Disampaikan Oleh :
Tauhid Ichyar
Pendahuluan
Kode Etik dan Tata Laku Profesi akan menjadi penting dalam Organisasi Profesi,
Arsitek khususnya. Dalam praktiknya tidak serta merta mudah dalam
penyelenggaraannya. Banyak hal yang bersifat kompromi yang rentan bagi etika
menjadi ‘pudar’. Pemahaman terhadap Profesi Arsitek Dalam Peraturan Negara dan
Peran Arsitek Dalam Industri Konstruksi berikut ini diharapkan dapat menjadi
pengantar bagi Arsitek agar dapat menjadi evaluasi diri dalam berpraktik.
Azas – azas dalam praktik Arsitek berupa profesionalitas; integritas; etika; keadilan;
keselarasan; kemanfaatan; keamanan & keselamatan; kelestarian dan keberlanjutan
(UURI no. 6/2017: Bab II Pasal 2). Sedangkan lingkup layanan yang juga dapat
diselenggarakan bersama dengan profesi lain berupa studi/ pengkajian arsitektur;
perancangan, pelestarian dan penataan bangunan gedung dan lingkungannya;
penyusunan dokumen rencana teknis; serta pengawasan dalam tahap konstruksi.
Untuk layanan praktiknya berupa rencana kota & tata guna lahan; manajemen
proyek & konstruksi; pendampingan masyarakat; dan/ atau konstruksi lain (UURI no.
6/2017: Bab III Pasal 4 ayat 2 & 4). Arsitekpun memiliki standar kinerja kemampuan
dalam menghasilkan produk berupa dokumen gambar perancangan; rencana kerja &
syarat; perhitungan volume pekerjaan; serta pengawasan berkala (UURI no. 6/2017:
Bab III Pasal 5).
Dalam hal perlindungan hukum, UURI no. 6/ 2017 Bab VI Pasal 21 menyebutkan
bahwa Arsitek berhak memperoleh jaminan perlindungan hukum selama berpraktik;
memperoleh informasi, data & dokumen terkait dari Pengguna Jasa; mendaftarkan
hak kekayaan intelektual atas karyanya; menerima imbal jasa sesuai perjanjian
kerja; serta mendapat pembinaan dan peningkatan kompetensi profesi.
Sedangkan terkait kewajiban, dalam UURI no. 6/ 2017 Bab VI Pasal 22, praktik
Arsitek harus sesuai dengan keahlian, kode etik profesi, kualifikasi dan baku kinerja;
menyelesaikan pekerjaan sesuai perjanjian; menjalankan profesi tanpa SARA;
menjunjung tinggi nilai budaya; memutakhirkan pengetahuan melalui PKB/ CPD;
mengutamakan kaidah keselamatan, kesehatan & kelestarian lingkungan;
mengupayakan inovasi & nilai tambah dalam berpraktik; mengutamakan
pemanfaatan sumberdaya dan produk dalam negeri; melayani kepentingan sosial
tanpa biaya; melakukan rekam kerja profesi; berpraktik sesuai ketentuan &
perundangan; dan mengikuti baku kinerja profesi dan patuh pada ketetapan
organisasi.
Dalam UURI no. 6/ 2017 Bab VII Pasal 28, disebutkan bahwa Organisasi Profesi
memiliki tugas pembinaan; menetapkan dan menegakkan kode etik profesi;
menyelenggarakan & memantau pelaksanaan PKB/ CPD; melakukan komunikasi,
pengaturan, & promosi kegiatan praktik profesi; memberi masukan kepada
Pendidikan Tinggi Arsitektur tentang praktik profesi; memberi masukan Kementerian
terkait layanan Praktik Arsitek; pengembangan arsitektur & pelestarian nilai – nilai
budaya; serta melindungi Pengguna Jasa Arsitek. Sedangkan kewenangan organisasi
sesuai UURI no.6/ 2017 Bab VII Pasal 29, disebutkan harus menyelenggarakan
pendidikan & pelatihan bagi anggota; memberikan advokasi bagi anggotanya;
memberi penghargaan kepada anggota; mengenakan sanksi kepada anggota atas
pelanggaran kode etik profesi arsitek; serta menyiapkan basis data untuk proses
registrasi Arsitek.
Secara umum bahwa UURI no. 6/ 2017 menekankan bahwa dari sekian banyak
bidang keahlian di bidang jasa konstruksi adalah keahlian Arsitek yang dapat
memberikan manfaat dalam perancangan bangunan gedung dan lingkungan,
pemanfaatan fungsi penataan ruang, dan pelestarian sumber daya alam serta seni
budaya dalam peningkatan kualitas hidup yang dapat dipertanggungjawabkan. Tentu
ini harus disertakan dengan pangakuan melalui sertifikasi keahlian keprofesian (UUJK
no. 18/ 1999 Bab III Bag. Kedua Pasal 9, UUJK no. 2/ 2017 Bab VII Bag. Ketiga dan
Keempat, serta PPRI no. 28/ 2000 Bab I Pasal 1 ayat 4 – 6 dan Bab III Bag. Pertama
Pasal 15).
Dalam UUJK no. 2/ 2017 Bab IV Bag. Kesatu, dijelaskan bahwa kerja Konsultansi
Konstruksi dengan klasifikasi usaha yang bersifat umum adalah arsitektur, rekayasa,
rekayasa terpadu serta arsitektur lansekap & perencanaan wilayah, sedangkan yang
bersifat spesialis adalah konsultansi ilmiah & teknis, serta pengujian & analisis teknis.
Kemudian bentuk layanan yang bersifat umum adalah pengkajian, perencanaan,
perancangan, pengawasan, dan atau manajemen penyelenggaraan konstruksi. Dan
untuk yang bersifat spesialis adalah survei, pengujian teknis, dan analisis. Dan dalam
PPRI no. 28/ 2000 Bab II Pasal 5 ayat 1, lingkup Jasa Perencanaan kerja konstruksi
adalah survei, perencanaan umum studio makro dan mikro, studi kelayakan proyek,
industri & produksi, perencanaan teknik, operasi & pemeliharaan, serta penelitian.
Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat 1 menjelaskan Bidang Usaha Arsitektural meliputi
Dalam hal Kegagalan Bangunan, UUJK no. 18/ 1999 Bab VI Pasal 25 – 27 dan UUJK
no. 2/ 2017 Bab VI Bag. Kedua, menjelaskan bahwa hasil pekerjaan konstruksi
terhitung selambatnya 10 tahun usai serah terima akan menjadi tanggung jawab
Penyedia Jasa (Perencana, Pelaksana & Pengawas) yang ditetapkan oleh pihak
Ketiga selaku Penilai Ahli. Hal tersebut akan berdampak pada masalah Penyelesaian
Sengketa (UUJK no. 18/ 1999 Bab IX) diranah pengadilan maupun di luar pengadilan
melalui kompromi/ kesepakatan dan atau musyawarah. Dalam bentuk Gugatanpun
masyarakat berhak melakukannya (UUJK no. 18/ 1999 Bab IX Bag. Ketiga dan UUJK
no. 2/ 2017 Bab X Pasal 86) akibat dari penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang
mengganggu kehidupan sosial kemasyarakatan.
Bahwa Arsitek telah memiliki tanggungjawab dan berada diposisi kerja konstruksi
dalam tahap perencanaan dan pengawasan. Bahkan sangat rentan terhadap
pelanggaran etika profesi, disadari maupun tidak disadari.
1. Saksi Ahli/ bantuan advokasi teknis :
- (2015) Arsitek ‘Rb’ oleh pak ‘Ha’ (masyarakat) diminta membantu sebagai
Saksi Ahli dalam kasus Penyelenggaraan Konstruksi di Kota Bandung. Proses
permohonan tersebut sudah melalui prosedur, dan ini menjadi wujud
perhatian & pengawasan oleh masyarakat yang disampaikan kepada
Organisasi Profesi (IAI Jabar). Arsitek ‘Rb’ ikut berproses dalam pengadilan
untuk memberikan pemahaman terkait pekerjaan konstruksi maupun
mekanisme perizinan yang berlaku. Ini menjadi kasus pertama yang Arsitek
‘R’ lakukan untuk mewakili Organisasi Profesi di ranah hukum.
- Implikasi :
Implikasi :
Arsitek seolah tidak memiliki kekuatan dalam kerja profesionalismenya.
Hubungan kerja yang diselenggarakan sudah mengikuti prosedur namun
disisi lain mekanisme pengikatan bukan menjadi hal yang bersifat
menguatkan di kategori pekerjaan swasta/ privat, bahkan pemerintah
sekalipun. Lebih lanjut dalam UUJK no. 18/ 1999 Bab IV Bag. Kedua Pasal 17
dan UUJK no. 2/ 2017 Bab V Bag. Kedua, tentang pengikatan antar pihak
(Penyedia Jasa dengan Pengguna Jasa) kedua belah pihak menindaklanjuti
kesepakatan dengan sebuah Kontrak Kerja. Sedangkan bila terjadi
pengubahan atau pembatalan penetapan yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
atau Pengguna Jasa yang membuat kerugian bagi salah satu pihak maka
yang mengubah atau membatalkan wajib dikenai ganti rugi atau dituntut
secara hukum (Bab IV Bag. Kedua Pasal 19). Kewenangan organisasi sesuai
UURI no.6/ 2017 Bab VII Pasal 29, disebutkan harus memberikan advokasi
bagi anggotanya, dan dalam hal perlindungan hukum, UURI no. 6/ 2017 Bab
VI Pasal 21 menyebutkan bahwa Arsitek berhak memperoleh jaminan
perlindungan hukum selama berpraktik.
3. Sertifikasi Profesi :
- (2015) Pemahaman bersama bahwa Arsitek sebagai manajer ( Team
Leader) Bangunan Gedung sudah diakui melalui sertifikasi dan
kompetensinya. Lintas disiplin ilmu konstruksi menjadi sebuah tim kerja yang
saling melengkapi. Namun dikesempatan lain sampai saat ini masih banyak
dalam proyek pemerintah sebagai Team Leader diberikan kepada Ahli Teknik
Sipil Bangunan Gedung, bukan Arsitek. Sehingga posisi Arsitek sebagai
anggota Team, bukan sebagai manajer/ Team Leader. Pengakuan Arsitek
sebagai ahli dalam tata kelola dan penyelenggaraan bangunan gedung
menjadi diabaikan. Dan Arsitek ‘Rb’ mendapatkan penugasan dalam kondisi
tersebut sebagai anggota tim.
- (2012) Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbit menjadi
sesuatu yang masih lemah, masih bisa berpraktik tanpa pengakuan kerja
profesional. Sampai saat ini (2018) Arsitek ‘Rb’ masih dimintakan bantuan
pinjam-pakai sertifikat dengan dibayar tanpa harus terlibat. Bahkan hanya
sekedar untuk membantu berhadapan dengan TABG atas pekerjaan yang
dihasilkan oleh Arsitek yang tidak bersertifikat. Tentu saja diakhiri dengan
penolakan – penolakan yang diberikan kepada peminjam. Dan ini
membuktikan bahwa masih banyak Arsitek yang tidak bersertifikat yang
berpraktik tidak sesuai dengan pengakuan profesionalismenya.
- Implikasi :
Dalam peraturan jelas disebutkan bahwa lingkup layanan diselenggarakan
bersama dengan profesi lain (UURI no. 6/2017: Bab III Pasal 4 ayat 2 & 4).
Arsitek memiliki standar kinerja kemampuan dalam menghasilkan produk
dokumen perencanaan (UURI no. 6/2017: Bab III Pasal 5). Secara umum
bahwa UURI no. 6/ 2017 menekankan bahwa dari sekian banyak bidang
keahlian di bidang jasa konstruksi adalah keahlian Arsitek yang dapat
memberikan manfaat dalam perancangan bangunan gedung dan lingkungan
dalam peningkatan kualitas hidup yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan
ini disertakan dengan pangakuan melalui sertifikasi keahlian keprofesian
(UUJK no. 18/ 1999 Bab III Bag. Kedua Pasal 9, UUJK no. 2/ 2017 Bab VII
Bag. Ketiga dan Keempat, serta PPRI no. 28/ 2000 Bab I Pasal 1 ayat 4 – 6
dan Bab III Bag. Pertama Pasal 15). Dalam UUJK no. 18/ 1999 Bab III Bag.
Kedua Pasal 9, UUJK no. 2/ 2017 Bab VII Bag. Ketiga dan Keempat, serta
PPRI no. 28/ 2000 Bab I Pasal 1 ayat 4 – 6, mensyaratkan bahwa Perencana
Konstruksi orang perseorangan harus memiliki sertifikat Keahlian, sehingga
Sumber :
1. Robby Dwikojuliardi, IAI (6978) robby.dwikojuliardi@gmail.com
/ robby_dj@ar.itb.ac.id
2. UUJK no. 18 tahun 1999, UUJK no. 2 tahun 2017, UURI no. 6 tahun 2017,
PPRI no. 28 tahun 2000, dan AD-ART IAI 2018