Anda di halaman 1dari 31

I.

PENDAHULUAN

Model hidrologi merupakan sajian sederhana dari sebuah system hidrologi (lihat Gambar
1) pada suatu daerah aliran sungai (DAS). Model tersebut bertujuan untuk menggambarkan
tanggapan suatu DAS terhadap proses hidrologi yang terjadi, jika diberi masukan-masukan
tertentu. Dalam penyusunan model hidrologi, titik berat analisa dipusatkan pada proses
pengalihragaman hujan menjadi aliran melalui satu system DAS. Salah satu model hidrologi
yang dapat digunakan untuk mengalihragaman hujan menjadi aliran baik event flow maupun
continuos flow adalah HEC-HMS.

Gambar 1.1. Siklus Hidrologi.

1
II. TRANSFORMASI HUJAN - ALIRAN

Dari siklus hidrologi seperti Gambar 2.1 di atas, terlihat bahwa transformasi hujan
menjadi aliran di sungai melewati banyak proses. Proses diawali dengan adanya hujan yang
jatuh di system DAS, aliran di sungai berupa hidrograf aliran merupakan respon/tanggapan dari
DAS akan hujan tersebut yang secara skematik dapat di lihat pada Gambar 2.1.

50
44,3

40
Intensitas hujan (mm/jam)

30 Hujan
22,1
20 17,5

10 6,5

0
1 2 3 4

Waktu (Jam ke-)

Sistem DAS

50

40
Debit, Q (m3/detik)

30 Hidrograp
Aliran
20

10

Base flow
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Waktu (Jam)

Gambar 2.1. Hubungan antara hujan, DAS dan aliran.

Gambar di atas memperlihatkan bahwa dalam transformasi hujan menjadi aliran terdapat
tiga komponen utama yaitu hujan sebagai masukan (input) ke system DAS dan keluaran (output)
dari system DAS berupa aliran (hidrograf debit). Secara skematik, proses transformasi hujan
menjadi aliran disajikan pada Gambar 2.2.

2
Hidrograf
Hujan efektif limpasan langsung
(excess rainfall) (hujan di atas sungai
dan interflow @ 0)

Transform model:
- statistic method
- infiltrasi method Hidrograp
HUJAN - rasional method
- empiris method Aliran total
- hydrograph method : (HLL + BF)
hidrograp aktual
hidrograp sintetis

Abstraksi/losses Aliran dasar


(infiltrasi, perkolasi,
storage resesion)
(base flow)

Gambar 2.2. Proses transformasi hujan–aliran.

Tidak semua hujan yang jatuh disistem DAS akan menjadi limpasan. Gambar 2.1 di atas
menunjukkan bahwa total hujan selama 4 jam di DAS sebesar 90,48 mm, sedang yang menjadi
limpasan langsung (limpasan yang diakibatkan langsung oleh hujan tersebut) hanya 29,16 mm.
Sebagian air hujan hilang di system DAS dalam berbagai bentuk seperti infiltrasi, pengisian
cekungan.
Besarnya air hujan yang hilang di system DAS sangat tergantung dari kondisi DAS
tersebut. Gambar di atas juga memperlihatkan bahwa aliran yang terukur di titik control DAS
tidak semuanya diakibatkan oleh hujan yang terjadi pada saat itu. Hal tersebut terlihat dari waktu
kejadian hujan dimulai jam 15.00, sedang sebelum jam 15.00 sedah ada aliran yang keluar dari
system DAS tersebut (baseflow). Dengan demikian terdapat sekurang-kurangnya dua komponen
aliran yaitu limpasan langsung dan aliran dasar (baseflow). Komponen aliran lainnya yaitu aliran
antara dalam analisis pada umumnya digabungkan dengan aliran limpasan langsung.

2.1 Hujan.
Dalam tranformasi hujan menjadi aliran khususnya untuk hidrograf banjir, terdapat dua
komponen utama dari hujan yaitu kedalaman dan pola agihan/distribusi hujannya. Kedalaman
hujan DAS dapat diperoleh dari nilai rerata kedalaman hujan yang terukur di stasiun pengukur
hujan yang berada/mewakili DAS tersebut. Hujan DAS dapat dihitung dengan metode yang ada
seperti rerata aljabar, metode polygon Thissen.

3
Grafik semacam windrose, menggambarkan hubungan antara lama/durasi hujan dan
kedalaman hujannya, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3. Dalam gambar ini hanya dibuat
untuk hujan dengan kedalaman lebih besar dari 50 mm/hari.

Gambar 2.3. “Windrose” kejadian hujan DAS Code.

Dari gambar tersebut terlihat bahwa di DAS Code durasi hujan 3 jam dan 4 jam memiliki
kejadian hujan yang sama yaitu hujan terjadi hampir di seluruh kelas kedalaman hujan. Namun
demikian, durasi hujan 3 jam memiliki prosentase kejadian hujan yang lebih besar, sehingga
durasi hujan 3 jam tersebut dianggap mewakili durasi hujan pada DAS Code seperti terlihat pada
Gambar 2.4.
Berdasarkan durasi hujan dominan 3 jam tersebut, selanjutnya dicari pola distribusi
/agihan hujan yang mewakili DAS Code. Dengan membuat grafik hubungan antara kumulatif
prosen waktu (%t) vs (%P) akan terlihat pola distribusi hujan yang terjadi di DAS tersebut.
Contoh grafik pola distribusi hujan DAS Code disajikan pada Gambar 2.5. Selanjutnya, pola
distribusi hujan yang dipakai untuk analisis transformasi hujan aliran dapat digunakan nilai rerata
dari pola yang ada atau dengan mengambil pola distribusi dengan prosen quantile tertentu (Chow
et. al., 1988). Pola agihan hujan rerata untuk durasi hujan dominan di beberapa DAS disajikan
pada Tabel 2.1.

4
Tabel 2.1,
Durasi Frekuensi relatif
(jam) (%) Frekuensi kejadian - Durasi hujan
35
1 16,7 29,3
30

Frekuensi Relatif, (%)


2 26,0 26,0
25
3 29,3
19,5
4 19,5 20 16,7

5 5,7 15

6 1,2 10
5,7
7 0,4 5
1,2 0,4 0,4 0,4 0,4
8 0,4 0
9 0,4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Durasi Hujan (jam)
10 0,4

Gambar 2.4. Frekuensi kejadian hujan DAS Code.

Gambar 2.5. Pola agihan/distribusi hujan DAS Code.

Tabel 2.1. Distribusi hujan berdasarkan distribusi durasi hujan dominan.


Prosentase kedalaman hujan (%) pada jam ke -
DAS Lokasi
1 2 3 4 5
Bogowonto Pungangan 31,8 33,7 20,3 7,9 6,4
Progo Badran 24,7 49,3 21,2 4,9 -
Bedog Guwosari 39,8 39,1 21,1 - -
Code Kaloran 37,3 40,8 21,9 - -
Gajahwong Papringan 36,8 41,2 22,0 - -

2.2 Hyetograph Hujan Rancangan

5
Dalam perhitungan banjir rancangan, diperlukan masukan berupa hujan rancangan yang
didistribusikan ke dalam ketebalan hujan jam-jaman (hyetograph). Untuk dapat mengubah hujan
rancangam ke dalam besaran hujan jam-jaman perlu didapatkan terlebih dahulu suatu pola
distribusi hujan jam-jaman. Pola distribusi untuk keperluan perancangan bisa didapat dengan
melakukan pengamatan dari kejadian-kejadian hujan besar. Dengan meratakan pola distribusi
hujan hasil pengamatan tersebut, kemudian didapatkan pola distribusi rerata yang selanjutnya
dianggap mewakili kondisi hujan dan dipakai sebagai pola untuk mendistribusikan hujan
rancangan menjadi besaran hujan jam-jaman.
Cara yang dikemukakan di atas dapat dilakukan apabila tersedia data hujan otomatis.
Apabila yang tersedia adalah data hujan harian, untuk mendapatkan kedalaman hujan jam-jaman
dari hujan rancangan dapat menggunakan model distribusi hujan. Model distribusi hujan yang
telah dikembangkan untuk mengalihragamkan hujan harian ke dalam hujan jam-jaman antara
lain yaitu model diastribusi hujan seragam, segitiga, Alternating Block Model (ABM) (Chow et.
al., 1988). Secara ringkas, masing-masing model dijelaskan sebagai berikut.

2.2.1 Alternating Block Method (ABM)


Alternating Block Method (ABM) adalah cara sederhana untuk membuat hyetograph
rancangan dari kurva IDF (Chow et. Al., 1998). Hyetograph rencana yang dihasilkan oleh
metode ini adalah hujan yang terjadi dalam n rangkaian interval waktu yang berurutan dengan
durasi t selama waktu Td = n t. Untuk periode ulang tertentu, intensitas hujan diperoleh dari
kurva IDF pa setiap durasi t, 2t, 3t, ………… Kedalaman hujan diperoleh dari perkalian
antara intensitas hujan dan durasi waktu tersebut. Perbedaaan antara nilai kedalaman hujan dan
durasi waktu tersebut. Perbedaan antara nilai kedalaman hujan berurutan merupakan
pertambahan hujan dalam interval waktu t. Pertambahan hujan tersebut (blok-blok), diurutkan
kembali ke dalam interval waktu dengan intensitas hujan maksimum berada pada tengah-tengah
durasi hujan Td dan blok-blok sisanya disusun dalam urutan menurun secara bolak-balik pada
kanan dan kiri dari blok tengah . Dengn demikian telah terbentuk hyetograph rencana, seperti
ditunjukkan dalam Gambar 2.4.

6
40

Intensitas hujan (mm/jam)


30

20

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jam ke-

Gambar 2.4. Hyetograph dengan Alternating Block Method.

Contoh 3
Dari hasil hitungan hujan dengan periode ulang 10 tahunan di stasiun Duri di Propinsi
Riau seperti diberikan dalam Contoh 9 pada Bab VII (Hidrologi Terapan, Bb. Triatmojo, 2008),
didapat p10 = 152 mm. Buatlah hyetograph hujan dengan menggunakan metode ABM dengan
interval waktu t = 1 jam.

2p
Ip =
Penyelesaian T d ……………………………………..………. (2.1)

Hitungan dilakukan dengan menggunakan Tabel 2.2. Dari persamaan (2.1) dihitung
intensitas hujan untuk Td = t, Td = 2t, Td = 3t, dan seterusnya dengan t = 1 jam seperti
diberikan dalam kolom 1, 2, dan 3. Dalam hal ini durasi hujan 6 jam. Kedalaman hujan (kolom
4) adalah perkalian antara intensitas hujan (kolom 3) dan durasi hujan (kolom 1). Pertambahan
hujan atau kedalaman hujan jam-jaman (kolom5) adalah selisih kedalaman hujan yang berurutan
(kolom 4). Kolom 6 adalah kedalaman hujan jam-jaman yang dinyatakan dalam persen. Kolom 7
adalah hyetograph yang dinyatakan dalam persen, yang diperoleh dengan menempatkan nilai
(%) hujan tertinggi pada kolom 6 di tengah-tengah durasi hujan yaitu baris 3 kolom 7.
Selanjutnya baris 1 kolom 6 ditempatkan ke baris 3 kolom 7, baris 2 kolom 6 menjadi baris 4
kolom 7, baris 3 kolom 6 menjadi baris 2 kolom 7, dan seterusnya. Kolom 8 hyetograph dalam
mm, yaitu perkalian antara persen hyetograph pada kolom 7 dengan kedalaman hujan dengan
periode 10 tahunan yaitu 152 mm. Gambar 2.5 adalah hyetograph hasil hitungan.

7
Tabel 2.2. Hitungan hyetograph dengan metode ABM
Td t It It Td p pt hyetograph
(jam) (jam) (mm/jam) (mm) (mm) (%) (%) (mm)
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]
1 01 52,7 52,7 52,7 55,03 6,75 10,25
2 1 33,2 66,4 13,7 14,30 10,03 15,25
3 2 25,3 76,0 9,6 10,03 55,03 83,65
4 3 20,9 83,6 7,6 7,99 14,30 21,74
5 4 18,0 90,1 6,5 6,75 7,99 12,14
6 5 16,0 95,8 5,6 5,90 5,90 8,96
Jumlah 95,8 100,0 100,00 152,00

Hyetograph stasiun Duri, di Propinsi Riau


90
83,65

80

70
Kedalaman hujan, d (mm)

60

50

40

30
21,74
20
15,25
12,14
10,25 8,96
10

0
1 2 3 4 5 6
Durasi hujan, t (jam)

Gambar 2.5. Hyetograph hasil hitungan dengan metode ABM

2.2.2 SSARR Model


Streamflow Synthesis and Resevoir Regulation (SSARR) model yang dikenalkan oleh
California Institut. Membuat hujan rancangan dengan priode ulang tertentu yang dihasilkan dari

8
perhitungan analisis frekuensi didistribusikan menjadi hujan jam-jaman. Adapun pola
anggihan/distribusi hujan yang dipakai adalah hujan durasi 8 jam, jam ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan
ke-8 mengikuti prosentase : 29%, 12%, 32%, 12%, 9%, 3%, 2%, dan 1%. (Yusron Lubis, “Banjir
rencana untuk bangunan air”. 1984).
Misal DAS Kali Sampean, hujan rencana R100 = 95,80 mm, hasil analisa frekuensi dari
data hujan selama 20 tahun (1960–1979). Distribusi hujan jam-jaman untuk jam ke-1; 2; 3; 4; 5;
6; 7; dan 8 sebesar : 28 mm; 11 mm; 31 mm; 11 mm; 9 mm; 3 mm; 2 mm; dan 1 mm (lihat
Gambar 2.6).

Hyetograph SSARR
50

40

31
Tebal hujan (mm)

30 28

20

11 11
9
10
3 2 1
0
1 2 3 4 5 6 7 8

Jam ke-

Gambar 2.6. Hyetograph hasil hitungan dengan metode SSARR.

2.2.3 Distribusi hujan Tadashi Tanimoto


Tadashi Tanimoto (1969) mengembangkan distribusi hujan jam-jaman yang dapat digunakan di
Pulau Jawa. Gambar 2.7 menunjukkan distribusi kumulatif hujan untuk beberapa daerah. Dari
gambar tersebut, untuk kurva tipe I yang berlaku di Jawa, dapat diturunkan distribusi hujan jam-
jaman seperti ditunjukkan dalam Tabel 2.3 dan digambarkan dalam Gambar 8.9.
Tabel 2.3 Distribusi hujan di Jawa menurut Tadashi Tanimoto.
Jam ke - 1 2 3 4 5 6 7 8
% distribusi 26 24 17 13 7 5,5 4 3,5
% distribusi kumulatif 26 50 67 80 87 92,5 96,5 100

Scan dulu
9
Gambar 2.7, Distribusi hujan 24 jam.

Distribusi hujan Tadashi Tanimoto


40

30
26
24
Tebal hujan (mm)

20
17
13

10
7
5.5
4 3.5

0
1 2 3 4 5 6 7 8

Jam ke -

Gambar 2.8, Distribusi hujan Tadashi Tanimoto.

2.3 Sistem DAS


Tidak semua hujan yang turun di suatu DAS akan menjadi limpasan langsung (direct
runoff). Sebagian air hujan akan hilang melalui beberapa proses seperti infiltrasi, pengisian
cekungan. Hujan yang menjadi limpasan sering juga dikenal sebagai volume limpasan atau hujan
efektif merupakan selisih antara hujan dengan hujan yang hilang. Besarnya hujan yang hilang
dipengaruhi oleh system DAS-nya. Sistem DAS tersebut meliputi banyak hal seperti kondisi
DAS baik tataguna lahan, jenis tanah maupun kondisi DAS sebelum terjadinya hujan (tingkat
kebasahan DAS).

2.4 Abstraksi/Losses
Banyak metode yang dapat dipergunakan untuk analisis besarnya kehilangan air hujan
atau volume limpasan seperti metode koefisien limpasan (runoff coefficient), metode indek- (-
index), metode infiltrasi (missal Horton, Green Ampt), metode Soil Conservation Service-
CURVE Number (SCS-CN).

2.4.1 Metode Koefisien Limpasan

10
Koefisien limpasan (Runoff coefficients) dapat digunakan untuk menghitung besarnya
hujan efektif/volume hujan yang menjadi limpasan. Koefisien limpasan didefinisikan sebagai
nilai perbandingan antara laju puncak limpasan permukaan dengan rerata intensitas hujannya.
Akan tetapi nilai ratio ini relative sulit dicari mengingat variabilitas hujan yang sangat
tinggi. Definisi lain dari koefisien limpasan yang banyak digunakan adalah nilai perbandingan
antara limpasan dengan hujan durasi tertentu.
Nilai koefisien limpasan untuk berbagai kondisi lahan dapat dilihat di buku hidrologi seperti
Chow, et al., (1988).
hll
C= M
∑ Rm
m

dengan :
C = koefisien limpasan
hℓℓ = tinggi limpasan (mm)
Rm = total hujan (mm)

Contoh Soal 2.1


Hitung besarnya koefiien limpasan untuk data hujan-aliran di DAS dengan luas 40,6 km 2 seperti
pada Tabel 2.4 di bawah ini.
Tabel 2.4. Data hujan-aliran DAS Code di Kaloran (23-24 Februari 2005)
Jam P (mm) Q (m3/det) Jam P (mm) Q (m3/det)
14:00 0,0 15,31 2:00 0,0 17,14
15:00 0,0 12,89 3:00 0,0 15,82
16:00 17,5 11,76 4:00 0,0 14,56
17:00 44,3 10,28 5:00 0,0 13,83
18:00 22,1 41,19 6:00 0,0 12,66
19:00 6,5 95,10 7:00 0,0 12,21
20:00 0,0 110,52 8:00 0,0 11,54
21:00 0,0 54,18 9:00 0,0 11,11
22:00 0,0 39,07 10:00 0,0 10,69
23:00 0,0 29,37 11:00 0,0 10,69
0:00 0,0 22,04 12:00 0,0 10,69
1:00 0,0 19,08 13:00 0,0 10,69

Penyelesaian :
Limpasan langsung = hidrograf terukur – aliran dasar (Tabel 2.5. dan Gambar 2.6)
Hujan efektif = hujan terukur – abstraksi
Tinggi limpasan langsung = volume limpasan langsung persatuan luas DAS

11
m
V ℓℓ = ∑ Qnet⋅Δt
n=1
t

V ℓℓ
∫ Qnet⋅ dt ∑ Q ⋅ Δt
0 net
hℓℓ =d eff = = = ( cm )
A A A
dengan :
V ℓℓ = Volume limpasan langsung (m3)
hℓℓ =d eff = tinggi limpasan langsung (m)
Qnet = ordinat debit limpasan langsung (m3/detik)
A = luas daerah aliran (km2)
t = interval waktu (jam)

Tabel 2.5. Hitungan hidrograf limpasan langsung.

12
Hujan terukur Hidrograf terukur Aliran dasar Limpasan langsung
Jam ke- 3 3
P (mm) Q (m /det) BF (m /det) HLL (m3/det)
14:00 0,0 15,31 15,31 0,00
15:00 0,0 12,89 12,89 0,00
16:00 17,5 11,76 11,76 0,00
17:00 44,3 10,28 10,28 0,00
18:00 22,1 41,19 1,33 39,86
19:00 6,5 95,10 1,33 93,77
20:00 0,0 110,52 1,33 109,19
21:00 0,0 54,18 1,33 52,85
22:00 0,0 39,07 1,33 37,74
23:00 0,0 29,37 1,33 28,04
0:00 0,0 22,04 1,33 20,71
1:00 0,0 19,08 1,33 17,75
2:00 0,0 17,14 1,33 15,81
3:00 0,0 15,82 1,33 14,49
4:00 0,0 14,56 1,33 13,23
5:00 0,0 13,83 1,33 12,50
6:00 0,0 12,66 1,33 11,33
7:00 0,0 12,21 1,33 10,88
8:00 0,0 11,54 1,33 10,21
9:00 0,0 11,11 1,33 9,78
10:00 0,0 10,69 1,33 9,36
11:00 0,0 10,69 10,69 0,00
12:00 0,0 10,69 10,69 0,00
13:00 0,0 10,69 10,69 0,00
Total 90,4 507,50

13
Hubungan Hujan-Limpasan, DAS Code
(Hujan terukur : P1 = 17,5 mm, P2 = 44,3 mm, P3 = 22,1 mm, P4 = 6,5 mm)
120

100
Debit Limpasan, Q (m3/detik)

80

60

40

20

0
10
11
12
13

17

21
22
23
24
14
15
16

18
19
20

25
0
14:001
15:002
16:003
17:004
18:005
19:006
20:007
21:008
22:009

00:00

02:00
03:00

05:00

07:00

09:00

11:00

13:00
23:00

01:00

04:00

06:00

08:00

10:00

12:00
Jam ke -
Limpasan Base Flow

Gambar 2.9, Hujan dan aliran DAS Code di Kaloran, 23-24 Februari 2005.

Selanjutnya besarnya koefisien limpasan dapat dihitung sebagai berikut :


hLL 31 , 18
C= M
= = 0 , 345
90 , 4
∑ Rm
m

2.4.2 Metode indek-


Indek- (-index) adalah kehilangan air hujan dengan laju tetap (konstan) sedemikian
rupa sehingga total hujan efektif sama dengan besarnya tinggi limpasan langsung.

14
M

M ∑ ( Rm− hℓℓ )
m=1
hℓℓ = ∑ ( Rm− φ⋅Δt ) dan φ =
m=1 M⋅Δt
dengan :
hℓℓ = tinggi limpasan langsung (mm)
Rm = hujan (mm)
Δt = interval waktu (jam)
M = jumlah lama hujan (lama hujan penyebab terjadinya limpasan langsung)

Misalkan di suatu DAS terjadi hujan selama 4 jam berturut-turut P 1, P2, P3, P4. Hujan

tersebut menyebabkan terjadinya limpasan langsung sebesar


hℓℓ , maka besarnya indek- dapat

dihitung dengan persamaan di atas. Index- dihitung dengan cara coba-coba, sebagai berikut :
Untuk  < P4, maka semua hujan akan berkontribusi terhadap limpasan langsung,

sehingga besarnya
hℓℓ adalah :

hℓℓ = (P - t) + (P - t) +(P - t) +(P - t) = P + P + P + P – 4  t


1 2 3 4 1 2 3 4

4  t = P1 + P2 + P3 + P4 –
hℓℓ

P 1 +P2 +P3 +P4 − hℓℓ


φ= ( mm )
4 Δt
Untuk Δt = 1 jam, maka :
P 1 +P2 +P3 +P4 − hℓℓ
φ= ( mm )
4
Apabila  tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan ( < P4), maka hitungan di
atas harus diulangi dengan  yang berbeda, seperti di bawah ini. Untuk P4 <  < P3, maka dengan
cara yang sama seperti di atas akan diperoleh :
P 1 +P2 + P3 − hℓℓ
4
φ= [mm ]
3
Prosedur di atas diulang hingga diperoleh nilai  yang memenuhi persyaratan yang telah
ditentukan sebelumnya.

15
44,3 44,3

40 40
Intensitas hujan (mm/jam)

Intensitas hujan (mm/jam)


30 30
22,1 22,1
20 17,5 20

10 6,5 10 Index-f =17,62 mm

Index-f
0 0
1 2 3 4 1 2 3 4
Waktu (Jam ke-) Waktu (Jam ke-)

Gambar 2.7. Distribusi hujan dan Index-.

Contoh Soal 2.2.


Berdasarkan contoh soal 2.1 (hasil pengamatan hujan DAS Code), hitung besarnya index-
Penyelesian :

Misalkan φ ≤ 6,5 mm/ jam , maka semua hujan akan berkontribusi terhadap limpasan
sehingga :
P 1 +P2 +P3 +P4 − hℓℓ 17 , 5+44 , 3+22 ,1+6,5− 31 , 18
φ= = ( mm/ jam )
lama hujan 4
φ = 14 ,82 mm/ jam > 6,5 mm/jam (pemisalan harus diulang lagi)

Misalkan 6,5 < φ ≤ 17, 5 mm/ jam, maka hanya hujan selama 3 jam yang akan berkontribusi
terhadap limpasan sehingga :
P 1 +P2 +P3 − hℓℓ 17 , 5+44 , 3+22 ,1− 31 ,18
φ= = ( mm/ jam )
lama hujan 3
φ = 17,59 mm/ jam > 17,5 mm/jam (pemisalan harus diulang lagi)

Misalkan 17,5 < φ ≤ 22, 1 mm/ jam , maka hanya hujan selama 2 jam yang akan
berkontribusi terhadap limpasan sehingga :
P 1 +P2 − hℓℓ 17 ,5+44 ,3− 31 ,18
φ= = ( mm/ jam )
lama hujan 2
φ = 17 , 62 mm/ jam < 22,1 mm/jam (asumsi, OK)

16
Nilai  tersebut harus di cek, sehingga diperoleh nilai ∑ P efektif = hℓℓ (tinggi
limpasan langsung).
Tabel 2.4. Ckecking nilai indek- terhadap P efektif.
Waktu Indeks- f P efektif
P (mm)
(jam ke-) (mm/jam) (mm)
1 17,53 17,62 0
2 44,28 17,62 26,66
3 22,14 17,62 4,52
4 6,54 17,62 0
Jumlah = 90,49 31,18

P-efektif = Tebal limpasan, hLL = 31,18 mm. (OK)

Contoh 3 :
DAS Kali Sampean, untuk rekonstruksi kejadian banjir 2-2-1960, dari hasil anfreq curah hujan
harian maksimum didapat R100 = 166,10 mm, Tentukan hyetograph SSARR, ABM, Tadashi
Tanimoto dan kaitkan nilai -indeks pada ketiga hyetograph tersebut ?
Solusi :
3.a) Perhitungan hyetograph SSARR dan -indeks.
t (jam) 1 2 3 4 5 6 7 8
P (mm) 48,17 19,93 53,15 19,93 14,95 4,98 3,32 1,66

17
Misal : φ≤1, 66 mm; maka semua hujan berkontribusi terhadap limpasan :
P +P +P +P +P +P +P +P − h 48 ,17+19 ,93+53, 15+19 ,93+ 14 ,95+4 ,98+3, 32+1 ,66−72 ,75
φ = 1 2 3 4 5 6 7 8 ℓℓ =
n∗Δt 8
= 11,67 mm≠ φasumsi ( pemisalan harus diulang )

Misal :1 ,66≤φ≤3 ,32 mm; maka hanya 7 hujan berkontribusi terhadap limpasan :
P +P +P +P +P +P +P − h 48 ,17+19, 93+53, 15+19, 93+ 14,95+4, 98+3, 32−72 ,75
φ = 1 2 3 4 5 6 7 LL =
lama hujan 7
= 13 ,10 mm≠ φ asumsi ( pemisalan harus diulang)
Misal :3 ,32≤φ≤4 ,98 mm/ jam; maka hanya 6 hujan berkontribusi terhadap limpasan:
P +P +P +P +P +P − h 48 ,17+19,93+53 , 15+19,93+ 14 ,95+4 ,98−72 ,75
φ = 1 2 3 4 5 6 LL =
lama hujan 6
= 14 ,73 mm≠ φasumsi ( pmisalan harus diulang lagi )

Misal : 4,98≤φ≤14 ,95 mm/ jam; maka hanya 5 hujan berkontribusi terhadap limpasan :
P1 +P2 +P3 +P 4 +P5 − h LL 48,17+19 ,93+53 ,15+19,93+ 14, 95−72,75
φ= =
lama hujan 5
= 16 ,68 mm/ jam≠ φ asumsi ( pemisalan harus diulang lagi )
Misal :14 ,95 φ≤19 , 93 mm; maka hanya 4 hujan berkontribusi terhadap limpasan :
P +P +P +P +P +P +P +P − h 48 ,17+19 ,93+53 ,15+19 ,93−72 , 75
φ = 1 2 3 4 5 6 7 8 ℓℓ =
n∗Δt 4
= 17 ,11 mm/ jam= φ asumsi ( pemisalan , OK )
Kontrol hasil perhitungan f -indeks.
Waktu P 100 Indeks-f P effektif
(jam ke-) (mm) (mm/jam) (mm)
1 48,17 17,11 31,06
2 19,93 17,11 2,82
3 53,15 17,11 36,04
4 19,93 17,11 2,82
5 14,95 17,11 0,00
6 4,98 17,11 0,00
7 3,32 17,11 0,00
8 1,66 17,11 0,00
Jumlah = 166,10 72,75
S P eff. = Tebal limpasan langsung, hLL = 72,75 mm (OK)

3.b) Perhitungan hyetograph ABM dan -indeks.

18
11,21 = P1
16,66 = P2
91,40 = P3
23,75 = P4
13,27 = P5
9,80 = P6
166,10
Perhitungan -indeks.
Misal : φ ≤9 ,80 mm, maka semua hujan berkontribusi terhadap limpasan :
P1 +P2 +P3 +P 4 +P5 +P6 − h LL 11,21+16,66+91, 40+23 ,75+13 ,27+9 ,80−117,44
φ= =
lama hujan 6
= 8 ,11 mm= φasumsi ( pemisalan, OK )

Misal : 9 ,80<φ≤11 ,21 mm; maka hanya 5 hujan berkontribusi terhadap limpasan :
P1 +P2 +P3 +P 4 +P5 − hLL 11,21+16, 66+91,40+23,75+13, 27−117, 44
φ= =
lama hujan 5
= 7 ,77 mm≠ φasumsi ( pemisalan harus diulang lagi )

Kontrol hasil perhitungan f-indeks.


Waktu Indeks-f P effektif
P (mm)
(jam ke -) (mm/jam) (mm)
1 11,21 8,11 3,10
2 16,66 8,11 8,55
3 91,40 8,11 83,29
4 23,75 8,11 15,64
5 13,27 8,11 5,16
6 9,80 8,11 1,69
Jumlah = 166,10 117,44
SP eff. = Tebal limpasan langsung, hLL = 117,44 mm (OK)

3.c) Perhitungan hyetograph Tadashi Tanimoto dan -indeks.


Tabel : Hitungan Hyetograph metode Tadashi Tanimoto
jam ke - 1 2 3 4 5 6 7 8
Prosentase 26 24 17 13 7 5,5 4 3,5
Tebal hujan, P i (mm) 43,19 39,86 28,24 21,59 11,63 9,14 6,64 5,81

Perhitungan -indeks :

19
Misal :  5,81 mm, maka semua hujan berkontribusi terhadap limpasan.
P1  P2  P3  P4  P5  P6  P7  P8  hLL = 11,22 mm  f misal (pemisalan harus diulang lagi).

8*t

Misal : 5,81 < f 6,64 mm, maka hanya 7 hujan yang berkontribusi terhadap limpasan.
P1  P2  P3  P4  P5  P6  P7  hLL = 12,00 mm  f misal (pemisalan harus diulang lagi).
 
7 * t

Misal : 6,64 < f 9,14 mm, maka hanya 6 hujan yang berkontribusi terhadap limpasan.
P1  P2  P3  P4  P5  P6  hLL = 12,89 mm  f misal (pemisalan harus diulang lagi).
 
6 * t

Misal : 9,14 < f 11,63mm, maka hanya 5 hujan yang berkontribusi terhadap limpasan.
P  P2  P3  P4  P5  hLL = 13,57 mm  f misal (pemisalan harus diulang lagi).
  1
5 * t

Misal : 11,64 < f 21,59 mm, maka hanya 4 hujan yang berkontribusi terhadap limpasan.
P1  P2  P3  P4  h LL = 14,14 mm = f misal (OK).
 
4 * t

Kontrol hasil perhitungan f -indeks.


Waktu P 100 Indeks-f P effektif
(jam ke-) (mm) (mm/jam) (mm)
1 43,19 14,14 29,05
2 39,86 14,14 25,72
3 28,24 14,14 14,10
4 21,59 14,14 7,45
5 11,63 14,14 0,00
6 9,14 14,14 0,00
7 6,64 14,14 0,00
8 5,81 14,14 0,00
Jumlah = 166,10 76,32
S P eff. = Tebal limpasan langsung, hLL @ 76,30 mm (OK).

20
Kurva hyetograph ABM dan -Indeks Kurva hyetograph SSARR dan -Indeks Hyetograph Tadashi Tanimoto dan -Indeks
(studi kasus Kali Sampean) (studi kasus Kali Sampean) (studi kasus Kali Sampean)
100 100 60 60 60 60
91,40
53,15 55 55

 - Indeks (mm/jam)
90 90

 - Indeks (mm/jam)
50 48,17 50

Phi Indeks (mm/jam)


50 50
80 80
45 43,19 45
70 70 39,86
Tebal hujan efektif, Pef (mm)

40 40 40 40
60 60 35 35
28,24

Tebal Hujan (mm)


50 50 30 30

Tebal Hujan (mm)


30 30
Hujan efektif 25 25
40 40 Hujan efektif 21,59
19,93 19,93
20 20 20 20
30 30 14,95 -
23,75  - indeks
indeks 15 15
11,63
20 16,66 Hujan efektif 20 9,14
11,21 13,27 10 10 10 10
9,80 Hujan abstraksi/losses 4,98
6,64 5,81
10 -indeks = 8,11 10 3,32 Hujan abstraksi/losses
1,66 5 5
Hujan abstraksi/losses
0 0 0 0 0 0
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu, Jam ke -
Waktu, Jam ke - Waktu, Jam ke -
Hyetograph ABM phi-indeks Hyetograph SSARR Phi indek Hyetograph Tadashi Tanimoto Phi indek

Gambar 3.1, Kurva -indeks pada ketiga hyetograph.

2.4.3 Metode infiltrasi


Horton (1940), mendeskripsikan infiltrasi tanah dengan pendekatan empiris yang
−k t
merupakan fungsi dari waktu, f t = f c + ( f o + f c ) e
dimana:
ft = laju infiltrasi atau kapasitas infiltrasi pada waktu t,
fc = laju infiltrasi konstan
fo = laju infiltrasi awal
e = bilangan alam (2,7182818)
k = konduktifitas hidrolik jaenuh air mm/jam
t = waktu
Untuk perhitungan design flood atau hidrograp yang dianggap mewakili hasil
rekonstruksi parameter non fisik adalah sebagai berikut :
fo = 80% x tebal hujan
k = 1,
fc = 2,68 mm, hasil pengujian lapangan (0,5 sampai dengan 4,40).

Contoh 4 :
DAS Kali Sampean, untuk rekonstruksi kejadian banjir 2-2-1960, dari hasil anfreq curah hujan
harian maksimum tahunan didapat R100 = 166,10 mm, Tentukan hyetograph ABM, SSARR,
Tadashi Tanimoto dan kaitkan nilai infiltrasi pada ketiga hyetograph tersebut ?

21
Solusi :
4.a) Perhitungan hyetograph ABM dan laju infiltrasi.
Hyetograph P
(%) (mm)
[7] [8]
6,75 11,21 = P1
10,03 16,66 = P2
55,03 91,40 = P3
14,30 23,75 = P4
7,99 13,27 = P5
5,90 9,80 = P6
100,00 166,10
tata letak
Perhitungan infiltrasi :
Perhitungan hujan abstaksi/losses metode infiltrasi :
Konduktifitas hidrolik tanah jenuh, k = 1 mm/jam. P 100 = 166,10 mm.
Kapasitas infiltrasi konstan, f c = 2,68 mm, dari hasil uji lapangan didapat (0,5 ~4,40)
Laju infiltrasi awal, f o = 80% x P = 80% x 166,10 = 132,88 mm.
-k t
Laju infiltrasi pada waktu t , f t = f c + (f o - f c ) e ---------> e = 2,7182818
-1*t
f t = 2,68 + (132,88 - 2,68)*2,7182818

Tabel Perhitungan Laju Infiltrasi


jam ke - 1 2 3 4 5 6
P (mm) 11,21 16,66 91,40 23,75 13,27 9,80
f t (mm) 50,58 20,30 9,16 5,06 3,56 3,00
P - f t (mm) 0,00 0,00 82,24 18,69 9,71 6,80 117,44
Tebal limpasan langsung, hLL = Peffektif = 117,44 mm.

4.b) Perhitungan hyetograph SSARR dan laju infiltrasi.


Tabel : Hitungan Hyetograph metode SSARR
jam ke - 1 2 3 4 5 6 7 8
Prosentase 29 12 32 12 9 3 2 1
Tebal hujan, P i (mm) 48,17 19,93 53,15 19,93 14,95 4,98 3,32 1,66

5.b1) Perhitungan hujan abstaksi/losses metode infiltrasi :


Konduktifitas hidrolik tanah jenuh, k = 1 mm/jam. P 100 = 166,10 mm.
Kapasitas infiltrasi konstan, f c = 2,68 mm, dari hasil uji di lapangan didapat (0,5 ~4,40)
Laju infiltrasi awal, f o = 80% x P = 80% x 166,10 = 132,88 mm.
-k t
Laju infiltrasi pada waktu t, f t = f c + (f o - f c ) e ---------> e = 2,7182818
-1*t
f t = 2,68 + (132,88 - 2,68)*2,7182818

22
Tabel perhitungan laju Infiltrasi
jam ke - 1 2 3 4 5 6 7 8
P (mm) 48,17 19,93 53,15 19,93 14,95 4,98 3,32 1,66
f t (mm) 50,58 20,30 9,16 5,06 3,56 3,00 2,80 2,72
P efektif = P - f t (mm) 0,00 0,00 43,99 14,87 11,39 1,98 0,52 0,00
Tebal limpasan langsung, hLL = Peffektif = 72,75 mm.

4.c) Perhitungan hyetograph Tadashi Tanimoto dan laju infiltrasi.


Tabel : Hitungan Hyetograph metode Tadashi Tanimoto
jam ke - 1 2 3 4 5 6 7 8
Prosentase 26 24 17 13 7 5,5 4 3,5
Tebal hujan, P i (mm) 43,19 39,86 28,24 21,59 11,63 9,14 6,64 5,81

4.c1) Perhitungan hujan abstaksi/losses metode infiltrasi :


Konduktifitas hidrolik tanah jenuh, k = 1 mm/jam. P 100 = 166,10 mm.
Kapasitas infiltrasi konstan, f c = 2,68 mm, dari hasil uji di lapangan didapat (0,5 ~4,40)
Laju infiltrasi awal, f o = 80% x P = 80% x 166,10 = 132,88 mm.
-k t
Laju infiltrasi pada waktu t, f t = f c + (f o - f c ) e ---------> e = 2,7182818
-1*t
f t = 2,68 + (132,88 - 2,68)*2,7182818

Tabel perhitungan laju Infiltrasi


jam ke - 1 2 3 4 5 6 7 8
P (mm) 43,19 39,86 28,24 21,59 11,63 9,14 6,64 5,81
f t (mm) 50,58 20,30 9,16 5,06 3,56 3,00 2,80 2,72
P efektif = P - f t (mm) 0,00 19,56 19,07 16,53 8,07 6,13 3,85 3,09
Tebal limpasan langsung, hLL = Peffektif = 76,30 mm.

Kurva hyetograph ABM dan Infiltrasi Kurva hyetograph SSARR dan Infiltrasi Hyetograph Tadashi Tanimoto dan Infiltrasi
(studi kasus Kali Sampean) (studi kasus Kali Sampean) (studi kasus Kali Sampean)
100 100 60 60 60 60
91,40
53,15 55 55
Laju Infiltrasi (mm/jam)

90 90
Laju Infiltrasi (mm/jam)

50 48,17 50 50 50
80 80
Laju Infiltrasi, f(t) (mm/jam)

45 43,19 45
70 70 39,86
Tebal hujan efektif, Pef (mm)

40 40 40 40
60 60 35 35
28,24
Tebal Hujan (mm)

50 50 30 30 30 30
Tebal Hujan (mm)

25 25
40 40 21,59
19,93 19,93
20 20 20 20
30 23,75 30 Hujan efektif 14,95
15 15
11,63
20 16,66 20 9,14
11,21 13,27 10 10 10 Hujan efektif 10
9,80 6,64 5,81
4,98
10 10 3,32 5 5
Hujan abstraksi/losses 1,66
Hujan abstraksi/losses
0 0 0 0 0 0
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 7 8
Waktu, Jam ke - Waktu, Jam ke - Waktu, Jam ke -
Hyetograph ABM Infiltrasi Hyetograph SSARR Infiltrasi Hyetograph Tadashi Tanimoto Infiltrasi

Gambar 4.1, Kurva laju infiltrasi pada ketiga hyetograph.

23
A. Metode Soil Conservation Service-CURVE Number (SCS-CN)
Soil Conservation Service pada tahun 1972 (Chow et. al., 1988) telah mengembangkan suatu
metode untuk menghitung hujan efektif dari hujan deras, dalam bentuk persamaan berikut :
2
( P−I a ) ( P−0,2 S )2
Pe = =
P− I a + S P+0,8 S …………………………………………………………………… (6.6)
dengan :
Pe = ketebalan hujan efektif (mm)
P = ketebalan hujan (mm)
S = retensi potensial maksimum air oleh tanah, yang sebagian besar adalah karena
infiltrasi (mm).
Persamaan (6.6) merupakan persamaan dasar untuk menghitung ketebalan hujan efektif.
Retensi potensial maksimum S merupakan fungsi dari nilai curve number (CN)
mempunyai bentuk sebagai berikut:

S= (1000
CN
−10 ) x 25 , 4 (mm)

25400
atau : S = −254 ( mm)
CN ………………………………………………………………………… (6.7)
Dengan CN adalah Curve Number yang merupakan fungsi dari karakteristik DAS seperti tipe
tanah, tanaman penutup, tataguna lahan, kelembaban dan cara pengerjaan tanah. Nilai CN untuk
berbagai jenis tataguna lahan diberikan dalam Tabel 6.5. Gambar 6.12. memberikan hubungan
antara hujan kumulatif dan hujan efektif untuk berbagai nilai CN,yang merupakan bentuk grafik
dari Persamaan 6.6. Nilai CN bervariasi antara 0 sampai 100. Untuk CN = 100 (permukaan lahan
kedap air), dari Persamaan (6.7) diperoleh nilai S = 0; yang selanjutnya dari Persamaan (6.6)
diperoleh Pe = P. Artinya hujan efektif sama dengan hujan total yang selanjutnya berubah
menjadi limpasan langsung. Nilai CN dalam Tabel 6.5. diperoleh dari penelitian di daerah
beriklim sedang. Namun nilai tersebut dapat digunakan apabila nilai CN di daerah yang diteliti
belum tersedia. Apabila lahan terdiri dari beberapa tataguna lahan dan tipe tanah maka dihitung
nilai CN komposit.

Tabel 6.5. Nilai CN untuk beberapa Tataguna Lahan.

24
Type tanah
Jenis Tataguna lahan
A B C D
Tanah yang diolah dan ditanami
-dengan konservasi 72 81 88 91
- tanpa konservasi 62 71 78 81
Padang rumput
- kondisi jelek 68 79 86 89
- kondisi baik 39 61 74 80
Padang rumput : kondisi baik 30 58 71 78
Hutan - tanaman jarang, penutup jelek 45 66 77 83
- penutup baik 25 55 70 77
Tempat terbuka, halaman rumput, lapangan
golf, kuburan, dsb.
- kondisi baik : rumput penutup 39 61 74 80
75% atau lebih luas.
- kondisi sedang : rumput penutup 49 69 79 84
50% - 75% luasan
Daerah perniagaan dan bisnis (85% kedap air) 89 92 94 95
Daerah industri (72% kedap air) 81 88 91 93
Pemukiman :
Luas : % kedap air
1/8 acre atau kurang 65 77 85 90 92
1/4 acre 38 61 75 83 87
1/3 acre 30 57 72 81 86
1/2 acre 25 54 70 80 85
1 acre 20 51 68 79 84
Tempat parkir, atap, jalan mobil (dihalaman)
- Perkerasan dengan drainase 98 98 98 98
- kerikil 76 85 89 91
- tanah 72 82 87 89
Catatan : 1 acre = 0,4047 ha.

25
Gambar 6.12, Hujan efektif sebagai fungsi hujan dan CN.

Gambar 6.12 merupakan grafik hubungan antara hujan efektif dan hujan total untuk berbagai

nilai CN. Nilai CN antara 0 ≤CN≤ 100 , untuk daerah kedap air atau permukaan air CN = 100.
Selain kondisi permukaan, nilai CN juga dipengaruhi oleh kondisi tanah. Selanjutnya SCS telah
membuat tabel nilai CN sebagai fungsi jenis tanah dan tata guna lahan seperti pada Tabel 6.5
(Chow et. al., 1988). Tabel tersebut berlaku untuk kondisi normal (antecendent moisture
conditions, AMC II) dan nilai kehilangan awal (initial abtraction, Ia).
Untuk kondisi kelembaban DAS sebelumnya AMC yang berbeda yaitu AMC I (kondisi kering)
dan AMC III (kondisi basah), SCS membuat persamaan empiris sebagai berikut :
4,2 CN ( II )
CN ( I ) = ( dry )
10−0 , 058 CN ( II )
23 CN ( II )
CN ( III ) = ( wet )
10−0 , 13 CN ( II )
Kriteria penentuan kondisi DAS dalam keadaan kering, normal atau basah didasarkan pada
kriteria pada table berikut.

26
Tabel 2.5. Klasifikasi AMC.
Jumlah hujan selama 5 hari terdahulu (cm)
Kelas AMC
Musim kering Musim semi
I kurang dari 1,3 Kurang dari 3,6
II 1,3 sampai 2,8 3,6 sampai 5,3
III lebih dari 2,8 lebih dari 5,3

Selain itu jenis tanah juga sangat berpengaruh terhadap nilai hujan efektif. Tanah berpasir
mempunyai nilai infiltrasi tinggi sehingga hujan efektif kecil, sebaliknya nilai infiltrasi tanah
lempung sangat kecil sehingga sebagian besar hujan yang jatuh dipermukaan tanah menjadi
limpasan permukaan. Jenis tanah dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
Kelompok A : terdiri dari tanah dengan potensi limpasan rendah, mempunyai laju infiltrasi
tinggi. Terutama untuk tanah pasir (deep sand) dengan silty dan clay sangat
sedikit (gravel) yang sangat lolos air.
Kelompok B : terdiri dari tanah dengan potensi limpasan agak tinggi, laju infiltrasi lambat jika
tanah tersebut sepenuhnya basah. Tanah berbutir sedang sampai halus (clay dan
colloids) dengan laju meloloskan air lambat.
Kelompok C : terdiri dari tanah dengan potensi limpasan tinggi, mempunyai laju infiltrasi sangat
lambat. Terutama tanah liat (clay) dengan daya kembang (swelling) tinggi,
tanah dengan muka air tanah permanen tinggi, tanah dengan lapis lempung di
dekat permukaan dan tanah yang dilapisi dengan bahan kedap air. Tanah ini
mempunyai laju meloloskan air sangat lambat.
Contoh 2 :
Suati DAS dengan luas 1000 ha, terjadi hujan merata dengan ketebalan hujan 100 mm. DAS
tersebut terdiri dari 2 kelompok tanah, 60% kelompok B dan 40% kelompok C.
Dianggap kondisi kelengasan termasuk AMC II. Tata guna lahan berupa
berupa lapangan terbuka dengan tanaman penutup adalah rumput kondisi
sedang. Hitung limpasan permukaan.
Solusi :
Dihitung nilai CN dengan menggunakan Tabel 6.5. Untuk lapangan terbuka dengan penutup
rumput kondisi sedang nilai CN adalah : kelompok B : CNB = 69
Kelompok C : CNC = 79

27
CN komposit : CNk = 0,6*69 + 0,4*79 = 73.
25400 25400
S= − 254 = − 254 = 93, 9 mm.
CN 73
( P−0,2 S )2 ( 100−0,2 ∗93 , 9 )2
Pe = = = 37 , 67 mm .
P+0,8 S 100+0,8 ∗93,9
Contoh :
Soal dalam contoh 2, apabila kondisi kelengasan adalah kelompok III, hitungn limpasan ?
Solusi :
Dihitung nilai CN untuk kondisi AMC III dengan persamaan (6.8) dan (6.9)
23 CN ( II ) 23 ∗73
CN ( III ) = = = 86,15
10−0 ,13CN ( II ) 10−0 ,13∗73
25400 25400
S= − 254 = − 254 = 40 ,83 mm.
CN ( III ) 86 ,15
( P−0,2 S )2 ( 100−0,2∗40,83 )2
Pe = = = 63 ,57 mm.
P+0,8 S 100+0,8∗40,83
Contoh 4 :
Sesuai perjalanan waktu, DAS seperti diberikan dalam contoh 2 telah berkembang menjadi
daerah pemukiman > Tataguna lahan telah berubah menjadi :
30% pemukiman dengan 30% kedap air.
20% pemukiman dengan 65% kedap air.
15% jalan dengan perkerasan .
25% tanah terbuka dengan 50% dengan penutupan rumput kondisi sedang dan 50% rumput
kondisi baik.
10% tempat parlir, pertokoan, dsb (semua kedap air)
Hitung limpasan ?
Solusi :
Dihitung CN untuk masing-masing tataguna lahan dengan menggunakan Tabel 6.5. Tabel 6.8.
memberikan hitungan perkalian antara nilai CN dan prosentase tataguna lahan.
Tabel 6.8. Hitungan CN komposit.

28
4761+3437
CN komposit :CN k = = 81 , 98
100
25400 25400
S= −254 = −254 = 55 ,83 mm.
CN K 81 ,98
( P−0,2 S )2 ( 100−0,2∗55 , 83 )2
Pe = = = 54 , 55 mm.
P+0,8 S 100+0,8∗55 , 83

Dengan membandingkan nilai Pe untuk DAS sebelum dan sesudah berkembang, dapat
disimpulkan bahwa setelah DAS dibangun menjadi daerah pemukiman, nilai P e meningkat dari
Pe awal = 37,67 mm menjadi Pe berkembang = 54,55. Berarti limpasan air menjadi lebih besar.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Nilai S dapat dihitung berdasarkan pasangan data hujan-aliran. Berdasarkan persamaan S
dan Pe (= Q), maka S dapat dihitung dengan persamaan berikut:

( 2 aP−( a−1 ) Q ) − √ ( 2 aP−( a−1 ) Q )2 −4 a2 ( P−Q ) P


S=
2 a2
Untuk nilai a = 0,2 (ratio antara Ia dan S, a = Ia/S dihitung dengan persamaan :

S = 5 ( P+2 Q−√ 4Q 2 +5 PQ )

Contoh Soal 2.3.


Berdasarkan contoh 2.1, hitung besarnya CN dan hujan efektifnya berdasarlan konsep SCS-CN.
Penyelesaian :
Dari data diperoleh bahwa total hujan adalah P = 90,50 mm dan total hujan efektif
Pe = 31,18 mm.

Dengan persamaan : S = 5 ( P+2 Q−√ 4Q 2 +5 PQ ) diperoleh besarnya


Dengan P = P = 90,50 mm, dan Q = Pe = 31,18 mm, maka dapat diperoleh besarnya
S = 93,469 mm.
Berdasarkan nilai S ini, dapat dihitung nilai CN nya sebagai berikut :

S= (1000
CN
−10 ) x 25 , 4 (mm)

CN = 73,10.
29
Apabila Ia = 0,2 S, maka diperoleh Ia = 18,69 mm.
Dengan nilai S dan Ia di atas, selanjutnya dapat dihitung hujan efektifnya seperti pada
table dan gambar hujan efektif berikut ini.
2
(∑ P−I a )
∑ Pe =
∑ P−I a+S
Tabel 2.5. Perhitungan hujan efektif.
Data : S P = 90,50 mm. S Pe = 31,18 mm. S = 93,469 mm.
CN = 73,10 Ia =18,69
Waktu P SP Ia S Pe P efektif
(jam ke-) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 17,53 17,53 17,53 0,00 0
2 44,28 61,81 18,69 13,61 13,61
3 22,14 83,95 18,69 26,83 13,22
4 6,54 90,49 18,69 31,19 4,36

Gambar 2.5. Hujan efektif.


O

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dalam analisis hujan-aliran untuk memperkirakan debit banjir rencana diperlukan masukan hujan
rencana ke dalam suatu system DAS. Hujan rencana tersebut dapat berupa kedalaman hujan di suatu titik
atau hietograf hujan rencana yang merupakan distribusi hujan sebagai fungsi waktu selama hujan deras.
Perencanaan bangunan air didasarkan pada debit banjir rencana yang diperoleh dari analisis hujan-aliran
tersebut yang bisa berupa banjir rencana dengan perode ulang tertentu.
Debit rencana dapat dihitung dari kedalaman hujan titik dalam penggunaan metode rasional untuk
menentukan debit puncak pada perencanaan drainase dan jembatan (gorong-gorong). Metode rasional ini
digunakan apabila daerah tangkapan air kecil. Pada perencanaan bangunan pelimpah suatu bendungan,
perencanaan tanggul banjir, analisis penelusuran banjir (flood routing) di waduk atau di sungai;
diperlukan hidrograf banjir rencana dengan periode ulang tertentu. Hidrograf banjir dapat diperoleh
dengan menggunakan metode hidrograf satuan. Dalam hal ini data masukan yang diperlukan adalah
hietograf hujan rencana.
Pencatatan hujan biasanya dalam bentuk data hujan harian, jam-jaman, atau menitan. Pencatatan
dilakukan dengan interval waktu pendek supaya distribusi hujan selama terjadinya hujan dapat diketahui.
Distribusi hujan yang terjadi digunakan sebagai masukan untuk mendapatkan hidrograf aliran. Dalam

30
analisis hidrograf banjir rencana dengan masukan hujan rencana dengan periode ulang tertentu yang
diperoleh dari analisis frekuensi, biasanya parameter hujan seperti durasi dan pola distribusi tidak
diketahui. Padahal parameter tersebut sangat diperlukan. Ada beberapa beberapa metode yang dapat
digunakan untuk menentukan distribusi hujan rencana. Beberapa metode yang akan dipelajari dalambab
ini adalah metode Tadashi Tanimoto, Mononobe, dan Alternating Block Method (ABM).

8.4 Hyetograph Hujan Rancangan


1. Distribusi hujan seragam
2. Distribusi hujan segitiga
3. Alternating Block Method (ABM)
5. Distribusi hujan Tadashi Tanimoto

8.5 Penurunan Distribusi Hujan


Soal Latihan

31

Anda mungkin juga menyukai