Anda di halaman 1dari 2

terapi

sedangkan pasien dg infeksi yg sedang dirawat di ICU adalah pasien yg sakit sangat kritis dg derajat
keparahan infeksi berat-mematikan sehingga sebaiknya pasien diterapi dg antibiotik berspektrum
antibakteri yg paling luas yg kemudian diturunkan spektrumnya secara bertahap jika respon klinis
antibiotik sudah adekuat. hal ini disebabkan karena bakteri di ICU cenderung sudah banyak yg
mengalami resistensi sehingga terapi dg antibiotik berspektrum rendah di ICU cenderung tidak akan
menyelamatkan nyawa pasien dan malah membahayakan nyawa pasien. respon klinis antibiotik di ICU
dipantau dalam 2 hari, berbeda dg di bangsal yg 3 hari karena terapi infeksi di ICU memang
membutuhkan perhatian jauh lebih di bandingkan di bangsal. jika dalam 2 hari antibiotik tdk
memberikan respon yg baik untuk infeksi pasien, maka antibiotik harus diganti dg antibiotik dg spektrum
luas lainnya dan jika dalam 2 hari antibiotik sudah memberikan respon yg baik untuk pasien, maka
antibiotik harus diganti dg antibiotik dg spektrum yg lebih sempit.

MANA YANG LEBIH AMAN? OBAT YANG TERIKAT KUAT DENGAN PROTEIN
PLASMA (~90-100%) ATAU YANG TERIKAT LEMAH DENGAN PROTEIN PLASMA
(~10-30%)??

untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita ilustrikan dalam sebuah kasus. pasien A dan pasien B
adalah dua pasien stroke kardioembolik yg dirawat inap di suatu RS.

pasien A ditangani oleh dokter A


pasien B ditangani oleh dokter B.
untuk mencegah keberulangan stroke pada pasien, dokter A mengorderkan antikoagulan A untuk
pasien A
untuk mencegah keberulangan stroke pada pasien, dokter B mengorderkan antikoagulan B untuk
pasien B
berdasarkan literatur diketahui bahwa obat A terikat kuat dengan protein plasma sebesar 90%
berdasarkan literatur diketahui bahwa obat B terikat lemah dengan protein plasma sebesar 30%
ternyata pasien A juga mendapat obat AA sebagai antikejangnya
ternyata pasien B juga mendapat obat BB sebagai antikejangnya
berdasarkan literatur diketahui bahwa ternyata obat AA dapat melepas ikatan obat A dengan
protein plasma sebesar 20% (90% --> 70%)
berdasarkan literatur diketahui bahwa ternyata obat BB dapat melepas ikatan obat B dengan
protein plasma sebesar 20% (30% --> 10%)

memang, berdasarkan ilustrasi tersebut obat A dan B mengalami penurunan pengikatan protein
plasma yg sama besarnya. Namun jika dicermati lebih lanjut lagi, ternyata kedua penurunan
pengikatan protein plasma yg sebanyak 20% ini akan memberikan dampak yg sangat berbeda
karena ternyata:
jika pada awalnya obat A terikat protein plasma sebesar 90%, maka pada awalnya jumlah obat A
yg tidak terikat plasma adalah sebesar 10%
jika pada awalnya obat B terikat protein plasma sebesar 30%, maka pada awalnya jumlah obat A
yg tidak terikat plasma adalah sebesar 70%
jika pada obat A terjadi penurunan pengikatan protein plasma sebesar 20% (dari 90% --> 70%),
maka jumlah obat A yg tidak terikat plasma akan naik sebesar 3x (dari 10% menjadi 30%)
jika pada obat B terjadi penurunan pengikatan protein plasma sebesar 20% (dari 30% --> 10%),
maka jumlah obat B yg tidak terikat plasma akan naik sebesar ~1,29x (dari 70% menjadi 90%)

melihat kenyataan ini yg mana yg lebih aman? obat yg terikat kuat dg protein plasma (~90-
100%) atau yg terikat lemah dg protein plasma (~10-30%)? jawabannya adalah obat B, obat yg
terikat lemah dengan protein plasma (~10-30%) karena dengan penurunan pengikatan protein
plasma yg sama-sama sebesar 20%, obat B hanya mengalami kenaikan kadar plasma sebesar
1,29x; sedangkan obat A sampai sebesar 3x

sefalosporin generasi I memiliki spektrum antibakteri yg sangat berbeda dg generasi III. sefalosporin
generasi I aktif terhadap sebagian besar bakteri kokus gram positif dan sebagian basil gram negatif,
sedangkan generasi III aktif terhadap basil gram negatif secara luas dan beberapa bakteri anaerob. oleh
karena perbedaan spektrum antibiotik ini, maka sefalosporin generasi I pun memiliki indikasi klinis yg
sangat berbeda dg generasi III. pada kasus di rumah sakit, sefalosporin generasi I diindikasikan untuk
profilaksis bedah dan infeksi sistemik yg bermanifestasi pada kulit dan jaringan lunak seperti selulitis
karena memang secara empiris kedua kondisi klinis tersebut umumnya disebabkan oleh bakteri kokus
gram positif, sedangkan generasi III diindikasikan untuk infeksi sistemik yg secara empiris cenderung
disebabkan oleh bakteri basil gram negatif seperti pneumonia, sepsis, dan meningitis.

kemudian, dalam pemilihan antibiotik terdapat suatu sistem yg dinamakan eskalasi dan de-eskalasi.
sistem eskalasi adalah sistem pemilihan antibiotik di mana antibiotik ditingkatkan kelas spektrumnya
secara bertahap jika respon klinis antibiotik tidak adekuat, sedangkan sistem de-eskalasi adalah sistem
di mana antibiotik dimulai dari spektrum yg paling tinggi kemudian diturunkan secara bertahap jika
respon antibiotik sudah adekuat. kedua sistem ini sangat dipengaruhi oleh tempat di mana pasien
sedang dirawat, apakah di bangsal atau di ICU. pasien dg infeksi yg dirawat di bangsal sebaiknya diterapi
dg sistem eskalasi, sedangkan pasien dg infeksi yg sedang dirawat di ICU sebaiknya diterapi dg sistem
de-eskalasi.

hal ini disebabkan karena pd pasien dg infeksi yg sedang dirawat di bangsal adalah pasien dg derajat
keparahan infeksi ringan-sedang (kecuali pasien dirawat di bangsal karena tdk ada lagi bed kosong yg
tersedia di ICU) sehingga sebaiknya pasien diterapi dg antibiotik berspektrum tersempit yg ditingkatkan
spektrumnya secara bertahap jika respon klinis antibiotik tidak adekuat karena terapi langsung dg
antibiotik berspektrum tertinggi di bangsal justru akan mengubah pola resistensi yg sudah terjadi di sana
sehingga jika hal ini dibiarkan dalam waktu yg lama, maka antibiotik dg spektrum yg sempit akan
mengalami resistensi di bangsal tersebut. respon klinis antibiotik di bangsal dipantau dalam 3 hari. jika
dalam 3 hari antibiotik tdk memberikan respon yg baik untuk infeksi pasien, maka antibiotik harus
diganti dg antibiotik dg spektrum yg lebih luas.

Anda mungkin juga menyukai