Anda di halaman 1dari 7

Artikel Penenggakan Hukum Di Indonesia.

Efektitas Peneggakan Hukum Indonesia Era Reformasi

Abstrak

Masalah kuantitaf dan kinerja aparat peneggakan hukum di Indonesia


menjadi salah satu masalah yang paling disorot di Era Reformasi. Tanpa di
pungkiri di Era Reformasi saat ini. Dengan mudahnya media massa memberikan
banyak asumsi-asumsi didalam pemberitaan ketika timbul kasus sosial yang
berhubungan dengan kinerja peneggakan hukum di Indonesia. Entah itu ditengah
Kasus Penyidikan hingga sampai di tengah persidangan. Sehingga timbul
dimasyarakat tersebut berbagai spekulasi pendapat yang bersifat positif dan
negative tanpa mengetahui bukti yang terjadi di lapangan. Dan bahkan terlihat
amat buruk kinerja aparat peneggakan hukum . Jadi. Sebenarnya Apakah kinerja
peneggakan hukum itu sudah sesuai dengan asas hukum yang dimiliki Indonesia?
Lalu Jika sudah sesuai apakah yang menyebabkan terjadinya pertentangan
ditengah masyarakat yang berbuntut masalah lainnya.

Kata Kunci: Kinerja, Pertentangan, Kasus.

Pendahuluan

Secara Konstitual, Sebagaimana ditegaskan dalam Undang Undang Dasar 1945


Pasal 1 ayat (3), negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), bukan negara
yang berdasarkan kekuasaan (maachtstaat). Membangun sebuah negara yang
berkeadilan bagi Bangsa Indonesia adalah suatu amanah besar dari konsitusi itu
sendiri. Namun demikian, Satjipto Rahadjo dalam tulisannya yang tertuang dalam
Panduan Konfrensi Negara Hukum (2012) menyatakan baha membangun sebuah
negara hukum bukannlah sekedar menancapkan papan nama. Maksudnya disini
ialah Bukanlah sebuah akhir dari perjuangan kita melawan penjajahan saja.
Namun awal dari bangsa Indonesia ini sendiri untuk mempertahankan nama
Negara Indonesia hingga dimasa akan datang. Seperti Mempertahankan idelogi
pancasila yang telah kita buat sebagai dasar landasan negara Indonesia,
Pembuatan sejumlah peraturan undang-undangan, pembentukan lembaga-lembaga
baru, pembenahan insititusi dan aparat peneggakan hukum dilakukan. Namun
keberhasilan membangun negara hukum masih terlihat jauh dari yang dicita-
citakan oleh pelopor negara kita dahulu. Yaitu Terciptanya sistem peradilan yang
benar-benar adil disemua aspek hukum di Indonesia sehingga terciptanya
keadaaan yang harmonis, damai dan tentram. Selain itu. Keberhasilan negara
hukum bukan terlihat diukur dari kemampuan memproduksi legislasi dan
menciptkan atau merevitalisasi insitusi hukum yang sering berlangsung di
Indonesia. Lebih dari itu, keberhasilan bernegara hukum terukur dari
implementasi dan peneggakan hukum yang mampung menciptakan keadilan bagi
seluruh rakyat terutama kelompok miskin kepada kelompok penguasa, Kesetaraan
gender antara perempuan dan laki laki dan bahkan kelompok adat dan kelompok
minirotas yang selalu di kucilkan.

Artikel ini dibuat selain sebagai tugas saya dalam bidang studi Pendidikan
Kewarganergaraan. Namun selain itu merupakan opini saya Tentang sudahkah
Negara Kita Ini sudah benar-benar menjadi negara hukum yang meneggakan
hukum dengan semestinya dan begitupun dengan apaturnya. Dengan
menampilkan kajian studi kasus dan juga beberapa opini yang saya sertakan dari
beberapa sumber.

Isu

KasBerbicara dengan kasus hukum pasti akan terlintas dengan pemikiran


kita tentang siapa apartur hukum yang menjatuhkan dan menyelidiki kasus itu.
Upaya Peneggakan hukum pasti tidak lepas dengan siapa yang menjadi aktor di
dalamnya. Sejauh ini dapat dilihat di sekeliling kita. Bahwa kasus hukum di
Indonesia terus-menerus dilakukan tapi tidak memberikan keadilan yang
sesungguhnya. Kenapa hal ini terjadi? Ada beberapa alasan yang menyebabkan
hal ini terjadi. Yang pertama intergrasi penegakan hukum yang kurang,
ketidakmandirian hukum tersebut, kondisi masyarakat yang rapuh dan bahkan
pertumbuhan hukum yang mandek. Tapi dari pemikiran diatas ada hal yang paling
konkret dari tidak keberhasilannya peneggakan hukum di Indonesia. Aparat
negara yang korup, budaya masyarakat yang buruk, dan bahkan kelemehan
lembaga hukum kita.

Kasus I:

Salah satu kasus penegakan hukum di Jawa Timur yang mengusik rasa
keadilan masyarakat adalah kasus hukum nenek Asyani (63). Nenek Asyani tak
pernah menyangka bakal berurusan dengan hukum dan mengalami pengapnya
terali besi tahanan. Ini lantaran nenek Asyani didakwa mencuri tujuh batang
pohon jati yang diklaim milik perhutani di lingkungan rumahnya di desa
Jatibanteng Situbondo, Jawa Timur. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri
Situbondo, nenek Asyani didakwa didakwa dengan pasal 12 huruf c dan d jo pasal
83 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), dengan ancaman hukuman paling singkat
1 tahun dan maksimal 5 tahun. Nenek Asyani merasa tidak mencuri kayu milik
perhutani, kayu yang ia tebang adalah kayu miliknya yang sudah puluhan tahun
ada di sekitar rumahnya.
Dalam pengakuannya, ketika di proses di kepolisian setempat, nenek
Asyani sudah meminta maaf kepada pihak Perhutani dan kepolisian yang
memeriksanya, namun niat baik Asyani tidak digubris dan proses hukum terus
berlanjut sampai ke meja pengadilan. Di PN Situbondo, nenek Asyani kembali
meminta “belas kasihan” dengan menyembah majelis hakim agar dirinya tidak
dihukum, tidak dipenjara, dan ingin pulang. Dan akhirnya majelis hakim
Pengadilan Negeri (PN) Situbondo menjatuhkan vonis hukuman 1 tahun dengan
masa percobaan 15 bulan dan pidana denda sebesar Rp 500 juta kepada nenek
Asyanni. nenek Asyanni tidak ditahan, namun jika dalam waktu 15 bulan nenek
Asyani melakukan tindak pidana yang sama, maka nenek Asynai harus menjalani
hukuman.
Sebagian besar masyarakat menilai perlakuan hukum atas dari Asyani
terlalu berlebihan dan mengusuik rasa keadilan masyarakat. Apalagi Asyani
hanyalah orang miskin, buta hukum yang tidak tahu apa-apa. Pekerjaannyapun
sebagai tukang pijet dan petani serabutan. Media pun ramai memberitakan
kasusnya. Akibat mendekam di penjara kondisi fisik dan psikologis terpidana
langsung drop. Kasus nenek Asyani ini berbanding terballik dengan kasus para
kaum elite di negeri ini; para pengemplang dana bail out Century, kasus
perusakan dan pembakaran hutan Sumatera selatan, mereka bisa lolos dari jeratan
hukum. 1 Kasus nenek Asyani semakin menagaskan dan menambah daftar panjang
bagaimana hukum negara yang berparadigma legalistik-positivistik memakan
korbannya, yakni warga miskin. Penegakan hukum masih laiknya pedang; tajam
ke bawah (kaum alit), tumpul ke atas (kaum elite) 2.

Kasus II :

Najwa Shihab kembali melanjutkan sidak dengan mengunjungi kamar sel


Mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov). Setnov divonis hukuman penjara
selama 15 tahun.
Setnov mengatakan sejak awal datang ke Lapas Sukamiskin, dirinya
langsung menggunakan kamar ini. Terkait penangkapan Kalapas Sukamiskin
karena jual beli fasilitas mewah, Setnov mengaku kaget mendengarnya.
Mata Najwa mendapat informasi dari orang dalam Sukamiskin, bahwa sel
Setya Novanto yang dikunjungi saat sidak bukan sel asli yang selama ini
ditempati. Najwa mengonfirmasi kejanggalan-kejanggalan itu ke Menteri Hukum
dan HAM, Yasonna Laoly.

1
Bandingkan dengan kebakaran hutan. Dalam persidangan gugatan perdata Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT. Bumi Mekar Hijau di Pengadilan Negeri
Palembang, menyatakan dan memutuskan menolak gugatan Kementerian LHK terhadap PT Bumi
Mekar Hijau. Dalam putusannya, majelis hakim menganggap gugatan kasus kebakaran hutan dan
lahan oleh PT Bumi Mekar Hijau di Ogan Komering Hilir, tidak dapat dibuktikan. Padahal,
Kemeterian LHK telah menunjukkan bukti dan fakta di lapangan yang cukup kuat. Dan yang lebih
menyedihkan, Parlas Nababan selaku ketua majelis hakim, mengeluarkan pernyataan yang
membuat banyak pihak berang. Menurut Parlas Nababan, membakar hutan tidak merusak
lingkungan hidup karena masih bisa ditanami lagi.
2
Kondisi ini mengingatkan kita pada Ungkapan hukum dari Anarcharsis, Filsuf Yunani pada abad 7
SM yang menyebut: “Hukum itu adalah jaring labalaba, ia hanya mampu untuk menjaring orang-
orang miskin, tetapi tidak mampu menjaring orangorang kaya. Bahkan oleh orangorang kaya,
jaring labalaba itu akan dirobekrobek olehnya”.
"Saya sudah perintahkan untuk mengecek kembali sel Setya Novanto."
kata Yasonna Laoly.

Kesimpulan

Dari Kedua kasus itu yang saya dapat dari beberapa Referensi di Media
masa. Meski dilihat dari dua kontes kasus yang berbeda. Namun, Sudah jelas
membuktikan bahwa memang peneggakan hukum Indonesia sangatlah tumpul
kepada kelompok yang miskin dan terdepan untuk penguasa negara.
Kasus Nenek Asyami yang menjadi sorotan kala itu menjadi tolak ukur
gelapnya peneggakan hukum Indonesia. Walau putusan hakim lebih ringan dari
tuntutan jaksa 1 tahun 18 bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Tapi Nenek
Asyami tetap menolaknya. Bagaimana tidak nenek Asyami yang sudah memohon
untuk tuntunan dicabut tetap tidak di gubris oleh aparatur hukum saat itu. Bahkan
Sang Nenek bersumpah di depan pengadilan bahwa dirinya hanya mengambil 5
batang kayu dan kayu tersebut diambil di Bekas perkarangan Almarhum
Suaminya,

Dari Kaca Hukum memang benar Sebuah kasus didalam pengadilan harus
tetap berlangsung namun tidak dengan tuntunannya. Tuntutan itu tergantung oleh
hakim yang berkuasai di persidangan. Padahal salah satu syarat menjadi hakim
adalah bukan hanya pintar saja dalam berbagai ilmu hukum dan penyelesaiannya.
Tapi harus memiliki hati nurani yang baik untuk menghasilkan tuntutan yang
relevan untuk seseorang yang dituduh bersalah dan untuk mereka yang merasa
dirugikan. Jika terjadi timpang tindih berati Sang Hakim tidak berhasil dalam
persidangan di dunia maupun diakhirat,

Sedangkan untuk kasus kedua yang saya berikan pada artikel ini dapat
dilihat bahwa meski para koruptor di penjara mereka dapat merasakan indahnya
dunia luar dengan teknologi yang memang diseludupkan di dalam penjara. Seperti
laptop, televisi, uang, dan juga alat komunikasi lainnya ketika Tim Najwa Shihab
melakukan penyidakan di dalam kamar lapas suka miskin dan bahkan ketika Tim
Mata Najwa sudah melakukan beberapa penyidikan ada beberapa koruptor yang
yang memasulkan kamarnya dengan perpindah ke kamar tahanan lain. Padahal
kembali lagi pada Kasus nenek Asyimah yang sudah saya jelaskan tadi. Beliau
yang tua rentan harus merasakan pahitnya didalam penjara selama 20 hari. Tanpa
alas dan juga hal- hal yang menyenangkan seperti yang dirasakan Para koruptor
tadi hingga kondisinya drop dan harus dilarikan ke rumah sakit setempat. Berbeda
dengan Para Koruptur yang dapat merasakan Manisnya kenikmatan meski
didalam penjara. Dan mungkin saja mereka tetap melakukan interaksi dengan
orang diluar penjara.

Saran

Menurut saya. Sebagai mahasiswa hukum yang baru mempelajari sedikit


dari beberapa perkara hukum. tidak benar jika menjatuhkan profesi dan kinerja
aparatur hukum yang sedang terjadi di Indonesia. Karena menurut saya. Jika kita
sudah dalam profesi tersebut bagaimanapun kita akan merasakan apa yang
menjadi masalah didalamnya. Dan harus menerima resikonya. Namun saya juga
tidak membenarkan jika kinerja aparatur hukum di Indonesia sudah sesuai yang di
cita-citakan namun sebagai calon apaatur hukum di masa akan datang dengan
adanya tugas dari makalah maupun artikel ini membuat saya untuk belajar dari
masa lalu yang akan saya gunakan amanahnya di masa akan datang untuk
menghindari spekulasi yang tidak benar tentang hukum dan menjadikan hukum
yang lebih baik dimasa yang akan datang.

Dan untuk pemerintah dan apatur hukum saat ini. Menjadi sorotan dan
menjadi orang yang disalahkan jika terjadi kasus tertentu bukanlah hal yang
mudah bagi mereka yang tidak bermodal mental lemah. Apalagi bagi mereka yang
bertugas di tengah Era Reformasi dengan media yang terus berkembang pesat, dan
informasi yang juga simpang siur kebenarannya. Sehingga menjadi seorang
aparatur hukum tidaklah mudah ketika harus memilih dari kedua pilihan dan juga
berada ditekanan masyarakat yang menuntut dengan harus sesuai dengan HAM
padahal di kaca hukum bisa saja dari si terdakwa dinyatakan bersalah. Namun
kembali lagi setiap profesi di dunia ini memiliki resiko dan itu wajib dirasakan
bagi kita semua. Saran saya hanyalah satu. Tidak ada suatu kaum tidak berubah
kecuali dari diri kaum tersebut. Tetaplah menjadi aparatur yang adil meski
ditengah cercaan masyarakat karena hukum alam pasti berlaku bagi mereka yang
salah dan benar.

Sekian dari artikel saya. Jika ada salah kata mohon dimaafkan.

Anda mungkin juga menyukai