Anda di halaman 1dari 13

HUKUM AGRARIA

MAKALAH TENTANG MATERI

“JUAL BELI HAK MILIK ATAS TANAH DENGAN ALAT BUKTI


AKTA JUAL BELI”

Disusun Oleh :

AFMI ALFIANI RAHMAH

(2019200002)

KELAS : B

Dosen Pengasuh : Dr. Bambang Sudiarto, SH., MH.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas anugerah dan
karunia-Nya akhirnya saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini tepat pada
waktunya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Bambang Sudiarto, SH.,
MH. selaku Dosen saya yang telah memberikan tugas ini kepada saya sehingga saya
mendapatkan banyak tambahan pengetahuan.

Adapun judul makalah ini yaitu mengenai materi tentang “JUAL BELI HAK

MILIK ATAS TANAH DENGAN ALAT BUKTI AKTA JUAL BELI” .


Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester mata kuliah Hukum
Agraria.

Dengan adanya makalah ini, saya selaku penyusun berharap semoga makalah yang
telah saya susun ini bisa memberikan banyak manfaat serta menambah pengetahuan.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang
membutuhkan perbaikan, sehingga kami sangat mengharapkan masukan serta kritikan dari
para pembaca.

Hormat Saya,

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik
dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata
pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan,
industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan
didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.

Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat
(3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah
banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan
Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain.

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian
yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat
(1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi
hak-hak atas tanah dalam dua bentuk:

1) hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang
mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli
warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan
(HGB), Hak Pakai (HP).
2) Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat
sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak
menyewa atas tanah pertanian.

Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak
primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang
lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi:

“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”

Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama
pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak
milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah
yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan
pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi
wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang
lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih
luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.3)

Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya


menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki
kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya
terhadap siapapun. Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang
melekat pada hak milikmenjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan
tidak dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat
pula dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain
terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
 Pasal 6 :Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak
dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah)
semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan
kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik
dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
 Pasal 7:Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
 Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai
tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16
oleh satu keluarga atau badan hukum.
 Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-
undang.
 Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah dikenal dua


asas, pertama asas “Nemo plus juris transfere potest quam ipse habel”, artinya tidak
seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi hak
miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas “Nemo sibi ipse causam possessionis
mutare potest”, artinya tidak seorangpun mengubah bagi dirinya atau kepentingan
pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan objeknya.

Kedua asas tersebut semakin mengukuhkan kekuatan sifat terkuat dan terpenuh hak
milik atas tanah. Kewenangan yang luas dari pemiliknya untuk mengadakan tindakan-
tindakan di atas tanah hak miliknya, kekuatan pemiliknya untuk selalu dapat
mempertahankan hak miliknya dari gangguan pihak lain, dan segala keistimewaan dari
hak milik mempunyai nilai keabsahan dan kehalalan yang dijamin kedua asas tersebut.

Adapun mengenai jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi hak milik atas
tanah terdapat penegasannya lebih lanjut yaitu melalui suatu mekanisme yang dinamakan
‘Pendaftaran Tanah” atau “Recht Kadaster.”

Pasal 1 angka (1) Ketentuan Umum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan
teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mngenai bidang-bidang tanah
dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Berkaitan dengan hal ini terdapat 2
macam asas hukum, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris.

 Asas itikad baik, yaitu bahwa orang yang memperoleh sesuatu hak dengan itikad
baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum. Asas ini
bertujuan untuk melindungi orang yang beritikad baik.
 Asas nemo plus yuris, yaitu bahwa orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi
hak yang ada padanya. Asas ini bertujuan melindungi pemegang hak yang selalu
dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapapun.

Dari kedua asas tersebut melahirkan 2 sistem pendaftaran tanah, yaitu:

 Sistem publikasi positif, yaitu bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin
kebenaran data yang didaftarkannya dan untuk keperluan itu pemerintah
meneliti kebenaran dan sahnya tiap warkah yang diajukan untuk didaftarkan
sebelum hal itu dimasukkan dalam daftar-daftar. Jadi kelebihan pada sistem
pendaftaran ini adalah adanya kepastian dari pemegang hak, oleh karena itu
ada dorongan bagi setiap orang untuk mendaftarkan haknya. Kekurangannya
adalah bahwa pendaftaran tersebut tidak lancar dan dapat saja terjadi
pendaftaran atas nama orang yang tidak berhak dapat menghapuskan hak
orang yang berhak.
 Sistem publikasi negatif, yaitu bahwa daftar umum tidak mempunyai kekuatan
hukum sehingga terdaftarnya seseorang dalam daftar umum tidak merupakan
bukti bahwa orang tersebut yang berhak atas hak yang telah didaftarkan.
Kelebihan dari system pendaftaran ini yaitu kelancaran dalam prosesnya dan
pemegang hak yang sebenarnya tidak dirugikan sekalipun orang yang terdaftar
bukan orang yang berhak. Tetapi kekurangannya adalah bahwa orang yang
terdaftarkan akan menanggung akibatnya bila hak yang diperolehnya berasal
dari orang yang tidak berhaksehingga orang menjadi enggan untuk
mendaftarkan haknya.
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Tentang Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai
(HP)
1. Hak Milik (HM)
a. Pengertian dan Sifat Hak Milik Menurut Pasal 20 UUPA yang dimaksud dengan
Hak Milik adalah:
“Hak turun- temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan
mengingat fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.

Hak Milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang dapat dipunyai orang atas
tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak tersebut merupakan hak “mutlak”, tidak
terbatas dan tidak dapat diganggu gugat sebagai Hak Eigendom.

Dengan demikian, maka Hak Milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1) Turun-temurun
Artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hukum dari seseorang
pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.
2) Terkuat
Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara Hak-hak atas
tanah yang lain.
3) Terpenuh
Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan untuk usaha pertanian
dan juga untuk mendirikan bangunan.
4) Dapat beralih dan dialihkan;
5) Dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan;
6) Jangka waktu tidak terbatas.
B. Subyek dan Obyek Hak Milik
Sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, maka yang dapat mempunyai
Hak Milik adalah :

a. Warga Negara Indonesia;


b. Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud
adalah PP No. 38 Tahun 1963 yang meliputi :
 Bank-bank yang didirikan oleh Negara;
 Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958;
 Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria
aetelah mendengar Menteri Agama;
 Badan Hukum Sosial Sedangkan menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA,
menentukan bahwa:
“Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh
Hak Milik, karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu, di dalam jangka waktu
satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu, Hak Milik tersebut tidak dilepaskan, maka hak
tersebut hapus karena hukum, dengan ketentuan Hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung”.
Khusus terhadap kewarganegaraan Indonesia, maka sesuai dengan Pasal
21 ayat (4) UUPA ditentukan bahwa :
“selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan Hak
Milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 Pasal ini”. Dengan
demikian yang berhak memiliki hak atas tanah dengan Hak Milik adalah
hanya Warga Negara Indonesia tunggal dan Badan Hukum yang ditunjuk
oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah.
C. Terjadinya Hak Milik

Menurut Pasal 22 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa :


“Terjadinya Hak Milik menurut Hukum Adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah”. Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa selain cara
sebagaimana diatur dalam ayat (1), Hak Milik dapat terjadi karena :
a. Penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
b. Ketentuan undang-undang.
Hal ini bertujuan agar supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan
umum dan negara. Hal ini berkaitan dengan Pasal 5 UUPA yang menyatakan
bahwa:
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum
Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan – peraturan yang tercantum dalam undang – undang ini dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur –
unsur yang bersandar pada Hukum Agama “.
D. Hapusnya Hak Milik

Berdasarkan ketentuan Pasal 27 UUPA Hak Milik dapat hapus oleh karena sesuatu
hal, meliputi ;

1) Tanahnya jatuh kepada negara oleh karena:


a. pencabutan hak; (UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah
dan Benda-benda yang ada di atasnya);
b. penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya; (KEPPRES No.55 Tahun 1993
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum)
c. diterlantarkan; (PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar);
d. ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2).
2. Hak Guna Bangunan (HGB)
a) Pengertian Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah yang diatur dalam Undang-
Undang Pokok Agraria. Pengertian Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 35 ayat
(1) yang berbunyi :
“Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun”.

Pernyataan Pasal 35 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa pemegang


HGB bukanlah pemegang hak milik atas bidang tanah dimana bangunan tersebut
didirikan.23 Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 37 UUPA menyatakan bahwa
HGB dapat terjadi terhadap tanah Negara yang dikarenakan penetapan pemerintah.
Selain itu HGB dapat terjadi di atas sebidang tanah Hak Milik yang dikarenakan
adanya perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan
dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu yang bermaksud
menimbulkan hak tersebut. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain serta dapat dijadikan jaminan hutang. Dengan demikian, maka sifatsifat
dari Hak Guna Bangunan adalah :

a. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dalam arti dapat diatas Tanah Negara ataupun tanah milik orang
lain.
b. Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi.
c. Dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain;
d. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.

b) Subyek dan Obyek Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia maupun badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hal
tersebut sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria. Pada ayat
(2) dijelaskan bahwa:

“Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi
memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) Pasal ini, dalam jangka
waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang
memenuhi syarat”.
Ketentuan tersebut berlaku juga bagi pihak lain yang memperoleh Hak Guna
Bangunan jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika HGB yang bersangkutan
tidak dilepaskan atau dialihkan.

Dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan
ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Mengenai tanah yang dapat diberikan
dengan Hak Guna Bangunan telah diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No.
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah.

Bila melihat pada Pasal 37 UUPA, maka dapat dimengerti bahwa HGB dapat
diberikan di atas tanah Negara yang didasari penetapan dari pemerintah. Selain itu
HGB juga dapat diberikan di atas tanah Hak Milik berdasar pada adanya kesepakatan
yang berbentuk otentik antara pemilik tanah dengan pihak yang bermaksud
menimbulkan atau memperoleh HGB tersebut. Melihat pada ketentuan Pasal 21 PP
No.40 Tahun 1996, maka tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan
adalah Tanah Negara; Tanah Hak Pengelolaan; dan Tanah Hak Milik.

Dengan demikian dapat diketahui pula bahwa obyek dari HGB adalah Tanah
Negara, tanah hak pengelolaan dan tanah Hak Milik dari seseorang. Ketentuan
mengenai Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah negara dan tanah Hak
Pengelolaan, diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 PP No. 40
Tahun 1996, dan pada dasarnya HGB yang diberikan di atas tanah Negara dan tanah
Hak Pengelolaan diberikan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala
BPN, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala BPN No.3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian
dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Anda mungkin juga menyukai