Anda di halaman 1dari 16

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. ACUTE LYMPHOBLASTIC LEUKEMIA


3.1.1. Definisi dan faktor risiko
Acute lymphoblastic leukemia (ALL) adalah keganasan hematologi dimana sumsum
tulang memproduksi prekursor limfosit terlalu banyak sehingga menggantikan sel
hemapoetik normal sumsum tulang. Faktor resiko ALL dibedakan menjadi
lingkungan, genetik dan infeksi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi adalah
radiasi, kimiawi seperti pestisida dan hidrokarbon (benzene, bensin, trikloroetil),
alkohol dan rokok. Faktor genetik dapat berupa kembar monozigot, kelainan
kromosom (sindrom Down, Anemia Fanconi, sindrom Bloom, Sindrom
Shwachman, Neurofibromatosis), mutasi genetik [t(1;19)/E2A-PBX1], serta
riwayat keluarga menderita keganasan hematologi. Infeksi virus seperti Epstein-
Barr virus terbukti dapat memicu terjadinya keganasan Burkitt lymphoma.1
Pada kasus ini, faktor risiko tidak terdeteksi dengan baik. Keluarga
menyangkal adanya anggota keluarga yang merokok, polusi udara karena
kendaraan serta menyangkal adanya riwayat keluarga yang mengalami keganasan
hematologi. Faktor resiko yang tidak dapat diukur pada pasien adalah paparan
pestisida.

3.1.2. Klasifikasi
French-American British (FAB) mengklasifikasi ALL berdasarkan morfologi sel
sumsum tulang. Klasifikasi berdasarkan morfologik berdasarkan FAB :
L1 : terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogenus,
anak inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit
L2 : sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih kasar
dengan satu atau lebih anak inti
L3 : terdari dari sel limfoblas lebih besar, homogan dengan kromatin berbercak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan
bervakuolisasi

23
24

WHO mengklasifikasikan ALL berdasarkan morfologi sel, immunologic sel


marker, sitogenetik, abnormalitas molecular dan sindroma klinis. Berikut
merupakan klasifikasi leukemia tipe ALL berdasarkan kualifikasi WHO tahun 2016
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma, NOS
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma with recurrent genetic abnormalities
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(9;22)(q34.1;q11.2);BCR-ABL1
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(v;11q23.3);KMT2A rearranged
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(12;21)(p13.2;q22.1); ETV6-RUNX1
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma with hyperdiploidy
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma with hypodiploidy
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(5;14)(q31.1;q32.3) IL3-IGH
B-lymphoblastic leukemia/lymphoma with t(1;19)(q23;p13.3);TCF3-PBX1
Provisional entity: B-lymphoblastic leukemia/lymphoma, BCR-ABL1–like
Provisional entity: B-lymphoblastic leukemia/lymphoma with iAMP21

T-lymphoblastic leukemia/lymphoma
Provisional entity: Early T-cell precursor lymphoblastic leukemia
Provisional entity: Natural killer (NK) cell lymphoblastic leukemia/lymphoma

Klasifikasi berdasarkan imunologi:


 Precursor B-ALL : common ALL, null ALL, pre-B ALL
 T-ALL
 B-ALL
Klasifikasi imunologi ini berdasarkan atas ada tidaknya berbagai antigen
permukaan sel. Subtype imunologi paling sering ditemukan adalah common
ALL. Null cell ALL berasal dari sel yang sangat primitive dan lebih banyak
pada dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang jarang, dengan morfologi L3
yang sering berperilaku sebagai limfoma agresif (varian Burkitt).
Klasifikasi berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional :

High Risk

Jumlah leukosit >50.000

Ditemukan ada massa mediastinum

Ditemukan leukemia susunan saraf pusat

Setelah terapi dengan deksametason, jumlah sel blas >1000/mm3

Standard Risk

Jumlah leukosit <50.000
25

Tidak ditemukan ada massa mediastinum

Tidak ditemukan leukemia susunan saraf pusat

Setelah terapi dengan deksametason, jumlah sel blas <1000/mm3
Pada kasus ini, berdasarkan klasifikasi FAB didapatkan klasifikasi L3,
berdasarkan klasifikasi imunofenotip diklasifikasikan sebagai sel B-ALL dengan
standart risk. Klasifikasi WHO belum dapat dilakukan karena pemeriksaan
sitogenetik belum dilakukan

3.1.2. Manifestasi Klinis


Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis ALL pada anak adalah pada
berat-ringannya ALL, komplikasi, infeksi, faktor lingkungan dan nutrisi . Gambaran
klinik ALL tidak selalu pasti didapatkan, tetapi secara umum yaitu2 :
- Gejala sistemik, berupa penurunan berat badan, pembesaran kelenjar getah
bening, demam, mudah lelah dan muka pucat.
- Gejala pada sistem pencernaan, berupa hepatomegali, hepatosplenomegali.
- Gejala hemorrhagic, berupa petechiae / memar, perdarahan mukosa dan
mimisan.
- Gejala pada sistem muskuloskelethal, berupa nyeri tulang dan otot.
- Gejala infeksi, berupa demam
Gejala sistemik yang sering muncul adalah muka pucat (54%), mudah lelah
(46%), penurunan berat badan (29%). Gejala pada sistem pencernaan yang sering
muncul adalah hepatomegali (64%) dan splenomegali (61%). Memar (61%) adalah
gejala hemorrhagic tersering. Presentasi gejala musculoskeletal nyeri otot adalah
43%, dan nyeri tulang 26%. Demam terjadi pada 53% pasien ALL.2
Pada kasus ini, anak menunjukkan gejala dan tanda sesuai ALL, meskipun
tidak semua gejala muncul pada anak. Dari anamnesis diperoleh gejala yaitu lemah
dan demam. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya hepatomegali.

3.1.3. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan tambahan yang dibutuhkan pada kasus-kasus bronkopneumonia
meliputi: a) pemeriksaan laboratorium darah ;b) biopsi sumsum tulang; c)
Imunofenotip; d) sitokimia; e) sitogenetika3
a. Pemeriksaan laboratorium darah
26

Pada ALL ditemukan 53% leukopenia (<10.000 mm3), 30% jumlah leukosis
normal atau meningkat sedikit (10.000-49.000 mm3), 17% leukositosis
(>50.000 mm3). Pada ALL ditemukan anemia berat (hemoglobin <7 g/dL)
sebanyak 43%, hemoglobin normal atau anemia ringan hingga sedang
(hemoglobin 7-11 g/dL) sebanyak 45%, dan 12% pasien ALL ditemukan
hemoglobin >11 g/dL. Trombosit menururun hingga <20.000 mm3 pada 28%
pasien ALL, trombosit berkisar 20.000-99.000 pada 47% pasien ALL dan
trombosit >100.000 didapatkan pada 25% pasien ALL. Sering ditemukan
pula neutropenia (<500, 500-1.000 mm3).
b. Biopsi sumsum tulang
Pengecatan biopsi sumsum tulang pada ALL akan menunjukkan hipersellluar
sumsum tulang, didapatkan sel Blast (>30%), hiatus leukemikus (+) dan
didapatkan gambaran mofologi sel seri limfoid. Morfologi karakteristik ALL
dibandingkan dengan Acute Myeloid Leukemia (AML) dijabarkan pada tabel
berikut4
ALL AML
Karakteristik Populasi blast homogenous Populasi blast heterogenoys
Umum
Ukuran Variabel, kebanyakan kecil Variabel, kebanyakan besar
Nucleus Tengah, kebanyakan bulat, Cenderung eksentrik, bulat,
kadang-kadang tidakoval, kadang angulasi,
ditengah, terutama pada terutama dalam bentuk
orang dewasa dengan komponen monosit
Rasio sitoplasma nukleus Rasio sitoplasma nucleus
sangat tinggi pada anak- tinggi pada sel blas yang
anak, rendah pada dewasa tidak berdifersnsiasi dan
pada beberapa
megakarioblas
Rasio sitoplasma nucleus
rendah pada sel blas yang
berdiferensiasi
Kromatin Halus, dengan kondensasi Halus, granular, tersebar
tersebar
Sangat terkondensasi dalam
limfoblas kecil
Nucleoli Tidak ada pada limfoblas Hampir selalu ada, besar
kecil dan menonjol, ganda atau
Terkadang tidak jelas tripel
Sitoplasma Hanya sedikit, basofilik Variabel
Terkadang dengan satu Banyak monoblas
proyeksi panjang (hand Dengan tonjolan pada
27

mirror cell) erythroblasts dan


megakarioblas
Granula Jarang ada, azurpholic dan Terdapat dalam bentuk
selalu negative pada diferensiasi dan positif
peroksidase, esterase dan dengan pengecatan
toluidine blue sitokimia
- Peroksidase pada
neutrofil dan eoinofil
- Esterase spesifik pada
monosit
- Toulidine biro pada
basofil
Batang auer Selalu tidak ada Bisa didapat
Muncul pada bentuk
hypergranular
promyelocytic
Vakuolasi Bisa didapat Bisa didapat
Hampir selalu ada pada
komponen monosit
Tabel 4. Histopatologi biopsy sumsum tulang ALL dan AML
c. Imunofenotip
Leukimia adalah hasil dari mutasipada taham perkembangan awal
hemopoitik. Klasifikasi imunofenotip sangat bergna dalam
mengklasifikasikan keukemia sesuai tahap-tahap maturasi normal yang
dikenal. Reagen yang dipakai untuk diagnosis dan identifikasi subtipe
imunologi adalah antibody terhadap5 :
 Untuk sel precursor B :CD10 (common ALL
antigen), CD19, CD79A, CD22, cytoplasmic m-
heavy chain, dan TdT
 Untuk sel T :CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5,
CD8, dan TdT
 Untuk sel B :kappa atau lamda, CD19,
CD20, dan CD22
d. Sitokimia
Gambarang morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang
kadang-kadang tidak dapat membedakan ALL dari AML. Pada ALL,
pewarnaan sudan black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang
negative. Mieloperoksidase adalah enzim sitoplasmik yang pada granula
primer dari precursor granulositik, yang dapat dideteksi pada sel blas AML.
28

Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B-ALL dari T-


ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas,
sedangkan sel B dapat memberikan hasil yang positif pada pewarnaan
periodic acid Schiff (PAS). TdT yang diekspresikan oleh limfoblas dapat
dideteksi dengan pewarnaan imunoperoksidase atau flow cytometry.
e. Sitogenetik
Analisis sitogenetik berguna karena beberapa kelainan sitogenik berhubungan
dengan subtype ALL tertentu dan dapat memberikan informasi prognosis.
Translokasi t(8;14), t(2;8), dan t(8;22) hanya ditemukan pada ALL sel B dan
kelainan kromosom ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang
berlebihan dari gen c-mcy pada kromosom 8. Beberapa kelainan sitogenik
dapat ditemukan pada ALL atau AML, misalnya kromosom Philadelphia,
t(9;22)(q34;q11) yang khas untuk CML dapat juga ditemukan pada <5%
AML dewasa dan 20-30% ALL dewasa.
Pada kasus ini, didapatkan leukopeni (leukosit <10.000/µL), anemia
(hemoglobin <8 g/dL), trombositopeni (trombosit <20.000/µL), dan neutropenia
(<500). Pemeriksaan sumsum tulang sudah dilakukan, hasil dengan kesan ALL.
Pemeriksaan imunofenotip didapatkan kesan sesuai gambaran leukemia akut B
limfoid. Pemeriksaan sitogenetik belum dilakukan.

3.1.3. Tatalaksana
Penanganan ALL meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi
pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi
antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik untuk
meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan
pendekatan aspek psikososial.5
Terapi kuratif berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi,
profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi resiko normal atau resiko
tinggi, menentukan protocol kemoterapi. Saat ini di Indonesia ada 2 protokol
pengobatan yang lazim digunakan untuk All yaitu protokol nasional (Jakarta) dan
protocol WK-ALL 2000.5
1. Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda
(deksametason, vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin).
29

2. Terapi intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah remisi


komplit dan untuk profilaksi leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil yang
diharapkan adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan
kesembuhan. Pada pasien resiko sedang dan tinggi, induksi diintensifkan guna
memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien akan mendapatkan remisi
pada fase ini.
3. Terapi SSP yaitu secara langsung diberikan melalui injeksi intratekal dengan
obat metotreksat, sering dikombinasi dengan infuse berulang metotreksat dosis
sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5gr/m2). Di beberapa
pasien reisko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif dengan
memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi
sistemik dosis tinggi.
4. Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkoptopurin tiap hari dan
metotreksan sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain seama
perawatan tahun pertama. Lamanya terapi rumatan didapatan jumlah sel blas
<5% dari sel berinti, hemoglobin >12g/dl tanpa transfuse, jumlah leukosit
>3000/µl dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >2000µl,
jumlah trombosit >100.000/µl, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.
Tujuan penanganan ALL ialah mencapai remisi hematologik dan klinis
lengkap complete remission (CR) yang ditentukan dengan hilangnya semua tanda
fisik dan kelainan sumsum tulang, restorasi hematopoiesis normal (netrofil 1500
sel/mm3 dan trombosit >100.000 sel/mm3). Setelah CR dicapai, pasien
dipertahankan dalam CR kontinu. Secara umum, pasien anak dianggap sembuh
setelah CR kontinu dicapai selama 5-10 tahun. Pemberian regimen dapat
menginduksi CR pada 98% kasus anak dengan LLA. Kasus anak yang tidak
mencapai CR pada akhir induksi mendapatkan 16% overall event-free sur-vival
(EFS). Rata-rata penyembuhan pada kasus anak telah meningkat dari <5% pada
tahun 1960 sampai 90% pada tahun 2005.
Syarat dilakukan kemoterapi yaitu Hb >10g/dl. Apabila ditemukan tanda
anemia dapat dilakukan tranfusi PRC 10-15 mg/KgBB, atau suspensi trombosit 1
unit/5kgBB bila terjadi perdarahan karena trombositopenia. Untuk mencegah dan
mengatasi infeksi digunakan antibiotik spektrum luas IV untuk febris dengan
granulositopenia, atau kotrimoxazole 5mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis.
30

Pada kasus ini, belum dilakukan terapi untuk ALL, lebih diutamakan untuk
stabilasi pasien. Pasien mengalami febrile neutropeni dan anemia, jika dilakukan
kemoterapi dikawatirkan akan semakin membuat kadar neutrofil menurun sebagai
salah satu efek samping dari kemoterapi.

3.1.5. Komplikasi
Dapat terjadi berbagai komplikasi dari ALL baik dari perjalanan penyakit
maupun pengobatannya, diantaranya tumor lysis syndrome, sepsis, perdarahan,
encephalopathy, dan terjadinya infiltrasi sel ganas ke organ lain.
Infiltransi leukemia dapat terjadi ke organ lain, baik intramedular atau
ekstramedular. Lokasi infiltrasi leukemi extramedular 3 terbesar adalah selaput otak, testis
dan orbital dan ocular. Orbital dan ocular dapat dibagi menjadi spesifik (roth spot, orbital
infiltasi dan papiledema) dan non spesifik karena komplikasi dari infeksi sekunder (retinal
hemorrhage, keratitis dan konjungtivitis, blepharitis, iritis). Leukemia dapat melibatkan
hampir semua jaringan ocular, oleh infiltrasi langsung, oleh perdarahan dan oleh
iskemik.
Manifestasi klinik dari infiltrasi keganasan pada mata dapat bermacam-macam,
dibagi menjadi spesifik, non spesifik, bagian dari komplikasi penyakit dan
manifestasi iatrogenik. 10
- Lesi spesifik adalah infiltrasi sel-sel keganasan ke bagian tertentu seperti orbital,
palpebral, konjungtiva dan kelenjar lakrimal.
- Lesi non spesifik adalah lesi yang terbentuk karena infeksi sekunder, seperti
retinal hemorrhage, keratitis dan konjungitivits, blepharitis, iritis.
- Kondisi pada leukemia seperti anemia, trombositopenia dan leukostatis dapat
memicu komplikasi seperti retinal hemorrhage dan iskemia.
- Manifestasi iatrogenik dapat terjadi sebagai akibat efek samping kemoterapi dan
terapi cobalt, seperti ptosis, atrofi koroid dan retina, perubahan lapangan
pandang, atrofi okular.
Pemeriksaan penunjang untuk infiltrasi keganasan pada mata meliputi
pemeriksaan optamologi, seperti ketajaman mata, pengukuran tekanan intraocular,
slit lamp, funduskopi dan laboratorium sesuai dengan indikasi lesi mata yang
muncul. Jika diperlukan, untuk melihat keterlibatan intraorbital perlu dilakukan
31

MSCT kepala. Untuk mencari adanya infeksi sekunder dapat dilakukan pula
pemeriksaan kultur swab mata. 11
Selain selaput otak, testis dan orbital dan ocular, infiltrasi dapat terjadi pula di
sistem integumen yang disebut sebagai leukemia cutis. Leukemia cutis didefinisikan
sebagai infiltrasi kulit oleh leukosit neoplastik (myeloid atau limfoid),
menghasilkan lesi kulit yang teridentifikasi secara klinis. . Ketika terdiri dari
limfoid, leukemia cutis dapat berupa sarcoma monoblastik. Istilah sarcoma myeloid
dan tumor sel myeloid extramedullar juga digunakan untuk tumor granulositik dan
monositik.12
Pasien dengan leukemia cutis dapat ditemukan satu atau beberapa lesi. Lesi
biasanya berupa papul, nodul dan plakat hemoragik, berwarna coklat kemerahan
dan plakat dengan berbagai ukuran. Presentasi klinis yang paling umum adalah
papul dan nodul eritematosa. Lokasi tersering leukemia cutis adalah kaki, kemudian
lengan, punggung, dada, kulit kepala dan wajah. Jenis leukemia dapat
menghasilkan lesi kulit yang berbeda selama perjalanan penyakit, bahkan pada
pasien yang sama.12
Pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan untuk memastikan adanya
leukemia kutis adalah melalui pemeriksaan histopatologi dan imunotype.
1. Pemeriksaan Histopatologi
Diagnosis leukemia cutis berdasarkan pada pola morfologi infiltrasi pada kulit,
pemeriksaan sitologi serta immunphenotype dari sel tumor.12
- Prekursor B-T Cell ALL
Sitomorfologi precursor B dan limfoma sel T hamper identik. Biasanya,
infiltrat ditemukan di lapisan dalam dan tidak memiliki epidermotropisme.
Pola infiltrasi dapat berupa perivaskular dan atau menyebar. Secara
mofologi, sel biasanya memiliki penampilan monomorf, ukuran sedang
dengan kontur inti bulat dan kromatin blastik. Seringkali ditemukann
banyak mitotic dan apoptosis. Stroma fibroma sering nampak.
32

Gambar 8. Histopatologi Prekursor B-T sel ALL


- Chronic Lymphocytic Leukemia/Small Lymphocytic Leukemia
Pola kasnya : (1) perivaskular dan periadnexal, (2) nodular dan difuse, dan
(3) seperti pita. Secara sitologi, infiltrate relative monoton terdiridari sel-sel
lymphoid kecil dengan nukleus yang bulat.

Gambar 9. Histopatologi Chronic Lymphocytic Leukemia/Small


Lymphocytic Leukemia
- T-Cell Lymphoproliferative Diseases
Adult T cell leukemia/lymphoma (ATLL) menunjukan infiltrat superficial,
nekrosis epithelial dan infiltrate perivaskular. Infiltrat dapat berbentuk
heterogen dengan ukuran T sel yang bervariasi dan pleomorfic.
33

Gambar 10. Histopatologi T-Cell Lymphoproliferative Diseases


2. Pemeriksaan imunotype
Melalui biopsy, jaringan diambil dan dilakukan pemeriksaan immunopheotypic
dengan marker T cell, B cell dan myeloid.
Tatalaksana komplikasi berupa kemoterapi, radioterapi, dan jika didapatkan
penyakit sekunder yang disebabkan oleh bakteri diberikan antibiotik yang sesuai.
Pada kasus ini, komplikasi yang terjadi berupa infiltrasi keganasan pada
mata dan leukemia kutis. Manifestasi klinis infiltrasi pada mata berupa lesi spesifik
berupa infiltrasi pada palpebra. Pemeriksaan kultur swab mata negatif sehingga
infeksi sekunder berupa blepharitis dan selulitis preseptal dapat disingkirkan, perlu
dilakukan, MSCT, pro debridement+ kultur sensitvitas + biopsy + patologi anatomi IGA
untuk menegakkan diagnosis lebih lanjut . Leukemia cutis yang terjadi pada kasus ini
terdiri dari lesi multiple yakni 4 buah tersebar dengan ujud kelainan kulit berupa
nodul hiperpigmentasi yang belum dilakukan pemeriksaan histopatologi dan
imunotype.
Kemoterapi dan radioterapi belum dilakukan dikarenakan menunggu
stabilisasi pasien. Terapi sementara yang dilakukan untuk infiltrasi keganasan pada
mata adalah mencegah terjadinya infeksi sekunder dengan memberikan salep
gentamycin dan C lyters yang berguna sebagai lubricants menjaga mata tidak
kering dan melunakkan krusta, serta mengurangi pembengkakan dengan kompres
hangat. Terapi sementara yang dilakukan untuk leukemia kutis adalah mencegah
terjadinya infeksi sekunder dengan memberikan krim gentamycin dan kompres
betadine sebagai disinfektan.
34

3.1.6. Prognosis
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien digolongkan kedalam kelompok resiko
biasa dan resiko tinggi. Beberapa faktor dapat mempengaruhi prognosis,
diantaranya :6,7
1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakkan, mungkin merupakan
faktor prognosis yang bermakna tinggi. Jumlah leukosist >50,000µl mempunyai
prognosis yang buruk
2. Umur pasien saat diagnosis mempunyai pengaruh terhadap diagnosis dan hasil
pengobatan. Pasien dengan umur di bawah 18 bulan atau diatas 10 tahun
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien berumur diantara
itu. Khusus pasien dibawah umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan
mempunyai prognosis paling buruk. Hal ini dikatakan karena mereka
mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi berhubungan dengan
gene re-arrangement pada kromosom 11q23 seperti t (4;11) atau t (11;9) dan
jumlah leukosit yang tinggi.
3. Fenotip imunologis (immunophenotype) dan limfoblas saat diagnosis juga
mempunyai nilai prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan
antibodi “kappa” dan “lamda” pada permukaan blas diketahui mempunai
prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk sel B, prognosis
diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel T leukemia murni
tanpa faktor prognostic buruk yang lain, mempunyai prognosis yang sama
dengan leukemia sel pre B, LLA sel T diatasi dengan protokol resiko tinggi.
4. Beberapa penilitan, sebagian besar menyimpulkan anak perempuan mempunyai
prognosis yang lebih baik dari anak laki. Hal ini dikatakan karena timbulnya
relaps testis dan kejadian leukemia sel T yang tinggi, hiperleukositosis dan
organomegali serta massa mediastinum pada anak laki-laki. Penyebab pastinya
belum diketahui, tetapi diketahui pula ada perbedaan metabolism, merkaptopurin
dan metotreksat.
5. Respon terhadap terapi dapat dukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah 1
minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada sumsum tulang
pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukan prognosis yang buruk.
35

6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis, LLA hiperloid (>50


kromosom) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis yang
baik. LLA hipodiploid (3-5%) memiliki prognosi intermediate seperti t (1:19).
Translokasi t (9;22) pada 5% anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan dengan
prognosis buruk.
7. Komplikasi serta metastasis infiltrat sel keganasan dapat mempengaruhi
prognosis. Terjadinya komplikasi serta inflitrat sel keganasan merupakan
pertanda yang prognosis yang buruk.
Pada kasus ini, prognosis dubia ad malam. Meskipun hitung leukosit tidak
tinggi, namun berdasarkan usia, komplikasi kemungkinan pasien memiliki
prognosis buruk. Usia pasien saat didiagnosis kurang dari 18 bulan. Dicurigai
didapatkan infiltrat sel ganas seperti pada mata dan leukemia kutis, serta didapatkan
pula febrile neutropenia. Hasil imunofenotip berupa sel B-ALL menunjukkan
prognosis yang buruk. Faktor prognosis seperti kelainan jumlah kromosom, serta
respon terhadap terapi tidak dapat dinilai karena belum dilakukan.

3.2. FEBRILE NEUTROPENIA


3.2.1 Definisi
Febrile neutropenia merupakan demam dengan suhu axiler >37,5◦C selama
minimal 1 jam dengan hitung jenis neutrofil <500/mm3 atau hitung jenis neutrofil
antara 500-1000/mm3 yang diperkirakan akan turun hingga <500/mm 3 dalam 24-48
jam. 8

3.2.2 Etiologi
Febrile neutropeni dapat terjadi karena komplikasi maupun efek samping dari
kemoterapi. Pasien dengan neutropeni dapat memudahkan terjadinya infeksi yang
juga dapat mengakibatkan febrile neutropeni. Jenis mikroba yang sering dan jarang
menyebabkan infeksi pada neutropenia tertera pada tabel berikut9
Organisme Sering terjadi Jarang terjadi
Bakteri Gram positif S. aureus Spesies Corynebacterium
Staphyllococcus koagulase Spesies Bacillus
negatif Spesies Clostridium
Enterococcus
Streptococcus viridans
Bakteri Gram negatif E. coli Spesies Enterobacter
36

K. pneumoniae Spesies Acinetobacter


P. aeruginosa Citrobacter freundii
Serretia marcescens
Spesies Legionella
Mikobakteria M. fortuitum
M. cheloneate
Fungi C. albicans Mucor
C. kruzei Rhizopus
T. glabrata Fusarium
Spesies Aspergillus Pseudoallescheria boydii
Cryptococcus
Malassezia furfur
Virus Herpes simpleks Cytomegalovirus
Varisela-zoster
Parasit Pneumocystis carinii
Toxoplasma gondii
Strongyloides sterconalis
Tabel 5. Mikroorganisme etiologi febrile neutropeni
Pada kasus ini, etiologi febrile neutropenia adalah komplikasi dari
leukemia dengan neutropeni yang rendah. Pasien dengan neutropeni dapat
memudahkan terjadinya infeksi yang juga dapat mengakibatkan febrile neutropeni.
Jenis mikroba yang didapatkan pada kasus ini adalah Staphylococcus haemolyticus
yang merupakan salah satu staphylococcus koagulase negatif.

3.2.3 Manifestasi klinik


Keadaan neutropenia merupakan faktor resiko untuk terjadinya infeksi. Pada
umumnya sekitar 90% kasus neutropenia mudah menderita demam, tanpa disertai
gejala klinis lain. Dalam keadaan demikian, perlu dicari fokal infeksi tertentu.9
Pada kasus ini, febrile neutropeni hanya memiliki gejala demam, tanpa
disertai gejala klinis lain.

3.2.4 Pemeriksaan penunjang


Kultur darah, pewarnaan apus darah dan sampel tinja diperlukan untuk mencari
fokal infeksi. Dilaporkan hanya sekitar 10-20% infeksi pada pasien neutropenia
disebabkan oleh bakteremia dan fungiemia. Infeksi pada febrile neutropenia perlu
dipertimbangkan apabila9
- Pasien yang mempunyai hitung polimorfonuklear <500/mm 3, antara 500-
1000/mm3, atau jumlah polimorfonuklear yang cepat menurun, merupakan
resiko tinggi untuk terjadi infeksi
37

- Pasien dengan penyakit dasar (underlying disease) yang dapat menyebabkan


neutropenia, adanya faktor resiko dan lama terjadinya neutropenia
- Secara klinis dicurigai adanya infeksi bakteri dengan fokus infeksi yang
dicurigai (mulut, paru, perianal dan lain-lain).
- Hasil kultur darah atau jaringan positif terhadap bakteri, fungus atau virus
Pada kasus ini, didapatkan hitung neutrofil <500/mm3 dan hasil kultur
darah yang positif terhadap Stahphylococcus haemolyticus.

3.2.5 Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan adalah dengan pengobatan penyakit dasar, antipiretik
serta pemberian antimikroba. Masalah infeksi sangat penting dan berbahaya untuk
pasien keganasan terutama keadaan neutropenia pada 72 jam pertama, pada saat
kuman penyebab infeksi belum dapat ditentukan. Pada umumnya 60-70% pasien
neutropenia dengan demam tidak diketahui penyebabnya. Oleh karena itu, sejak
tahun 1971 dianjurkan memberikan pengobatan antibiotik secara empiris segera
setelah dicurigai adanya infeksi, misalnya segera setelah timbul gejala demam.
Pemilihan antibiotik empirik insial terdiri dari (1) kombinasi β-laktam berspektrum
luas dengan aminoglikosida, (2) kombinasi dua macam β-laktam, dan (3)
monoterapi antibiotik berspektrum luas.9
Masalah yang sering timbul bila pengobatan empirik dihentikan adalah timbulnya
demam rekuren atau timbul infeksi bakteri lain. Oleh karena itu, lama pengobatan
empiris selalu mengacu pad hitung jenis neutrofil sebagai berikut9
- Neutrofil ≥500/mm3, apabila tidak ditemukan kuman dalam biakan, antibiotik
dihentikan setelah 7 hari pengobatan
- Neutrofil <500/mm3 dan klinis baik, antibiotik dihentikan setelah 5-7 hari bebas
demam
- Neutrofil <100/mm3, tanda vital stabil, namun terdapat lesi mukosa, antibiotik
dilanjurkan sampai hitung neutrofil ≥500/mm3 atau sampai keadaan klinis
membaik dan stabil.
Pada kasus ini, tatalaksana yang diberikan adalah antipiretik berupa injeksi
paracetamol 120 mg/4 jam jika suhu ≥38,5◦C serta antibiotik berupa Injeksi
Cefixime 500mg/12 jam.
38

3.2.6 Prognosis
Prognosis demam pada pasien neutropenia tergantung dari respon klinis dan
mikrobiologik; hal ini sangat tergantung dari penyembuhan pasien dari neutropenia.
Pada pasien dengan infeksi bakteri, pengobatan monoterapi dengan ceftazidime
atau cefepime, kombinasi sefalosporin-aminoglikosida, atau monoterapi
carbapenem, sesuai hasil mikrobiologi dapat menyembuhkan >90% kasus.
Sedangkan keberhasilan pengobatan infeksi jamur jauh lebih sedikit. Respon klinis
pada umumnya dapat terlihat dengan penurunan suhu setelah pengobatan empiris
selama 4 hari. Secara keseluruhan pengobatan monoterapi β laktam sekitar 60%
dan perlu modifikasi 60% dengan survival rate 90-98%. Insidens super infeksi 20-
25%, hal ini akan meningkatkan angka mortalitas. Namun pada umumnya
prognosis memburuk disebabkan oleh penyakit dasarnya.9
Pada kasus ini, febrile neutropeni memiliki prognosis yang baik. Hal ini
ditunjukkan dengan turunnya suhu setelah pengobatan empiris selama 4 hari.

Anda mungkin juga menyukai