Anda di halaman 1dari 6

Sebagai organisasi mahasiswa tertua di Indonesia yang didirikan oleh Lafran Pane

pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta, format awal gerakan HMI selain
memberikan pembinaan agama Islam kepada mahasiswa dan masyarakat untuk
mengantisipasi pengaruh sekulerisme Barat juga mengerahkan milisi mahasiswa
untuk berjuang secara fisik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam perkembangannya perjalanan sejarah HMI hingga terbentuknya HMI-MPO
telah mengalami proses pematangan konsepsi gerakan. Ditingkat internal, tujuan HMI
juga telah mengalami perubahan sampai enam kali. Hal ini menunjukkan bahwa HMI
MPO senantiasa menyikapi secara kritis dinamika melingkupinya dengan tetap
berupaya menegaskan prinsip-prinsip vital gerakannya.

Format gerakan HMI mengalami perubahan besar sejak munculnya HMI MPO yang
menjadi simbol perlawanan kelompok-kelompok kritis dalam HMI. lahirnya anak
haram HMI MPO dari tubuh HMI telah merubah pakem gerakan HMI yang semula
selalu lebih banyak akomodatif terhadap kekuasan (state) menjadi gerakan kritis yang
menjadi oposisi negara.

HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba orde baru. Ditengah
situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga
negara dan diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai sosok pendekar
yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah satu-satunya
organisasi Islam yang pertama kali menuntut turunnya Suharto dari kursi
kepresidenan. Maka tak heran jika selama kekuasaan orde baru, HMI MPO menjadi
organisasi ‘bawah tanah’ yang berjuang melawan rezim dengan segala resikonya.

Tambahan nama MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di belakang HMI sebenarnya


muncul saat menjelang kongres HMI XVI yang diselenggarakan di Padang pada
tanggal 24-31 Meret 1986. Menjelang diselenggarakannya kongres HMI XVI di
Padang, Sumatera barat, tahun 1986. Mulanya MPO merupakan nama sekelompok
aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI begitu terkooptasi oleh rezim orde baru.
Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada
HMI dengan mewajibkan HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi
pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan
penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya
demokrasi di Indonesia.

Untuk menyampaikan aspirasinya, mula-mula forum MPO ini hanya berdialog


dengan PB (pengurus besar) HMI. Akan tetapi karena tanggapan PB yang terkesan
meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl.
Diponegoro 16, Jakarta). Demonstrasi tersebut ditanggapi PB HMI dengan
mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah
ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Akhirnya simpati dari anggota HMI
mengalir dan gerakan ini menjadi semakin massif.

Akhirnya dalam forum kongres di Padang tesebut terpecahlah HMI menjadi dua,
yaitu HMI yang menerima penerapan asas tunggal (HMI DIPO) dan HMI yang
menolak asas tunggal (HMI MPO). Selanjunya kedua HMI ini berjalan sendiri-
sendiri. HMI DIPO eksis dengan segala fasilitas negaranya, dan HMI MPO tumbuh
menjadi gerakan underground yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara.
Jama’ah HMI MPO walaupun sedikit namun kompak, mereka yakin bahwa apa yang
diperjuangkannya untuk tetap bertahan dan berjuang mempertahankan Islam sebagai
azas.Sejarah mencatat, setelah reformasi setelah azas tunggal pancasila dicabut,
berbondong-bondonglah ormas-ormas dan orpol-orpol kembali ke azas semula. Tak
terkecuali HMI DIPO, akhirnya mereka kembali kepada azas Islam.

Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa perjuangan HMI MPO untuk tetap
mempertahankan azas Islam merupakan bentuk konsistensi sebuah gerakan
mahasiswa dalam melakukan perlawanan terhadap penindasan negara. HMI MPO
berani menanggung resiko perjuangan untuk dikucilkan dan ditekan. Karena
keistiqomahan dan keyakinannya maka HMI MPO dicatat sebagai satu-satunya
organisasi yang sejak awal berani menolak kebijakan rezim orde baru yang korup.

HMI MPO dan Reformasi 1998

Tahun 90-an bisa dikatakan merupakan tahun kemesraan antara kekuatan Islam
dengan orde baru. Berdirinya ICMI oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai
angin segar atas akomodasi Suharto terhadap Islam yang selama ini lebih banyak
disingkirkanya. Kegiatan dakwah Islam dalam kantor-kantor birokrasi pemerintah
mulai amarak. Berbondong-bongong pada tiap kantor pemerintah didirikan
pengajian-pengajian dan majlis ta’lim. Perusahaan yang mendirikan pabrik di suatu
lokasi diwajibkan mendirikan musholla untuk karyawanya. Masjid dibangun dimana-
mana dengan bantuan yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, milik Suharto.

Akan tetapi keadaan ini bukan berarti orde baru telah berubah menjadi baik.
Akomodasi penguasa terhadap kelompok Islam hanyalah salah satu cara untuk
menutupi borok-borok penguasa dan memperoleh dukungan dari mayoritas
penduduk. Kelompok-kelompok Islam yang independen dan kritis masih menjadi
momok bagi penguasa. Demikian juga bagi HMI MPO, kebebasan merupakan hal
yang paling mahal dan HMI MPO tetap sebagai organisasi bawah tanah harus
memakai taktik kucing-kucingan dengan aparat untuk bertahan. Perjuangan HMI
MPO untuk mempertahankan eksistensinya dilakukan dengan cara membentuk
lembaga-lembaga kantong yang akan menjadi wadah-wadah bagi suara HMI MPO.
Hal ini dilalukan karena tidak mungkin HMI MPO melakukan kritik secara langsung.
Dibentuklah beberapa lembaga kantong aksi seperti : LMMY (Liga Mahasiswa
Muslim Yogyakarta), FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta),
SEMMIKA dan sebagainya. Jika kita perhatikan strategi ini mirip dengan apa yang
dilakukan HMI pada tahun 60-an dengan membentuk KAMI sebagai mantelnya.
Lembaga-lembaga ini melakukan mobilisasi massa dengan melakukan parlemen
jalanan.

Ketika terjadi gerakan reformasi mahasiswa tahun 1998 sebagai perlawanan terhadap
rezim Orde Baru, lapisan-lapisan ekstern HMI-MPO memainkan peran strategis
dalam menggalang kekuatan elemen gerakan mahasiswa. Melalui poros Jakarta-
Yogyakarta-Makassar, yang secara tidak langsung terbentuk sebagai sentra gerakan
HMI-MPO, isu-isu gerakan dikomunikasikan ke seluruh Indonesia. Di Yogyakarta,
LMMY aktif menggalang koalisi dengan elemen gerakan lainnya; di Jakarta, FKMIJ
memprakarsai terbentuknya FKSMJ; serta di Makassar, para aktifis FKMIM terlibat
proaktif dalam konsolidasi gerakan dan pembentukan PAMMI. Pada aksi penduduki
gedung DPR/MPR oleh mahasiswa, PB HMI-MPO juga ikut terlibat. Hingga rezim
Orde Baru dengan dukungan militer, dijatuhkan. Dan pada bulan November 1998,
melalui Tap MPR No. 8 Tahun 1985 tentang azas tunggal itupun dicabut secara resmi
oleh MPR.

Selain dengan perjuangan secara langsung, HMI MPO memanfaatkan lermbaga di


intra kampus sebagai sarana memperjuangkan idealismenya. Lembaga intra kampus
merupakan sarana perkaderan yang cukup efektif untuk membentuk jiwa-jiwa
kepemimpian kader. Selain itu netralitas lembaga intra kampus menjadikan lembaga
ini mudah untuk melakukan mobilisasi massa. Hal ini sangat mendukung dalam aksi-
aksi HMI MPO. Contoh kongrit dari pemanfaatan lembaga intra kampus ini adalah
pada saat memontum turunnya Suharto pada tanggal 20 Mei 1998.

Harus diakui bahwa fenomena munculnya aksi-aksi massa menjelang reformasi


banyak dipelopori oleh kader-kader HMI MPO. Beberapa kader yang kebetulan
menjadi fungsionaris lembaga intra kampus turut mengusung isu-isu penurunan
Suharto ke dalam kerja-kerja lembaganya. Aksi setengah juta massa di Yogyakarta di
pelopori oleh Keluarga Mahasiswa (KM UGM) dimana think-tanknya kadr-kader
HMI MPO. Sebelum aksi itu KM UGM mengadakan polling yang menghasilkan
rekomendasi bahwa lebih dari 80% responden menolak kepemimpinan suharto. Hasil
polling ini mempengaruhi opini nasional, terutama di kalangan pra aktivis
pergerakan.

Suharto yang sudah berkuasa selama 30 tahun harus tumbang ditangan aksi-aksi
massa yang dilakukan oleh mahasiswa. Krisis ekonomi yang melanda Asia tahun
1997 ternyata berimbas pada terkuaknya semua borok yang dimiliki oleh rezim orde
baru. Megahnya pembangunan yang selama ini sangat diagung-agungkan ternyata
keropos, karena di bangun atas pondasi hutang luar negeri yang sangat besar. Ketika
fluktuasi dollar tidak bisa ditolerir oleh kurs rupiah, tiba-tiba jumlah hutang
melambung tinggi dan Indonesia harus menangis. Yang terhormat Suharto, terpaksa
harus merunduk di depan lipatan tangan Hubert Neiss (wakil IMF-International
Monetary Fund) ketika menandatangani kesepakatan baru dengan IMF. Para kapital-
imperialis Amerika tertawa karena telah berhasil membuat Indoensia makin
tergantung. Indoensia belum merdeka!

Begitulah ketagasan sikap independen HMI MPO yang tidak mau tuntuk kepada
siapapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan. HMI MPO selalu siap bekerja
sama dengan siapapun asalkan untuk meneriakan kebenaran dan keadilan. HMI MPO
Akan selalu kritis dengan siapapun tanpa pandang bulu, termasuk dengan saudaranya
sendiri. Sikap HMI MPO yang tidak mau didikte alumni (KAHMI), berlaku jujur
pada siapapun, selalu berdiri diluar negara merupakan bukti indepndensi HMI MPO.

HMI MPO dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

Satu hal penting yang menjadi dampak reformasi adalah terjadinya transformasi dari
oligarchi corruption menjadi democratic corruption. Korupsi yang pada masa Orde
baru hanya dilakukan oleh sekelompok elit politik berubah menjadi menyebar ke
berbagai sektor, lapisan masyarakat, dan daerah secara bersama-sama dan terbuka.
Hal tersebut dapat terjadi dengan menggunakan tata cara dan mekanisme demokrasi
yang merupakan dampak dari gerakan reformasi. Pemanipulasian nilai-nila dan
prosedur demokrasi untuk kepentingan pribadi atau golongan (corruption of
democracy) dapat menyebabkan terciptanya demokrasi korupsi, yaitu suatu proses
pengambilan kebijakan publik yang didasarkan atas kepentingan pribadi, keluarga,
partai politik, atau kelompok kepentingan

Sebagai akibat pergantian rezim yang tanpa diikuti oleh perubahan struktur dan
budaya politik, Pemilu 1999 mengantarkan pelembagaan politik dari kekuatan-
kekuatan politik pada masa lalu. Para politisi yang dulu berkuasa pada zaman Orde
baru melakukan metamorfose pada sebagian besar partai-partai politik seperti Partai
Golkar, PDIP, PPP dll. Hal tersebut terus berlanjut sampai dengan amandemen
terhadap UUD 1945.

Kegagalan mewujudkan cita-cita reformasi beserta meningkatnya ketidakpuasan


rakyat terhadap kinerja lembaga-lembaga tinggi negara menyebabkan terjadinya zero
trust society. Elit politik dan negara berjalan sesuai dengan logika dan kepetingannya
sendiri, sementara pada sisi lain mayoritas massa rakyat semakin lama akan
teralienasi dalam negaranya sendiri. Transisi dan reformasi hanya menghasilkan
dekonstruksi terhadap sistem politik dan budaya tanpa mampu melakukan
rekonstruksi kehidupan masyarakat dan negara menjadi lebih baik. Transisi
demokrasi seperti ini hanya akan mengantarkan elit politik ke panggung kekuasaan
dan akan meminggirkan perjuangan reformasi. Nilai-nilai dan mekanisme demokrasi
dimanipulasi untuk kepentingan elit politik.

Terminologi reformasi haruslah diubah menjadi revolusi. Dengan revolusi diharapkan


terjadi perubahan sistem tidak hanya penataan ulang sistem (reformasi). Kesempatan
untuk reformasi atau menata ulang sistem telah diberikan tetapi telah mengalami
kegagalan karena kuatnya dominasi elit politik. Revolusi akan membawa perubahan
yang berlangsung secara cepat dan diikuti oleh terbentuknya pemerintahan yang
populis, terciptanya kesadaran sosial pada massa rakyat, perubahan relasi kelas dalam
struktur sosial.

Sejak tahun 1999 PB HMI MPO mengusung tema Revolusi sistemik sebagai solusi
untuk melakukan perubahan di Indonesia. Dalam praksisnya Tema besar “revolusi
sistemik” memang belum secara optrimal bisa dilaksanakan. Hal ini tentunya terkait
dengan lemahnya kesiapan perangkat-perangkat pendukung yang mau tak mau
membutuhkan jaringan yang kuat dengan elemen-elemen gerakan lain yang seide.
Akan tetapi setiap periode kepengurusan PB HMI MPO senantiasa berusaha
menerjemahkan tema tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.

Periode 1999-2001 misalnya menerjemahkan revolusi sistemik ke dalam jargon


perjuangan transisi demokrasi melalui kampanye perlunya Presidium Nasional untuk
memimpin transisi demokrasi. Hal tersebut dapat dipahami mengingat pada periode
bangsa kita sedang menghadapi tahap awal peroses pembangunan demokrasi dan
memerlukan suatu tahap untuk meletakkan pondasi sistem politik demokrasi.

Selanjutnya periode 2001-2003, PB HMI menerjemahkan revolusi sistemik ke dalam


perjuangan menolak neo-liberal dan neo-imperialisme sebagai tekanan utama. Paska
konsolidasi kehidupan politik nasional, bangsa kita berhadapan dengan tekanan dari
tatanan ekonomi dan poltik internasional yang didominasi oleh Amerika Serikat. Isu
penghentian utang luar negeri, pemutusan hubungan dengan IMF, gerakan anti-
privatisasi BUMN, gerakan perlindungan terhadap petani, peningkatan subsidi untuk
rakyat kecil, menjadi icon dan fokus perjuangan HMI. Hal tersebut mendorong HMI
untuk memperkuat wacana dan isu-isu internasional sebagai salah satu sasaran dalam
revolusi sistemik. Revolusi sistemik juga berdimensi internasional melawan pengaruh
imperialisme yang bermetamorfose dalam bentuk neo-liberal, good governance, dll.

Periode 2003-2005 adalah kelanjutan dari periode 2001-2003, namun demikian


penerjemahan revolusi sistemik tidak lagi berdimensi internasional melainkan
menekankan dimensi nasional yaitu pembaharuan sistem ke-indonesiaan unuk kaum
lemah dan terpinggirkan. Ada dua pertanyaan besar yang ingin dijawab. Pertama
mengapa perubahan sistem ke-indonesiaan yang harus dirubah? Kedua, mengapa
kaum yang lemah dan terpinggirkan menjadi fokus gerakan? Perubahan sistem ke-
Indonesiaan diletakkan dalam situasi kebangsaan yang terhimpit oleh desain
struktural dan tekanan global.

Rekonsolidasi Orde Baru dan TNI ke dalam tatanan politik nasional, gagalnya cita-
cita reformasi, terinstitusionalisasikannya otoritarianisme dalam orde reformasi
merupakan desain struktur yang dirancang oleh elit politik dalam rangka
mempertahankan kekuasaan dan kontrolnya terhadap masyarakat. Sementara tekanan
global lebih pada tekanan-tekanan ekonomi dan politik yang dilakukan oleh Amerika
Serikat beserta tatanan politik internasional yang dominan dalam bentuk bantuan
asing dan isu terorisme.

Tekanan internasional dan desain struktural untuk mengembalikan otoritarianisme


melalui dominasi dan hagemoni negara terhadap masyarakat sipil menuntut
perubahan sistem ke-Indonesiaan secara total. Crisis of management crisis atau krisis
dalam manajemen pengelolaan krisis menyebabkan proses pembangunan demokrasi
dijadikan sebagai alat bagi rekonsolidasi Orde Baru dan TNI.

Penolakan PB HMI MPO terhadap penyelenggaraan pemilu 2004 bukan sebuah sikap
yang tanpa alasan. Masih bercokolnya kekuatan-kekuatan lama dalam pertarungan
pemilu 2004 serta buruknya sistem pemilu yang diterapkan hanya akan menjadikan
pemilu 2004 sebagai alat legitimasi baru bagi rezim yang otoriter dan kapitalis untuk
kembali berkuasa.

Secara kasat mata kita semua sudah bisa meramalkan siapa-siapa yang akan
memenangkan pemilu 2004 dan akan duduk dalam kursi-kursi kekuasaan negeri ini.
Kelompok politik neo-kapitalis di perkuat yang tidak lain adalah wajah baru orde
baru sudah jelas-jelas akan kembali berkuasa di negeri ini. Sementara kita tidak
melihat peluang kekuatan reformis untuk bisa menandingi mereka. Oleh karena itu
pemilu 2004 sebagai sebuah mekanisme demokrasi justru hanya akan melahirkan
kepemimpinan nasional baru yang anti demokrasi. Sungguh ironis, Demokrasi akan
di matikan oleh mekanisme demokrasi itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai