/10.24269/ijpi.v2i1.361
Sylvie Puspita, Elly Rustanti, M. K. W. (2018). Hubungan Personal Hygiene
Dengan Kejadian Skabies Pada Santri. Jurnal Keperawatan, 2(3), 33–38.
Andareto, O. (2015). Penyakit Menular di Sekitar Anda (pertama; R. D. Aryanti,
ed.). Jakarta.
Brown, R. G. (2009). Lecture Notes On Dermatologi (A. Safitri, ed.). Jakarta.
Dewi Fitriani S.Si., A. (2013). PENGOBATAN MANDIRI (A. Tristanti, ed.).
Jakarta.
60

Djaenudin Natadisastra. dr., S. P. (2009). parasitologi kedokteran ditinjau dari


organ tubuh yang di serang (Ridad Agoes, ed.). Jakarta.
Laily Isro’in, S. A. (2012). Personal Hygiene Konsep, Proses dan Aplikasi dalam
Praktik Keperawatan (pertama). Yogyakarta: Graha ilmu.
Luthfa, I., Nikmah, S. A., Islam, U., & Agung, S. (2019). Life Behavior
Determines Scabies Disease. 35–41.
Murlistyarini, S. (2015). Intisari Imlu Kesehatan Kulit dan Kelamin (pertama; S.
Prawitasari, ed.). Jakarta: UB press.
Santoso, S. (2016). Skin Infection : It’s Must Know Dissase ( denny akhmadi A,
ed.). Malang: UB.
Scholastica Fina Aryu Puspita, Ns., M. K. (2018). Asuhan Keperawatan Pada
Pasien Dengan Gangguan Sistem Integumen (S. P. Mariyatul Qibtiyah., ed.).
Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Sudarminta, J. (2002). Epistemologi pengantar filsafat pengetaahuan dasar (F.
Mustafid, ed.). yogyakarta.
Sungkar, P. S., & Park, S. (2016). Skabies.
Yuni, N. E. (2015). Buku Saku Personal Hygiene (pertama). Yogyakarta: Nuha
Medika.
Nursalam. (2017). Metode Penelitian Ilmu Keperawatan (empat). Jakarta:
Salemba Medika.
Afiyanti, Y., & Rachmawati. (2014). Metodelogi Penelitian Kualitatif dalam
Keperawatan (II). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Creswell, J. W. (2010). Research Design. Pustaka Pelajar.
Holstein, J. A. (2009). Handbook of Qualitative Research (I). yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai