Anda di halaman 1dari 15

TUGAS UAS

HUKUM KELUARGA & HARTA


PERKAWINAN

MAGISTER KENOTARIATAN
FIAN FARDIANTO
I2L020014

2020
PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita

perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan

mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang

ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan

seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum

ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat

dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur (Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Dalam Hukum Positif Indonesia, mengatur tentang perkawinan yang

tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyatakan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan sesorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.

Bagi perkawinan tersebut tentu harus dapat diperbolehkan bagi mereka

yang telah memenuhi batasan usia untuk melangsungkan perkawinan seperti

dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

yang tertera bahwa batasan usia untuk melangsungkan perkawinan itu pria

sudah berusia 19 (Sembilan belas) Tahun dan wanita sudah mencapai usia 16
(Enam belas) Tahun. Secara eksplisit ketentuan tersebut dijelaskan bahwa

setiap perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin prianya yang belum

berusia 19 tahun atau wanitanya belum berusia 16 tahun disebut sebagai

“Perkawinan di bawah umur”. Bagi perkawinan di bawah umur ini yang belum

memenuhi batas usia perkawinan, pada hakikatnya di sebut masih berusia muda

(anak-anak) yang ditegaskan dalam Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “Bahwa anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 (delapan belas) tahun dikategorikan masih anak-anak, juga

termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan

perkawinan tegas dikatakan adalah perkawinan di bawah umur.

Dan itu merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh

Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang dan

berpotensi secara positif sesuai apa yang digaris bawahi agama. Jika anak masih

berusia muda bisa dikatakan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak-anak

seperti yang telah dijelaskan Pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak. Dimana jelas bagi orang tua berkewajiban

untuk mencegah adanya perkawinan pada usia muda.

Tetapi perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang dianggap

wajar dalam suatu masyarakat Indonesia, namun perkawinan di bawah umur

bisa menjadi isu yang menarik perhatian publik dan berlanjut menjadi kasus

hukum seperti terlihat dalam kasus perkawinan Syekh Puji dengan Lutviana

ulfa (yang berusia 12 tahun), di mana muncul kontroversi terhadap kasus

perkawinan di bawah umur ini.


B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?

2. Apa sajakah dampak yang ditimbulkan dari perkawinan di bawah umur?

3. Bagaimana upaya mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Hukum Perkawinan Di Bawah Umur Menurut Peraturan Perundang-

undangan yang Berlaku Di Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

UU ini menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon mempelai sebelum

melangsungkan pernikahan, menurut Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan

kedua calon mempelai, Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan : untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum

mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua,

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan : perkawinan

hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita

sudah mencapai umur 16 tahun.

Sedangkan menurut negara pembatasan umur minimal untuk kawin bagi

warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah

diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan

kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah

kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat

dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang

lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek

kebahagiaan lahir dan batin.

Selain itu juga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, mencegah adanya perkawinan pasa usia anak-anak

yaitu dimana dalam Pasal 1 tentang perlindungan anak, definisi anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Setiap anak mempunyai hak dan kewajiban seperti yang tertuang

dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak : setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, Pasal 9 ayat 1

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : Setiap

anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan

bakatnya, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak : setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan

waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi sesuai

dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri, Pasal

13 ayat 1 UU No.23 Tahun 2002 : setiap anak selama dalam pengasuhan orang

tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan,

berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a) diskriminasi
b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual
c) penelantaran
d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan
e) ketidakadilan
f) perlakuan salah lainnya.

Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung

jawab terhadap anak seperti yang tertulis di Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi:


orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak


b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya
c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Dalam hukum adat tidak menentukan batasan umur tertentu bagi orang

untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat membolehkan

perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia kanak-

kanak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan bukan

saja merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga merupakan

persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di bawah umur atau

perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam Hukum Adat karena

kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh keluarganya, yang dalam hal

ini telah menjadi dua keluarga, sehingga Hukum Adat tidak melarang

perkawinan kanak-kanak.

B. Dampak Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur

Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek

sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak

akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai

dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan

sebagai berikut.

1) Dampak terhadap hukum

Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:


a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 7 ayat (1) : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun.

Pasal 6 ayat (2) : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang


belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,


Pasal 26 ayat (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
1. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
2. menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat
dan minatnya dan
3. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

2) Dampak biologis

Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses

menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks

dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan.

Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi

yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan

jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas

dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya

kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.

3) Dampak Psikologis

Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan

seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa


anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya

yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan

hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak

untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati

waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

4) Dampak Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam

masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada

posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja.

Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk

agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin).

Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang

akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

5) Dampak perilaku seksual menyimpang

Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar

berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.

Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak),

namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara

maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300

juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum

terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan


menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh

bagi yang lain.

Para sarjana/ahli hukum berpendapat faktor- faktor yang mempengaruhi

terjadinya perkawinan dalam usia muda :

1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari

perkawinan usia muda adalah:

a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga


b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu
muda, baik bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan
adat. Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu
mengawinkan anaknya begitu muda hanya karena mengikuti adat
kebiasaan saja.
2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono

disebabkan oleh:

a. Masalah ekonomi keluarga.


b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki
apabila mau mengawinkan anak gadisnya.
c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam
keluarga gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang
menjadi tanggung jawab (makanan, pakaian, pendidikan, dan
sebagainya).

Selain menurut para sarjana/ahli hukum di atas, ada beberapa faktor yang

mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di

lingkungan masyarakat kita yaitu :

a. Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di
garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak
wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.

b. Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan
masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya
yang masih dibawah umur.

c. Faktor orang tua


Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran
dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan
anaknya.

d. Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern
kian Permisif terhadap seks.

e. Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya
dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.

C. Upaya Mencegah Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur

Pernikahan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena sosial yang

kerap terjadi khususnya di Indonesia. Fenomena pernikahan anak di bawah

umur bila diibaratkan seperti fenomena gunung es, sedikit di permukaan atau

yang terekspos dan sangat marak di dasar atau di tengah masyarakat luas.

Selain itu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan

sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak

ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka

yang berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.


Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang

berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang

ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali

terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin

giat mensosialisasikan undang-undang terkait pernikahan anak di bawah umur

beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko-

resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada

masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar

bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus

dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur dirasa akan

semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam

pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka.

Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara

ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga

kedepannya diharapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat

pernikahan tersebut dan anak-anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap

masa depannya kelak.

Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan

dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena

itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan

menikahkan /mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus

memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat

yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada


pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI),

LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan

penyelidikan dan penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap

perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal

pidana dari peraturan perundangan yang ada. (Undang-Undang Nomor 23 tahun

2002 tentang Perlindungan Anak).

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN


Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga

kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan

sesuai dengan peraturan yang berlaku baik peraturan agama maupun peraturan

negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut.

Pernikahan anak di bawah umur masih menjadi kontroversi di tengah

masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan pandangan diantara

pihak-pihak terkait dalam hal menyikapi pernikahan anak di bawah umur.

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara Indonesia diharapkan

bisa menjadi penengah diantara pihak-pihak yang berselisih dan mampu

menegakkan regulasi terkait pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara dua

belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat merupakan jalan keluar terbaik yang

bisa diambil sementara ini agar pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan

ditekan seminimal mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
B. Buku
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992.
Salim, M. Thahir Hi., Bahan Ajar Hukum Perdata, 2009
C. Website
http://sosiologihuku.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai