Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

Disusun oleh :

Angelica Sekar Octaviany (10319797)

1TA05

 Dampak Virus Corona terhadap Perekonomian


Global Khususnya di Indonesia
 Wabah Corona, Bencana Kesehatan dan Mitigasi
Ekologi Budaya
 Politik di Balik Virus Corona

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN


JURUSAN TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS GUNADARMA
2019/2020
Dampak Virus Corona terhadap Perekonomian
Global Khususnya di Indonesia

World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa Coronaviruses (Cov) adalah virus
yang menginfeksi sistem pernapasan. Infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus Corona
menyebabkan penyakit flu biasa sampai penyakit yang lebih parah seperti Sindrom
Pernafasan Timur Tengah (MERS-CoV) dan Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS-CoV).
Virus Corona adalah zoonotic yang artinya ditularkan antara hewan dan manusia.
Berdasarkan Kementerian Kesehatan Indonesia, perkembangan kasus COVID-19 di Wuhan
berawal pada tanggal 30 Desember 2019 dimana Wuhan Municipal Health Committee
mengeluarkan pernyataan “urgent notice on the treatment of pneumonia of unknown cause”.
Penyebaran virus Corona ini sangat cepat bahkan sampai ke lintas negara. Sampai saat ini
terdapat 93 negara yang mengkorfirmasi terkena virus Corona. Penyebaran virus Corona
yang telah meluas ke berbagai belahan dunia membawa dampak pada perekonomian dunia
baik dari sisi perdagangan, investasi dan pariwisata.
China merupakan negara eksportir terbesar dunia. Indonesia sering melakukan kegiatan
impor dari China dan China merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Adanya
virus Corona yang terjadi di China menyebabkan perdagangan China memburuk. Hal tersebut
berpengaruh pada perdagangan dunia termasuk di Indonesia. Penurunan permintaan bahan
mentah dari China seperti batu bara dan kelapa sawit akan mengganggu sektor ekspor di
Indonesia yang dapat menyebabkan penurunan harga komoditas dan barang tambang.
Penerimaan pajak sektor perdagangan juga mengalami penurunan padahal perdagangan
memiliki kontribusi kedua terbesar terhadap penerimaan pajak. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), ekspor migas dan non-migas mengalami penurunan yang disebabkan
karena China merupakan importir minyak mentah terbesar. Selain itu, penyebaran virus
Corona juga mengakibatkan penurunan produksi di China, padahal China menjadi pusat
produksi barang dunia. Apabila China mengalami penurunan produksi maka global supply
chain akan terganggu dan dapat mengganggu proses produksi yang membutuhkan bahan
baku dari China. Indonesia juga sangat bergantung dengan bahan baku dari China terutama
bahan baku plastik, bahan baku tekstil, part elektronik, komputer dan furnitur.
Virus Corona juga berdampak pada investasi karena masyarakat akan lebih berhati-hati saat
membeli barang maupun berinvestasi. Virus Corona juga memengaruhi proyeksi pasar.
Investor bisa menunda investasi karena ketidakjelasan supply chain atau akibat asumsi
pasarnya berubah. Di bidang investasi, China merupakan salah satu negara yang
menanamkan modal ke Indonesia. Pada 2019, realisasi investasi langsung dari China
menenpati urutan ke dua setelah Singapura. Terdapat investasi di Sulawesi berkisar US $5
miliar yang masih dalam proses tetapi tertunda karena pegawai dari China yang terhambat
datang ke Indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara yang memberlakukan larangan perjalanan ke dan dari
China untuk mengurangi penyebaran virus Corona. Larangan ini menyebabkan sejumlah
maskapai membatalkan penerbangannya dan beberapa maskapai terpaksa tetap beroperasi
meskipun mayoritas bangku pesawatnya kosong demi memenuhi hak penumpang. Para
konsumen banyak yang menunda pemesanan tiket liburannya karena semakin meluasnya
penyebaran virus Corona. Keadaan ini menyebabkan pemerintah bertindak dengan
memberikan diskon untuk para wisatawan dengan tujuan Denpasar, Batam, Bintan, Manado,
Yogyakarta, Labuan Bajo, Belitung, Lombok, Danau Toba dan Malang. Di Eropa juga
memberlakukan aturan dimana maskapai penerbangan harus menggunakan sekitar 80 persen
slot penerbangan yang beroperasi ke luar benua Eropa agar tidak kehilangan slot ke maskapai
pesaingnya. Bukan hanya di Indonesia yang membatasi perjalanan ke China, namun negara-
negara yang lain seperti Italia, China, Singapura, Rusia, Australia dan negara lain juga
memberlakukan hal yang sama
Virus Corona juga sangat berdampak pada sektor pariwisata. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan bahwa wisatawan asal China mencapai 2.07 juta orang pada tahun 2019
yang mencakup 12.8 persen dari total wisatawan asing sepanjang 2019. Penyebaran virus
Corona menyebabkan wisatawan yang berkunjung ke Indonesia akan berkurang. Sektor-
sektor penunjang pariwisata seperti hotel, restoran maupun pengusaha retail pun juga akan
terpengaruh dengan adanya virus Corona. Okupansi hotel mengalami penurunan sampai 40
persen yang berdampak pada kelangsungan bisnis hotel. Sepinya wisatawan juga berdampak
pada restoran atau rumah makan yang sebagian besar konsumennya adalah para wisatawan.
Melemahnya pariwisata juga berdampak pada industri retail. Adapun daerah yang sektor
retailnya paling terdampak adalah Manado, Bali, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Medan
dan Jakarta. Penyebaran virus Corona juga berdampak pada sektor usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) karena para wisatawan yang datang ke suatu destinasi biasanya akan
membeli oleh-oleh. Jika wisatawan yang berkunjung berkurang, maka omset UMKM juga
akan menurun. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada tahun 2016 sektor UMKM
mendominasi unit bisnis di Indonesia dan jenis usaha mikro banyak menyerap tenaga kerja.
Beberapa langkah yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi dampak dari virus Corona ini
adalah menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4.75%,
suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 4.00% dan suku bunga Lending Facility
sebesar 25 bps menjadi 5.50%. Kebijakan ini dilakukan untuk menjaga momentum
pertumbuhan ekonomi domestik di tengah tertahannya prospek pemulihan ekonomi global
sehubungan dengan terjadinya Covid-19. Bank Indonesia akan mencermati perkembangan
ekonomi global dan domestik untuk menjaga agar inflasi dan stabilitas eksternal tetap
terkendali serta memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi
Di lain sisi, virus Corona tidak hanya berdampak negatif, namun juga dapat memberikan
dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah terbukanya peluang pasar
ekspor baru selain China. Selain itu, peluang memperkuat ekonomi dalam negeri juga dapat
terlaksana karena pemerintah akan lebih memprioritaskan dan memperkuat daya beli dalam
negeri daripada menarik keuntungan dari luar negeri. Kondisi ini juga dapat dimanfaatkan
sebagai koreksi agar investasi bisa stabil meskipun perekonomian global sedang terguncang.
Dampak yang disebabkan oleh virus Corona bukan hanya di Indonesia saja melainkan di
beberapa negara di belahan dunia. Pada tanggal 22-23 Februari 2020 telah berlangsung
pertemuan G20 yang diadakan di Arab Saudi. Anggota G20 ini terdiri dari Amerika Serikat,
Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia,
Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris dan Uni
Eropa. Wabah virus Corona menjadi topik diskusi pada pertemuan tersebut. Dalam
pertemuan G20, negara-negara G20 menyampaikan simpati kepada masyarakat dan negara
yang terdampak virus Corona, khususnya China. Munculnya berbagai tekanan global, salah
satunya adalah Covid-19 mendorong negara-negara G20 untuk meningkatkan kerja sama
dengan mempererat kerja sama internasional. Negara-negara G20 juga sepakat memperkuat
pemantauan terhadap risiko global khususnya yang berasal dari Covid-19, serta
meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai potensi risiko dan sepakat untuk
mengimplementasikan kebijakan yang efektif baik dari sisi moneter, fiskal, maupun
struktural
Arab Saudi yang menjadi Presidensi G20 pada tahun 2020 mengusung tema “Realizing The
Opportunity of The 21st Century”. Hal ini dilatarbelakangi perkembangan teknologi yang
sangat pesat sehingga mengubah tatanan perekonomian global menuju ekonomi dan
keuangan digital. Namun, partisipasi masyarakat dalam perekonomian khususnya kelompok
muda, perempuan dan UMKM dipandang belum optimal, sehingga membutuhkan upaya
untuk membuka akses kepada mereka dalam kegiatan perekonomian melalui pemanfaatan
teknologi. Selain itu, agenda Presidensi G20 adalah pengembangan pasar modal domestik
dan penguatan pengaturan dan pengawasan sektor keuangan.
Di sektor keuangan, penguatan sistem keuangan melalui implementasi agenda reformasi
sektor keuangan dan pemanfaatan teknologi menjadi fokus para Menteri Keuangan dan
Gubernur Bank Sentral negara-negara G20. Rencana Financial Stability Board (FSB),
Committee on Payments and Market Infrastructure dan Standard Setting Bodies (SSBs)
dalam menyusun peta jalan (roadmap) penguatan sistem pembayaran lintas negara disambut
baik oleh G20. Gubernur Bank Indonesia menyampaikan dukungan Indonesia atas agenda
Presidensi G20 Arab Saudi khususnya cross borde payments dan transisi LIBOR (London
Interbank Offered Rate). 

Wabah Corona, Bencana Kesehatan dan Mitigasi Ekologi


Budaya

Darurat Virus Corona sedang dihadapi dunia. Angkanya terus bertambah. Update hari ini
diberitakan bahwa virus mematikan dari Kota Wuhan, Propinsi Hubei di Tiongkok telah
menjangkau 21 negara dan menyebabkan 40 ribu orang lebih terinfeksi. Jumlah orang yang
meninggal 1.018 jiwa. Angka ini pun bisa jadi semakin hari semakin bertambah.
Kasus Corona merupakan salah satu bentuk bencana kesehatan lingkungan. Salah satu
mitigasi preventifnya adalah dengan kebersihan dan pelestarian lingkungan. Salah satu aspek
yang dapat dioptimalkan adalah kontribusi budaya atau sistem pengetahuan lokal. Budaya
adalah pemandu dan pemerkaya pembangunan berkelanjutan. Dimensi budaya penting
diintegrasikan dengan aspek lain dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Kekuatan Budaya
Pembangunan berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang berprinsip memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan 
(Brundtland, 1987). Pencapaian pembangunan berkelanjutan ditentukan oleh upaya
melestarikan dan memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan
ekonomi dan keadilan sosial.
Budaya memuat nilai-nilai luhur dan keyakinan sebagai pedoman, rencana perilaku, serta
dasar memecahkan masalah yang berlaku antar generasi. Nilai tersebut meneguhkan
keberpihakan budaya terhadap kelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Misalnya dalam budaya Melayu mengenal pepatah “Menyimak Alam, Mengkaji Diri“. Nilai
ini mengajarkan agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan, haruslah diawali
melalui kajian yang cermat terhadap alam dan semua potensi yang ada (sumber daya alam),
serta mengkaji pula kemampuan diri (sumber daya manusia).
Ada juga pepatah “Membangun Jangan Merosak, Membina Jangan Menyalah”. Nilai ini
mengajarkan, agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan jangan sampai
menyalahi ketentuan agama dan nilai-nilai budaya serta norma-norma sosial masyarakatnya.
Beberapa nilai lain adalah “Tanda orang berbudi pekerti, merusak alam ia jauhi, tanda ingat
kehari tua, laut dijaga bumi dipelihara” dan “Kalau hidup hendak selamat, pelihara laut
beserta selat, pelihara tanah berhutan lebat…” (Effendy, 2005).
Budaya Jawa oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I telah diletakkan dasar falsafah Hamemayu
Hayuning Bawono bagi kehidupan masyarakat. Maknanya adalah komitmen untuk membuat
bumi indah dan lestari.
Visi keharmonisan hidup dengan lingkungan selanjutnya terjabarkan dalam misi Hamengku
Buwono, yang berarti memelihara bumi. Muara aplikatif dari nilai filosofis tersebut adalah
terbentuknya sikap Satriya (Marwito, 2005).
Sikap ini membawa perilaku penuh tanggung jawab, konsisten, amanah, dinamis, dan obsesif.
Budaya Batak mengajarkan bahwa bumi sama dengan tanah, yang dalam bahasa Batak
disebut tano memiliki satu kesatuan yang utuh (Pasaribu, 2011).  Kearifan lokal dari tano
Batak pada dasarnya harus menjamin kelangsungan hidup suku Batak itu dari zaman ke
zaman yakni dari zaman dahulu sampai kini dan pada zaman mendatang (Malau, 2013).
Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat Manisia dan
Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra putri para Dewata.
Naipospos (2007) juga menyebutkan bahwa dalam kebudayaan Batak sudah terbentuk pola
hubungan antar manusia dengan Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia
dengan lingkungannya.
Sehubungan dengan pesan Siboru Deak Parujar kepada keturunannya untuk “memelihara”
bumi dengan segala isinya, terdapat pengertian untuk “memanfaatkan” bumi dengan segala
isinya dengan arif dan bijaksana. Penganugerahan ini sekaligus pemaknaan pemberian
warisan sebagai “ugasan” bagi Si raja Ihat Manisia dan keturunannya.
Manusia dan keturunannya diperkenalkan bahwa siapapun yang mencoba merusak bumi dan
segala isinya akan dihukum Mulajadi Nabolon. Nagapadohaniaji yang semula merusak
akhirnya melalui pengampunan berjanji akan menjaga.
Budaya Bali mengajarkan konsep Tri Hita Karana. Kebahagiaan manusia akan tercapai jika
terjadi tiga hubungan yang harmonis. Ketiga elemen yang mesti berhubungan tersebut terdiri
dari Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.
Parahyangan merupakan unit tempat suci (Pura) yang mencerminkan tentang Ketuhanan.
Pawongan berupa unit dalam organisasi masyarakat adat sebagai perwujudan unsur antara
sesama manusia. Palemahan berupa unit atau wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur
alam semesta atau lingkungan.
Budaya masyarakat Pulau Timor (NTT) mengenal konsep segitiga kehidupan “Mansian-
Muit-Nasi, Na Bua” yang berarti manusia, ternak, dan hutan merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dan saling memiliki ketergantungan.
Prinsip ekosistem dan jejaring kehidupan yang saling hidup dan menghidupi sangat dihargai.
Manusia mengartikan manfaat dari ternak dan hutan, ternak mencari makan di hutan dan
manusia memelihara hutan. Jika salah satu dari ketiga unsur ini dipisahkan akan membawa
dampak bagi unsur yang lain.
Semua suku dan adat di Indonesia memiliki kearifan lokal yang ramah lingkungan. Nilai-nilai
inilah modal kuat bagi upaya pelestarian lingkungan. Faktanya banyak terjadi kesenjangan
antara nilai budaya tersebut dengan perilaku sehari-hari.
Sairin (2009) menjelaskan bahwa budaya perilaku (behaviour culture) telah menjauh dari
budaya idealis yang dicita-citakan (expected culture). Efeknya sebagaimana diperingatkan
dalam Al Qur’an Surat Ar Rum (Ayat 41) yaitu terjadi kerusakan lingkungan disebabkan
karena ulah tangan manusia.
Strategi Mitigasi
Manusia secara alamiah memiliki empat model budaya lingkungan, yaitu merusak,
mengabaikan, memelihara, dan memperbaiki (Tasdiyanto, 2010). Model budaya
mengabaikan dan merusak lingkungan hidup lebih cenderung terjadi dalam budaya rasional.
Sedangkan budaya memelihara dan memperbaiki lingkungan terjadi dalam budaya
tradisional.  Perilaku manusia terhadap  lingkungan akan  direspon sesuai dengan model
budayanya.
Hoff (1998) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan perubahan-
perubahan sosial budaya, khususnya dalam nilai dan perilaku ramah lingkungan.
Tantangan besar telah menghadang di depan. Arus globalisasi bermuatan budaya modern
semakin tak terbendung masuk ke Indonesia. Kearifan lokal yang ramah lingkungan dalam
kondisi darurat dan terancam tereliminasi.
Gaya hidup yang materialis-hedonis telah menggeser sikap harmoni dengan alam
(Hardjosoemantri, 2006). Konsekuensi atas fenomena ini menuntut upaya revitalisasi budaya
dalam menggerakkan pembangunan berkelanjutan.
Pertama, kebijakan pemerintah mesti memperhatikan dinamika lingkungan dengan program-
program konservasinya. Hamengku Buwono X (2008) menegaskan bahwa permasalahan
pembangunan disebabkan  faktor kebijakan yang tidak berlandaskan budaya sendiri. Berbagai
upaya mendesak dilakukan pemerintah. Misalnya melalui kampanye budaya ramah
lingkungan, festival budaya untuk menjaga lingkungan, fasilitas ruang publik yang
berkarakter budaya Jawa, dan lainnya.
Kedua, pendidikan kebumian dan lingkungan mesti digencarkan secara formal maupun non
formal. Hal ini dimaskudkan guna mengenalkan pada generasi muda yang akan mewarisi
estafet pembangunan. Kerangka konseptualnya dapat mengadopsi konsep Pendidikan
Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development). Konsep pendidikan
penting memasukkan muatan budaya lokal yang aplikatif bagi pelestarian lingkungan.
Ketiga, masyarakat perlu diberi informasi dan diajak mengaktualisasikan kearifan lokal untuk
menjaga lingkungannya. Prinsipnya agar masyarakat mampu berinteraksi dan beradaptasi
dengan lingkungan serta menjamin keberlanjutan fungsinya. Seniman, budayawan, tokoh
agama, tokoh masyarakat, dan semua elemen mesti diberdayakan sebagai penggerak
implementasi budaya ramah lingkungan.
Keempat, masyarakat penting dikuatkan pegangan fundamentalnya yaitu sisi spiritualisme.
Al-Qardhawi (2002) menegaskan bahwa permasalahan lingkungan pada dasarnya merupakan
persoalan moralitas sehingga solusi efektifnya adalah dengan revitalisasi nilai-nilai moral,
keadilan, keramahan, dan sebagainya.
Spiritualisme hadir sebagai oase bagi dahaga moralitas manusia modern. Tesis tersebut
menguatkan argumentasi untuk menempatkan agama sebagai landasan fundamental dalam
pengelolaan lingkungan atau disebut ekospiritualisme. Umat penting disadarkan dengan
sentuhan spiritual bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari bukti keimanan.
Pembangunan mesti dilaksanakan secara ramah lingkungan.
Semua pihak dan semua sarana penting melek ekologi guna menjamin keberlanjutan
pembangunan. Pemimpin mesti berkomitmen mengoptimalkan potensi budaya untuk
pelestarian lingkungan sekaligus memitigasi wabah Corona.

Politik di Balik Virus Corona

Akhir-akhir ini, publik tengah diramaikan oleh persoalan penyakit menular yang disebabkan
oleh virus Corona baru, yakni Covid-19. Virus yang bermula di Wuhan, Tiongkok, ini telah
menjangkit banyak negara di berbagai benua.
Penyebarannya pun hingga sekarang diprediksi masih jauh dari kata berhenti. Pasalnya,
jumlah kasus penyakit menular ini terus meningkat – khususnya di negara-negara yang
menjadi pusat penularan baru seperti Italia dan Iran.
World Health Organization (WHO) sendiri telah menetapkan penyakit akibat virus ini
sebagai pandemi global – berarti bahwa penularan dan ancamannya telah melampaui batas-
batas antarnegara. Kewaspadaan berbagai negara dan masyarakat internasional pun semakin
memuncak.
Rasa cemas yang dirasakan masyarakat internasional ini tentunya turut dirasakan oleh publik
di Indonesia. Apalagi, dari hari ke hari, jumlah kasus positif Covid-19 terus meningkat –
mencapai 69 kasus dan 4 pasien meninggal kala artikel ini ditulis.
Dengan adanya perkembangan kasus-kasus positif, menjadi wajar apabila publik semakin
ingin tahu mengenai seluk beluk dari penyebaran virus ini di Indonesia. Soal lokasi
penyebaran misalnya, dianggap perlu agar masyarakat dapat berantisipasi terhadap penularan
di daerahnya.
Namun, tampaknya, pemerintah tidak semudah itu untuk menuruti keinginan ini. Sekretaris
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
Achmad Yurianto menyebutkan bahwa publikasi atas lokasi penyebaran tidak perlu
dilakukan oleh pemerintah karena dapat menimbulkan respons bermacam-macam.
Keengganan pemerintah untuk membuka data lokasi penyebaran Covid-19 ini tentunya tak
terhindar dari beberapa kritik. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono
misalnya, menilai bahwa pemerintah telah melanggar Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan – tepatnya Pasal 154.
Di sisi lain, pemerintah pusat juga dinilai cenderung membatasi ruang gerak pemerintah
daerah dalam menangani Covid-19. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD misalnya, menyatakan bahwa pemerintah daerah
tidak dianjurkan untuk berbicara mengenai penyakit ini karena informasi penanganannya
dianggap terpusat di Kemenkes.
Tentunya, beberapa upaya pemerintah ini menimbulkan pertanyaan. Apakah benar
pemerintah daerah dan masyarakat tak berhak membicarakan dan memperoleh informasi
terkait Covid-19 tersebut? Lantas, bagaimana dinamika politik membayangi “perebutan”
kewenangan dan informasi ini?
Informasi Jadi Eksklusif?
Bisa dibilang bahwa pemerintah pusat berupaya untuk memusatkan informasi penanganan
Covid-19 di Kemenkes. Hal ini bisa jadi membuat akses informasi publik dan pihak-pihak
lain semakin terbatas.
Padahal, berdasarkan UU Kesehatan yang sempat dikutip oleh Arief Poyuono, pemerintah
sebenarnya perlu menyebutkan daerah-daerah yang dapat menjadi sumber penularan
penyakit. Selain itu, UU tersebut juga memberikan kewenangan pada pemerintah daerah
untuk melakukan hal serupa.
Selain UU Kesehatan, kewenangan pemerintah daerah dalam bidang kesehatan juga diatur
dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam Pasal 13, disebutkan
bahwa penanganan bidang kesehatan termasuk dalam urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah.
Dengan adanya fakta ketentuan yang terkandung dalam UU Kesehatan dan UU Pemerintah
Daerah, bisa dibilang bahwa penanganan penyakit menular Covid-19 ini seharusnya tidak
secara eksklusif berada di bawah kendali pemerintah pusat.
Hal ini tentunya menyisakan pertanyaan baru. Mengapa pemerintah pusat lantas berupaya
memusatkan penanganan Covid-19? Bagaimana hal ini dapat dipahami dari dimensi politik?
Apa yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ini mungkin dapat dipahami
melalui hubungan konseptual akan pengetahuan (knowledge) dan kekuatan (power).
Hubungan konseptual di antara keduanya ini pernah dikupas oleh beberapa ahli dan pemikir.
Harold Adams Innis – profesor ekonomi politik asal Kanada – misalnya, mencetuskan sebuah
istilah atas penguasaan pengetahuan dan informasi, yakni monopoli pengetahuan (monopolies
of knowledge). Meski Innis lebih banyak menekankan pada penguasaan melalui medium
komunikasi, monopoli pengetahuan juga membuat informasi menjadi eksklusif untuk
kelompok tertentu.
Implikasi politik yang perlu dipahami adalah adanya konsekuensi knowledge terhadap power.
Konsekuensi ini mungkin dapat diamati melalui pemikiran Michel Foucault – filsuf asal
Prancis.
Berdasarkan pemikiran Foucauldian, power dan knowledge memiliki hubungan yang saling
memberi arti. Seseorang yang memiliki power dapat membentuk knowledge – seperti
kebenaran yang diyakini – di masyarakat. Begitu juga sebaliknya, knowledge dapat
memberikan power pada pemilik pengetahuan.
Mungkin, dengan membuat informasi dan pengetahuan menjadi eksklusif, pemerintah pusat
berupaya untuk menjaga power yang dimilikinya. Hal inilah yang disebut-sebut dilakukan
oleh pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok.
Dalam mengatasi penyebaran Covid-19, Xi disebut berupaya untuk menutupi informasi
penularan. Pemerintah Tiongkok juga dikabarkan semakin memusatkan kekuatan dan kontrol
dalam merespons penyakit ini.
Sinyal politisasi juga terlihat dari kunjungan Xi ke Wuhan, Tiongkok, baru-baru ini. Presiden
negeri Tirai Bambu tersebut dianggap berupaya untuk mengirimkan pesan bahwa Tiongkok
telah berhasil melalui krisis kesehatan ini dan ingin menjadikan negaranya sebagai
percontohan.
Bila kita berkaca pada Tiongkok, bukan tidak mungkin pemerintah pusat di Indonesia juga
ingin menjaga citra pemerintahannya melalui pemusatan dan
pembatasan knowledge layaknya Xi. Namun, asumsi ini juga menyisakan beberapa
pertanyaan.
Pasalnya, publik dan media Indonesia sendiri semakin ragu dengan kapabiltas pemerintah
pusat. Apalagi, pemerintah dinilai tidak melakukan koordinasi yang efektif atas penanganan
virus ini.
Belum lagi, dugaan-dugaan kapabilitas dari dunia internasional bisa juga membuat
pemerintah malah dianggap tidak memiliki knowledge atas penyebaran virus Covid-19.
Beberapa pihak di Australia misalnya, sempat menganggap pemerintah Indonesia tidak
memiliki peralatan yang cukup untuk mendeteksi penularan.
Bila benar pemerintah justru tak memiliki pengetahuan yang lengkap atas virus ini, mengapa
pemerintah malah terkesan membatasi informasi?
Political Insecurity?
Peningkatan jumlah kasus yang signifikan akhir-akhir ini tentunya membuat publik merasa
terancam. Perasaan tidak aman yang dirasakan di masyarakat bukan tidak mungkin dapat
memengaruhi dinamika politik di Indonesia.
Alvin Johnson dalam tulisannya yang berjudul Economic Security and Political
Insecurity mungkin dapat menggambarkan situasi ini. Dalam tulisan itu, Johnson
menjelaskan bahwa setiap manusia pasti menginginkan adanya rasa aman (security).
Kecemasan yang dirasakan publik Indonesia kini bisa jadi berakar dari adanya ancaman
keamanan dari Covid-19. Pasalnya, berdasarkan buku milik Barry Buzan, Ole Wæver, dan
Jaap De Wilde yang berjudul Security, keamanan di era sekarang bukan lagi hanya meliputi
keamanan tradisional seperti militer.
Bisa jadi, ancaman kesehatan yang disebabkan oleh Covid-19 turut menghantui negara-
negara. Ancaman kesehatan seperti ini digolongkan oleh Buzan dan tim penulisnya ke dalam
ancaman sektor lingkungan (environmental).
Lantas, bagaimana ancaman kesehatan bisa memengaruhi dinamika politik?
Buzan dan tim penulisnya mengenalkan sebuah konsep yang disebut sebagai sekuritisasi
(securitization) – upaya untuk memunculkan isu keamanan di masyarakat. Konsep ini
sebenarnya lebih banyak berbicara soal keamanan dalam hubungan internasional.
Namun, Buzan dan tim penulisnya tidak memungkiri bahwa sekuritisasi juga dapat meliputi
politik domestik. Apalagi, konsep ini dapat melibatkan sintesis antarsektor yang disebutkan
dalam tulisan itu – militer, lingkungan, ekonomi, societal, dan politik.
Dari lima sektor tersebut, sekuritisasi yang terjadi terkait Covid-19 di Indonesia mungkin
adalah sekuritisasi di sektor politik. Pasalnya, sekuritisasi di sektor ini bisa menjadi ancaman
bagi entitas politiknya seperti pemerintah.
Mungkin, pembatasan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat adalah bentuk
kekhawatiran (insecurity) atas ancaman sekuritisasi yang bisa saja dilakukan oleh pemerintah
daerah.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang kerap berseberangan dengan pemerintahan
Jokowi misalnya, dianggap menjadi salah satu pemerintah daerah yang tanggap dalam
penanganan Covid-19. Bukan tidak mungkin upayanya ini menyebabkan sekuritisasi di
sektor politik – menimbulkan ancaman untuk pemerintahan Jokowi.
Mungkin, sekuritisasi di sektor politik yang bermula dari ancaman kesehatan Covid-19 ini
dapat tercermin pada situasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS) kini. Partai Demokrat AS
akhir-akhir ini dianggap melakukan politisasi atas virus itu guna menyerang
pemerintahan Presiden Donald Trump.

Bila berkaca pada apa yang terjadi di AS, bukan tidak mungkin hal serupa dapat terpikirkan
di benak pemerintah pusat. Maka dari itu, pemusatan penanganan dan informasi terkait
Covid-19 bisa menjadi jawaban bagi pemerintahan Jokowi.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://duta.co/dampak-virus-
corona-terhadap-perekonomian-global-khususnya-di-indonesia&ved=2ahUKEwj-
kcnFjp_oAhVGfSsKHWdmCEQQFjAIegQIARAB&usg=AOvVaw2be0vANmU-
9plSpSyvqsko&cshid=1584366236115
https://www.google.com/amp/s/www.mongabay.co.id/2020/02/11/wabah-corona-bencana-
kesehatan-dan-mitigasi-ekologi-budaya/amp/
https://www.pinterpolitik.com/politik-di-balik-virus-corona/

Anda mungkin juga menyukai