Anda di halaman 1dari 14

AISYAH: JURNAL ILMU KESEHATAN 2 (1) 2017, 31 – 44

Available online at http://ejournal.stikesaisyah.ac.id/index.php/eja

ANALISIS FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN


INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA WANITA PEKERJA SEKSUAL

Linda Puspita
Akademi Kebidanan Medica Bakti Nusantara Pringsewu
Email:
Email lindapuspita085@gmail.com

ABSTRAK
Infeksi menular seksual (IMS) ditularkan melalui koitus, anal dan oral dan digolongkan pada 5 kategori
penyakit dewasa yang memiliki dampak besar pada kesehatan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada Wanita Pekerja Seksual. Jenis
penelitian ini adalah penelitian kuantitatif menggunakan Desain Analitik dengan pendekatan cross sectional.
Populasi dalam penelitian
nelitian ini adalah WPS di klinik VCT mobile Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung
sebanyak 83 sampel dengan menggunakan teknik simpel random sampling. Analisis data yang digunakan
analisis univariat, bivariat chi square dan multivariate (regresi logistic
logistic).
). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara umur (p=0,012; or=3.6), status pernikahan (p=0,035; OR=3.1),
penggunaan kondom (p=0.001; OR=5.5). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa penggunaan kondom
merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan IMS pada WPS di klinik VCT mobile Puskesmas
Sukaraja dengan p value (p=0,002 dan OR=7.7). Petugas kesehatan disarankan dapat meningkatan intensitas
VCT Mobile, meningkatkan penyuluhan kesehatan pencegahan IMS, meningkatkanmeningkatkan sosialisasi kondom, dan
menyediakan tempat dan waktu untuk penyuluhan kesehatan bagi WPS.

Kata Kunci : Analisis faktor, IMS, WPS

ANALYSIS FACTORS OF ASSOCIATED WITH SEXUALLY TRANSMITTED


INFECTIONS EVENTS IN PROSTITUTIONS

ABSTRACT

Sexually transmitted infections (STIs) are transmitted through coitus, anal and oral and are classified into 5
categories of adult diseases that have a major impact on sexual health. This study aims to determine the factor
analysis associated with the incidence of STIs in women sex workers. The type of this research is quantitative
research using Analytic Design with cross sectional approach. Population in this research is WPS at VCT
mobile clinic of Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung City as many as 83 samples by using using simple random
sampling technique. Data analysis used univariate analysis, bivariate chi square and multivariate (logistic
regression). The results showed that there was a significant relationship between age (p = 0.012; or = 3.6),
marital status (p = 0,035,
,035, OR = 3.1), condom use (p = 0.001; OR = 5.5). The result of multivariate analysis
showed that condom use was the most dominant variable related with STI in WPS at VCT mobile clinic of
Puskesmas Sukaraja with p value (p = 0,002 and OR = 7.7). Healthcar
Healthcaree workers are advised to increase the
intensity of VCT Mobile, improve health education prevention of STIs, improve condom socialization, and
provide premises and time for health education for WPS.

Keywords: factor analysis, IMS, WPS

How to Cite: Puspita, Linda. (2017). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Menular
Seksual Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan. 2 (1), 31 – 44.
Seksual pada Wanita Pekerja Seksual. 44
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 32
Linda Puspita

PENDAHULUAN 140.803 kasus dari 430 layanan IMS.


Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah Menurut hasil STBL 2011 ada tiga Provinsi
infeksi yang ditularkan melalui hubungan Jawa Barat sebagai provinsi dengan angka
seksual baik secara vaginal, anal dan oral. HIV dan IMS yang cukup tinggi setelah
IMS disebabkan oleh lebih dari 30 Bakteri, Jawa timur dan Bali. Di Indonesia Jumlah
kasus IMS terbanyak berupa cairan vagina
virus, parasit, jamur, yang berbeda dimana
dapat disebarkan melalui kontak seksual abnormal (klinis) 20.962 dan servicitis
dan kebanyakan infeksi ini bersifat (lab) 33.025. IMS merupakan salah satu
asimtomatik atau tidak menunjukkan pintu masuk atau tanda-tanda adanya HIV
(Kemenkes, 2013).
gejalanya sama sekali. IMS dapat
dikelompokkan menjadi dua berdasarkan Di Provinsi Lampung pada tahun 2015
penyembuhannya yaitu yang dapat kasus HIV tertinggi yaitu ada diKota
disembuhkan seperti sifilis, gonore, Bandar Lampung sebanyak 314 orang, pada
klamidia, dan trikomoniasis dan yang tidak jenis kelamin laki laki ada 222 orang
dapat disembuhkan tetapi dapat diringankan (60.82%), perempuan ada 108 orang
melalui pengobatan seperti: hepatitis B, (39,18%). Kabupaten Lampung tengah ada
herpes, Human immunodeficiency 17 orang, Kabupaten Tulang Bawang ada
Virus/HIV, dan Human papiloma 12 orang, kabupaten Lampung Timur ada
virus/HPV (WHO, 2013). 9 orang, Kabupaten Tulang Bawang Barat
IMS termasuk diantara 5 kategori penyakit ada 8 orang, Kabupaten Pringsewu ada 4
dewasa yang mencari pelayanan kesehatan orang, Kabupaten Pesawaran ada 1 orang.
dan memiliki dampak besar pada kesehatan Kasus AIDS di Kota Bandar Lampung ada
seksual dan reproduksi. Angka kejadian 128 orang, kasus Sifilis Kota Bandar
paling tinggi tercatat di Asia Selatan dan Lampung ada 7 orang (Data Dinas
Asia Tenggara, diikuti Afrika bagian Kesehatan Kota Bandar Lampung 2015).
Sahara, Amerika Latin, dan Karibean. Bila dilihat dari berdasarkan capaian
Prevalensi IMS di negara berkembang jauh perKabupaten maka kota Bandar lampung
lebih tinggi dibandingkan dengan di negara jumlah IMSnya paling tinggi, penyakit
maju. Pada perempuan hamil di dunia, infeksi menular, servisitis dan 1681 orang,
angka kejadian gonore 10 – 15 kali lebih ulkus genital 49 orang, sifilis dini 38 orang,
tinggi, infeksi klamidia 2 – 3 kali lebih herpes genital 38 orang, gonore 37 orang,
tinggi, dan sifilis 10 – 100 kali lebih tinggi uretriris gonore 29 orang, trichomonas 17
jika dibandingkan dengan angka orang, (Data Dinas Kesehatan Kota
kejadiannya pada perempuan hamil di Bandar Lampung tahun 2016).
negara industri. Pada usia remaja (15 – 24 Dikota Bandar lampung jumlah infeksi
tahun) merupakan 25% dari semua populasi menular seksual (IMS) yang ditemukan
yang aktif secara seksual, memberikan
dan diobati di Puskesmas Panjang
kontribusi hampir 50% dari semua kasus sebanyak 684 orang, Puskesmas Sukaraja
PMS baru yang didapat. Kasus-kasus IMS sebanyak 463 orang. Puskesmas Simpur
yang terdeteksi hanya menggambarkan 50%
sebanyak 376 orang, Puskesmas kedaton
- 80% dari semua kasus IMS yang ada di
221 orang, Puskesmas Waykandis 182
Amerika. Ini mencerminkan keterbatasan orang, Puskesmas Pasar ambon 123 orang
“screening” dan rendahnya pemberitaan dan yang paling rendah ada di Puskesmas
akan IMS (Sarwono, 2011). Sukamaju sebanyak 106 orang, (Data Dinas
Data dari profil pengendalian penyakit dan Kesehatan Kota Bandar Lampung 2016).
penyehatan lingkungan di Indonesia tahun Lokalisasi Pamandangan merupakan
2012 didapatkan total kasus IMS yang wilayah yang menjadi tempat prostitusi
ditangani pada tahun 2012 sebanyak

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 33
Linda Puspita

selain lokalisasi Pantai Harapan di Bandar utama Penyakit Radang Panggul (PRP)
Lampung karena letaknya yang strategis, yang apabila tidak diobati dapat
jaraknya dekat dengan tempat wisata menyebabkan infertilitas pada wanita
apalagi disana banyak sekali dijumpai hingga 85 % (WHO, 2013). Wanita lebih
wanita pekerja seksual. Puskesmas Sukaraja mudah tertular IMS dari pasangannya
melakukan klinik VCT mobile pada minggu dibandingkan sebaliknya karena bentuk alat
ke tiga setiap sebulan sekali. Data dari kelamin dan luas permukaannya yang
klinik VCT mobile Puskesmas Sukaraja terpapar oleh air mani pasangannya.
Pada bulan Maret tahun 2016 pasien yang Disamping itu, keluhan IMS pada wanita
datang ke Klinik IMS sebanyak 75 orang, sering tidak jelas dan tidak mudah terlihat
Pasien yang terkena infeksi menular oleh petugas pemeriksa harus disertai
seksual dan gejalanya sebanyak 49 orang pemeriksaan alat kelamin dan pemeriksaan
(6.5%), kasus servisitis ada 19 orang, laboratorium. (Kepmenkes, 2008).
bakteri vaginalis ada 9 orang, duh tubuh Beberapa faktor yang mempengaruhi
vagina sebanyak 16 orang, Sifilis ada 4 peningkatan kejadian IMS antara lain dari
orang, HIV/AIDS 1 orang.
faktor internal meliputi umur, pendidikan,
IMS memiliki konsikuensi yang cukup pengetahuan tentang IMS, status
serius diluar dampak langsung yang pernikahan, pekerjaan sebagai pekerja seks
diakibatkan oleh infeksi tersebut. Menurut komersil, individu yang beresiko tinggi
WHO dan Departemen Kesehatan, remaja adalah individu yang sering berganti
adalah kelompok penduduk yang berumur pasangan seksual dan tidak melakukan
10-19 tahun atau 10-24 tahun dan belum hubungan seksual dengan kondom
menikah. Sebagian remaja sudah (Najmah, 2016).
mengalami pematangan organ reproduksi Berdasarkan penelitian (Jasan, Saiful, 2003)
dan bisa berfungsi atau bereproduksi, memperlihatkan bahwa usia berhubungan
namun secara sosial, mental dan emosi erat dengan keaktifan prilaku seksual
mereka belum dewasa. Mereka akan seseorang. Usia yang lebih muda akan
mengalami banyak masalah apabila mudah mendapat pelanggan dalam
pendidikan dan pengasuhan seksualitas dan melakukan seks komersial ini akan beresiko
reproduksinya terabaikan. Banyak di antara tertular IMS dan HIV pada kelompok muda
mereka sudah seksual aktif bahkan dibandingkan pada usia tua. Pendidikan
berganti-ganti pasangan seks. Akibatnya juga berpengaruh terhadap kejadian IMS,
banyak terjadi IMS, kehamilan dini, itu lama bekerja sebagai WPS merupakan
kehamilan yang tidak diinginkan dan usaha
faktor penting, karena makin lama masa
aborsi tidak aman di antara mereka kerja seorang WPS, makin besar
(Sarwono Prawirohardjo, 2006). kemungkinan ia telah melayani pelanggan
Penularan IMS dari ibu ke anak dapat yang mengidap IMS. Begitu pula dengan
menyebabkan lahir mati, kematian neonatal jumlah pelanggan Makin besar jumlah
berat lahir rendah, premature, sepsis, pelanggan, makin besar kemungkinan
pneomoni, konjuntivitis neonatal, dan cacat tertular IMS. Sebaliknya jika WPS telah
bawaaan. Selain itu sifilis pada kehamilan terinfeksi IMS, maka makin banyak
menyebabkan kematian janin dan bayi yang pelanggan yang mungkin tertular darinya
baru lahir sekitar 305.000 setiap tahun, Dilain pihak, sedikitnya jumlah pelanggan
Infeksi HPV yang menyebabkan kasus dapat memperlemah kekuatan negosiasi
kanker serviks sebanyak 530.000 dan WPS untuk pemakaian kondom, karena
kematian yang disebakan oleh kanker mereka takut untuk kehilangan pelanggan.
serviks sebanyak 275.000 setiap tahunnya. Besaran masalah IMS dan masih banyak
Gonore dan klamidia adalah penyebab kejadian IMS yang berulang maka program

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 34
Linda Puspita

pengendalian IMS menjadi makin penting univariat dilakukan untuk mengetahui


karena IMS berpotensi meningkatkan distribusi frekuensi variabel independen
epedemi HIV. Upaya program dan variabel dependen. Analisis bivariat
pengendalian IMS harus dilakukan secara digunakan untuk melihat hubungan antara
komperensif yang disebut sebagai program variabel dependen dengan variabel
pencegahan IMS melalui tranmisi seksual independen. Uji statistik yang digunakan
(PMTS) yang meliputi intervensi perubahan adalah chi square. Analisis multivariat
perilaku dan intervensi klinis. Intervensi menggunakan regresi logistik berganda.
perubahan perilaku bertujuan untuk
meningkatkan pemakaian kondom pada
setiap hubungan, mengadakan komunikasi
perubahan perilaku pada kelompok resiko HASIL PENELITIAN DAN
(WPS), penguatan dan koordinasi PEMBAHASAN
pemangku kepentingan, sedangkan Digambarkan ada sebanyak 54 orang
intervensi klinis bertujuan untuk (65.1%) responden berusia yang beresiko
menurunkan angka IMS melalui kegiatan
(< 24 tahun), jumlah WPS yang
skrining dan pengobatan IMS, pengobatan berpendidikan rendah ada 61 orang
presumtif berkala. Selama ini program
(73.5%), jumlah WPS yang tidak
penanggulangan IMS dan HIV sudah
menikah/cerai ada sebanyak 59 orang
dilaksanakan, tetapi hasilnya masih belum
(71.1%), jumlah WPS yang tidak
seperti yang diharapkan. Hal ini
konsisten menggunakan kondom 49 orang
dikarenakan pelaksana program masih (59.0%), jumlah kejadian IMS ada
terpisah- pisah oleh penyelenggara program
sebanyak 51 (61,4%).
seperti pemerintah, Dinas kesehatan, LSM,
atau swasta. (Widoyono, 2011). Analisis multivariat menunjukkan terdapat
4 variabel yang berhubungan dengan
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, dengan kejadian IMS. Variabel yang paling
rumusan dalam penelitian ini adalah faktor- dominan berhubungan dengan kejadian
faktor apa saja yang berhubungan dengan IMS yaitu variabel penggunaan kondom
kejadian infeksi menular seksual pada (p=0,002 dan OR = 7.786).
wanita pekerja seksual di Klinik VCT
Mobile Puskesmas Sukaraja Kota Bandar
Hubungan umur dengan kejadian IMS
Lampung”.
Umur dalam penelitian ini adalah umur
METODOLOGI PENELITIAN WPS saat penelitian berlangsung,
dikelompokkan menjadi umur beresiko (<
Penelitian ini merupakan penelitian 24 tahun) dan umur yang tidak beresiko (>
Kuantitatif dengan desain penelitian analitik 24 tahun). Berdasarkan hasil penelitian
observasi dan pendekatan cross sectional,
diperoleh bahwa sebanyak beresiko ada 54
yaitu pendekatan dalam mempelajari orang (65.1), dan umur tidak beresiko ada
dinamika antara faktor resiko dan efek 29 orang (34.9). Artinya secara proporsi
dengan cara observasi, wawancara dan
responden penelitian ini lebih banyak yang
pengumpulan data sekaligus pada suatu
berusia beresiko. Hasil penelitian
saat. Populasi penelitian adalah seluruh menunjukkan ada hubungan umur dengan
pasien rawat jalan sebanyak 150 orang dan Kejadian IMS di Klinik IMS VCT Mobile
sampel sebanyak 83 wanita pekerja seksual Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung
di Klinik VCT Mobile Puskesmas Sukaraja Tahun 2017 diperoleh p-value sebesar
Kota Bandar Lampung Tahun 2016. 0,012 (< 0.05). Nilai OR = 3.683 (1.42-
Analisis data yang dilakukan adalah analisis 9.5). WPS yang memasuki masa usia
univariat, bivariat dan multivariat. Analisis beresiko mempunyai peluang 3.68 kali

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 35
Linda Puspita

mengalami IMS dibanding umur yang tidak yang relatif muda dianggap rentan terhadap
beresiko. IMS terutama di negara berkembang
Hasil penelitian umur beresiko banyak yang dimana populasi golongan remaja dan
IMS hal ini dikarenakan umur beresiko dewasa muda yang aktif seksual relatif
biasanya banyak pelanggan dan berganti- besar terkena IMS.
ganti pasangan jadi mepunyai resiko yang Usia muda berperilaku rentan untuk tertular
besar untuk mengalami IMS dan pada usia IMS dikarenakan mereka pada umumnya
muda negosiasi penggunaan kondomnya memiliki jumlah pasangan seksual yang
masih lemah jadi resiko tertular IMS besar. lebih banyak dan memiliki jumlah frekuensi
Hasil penelitian sejalan dengan teori Andri, berganti-ganti pasangan dibandingkan yang
(2009) yaitu usia turut mempengaruhi lebih tua dalam penelitiannnya terhadap
WPS di Jakarta, Surabaya dn Manado
seseorang dalam mempercepat suatu obyek
yang memungkinkan seseorang menemukan hubungan umur dengan
memperoleh pengalaman serta pengetahuan kejadian IMS (Widyastuti, 2006).
yang luas, oleh karenanya umur WPS ini Menurut komisi penanggulangan AIDS
merupakan salah satu faktor yang 2007 menyatakan bahwa pada perempuan
memungkinkan seseorang mendapatkan umur kurang dari 29 tahun tergolong
stimulasi yang menginformasikan sesuatu beresiko tinggi untuk terinfeksi penyakit
untuk memperoleh pengalaman yang baru. menular seksual. Pada perempuan remaja
Umur merupakan faktor sosial yang juga mudah terkena IMS disebabkan sel-sel
mempengaruhi status kesehatan seseorang organ reproduksi belum matang.
dan berdasarkan golongan umur maka dapat Penelitian ini sejalan dengan penelitian
dilihat ada perbedaan penyakit. Umur yang dilakukan Thas Machmudah
adalah variabel yang selalu diperhatikan dilokalisasi Sunan Kuning Semarang
didalam penelitian epidemologi angka ketidakpatuhan pengginaan kondom banyak
kesakitan, kematian pada umumnya dilakukan pada WPS usia remaja. WPS
menunjukkan hubungan dengan umur dengan usia muda masih lemah tingkat
dalam mempelajari masalah kesehatan negosiasi dengan pelanggannya sehingga
untuk merupakan salah satu variabel yang menyebabkan rendahnya tingkat
penting karena ada kaitannnya dengan penggunaan kondom, pelanggan banyak
kebiasaan hidup seseorang, misalnya dalam mencari WPS usia muda sehingga usia
hal perilaku hubungan seksual akan berbeda muda banyak yang terinfeksi IMS.
antara umur yang dewasa dengan remaja Di tempat penelitian masih banyak ditemui
(Mubaraq, 2009).
anak anak yang masih dibawah umur
Menurut Kemenkes (2013), populasi usia menjadi wanita pekerja seksual, baik yang
15-49 termasuk ke dalam data estimasi dan melakukan maupun yang memperkerjakan
proyeksi prevalensi HIV dari modul AEM sangat bertentangan dengan undang-undang
(Asean Epidemic Model) yang dirancang perlindungan Anak ”rencana aksi nasional
untuk dapat menjelaskan dinamika epidemi penghapusan eksploitasi sek komersial
HIV di negara Asia atau lokasi geografis anak” terutama pada butir c yang berbunyi
tertentu, hal ini menunjukkan bahwa pada ”kegiatan eksploitasi seksual komersil anak
rentang usia tersebut rentan terhadap adalah merupakan kejahatan berat terhadap
kejadian HIV (dalam hal ini IMS). kemanusiaan yang harus diberantas hinggga
Demikian pula hasil beberapa survey keakar-akarnya.
sebelumnya menunjukkan bahwa umur Pada hasil penelitian ada umur yang
yang lebih muda cenderung lebih berisiko
beresiko (< 24 tahun) yang tidak
tertular IMS dan HIV (STBP, 2007). Umur mengalami IMS ada 15 (27.8%), hal ini

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 36
Linda Puspita

disebabkan ada WPS yang berusia yang < IMS, semakin rendah pendidikan responden
dari 24 tahun mempunyai pengetahuan maka kemungkinan terjadinya IMS
pencegahan IMS dengan baik, misalnya semakin besar dan demikian pula
selalu menjaga kebersihan alat kelamin sebaliknya karena semakin tinggi
setelah berhubungan seksual, selalu pendidikan maka semakin luas wawasan
menggunakan kondom saat berhubungan dan informasi yang diperoleh berkaitan
jadi bisa terhindar dari IMS. dengan penyakit menular seksual.
Pada hasil penelitian juga menunjukkan Perubahan perilaku mencegah penyakit
bahwa umur yang tidak beresiko dari 29 menular seksual dapat diinterprestasi
melalui pendidikannya, Wanita pekerja
orang ada 12 (41.4%) yang mengalami
IMS. Hal ini bisa dikarenakan umur yang seksual dengan pendidikannya rendah lebih
tidak beresiko biasanya pelanggannya berpeluang untuk terjadi penyakit menular
sedikit, jadi penggunaan kondom secara seksual dibandingkan dengan masyarakat
konsisten sering diabaikan karena mereka yang berpendidikan tinggi.
membutuhkan uang. Pendidikan merupakan unsur penting
Diharapkan petugas kesehatan memberikan seseorang untuk dapat mengetahui berbagai
pembekalan pada usia remaja terkait hal yang ada dilingkungannya, oleh karena
perkembangan kesehatan reproduksi remaja dengan pendidikan seseorang mempunyai
dari perubahan perkembangan fisik, potensi dan kemungkinan lebih luas untuk
kejiwaan dan kematangan seksual remaja dapat menerima dan mengakses berbagai
dan dampak dari hubungan seksual pada informasi khususnya tentang penting dan
usia dini dan mengajarkan tentang negosiasi tidaknya pencegahan infeksi menular
penggunaan kondom pada pelanggan. seksual.
Pendidikan berhubungan dengan
Hubungan Pendidikan dengan Kejadian
kemampuan seseorang untuk menerima dan
IMS
merespon informasi. Dimana tingkat
Pendidikan dalam penelitian ini adalah pendidikan SMA/sederajat lebih mudah
pendidikan formal tertinggi yang pernah dalam menyerap informasi yang diterima
dimiliki pada WPS, pendidikan terbagi dua yang sifatnya mendidik. Hal ini berarti
yaitu pendidikan rendah kurang dari SMA, semakin tingginya tingkat pendidikan maka
dan pendidikan tinggi yaitu SMA dan semakin baik pula dalam kemampuan
perguruan tinggi. Berdasarkan penelitian menyerap pesan kesehatan (Anggraini,
diperoleh bahwa pendidikan rendah ada 2005).
sebanyak 61 orang (73.5%) dan pendidikan
Secara konseptual Kroeger berpendapat
yang tinggi 22 orang (26.5%). Artinya
status pendidikan yang paling banyak yaitu bahwa pendidikan merupakan kebutuhan
pendidikan rendah. Hasil penelitian dasar manuasia. Dalam bidang kesehatan
menunjukkan ada hubungan pendidikan faktor pendidikan diklasifikasikan sebagai
dengan Kejadian IMS di Klinik IMS VCT faktor predisposisi individu untuk atau
memanfaatkan fasilitas kesehatan
Mobile Puskesmas Sukaraja Kota Bandar
Lampung Tahun 2016 diperoleh p-value dikarenakan adanya perbedaan dalam hal
sebesar 0,040 (< 0.05). Nilai OR = 3.193 pengetahuan tentang keehatan, nilai, dan
(1.16-8.74) menunjukkan bahwa WPS yang sikap individu tersebut (Pane, 2008).
berpendidikan rendah mempunyai peluang Artinya sejalan dengan peningkatan
3.19 kali mengalami IMS dibanding pendidikan maka akan bertambah wawasan
pendidikan yang tinggi. dan informasi yang diperoleh individu
sehingga akan berdampak pula pada
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa peningkatan pengetahuan yang dapat pula
pendidikan yang rendah mempunyai resiko merubah perilaku individu.

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 37
Linda Puspita

Penelitian ini juga sejalan dengan Ade Hubungan status pernikahan dengan
veriantil satriani (2015), dengan judul IMS
faktor resiko IMS pada wanita usia subur Status pernikahan adalah status menikah
dilayanan klinik IMS Palembang ilir tahun yang sah pada saat penelitian dilakukan
2015, hasil penelitiannya ada hubungan dibagi 2 yaitu status tidak menikah atau
antara pendidikan dengan kejadian IMS,
cerai dan status yang sudah menikah.
semakin rendah pendidikan maka peluang Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa
kejadian IMS (OR=2.85 kali) dengan hasil wanita pekerja seksual yang mempunyai
p value 0.003. status menikah dan cerai ada sebanyak 59
Pada hasil penelitian ada WPS yang orang (71.1%) dan yang menikah ada
berpendidikan rendah tapi tidak IMS ada 20 sebanyak 24 orang (28.9%). Hal ini sesuai
orang (31.7%), hal ini bisa disebabkan dengan teori IMS yang tinggi terjadi bagi
karena walaupun WPS pendidikannya orang yang belum menikah dan bercerai
rendah tapi sudah menegrti tentang IMS yang terpisah dari keluarganya bila
dan mau melaksanakan tindakan dibandingkan dengan orang yang sudah
pencegahannya karena pendidikan menikah karena pemenuhan kebutuhan
kesehatan tidak hanya diperoleh dari seksualnya terpenuhi (Setyawulan, 2007).
bangku sekolahan ada juga WPS Hasil uji statistik menunjukkan ada
mengetahuinya dari petugas kesehatan, hubungan status pernikahan dengan
media sosial, media elektronika. Ada juga Kejadian IMS di Klinik IMS VCT Mobile
WPS mempunyai pengalaman sakit IMS Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung
jadi dijadikan pengalan bagi WPS agar Tahun 2016 diperoleh p-value sebesar
tidak terulang lagi. 0,035 (< 0.05). Nilai OR = 3.189 (1.1-8.5)
Pada hasil penelitian ada WPS yang menunjukkan bahwa WPS yang tidak
pendidikan tinggi tapi mengalami IMS ada menikah/cerai mempunyai peluang 3.18
15 orang (41.7%), walaupun seorang WPS kali mengalami IMS dibanding yang
mempunyai pendidikan yang tinggi, menikah.
pengetahuan yang tinggi tentang Berdasarkan penelitian bahwa status
pencegahan dan penularan IMS tetapi tidak pernikahan banyak yang tidak menikah dan
mau melaksanakannya. Masih ada pengaruh cerai, dibandingkan yang masih terikat
teman dan lingkungan untuk mencegah pernikahan yang sah. WPS yang tidak
IMS itu dengan cara tradisional. Pada menikah dan cerai bebas bekerja sebagai
wawancara mendalam masih ada WPS yang
WPS tanpa ikatan atau batasan dari suami.
beranggapan penyakit IMS dapat dicegah
dengan meminum obat antibiotik setelah Sejalan dengan penelitian Aprilianingrum
berhubungan seksual. (2006) yang menunjukkan bahwa
menunjukkan bahwa status bahwa yang
Diharapkan Dinas kesehatan dan petugas tidak menikah beresiko 2.63 kali untuk
Puskesmas bisa memberikan pendidikan terkena IMS dibandingkan yang menikah.
kesehatan tentang IMS dan HIV dengan
Didukung oleh penelitian Boyer at all
menggunakan berbagai media, pendidikan (2008) yang menunjukkan bahwa status
kesehatan yang bersifat individual melalui cerai dan tidak menikah berhubungan
konseling, atau kelompok melalui dengan resiko seksual OR 3.24, IK 95%
penyuluhan. Langkah ini merupakan salah (1.63-6.43).
satu untuk memperkecil kesenjangan ilmu
kesehatan yang didapat dari pendidikan di Menurut teori (Setyawulan, 2007) status
bangku sekolah. tidak menikah memberikan peluang yang
lebih besar beresiko untuk terkena IMS
dibandingkan responden yang sudah

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 38
Linda Puspita

menikah, hal ini dapat dilihat dari rumah tangga sehingga menyebabkan istri
mayoritas pada responden yang menikah rentan terhadap IMS.
sebanyak memiliki pekerjaan yang tidak Menurut (Setyawulan, 2007) ketidakpuasan
berpeluang untuk terinfeksi IMS. Hal ini seksual lebih mudah terjadi pada
sejalan dengan teori bahwa status menikah pernikahan dengan usia pertengahan
pada responden dapat mempengaruhi
(middle marriage). Kehidupan seksual
perilaku sekual yang aman karena negosiasi terasa lebih gersang sehingga mudah
yang lebih terbuka pada pasangan tetap mencapai kebosanan dan Aktivitas seksual
dalam penggunaan kondom sebelum terasa monoton karena kurang bervariasi
melakukan hubungan seksual.
sehingga bisa menyebabkan seseorang suka
Dari hasil penelitian ini, peneliti berasumsi bergonta ganti pasangan.
bahwa penderita IMS lebih banyak pada
Hubungan penggunaan kondom dengan
seseorang yang tidak menikah sesuai
IMS
dengan hasil penelitian yang didapat yakni
sebanyak 41 orang (69.5%). Setelah dikaji Kondom yang terbuat dari lateks, ketika
lebih dalam dengan penderita, IMS terjadi digunakan dengan konsistens dan benar
karena pada seseorang yang tidak menikah dapat menurunkan resiko penularan IMS,
baik laki-laki maupun perempuan termasuk penularan penyakit melalui
kebutuhan akan seksual lebih tinggi sekresi genital. Penggunaan kondom dapat
dibandingkan dengan seseorang yang sudah menurunkan resiko infeksi HPV pada
menikah, sehingga perilaku seks yang tidak genital dan HPV yang berhubungan dengan
aman dengan pasangan yang beresiko Kanker serviks. Kondom dapat melindungi
menularkan IMS dapat menjadi sumber dari beberapa penyakit infeksi menular
terinfeksinya IMS pada diri seseorang yang seksual secara langsung dimana penularan
tidak menikah, yang mengemukakan bahwa infeksi menular seksual terjadi. Hal ini
insiden IMS lebih tinggi pada orang yang dikarenakan kondom memblok tranmisi
belum menikah, bercerai atau orang yang IMS melalui pencegahan kontak diantara
terpisah dari keluarganya bila dibandingkan kondom yang digunakan pada penis dengan
dengan orang yang sudah menikah karena kulit dari patner seks, mukosa, dan sekresi
pemenuhan kebutuhan seksualnya genital. Kondom dapat mencegah penularan
terpenuhi. IMS.(Kepmenkes, 2009).
Pada hasil penelitian ada WPS yang tidak Berdasarkan penelitian diperoleh wanita
menikah/cerai tidak menderita IMS ada 18 pekerja seksual yang berhubungan tidak
orang (30.5%) hal ini bisa dikarenakan selalu menggunakan kondom sebanyak 49
WPS yang tidak menikah/cerai melakukan orang (59.0%) dan yang menggunakan
negosiasi yang lebih terbuka pada kondom sebanyak 34 orang (41.0%). Hasil
pelanggan dalam menggunakan kondom uji statistik menunjukkan ada hubungan
sebelum melakukan hubungan seksual dan penggunaan kondom dengan Kejadian IMS
WPS takut hamil karna tidak ada ikatan di Klinik VCT Mobile Puskesmas Sukaraja
pernikahan yang sah. Kota Bandar Lampung Tahun 2016
diperoleh p-value sebesar 0,001 (< 0.05).
Pada hasil penelitian status menikah yang Nilai OR = 5.580 (2.1-14.6) menunjukkan
IMS ada 10 orang IMS yang terjadi pada bahwa WPS yang tidak menggunakan
perempuan yang sudah menikah disebabkan kondom mempunyai peluang 5.58 kali
karena WPS ada yang tidak melakukan mengalami IMS dibanding yang
pencegahan IMS. Bisa juga tertular dari menggunakan kondom.
suaminya yang suka bergonta ganti
pasangan akibat terjadinya kejenuhan dalam Berdasarkan penelitian masih banyak
wanita pekerja seksual yang tidak

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 39
Linda Puspita

menggunakan kondom dalam berhubungan kondom kurang, akan tetapi dapat juga
seks, WPS sudah berusaha menawarkan terjadi pada seseorang dengan tindakan
kondom tapi masih ada pelanggan yang pemakaian kondom baik yang IMS
merasa tidak nyaman menggunakan sebanyak 13 orang (38.2%) Hal ini dapat
kondom. terjadi karena cara pemakaian kondom yang
tidak benar, kondom rusak atau/ bocor,
Pemakaian kondom yang tidak tepat
pemasangannya dan kondom tersebut robek penggunaan kondom secara berulang dan
ketika dibuka dari bungkusa (Depkes, menggunakan kondom yang melewati masa
2011). Sebenarnya apabila WPS kadaluarsa.
dilokalisasi tersebut menggunaan kondom Menurut beberapa informasi dari hasil
dengan baik dan konsisten akan mencegah wawancara pada WPS mengatakan bahwa
transmisi dan berjangkitnya penyakit- rata-rata WPS ingin menggunakan kondom
penyakit yang ditularkn lewat hubungan jika berhubungan dengan pelanggan,
seksual, seperti gonorrhea, sifilis, HIV, dan alasannya takut tertular penyakit IMS dan
hepatitis. HIV, takut hamil, dan ingin sehat. Dari
Penelitian Hutapean (2010) prevalensi WPS hasil wawancara ditemukan WPS yang
yang tidak menawarkan kondom 45.9% hamil 2 orang, yang lainnya menggunakan
dan lebih dari separuhnya (67, 2%) adalah KB suntik, tetapi penggunaan konsistensi
wanita pekerja seksual tidak langsung, yang kondom sebagian besar masih di dominasi
tidak konsisten menggunakan kondom oleh pelanggan. Beberapa informan
sebesar 50.2% dan 66.6%. Pada uji mengatakan jika dengan orang terdekat atau
multivariate diperoleh hubungan sangat erat pacar mereka tidak menggunakan kondom
antara intensitas menawarkan kondom karena sudah saling kenal dan percaya.
dengan perilaku menggunakan kondom Berdasarkan wawancara dengan pelanggan
setelah dikontrol dengan ketersediaan didapatkan bahwa ada yang tidak mau
kondom sebagai cofounder (P = 0.000: OR menggunakan kondom. Antara lain karena
= 11.3-825). (Fachlevi, 2012). kondom membuat seks menjadi kurang
Pada hasil penelitian WPS yang tidak spontan dan mengurangi sensasi seks
menggunakan kondom beresiko IMS terutama pada pria dan terlebih lagi pada
sebanyak 38 orang (77.6%) dapat lebih pasangan yang sudah menikah, jika
rentan terinfeksi IMS. Berdasarkan kajian menggunakan kondom mengurangi
wawancara mendalam, didapatkan bahwa kenikmatan berhubungan. Pengetahuan
yang kurang tentang tindakan pemakaian
sebagian besar dari kelompok beresiko
tidak konsistens menggunakan kondom. kondom yang baik juga sering menjadi
Jika dengan orang terdekat atau pacar, WPS alasan penderita untuk tidak memakai
tidak menggunakan kondom. Kelemahan kondom, sehinggga menjadikan kelompok
resti tersebut dapat lebih mudah tertular
kondom antara lain karena kondom
membuat seks menjadi kurang spontan dan atau menularkan IMS.
mengurangi sensasi seks. Berdasarkan wawancara dengan
Pada hasil penelitian ada WPS tidak selalu mucikari/mami sosialisasi penggunaan
menggunakan kondom tetapi tidak IMS ada kondom sudah dilakukan dengan mb mb
11 orang (22.4%). Hal ini bisa terjadi WPS, karena jika mb WPS terkena sakit
karena pelanggan yang berhubungan IMS dan HIV mami juga yang repot dan
dengan WPS tidak menderita IMS dan HIV. rugi, tetapi mami kembalikan lagi
keputusan pengunaan kondom dengan
Pada hasil penelitian ini juga menunjukan WPS dan pelanggan.
bahwa, IMS tidak hanya terjadi pada
seseorang dengan tindakan pemakaian

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 40
Linda Puspita

Faktor ekonomi menjadi alasan yang sering dengan nilai p value = 0.002 dan OR =
digunakan oleh wanita pekerja seksual 7.786.
dengan alasan itulah pada akhirnya pekerja Untuk menurunkan angka kejadian IMS
seksual mau menerima tawaran para dan mengurangi kejadian IMS yang
pelanggan mereka untuk tidak berulang pada WPS, saran yang dapat
menggunakan kondom pada saat
diberikan diantaranya kepada pihak petugas
berhubungan seksual. Kondisi itulah tanpa klinik IMS diharapkan dapat meningkatkan
mereka sadari akan menjadi fenomena bola lagi jadwal penyuluhan kesehatan secara
pingpong dimana para WPS akan mudah rutin minimal sebulan sekali dan membuat
tertular oleh berbagai macam penyakit
materi pesan dibrosur tentang IMS dan
kelamin yang dibawa oleh pelanggan kondom yang komunikatif dan mudah
mereka, dan sebaliknya para WPS bisa dimengerti oleh WPS dengan pendidikan
menularkan IMS yang didapatkan dari rendah.
pelanggan mereka.
Kerja sama yang baik sangat diperlukan
Peran petugas lebih meningkatkan antara pihak puskesmas, dinas kesehatan
penyuluhan tentang wajib kondom, kota dan pembuat kebijakan agar
membuat spanduk daerah wajib kondom, memasang pengumuman dilokalisasi daerah
membagi-bagikan kondom dengan gratis wajib kondom.
setiap bulan kunjungan, mengajarkan
negosiasi kondom yang tepat dengan Menambahkan jadwal kunjungan ke klinik
pelanggan. VCT mobile yang awalnya hanya 1 kali
dalam sebulan menjadi 2 kali dalam
KESIMPULAN DAN SARAN sebulan dan menambahkan jumlah petugas
kesehatan saat pemeriksaan klinik VCT
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil
mobile agar WPS dapat dilayani secara
berdasarkan penelitian yang telah
maksimal. Terutama tenaga medis untuk
dilaksanakana diantaranya adalah jumlah konselor penyakit IMS dan HIV.
wanita pekerja seksual yang berumur
beresiko sebanyak 54 orang (65.1%), Meningkatkan pemberian penyuluhan
pendidikan yang rendah sebanyak 61 orang kesehatan mengenai penggunaan kondom
(73.5%), pengetahuan yang kurang baik 47 yang baik dan benar serta memberikan
orang (56,6%), Jumlah pelanggan lebih kondom secara gratis pada tempat yang
dari 6 orang ada 61 orang (73.5), status diindikasikan banyak transaksi seksualnya
pernikahan tidak menikah/cerai sebanyak seperti panti pijat, salon, pub, karouke, bar
59 orang (71,1%), tidak memakai kondom dan lain sebagainya sehingga akses kondom
ada 49 orang (59%), pendidikan kesehatan nambah mudah dijangkau.
tidak di beri penkes sebanyak 59
orang(71.1%).
Infeksi menular seksual berhubungan
dengan umur (p value = 0.012 dan OR =
3.683), pendidikan (p value = 0.040 dan OR
= 3.193), status pernikahan (p value =
0.035 dan OR = 3.189), dan penggunaan
kondom (p value = 0.001 dan OR = 5.580).
Penggunaan kondom merupakan variabel
yang paling berpengaruh (dominan)
terhadap kejadian Infeksi Menular Seksual

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 41
Linda Puspita

DAFTAR PUSTAKA Juanda, Adi. (2005). Ilmu Penyakit Kulit


dan Kelamin, edisi ke empat. Jakarta:
Arif Mansjoer, dkk. (2001). Kapita Selekta FKUI.
Kedokteran, Jakarta: FKUI Endy Muhardin Moegni. (2001). Penyakit
Arikunto, Suharsimi. (2007). Prosedur Menular Seksual: Dampaknya
penelitian Suatu Pendekatan Praktik Terhadap Kesehatan Alat Reproduksi
Jakarta, Rineka Cipta Wanita dan Kehamilan,
Yulica, Aridawarni. (2014). Analisis (http://www.pdpersi.co.id/?show=detai
Determinan Wanita Pekerja Seksual lnews&kode=460&tbl=artikel),
dengan Kejadian Infeksi Menular diakses tgl 29 Maret 2016.
Seksual. Jurnal Obstretika Scientia. Febrianingsih. (2014). Faktor-Faktor yang
Vol. 2 No. 1. Diakses tgl 27 maret Berhubungan dengan Kejadian Infeksi
2016. Menular Seksual pada Pasien yang
Febiyantin, Chiriyah. (2012). Faktor-faktor Datang Berobat di Klinik Infeksi
yang berhubungan dengan kejadian Menular Seksual Puskesmas Limba B
infeksi menular seksual (IMS) pada Kecamatan Kota Selatan Kota
Gorontalo Tahun 2014
wanita pekerja seksual (WPS) usia 20-
24 Tahun di resosialisasi argorejo Febiyantin. (2012). Faktor-faktor yang
Semarang (Tesis). Diakses tgl 15 Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi
Februari 2016. Menular Seksual (IMS) Pada Wanita
Dahlan, Sofiyudin. (2009). Besar sampel Pekerja Seksual (WPS) Usia 20-24
dan cara pengambilan sampel. Jakarta: Tahun di Resosialisasi Argorejo
Salemba Medika. Semarang (Tesis). Diakses tgl 15
Februari 2016.
Daili Fahmi, Sjaiful. dkk. (2007). Infeksi Hastono, S. P. (2007). Analisa Data.
menular seksual. Jakarta: Balai Jakarta: Penerbit Pustaka Fakultas
Penerbit FKUI Kesehatan Masyarakat-UI
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Hutapean. (2010). Prevalensi WPS Yang
(2014). Profil Kesehatan Provinsi Tidak Menawarkan Kondom 45.9%
Lampung. dan Lebih Dari Separuhnya (67,2%)
Dinas kesehatan Kota Bandar Lampung, Adalah Wanita Pekerja Seksual Tidak
2016. Profil Kesehatan Kota Bandar Langsung (WPSTL).
Lampung. Hestiningsih, Retno. (2010). Kejadian
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. Infeksi Menular Seksual Pada Wanita
(2016). Profil Kesehatan Puskesmas Penjaja Seks Di Tempat Hiburan
Panjang Tanjung Pinang. Seminar Nasional
Mewujudkan Kemandirian Kesehatan
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. Masyarakat Berbasis Preventif dan
(2016). Profil Kesehatan Puskesmas Promotif. Semarang: Universitas
Sukaraja Diponegoro.
Depkes RI. (2011). Survelensi Terpadu Lokollo, Fitriana Yuliawati. (2009). Study
Biologis dan Perilaku. Jakarta: STBP. Kasus Perilaku Wanita Perkerja
Dirjen P2PL Kementrian Kesehatan Seksual Tidak langsung Dalam
Republik Indonesia. (2011). Pedoman Pencegahan IMS, HIV dan AIDS di
Penatalaksanaan Penderita IMS Pub dan Karouke, Café, dan Diskotik
dengan Pendekatan Syndrome. Jakarta di Kota Semarang. (Thesis) Program
Studi Magister Promosi Kesehatan

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 42
Linda Puspita

Program Pasca Sarjana Universitas Notoadmodjo, Soekidjo. (2010). Promosi


Diponegoro. Semarang: Undip Kesehatan: Teori dan Aplikasi Edisi
Kepmenkes RI. (2009). B-13 Mitos dan Revisi. Jakarta: Rineka Cipta
fakta: Modul Pelatihan Intervensi Noviyana Isnaeni. (2014). Faktor – faktor
Perubahan Perilaku Paket Satu. yang berhubungan dengan kejadian
Jakarta Penyakit Menular Seksual Pada
Kepmenkes RI. (2011). Kuisioner IMS dan Wanita Penjaja Seks (WPS) di
HIV Survey Terpadu Biologis Kelurahan Bandungan Kecamatan
Perilaku, Direktorat Jendral Bandungan Kabupaten Semarang
Pengendalian Penyakit Dan (Jurnal) Tahun 2014
Penyehatan Lingkungan. Nurhalina Afriana. (2012). Faktor – faktor
Jasan, Saiful. dkk. (2003). Prevalensi Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Infeksi Saluran Reproduksi Pada Infeksi Gonorhoe pada Wanita Penjaja
Wanita Penjaja Seks Di Jayapura, Seks Komersil di 16 Kabupaten/kota di
Banyuwangi, Semarang, Medan, Indonesia. Analisis Data Sekunder
Palembang, Tanjung Pinang, Dan Survey Terpadu Biologi. Diakses tgl
20 Februari 2016.
Bitung, Indonesia, 2003. Publikasi
AIDS – INA. Departemen Kesehatan Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan
Indonesia. Metodelogi Ilmu Keperawatan
Jost G, Hagan. (2005). Risk Faktor and Pedoman Skripsi, Tesis. Jakarta,
Prevalence of And STD Among Low Salemba medika.
Income Female Communical Sex Pane, M. (2008). Aspek Klinis Dan
Worker In Mongolia. Sexually Epidemologi Penyakit. Badan
Transmitted Disease. Diakses tgl 8 Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Maret 2016. Purwostati endang dan Elisabeth. (2015).
Kumalasari, I dan andhyantoro, I. (2012). Ilmu kesehatan masyarakat dalam
Kesehatan Reproduksi. Jakarta: kebidanan. Jakarta: Pustaka baru Press.
Salemba Medika Satriani Veriantil Ade. (2015). Faktor
Kusmiran, Eni. (2011). Kesehatan Resiko IMS pada Wanita Usia Subur
Reproduksi Remaja dan Wanita. Dipelayanan Klinik IMS Palembang
Jakarta: Salemba Medika. Ilir (jurnal). Diakses tgl 16 Februari
Manuaba, Ida Bagus. (2004). Ilmu 2016.
Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Seksi P2 Bidang P3PL Dinkes Prov
Keluarga Berencana Untuk Lampung dan Data Profil Kesehatan
Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC Kabupaten / Kota tahun 2014.
Mubarik. (2011). Epidemologi penyakit: Sugiyono. (2012). Metode penelitian
Jakarta kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Murtiastutik, Dwi. (2008). Buku ajar Bandung: Afabeta
Menular Seksual. Surabaya: Airlangga Setyawulan. (2007). Hubungan praktek
University Press Pencegahan Penyakit Menular Seksual
dengan Kejadian Penyakit Menular.
Najmah. (2016). Epidemologi Penyakit
Menular. CV Trans Info Media Diakses tgl 25 Maret 2016.
Sukmawati. (2015). Penyebab Kegagalan
Menggunakan Kondom.
http://www.pilihdokter.com/id/berita/p

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 43
Linda Puspita

enyebab-kegagalan-menggunakan-
kondom, diakses tgl 5 Mei 2016.
Surveilans Terpadu Biologi Perilaku STBP.
(2007) Dikalangan Kelompok Beresiko
di Indonesia, Kepmenkes RI.
Susanto, Clevere dan Ari, Made. (2013).
Penyakit kulit dan kelamin.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Umitra. (2016). Panduan penulisan Tesis
Program Pascasarjana, Provinsi
Lampung
WHO. (2013). Factsheet of Sexually
Transmitted Infections (STI’s).
http://www.who.int/reproductivehealth
/publications/rtis/rhr13_02/en/ (Akses
1 April 2016).
Widyastuti, Y, dkk. (2009). Kesehatan
reproduksi, Yokyakarta: Fitramaya
Widoyono. (2011). Penyakit tropis,
epidemologi, penularan dan
pencegahan, dan pemberantasannya
edisi ke 2, Penerbit Erlangga.
Widodo, Edy. (2009). Praktik Wanita
Pekerja Seks (WPS) Dalam
Pencegahan Penyakit Infeksi Menular
Seksual (IMS) Dan HIV&AIDS Di
Lokalisasi Koplak, Kabupaten
Grobogan. Jurnal Promosi Kesehatan
Indonesia. Vol. 4/No. 2 Agustus 2009.
Universitas Diponegoro.
William G. Wong. (2010). STD Among
female sex worker in Hongkong the
role of migration status. Diakses tgl 5
Februari 2016.

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 44
Linda Puspita

Copyright © 2017, Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan


ISSN 2502-4825 (print), ISSN 2502-9495 (online)

Anda mungkin juga menyukai