Anda di halaman 1dari 16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Infeksi saluran kemih (ISK) secara luas didefinisikan sebagai infeksi pada

bagian atas atau bawah saluran kemih, maupun keduanya (Rowe dan Mehta, 2013).

Pada wanita hamil dikenal dua keadaan infeksi saluran kemih yakni : (Anonim, 2013)

2.1.1 Infeksi saluran kemih tanpa gejala (Bakteria asimptomatik)

Dimana terdapat bakteri dalam urin porsi tengah lebih dari 100.000 per ml

urin. Urin diambil porsi tengah dengan cara vulva dan meatus urethra eksternus

dibersihkan terlebih dahulu dengan bahan antiseptik. Pada urinalisis dapat dijumpai

adanya leukosit (Anonim, 2013).

2.1.2 Infeksi saluran kemih dengan gejala (Bakteri simptomatik)

Dapat dibagi menjadi dua yaitu Infeksi saluran kemih bagian bawah (sistitis

akut) dan Infeksi saluran kemih bagian atas (pielonefritis). Infeksi saluran kemih

bagian bawah (sistitis akut) disertai gejala berupa disuria, terkadang didapatkan

hematuria, nyeri daerah suprasimpisis, terdesak kencing (urgency), stranguria,

tenesmus dan nokturia. Tetapi jarang sampai menyebabkan demam dan menggigil.

Pada urinalisis dapat dijumpai leukosit dan eritrosit. Infeksi saluran kemih bagian atas

(pielonefritis) disertai gejala berupa nyeri dan tegang pada daerah sudut

“costovertebral” atau daerah pinggang, demam, mual dan muntah. Dapat juga disertai

keluhan seperti pada infeksi saluran kemih bagian bawah seperti disuria, urgensi dan

6
7

polakisuria, stranguria, tenesmus, nokturia. Pada pemeriksaan darah dapat dijumpai

kadar ureum dan kreatinin yang meningkat dan pada pemeriksaan urinalisis

ditemukan leukosit. Atau pada pemeriksaan imunologi didapatkan bakteriuria yang

diselubungi antibody (Anonim, 2013).

2.2 Epidemiologi

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah masalah umum yang didiagnosis dan

diobati dalam praktek medis pelayanan darurat. Sebuah laporan pada tahun 2010

menunjukkan bahwa 3,1% dari kunjungan pelayanan darurat merupakan pasien

dengan ISK. Diperkirakan delapan juta pasien dengan ISK terjadi di AS setiap

tahunnya (Gibson dan Toscano, 2012).

Perempuan cenderung mengalami ISK lebih sering dari laki- laki karena

bakteri dapat mencapai kantung kemih lebih mudah pada wanita. Hal ini sebagian

disebabkan oleh uretra wanita pendek dan lebih luas dan dekat dengan anus. Bakteri

dari rektum dapat dengan mudah menuju ke uretra dan menyebabkan infeksi (Okonko

et. al., 2010).

Wanita hamil lebih rentan untuk terkena ISK karena beberapa perubahan

anatomi dan hormonal. Infeksi saluran kemih telah dilaporkan sekitar 20%

merupakan masalah kesehatan utama bagi ibu hamil (Hamdan et. al., 2011).

Temuan utama dari para peneliti terkait prevalensi ISK pada ibu hamil adalah

14,0% tanpa memandang usia, paritas dan usia kehamilan serta organisme yang tetap

dominan menjadi penyebab infeksi saluran kemih pada kehamilan adalah Escherichia
8

coli. Prevalensi ISK di antara perempuan mirip dengan prevalensi ISK pada wanita

hamil di negara-negara lain misalnya 14,6% dan 11,6% di Tanzania dan Ethiopia

(Hamdan et. al., 2011).

Di Isra University Hospital, Hyderabad, Pakistan, dilaporkan bahwa ibu hamil

yang mendasari ISK sebanyak 4,3% (Haider et. al., 2010) dan di Indonesia, angka

kejadian penyakit Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada ibu hamil khususnya di RSUD

Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Janari-Maret 2011 sebanyak 41 kasus (25,78%)

dari 159 ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan (Maesaroh dan Fatmala,

2011).

2.3 Etiologi

Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan oleh

kuman gram negative. Escherichia coli adalah penyebab paling umum dari infeksi

saluran kemih, terhitung sekitar 80-90% kasus. E coli bersumber dari flora fecal yang

berkolonisasi ke daerah periuretra sehingga menyebabkan infeksi menaik. Patogen

lain adalah sebagai berikut : Klebsiella pneumoniae (5%); Proteus mirabilis (5%);

Enterobacter species (3%); Staphylococcus saprophyticus (2%); Group B beta-

hemolytic Streptococcus (GBS; 1%); Proteus species (2%) (Johnson, 2014).

Perubahan fisiologis pada ibu hamil yang berkaitan dengan ISK terjadi pada

kehamilan usia enam minggu, oleh karena adanya perubahan fisiologis yaitu ureter

ibu hamil menjadi dilatasi. Hal ini juga disebut sebagai hidronefrosis kehamilan

dimana memuncak pada kehamilan minggu ke-22 hingga ke-26 dan berlangsung
9

sampai saatnya kelahiran. Peningkatan progesteron dan estrogen saat hamil juga

menyebabkan penurunan tonus ureter dan kandung kemih. Peningkatan volum

plasma semasa hamil menyebabkan penurunan konsentrasi urin dan peningkatan

volum urin dalam ginjal. Kombinasi dari seluruh faktor ini mengakibatkan terjadinya

stasis urinari dan uretero-vesikel refluks. Glikosuria dalam kehamilan juga salah satu

faktor terpenting yang menyebabkan ibu hamil mudah untuk terkena ISK (Emiru et.

al., 2013).

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Perubahan fisiologis yang berhubungan dengan kehamilan membuat ibu hamil

yang sehat rentan terhadap komplikasi serius pada saluran kemih. Para peneliti telah

menyatakan pentingnya perubahan fisiologis sebagai salah satu faktor untuk

terjadinya ISK selama kehamilan. Faktor-faktor seperti hormonal, mekanik dan

perubahan fisiologis selama kehamilan merupakan hal penting dalam saluran kemih.

Hal ini diduga memiliki dampak yang kuat terhadap perolehan infeksi (Vasudevan,

2014)

Perubahan fisiologis meliputi pembesaran uterus, penurunan aliran urin

melalui ureter (peristaltik urin) dan penurunan tonus kandung kemih. Perubahan ini

juga menyebabkan peningkatan volume plasma sehingga memicu pertumbuhan

bakteri. Pelebaran ureter dimulai pada delapan minggu kehamilan yang

mengakibatkan perpindahan kandung kemih. Akibat dari pembesaran uterus yang

terjadi karena kompresi mekanik menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis.


10

Progesteron yang diproduksi selama kehamilan memungkinkan relaksasi otot polos

yang menyebabkan penurunan peristaltik dari ureter yang bisa meningkatkan

kapasitas berbilah dan stasis urin. Perubahan ini dapat memfasilitasi pertumbuhan

bakteri (Vasudevan, 2014).

Volume plasma yang meningkat selama kehamilan dapat mengurangi

konsentrasi urin dan dapat meningkatkan kadar hormon progesteron dan estrogen.

Hal ini dapat menurunkan kemampuan saluran kemih bagian bawah untuk bertahan

melawan patogen. Berbagai faktor seperti pelebaran ureter, peningkatan volume

kandung kemih dan penurunan tonus kandung kemih menyebabkan peningkatan

stasis kemih dan ureterovescical refluks. Hal ini juga dapat meningkatkan lingkup

urine untuk tetap berada di kandung kemih sehingga berfungsi sebagai media

pertumbuhan yang baik bagi patogen untuk memperbanyak diri. Jumlah bakteri dan

sel-sel darah putih dalam sampel urin menentukan keparahan infeksi. Ada beberapa

kasus di mana ibu hamil dengan tes urin positif tidak memiliki gejala infeksi. Studi

penelitian terdahulu menyatakan adanya keterlibatan berbagai kesatuan klinis yang

terkait dengan ISK seperti uretritis, sistitis, pielonefritis berat dan pielonefritis

persisten. Kehadiran mikroorganisme dalam urin merupakan tanda yang penting

dalam mengindikasikan bahwa infeksi mulai terjadi. Kondisi tanpa gejala dan dengan

gejala terbatas pada kolonisasi urin tanpa respon pemicu. Keberadaan sel nanah

dalam urin tanpa gejala sangat penting untuk mengindikasikan kondisi bakteriuria

asimtomatik dan adanya sel-sel nanah dalam urine dikenal sebagai piuria. Individu

dengan bakteriuria asimtomatik sangat rentan untuk terjadi bakteriuria simptomatik


11

yang dapat mengakibatkan konsekuensi yang parah tergantung pada tahap infeksi dan

kondisi pasien (Vasudevan, 2014).

2.5 Faktor Resiko

Adapun faktor resiko ini termasuk karakteristik dari ibu hamil yang berkaitan

dengan Infeksi Saluran Kemih (ISK).

2.5.1 Umur

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Parveen et. al., (2011),

prevalensi infeksi saluran kemih pada ibu hamil yang berkaitan dengan usia

didapatkan individu-individu dari kelompok usia 21-25 tahun memiliki insiden

infeksi tertinggi (44,61%). Diikuti oleh kelompok umur 26-30 tahun (27,69%), 31-35

tahun (16,92%) dan 16 -20 tahun (6,15%). Sedangkan kelompok usia 36- 40 tahun

memiliki insiden infeksi terendah (4,61%).

2.5.2 Umur gestasional

Pada ISK yang berkaitan dengan umur gestasional, tingkat yang lebih tinggi

terkena ISK adalah pada trimester ketiga (78,46/%) dibandingkan dengan trimester

kedua (12.30%) dan trimester pertama (9.23%) (Parveen et. al., 2011). Hal ini

dikarenakan rahim yang semakin membesar akan menekan kandung kemih sehingga

kandung kemih tidak dapat benar-benar kosong dan menyebabkan bakteri mudah

tumbuh ketika air seni tertahan di dalam kandung kemih. Hal ini terjadi sebagai

akibat pengaruh hormon progesteron terhadap tonus otot dan peristaltik, dan yang
12

lebih penting lagi adalah akibat penyumbatan mekanik oleh rahim yang membesar

saat hamil (Maesaroh dan Fatmala, 2011).

2.5.3 Paritas

Pada ISK yang berkaitan dengan paritas atau jumlah anak dijumpai frekuensi

yang tinggi pada ibu-ibu yang memiliki > 4 anak (49,23%). Diikuti oleh mereka yang

memiliki 2-3 anak (32,30 /%) sedangkan frekuensi terendah terjadi pada mereka

dengan anak 0-1 (18,46%) (Parveen et. al., 2011).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Maesaroh dan Fatmala

(2011) terdapat hubungan yang signifikan antara paritas dengan kejadian penyakit

ISK pada ibu hamil dan pada ibu multipara mempunyai risiko 2,64 kali lebih besar

untuk terkena ISK dibandingkan dengan primipara. Ibu hamil yang sudah pernah

hamil untuk kesekian kali, lebih mudah terkena penyakit ISK oleh karena terjadi

perubahan fisiologis selama kehamilan, antara lain terjadi penurunan tonus dan

aktivitas otot-otot ureter yang mengakibatkan terjadinya penurunan kecepatan

pengeluaran air seni melalui sistem pengumpulan urine. Ureter bagian atas dan pelvis

ginjal mengalami dilatasi dan mengakibatkan terjadinya hidronefrosis fisiologis pada

kehamilan akibat pengaruh hormon progesteron (Lentz, 2009).

2.5.4 Status pendidikan

Berdasarkan penelitian Emiru et. al., (2013) mengenai status pendidikan yang

berkaitan dengan ISK digolongkan pada tingkat ibu hamil dengan positif ISK

menunjukkan persentase pada buta huruf (10,6 %), sekolah dasar (16,7%), sekolah
13

menengah pertama (10,4%), sekolah menengah atas (10,0%) dan pendidikan yang

lebih tinggi atau tingkat universitas (6,5%).

2.5.5 Sosial ekonomi

Berdasarkan penelitian Emiru et. al., (2013) yang dilakukan di negara

Euthopia mengenai tingkat pendapatan keluarga dalam setiap bulannya berkaitan

dengan positif ISK pada ibu hamil yang pendapatannya dibawah 500 birr atau setara

Rp 300.000 dengan persentase (18,9%) menunjukkan bahwa status sosial ekonomi

yang rendah merupakan salah satu faktor yang signifikan terhadap meningkatnya

ISK. Sedangkan pendapatan diatas 2000 birr atau setara Rp 1.200.000 menunjukkan

presentase yang kecil (4,0%) terhadap ISK.

2.5.6 Riwayat ISK

Temuan para peneliti seperti yang dilakukan oleh Emiru et. al., (2013) juga

mengungkapkan bahwa riwayat ISK pada masa lalu memiliki hubungan yang kuat

terhadap kejadian ISK pada ibu hamil (18,1%), sedangkan yang tidak memiliki

riwayat ISK hanya (6,1%).

2.5.7 Aktivitas seksual

Aktivitas seksual juga merupakan faktor risiko lain yang memiliki hubungan

signifikan terhadap ISK. Wanita hamil yang melakukan hubungan seksual tiga atau

lebih dari tiga kali per minggu lebih mungkin untuk terjadi ISK (25,0%) daripada

wanita yang melakukan hubungan seksual kurang dari tiga kali per minggu (8,7%).

Hal ini mungkin disebabkan oleh aktivitas seksual yang bisa meningkatkan

kontaminasi bakteri dari uretra perempuan. Melakukan hubungan seksual juga dapat
14

menyebabkan infeksi saluran kemih pada wanita karena bakteri dapat kedorong ke

uretra. Pada wanita juga lebih mudah terjadi trauma selama hubungan seksual karena

terkait dengan bentuk anatomi uretra wanita terhadap vagina serta bakteri juga dapat

berpindah naik dari uretra ke dalam kandung kemih selama kehamilan atau kelahiran

bayi (Emiru et. al., 2013).

2.5.8 Anemia

Anemia pada ibu hamil dengan kadar hemoglobin < 11 g/dl diduga dapat

meningkatkan risiko ISK pada ibu hamil. Hal ini juga telah dilaporkan oleh Emiru et.

al., (2013) yang menyatakan bahwa anemia mempunyai hubungan yang signifikan

terhadap kejadian penyakit ISK pada ibu hamil.

2.6 Tanda dan Gejala

Nyeri atau terbakar (ketidaknyamanan) saat buang air kecil; kebutuhan untuk

buang air kecil lebih sering dari biasanya; perasaan urgensi ketika buang air kecil;

darah atau lendir dalam urin; kram atau nyeri di perut bagian bawah; rasa sakit

selama hubungan seksual; menggigil, demam, berkeringat, inkontinensia; bangun dari

tidur untuk buang air kecil; perubahan jumlah urin, baik lebih atau kurang; urin yang

terlihat keruh, bau busuk atau luar biasa kuat; nyeri, tertekan, atau nyeri di daerah

kandung kemih; sakit punggung, menggigil, demam, mual, dan muntah jika bakteri

menyebar ke ginjal (Okonko et. al., 2010) .


15

2.7 Diagnosis

Gold Standard untuk diagnosis infeksi saluran kemih adalah deteksi patogen

dengan adanya gejala klinis. Patogen dapat dideteksi dan diidentifikasi dari

pemeriksaan kultur urin menggunakan midstream urine. Hal ini juga memungkinkan

estimasi tingkat bakteriuria. Namun, tingkat minimum bakteriuria yang menunjukkan

infeksi saluran kemih belum didefinisikan dalam literatur ilmiah atau standar oleh

laboratorium mikrobiologi. Banyak laboratorium menetapkan 105 colony forming

units/ml (cfu/ml) urin sebagai ambang batas. Namun, ambang batas tersebut

menyebakan banyak kehilangan infeksi yang terkait. Oleh karena itu ada rekomendasi

lain untuk diagnosis ISK menggunakan ambang batas 103 cfu / ml, tergantung pada

jenis bakteri yang terdeteksi (Schmiemann et. al., 2010).

2.7.1 Riwayat Medis

Diagnosis klinis infeksi saluran kemih pada dasarnya didasarkan pada riwayat

medis. Spesifik data yang telah ditetapkan dari studi klinis dapat meningkatkan atau

menurunkan infeksi saluran kemih. Faktor-faktor yang mungkin dapat meningkatkan

infeksi saluran kemih antaralain disuria, pollakiuria, nokturia, adanya atau

meningkatnya inkontinen, mikrohematuria, nyeri suprapubik, bau menyengat pada

urin atau urin berwarna keruh dan adanya riwayat ISK sebelumnya (Schmiemann et.

al., 2010).

Selain itu, faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan kemungkinan ISK

antara lain hubungan seksual dalam dua minggu sebelumnya, kontrasepsi dengan
16

DMPA (depot medroxyprogesterone acetate), pemakaian antibiotik dalam dua

sampai empat minggu sebelumnya, dan diabetes mellitus (Schmiemann et. al., 2010).

2.7.2 Tes urin

Tes urin adalah unsur penting kedua dalam uji coba diagnostik infeksi saluran

kemih (Schmiemann et. al., 2010). Pemeriksaan yang paling ideal untuk deteksi

adanya ISK adalah kultur urin. Untuk menegakkan diagnosis ISK bergejala (sistitis

akut dan pielonefritis), nilai ambang batas yang digunakan adalah 10 3 cfu/ml. Untuk

ISK tak bergejala (bakteriuria asimtomatik), nilai ambang batas yang digunakan

adalah 105cfu/ml. Dalam diagnosis bakteriuria asimtomatik pada perempuan,

termasuk ibu hamil, harus digunakan sampel yang berasal dari urin porsi tengah yang

diambil secara bersih (midstream, clean catch urine sample) (Ocviyanti dan

Fernando, 2012).

Diagnosis ISK dapat ditegakkan dengan metode tidak langsung untuk deteksi

bakteri atau hasil reaksi inflamasi. Metode yang sering dipakai adalah tes celup urin,

yang dapat digunakan untuk deteksi nitrit, esterase leukosit, protein, dan darah di

dalam urin. Idealnya, semua uji nitrit positif untuk diagnosis ISK pada kehamilan

harus dilanjutkan dengan pemeriksaan kultur urin pancar tengah yang diambil secara

bersih ( Ocviyanti dan Fernando, 2012).

Untuk pemeriksaan kultur urin dan tes celup urin, sampel urin harus diambil

dengan teknik pancar tengah yang diambil secara bersih untuk menghindari

kontaminasi. Khusus untuk pemeriksaan uji nitrit dengan tes celup urin, sampel urin

yang digunakan harus berasal dari urin pertama pada pagi hari segera sesudah pasien
17

bangun tidur. Kalau pemeriksaan bukan pagi hari, ibu diminta untuk menahan buang

air kecil minimal dua jam sebelum urin diambil untuk diperiksa. Ini penting diingat

karena diperlukan waktu yang cukup untuk berubahnya nitrat menjadi nitrit di dalam

kandung kemih ( Ocviyanti dan Fernando, 2012).

Tahapan pengambilan sampel urin porsi tengah yang diambil secara bersih

adalah sebagai berikut ( Ocviyanti dan Fernando, 2012) : cuci labia dan perineum

dengan air dan sabun; duduk atau jongkok di toilet dengan posisi kaki mengangkang,

buka labia dengan dua jari; gunakan kapas, kasa, atau tisu yang sudah dibasahi

dengan air steril atau desinfeksi tingkat tinggi (DTT, air yang sudah dimasak selama

minimal 30 menit) untuk membersihkan daerah sekitar orifisium uretra dan bagian

dalam labia. Kasa/kapas/tisu diusapkan satu kali saja dari arah orifisium uretra ke

arah vagina. Bila diperlukan, harus digunakan kasa/kapas/tisu yang baru dengan arah

pengusapan yang sama (Gambar 1a); keluarkan sedikit kemih tanpa ditampung, lalu

tahan sesaat sebelum melanjutkan berkemih ke dalam wadah urin yang diletakkan

sedekat mungkin dengan muara uretra tanpa menyentuh daerah genitalia (Gambar 1b

& 1c). Pastikan wadah urin minimal terisi separuhnya; setelah wadah urin terisi,

sisihkan wadah tersebut dan selesaikan berkemih.


18

Gambar 2.1 Pengambilan sampel urin porsi tengah yang diambil secara bersih

Sumber: (Ocviyanti dan Fernando, 2012, hal. 484)

(a) Pasien membersihkan vulva dengan kapas/kasa/tisu steril/DTT dari arah orifisium

uretra ke vagina. (b) Pasien membuka labia dengan dua jari sebelum mengeluarkan

sedikit urin tanpa ditampung. (c) Menampung urin pada wadah yang diletakkan

sedekat mungkin dengan muara uretra tanpa menyentuh daerah genitalia (Ocviyanti

dan Fernando, 2012).

2.8 Penatalaksanaan

Semua ISK pada kehamilan, baik bergejala maupun tidak, harus diterapi. Oleh

sebab itu, skrining bakteriuria asimtomatik pada kehamilan dilakukan minimal satu

kali pada setiap trimester. Pilihan terapi ISK pada kehamilan serta lama terapi adalah

sebagai berikut : Golongan antibiotik oral seperti amoksisilin 3 x 500mg, sefadroksil

2 x 500 mg, sefaleksin 3 x 250 mg, fosfomisin 3 g dosis tunggal, atau nitrofurantonin

3 x 100 mg yang tidak digunakan pada trimester tiga dan kotrimoksazol 2 x 960 mg
19

yang hanya boleh digunakan pada trimester kedua. Sedangkan untuk golongan

antibiotik intravena khusus untuk pielonefritis seperti sfuroksim 3 x 750 mg – 1,5 g,

amoksisilin 3 x 1 g, seftriakson 1 x 2 g, ampisilin-sulbaktam 4 x 3 g ( 2 g ampisilin +

1 g sulbaktam), gentamisin 5-7 mg/kg sebagai dosis awal dan untuk dosis berikutnya

diberikan 3-5 mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi dengan tetap memantau kadar

gentamisin serum. Gentamisin digunakan pada wanita dengan alergi terhadap

penisilin dan sefalosporin atau organism resisten terhadap penisilin dan sefalosporin.

Untuk lama terapi, diberikan selama 3 hari pada kasus bakteria asimptomatik, 5-7

hari untuk kasus sistisis akut, dan 10-14 hari untuk kasus pielonefritis.

Nitrofurantoin harus dihindari pada trimester ketiga karena berisiko

menyebabkan anemia hemolitik pada neonatus (Ocviyanti dan Fernando, 2012).

Beberapa penelitian menemukan adanya resistensi antibiotik yang cukup

tinggi pada bakteri patogen yang menyebabkan ISK, antara lain extended spectrum

betalactamase E.coli (ESBL) dan MRSA (methicillin resistant staphylococcus

aureus). Golongan antibiotik yang sudah dilaporkan mengalami resistensi adalah

golongan betalaktam, kuinolon, dan aminoglikosida. Antibiotik yang masih jarang

dilaporkan resistens adalah golongan glikopeptida, nitrofurantoin, dan karbapenem.

Oleh sebab itu, sangatlah penting untuk memilih antibiotik berdasarkan profil bakteri

patogen dan sensitivitas antibiotik setempat (Ocviyanti dn Fernando, 2012).


20

2.9 Pencegahan

Ibu hamil akan mengalami ISK berulang sekitar 15% sehingga dibutuhkan

pengobatan ulang dan upaya pencegahan. Beberapa negara sudah mengeluarkan

panduan untuk pencegahan ISK berulang dengan antimikroba, baik secara terus-

menerus maupun pascasanggama, dan dengan terapi non-antimikroba seperti

konsumsi jus cranberry (Ocviyanti dan Fernando, 2012).

Pemberian antibiotik profilaksis secara terus-menerus hanya dianjurkan pada

wanita yang sebelum hamil memiliki riwayat ISK berulang, atau ibu hamil dengan

satu episode ISK yang disertai dengan salah satu faktor risiko berikut ini: riwayat ISK

sebelumnya, diabetes, sedang menggunakan obat steroid, dalam kondisi penurunan

imunitas tubuh, penyakit ginjal polikistik, nefropati refluks, kelainan saluran kemih

kongenital, gangguan kandung kemih neuropatik, atau adanya batu pada saluran

kemih (Ocviyanti dan Fernando, 2012).

Antibiotik profilaksis pascasanggama diberikan pada ibu hamil dengan

riwayat ISK terkait hubungan seksual. Pada kondisi ini, ibu hamil hanya minum

antibiotik setelah melakukan berhubungan seksual, sehingga efek samping obat yang

ditimbulkan akan lebih sedikit bila dibandingkan dengan antibiotik profilaksis yang

digunakan secara terusmenerus (Ocviyanti dan Fernando, 2012).

Antibiotik profilaksis yang dapat digunakan secara terus menerus sepanjang

kehamilan adalah sefaleksin per oral satu kali sehari 250 mg atau amoksisilin per oral

satu kali sehari 250 mg. Antibiotik yang sama dapat digunakan sebagai profilaksis
21

pascasanggama dengan dosis yang sama sebagai dosis tunggal (Ocviyanti dan

Fernando, 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan manfaat jus cranberry dalam menurunkan

kejadian ISK. Jus cranberry diperkirakan dapat mencegah adhesi bakteri patogen,

terutama E. coli, pada sel-sel epitel saluran kemih. Jus cranberry dapat dikonsumsi

dengan aman pada kehamilan, tetapi pada beberapa pasien mungkin dapat muncul

efek samping gastrointestinal seperti mual dan muntah karena jus ini bersifat asam

(Ocviyanti dan Fernando, 2012).

2.10 Prognosis

Jika ISK dibiarkan berlangsung dan tidak diobati dapat menyebabkan infeksi

pada ginjal dan pielonefritis. Bakteriuria yang berkembang menjadi pielonefritis

selama kehamilan dikaitkan dengan hasil yang kurang baik bagi ibu dan anak,

termasuk sepsis dan anemia pada ibu, kelahiran prematur dan berat badan lahir

rendah (BBLR), serta kematian perinatal. Bahkan tanpa pengembangan menjadi

pielonefritis, infeksi saluran kemih selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan

risiko hipertensi ibu, anemia, amnionitis, dan kelahiran prematur, dan BBLR. Jika di

awal ISK segera ditangani secara benar, maka ISK tidak akan membahayakan pada

bayi (Gilber et. al., 2013).

Anda mungkin juga menyukai