PEMBAHASAN
3.1.2. Klasifikasi
French-American British (FAB) mengklasifikasi ALL berdasarkan morfologi sel
sumsum tulang. Klasifikasi berdasarkan morfologik berdasarkan FAB :
L1 : terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogenus,
anak inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit
L2 : sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih kasar
dengan satu atau lebih anak inti
L3 : terdari dari sel limfoblas lebih besar, homogan dengan kromatin berbercak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi
23
24
T-lymphoblastic leukemia/lymphoma
Provisional entity: Early T-cell precursor lymphoblastic leukemia
Provisional entity: Natural killer (NK) cell lymphoblastic leukemia/lymphoma
Pada ALL ditemukan 53% leukopenia (<10.000 mm3), 30% jumlah leukosis
normal atau meningkat sedikit (10.000-49.000 mm3), 17% leukositosis
(>50.000 mm3). Pada ALL ditemukan anemia berat (hemoglobin <7 g/dL)
sebanyak 43%, hemoglobin normal atau anemia ringan hingga sedang
(hemoglobin 7-11 g/dL) sebanyak 45%, dan 12% pasien ALL ditemukan
hemoglobin >11 g/dL. Trombosit menururun hingga <20.000 mm3 pada 28%
pasien ALL, trombosit berkisar 20.000-99.000 pada 47% pasien ALL dan
trombosit >100.000 didapatkan pada 25% pasien ALL. Sering ditemukan
pula neutropenia (<500, 500-1.000 mm3).
b. Biopsi sumsum tulang
Pengecatan biopsi sumsum tulang pada ALL akan menunjukkan hipersellluar
sumsum tulang, didapatkan sel Blast (>30%), hiatus leukemikus (+) dan
didapatkan gambaran mofologi sel seri limfoid. Morfologi karakteristik ALL
dibandingkan dengan Acute Myeloid Leukemia (AML) dijabarkan pada tabel
berikut4
ALL AML
Karakteristik Populasi blast homogenous Populasi blast heterogenoys
Umum
Ukuran Variabel, kebanyakan kecil Variabel, kebanyakan besar
Nucleus Tengah, kebanyakan bulat, Cenderung eksentrik, bulat,
kadang-kadang tidakoval, kadang angulasi,
ditengah, terutama pada terutama dalam bentuk
orang dewasa dengan komponen monosit
Rasio sitoplasma nukleus Rasio sitoplasma nucleus
sangat tinggi pada anak- tinggi pada sel blas yang
anak, rendah pada dewasa tidak berdifersnsiasi dan
pada beberapa
megakarioblas
Rasio sitoplasma nucleus
rendah pada sel blas yang
berdiferensiasi
Kromatin Halus, dengan kondensasi Halus, granular, tersebar
tersebar
Sangat terkondensasi dalam
limfoblas kecil
Nucleoli Tidak ada pada limfoblas Hampir selalu ada, besar
kecil dan menonjol, ganda atau
Terkadang tidak jelas tripel
Sitoplasma Hanya sedikit, basofilik Variabel
Terkadang dengan satu Banyak monoblas
proyeksi panjang (hand Dengan tonjolan pada
27
3.1.3. Tatalaksana
Penanganan ALL meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi
pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi
antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik untuk
meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan
pendekatan aspek psikososial.5
Terapi kuratif berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi,
profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi resiko normal atau resiko
tinggi, menentukan protocol kemoterapi. Saat ini di Indonesia ada 2 protokol
pengobatan yang lazim digunakan untuk All yaitu protokol nasional (Jakarta) dan
protocol WK-ALL 2000.5
1. Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda
(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin).
29
Pada kasus ini, belum dilakukan terapi untuk ALL, lebih diutamakan untuk
stabilasi pasien. Pasien mengalami febrile neutropeni dan anemia, jika dilakukan
kemoterapi dikawatirkan akan semakin membuat kadar neutrofil menurun sebagai
salah satu efek samping dari kemoterapi.
3.1.5. Komplikasi
Dapat terjadi berbagai komplikasi dari ALL baik dari perjalanan penyakit
maupun pengobatannya, diantaranya tumor lysis syndrome, sepsis, perdarahan,
encephalopathy, dan terjadinya infiltrasi sel ganas ke organ lain.
Infiltransi leukemia dapat terjadi ke organ lain, baik intramedular atau
ekstramedular. Lokasi infiltrasi leukemi extramedular 3 terbesar adalah selaput otak, testis
dan orbital dan ocular. Orbital dan ocular dapat dibagi menjadi spesifik (roth spot, orbital
infiltasi dan papiledema) dan non spesifik karena komplikasi dari infeksi sekunder (retinal
hemorrhage, keratitis dan konjungtivitis, blepharitis, iritis). Leukemia dapat melibatkan
hampir semua jaringan ocular, oleh infiltrasi langsung, oleh perdarahan dan oleh
iskemik.
Manifestasi klinik dari infiltrasi keganasan pada mata dapat bermacam-macam,
dibagi menjadi spesifik, non spesifik, bagian dari komplikasi penyakit dan
manifestasi iatrogenik. 10
- Lesi spesifik adalah infiltrasi sel-sel keganasan ke bagian tertentu seperti orbital,
palpebral, konjungtiva dan kelenjar lakrimal.
- Lesi non spesifik adalah lesi yang terbentuk karena infeksi sekunder, seperti
retinal hemorrhage, keratitis dan konjungitivits, blepharitis, iritis.
- Kondisi pada leukemia seperti anemia, trombositopenia dan leukostatis dapat
memicu komplikasi seperti retinal hemorrhage dan iskemia.
- Manifestasi iatrogenik dapat terjadi sebagai akibat efek samping kemoterapi dan
terapi cobalt, seperti ptosis, atrofi koroid dan retina, perubahan lapangan
pandang, atrofi okular.
Pemeriksaan penunjang untuk infiltrasi keganasan pada mata meliputi
pemeriksaan optamologi, seperti ketajaman mata, pengukuran tekanan intraocular,
slit lamp, funduskopi dan laboratorium sesuai dengan indikasi lesi mata yang
muncul. Jika diperlukan, untuk melihat keterlibatan intraorbital perlu dilakukan
31
MSCT kepala. Untuk mencari adanya infeksi sekunder dapat dilakukan pula
pemeriksaan kultur swab mata. 11
Selain selaput otak, testis dan orbital dan ocular, infiltrasi dapat terjadi pula di
sistem integumen yang disebut sebagai leukemia cutis. Leukemia cutis didefinisikan
sebagai infiltrasi kulit oleh leukosit neoplastik (myeloid atau limfoid),
menghasilkan lesi kulit yang teridentifikasi secara klinis. . Ketika terdiri dari
limfoid, leukemia cutis dapat berupa sarcoma monoblastik. Istilah sarcoma myeloid
dan tumor sel myeloid extramedullar juga digunakan untuk tumor granulositik dan
monositik.12
Pasien dengan leukemia cutis dapat ditemukan satu atau beberapa lesi. Lesi
biasanya berupa papul, nodul dan plakat hemoragik, berwarna coklat kemerahan
dan plakat dengan berbagai ukuran. Presentasi klinis yang paling umum adalah
papul dan nodul eritematosa. Lokasi tersering leukemia cutis adalah kaki, kemudian
lengan, punggung, dada, kulit kepala dan wajah. Jenis leukemia dapat
menghasilkan lesi kulit yang berbeda selama perjalanan penyakit, bahkan pada
pasien yang sama.12
Pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan untuk memastikan adanya
leukemia kutis adalah melalui pemeriksaan histopatologi dan imunotype.
1. Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis leukemia cutis berdasarkan pada pola morfologi infiltrasi pada kulit,
pemeriksaan sitologi serta immunphenotype dari sel tumor.12
- Prekursor B-T Cell ALL
Sitomorfologi precursor B dan limfoma sel T hamper identik. Biasanya,
infiltrat ditemukan di lapisan dalam dan tidak memiliki epidermotropisme.
Pola infiltrasi dapat berupa perivaskular dan atau menyebar. Secara
mofologi, sel biasanya memiliki penampilan monomorf, ukuran sedang
dengan kontur inti bulat dan kromatin blastik. Seringkali ditemukann
banyak mitotic dan apoptosis. Stroma fibroma sering nampak.
32
3.1.6. Prognosis
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien digolongkan kedalam kelompok resiko
biasa dan resiko tinggi. Beberapa faktor dapat mempengaruhi prognosis,
diantaranya :6,7
1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin merupakan
faktor prognosis yang bermakna tinggi. Jumlah leukosist >50,000µl mempunyai
prognosis yang buruk
2. Umur pasien saat diagnosis mempunyai pengaruh terhadap diagnosis dan hasil
pengobatan. Pasien dengan umur di bawah 18 bulan atau diatas 10 tahun
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur diantara
itu. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan
mempunyai prognosis paling buruk. Hal ini dikatakan karena mereka
mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi berhubungan dengan
gene re-arrangement pada kromosom 11q23 seperti t (4;11) atau t (11;9) dan
jumlah leukosit yang tinggi.
3. Fenotip imunologis (immunophenotype) dan limfoblas saat diagnosis juga
mempunyai nilai prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan
antibodi “kappa” dan “lamda” pada permukaan blas diketahui mempunai
prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk sel B, prognosis
diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel T leukemia murni
tanpa faktor prognostic buruk yang lain, mempunyai prognosis yang sama
dengan leukemia sel pre B, LLA sel T diatasi dengan protokol resiko tinggi.
4. Beberapa penilitan, sebagian besar menyimpulkan anak perempuan mempunyai
prognosis yang lebih baik dari anak laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya
relaps testis dan kejadian leukemia sel T yang tinggi, hiperleukositosis dan
organomegali serta massa mediastinum pada anak laki-laki. Penyebab pastinya
belum diketahui, tetapi diketahui pula ada perbedaan metabolism, merkaptopurin
dan metotreksat.
5. Respon terhadap terapi dapat dukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah 1
minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada sumsum tulang
pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukan prognosis yang buruk.
35
3.2.2 Etiologi
Febrile neutropeni dapat terjadi karena komplikasi maupun efek samping dari
kemoterapi. Pasien dengan neutropeni dapat memudahkan terjadinya infeksi yang
juga dapat mengakibatkan febrile neutropeni. Jenis mikroba yang sering dan jarang
menyebabkan infeksi pada neutropenia tertera pada tabel berikut9
Organisme Sering terjadi Jarang terjadi
Bakteri Gram positif S. aureus Spesies Corynebacterium
Staphyllococcus koagulase Spesies Bacillus
negatif Spesies Clostridium
Enterococcus
Streptococcus viridans
Bakteri Gram negatif E. coli Spesies Enterobacter
36
3.2.5 Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan adalah dengan pengobatan penyakit dasar, antipiretik
serta pemberian antimikroba. Masalah infeksi sangat penting dan berbahaya untuk
pasien keganasan terutama keadaan neutropenia pada 72 jam pertama, pada saat
kuman penyebab infeksi belum dapat ditentukan. Pada umumnya 60-70% pasien
neutropenia dengan demam tidak diketahui penyebabnya. Oleh karena itu, sejak
tahun 1971 dianjurkan memberikan pengobatan antibiotik secara empiris segera
setelah dicurigai adanya infeksi, misalnya segera setelah timbul gejala demam.
Pemilihan antibiotik empirik insial terdiri dari (1) kombinasi β-laktam berspektrum
luas dengan aminoglikosida, (2) kombinasi dua macam β-laktam, dan (3)
monoterapi antibiotik berspektrum luas.9
Masalah yang sering timbul bila pengobatan empirik dihentikan adalah timbulnya
demam rekuren atau timbul infeksi bakteri lain. Oleh karena itu, lama pengobatan
empiris selalu mengacu pad hitung jenis neutrofil sebagai berikut9
- Neutrofil ≥500/mm3, apabila tidak ditemukan kuman dalam biakan, antibiotik
dihentikan setelah 7 hari pengobatan
- Neutrofil <500/mm3 dan klinis baik, antibiotik dihentikan setelah 5-7 hari bebas
demam
- Neutrofil <100/mm3, tanda vital stabil, namun terdapat lesi mukosa, antibiotik
dilanjurkan sampai hitung neutrofil ≥500/mm3 atau sampai keadaan klinis
membaik dan stabil.
Pada kasus ini, tatalaksana yang diberikan adalah antipiretik berupa injeksi
paracetamol 120 mg/4 jam jika suhu ≥38,5◦C serta antibiotik berupa Injeksi
Cefixime 500mg/12 jam.
38
3.2.6 Prognosis
Prognosis demam pada pasien neutropenia tergantung dari respon klinis dan
mikrobiologik; hal ini sangat tergantung dari penyembuhan pasien dari neutropenia.
Pada pasien dengan infeksi bakteri, pengobatan monoterapi dengan ceftazidime
atau cefepime, kombinasi sefalosporin-aminoglikosida, atau monoterapi
carbapenem, sesuai hasil mikrobiologi dapat menyembuhkan >90% kasus.
Sedangkan keberhasilan pengobatan infeksi jamur jauh lebih sedikit. Respon klinis
pada umumnya dapat terlihat dengan penurunan suhu setelah pengobatan empiris
selama 4 hari. Secara keseluruhan pengobatan monoterapi β laktam sekitar 60%
dan perlu modifikasi 60% dengan survival rate 90-98%. Insidens super infeksi 20-
25%, hal ini akan meningkatkan angka mortalitas. Namun pada umumnya
prognosis memburuk disebabkan oleh penyakit dasarnya.9
Pada kasus ini, febrile neutropeni memiliki prognosis yang baik. Hal ini
ditunjukkan dengan turunnya suhu setelah pengobatan empiris selama 4 hari.