Anda di halaman 1dari 7

Nalar HMI; Antara Modernisme dan Postmodernisme

Mengambarkan situasi perkembangan arus wacana kontemporer menuntut


suatu pandangan yang holistik. Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang
berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena
kebudayaan. Modernitas sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad
pertengahan oleh nilai-nilai baru modernisme. Kekuatan rasional digunakan
untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain
seperti wahyu dan mitos tradisional. Dominasi modernitas memaksa setiap
kebudayaan lain untuk melakukan perubahan akibat “krisis” termasuk Islam
yang diyakini memuat nilai-nilai bersifat universal. Krisis tersebut adalah
hegemoni kultural yang menghantam semua nilai-nilai tradisional, institusi,
pola-pola prilaku dan sikap. Ada dua kecenderungan respon intelektual akibat
hadirnya modernitas yakni kelompok yang cenderung kepada modernitas dan
kelompok yang cenderung kepada tradisi. Kelompok terakhir ini memilih untuk
menentukan akar-akar otentik dan historis kebudayaan Islam (Arab) dengan
berpegang teguh terhadap nilai-nilai masa lalu yang absolut dan mengabaikan
apapun aspek modernitas. Tarik ulur dalam debat mengenai respon terhadap
modernitas memberi kesan mendalam upaya proteksi nilai yang berciri
religiusitas, sementara modernisasi dalam rupa adopsi sains dan teknologi
secara mentah-mentah begitu semarak dilakukan, baik yang dilakukan oleh
negara Islam yang kaya minyak maupun gerakan keagamaan berciri
fundamentalis. Sementara proses modernisasi berlangsung cukup radikal di
wilayah sains dan teknologi, wacana pembongkaran (postmodernisme) terhadap
segala bentuk narasi besar (metanarasi) modernisme berlangsung di lapangan
filsafat.

Dengan beragam pisau analisis yang ditawarkan postmodernisme maka isu


pluralitas atau kemajemukan kebudayaan lalu mendapat kedudukan istimewa,
bahkan di HMI. Apa yang Tersisa di HMI? HMI sebagai organisasi modern
senantiasa melakukan kritik mendasar terhadap realitas umat Islam dan kondisi
modernitas. Kelahiran HMI adalah akibat respon terhadap perkembangan
kondisi sosial historis umat Islam, yang mengakibatkan adanya perbedaan
realitas sosial historis setiap generasi. Hal ini disebabkan pada perbedaan cara
atau metode untuk menyelesaikan masalah atau tantangan yang bersifat internal
maupun eksternal. Pandangan objektif dan historis harus diarahkan pada tradisi
yang terbangun dalam sejarah perjalanan HMI. Tradisi bukanlah barang mahal,
senantiasa ia bisa digugat dan diekspresikan kembali. Tradisi tidak mungkin
terbentuk di luar sejarah. Tradisi yang dimaksud adalah “tradisi pemikiran”

Nalar Kader HMI : Antara Modernisme dan Postmodernisme


Oleh, Ince Akhriadi D. (mad_1n5@ymail.com / madz_yakuza@yahoo.com / +6281343749946)
yang mengakar dan terbangun di tubuh HMI sebagai sebuah metode untuk
mengekspresikan diri menjawab tuntutan zaman.

Analisis al Jabiri turut membantu memetakan aspek mendasar dalam


mamandang tradisi pemikiran. Tradisi pemikiran dapat dibedakan dengan
melihat antara muatan kognitif dan muatan ideologisnya, menurut al Jabiri;
Muatan kognitif adalah ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan mempunyai
sejarahnya sendiri. Tetapi sejarah ilmu pengetahun adalah-seperti perkataan
Bachelard-sejarah kesalahan ilmu pengetahuan. Karena itu, muatan kognitif dari
filsafat apapun akan mati untuk selamanya: karena ia memasuki sejarah
serangkaian “kesalahan”. Ia runtuh dan mati tanpa harapan hidup kembali,
sebab kesalahan tidak mempunyai sejarah. Sedangkan muatan ideologis dari
filsafat sangatlah berbeda: ia sendiri adalah sebuah ideologi, dan waktu dari
ideologi adalah “masa depan yang mungkin”, yaitu masa depan yang dialami
ideologi pada masa kini, tetapi dalam bentuk sebuah impian (a dream). Pada
hakikatnya, impian itu mengabaikan perbagai parameter ruang dan waktu. Ini
berbeda dengan ilmu pengetahuan, tenggat waktu ilmu pengetahuan adalah
“masa kini”, yang hidup dalam konteks kekiniannya. Ketika masa kini berlalu,
ilmu pengetahuan menyurutkan dirinya sendiri untuk dilahirkan kembali dalam
konteks kekinian yang baru(2). Dengan meminggirkan dahulu muatan kognitif
dari tradisi pemikiran maka, muatan ideologis mengalami suatu “kehidupan
lain” (another live) dan ideologi (berbeda dengan ilmu pengetahuan yang bisa
runtuh) memiliki tenggat waktu pada “masa depan yang mungkin”(3). Melalui
metode yang dikembangkan al-Jabiri ini, muatan ideologis dalam konteks HMI
mendapat tempat dalam tujuan HMI untuk menciptakan tatanan masyarakat
yang diridhai Allah SWT, namun apakah tujuan masa depan yang dimaksud
adalah tujuan masa lalu atau tujuan masa yang akan datang. Jika tujuan tersebut
adalah tujuan masa lalu yang ingin dihadirkan kembali, maka kita tak bisa
berharap banyak. Untuk menganalisis cara kerja rasio dalam membentuk tradisi
pemikiran HMI, kritik ideologi(4) berperan untuk menganalisis bagaimana rasio
berperan dalam membentuk tradisi pemikiran yang terbangun di HMI.

Memetakan berbagai pertentangan dan kontroversi seputar pemahaman


keagamaan dan kebudayaan. Analisis kita selanjutnya akan diarahkan pada
konteks HMI Cabang Makassar untuk meneropong kemunculan
postmodernisme sebagai kekuatan baru secara metodis. Wacana Kontemporer
Versus Tradisi Pemikiran HMI “HMI sebagai gerakan intelektual dan spiritual”
adalah terminologi lama yang menghiasi telinga kita. Beragam diskursus turut
menghiasi perjalanan HMI mulai dari yang paling kanan sampai yang paling
kiri, dari yang berwatak fundamentalis sampai yang berwatak Marxis. Bahkan

Nalar Kader HMI : Antara Modernisme dan Postmodernisme


Oleh, Ince Akhriadi D. (mad_1n5@ymail.com / madz_yakuza@yahoo.com / +6281343749946)
perang diskursuspun kerap terjadi untuk menegaskan dominasi teologis masing-
masing. Nah, sebagai wacana kontemporer, postmodernisme di lingkungan HMI
termasuk baru dan menimbulkan beragam interpretasi baik yang menerima
maupun yang menolak. Sebagai gerakan anti-modernisme, neo-modernisme,
modernisme radikal atau apapun namanya, postmodernisme ikut membongkar
dominasi antroposentrisme.

Dengan meminjam beragam metode analisis dari filsafat Barat mulai dari
hermeneutika, strukturalisme, postrukturalisme, semiotika, filsafat analitik dan
sebagainya, beberapa intelektual/pemikir Islam lahir dalam wajah baru telah
melakukan kritik secara fundamental terhadap dominasi masa lalu visi teologis
Islam. Mereka antara lain Mohammad Arkoun, Muhammad Abed al-Jabiri,
Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid dan lain-lain. Kahadiran para pemikir
tersebut bagai oase di tengah kebuntuan berfikir umat. Selain sumber-sumber
sekunder tersebut di atas, secara langsung postmodernisme bisa ditemukan dari
beragam literatur yang bersumber dari para pendekar postmo (strukturalisme)
macam Roland Barthes, Claude Levis-Strauss, Michel Foucault, Jacques Lacan
sampai Jacques Derrida (poststrukturalisme). Jejak postmo di HMI dengan wajah
agama (mistiko-mitis) sebenarnya bisa dilacak kebelakang sejak bertemu dengan
pemikir seperti F. Capra, F. Schuon, Akbar S. Akhmed dan Samuel Huntington.
Wacana dekonstruksi yang dikembangkan oleh Jacques Derrida menghantam
telak pemahaman keagamaan yang mengusung kebenaran mutlak dalam
pemahaman Aristotelian sebagai penyebab tumbuh-suburnya metafisika
kehadiran(5). Selanjutnya oposisi biner macam kebenaran/kesalahan,
keadilan/ketidakadilan dan kebebasan/keterbatasan telah hilang. Setelah rasio
dibongkar dan dipecah belah maka yang tersisa hanyalah “kehendak untuk
berkuasa” (Nietzsche). Aroma nihilisme tercium dan menghentak kesadaran dari
ucapan Nietzsche “Tuhan telah mati”. Dan caci makipun mengalir ke
Nietzschedari mulut penghamba dan pendamba kebenaran mutlak.

Sungguh berat untuk melakukan sintesa antara postmodernisme


(dekontruksi) sebagai suatu metodologi dengan tradisi pemikiran HMI yang
mengakar kuat. Kebuntuan ini sedikit terobati ketika kita mampu menyadari
bahwa kebenaran postmodern itu relatif dalam arti relativisme dalam makna
bahwa kondisi dan situasilah yang membuat kebenaran menjadi relatif, tetapi
kebenaran absolut sebagai acuan tetap ada. Namun, kebenaran absolut yang
mana? Selanjutnya? Kentalnya pengaruh logika Nabi Aristoteles di tubuh
HMI(6) adalah sebuah diskursus atau nalar (pembentuk) yang ikut
mempengaruhi karakter tradisi pemikiran yang eksklusif. Penghambaan
terhadap rasio dan logika sebagai kerangka berpikir yang mutlak adanya, perlu

Nalar Kader HMI : Antara Modernisme dan Postmodernisme


Oleh, Ince Akhriadi D. (mad_1n5@ymail.com / madz_yakuza@yahoo.com / +6281343749946)
dipertimbangkan kembali di hadapan metode penalaran yang lain. Sejarah
oposisi biner yang mewarnai perjalanan HMI kerap menimbulkan beragam
interpretasi dan sikap terhadap modus penyelesaian masalah. Dalam bahasa
Lyotard legitimasi kebenaran tersebut ditemukan melalui “meta-wacana” atau
“narasi besar” seperti kekuatan rasio dan logika. Maka, sebenarnya tidak ada
teori, metode, dan ilmu pengetahuan yang harus dimapankan bahkan
disakralkan tetapi merupakan pilihan di antara berbagai pilihan di depan
perubahan konteks.

Kekuatan nalar adalah ketika berperan sebagai pembentuk (cara berfikir)


bukan sebagai bentukan (hasil pemikiran), sehingga dominasi suatu nalar
pembentuk melalui kekuatan-dalam bahasa Foucault-diskursif (teori
pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan non diskursif-lah (kuasa) yang perlu
dicurigai dalam praktek wacana. Dan usaha kontekstualisasi melalui kekuatan
diskursif seharusnya dimulai melalui dekonstruksi bangunan epistemologi (teori
pengetahuan). Kritik Epistemologi HMI Dengan kaca mata epistemologis(7) kita
memandang dan mendefinisikan realitas. Epistemologi atau teori pengetahuan
akan menyatakan dasar kesahihan sekaligus batas kesahihan pengetahuan(8).
Melalui epistemologi diaturlah sinergitas antara Tuhan, manusia, dan alam.
Sebagai tesis awal seperti yang dikemukakan di atas bahwa epistemologi HMI
bercorak metafisis. Maksudnya pengetahuan yang lahir dari kerangka
epistemologi untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam
bersifat teosentris dengan mengandalkan otoritas teks sebagai modus utama
penjelasan realitas. Teks memegang otoritas tertinggi sebagai menifestasi
keilahian, bukan manusia sebagai subjek di tengah arena kontestasi perjuangan
hidup.

Refleksi diri menjadi barang mahal akibat dipertaruhkannya otoritas


kesakralan teks. Apalagi dalam lingkungan HMI seakan terjadi dualitas antara
otoritas rasio dan otoritas teks. Dan keduanya memiliki saluran penyampaian
yang berbeda, LK I sebagai medium penanaman ideologi (tekstual) dan LK II
medium pengembangan wacana keilmuan yang argumentatif filosofis.
Selanjutnya perlu diurai suatu pertanyaan mendasar bahwa apakah HMI
memiliki bangunan epistemologi? Saya mencurigai justru HMI selama ini
terpenjara secara ontologis. HMI memahami keberadaannya tetapi tak mampu
merefleksikan diri secara metodologis-epistemologis. ‘Penjara ontologis’ yang
saya maksud di atas adalah pandangan metafisis terhadap segala fenomena
kebudayaan dan masa depan. Mirip dengan sikap Heidegger ketika
mempertanyakan ‘amnesia ontologis’ yang melanda filsafat Barat, pada satu sisi
seseorang dituntut sebagai pencermat dan penjernih keseharian, sementara di

Nalar Kader HMI : Antara Modernisme dan Postmodernisme


Oleh, Ince Akhriadi D. (mad_1n5@ymail.com / madz_yakuza@yahoo.com / +6281343749946)
sisi lain realitas semakin tertutup oleh selubung ideologi, sementara manusia
(kader HMI) tidak memiliki bangunan epistemologi yang memadai untuk
melakukan penyingkapan dan kritik. Dengan tidak memisahkan antara praxis
dengan teori, maka transformasi ilmu pengetahuan dari visi pandangan-dunia
HMI harus diterjemahkan melalui kerangka epistemologi.

Mengutip apa yang dikatakan Zardar: ”.....Epistemologi menjadi vital


karena ia merupakan operator mayor yang mentransformasikan visi pandangn-
dunia ke dalam realitas. Jika kita berfikir tentang hakikat ilmu pengetahuan,
maka apa yang kita lakukan adalah merefleksikan secara tak langsung prinsip-
prinsip menurut mana masyarakat tertata. Epistemologi dan struktur sociental
bersifat saling melengkapi satu sama lain: ketika kita menstrukturkan ilmu
pengetahuan, secara tak sadar sebenarnya kita sedang memanipulasi image
masyarakat.....(9)” Ketiadaan penggalian kerangka epistemologi HMI membuat
hilangnya unsur fondasional sebagai upaya peletakan orisinalitas langkah-
langkah ilmu pengetahuan. Gagasan Zardar di atas tentang perlunya perumusan
kerangka epistemologi perlu diapresiasi lebih serius. Ketimpangan epistemologis
HMI berdampak pada sikap disorientasi sebagian besar kader pasca HMI ketika
terbedakan dengan jelas antara idealisme HMI dengan realitas keseharian.
Benar, bahwa kesadaran yang terbentuk di HMI hanyalah kesadaran kolektif.
Suatu sikap apatis terhadap rezim. Epilog Antara modernisme dan
postmodernisme, HMI seakan kehilangan gairah. Antara hidup dan mati.
Terpaku dalam suatu kesadaran yang membeku. Dikerangkeng cita-cita
idealisme Imam Mahdi. Untuk bangkit butuh energi sosial yang tak sedikit.
Cobalah melirik kebelakang, meninjau ulang paradigma HMI sebagai suatu visi
pandangan dunia.

Dengan metode apa menterjemahkan visi pandangan dunia HMI? Melalui


epistemologi. Epistemologi yang mana? Dalam konteks kajian postmodernisme
kekuatan wacana cukup signifikan sebagai metode reproduksi kuasa. Kuasa,
wacana dan kebenaran jalin berkelindan membentuk kekuatan tangguh. Tanpa
wacana anda dikuasai, dan untuk berwacana butuh episteme, titik Catatan Kaki
1 Dalam tulisan ini akan dibedakan antara modernisme, modernitas dan
modernisasi agar tidak terjadi kerancuan dalam memahaminya. Pertama,
modenisme merupakan gerakan pembaharuan yang dimulai sejak era renaisans
abad ke-16 M dan berkembang dalam tiga fase sejarah. Fase pertama, adalah
modernisme yang berkembang semenjak awal abad ke-16 M hingga akhir ke-18
M, ditandai oleh diyakininya rasio, keberanian menghadapi kehidupan secara
nyata, memudarnya religiusitas dalam berbagai kehidupan, serta lahirnya
pemberontakan kreatif dalam dunia seni. Fase kedua, adalah modernisme yang

Nalar Kader HMI : Antara Modernisme dan Postmodernisme


Oleh, Ince Akhriadi D. (mad_1n5@ymail.com / madz_yakuza@yahoo.com / +6281343749946)
ditandai oleh Revolusi Perancis dan kekacauan sosial, politik dan ekonomi yang
seringkali dihubungkan dengan momentum Gelombang Revolusi Besar 1790.
fase ketiga, adalah modernisme yang dimulai ketika terjadi proses modernisasi
global dan pembentukan kebudayaan dunia modern secara massal di mana
semakin banyak terjadi kekacauan sosial dan politik, ketidakpastian dan
ancaman terhadap realitas dunia yang terbentuk . Kedua, modernitas menurut
Lyotard merupakan proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat
yang mencari kesatuan di bawah satu bimbingan satu ide pokok yang terarah
pada kemajuan. Proses ini terjadi sepanjang abad ke-19 dan ke-20 sebagai era
yang lebih dewasa, lebih utuh dan mendasar dalam aspek-aspek rasio, religi dan
estetika dibanding era sebelumnya. Dan Ketiga, modernisasi berarti proses
berlangsungnya proyek mencapai kondisi modernitas yang digerakkan oleh
semangat rasionalitas instrumental modern.

Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap


nilai-nilai tradisional; berkembangnya sistem ekonomi progresif; rasionalisasi
administratif; serta diferensiasi sosial dan budaya. 2 Lihat Al Jabiri, Muhammed
Abed (2003), Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam, Jogjakarta, Islamika. 3
Al Jabiri meletakkan masa depan sebuah ideologi tidak selalu univokal: karena
terdapat sebuah ideologi yang meletakkan “masa depan” mereka (impian
mereka) pada masa lalu; serta ideologi lain yang meletakkan “masa depan” pada
waktu yang akan datang. Hanya ideologi terakhir inilah, yang mungkin
mengalami “kehidupan lain”, karena dalam dirinya terdapat sebuah momen
menuju pada keidupan tersebut. 4 Kritik ideologi dalam pemahaman Mazhab
Frankfurt bekerja dalam dua tataran yakni kutub empiris dan kutub
transendental untuk mencari pertautan dialektis antara keduanya, manakala
pemikiran masyarakat membeku pada salah satu kutub Kutub empiris berkaitan
dengan kondiri sosio-historis manusia kongkret sebagai spesies yang bernaluri
dan berkehendak, sedangkan kutub transendental bersangkutan dengan
pengetahuannya yang bersifat normatif ideal.. Lihat, Hardiman, Fransisco Budi
(2003), Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen
Habermas, Yogyakarta, Buku Baik. 5 Derrida menganggap logika Aristitelian
(terutama warisan silogisme kategoris Aristoteles) sebagai salah satu penyebab
tumbuh-suburnya metafisika-kehadiran. Maksudnya, logika Aristoteles yang
umum disebut logika identitas (law of identity) tersebut tidak hanya diwarisi
oleh ilmu matematika dan bahasa, tatapi juga ilmu-ilmu sosial dan filsafat.

Dalam ilmu-ilmu bahasa, sosial dan filsafat, pembaca teks mati dikepung
kontradiksi antara kategori pemikiran dan kategori bahasa. Di sinilah Derrida
menemukan sasarannya yaitu menjadikan bahasa bisa melawan suatu

Nalar Kader HMI : Antara Modernisme dan Postmodernisme


Oleh, Ince Akhriadi D. (mad_1n5@ymail.com / madz_yakuza@yahoo.com / +6281343749946)
pemikiran. Logika Identitas: (a) Hukum Identitas: Apa saja adalah (sama
dengan) dirinya sendiri; (b) Hukum Kontradiksi: Suatu hal, tidak mungkin benar
dan salah sekaligus pada saat yang sama; dan (c) Hukum Penyisihan Jalan
Tengah (Penyisihan Kemungkinan Ketiga): Segala ssuatu dinyatakan sebagai
kategori tertentu, atau tidak sama sekali (misalnya sesuatu yang bukan salah,
pasti benar). Silogisme Kategoris: Jika A=B, B=C, maka A=C. Di sini, berlaku
ketentuan yang harus memuat prinsip-prinsip Premis Mayor (Peryataan
Umum), premis minor (peryataan tengah), dan kesimpulan (peryataan khusus).
Misalnya, (a) Premis Mayor: Semua manusia mati; (b) Premis Minor: Semua
bapak bangsa adalah manusia; dan (c) Kesimpulan: Semua bapak bangsa mati.
Jawaban Derrida terhadap Logika Identitas: (a) Hukum Identitas: Apa saja
belum tentu sama dengan dirinya sendiri; (b) Hukum Kontradiksi: Suatu hal,
mungkin saja benar dan salah sekaligus pada saat yang sama; (c) Hukum
Penyisihan Jalan Tengah (Penyisihan Kemungkinan Ketiga): Di antara kategori
tertentu segala sesuatu yang berlawanan bisa diciptakan jalan tengah atau jalan
ketiga. Jawaban Derrida terhadap Silogisme Kategoris: Jika A=B, maka benarkan
A=B dan bagaimana membuktikan bahwa A=B? Atau, jika “Semua manusia
mati”, benarkah demikian dan bagaimana membuktikan? Persoalan utama dan
terpenting bagi Derrida di sini bagaimana menguji kembali Premis Mayor yang
selama ini selalu dianggap sudah benar dan selesai. Premis Minor (peryataan
tengah) dan Kesimpulan (peryataan khusus) tidak akan memperoleh kebenaran
bila pertanyaan terhadap Premis Mayor belum terjawab.

Nalar Kader HMI : Antara Modernisme dan Postmodernisme


Oleh, Ince Akhriadi D. (mad_1n5@ymail.com / madz_yakuza@yahoo.com / +6281343749946)

Anda mungkin juga menyukai