Abstrak
Pendahuluan
Artikel ini dibuat selain sebagai tugas saya dalam bidang studi Pendidikan
Kewarganergaraan. Namun selain itu merupakan opini saya Tentang sudahkah
Negara Kita Ini sudah benar-benar menjadi negara hukum yang meneggakan
hukum dengan semestinya dan begitupun dengan apaturnya. Dengan
menampilkan kajian studi kasus dan juga beberapa opini yang saya sertakan dari
beberapa sumber.
Isu
Kasus I:
Salah satu kasus penegakan hukum di Jawa Timur yang mengusik rasa
keadilan masyarakat adalah kasus hukum nenek Asyani (63). Nenek Asyani tak
pernah menyangka bakal berurusan dengan hukum dan mengalami pengapnya
terali besi tahanan. Ini lantaran nenek Asyani didakwa mencuri tujuh batang
pohon jati yang diklaim milik perhutani di lingkungan rumahnya di desa
Jatibanteng Situbondo, Jawa Timur. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri
Situbondo, nenek Asyani didakwa didakwa dengan pasal 12 huruf c dan d jo pasal
83 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), dengan ancaman hukuman paling singkat
1 tahun dan maksimal 5 tahun. Nenek Asyani merasa tidak mencuri kayu milik
perhutani, kayu yang ia tebang adalah kayu miliknya yang sudah puluhan tahun
ada di sekitar rumahnya.
Dalam pengakuannya, ketika di proses di kepolisian setempat, nenek
Asyani sudah meminta maaf kepada pihak Perhutani dan kepolisian yang
memeriksanya, namun niat baik Asyani tidak digubris dan proses hukum terus
berlanjut sampai ke meja pengadilan. Di PN Situbondo, nenek Asyani kembali
meminta “belas kasihan” dengan menyembah majelis hakim agar dirinya tidak
dihukum, tidak dipenjara, dan ingin pulang. Dan akhirnya majelis hakim
Pengadilan Negeri (PN) Situbondo menjatuhkan vonis hukuman 1 tahun dengan
masa percobaan 15 bulan dan pidana denda sebesar Rp 500 juta kepada nenek
Asyanni. nenek Asyanni tidak ditahan, namun jika dalam waktu 15 bulan nenek
Asyani melakukan tindak pidana yang sama, maka nenek Asynai harus menjalani
hukuman.
Sebagian besar masyarakat menilai perlakuan hukum atas dari Asyani
terlalu berlebihan dan mengusuik rasa keadilan masyarakat. Apalagi Asyani
hanyalah orang miskin, buta hukum yang tidak tahu apa-apa. Pekerjaannyapun
sebagai tukang pijet dan petani serabutan. Media pun ramai memberitakan
kasusnya. Akibat mendekam di penjara kondisi fisik dan psikologis terpidana
langsung drop. Kasus nenek Asyani ini berbanding terballik dengan kasus para
kaum elite di negeri ini; para pengemplang dana bail out Century, kasus
perusakan dan pembakaran hutan Sumatera selatan, mereka bisa lolos dari jeratan
hukum. 1 Kasus nenek Asyani semakin menagaskan dan menambah daftar panjang
bagaimana hukum negara yang berparadigma legalistik-positivistik memakan
korbannya, yakni warga miskin. Penegakan hukum masih laiknya pedang; tajam
ke bawah (kaum alit), tumpul ke atas (kaum elite) 2.
Kasus II :
1
Bandingkan dengan kebakaran hutan. Dalam persidangan gugatan perdata Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PT. Bumi Mekar Hijau di Pengadilan Negeri
Palembang, menyatakan dan memutuskan menolak gugatan Kementerian LHK terhadap PT Bumi
Mekar Hijau. Dalam putusannya, majelis hakim menganggap gugatan kasus kebakaran hutan dan
lahan oleh PT Bumi Mekar Hijau di Ogan Komering Hilir, tidak dapat dibuktikan. Padahal,
Kemeterian LHK telah menunjukkan bukti dan fakta di lapangan yang cukup kuat. Dan yang lebih
menyedihkan, Parlas Nababan selaku ketua majelis hakim, mengeluarkan pernyataan yang
membuat banyak pihak berang. Menurut Parlas Nababan, membakar hutan tidak merusak
lingkungan hidup karena masih bisa ditanami lagi.
2
Kondisi ini mengingatkan kita pada Ungkapan hukum dari Anarcharsis, Filsuf Yunani pada abad 7
SM yang menyebut: “Hukum itu adalah jaring labalaba, ia hanya mampu untuk menjaring orang-
orang miskin, tetapi tidak mampu menjaring orangorang kaya. Bahkan oleh orangorang kaya,
jaring labalaba itu akan dirobekrobek olehnya”.
"Saya sudah perintahkan untuk mengecek kembali sel Setya Novanto."
kata Yasonna Laoly.
Kesimpulan
Dari Kedua kasus itu yang saya dapat dari beberapa Referensi di Media
masa. Meski dilihat dari dua kontes kasus yang berbeda. Namun, Sudah jelas
membuktikan bahwa memang peneggakan hukum Indonesia sangatlah tumpul
kepada kelompok yang miskin dan terdepan untuk penguasa negara.
Kasus Nenek Asyami yang menjadi sorotan kala itu menjadi tolak ukur
gelapnya peneggakan hukum Indonesia. Walau putusan hakim lebih ringan dari
tuntutan jaksa 1 tahun 18 bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Tapi Nenek
Asyami tetap menolaknya. Bagaimana tidak nenek Asyami yang sudah memohon
untuk tuntunan dicabut tetap tidak di gubris oleh aparatur hukum saat itu. Bahkan
Sang Nenek bersumpah di depan pengadilan bahwa dirinya hanya mengambil 5
batang kayu dan kayu tersebut diambil di Bekas perkarangan Almarhum
Suaminya,
Dari Kaca Hukum memang benar Sebuah kasus didalam pengadilan harus
tetap berlangsung namun tidak dengan tuntunannya. Tuntutan itu tergantung oleh
hakim yang berkuasai di persidangan. Padahal salah satu syarat menjadi hakim
adalah bukan hanya pintar saja dalam berbagai ilmu hukum dan penyelesaiannya.
Tapi harus memiliki hati nurani yang baik untuk menghasilkan tuntutan yang
relevan untuk seseorang yang dituduh bersalah dan untuk mereka yang merasa
dirugikan. Jika terjadi timpang tindih berati Sang Hakim tidak berhasil dalam
persidangan di dunia maupun diakhirat,
Sedangkan untuk kasus kedua yang saya berikan pada artikel ini dapat
dilihat bahwa meski para koruptor di penjara mereka dapat merasakan indahnya
dunia luar dengan teknologi yang memang diseludupkan di dalam penjara. Seperti
laptop, televisi, uang, dan juga alat komunikasi lainnya ketika Tim Najwa Shihab
melakukan penyidakan di dalam kamar lapas suka miskin dan bahkan ketika Tim
Mata Najwa sudah melakukan beberapa penyidikan ada beberapa koruptor yang
yang memasulkan kamarnya dengan perpindah ke kamar tahanan lain. Padahal
kembali lagi pada Kasus nenek Asyimah yang sudah saya jelaskan tadi. Beliau
yang tua rentan harus merasakan pahitnya didalam penjara selama 20 hari. Tanpa
alas dan juga hal- hal yang menyenangkan seperti yang dirasakan Para koruptor
tadi hingga kondisinya drop dan harus dilarikan ke rumah sakit setempat. Berbeda
dengan Para Koruptur yang dapat merasakan Manisnya kenikmatan meski
didalam penjara. Dan mungkin saja mereka tetap melakukan interaksi dengan
orang diluar penjara.
Saran
Dan untuk pemerintah dan apatur hukum saat ini. Menjadi sorotan dan
menjadi orang yang disalahkan jika terjadi kasus tertentu bukanlah hal yang
mudah bagi mereka yang tidak bermodal mental lemah. Apalagi bagi mereka yang
bertugas di tengah Era Reformasi dengan media yang terus berkembang pesat, dan
informasi yang juga simpang siur kebenarannya. Sehingga menjadi seorang
aparatur hukum tidaklah mudah ketika harus memilih dari kedua pilihan dan juga
berada ditekanan masyarakat yang menuntut dengan harus sesuai dengan HAM
padahal di kaca hukum bisa saja dari si terdakwa dinyatakan bersalah. Namun
kembali lagi setiap profesi di dunia ini memiliki resiko dan itu wajib dirasakan
bagi kita semua. Saran saya hanyalah satu. Tidak ada suatu kaum tidak berubah
kecuali dari diri kaum tersebut. Tetaplah menjadi aparatur yang adil meski
ditengah cercaan masyarakat karena hukum alam pasti berlaku bagi mereka yang
salah dan benar.
Sekian dari artikel saya. Jika ada salah kata mohon dimaafkan.