Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ULMUL QUR`AN

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUKUAN HADIS DARI


ABAD II SAMPAI SEKARANG

Disusun Oleh Kelompok 15:

Nama : Hecky wahyudi


Nim : 190702086
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari
masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke
generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa lahirnya di masa
Rasulullah SAW meneliti dan membin hadits, serta segala hal yang memengaruhi hadits tersebut.

Di samping sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW adalah panutan dan tokoh masyarakat.
Beliau sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara
konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan Rasulullah SAW
memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media. Hadis Rasulullah SAW
yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan dicatat. Dengan demikian, ada beberapa
periode dalam sejarah perkembangan hadis.. dari Periode Rasulullah SAW sampai periode sekarang.

Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini, kami akan menyajikan bahan seminar kelas yang
berjudul “Sejarah Perkembangan Hadis; masa prakodifikasi hadis (Masa Rasulullah SAW, Khulafa‟
Rasyidin, Tabi‟in), masa kodifikasi hingga sekarang”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan hadis pra kodifikasi?


2. Bagaimana sejarah penulisan dan kodifikasi hadis?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi kodifikasi hadits?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mendeskripsikan sejarah perkembangan hadis pra kodifikasi.

2. Untuk mendeskripsikan sejarah penulisan dan kodifikasi hadis.

3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kodifikasi hadis.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW


Hadis pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa turun wahyu
dan pembentukan masyarakat Islam. 2 Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian
para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah SWT
kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang
didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan
ubudiah mereka.
1. Kebjaksanaan Rasulullah SAW tentang Hadits.
Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap dan kebijaksanaan beliau tentang hadits ialah
sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal, menyampaikan dan
menyebarkan hadits-hadits. Dalil yang menunjukkan perintah ini yaitu.
“ Dan ceritakanlah daripadaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang
kamu dengar daripadaku. Barangsiapa berdusta pada diriku, hendaklah dia bersedia
menempati kediamannya dineraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam
kegiatan menghafal hadits. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab
yang telah diwarisinya sejak pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah
SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya. Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan
akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain.
b. Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits-haditsnya. Dalil yang
menunjukkan perintah ini yaitu.
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, terkecuali al-Qur‟an. Dan
barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur‟an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR.
Ahmad dan Muslim).
2. Cara Rasulullah SAW Menyampaikan Hadits.
Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadits dari Rasulullah SAW
sebagai sumber hadits. Tempat pertemuan antara Rasulullah SAW dan sahabatnya, seperti di Masjid,
rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan, dan ketika muqim (berada di rumah). Melalui
tempat tersebut Rasulullah SAW menyampaikan hadits yang disampaikan melalui sabdanya yang
didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan melalui perbuatan serta taqrirnya yang
disaksikan oleh para sahabat (melalui musyahadah).

Ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu:

a. Melalui majlis al-‟ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi Muhammad
SAW untuk membina para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang
untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri guna
mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW.
b. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat
tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika yang berkaitan dengan soal
keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikan
melalui istri-istrinya.
c. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada‟ dan Fath Makkah.5
Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi Muhammad SAW menyampaikan
khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah
haji, yang isinya terkait dengan bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan hak asasi
manusia yang meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan,
dan solidaritas isi khatbah itu antara lain larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan
larangan mengambil harta orang lain dengan batil, larangan riba, menganiaya, persaudaraan dan
persamaan diantara manusia harus ditegakkan, dan umat Islam harus selalu berpegang teguh
kepada Al-Qur‟an dan Hadits.6
3. Perbedaaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits
Diantara para sahabat tidak sama perolehan dan penguasaan hadits. Hal ini tergantung kepada
beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW. Kedua,
perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka
karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits dari
Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, antara lain:

a. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula masuk Islam),
seperti Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Mas‟ud.
b. Ummahat Al-Mukminin (Istri-Istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah.
Hadits-hadits yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal keluarga dan pergaulan
suami istri.
c. Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasulullah SAW juga menuliskan hadits-hadits
yang diterimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-„Ash.
d. Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah SAW, akan tetapi banyak bertanya
kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
e. Para sahabat yang secara sungguh-sungguh yang mengikuti majlis Rasulullah SAW, banyak
bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari wafatnya
Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik dan Abdullah Ibn Abbas.

Sementara itu, menurut Muhamad Musthafa „Azami, bahwa para sahabat menerima hadits dari
Rasulullah SAW melalui tiga macam cara, yaitu:

1. Melalui metode hafalan. Secara historis masyarakat Arab secara umum adalah masyarakat yang
kuat daya hafalannya sehingga terlepas apakah mereka pandai mengenal baca tulis (ummi) atau
tidak, akan membantu dalam menerima dan memahami hadis dari Rasulullah SAW. Di sisi lain,
beliau juga sering mengulangulang apa yang telah diucapkannya.
2. Metode tulisan. Di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW yang setelah menerima hadis dari
beliau, mereka langsung menuliskannya. Metode ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang
tertentu yang memiliki kemahiran dalam menulis saja.
3. Metode praktik. Para sahabat mempraktikkan secara langsung hadis-hadis yang diterima dari
Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehai-hari, dan jika terjadi perbedaan, maka mereka
dapat langsung mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah SAW.

4. Penulisan Hadis Masa Rasulullah SAW dan Khulfa’ Rasyidin


Sa‟ad bin Ubaidah al-Anshar pernah memiliki himpunan hadis Rasulullah SAW. Ibnu Hajar
memastikan bahwa beliau adalah salah seorang penulis jaman jahiliyah. Putranya meriwayatkan
hadis dari catatannya tersebut. Al-Bukhari mengatakan bahwa catatan itu merupakan salinan dari
catatan Abdullah bin Abi Aufa yang menulis sendiri hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, pada masa Rasulullah SAW, tulisan Abdullah bin „Amr bin al-„Ash termasuk sebagai
ash-Shahifah ash-Shadiqah. Abdullah bin „Amr mencatat dari sumbernya, yakni Rasulullah sendiri.
Yang terhimpun seribu hadis Rasulullah SAW. Shahifah dalam tulisan tangan beliau tidak ditemui
sekarang, namun isinya terhimpun di dalam kitab-kitab Hadis terutama di dalam Musnad Ahmad.
Sebagian Sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Abdullah
bin „Amr. Mereka beralasan,
Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku.
Dan barangsiapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an, hendaklah ia
menghapuskannya.” (HR. Muslim).

Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi
Muhammad SAW, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan
ssuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka, Abdullah bertanya kepada
Rasulullah SAW. Mengenai hal tersebut Rasulullah SAW kemudian bersabda
‫ ا‬Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak
keluar dari muutku, selain kebenaran.

B. Hadits Pada Masa Khulafa’ Rasyidin


Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa Khulafa‟ Rasyidin (Abu Bakar,
Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H
s/d 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Qur‟an, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang dan kelihatannya
berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang
menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.

Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap
kehati-hatiannya menggunakan dua jalan dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad
SAW, yaitu:
5. Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang
diwurudkan Rasulullah SAW, dan hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang
disabdakan Rasulullah SAW.
6. Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang
didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga.

secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun.

Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan
hadits. Tradisi tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan
hadits, diantaranya:

a. Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan hal penting,
sebagai wujud kewajiban taat kepadanya.
b. Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat
itu sendiri.
c. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam
periwayatan hadits.
d. Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayatan hadits.
e. Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.
f. Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis tanpa pengecekan
terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka
memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin berdusta.
C. Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada era tabi‟in, keadaan sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat. Namun pada masa
ini, Al-Qur‟an telah dikodifikasi dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, maka tabi‟in dapat
memfokuskan diri dan mempelajari sunnah dari para sahabat. Kemudahan lain, yang diperoleh
tabi‟in karena sahabat Nabi Muhammad SAW telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam.
Sehingga, mereka mudah mendapatkan informasi tentang sunnah.
1. Pusat-pusat Pembinaan Hadits
Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam periwayatan hadits, sebagai
tempat tujuan para tabi‟in dalam mencari hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah Al
Munawwarah, Makkah Al-Mukarramah, Kuffah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalusia,
Yaman dan Khurasan. Ada beberapa orang yang meriwayatkan hadis pada kotakota tersebut,
antara lain Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik, Aisyah, Abdullah Ibn Abbas,
Jabir Ibn Adillah dan Abi Sa‟id Al-Khudri.
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena disinilah Rasulullah SAW menetap
setelah hijrah dan Rasulullah SAW juga membina masyarakat Islam yang didalamnya terdiri atas
Muhajirin dan Anshar. Para sahabat yang menetap disini, diantaranya Khulafa‟ Rasyidin, Abu
Hurairah, Sii Aisyah, Abdullah Ibn Umar dan Abu Sa‟id Al-Khudri, dengan menghasilkan para
pembesar Zuhri, Ubaidillah Ibn „Utbah Ibn Mas‟ud dan Salim Ibn Abdillah Ibn Umar. tabi‟in,
seperti Sa‟id Ibn Al-Musyayyab, „Urwah Ibn Zubair, Ibn Syihab Al-Zuhri. Di antara ulama
hadits yang menghimpun hadits pada masa ini adalah: Ibnu Juraij (w. 150 H di Makkah), Al-
Awza‟I di Syiria (w. 159 H), Sufyan at-Tsawri di Kufah (w. 161 H), Imam Malik al-Muwaththa‟
di Madinah (w. 174 H), dan lain-lain.
2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits
Pergolakan ini sebenarnya terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal
dan perang Siffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali Ibn Abi Thalib. Akan tetapi
akibatnya cukup panjang dan berlarut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa
kelompok (Khawarij, Syi‟ah, Mu‟awiyah, dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam
ketiga kelompok tersebut).
Demikian, dari pergolakan politik tersebut memberikan pengaruh negatif, yakni dengan
munculnya hadis-hadis palsu (mawdhu‟) untuk mendukung kepentingan politiknya
masingmasing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Sedangkan pengaruh
positifnya ialah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin
hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari
pergolakan politik tersebut.
3. Perkembangan Pembukuan Hadis
Perkembangan pembukuan hadis pada masa ini ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:

a. Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah
atau topiknya, tidak per bab seperti fiqh dan kualitas hadisnya ada yang shahih, hasan, dan dha‟if.
b. Al-Jami‟, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengakumulasi sembilan masalah, yakni aqa‟id,
hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifatsifat akhlak
(syama‟il), fitnah dan sejarah (manaqib).
c. Sunan, yaitu teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fiqh, setiap bab memuat beberapa
hadis dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa‟i, Sunan Ibnu Madjah, dan Sunan Abu Dawud. Di
dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dha‟if, tetapi tidak terlalu dha‟if seperti hadis
Munkar.

D. Masa Kodifikasi Hadis

1. Definisi Kodifikasi Hadis

Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti codification,
yaitu mengumpulkan dan menyusun. Secara istilah, kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan
hadis Nabi Muhammad SAW secara resmi berdasar perintah khalifah dengan melibatkan
beberapa personel yang ahli dalam masalah ini, bukan yang dilakukan secara perseorangan atau
untuk kepentingan pribadi. Dengan kata lain, kodifikasi hadis (tadwin hadis) adalah
penghimpunan, penulisan, dan pembukuan hadis Nabi atas perintah resmi dari penguasa negara
(khalifah), bukan dilakukan atas inisiatif sendiri. Tujuannya untuk menjaga hadis Nabi
Muhammad SAW dari kepunahan dan kehilangan baik karena banyaknya periwayat penghafal
hadis yang meninggal maupun karena adanya hadis palsu yang dapat mengacaubalaukan
keberadaan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Jadi, kodifikasi hadis disini adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan hadis Nabi
Muhammad SAW yang dilakukan berdasar perintah resmi khalifah „Umar Ibn „Abd al-Aziz,
khalifah kedelapan Bani Umayyah yang kemudian kebijakannya itu ditindaklanjuti oleh para
ulama di berbagai daerah hingga pada masa berikutnya hadis terbukukan dalam kitab hadis.

2. Sejarah dan Perkembangan Kodifikasi Hadis

A. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriyah

1) Tokoh-tokoh hadis abad ke-2 hijriyah

Di antara tokoh-tokoh hadis yang masyhur dalam abad ke-2 Hijriyah ialah Malik, Yahya Ibn Said
al-Qaththan, Waki‟ Ibn al-Jarrah, Sufyan ats-Tsaury, Ibnu Uyainah, Syu‟bah Ibn Hajjaj, Abd ar-Rahman
Ibn Mahdy, Al-Auza‟y, Al-Laits, Abu Hanifah, Asy-Syafi‟y.

2) Kitab-kitab hadis yang terkenal dalam abad ke-2 hijriyah

Adapun kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan terkenal di kalangan ahli hadis, ialah:

a. Al-Muwaththa‟, susunan Imam Malik (95-179 H).


b. Al-Maghazi wa as-Siyar, susunan Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c. Al-Jami‟, susunan Abd ar-Razzaq ash-Shan‟any (211 H).
d. Al-Mushannaf, susunan Syu‟bah Ibn Hajjaj (160 H).
e. Al-Mushannaf, susunan Sufyan Ibn Uyainah (198 H).
f. f) Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Sa‟ad (175 H).
g. g) Al-Mushannaf, susunan Al-Auza‟y (150 H).
h. Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H). i) Al-Maghazi an-Nabawiyah,
susunan Muhammad Ibn Waqid al-Aslamy (130-207 H).
i. Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H).
j. Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali l) Al-Musnad, susunan Imam Asy-Syafi‟y (204
H).
k. Mukhtalif al-Hadis, susunan Imam As-Syafi‟y.

3) Kedudukan dan keadaan kitab-kitab hadis abad ke-2 hijriyah

Di antara kitab-kitab abad ke-2 yang mendapat perhatian ulama secara umum adalah Al-
Muwaththa‟ (susunan Imam Malik), Al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis (susunan Imam Asy-Syafi‟y)
serta As-Sirah an-Nabawiyah atau Al-Maghazi wa asSiyar (susunan Ibnu Ishaq),

Al-Muwaththa‟ paling terkenal dan mendapat sambutan yang sangat besar dari ulama dan para
ahli karena banyak yang membuat syarah (penjelasannya) dan mukhtashar (ringkasannya). Kitab ini
mengandung 1.726 rangkaian khabar dari Nabi SAW, sahabat, dan tabi‟in. Khabar yang musnad
sejumlah 600, yang mursal sejumlah 228, yang mauquf sejumlah 613 dan yang maqthu‟ 285.

B. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriyah


Abad ketiga Hijriyah merupakan puncak usaha pembukuan hadis (Masa Keemasan). Ulama‟
hadits yang muncul pada abad ini digelari Muqaddimin, yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata
berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri dengan menemui para penghapalnya yang tersebar
di setiap pelosok dan penjuru Negara Arab, Persia, dan lain-lain.

1) Tokoh-tokoh hadis abad ke-3 hijriyah

Di antara tokoh-tokoh hadis yang lahir pada masa ini ialah Ali Ibn al-Madiny, Abu Hatim ar-Razy,
Muhammad Ibn Jarir ath-Thabary, Muhammad Ibn Sa‟ad, Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, Al-Bukhary,
Muslim, An-Nasa‟y, Abu Daud, Ibnu Madjah, Ibnu Qutaibah, Ad-Dainury.

2) Kitab-kitab hadis yang tersusun dalam abad ke-3 hijriyah

Kitab-kitab hadis yang tersusun dalam abad ke-3 hijriyah di antaranya:

a. Al-Musnad, susunan Musa Ibn Abdillah al-Abas


b. Al-Musnad, susunan Musaddad Ibn Musarhad.
c. Al-Musnad, susunan Abu Daud ath-Thayalisy (kitab ini dikumpulkan oleh para penghafal hadis
berdasar kepada riwayat Yunus Ibn Habib dari Ath-Thayalisy).
d. Al-Musnad, susunan Nu‟aim Ibn Hammad.
e. Al-Musnad, susunan Abu Ya‟la al-Maushily.
f. Al-Musnad, susunan Al-Humaidy.
g. Al-Musnad, susunan Ali al-Madiny.
h. Al-Musnad, susunan Abed Ibn Humaid.
i. Al-Musnad al-Mu‟allal, susunan Al-Bazzar.
j. Al-Musnad, susunan Baqy Ibn Makhlad (201-296 H). musnad ini paling luas isinya daripada
musnad-musnad yanng lain.
k. Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih (237 H).
l. Al-Musnad, susunan Ahmad Ibn Hanbal. m) Al-Musnad, susunan Muhammad Ibn Nashr al-
Marwazy. n) Al-Musnad, susunan Abu Bakar Ibn Abi Syaibah (235 H).
m. o) Al-Musnad, susunan Abu al-Qasim al-Baghawy (214 H).
n. p) Al-Musnad, susunan Utsman Ibn Abi Syaibah (293 H).
o. q) Al-Musnad, susunan Abu al-Husain Ibn Muhammad al-Masarkhasy (298 H). Dalam musnad
ini dikumpulkan seluruh hadis Az-Zuhry.
p. r) Al-Musnad, susunan Ad-Darimy. Musnad ini disusun menurut bab demi bab). Seharusnya
digolongkan ke dalam mushannaf. Dinamakan musnad karena hadis yang diriwayatkannya
secara musnad. Al-Bukhary pun menamai kitabnya dengan Al-Musnad ash-Shahih.
q. s) Al-Musnad, susunan Said Ibn Manshur.
r. t) Al-Musnad, susunan Al-Imam Ibn Jabir.

Maka dengan usaha ulama besar abad ke-3, tersusunlah kitab hadis dalam tiga macam, yaitu:

a. Kitab-kitab shahih ialah kitab-kitab yang penyusunannya tidak memasukkan ke dalamnya, selain
hadis-hadis yang shahih saja.
b. Kitab-kitab sunan ialah kitab-kitab yang penulisnya tidak dimasukkan ke dalam hadis-hadis yang
munkar dan yang sepertinya.
c. Kitab-kitab musnad ialah kitab-kitab yang penyusunannya memasukkan ke dalamnya segala rupa
hadis-hadis yang diterima, dengan tidak menyaring dan 15 tidak menerangkan erajat-derajatnya.
Oleh karena itu, derajatnya di bawah derajat kitab sunan.

Pada masa ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang bisa disebut Kutub alSittah, yaitu:

a. Al-Jami‟al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H).


b. Al-Jami‟ al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H).
c. Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-261 H).
d. Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H). e) Al-Sunan karya al-Nasa‟ie (215-302 H).
e. Al-Sunan karya Ibn Madjah (207-273 H).

C. Kodifikasi Hadits Abad IV-VII H

Masa ini adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan („ashr al-tahzib wa
al-tartib wa al-istidrak wa al-jam‟u) dan berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad
keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Khulagu
Khan tahun 656 H/1258 M. Gerakan ulama hadis pada masa ini sebenarnya tidak jauh beda dengan
gerakan ulama pada masa sebelumnya.

1) Kitab-kitab yang tersusun dalam abad IV-VII H

a. Kitab Syarah ialah kitab hadis yang memperjelas dan mengomentari hadits-hadits tertentu yang
sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya.
b. Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya dengan cara mengambil
hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad
ulama hadits tersebut.
c. Kitab Athraf ialah kitab hadis yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi sanadnya ditulis
lengkap.
d. Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syaratsyarat Bukhari dan
Muslim atau syarat salah satu dari keduanya.
e. Kitab Jami‟ ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam kitabkitab yang
telah ada.

2) Tokoh-tokoh hadits abad IV-VII H

Di antara ulama hadits yang terkenal dalam masa ini adalah Sulaiman bin Ahmad
alThabari, „Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni, Abu Awanah Ya‟kub al-
Safrayani, Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq, Abu Bakr Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi,
Majuddin al-Harrani, Al-Syaukani, Al-Munziri, Al-Shiddiqi, Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi.

A. Kodifikasi Hadis Abad ketujuh Hijriyah sampai Sekarang


Masa ini adalah masa persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan („Ahd al-syarh wa al-jamu‟
wa al-takhrij wa al-bahts). Ulama pada masa ini mulai mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak
penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi hadits menurut kualitasnya.

1) Tokoh-tokoh hadis dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang


Di antara ulama hadis yang terkenal dalam masa ini ialah Az-Zahaby (748 H), Ibnu
Sayyid an-Nas (734 H), Ibnu Daqiq al-Ied, Mughlathai (862 H), Al-Asqalany (852 H),
Ad-Dimyaty (705 H), Al-Ainy (855 H), As-Sayuthy (911 H), Az-Zarkasy (794 H), Al-
Mizzy (742 H), Al-Ala‟y (761 H), Ibnu Katsir (744 H), Az-Zaila‟y (762 H), Ibnu
Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H), Al-Bulqiny (805 H), Al-Iraqy (806 H), Al-
Haitsamy (807 H), Abu Zur‟ah (806 H).
2) Kitab-kitab hadits yang tersusun dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang

a) Kitab hadits yang disusun dalam abad ke-7 Hijriyah


- Ath-Targhib, susunan Al-Hafizh Abdul Azhim Ibn Abd al-Qawy Ibn Abdullah al-
Mundziry (656 H).
- Al-Jami‟ baina ash-Shahihain, susunan Ahmad Ibn Muhammad al-Qurthuby, yang
terkenal dengan nama Ibnu Hujjah (642 H).
- Muntaqa Al-Akhbar fi al-Ahkam, susunan Majduddin Abul Barakah Abd asSalam
Ibn Abdillah Ibn Abi al-Qasim al-Harrany (652 H)
. - Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdil Wahid al-Maqdisy (643 H) yang
mentashih hadis yang belum ditashih oleh ulama sebelumnya.
- Riyadh ash-Shalihin, oleh Imam An-Nawawy. Kitab ini telah disyarahkan oleh Ibnu
Ruslan ash-Shiddiqy dalam kitab Dalil al-Falihin.
- Al-Arbain, oleh An-Nawawy dan telah disyarahkan oleh banyak ulama, di antaranya
Ahmad Hijazy al-Faryany dalam kitab Al-Majelis ats-Tsaniyah „ala al-Arba‟in an-
Nawawiyah.

b) Kitab hadis yang disusun dalam abad ke-8 Hijriyah


- Jami‟ al-Masanid was-Sunan al-Hadis ila Aqwami Sanan, susunan Al-Hafizh Ibnu
Katsir.
- Al-„Ilmam fi Ahadis al-Ahkam, susunan Al-Imam Ibnu Daqiq al-Ied (792 H). Kitab
ini telah disyarahkan oleh penulisnya dalam kitabnya Al-Imam.

c) Kitab hadis yang disusun dalam abad ke-10 Hijriyah


- Ith-haf al-Khiyar bi Zawa‟id al-Masanid al-„Asyrah, susunan Muhammad Ibn Abu
Bakar al-Baghawy (804 H).
- Bulugh Al-Maram, susunan Al-Hafizh Al-Asqalany. Di dalamnya dikumpulkan
sejumlah 1.400 hadis.
- Majma‟ az-Zawa‟id wa Mamba‟ al-Fawa‟id, susunan Al-Hafizh Abu al-Hasan Ali
Ibn Abi Bakr Ibn Sulaiman asy-Syafi‟y al-Haitamay (1303 H). Di dalamnya
dikumpulkan Zawa‟id dari musnad-musnad Ahmad, Abu Ya‟la, Al-Bazzar dan
mu‟jam Ath-Thabrany.
3. Perkembangan Pembukuan Hadis

Perkembangan pembukuan hadis pada abad 4-6 H ialah sebagai berikut:

a. Mu‟jam, artinya penghimpunan hadits yang diperleh berdasarkan nama sahabat secara abjad
seperti Al-Mu‟jam Al-Kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani (ww. 360 H).

b. Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadis Shahihayn


(Bukhari dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits yang shahih saja menurut penulisnya seperti
Shahih Ibnu Hibban Al-Bas‟ti (w. 354 H), dan lain-lain.

c. Al-Mustadrak, artinya menambah beberapa hadis shahih yang belum disebutkan dalam kitab
Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan keduanya, seperti Al-Mustadrak „ala
Al-Shahihayn yang ditulis Abi Abdullah AlHakim An-Naisaburi (w. 405 H).

d. Sunan, metode penulisannya seperti kitab Sunan abad sebelumnya, yaitu cakupannya hadis-
hadis tentang hukum seperti fiqh dan kualitasnya meliputi shahih, hasan, dha‟if, seperti Muntaqa Ibnu Al-
Jarud (w. 307 H), Sunan AdDaruquthni (w. 385 H) dan Sunan Al-Bayhaqi (w. 458 H).

e. Syarah, yaitu penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud
dan makna matan hadis atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan hadis lain,
misalnya Syarh Ma‟ani Al-Atsar, dan Syarah Musykil Al-Atsar yang ditulis Ath-Thahawi (w. 321

H). f. Mustakhraj adalah seorang penghimpun hadis mengeluarkan beberapa buah hadis dari
sebuah hadis seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya
Mustadrakhraj Abi Bakr Al-Isma‟ili „ala Shahih Bukhari (w. 371 H).

g. Al-Jam‟u, gabungan dua atau beberapa buku hadis menjadi satu buku, Al-Jam‟u Bayn Ash-
Shahihayn yang ditulis oleh Isma‟il bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnu Al-Furat (w. 401 H) Al-Jam‟u
Bayn Ash-Shahihayn ditulis Al-Husin bin Mas‟ud Al-Baghawi (w. 516 H), At-Tajrid li Ash-Shahah wa
As-Sunan gabungan Shahihayn, Al-Muwaththa‟, dan kitab-kitab Sunan selain Ibnu Madjah, ditulisoleh
Abu Al-Hasan Razin bin Mu‟awiyah As-Sirqisthi (w. 535 H) dan Jami‟ Al-Ushul li Ahadis Ar-Rasul
yang ditulis oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H) gabungan 6 kitab hadis.

Perkembangan penulisan hadits pada abad intinya adalah menyusun kembali kitab-kitab hadis
terdahulu secara tematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat Islam untuk
mempelajarinya ialah sebagai berikut:

a. Al-Mawdhu‟at, yaitu menghimpun hadis-hadis yang mawdhu‟ saja ke dalam sebuah buku,
seperti Al-Mawdhu‟at ditulis oleh Al-Asbahani (w. 414 H), Al- Mawdhu‟at ditulis oleh Ibnu Al-Jauzi
(w. 597 H) dan Al-La‟ali Al-Mashnu‟at fi Al-Ahadits Al-Mawdhu‟at oleh Jalaludin As-Suyuthi (w. 911
H).
b. Al-Ahkam, yaitu menghimpun hadis-hadis tentang hukum saja seperti fiqh, misalnya Al-
Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H), „Umdah Al-Ahkam oleh Al-Maqdisi (w. 600
H) Dan Bulugh Al-Maram oleh Al-Asqalani (w. 852 H).

c. Al-Athraf, artinya teknik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan hadisnya saja,
misalnya Athraf Al-Kutub As-Sittah ditulis oleh Al-Maqdish dikenal Ibnu Al-Qisrani (w. 507 H).

d. Takhrij, yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam buku hadis
atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya. Missal,
Irwa‟ Al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Mannar AsSabil, oleh Nashiruddin Al-Albani.

e. Zawa‟id, yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti Musnad dan Mu‟jam ke
beberapa buku induk hadis. Missal, Majma‟ Az-Zawa‟id wa Manba‟ AlFawa‟id ditulis oleh Al-Haitami
(w. 807 H). Zawa‟id diartikan mengumpulkan hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang
sebelumnya ke dalam sebuah kitab seperti Zawa‟id Ibnu Madjah dan Zawa‟id As-Sunan Al-Kubra
disusun oleh Al-Bushri (w. 840 H).

f. Jawami‟ atau Jami‟, sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi secara mutlak,
seperti Al-Jami‟ Al-Kabir yang dikenal dengan sebutan Jami‟ AlJawami‟ dan Al-Jami‟ Ash-Shaghir
tulisan As-Suyuthi (w. 911 H).

Dengan demikian, mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan
yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan
memberikan syarah hadis yang telah terhimpun sebelumnya.

4. Kodifikasi Hadis Secara Resmi


Kodifikasi hadis secara resmi ialah pengumpulan dan penulisan hadis atas perintah Khalifah atau
penguasa daerah untuk disebarkan kepada msyarakat. Para ulama hadis sepakat mengatakan
bahwa kodifikasi hadis mulai dilakukan oleh Khalifah Umar bin „Abd „Aziz yang memerntahkan
pada tahun 99-101 H.
Berdasarkan beberapa riwayat, bahwa kekhawatiran akan hilangnya hadis dan lenyapnya para
ulama hadis merupakan faktor utama yang menyebabkan Khalifah Umar bin „Abd „Aziz untuk
melakukan kodifikasi hadis. Faktor yang lain adalah timbulnya hadis maudhu‟ sebagai akibat
meluasnya wilayah Islam dan terjadinya perselisihan di kalangan kaum Muslimin mendorong
khalifah untuk menghimpun dan membukukan hadis. Faktor-faktor penyebab dilakukannya
kodifikasi hadis tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Faktor Internal

1) Pentingnya menjaga autentisitas dan eksistensi hadis, serta petunjuk untuk keselamatan dalam
menempuh kehidupan dunia akhirat.
2) Semangat untuk menjaga hadis, sebagai salah satu warisan Nabi yang sangat berharga, yakni Al-
Qur‟an dan Hadis. Jika umat Islam berpegang pada keduanya mereka tidak akan tersesat
selamanya.
3) Adanya kebolehan dan izin untuk menulis hadis pada saat itu.
4) Para penghafal dan periwayatan hadis semakin berkurang karena meninggal dunia baik
disebabkan adanya peperangan maupun yang lainnya
5) . 5) Rasa bangga dan puas ketika mampu menjaga hadis Nabi dengan menghafal dan kemudian
meriwayatkannya.

b. Faktor Eksterna

1) Penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sehingga banyak periwayatan
hadis yang tersebar ke berbagai daerah.
2) Kemunculan dan meluasnya pemalsuan hadis yang disebabkan oleh perbedaan politik dan aliran.

Jadi, dari beberapa faktor tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya penulisan hadis karena
kekhawatiran hilangnya hadis dan kemurnian hadis. Kodifikasi hadis 25 Idri, Studi Hadits, 104-105. 21
secara resmi dilanjutkan dengan pembukuan hadis yang dilakukan para penguasa Bani Umayyah dan para
ulama.

Selanjutnya, Syihab Az-Zuhri (09-124 H) mulai melaksanakan pembukuan hadis sekaligus dilakukan
usaha penyeleksian hadis yang maqbul dan mardud dengan metode sanad dan isnad. Kemudian
pembukuan hadis dilanjutkan secara lebih teliti oleh Imam ahli hadis, seperti Bukhari, Muslim, Tirmidzi,
Nasa‟i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lain-lain. Dari mereka kita kenal dengan Kutubus Sittah, yaitu
Shahih AlBukhari, Shahih Muslim, Sunan An-Nasa‟i, Abu Dawud, Ibnu Majah.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari masa
lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.

Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis, yaitu kekhawatiran hilangnya hadis dan
kemurnian hadis.

B. Saran

Berkaitan dengan sejarah perkembangan hadis, kami menyadari bahwa dari berbagai referensi yang ada
masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam segi penulisan, sehingga terjadi kesalahpahamman dalam
konsep sejarah perkembangan hadis. Dan kami berharap dari refisian makalah ini, semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca dan barokah. Amin.
DAFTAR PUSTAKA

As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009.

Hakim, Atang Abd & Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.

Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2012.

PL, Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.

Solahudin, Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2010.

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Medan: Citapustaka Media Perintis, 2011.

Anda mungkin juga menyukai