Anda di halaman 1dari 5

Tabel 1.

Hasil Pengamatan

No Perlakuan Hasil
1. 100 mL Ac2O dan asam asetat glasial 5:5 + 50 mL anilin Larutan berwarna jingga
2. Campuran direfluks selama 2 jam Larutan berwarna merah jingga
3. Campuran dimasukkan ke dalam air es + diaduk Larutan berwarna putih
4. Larutan disaring Endapan putih asetanilida mentah
5. Endapan + 200 mL air suling + sedikit etanol, dipanaskan Larutan jingga sedikit kuning
sambil diaduk
6. Larutan didinginkan dan disaring Terbentuk Kristal asetanilida
kotor
7. Rekristalisasi kedua, disaring dan didinginkan Kristal putih asetanilida yang
hampir murni

Pada percobaan ini disintesis asetanilida dan amina primer yakni aniline dengan suatu
derivate asam karboksilat yaitu anhidrida asetat, dimana satu atom hidrogen pada aniline
digantikan dengan satu gugus asetil. Proses reaksi yang terjadi merupakan reaksi asilasi amina,
dimana suatu amina (aniline) digunakan untuk mensintesis amina lain (asetanilida) dengan
pengubahan menjadi m=amida yang diikuti dengan reduksi air (H2O) (Ihsan, 2018).

Aniline, anhidrida asetat, dan asam asetat glasial berfungsi sebagai reaktan. Reaksi antara
aniline dengan anhidrida asetat merupakan reaksi eksoterm, karena reaksi ini menghasilkan
panas yang dilepas ke lingkungan, sehingga pencampuran kedua larutan tersebut harus dilakukan
dengan hati-hati. Campuran antara anhidrida asetat, asam asetat glasial, dan aniline berwarna
jingga yang berasal dari aniline. Penambahan asam asetat glasial berfungsi sebagai pelarut yang
bersifat asam (melepas ion H+/H2O) dan sangat mempengaruhi reaksi untuk membentuk suatu
garam amina, selain itu asam asetat glasial berfungsi sebagai katalis serta untuk menetralkan
muatan oksida dari anhidrida asetat sehingga asetanilida yang terbentuk tidak terhidrolisis
kembali, karena adanya pengaruh air. Persamaan reaksi pencampuran tersebut sebagai berikut :
Proses pencampuran di atas berjalan lambat sehingga dilakukan proses refluks. Prinsip
metode refluks adalah pelarut volatile yang digunakan akan menguap pada temperature tinggi
tetapi kemudian dilakukan pendinginan sehingga pelarut yang semula berbentuk uap akan
mengembun dan turun lagi ke dalam labu sehingga pelarut ajan tetap ada selama reaksi serta
reaksi dapat berjalan cepat (Rudyanto, 2005). Proses refluks memiliki dua fungsi, yaitu untuk
mempercepat reaksi karena adanya proses pemanasan. Pemanasan akan meningkatkan suhu
dalam sistem sehingga tumbukan antar molekul akan lebih banyak dan cepat sehingga akan
mempercepat reaksi atau mengontrol reaksi secara kinetic. Fungsi kedua adalah untuk
menyempurnakan reaksi melalui proses pencampuran senyawa-senyawa yang dilakukan dengan
pemanasan dalam suatu labu alas bulat (Putri, tanpa tahun). Proses refluks dilakukan selama 2
jam dengan diukur suhu untuk menjaga penangas sekitar 110 oC. Proses refluks terjadi reaksi
sebagai berikut :

(Putri, tanpa tahun).

Sintesis asetanilida sebagai suatu amida adalah merupakan suatu reaksi substitusi (S N)
asil (addition/elimination) diantara anilin. Amina bersifat sebagai nukleofil dan gugus asil dan
anhidrida asetat bersifat sebagai elektrofil. Anhidrida asetat mengalami delokalisasi atau
resonansi memutuskan ikatan rangkap, dengan atom O memiliki muatan negatif dan atom C
memiliki muatan positif akibat dari ion H+ dari pelarutnya (asam asetat glasial).
Karbokation sekunder ini lebih stabil dari karbokation primer karena lebih tersubstitusi, sehingga
pada struktur ini tidak mengalami penataan ulang (rearrangement). Pasangan elektron bebas dari
atom nitrogen dari suatu amida tidak suka melakukan delokalisasi atau resonansi disekitar cincin
aromatis. Suatu amida distabilkan oleh resonansi yang menyertakan pasangan elektron non
bonding dari atom nitrogen. Pasangan elektron bebas dari atom N sebagai nukleofil yang
menyerang karbokation pada asam asetat anhidrida membentuk N-carboxyanilinium dan ion
asetat, kemudian ion asetat ini menyerang atom hidrogen pada gugus amida N-carboxyanilinium
sehingga terbentuk asetanilida dan asam asetat (Putri, tanpa tahun).

Protonasi dari suatu amida terjadi pada atom aksigen disbanding atom nitrogen. Amida
ini tersubstitusi pada orto-para. Elektron bebas nitrogen dari anilin sebagai nukleofil, lebih
memilih menyerang karbokation sekunder dari anhidrida asetat yang bersifat sebagai elektrofil,
serta menyebabkan perpindahan muatan dari atom C ke atom N yang kemudian N memiliki
muatan positif. Elektron bebas dari O membentuk ikatan rangkap dua dengan C bersamaan
ketika atom C melepas sepasang elektron ke atom O untuk membentuk struktur yang paling
stabil yaitu dengan tebentuklah asetanilida dan ion asetat. Ion asetat tersebut mengambil atom H
dari N-carboxyanilinium sehingga menghasilkan asetanilida dan ion asetat (Putri, tanpa tahun).

Hasil refluks dituangkan ke dalam gelas kimia yang berisi air es sehingga terbentuk
endapan dan larutan berubah dari berwarna merah jingga menjadi putih. Larutan tersebut
didiamkan kemudian diaduk dan disaring. Didapatkan endapan putih asetanilida mentah yang
selanjutnya direkristalisasi. Rekristalisasi merupakan metode yang sangat penting untuk
pemurnian komponen larutan organik (Williamson, 1999). Proses rekristalisasi pada dasarnya
adalah melarutkan senyawa yang akan dimurnikan ke dalam pelarut yang sesuai pada atau yang
dekat titik didihnya, menyaring larutan panas dari molekul atau partikel tidak larut, biarkan
larutan panas menjadi dingin sehingga terbentuk Kristal, dan memisahkan Kristal dari larutan
berair. Kristal yang terebntuk dikeringkan dan ditentukan kemurniannya dengan penentuan titik
lebur, kromatografi, dan metode spektroskopi (Damtith, 1994). Proses rekristalisasi dilakukan
dengan melarutkan Kristal asetanilida ke dalam air suling sebanyak 200 mL dengan penambahan
sedikit etanol kemudian dipanaskan sampai jenuh dan disertai pengadukan.

Pada percobaan sintesis asetanilida, diperoleh hasil uji kelarutan Kristal asetanilida
bahwa asetanilida tidak dapat larut dalam air. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kepolaran
anatar kedua zat tersebut. Asetanilida bersifat non-polar sedangkan air bersifat polar. Suatu
senyawa organic akan larut dalam pelarut organic. Oleh karena itu, Kristal asetanilida dapat
sedikit larut di etanol yang bersifat semipolar, terjadi gaya tarik antar molekul di dalam kedua
senyawa yang mampu mengikat kuat molekul-molekul di dalamnya sehingga dapat
mempengaruhi ikatan antar kedua senyawa tersebut (Dzikrullah, 2016).

Larutan yang sudah larut kemudian didinginkan dan disaring. Didapatkan Kristal
asetanilida yang masih keruh yang masih mengandung pengotor, oleh karena itu dilakukan
rekristalisasi sekali lagi. Larutan pada proses rekristalisasi kedua ini jauh lebih jernih daripada
rekristalisasi pertama. Sehingga didapatkan Kristal asetanilida yang lebih bersih dan hampir
murni. Berdasarkan hasil asetanilida pada percobaan ini didapatkan sebanyak 50 gram,
sedangkan berdasarkan hasil perhitungan secara teoritis didapatkan sebesar 74,07 gram, sehingga
% rendemennya sebesar 67,50%. Titik lebur asetanilida dalam percobaan ini yaitu 113,9 oC.
berdasarkan literatur, titik lebur asetanilida adalah sebesar 114oC sehingga tingkat kemurniannya
hampir 100%, sedangkan rendemen yang dihasilkan tidak 100% karena saat penyaringan corong
yang digunakan tidak dipanaskan, sehingga asetanilida yang mengkristal di atas kertas saring
saat dilakukan penyaringan.

Anda mungkin juga menyukai