Anda di halaman 1dari 94

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Generasi berkepribadian unggul dan berkualitas merupakan syarat yang harus

dipenuhi untuk membangun peradaban bangsa dalam menghadapi dinamisasi

kompetisi dunia. Pribadi yang tangguh, berwawasan luas, memiliki kepercayaan

terhadap kemampuan diri, dan memiliki berbagai kecakapan termasuk kecakapan

dalam mengatasi berbagai permasalah yang kompleks, merupakan beberapa hal

yang diperlukan dalam berkompetisi. Dalam hal ini, pendidikan memiliki peran

strategis untuk menumbuhkembangkan hal-hal tersebut. Sementara itu,

berdasarkan pengukuran daya saing global oleh World Economy Forum pada

tahun 2014-2015 ditemukan bahwa Indonesia ada pada peringkat ke 34 dari 144

negara partisipan. Dari dua belas pilar penilaian, pilar pendidikan dasar dan

kesehatan menempati posisi ke 77 yang terkatagorikan sebagai salah satu pilar

terendah. Fakta ini mengindikasikan bahwa perlu adanya optimalisasi perbaikan

dan pengembangan kualitas pendidikan Indonesia.

Sehubungan dengan hal ini, inovasi pendekatan pembelajaran merupakan salah

satu usaha yang dapat dilakukan pada perbaikan dan pengembangan kualitas

pendidikan. Untuk itu, diperlukan inovasi pendekatan pembelajaran yang dapat

membangun kepercayaan diri dan mengembangkan kecakapan peserta didik

dalam mengatasi permasalahan-permasalahan global, sehingga pada akhirnya


2

terbentuklah pribadi yang siap bermain pada kancah kompetisi global. Dengan

demikian, peran strategis pendidikan dalam menumbuhkembangkan kepribadian

generasi bangsa dapat terwujud dengan optimal. Sebagaimana yang ditetapkan

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 yang menegaskan bahwa tujuan

pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan

manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap

Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan

keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan

mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, matematika sebagai ilmu universal

yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tentunya

memiliki potensi penting untuk turut berperan dalam mewujudkan tujuan

pendidikan nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013, menetapkan

bahwa bahan kajian matematika antara lain berhitung, ilmu ukur, dan aljabar

dimaksudkan untuk mengembangkan logika dan kemampuan berpikir Peserta

Didik.

Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diinterpretasikan bahwa tujuan

belajar matematika secara umum yaitu untuk membentuk pola pikir logis, analitis,

sistematis, kritis, kreatif dan konsisten. Selain hal tersebut, peserta didik

diharapkan dapat mengembangkan kemampuannya menggunakan matematika

dalam pemecahan masalah dan mengomunikasikan gagasan dengan menggunakan

simbol, tabel, diagram, dan media lain. Hal ini bersesuaian dengan tujuan umum

pembelajaran matematika yang dirumuskan National Council of Teachers of


3

Mathematics atau NCTM (2000) yaitu: (1) belajar untuk memecahkan masalah

(mathematical problem solving), (2) belajar untuk bernalar (mathematical

reasoning), (3) belajar untuk berkomunikasi (mathematical communication), (4)

belajar untuk mengaitkan ide (mathematical connections), dan (5) belajar untuk

merepresentasikan matematika (mathematics representation).

Selanjutnya, berdasarkan tujuan pembelajaran matematika, dapat terlihat bahwa

aktivitas pembelajaran matematika sangat berpotensi untuk mengembangkan

berbagai kemampuan peserta didik, salah satu kemampuan tersebut adalah

kemampuan pemecahan masalah. Di lain pihak, kemampuan peserta didik untuk

memecahkan masalah dapat diawali dengan membangun keyakinan akan

kemampuan peserta didik dalam belajar matematika.

Sementara itu, kajian PISA pada tahun 2015, menemukan bahwa kemampuan

matematika peserta didik Indonesia masih berada pada katagori rendah. Kajian ini

melibatkan 540 ribu pelajar dari 72 negara dunia yang mewakili populasi 29 juta

siswa berusia 15 tahun. Kemampuan matematika peserta didik Indonesia

menduduki peringkat 64 dari 72 negara dengan skor 386, sementara diketahui

bahwa skor rata-rata kemampuan matematika partisipan adalah 490. Kurang dari 1

persen peserta didik Indonesia yang memiliki kemampuan bagus di bidang

matematika. Masih berdasarkan temuan PISA, diketahui juga bahwa skor literasi

membaca dan skor di bidang kemampuan sains peserta didik Indonesia berturut-

turut adalah 397 dan 403. Skor ini masih di bawah skor rata-rata yaitu 493 untuk

literasi membaca dan 493 untuk kemampuan sains (OECD: 2015).


4

Pengukuran kemampuan literasi matematika oleh PISA tidak hanya pada

kemampuan berhitung peserta didik namun juga terfokus pada kemampuan

peserta didik dalam menganalisis, memberikan alasan, dan menyampaikan ide

secara efektif, merumuskan, memecahkan, dan menginterpretasikan masalah-

masalah matematika dalam berbagai bentuk dan situasi. Penilaian yang

digunakan adalah fokus kepada masalah-masalah dalam kehidupan nyata, di luar

dari situasi atau masalah yang sering dibahas di kelas.

Fakta mengenai rendahnya kemampuan bermatematika peserta didik Indonesia

mengindikasikan bahwa peserta didik Indonesia masih terpaku pada

permasalahan-permasalahan yang hanya diajarkan di kelas, artinya peserta didik

kita belum terbiasa menyelesaikan permasalahan yang bersifat non rutin. Selain

itu, fakta ini juga mengindikasikan bahwa kemampuan peserta didik kita dalam

mentransfer situasi nyata ke model matematika dan menerjemahkan solusi

matematika ke situasi nyata masih lemah. Artinya peserta didik kita fokus pada

dunia matematika semata, tetapi tidak utuh melengkapinya dengan pengalaman

berinteraksi antar dunia nyata dan dunia matematika. Permasalahan ini perlu

mendapatkan perhatian khusus, karena pada kenyataannya skill bermatematika

yang berperan dalam kehidupan sosial adalah kemampuan bermatematika secara

utuh yang mencakup memodelkan, mencari solusi matematika, dan menafsirkan

ke masalah awal. Sehingga pada akhirnya terbentuklah keterampilan dalam

mengidentifikasikan dan menemukan pemecahan suatu permasalahan yang lebih

kompleks. Hal ini sejalan dengan Napitupulu (2008:30) yang menyatakan bahwa

kecakapan anak mensintesis pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman adalah

hal penting dalam keberhasilan memecahkan masalah.


5

Pada pengamatan dan juga pengalaman di lapangan, didapatkan bahwa salah satu

faktor krusial pada permasalahan ini adalah pada pola pembelajaran matematika

yang belum mengarah pada pembangunan kecakapan pemecahan masalah. Hal ini

diindikasikan dari pola penyampain materi yang masih dimulai dengan memuat

masalah-masalah matematika secara formal. Fungsi masalah nyata hanya sebagai

aplikasi materi yang telah dipelajari sebelumnya dalam situasi yang terbatas.

Dalam hal ini, guru sebatas memperkenalkan konsep-konsep dan algoritma-

algoritma untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Dengan kondisi belajar

seperti ini, peserta didik tidak cukup terstimulasi untuk meyusun cara-cara baru

dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Baik peserta didik maupun guru

lebih terfokus untuk menghasilkan jawaban berdasarkan algoritma standar yang

telah diketahui.

Pola pembelajaran ini juga bersinergi dengan bahan ajar yang kurang

mengeksplorasi kebermaknaan suatu konsep matematika. Upaya guru untuk

berinovasi dalam pengembangan bahan ajar dirasakan masih kurang optimal, guru

cenderung hanya menggunakan buku teks yang sudah tersedia sebagai bahan ajar

pada proses pembelajarannya. Sementara itu, dari hasil pengamatan terlihat

bahwa penyajian materi pada buku teks cenderung hanya bersifat

menginformasikan algoritma aritmatika dan rumus matematika. Penggunaan

masalah-masalah kontekstual sebagai acuan dalam mengenalkan suatu konsep

terlihat belum optimal.

Soal-soal non rutin yang menuntut kemampuan pemecahan masalah masih sangat

minim ditemui dalam buku teks sehingga dirasakan belum optimal dalam
6

memfasilitasi perkembangan literasi membaca dan perkembangan kemampuan

pemecahan masalah peserta didik . Kondisi ini mengakibatkan peserta didik

kurang terlatih untuk menemukan suatu konsep serta mengembangkan konsep-

konsep matematika dalam pemecahan masalah.

Selanjutnya, dari permasalahan yang telah diuraikan, maka sebagaimana

rekomendasi National Council of Teacher of Mathematics (1989) bahwa

pemecahan masalah harus menjadi fokus pada pembelajaran matematika untuk

setiap level sekolah. Olah karena itu, guru matematika memiliki tanggung jawab

untuk dapat menghadirkan pembelajaran matematika yang bisa mengembangkan

kemampuan pemecahan masalah peserta didik.

Inovasi bahan ajar merupakan salah satu alternatif dalam upaya meningkatkan

kemampuan memecahkan masalah. Bahan ajar selayaknya memberikan

kesempatan pada peserta didik untuk berdekatan dengan masalah. Artinya, bahan

ajar harus memberikan ruang pada peserta didik untuk mampu

mengidentifikasikan suatu masalah, menyusun strategi-strategi yang dapat

digunakan dalam pemecahan masalah, mengeksekusi strategi-strategi tersebut dan

langkah terakhir adalah melakukan pemeriksaan kembali terhadap ketepatan

strategi-strategi tersebut dalam pemecahan masalah yang diajukan. Hal ini senada

dengan Kharisma (2018:14) yang menyatakan bahwa kemampuan pemecahan

masalah dan prestasi belajar matematika yang baik tidak akan tercapai dengan

sendirinya tanpa upaya dan fasilitas yang mendukung termasuk bahan ajar yang

digunakan.
7

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) dideskripsikan sebagai lembaran yang berisi

pedoman bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan yang terprogram,

merupakan salah satu bahan ajar pendukung yang dapat dikembangkan oleh

tenaga pendidik. Setiap LKPD berisikan antara lain uraian singkat materi, tujuan

kegiatan, alat atau bahan yang diperlukan dalam kegiatan, langkah kerja,

pertanyaan – pertanyaan untuk didiskusikan, kesimpulan hasil diskusi, dan latihan

ulangan.

Terdapat beberapa keutamaan penggunaan LKPD diantaranya guru memiliki

akses yang luas untuk dapat berinovasi menciptakan skenario pembelajaran yang

mendukung tercapainya kemampuan-kemampuan yang ditargetkan pada setiap

konsep materi. Dalam hal mengembangkan kemampuan pemecahan masalah

matematis peserta didik, guru dapat mengintegrasikan pedoman pemecahan

masalah dari Polya melalui pemilihan konten maupun konteks permasalahan yang

relevan. Dengan demikian penggunaan LKPD dalam pembelajaran dapat

membantu guru untuk mengarahkan peserta didiknya menemukan konsep-konsep

melalui aktivitasnya sendiri sehingga peserta didik dapat terarah untuk mengikuti

urutan pemikiran secara logis. Keutamaan lain dari penggunaan LKPD adalah

peserta didik mendapatkan peluang untuk berpartisipasi dan berinteraksi dengan

aktif karena harus memberi respon terhadap langkah kerja, pertanyaan dan latihan

yang disusun. (Depdiknas: 2008)

Pada fakta di sekolah, ditemukan bahwa penggunaan LKPD sebagai bahan ajar

pembelajaran matematika masih dirasa minim. Seperti yang telah dipaparkan

sebelumnya bahwa guru cenderung hanya menggunakan buku teks yang telah
8

tersedia sebagai sumber utama pembelajaran. Selain itu, LKPD yang ada masih

kurang memfasilitasi pengembangan kemampuan pemecahan masalah bagi

peserta didik. Seperti halnya buku teks yang ada, penyusunan LKPD masih

bersifat menginformasikan algoritma aritmatika dan berisi rumus-rumus

matematika semata.

LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK

Gambar 1.1 dan 1.2 merupakan contoh LKPD pembelajaran matematika.

LKPD I memuat masalah-masalah Sistem Persamaan Linear Dua Variabel

(SPLDV) yang dimulai secara formal. Konsep-konsep SPLDV pada LKPD ini
9

disampaikan dengan langsung memberikan algoritma aritmatika beserta rumus-

rumus penyelesaiannya. Tidak ada kegiatan yang melibatkan peserta didik untuk

berpartisipasi dalam menemukan konsep SPLDV.

Masalah-masalah kontekstual terkait SPLDV tidak dicantumkan pada LKPD ini.

Hal ini menjadikan kebermaknaan dari konsep SPLDV tidak cukup tereksplorasi

sehingga ketertarikan peserta didik untuk terlibat berpikir aktif tidak cukup

terstimulasi. Berkenaan dengan hal ini, diketahui bahwa ketertarikan peserta didik

untuk terlibat berpikir aktif dalam setiap masalah yang diajukan, dapat dilakukan

dengan menciptakan kebermaknaan dalam setiap masalah yaitu melalui pemilihan

masalah-masalah yang dekat dengan aktivitas keseharian peserta didik . Hal ini

sejalan dengan Johnson (2014) yang mengemukakan bahwa ketika murid dapat

mengaitkan isi mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan

alam, atau sejarah dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan

makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar.

Tidak dicantumkannya masalah sebagai starting poin pada LKPD I juga

mengindikasikan bahwa aktivitas pemecahan masalah tidak cukup terbangun.

Peserta didik tidak mendapatkan akses untuk berlatih meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah matematis melalui aktivitas mengidentifikasikan masalah,

menyusun strategi-strategi pemecahan masalah, dan menggunakan strategi-

strategi tersebut sebagai pemecahan masalah. Hal ini tentu saja sangat

disayangkan, karena seharusnya, konsep-konsep yang terdapat pada SPLDV

memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai konsep yang dapat mengeksplorasi

kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik. Selain LKPD I, LKPD


10

II merupakan contoh lain dari LKPD pembelajaran matematika. Pada LKPD II,

pengenalan konsep SPLDV telah diawali dengan menggunakan masalah

kontekstual. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas pemecahan masalah telah

dihadirkan. Peserta didik distimulasi untuk mengidentifikasikan konsep-konsep

SPLDV melalui satu ilustrasi permasalahan. Dengan demikian, peserta didik

diberikan ruang untuk merencanakan dan mengekseskusi strategi-strategi

LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK

pemecahan masalah berdasarkan ilustrasi yang diberikan.

Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang perlu dikembangkan pada

LKPD II. Teks yang dihadirkan pada ilustrasi awal terlihat kurang optimal untuk

membangun budaya membaca peserta didik. Ilustrasi permasalahan yang dipilih

dirasa kurang familiar dengan aktivitas peserta didik. Pemilihan masalah

kontekstual memiliki peran untuk menghadirkan keterlibatan peserta didik pada

pembelajaran. Permasalahan-permasalahan kontekstual yang dekat dengan

aktivitas kehidupan peserta didik misalnya mengenai aktivitas dalam organisasi


Gambar 1.2: Contoh LKPD II pada materi SPLDV
11

sekolah ataupun aktivitas lainnya yang sesuai dengan kehidupan remaja seusia

peserta didik, dipandang cukup berpotensi untuk menciptakan ketertarikan peserta

didik dalam berlatih memecahkan masalah matematika yang lebih kompleks.

Johnson (2014:20) menyatakan makna yang berkualitas adalah makna

kontekstual, yakni dengan menghubungkan materi ajar dengan lingkungan

personal dan sosial.

Catatan lain yang ditemukan pada LKPD II adalah desain yang kurang menarik.

Di lain pihak, telah diketahui bahwa secara psikologis visualisasi yang menarik

dan tidak menonton akan membantu peserta didik mengembangkan imajinasi

mengenai konsep-konsep dari permasalahan yang dihadirkan pada LKPD.

Sementara itu, dari paparan sebelumnya mengenai pemecahan masalah, diketahui

bahwa komponen dasar yang perlu disediakan dalam bahan ajar yang ideal untuk

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik adalah masalah itu

sendiri.

Ketertarikan peserta didik untuk terlibat berpikir aktif dalam setiap masalah yang

diajukan dapat dilakukan memilih masalah-masalah yang dekat dengan aktivitas

keseharian peserta didik. Menjadikan matematika sebagai aktivitas yang

terkoneksi dan relevan dengan situasi peserta didik merupakan filosofi dasar dari

Pendidikan Matematika Realistik (PMR). PMR merupakan sebuah teori belajar

mengajar dalam pendidikan matematika yang pertama kali dikenalkan dan

dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Pada

dasarnya penggunaan kata realistik berasal dari bahasa Belanda yaitu “zich

realiseren” yang berarti untuk dibayangkan atau to imagine. Panhuizen


12

(Wijaya,2012) mengemukakan bahwa penggunaan kata realistik tidak sekedar

menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata tetapi lebih mengacu pada

fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam menempatkan penekanan

penggunaan suatu situasi yang dapat dibayangkan (imagineable) oleh peserta

didik.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menghadirkan situasi yang dapat

dibayangkan pada saat pembelajaran matematika bagi peserta didik merupakan

salah satu langkah krusial dalam menciptakan kebermaknaan matematika.

Freudental (Wijaya, 2012) menyatakan bahwa proses belajar peserta didik hanya

akan terjadi jika pengetahuan (knowledge) yang dipelajari bermakna bagi peserta

didik. Proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam suatu konteks akan menjadi

bermakna bagi peserta didik. Pandangan para ahli mengenai pentingnya

menghadirkan makna dalam pembelajaran cukup relevan dengan kebutuhan

alamiah syaraf manusia. Otak berusaha memberi arti bagi suatu informasi baru

dengan cara menghubungkannya dengan pengetahuan dan keterampilan yang

sudah ada, otak berusaha menghubungkan tugas-tugas baru dengan tugas-tugas

yang telah ada (Johnson, 2014:36).

Pandangan kedua ahli tersebut menunjukkan bahwa menghadirkan masalah

realistik yang biasa juga disebut permasalahn kontekstual dalam pembelajaran

matematika adalah aktivitas penting yang akan membantu peserta didik

menemukan makna dalam pembelajaran matematika. Permasalahan realistik

bukan hanya melibatkan masalah nyata yang dapat ditemukan langsung dalam

keseharian peserta didik melainkan juga menghadirkan hal-hal yang dapat dengan
13

dibayangkan dan diakses dengan mudah oleh pikiran peserta didik. Permainan,

alat peraga, cerita atau bahkan konsep matematika formal adalah beberapa hal

yang dapat berperan sebagai masalah realistik dalam matematika. Wijaya (2012)

menyatakan bahwa penggunaan masalah realistik dalam Pendidikan Matematika

Realistik memiliki posisi yang jauh berbeda dengan penggunaan masalah realistik

dalam pendekatan mekanistik.

Dalam Pendidikan Matematika Realistik, permasalahan realistik digunakan

sebagai fondasi dalam membangun konsep matematika atau biasa juga disebut

sebagai sumber untuk pembelajaran. Sedangkan dalam pendekatan mekanistik,

permasalahan realistik ditempatkan sebagai bentuk aplikasi suatu konsep

matematika sehingga sering juga disebut sebagai kesimpulan dalam proses

pembelajaran.

Fungsi paling fundamental dari konteks dalam Pendidikan Matematika Realistik

adalah memberikan peserta didik suatu akses yang alami dan motivatif menuju

konsep matematika. Konteks harus memuat konsep matematika tetapi dalam

suatu kemasan yang bermakna bagi peserta didik sehingga konsep matematika

tersebut dapat dibangun atau ditemukan kembali secara alami oleh peserta didik.

Konteks juga berperan dalam mengembangkan kemampuan peserta didik untuk

menemukan berbagai strategi untuk menemukan atau membangun konsep

matematika. Strategi tersebut bisa berupa rangkaian model yang berfungsi

sebagai alat untuk menerjemahkan konteks dan juga alat untuk mendukung proses

berpikir. Selanjutnya konteks berperan untuk menunjukkan bagaimana suatu

konsep matematika ada di realita dan digunakan dalam aktivitas keseharian.


14

Terakhir, konteks juga berperan dalam melatih kemampuan khusus dalam suatu

situasi terapan berupa kemampuan melakukan identifikasi, generalisasi, dan

pemodelan.

Sehubungan dengan keempat fungsi dan peranan keterlibatan konteks dalam

pembelajaran matematika, maka adalah suatu keharusan bagi praktisi pendidikan

dalam hal ini adalah guru matematika untuk dapat meningkatkan kapasitas dalam

mengembangkan konteks pada suatu konsep matematika. Adapun beberapa

prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan konteks diantaranya

adalah konteks harus disusun dengan lebih atraktif sehingga mengoptimalkan

minat peserta didik untuk belajar matematika. Pemilihan konteks dapat

disusaikan dengan tingkatan peserta didik. Menghadirkan aneka permainan dan

cerita-cerita fiktif merupakan alternatif konteks yang bisa disajikan untuk siswa

SD tingkat awal. Sedangkan untuk peserta didik SD tingkat atas dan peserta didik

SMP, menghadirkan permasalahan-permasalahan aktual kekinian yang dekat

dengan aktivitas keseharian mereka adalah alternatif yang bisa dipilih.

Selain prinsip pelibatan masalah realistik pada pembelajarannya, prinsip

selanjutnya dari PMR adalah matematika haruslah terintegrasi sebagai aktivitas

manusia, sehingga dalam pembelajaran matematika, peserta didik berhak

diberikan akses untuk menemukan kembali ide dan konsep dasar. Menurut

Freudenthal matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai produk

jadi yang siap pakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam

mengkonstruksi konsep matematika.


15

Filosofi dan prinsip dasar PMR dapat bersinergi dengan prinsip pemecahan

masalah yang menjadikan masalah sebagai starting point atau acuan dalam

aktivitas pemecahan masalah. Dengan demikian, peserta didik mendapatkan akses

untuk mampu mengidentifikasikan suatu masalah kemudian menyusun strategi-

strategi pemecahan masalah, mengeksekusi strategi-strategi tersebut, dan tahap

terakhir adalah melakukan pemeriksaan kembali terhadap ketepatan strategi-

strategi tersebut dalam pemecahan masalah yang diajukan. Untuk itu, diperlukan

suatu rancangan bahan ajar yang relevan dengan prinsip dan tujuan dari aktivitas

pemecahan masalah pada pembelajaran matematika.

Selanjutnya perlu disadari bahwa kemampuan pemecahan masalah tidaklah dapat

ditumbuhkembangkan secara instan melainkan diperlukan latihan dan pembiasaan

yang berkesinambungan. Dalam proses latihan dan pembiasaan memecahkan

masalah, komponen yang juga diperlukan adalah rasa percaya diri peserta didik

terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah yang ditemui. Dalam

ilmu psikologi, keyakinan dan kepercayaan individu terhadap kemampuan dirinya

untuk mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan

sesuatu dan mengimplementasikan tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu

disebut sebagai Self Efficacy Baron dan Byrne (2000:37)

Bandura (2003) menyatakan bahwa perasaan positif yang tepat tentang self

efficacy dapat mempertinggi prestasi, meyakini kemampuan, mengembangkan

motivasi internal, dan memungkinkan peserta didik untuk meraih tujuan yang

menantang. Hal ini relevan dengan temuan dari berbagai studi lokal maupun
16

internasional yang mengkaji mengenai peranan self efficacy terhadap prestasi

belajar peserta didik.

Beberapa penemuan menujukkan peran self efficacy dalam menaklukan setiap

permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Di lain sisi, diketahui bahwa

perkembangan self efficacy dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pengalaman

keberhasilan (Mastery Experience) merupakan sumber yang sangat berpengaruh

dalam efficacy, karena hal tersebut memberikan bukti secara otentik apakah

seseorang akan sukses. Sehingga pengalaman keberhasilan yang didapatkan oleh

individu meningkatkan self-efficacy individu tersebut sedangkan kegagalan

menurunkan self-efficacy. Keberhasilan menghasilkan kekuatan dan kepercayaan

diri. Selain pengalaman keberhasilan yang bersifat pribadi, Modelling merupakan

cara lain yang efektif untuk menunjukkan kemampuan efikasi individu.

Kemampuan individu dinilai dari aktifitas yang dihasilkan dengan indikator

memuaskan.

Selanjutnya, selain pengalaman keberhasilan, persuasi verbal merupakan faktor

lain yang juga mempengaruhi self efficacy. Persuasi verbal berfungsi sebagai

sarana untuk memperkuat keyakinan mengenai kemampuan yang dimiliki

individu dalam mencapai tujuan. individu yang diyakinkan secara verbal bahwa

mereka memiliki kemampuan untuk menguasai tugas-tugas yang diberikan

cenderung berusaha secara maksimal dan mempertahankannya.

Fakta-fakta yang telah diuraikan menunjukkan bahwa terdapat suatu keterkaitan

antara kemampuan pemecahan masalah dan self efficacy. Tampak bahwa untuk

dapat memecahkan masalah maka salah satu komponen penting yang perlu
17

dimiliki oleh peserta didik adalah self efficacy. Sementara itu, pada proses

pembelajarannya, kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah-masalah

yang diajukan dalam pembelajaran akan sangat berpotensi memberikan

pengalaman keberhasilan pada peserta didik baik secara individu maupun

kelompok. Selain itu, dalam proses latihan pemecahan masalah, interaksi yang

terjadi antara peserta didik maupun guru juga berpotensi untuk menciptakan

apresiasi dan motivasi melalui dukungan verbal terhadap pencapaian pada tahap-

tahap pemecahan masalah yang sedang dieksplorasi. Artinya, proses latihan pada

pemecahan masalah juga berpeluang untuk dapat berkontribusi pada proses

pengembangan self efficacy peserta didik

Selanjutnya, berdasarkan gagasan-gagasan yang telah dipaparkan bahwa bahan

ajar selayaknya memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mampu

mengidentifikasikan suatu masalah kemudian menyusun strategi-strategi yang

dapat digunakan dalam pemecahan masalah selanjutnya adalah mengeksekusi

strategi-strategi tersebut dan langkah terakhir adalah melakukan pemeriksaan

kembali terhadap ketepatan strategi-strategi tersebut dalam pemecahan masalah

yang diajukan, maka hal ini berarti bahwa diperlukan skenario pembelajaran yang

dapat mengakomodasi gagasan-gagasan ini yang salah satunya dapat

diintegrasikan pada LKPD.

Peneliti akan mengembangkan seperangkat LKPD yang disusun berdasarkan

prinsip dasar PMR yang menjadikan permasalahan realistik sebagai fondasi dalam

membangun konsep matematika, serta melibatkan peran serta peserta didik dalam

mengeksplorasi suatu konsep matematika. Permasalahan-permasalahan yang


18

diajukan dalam LKPD diharapkan dapat memfasilitasi peserta didik untuk dapat

berlatih mencapai kemampuan pemecahan masalah yang bersinergi dengan

tahapan-tahapan pemecahan masalah polya. Interaksi yang terjadi selama

pembelajaran pada setiap tahapan yang tertuang dalam LKPD diharapkan dapat

berperan dalam proses pengembangan self efficacy peserta didik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, penulis merumuskan masalah penelitian

sebagai berikut.

1. Bagaimana hasil pengembangan LKPD pembelajaran matematika berdasarkan

prinsip PMR kelas VIII SMP IT Ar Raihan Bandarlampung?

2. Apakah LKPD pembelajaran matematika berdasarkan prinsip PMR efektif

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik kelas VIII SMP

IT Ar Raihan Bandarlampung?

3. Apakah LKPD pembelajaran matematika berdasarkan prinsip PMR efektif

meningkatkan self efficacy peserta didik kelasVIII SMP IT Ar Raihan

Bandarlampung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, penulis merumuskan tujuan penelitian

sebagai berikut.

1. Mengembangan LKPD pembelajaran matematika berdasarkan prinsip PMR.

2. Untuk mengetahui efektivitas hasil pengembangan LKPD pembelajaran

matematika berdasarkan prinsip PMR dalam meningkatkan kemampuan


19

pemecahan masalah peserta didik kelas VIII SMP IT Ar Raihan

Bandarlampung.

3. Untuk mengetahui efektivitas hasil pengembangan LKPD pembelajaran

matematika berdasarkan prinsip PMR dalam meningkatkan self efficacy peserta

didik SMP IT Ar Raihan Bandarlampung.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat secara teoritis dan praktis dengan

rincian sebagai berikut.

1. Secara teoris penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa

gagasan pemikiran dan sebagai alternatif referensi untuk penelitian sejenis.

2. Secara praktis penelitian ini menghasilkan produk yang diharapkan dapat

bermanfaat dalam pembelajaran matematika di SMP dan menjadi bahan

perbandingan untuk perbaikan produk penelitian selanjutnya.

E. Definisi Operasional

Agar penelitian ini terfokus, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi

pada kemampuan pemecahan masalah matematis, self efficacy, Pendidikan

Matematika Realistik (PMR), Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD), dan

efektivitas. Adapun definisi operasional dari setiap poin tersebut, diuraikan

sebagai berikut.

(1) Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan atau suatu

keterampilan pada diri peserta didik untuk mencari jalan keluar terhadap

permasalahan baru (permasalahan non rutin) yang memerlukan kreativitas dan

strategi dalam menyelesaikannya.


20

(2) self-efficacy adalah keyakian atau kepercayaan terhadap kemampuan yang

dimiliki individu untuk memotivasi dirinya ketika menyelesaikan tugas,

bertindak, menghadapi hambatan dan mencapai tujuan dalam hidup.

(3) Pendidikan Matematika Realistik (PMR) adalah suatu pendekatan pembelajaran

matematika yang dilandasi oleh pandangan Hans Freudenthal, yaitu menempatkan

matematika sebagai suatu bentuk aktivitas manusia (mathematics as human activity)

(4) Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) adalah panduan peserta didik yang

digunakan untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan pemecahan masalah.

Lembar kegiatan biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah untuk

menyelesaikan suatu tugas. Keuntungan penggunaan LKPD untuk

memudahkan pendidik dalam melaksanakan pembelajaran. Bagi peserta didik

berguna untuk menstimulasi peserta didik agar belajar mandiri dan belajar

memahami serta menjalankan suatu tugas tertulis.

(5) Efektivitas dapat diartikan sebagai ukuran keberhasilan dalam pembuatan

suatu produk pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang

diharapkan.
21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemampuan Pemecahan Masalah

Kata “kemampuan” berasal dari kata mampu yang berarti kuasa (sanggup

melakukan sesuatu), dapat. Kemudian mendapat imbuhan ke-an menjadi

kemampuan yang berarti kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Pemecahan masalah

adalah proses menerapkan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya ke dalam

situasi baru yang belum dikenal (Wardhani, 2005: 93). Jadi kemampuan

pemecahan masalah adalah kecakapan menerapkan pengetahuan yang diperoleh


22

sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Pembelajaran pemecahan

masalah adalah suatu kegiatan yang didesain oleh guru dalam rangka memberi

tantangan kepada peserta didik melalui penugasan (pernyataan) matematika.

Fungsi guru dalam kegiatan itu adalah memotivasi peserta didik agar mau

menerima tantangan dan membimbing peserta didik dalam proses

memecahkannya. Perlu diingat bahwa masalah yang diberikan kepada peserta

didik harus masalah yang pemecahannya terjangkau oleh kemampuan peserta

didik. Masalah yang di luar jangkauan kemampuan peserta didik dapat

menurunkan motivasi mereka.

Depdiknas (2006) menyebutkan bahwa pemecahan masalah merupakan

kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih

pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan model untuk

menyelesaikan masalah. Indikatoryang menunjukkan kemampuan pemecahan

masalah antara lain: (1) menunjukkan pemahaman masalah, (2) mengorganisasi

data dan memilih informasi yang relevan dalampemecahan masalah, (3)

Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk,(4) memilih

pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat, (5) mengembangkan

strategi pemecahan masalah, (6) membuat dan menafsirkan model matematika

dari suatumasalah, dan (7) menyelesaikan masalah yang tidak rutin.Aspek

pertama adalah penguasaan pengetahuan faktual yang relevan dengan

situasimasalah. Aspek ini berkaitan dengan pemahaman terhadap masalah. Aspek

kedua adalahpenguasaan pengetahuan prosedural. Aspek ini berkaitan dengan

penggunaan strategi yangsesuai situasi masalah. Aspek ketiga adalah penguasaan

terhadap prosedurmatematis untuk mencari solusi masalah. Hal ini menunjukkan


23

bahwa memahami masalah, melakukan prosedur matematis, dan mengidentifikasi

serta menerapkan strategi yangsesuai untuk menyelesaikan masalah merupakan

aspek-aspek penting yang perludiperhatikan dalam mengevaluasi kemampuan

pemecahan masalah.Memahami masalah adalah memahami dan mengidentifi-

kasikan apa fakta atau informasi yang diberikan, apa yang ditanya-kan, diminta

untuk dicari, atau dibuktikan.

Menurut Polya dalam Hudojo (2003: 150) ada dua macam masalah, yaitu masalah

menemukan dan masalah membuktikan. Masalah untuk menemukan, dapat

teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Kita harus mencari

semua variabel masalah tersebut, kita mencoba untuk mendapatkan, menghasilkan

atau mengkontruksi semua jenis objek yang dapat dipergunakan untuk

menyelesaikan masalah tersebut. Bagian utama dari masalah tersebut adalah:

(1) Apakah yang dicari;

(2) Bagaimana data yang diketahui;

(3) Bagaimana syaratnya.

Ketiga bagian utama tersebut merupakan landasan untuk dapat menyelesaikan

masalah jenis ini. Masalah untuk membuktikan, adalah untuk menunjukkan

bahwa pernyataan benar atau salah atau tidak keduanya. Bagian utama dari

masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus

dibuktikan kebenarannya. Kedua bagian utama tersebut merupakan landasan

untuk dapat menyelesaikan masalah jenis ini. Selanjutnya Polya dalam Hudojo

(2003: 150) juga mengatakan bahwa masalah untuk menemukan lebih penting

dalam matematika elementer, sedangkan masalah untuk membuktikan lebih


24

penting dalam matematika lanjut. Pada penelitian ini lebih mengacu kepada

masalah untuk menemukan, hal ini dikarenakan pada materi sistem persamaan

linear dua variabel siswa dituntut untuk dapat menemukan konsep dan pemecahan

terhadap masalah sehari-hari.

Ellison (2009:1) menyatakan bahwa melalui latihan rutin dan strategi pengajaran

keterampilan pemecahan masalah akan meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah pada siswa. Jadi penyelesaian masalah merupakan komponen penting

dari kurikulum matematika dan di dalamnya terdapat inti dari aktivitas

matematika. Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kemampuan

menyelesaikan masalah merupakan tujuan utama dalam pembelajaran matematika

Begitu pentingnya mengenai kemampuanpemecahan masalah matematika dalam

pembelajaran matematika sehingga ada yangmenjuluki bahwa pemecahan

masalah adalah jantungnya matematika.

Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu

tujuan pembelajaran matematika sekolah, yang diajarkan pada jenjang pendidikan

dasar dan menengah, Sebagai implikasi dari pencapaian tujuan pembelajaran

matematika tersebut,perlu diciptakan suatu kegiatan pembelajaran yang dapat

menumbuhkan dan melatihketerampilan atau kemampuan memecahkan masalah.

Dan otomatis juga berimplikasi pada asesmennya. Terkait dengan tujuan

pembelajaran matematika sekolah, tidak lepas dari kompetensi matematika yang

diharapkan dapat dicapai dalam pembelajarannya.Pada hakikatnya, suatu

pertanyaan atau soal dalam pembelajaran matematikadikatakan suatu masalah jika

dalam pertanyaan tersebut memuat tantangan tetapi belumdiketahui prosedur rutin


25

untuk menyelesaikannya. Suatu masalah bagi sesorang belumtentu merupakan

masalah bagi orang lain karena ia telah mengetahui prosedur

untukmenyelesaikannya. Dalam kurikulum 2006 (Depdiknas, 2006: 1) tujuan

pembelajaran matematika sekolah bertujuan mengembangkan kemahiran atau

kecakapan matematika yang diharapkan dicapai adalah sebagai berikut.

a. Menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajari,


menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau
algoritma luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
b. Memiliki kemampuan menkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
grafik, atau diagram untuk memperjelas keadaan atau masalah.
c. Menggunakan penalaran pada pola, sifat, atau melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
d. Menunjukkan kemampuan strategik dalam membuat (merumuskan),
menafsirkan, dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan
masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki: (1) rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, (2) sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.

Pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh

sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Pentingnya belajar

pemecahanmasalah dalam matematika, strategi-strategi untuk menyelesaikan

masalah dalammatematika dalam situasi tertentu dapat ditranfer atau diterapkan

pada situasi yang lain diluar matematika, misalnya masalah dalam kehidupan

sehari-hari. Cara yang digunakanuntuk menyelesaikan masalah disebut strategi

pemecahan masalah. Menurut Polyadan Pasmepdalam Shadiq (2005) ada 10

strategi pemecahan masalahmatematika yakni: 1) mencoba-coba, 2) membuat

diagram, 3) mencobakan pada soal yanglebih sederhana, 4) membuat tabel, 5)

menemukan pola, 6) memecah tujuan, 7)memperhitungkan setiap kemungkinan,

8) berpikir logis, 9) bergerak dari belakang, dan10) mengabaikan hal yang tidak
26

mungkin. Ketika strategi pemecahan masalah matematikaini dikuasai dengan baik

oleh siswa, niscaya siswa tersebut akan menjadi pemecah masalah(problem

solver) yang baik pula.

Mengajarkan siswa untuk menyelesaikan masalah-masalah memungkinkan siswa

itu menjadi lebih analitis di dalam mengambil keputusan dalam kehidupan.

Dengan kata lain, bila siswa dilatih untuk menyelesaikan masalah maka siswa itu

akan mampu mengambil keputusan sebab siswa itu menjadi mempunyai

ketrampilan tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan,

menganalisis informasi dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali yang

telah diperolehnya.

Memilih pendekatan atau strategi pemecahan, misalkan menggambarkan masalah

dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan pengetahuan aljabar yang

diketahui dan konsep yang relevan untuk membentuk model atau kalimat

matematika. Menyelesaikan masalah merupakan melakukan operasi hitung secara

benar dalam menerapkan strategi untuk mendapatkan solusi dari masalah.

Menafsirkan solusi diantaranya memperkirakan dan memeriksa kebenaran

jawaban, masuk akalya jawaban, dan apakah memberikan pemecahan terhadap

masalah semula.

Menurut Wardhani (2005: 96) indikator keberhasilan memecahkan masalah

ditunjukkan oleh kemampuan: (a) menunjukkan pemahaman masalah, (b)

mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan

masalah, (c) menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk, (d)

memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat, (e)


27

mengembangkan strategi pemecahan masalah, (f) membuat dan menafsirkan

model matematika dari suatu masalah, menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

Sedangkan Wood et al (dalam Mourtos et al, 2004: 1) menyatakan bahwa siswa

yang memiliki ketrampilan memecahkan masalah memperlihatkan indikator

berikut: (1) meluangkan waktu untuk membaca, mengumpulkan informasi dan

mendefinisikan masalah. (2) menggunakan proses, serta berbagai taktik dan

heiristik untuk mengatasi masalah. (3)memonitor proses pemecahan masalah dan

mempertimbangkan tentang efektifitasnya. (4)menekankan keakuratan dari pada

kecepatan. (5) menuliskan ide dan membuat grafik/angka, disamping

memecahkan masalah. (6) melakukan secara terorganisir dan sistematis. (7)

melakukan secara fleksibel (terbuka pada pilihan, melihat situasi dari berbagai

sudutpandang). (8) menggambar pada pengetahuan subjek yang bersangkutan dan

objektif dankritis menilai kualitas, akurasi, dan ketepatan dari pengetahuan. (9)

bersedia mengambil resiko dan menghadapi ambiguitas, menyambut perubahan,

dan mengelola stress. (10)menggunakan pendekatan menyeluruh yang

menekankan fundamental daripada mencobamenggabungkan berbagai solusi

sampai hafal.

Asesmen kemampuan pemecahan masalah pada siswa seharusnya memberikan

keterangan atau informasi bahwa mereka dapat: (1) merumuskan masalah, (2)

menerapkanberbagai strategi untuk menyelesaikan masalah, (3) menyelesaikan

masalah, (4) memeriksadan menafsirkan hasil-hasil, dan (5) menggeneralisasi

penyelesaian. Sedangkankemampuan pemecahan masalah yang

harusditumbuhkan antara lain: (1) kemampuanmengerti konsep dan istilah

matematika, (2) kemampuan untuk mencatat kesamaan,perbedaan dan analogi, (3)


28

kemampuan untuk mengidentifikasi elemen terpenting danmemilih prosedur yang

benar, (4) kemampuan untuk mengetahui hal yang tidak berkaitan,(5) kemampuan

untuk menaksir dan menganalisa, (6) Kemampuan untukmemvisualisasidan

menginterpretasi kuantitas atau ruang, (7) kemampuan untuk

memperumumberdasarkan beberapa contoh, (8) kemampuan untuk berganti

metode yang telah diketahui,(9) mempunyai kepercayaan diri yang cukup dan

merasa senang terhadap materinya.

Selanjutnya menurut Suyitno (2004: 37) syarat suatu soal menjadi soal pemecahan

masalah adalah; (a) siswa mempunyai pengetahuan prasyarat untuk mengerjakan

soal tarsebut, (b) diperkirakan siswa mampu mengerjakan, (c) siswa belum tahu

algoritma atau cara menyelesaikan soal tersebut, dan (d) siswa mau dan

berkehendak untuk menyelesaikan soal tersebut.

Pengukuran kemampuan pemecahan masalah tidak hanya difokuskan

padakebenaran secara substansial solusi dan prosedur matematis yang dilakukan,

melainkanjuga pada koherensi, keruntutan ide-ide atau prosedur matematis yang

mendukung solusitersebut. Dua jawaban yang secara substansial benar, tetapi

mempunyai perbedaankejelasan, rasionalitas, keruntutan, dan koherensi uraian

yang diberikan, tentu harus diberiskor berbeda. Terkait hal ini, pemecahan

masalah dapat dipandang sebagai proseskomunikasi, yakni siswa

mengkomunikasikan ide-ide atau pemikiran matematis secarakoheren, runtut, dan

jelas dengan menggunakan berbagai representasi matematis yangrelevan dalam

proses pemecahan masalah matematis.


29

Menurut Polya dalam Suherman (2003: 91), soal pemecahan masalah memuat

empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan

penyelesaian, menyelesaiakn masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan

kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Pemberian skor pada

kemampuan pemecahan masalah matematika mengadopsi penskoran pemecahan

masalah yang dikemukakan oleh Schoen dan Ochmke (Kasman, 2008: 21) seperti

terlihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah


No Tahap Pengerjaan Skor
1. Memahami masalah
a) Salah menginterpertasikan/tidak memahami soal/tidak ada 0
jawaban
b) Interpertasi soal kurang tepat atau salah 1
menginterpertasikan sebagian soal/mengabaikan kondisi
soal
c) Memahami soal dengan baik 2
2. Merencanakan strategi penyelesaian
a) Tidak ada rencana strategi penyelesaian 0
b) Merencanakan strategi penyelesaian yang kurang relevan 1
c) Membuat strategi penyelesaian yang kurang relevan 2
sehingga tidak dapat dilakukan/salah
d) Membuat strategi penyelesaian tetapi tidak lengkap 3
e) Membuat rencana strategi penyelesaian yang benar dan 4
mengarah pada jawaban yang benar
3. Melaksanakan strategi penyelesaian
a) Tidak ada penyelesaian sama sekali 0
b) Melaksanakan prosedur yang benar dan mungkin 1
menghasilkan jawaban benar tapi salah
perhitungan/penyelesaian tidak lengkap
c) Melaksanakan prosedur proses yang benar dan 2
mendapatkan hasil benar
4. Memeriksa kembali
a) Tidak ada pengecekan jawaban/hasil 0
b) Ada pengecekan jawaban/ tapi hasil tidak tuntas 1
c) Pengecekan dilakukan untuk melihat kebenaran proses 2
Total 10
30

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan

pemecahanmasalah adalah kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam

memahami, memilihpendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan

menyelesaikan model untukmenyelesaikan masalah. Hal tersebut dikarenakan

dalam penyelesaiannya melibatkanpemilihan prosedur-prosedur matematika untuk

memecahkan masalah tersebut.

Kemampuan pemecahan masalah harus ditunjang oleh kemampuan

penalaran,yakni kemampuan melihat hubungan sebab akibat. Kemampuan

penalaran memerlukanupaya meningkatkan kemampuan mengamati, bertanya,

berkomunikasi, dan berinteraksidengan lingkungan. Untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah, diperlukanbeberapa keterampilan sebagai

berikut.

1)Keterampilan memahami masalah.

Memahami masalah yaitu mengetahui maksud dari soal/masalah tersebutdandapat

enyebutkan apa yang diketahui, bagaimana syarat-syaratnya, apa yangditanyakan,

dan informasi apa yang mendukung proses pemecahan masalah.

2)Keterampilan memilih pendekatan/strategi penyelesaikan masalah.

Memilih pendekatan/strategi penyelesaikan masalah yang digunakan

dalammemecahkan masalah tersebut, misalnya apakah siswa dapat

membuatsketsa/gambar/model, memilih dan menggunakan pengetahuan aljabar

yangdiketahuidan konsep yang relevan untuk embentuk model/kalimat

matematika,dan memilihrumus atau algoritma yang digunakan untuk

memecahkan masalah.
31

3)Keterampilan menyelesaikan masalah.

Menyelesaikan masalah dengan benar, lengkap, sistematis, teliti. Pada saatmelatih

siswa melaksanakan proses pemecahan masalah, ingatkan siswa tentangprosesinti

yang harus dilakukan. Sering kali selama proses pemecahan masalah

siswadihadapkan pada proses perhitungan aritmetik. Bila siswa

mengalamihambatan dalamproses perhitungan, maka bersiaplah untuk membantu.

Mintalah siswa untuk mengecek langkah demi langkah proses pemecahan masalah

yangdilakukan. Siswadiharapkan mampu melakukan operasi hitung secara benar

dalam menerapkan strategi untuk mendapatkan solusi dari suatu masa

4)Keterampilan menafsir solusi.

Kemampuan menafsirkan solusi yaitu menjawab apa yang ditanyakan dan

menarik kesimpulan. Memperkirakan dan memeriksa kebenaran jawaban, masuk

akalnya jawaban dan apakah memberikan pemecahan terhadap masalah semula.

Dalam tiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulaidengan

pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem)

denganmengajukan masalah-masalah yang kontekstual, siswa dapat secara

bertahapdibimbing untuk menguasai konsep-konsep matematika. Disamping itu

juga dapatmemotivasi siswa untuk menyenangi matematika karena mengetahui

keterkaitan dan kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

B. Self Efficacy

Self Efficacy merupakan satu kesatuan arti yang diterjemahkan dari Bahasa

Indonesia yaitu efikasi diri. Konsep self efficacy pertama kali dikemukakan oleh

Bandura. Self-efficacy mengacu pada persepsi tentang kemampuan yang dimiliki


32

seseorang terhadap kemampuan untuk menghasilkan atau menujukkan tingkat

kemampuan dalam mengerjakan latihan yang mempengaruhi peristiwa yang

terjadi dalam kehidupan. self efficacy menentukan keyakinan bagaimana

seseorang merasa, berpikir, memotivasi dirinya dalam berkelakuan. Keyakinan

menghasilkan perbedaan yang berdampak melalui empat aspek yakni kognitif,

motivasi, afektif dan aspek lain (Bandura, 2008: 1).

Selanjutnya, Baron and Byrne (2000: 37) mengungkapkan bahwa self efficacy

merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya

melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilkan sesuatu. Teori

self efficacy berkaitan dengan kemampuan secara kognitif, sosial, emosi dan

perilaku. Self efficacy mengacu pada keyakinan sejauh mana individu

memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau melakukan

suatu tugas yang diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu. Keyakinan akan

seluruh kemampuan ini meliputi kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan

diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang

penuh tekanan. Efikasi diri akan berkembang berangsur-angsur secara terus

menerus seiring meningkatnya kemampuan dan bertambahnya pengalaman-

pengalaman yang berkaitan.

Ghufron (2014: 73) mendefinisikan self efficacy (efikasi diri) sebagai salah satu

aspek pengetahuan tentang diri atau self knowledge yang paling berpengaruh

dalam kehidupan manusia sehari-hari. Hal ini disebabkan efikasi diri yang

dimiliki ikut mempengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan

dilakukan untuk mencapai tujuan termasuk didalamnya perkiraan kejadian yang


33

akan dihadapi. Ghufron (2014: 73-6 ) mengemukakan definisi dari para ahli,

diantaranya Baron dan Byrne (1997) menyatakan bahwa efikasi diri sebagai

evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk

melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan.

Senada dengan pendapat tersebut, Judge dan Bono (2000) menyatakanefikasi diri

adalah indikator positif dari core self evaluation untuk melakukan evaluasi diri

yang berguna memahami diri. Pendapat lain muncul dari Bandura dan Wood yang

menyatakan efikasi diri mengacu pada keyakinan atas kemampuanindividu untuk

menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan

untuk memenuhi tuntutan situasi. Sementara itu, Gist dan Mitchell menyatakan

efikasi diri dapat membawa perilaku yang berbeda diantara individu dengan

kemampuan yang sama karena efikasi diri mempengaruhi pilihan, tujuan,

pengatasan masalah, dan kegigihan dalam berusaha.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli, maka

dapat disimpulkan bahwa self efficacy adalah keyakian atau kepercayaan terhadap

kemampuan yang dimiliki individu untuk memotivasi dirinya ketika

menyelesaikan tugas, bertindak, menghadapi hambatan dan mencapai tujuan

dalam hidup .

Dalam konteks pendidikan, self efficacy perlu dimiliki setiap siswa agar mereka

yakin pada kemampuan yang dimiliki sehingga betapapun sulitnya materi maupun

soal ulangan, mereka yakin bisa menyelesaikannya. Selain itu, self efficacy

mendorong siswa untuk lebih mematangkan diri sebagai bentuk persiapan


34

menghadapi tantangan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Schunk dan Frank (2001: 36) yakni:

“Student who feel more efficacious about learning should be


moreapt to engage in self-regulation (e.g., set goals, use effective
learning strategies, monitor their comprehension, evaluate their
goal progress) and create effective environments for learning
(e.g.,eliminate or minimize distraction, find effective study
partners)”. In turn, self-efficacy can be influenced by the outcomes
of behaviors (e.g.,goal progress, achievment )and by input for the
environment (e.g., feedback from teachers, social comparisons with
peers).

Kutipan tersebut dapat diartikan bahwa siswa yang memiliki self efficacy tinggi

terhadap pembelajaran, dirinya cenderung memiliki keteraturan lebih (misalnya

dalam menetapkan tujuan, menggunakan strategi pembelajaran aktif, memantau

pemahaman mereka, dan mengevaluasi kemajuan tujuan mereka) dan

menciptakan lingkungan yang efektif untuk belajar (menghilangkan atau

meminimalkan gangguan, menemukan mitra belajar efektif ). Self efficacy dapat

mempengaruhi perilaku (kemajuan dari tujuan, prestasi) serta masukan dari

lingkungan (umpan balik dari guru, dan perbandingan sosial dengan teman).

1. Perkembangan Self Efficacy

Bandura (2008: 2-3) menyatakan self efficacy dapat ditumbuhkan dan dipelajari

melalui empat sumber informasi utama yakni pengalaman keberhasilan (mastery

experience), pengalaman orang lain (vicarious experience), persuasi verbal

(verbal persuasion), dan kondisi fisiologis (physiological state). Keempat sumber

informasi akan dijelaskan sebagai berikut:

(a) Pengalaman Keberhasilan (Mastery Experience)


35

Pengalaman keberhasilan adalah cara paling efektif untuk meningkatkan

keyakinan seseorang terhadap keberhasilan. Keberhasilan akan membangun

kepercayaan yang kuat terhadap kemampuan, sebaliknya kegagalan akan

merusak kepercayaan, terlebih lagi jika kegagalan terjadi sebelum seseorang

berhasil. Kesulitan yang dialami manusia dalam setiap kegiatan berguna

sebagai pelajaran bahwa kesuksesan diperoleh dari usaha yang

berkelanjutan. Upaya yang gigih diperlukan untuk menghadapi kesulitan.

Self efficacy menjadi berkembang kuat melalui serangkaian keberhasilan,

dampak negatif dari kegagalan akan berkurang sehingga akan memotivasi

diri bahwa sebesar apapun kesulitannya pasti dapat dihadapi dengan

kegigihan dan usaha yang terus-menerus.

(b) Pengalaman Orang lain (Vicarious Experience)

Melalui melihat/mengamati keberhasilan seseorang yang memilki

kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan tugas, akan meningkatkan

keyakinan pengamat bahwa ia juga bisa berhasil. Begitu sebaliknya, bila

pengamat mengetahui bahwa seseorang dengan kemampuan yang sama

dengannya mengalami kegagalan, maka dapat menurunkan keyakinan

pengamat terhadap kemampuan yang ia miliki serta akan menurunkan usaha

mereka. Dampak dari pemodelan menunjukkan self efficacy dipengaruhi

oleh kesamaan persepsi dengan model. Semakin besar kesamaan yang

diasumsikan, akan semakin mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan

pengamat. Jika pengamat melihat orang yang sangat berbeda dari dirinya,

keyakinan pengamat tidak banyak dipengaruhi oleh model. Seseorang

sebaiknya melihat model yang memiliki kemampuan sama dengan


36

pengamat. Melalui pengamatan terhadap perilaku dan cara model dalam

berpikir, akan melahirkan strategi efektif bagi pengamat untuk meniru cara

model berpikir dan berperilaku di lingkungan.

(c) Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)

Individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat

meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan yang dimiliki untuk

membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Pengaruh persuasi verbal tidak

besar karena tidak memberikan pengalaman yang langsung dialami/diamati

individu. Dalam kondisi yang tertekan dan mengalami kegagalan yang terus

menerus, pengaruh sugesti akan berakibat secara cepat dan lenyap karena

pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut.

(d) Kondisi Fisiologis (Psychological State)

Ketegangan fisik dalam situasi yang menekan dipandang individu sebagai

tanda ketidakmampuan karena dapat melemahkan performansi kerja

individu.Kecemasan dan stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika

melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Pada umumnya

seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang

tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau

gangguan somatik lainnya. Self-efficacy biasanya ditandai oleh rendahnya

tingkat stress dan kecemasan sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai

oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula.

2. Aspek-Aspek Self Efficacy


37

Bandura dalam Ghufron (2014: 80), efikasi diri tiap individu berbeda satu sama

lain, hal ini berdasarkan tiga dimensi self efficacy, antara lain:

a) Dimensi Tingkat (Level)

Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu

merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu dihadapkan pada

tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya, maka efikasi diri

individu mungkin akan terbatas pada tugas yang mudah, sedang, bahkan

paling sulit sesuai dengan batas kemampuannya untuk memenuhi tuntutan

perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat. Dimensi ini

memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang akan dicoba atau

dihindari. Individu akan mencoba tingkah laku yang dirasa mampu

dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada diluar batas

kemampuan yang dirasakannya.

(b) Dimensi Kekuatan (Strength)

Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau

pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah

mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.

Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan

dalam usahanya meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang

menunjang. Dimensi ini berkaitan langsung dengan dimensi level yaitu

semakin tinggi taraf kesulitasn tugas, semakin lemah keyakinan yang

dirasakan untuk menyelesaikannya.

(c) Dimensi Generalisasi (Generality)


38

Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku dimana individu

merasa yakin akan kemampuannya dan bagaimana seseorang mampu

menggeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya ketika

menghadapi suatu tugas atau pekerjaan, misalnya apakah ia dapat

menjadikan pengalaman sebagai hambatan atau sebagai kegagalan.

3. Proses Self Efficacy

Bandura (2008: 3-6) memaparkan proses self efficacy, antara lain proses kognitif,

proses motivasi, proses afketif dan proses seleksi. Berikut akan dijelaskan uraian

lengkap dari proses self efficacy:

a) Proses Kognitif

Semakin kuat self efficacy yang dirasakan, semakin tinggi tujuan dan

komitmen yang akan ditetapkan. Sebagian besar, tindakan dilakukan

berdasarkan pemikiran. Keyakinan orang sebagai bentuk dari antisipasi

mereka untuk membangun dan berlatih. Mereka yang memiliki self

efficacy yang tinggi akan membuat rencana yang didalamnya terdapat

panduan positif untuk menunjang kinerja mereka. Mereka yang meragukan

keyakinan akan memikirkan rencana dan banyak hal yang salah oleh

karena itu, sulit mencapai keberhasilan bila memiliki keraguan.

b) Proses Motivasi

Self efficacy memainkan peranan dalam pengaturan motivasi. Orang

memotivasi diri dan membimbing tindakan mereka untuk mengantisipasi

tugas melalui latihan. Mereka membentuk keyakinan tentang apa yang bisa

mereka lakukan, mengantisipasi kemungkinan yang dapat terjadi melalui


39

tindakan dan menetapkan tujuan mereka serta merencanakan program

untuk masa depan.

c) Proses Afektif

Proses afektif adalah keyakinan orang terhadap kemampuan mereka dalam

mengatasi stres dan depresi dalam situasi yang sulit. Self efficacy

memainkan peran penting dalam kecemasan. Orang yang percaya bahwa

mereka dapat mengontrol diri, maka pola pikir mereka tidak akan

terganggu. Tapi orang yang yakin bahwa mereka tidak dapat mengontrol

diri sendiri, akan mengalami kecemasan. Mereka selalu memikirkan

kekurangan mereka, melihat lingkungan penuh dengan bahaya dan

semakin parah dengan khawatir bila sesuatu akan terjadi. Pemikiran sperti

itu akan menyusahkan dan merusak mereka. Dalam hal ini, self efficacy

akan memberikan pengaruh terhadap kecemasan. Semakin tinggi self

efficacy, semakin berani orang menghadapi tantangan. Kecemasan tidak

hanya dipengaruhi oleh self efficacy tetapi juga dipengaruhi oleh pikiran

mereka.

d) Proses Seleksi

Orang adalah bagian dari produk lingkungan, oleh karena itu, self efficacy

membentuk arah kehidupan dan mempengaruhi jenis kegiatan orang dalam

lingkungan. Orang menghindari aktivitas diluar batas kemampuan mereka.

Tapi mereka mau melakukan tugas menantang dan menilai yang sekiranya

sesuai dengan kemampuan mereka. Melalui pilihan yang dibuat, orang

akan berkompetisi dalam menentukan program.


40

4. Indikator Self Efficacy

Albert Bandura (1986) mengungkapkan bahwa perbedaan Self-Efficacypada setiap

individu terletak pada tiga komponen, yaitu magnitude, strength dan generality.

Masing-masing mempunyai implikasi penting di dalam performansi, yang secara

lebih jelas dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, Magnitude (tingkat kesulitan tugas), yaitu masalah yang berkaitan

dengan derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada

pemilihan perilaku yang akan dicoba individu berdasar ekspektasi efikasi pada

tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia

persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi dan perilaku

yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya.

Kedua, Strength (kekuatan keyakinan), yaitu berkaitan dengan kekuatan pada

keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap pada

individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan, walaupun

mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang. Sebaliknya

pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan kemampuan diri akan mudah

digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menunjang.

Ketiga, Generality (generalitas), yaitu hal yang berkaitan cakupan luas bidang

tingkah laku di mana individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Individu

dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, tergantung pada pemahaman

kemampuan dirinya yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau

pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.
41

5. Cara mengukur Self-Efficacy

Keyakinan diri seseorang dapat di ukur menggunakan quesioner terlihat dari:

a) Aspek kesulitan tugas

Aspek ini berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang harus diselesaikan

seseorang dari tuntutan sederhana, moderat sampai yang membutuhkan

performansi maksimal (sulit).Individu yang yakin akan mendekati tugas-tugas

yang sulit sebagai tantangan untuk dikuasai dibanding sebagai ancaman untuk

dihindari. Individu tersebut mempunyai minat yang besar dan merupakan

keasyikkan tersendiri dalam melakukan aktivitas, menetapkan tujuan,

mempunyai komitmen yang tinggi dan mempertinggi usaha dalam

menghadapi kegagalan. Individu tersebut lebih cepat memulihkan

kepercayaan setelah mengalami kegagalan dan menunjukkan bahwa

kegagalan tersebut karena usaha yang tidak cukup dan kurangnya

pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Individu diarahkan pada

peningkatan prestasi, yang akhirnya menaikkan semangat dan keyakinannya.

Sebaliknya efikasi diri yang rendah berhubungan dengan sifat menyerah.

Individu akan memastikan kegagalan, membentuk keyakinan dan semangat

juang yang rendah. Aspek kesulitan tugas dijabarkan dalam pelatihan menjadi

sesi mencurahkan usaha yang tinggi/daya juang.

b) Aspek Luas bidang tugas/generalisasi

Aspek ini merupakan aspek yang berkaitan dengan luas bidang tugas yang

dilakukan. Beberapa keyakinan individu terbatas pada suatu aktivitas dan


42

situasi tertentu dan beberapa keyakinan menyebar pada serangkaian aktivitas

dan situasi yang bervariasi.

Individu dengan efikasi diri yang tinggi lebih percaya mampu

mempertahankan prestasi walaupun ada sumber-sumberstres dan cemas yang

berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Individu dengan efikasi diri yang

tinggi menggunakan cara-cara mencegah sumber stres dan cemas yaitu

dengan merencanakan terlebih dahulu beban kerja agar supaya dapat

menghindari kebingungan dan bekerja dalam batas waktu yang singkat. Pada

dasarnya efikasi diri yang tinggi mengindikasikan bahwa mereka yakin

mempunyai potensi untuk menangani sumber cemas dan stres lebih efektif

dibandingkan dengan efikasi diri yang rendah. Individu dengan efikasi diri

yang tinggi akan mampu menghadapi masalah secara aktif dan cenderung

tidak akan menghindari masalah. Aspek generalisasi dalam penelitian

dijabarkan dalam sesi meminimalisir sumber kecemasan dengan cara

mengatur waktu/manejemen waktu dan sesi membuat strategi.

c) Tingkat kekuatan

Aspek kekuatan berkaitan dengan tingkat kemampuan individu terhadap

aspek yang terkait dengan kekuatan/kemantapan individu terhadap

keyakinannya (Bandura, 1986). Efikasi diri merupakan salah satu dasar untuk

melakukan evaluasi diri yang berguna untuk memahami diri. Efikasi diri

merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri yang paling

berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari karena efikasi diri yang dimiliki

ikut mempengaruhi individu dalam menentukan suatu tindakan yang akan


43

dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, termasuk tantangan yang akan

dihadapi.

Berikut ini adalah beberapa strategi yang bagus untuk meningkatkan efikasi diri

siswa (Santrock, 2011: 217).

1. Ajarkan strategi-strategi spesifik.

Ajarkan siswa strategi-strategi spesifik, seperti menguraikan dan merangkum,

yang dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk berfokus pada tugas

mereka.

2. Bimbinglah siswa dalam menetapkan tujuan.

Bantulah mereka menciptakan tujuan jangka pendek setelah mereka membuat

tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek terutama membantu siswa untuk

menilai kemajuan mereka.

3. Pertimbangkan kemampuan menguasai.

Berikan penghargaan yang berkaitan dengan kinerja kepada siswa, yang

cenderung untuk menandakan kemampuan menguasai dari pada penghargaan

hanya untuk terlibat dalam tugas.

4. Kombinasikan pelatihan strategi dengan tujuan.

Bahwa kombinasi dari pelatihan strategi dan penetapan tujuan dapat

meningkatkan efikasi diri serta perkembangan keterampilan siswa. Berikan

umpan balik kepada siswa mengenai strategi pembelajaran mereka yang

berhubungan dengan kinerja mereka.

5. Berikan dukungan kepada siswa.


44

Dukungan positif dapat datang dari guru, orangtua, dan teman sebaya. Kadang-

kadang seorang guru hanya perlu mengatakan kepada siswa, ”kamu dapat

melakukannya”.

6. Pastikan bahwa siswa tidak terlalu emosional dan gelisah.

Ketika siswa terlalu khawatir dan merasa menderita mengenai prestasi mereka,

efikasi diri mereka hilang.

7. Berikan siswa model dewasa dan teman sebaya yang positif.

Karakteristik-karakteristik tertentu dari model ini dapat membantu siswa

mengembangkan efikasi diri mereka. Sebagai contoh, siswa yang mengamati

guru dan teman sebaya yang secara efektif mengatasi serta menguasai

tantangan sering kali mengadopsi perilaku model tersebut. Pemodelan

terhitung efektif terutama dalam meningkatkan efikasi diri ketika siswa

mengamati keberhasilan teman sebaya yang berkemampuan serupa dengan

mereka.

6. Pengaruh Self-EfficacyDalam Kemampuan Komunikasi Matematika

Matematika umumnya identik dengan perhitungan angka-angka dan rumus-

rumus, sehingga muncullah anggapan bahwa skill komunikasi tidak dapat

dibangun oleh pembelajaran matematika. padahal, pengembangan komunikasi

merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika. Permen Nomor 23 Tahun

2006 menyebutkan bahwa melalui pembelajaran matematika, siswa diharapkan

dapat mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media

lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.


45

Pembelajaran matematika selama ini lebih difokuskan pada aspek perhitungan

yang bersifat algoritmik. Sehingga tidak sedikit banyak siswa atau mahasiswa

yang pada umumnya dapat melakukan berbagai perhitungan matematik, tetapi

kurang menunjukkan hasil yang menggembirakan terkait penerapannya dalam

kehidupan sehari-hari. Pembelajaran matematika hendaknya tidak hanya

mencakup berbagai penguasaan konsep matematika yang algoritmik. Kemampuan

matematika aplikatif seperti menyajikan, menganalisis, dan menginterpretasikan

data, serta mengkomunikasikannya sangat perlu untuk dikuasai.

Menurut Greenes dan Schulman (dalam Aryan, 2008) menyebutkan bahwa,

komunikasi matematik memiliki peran: (1) kekuatan sentral bagi siswa dalam

merumuskan konsep dan strategi matematik; (2) modal keberhasilan bagi siswa

terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi

matematika; (3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk

memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai

dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain. Hal ini menunjukan bahwa

kemampuan komunikasi matematik merupakan hal yang penting dalam membantu

seseorang menyusun proses berpikirnya.

Komunikasi secara umum dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menyampaikan

suatu pesan dari pembawa pesan ke penerima pesan untuk memberitahu,

pendapat, atau perilaku baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui

media. Selanjutnya, kemampuan komunikasi matematis dapat diartikan sebagai

suatu kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui

peristiwa dialog atau saling berhubungan yang terjadi di lingkungan kelas, dimana
46

terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika

yang dipelajari siswa. Misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian

suatu masalah.

Sebuah penelitian telah menemukan bahwa ada hubungan yang erat antara self-

efficacy dan orientasi sasaran (goal orientasi). Self-efficacy dan achievement siswa

meningkat saat mereka menetapkan tujuan yang spesifik, untuk jangka pendek,

dan menantang. Meminta siswa untuk menetapkan tujuan jangka panjang adalah

hal yang baik seperti: “Saya ingin malanjutkan ke perguruan tinggi”, tetapi akan

sangat lebih baik kalau mereka juga membuat tujuan jangka pendek tentang apa

yang harus dilakukan seperti: “Saya harus mendapatka nilai A untuk tes

matematika yang akan datang”.

McCroskey (dalam Byers & Weber, 1995) pada penelitiannya mengindikasikan

bahwa seseorang yang memiliki tingkat kecemasan berbicara yang tinggi biasanya

tidak dianggap secara positif oleh orang lain. Mereka dianggap tidak responsif,

tidak komunikatif, sulit untuk mengerti, tidak memiliki ketertarikan sosial dan

seksual, tidak homogen, tidak dapat dipercaya, tidak berorientasi pada tugas, tidak

suka bergaul, tidak suka menjadi pemimpin dan tidak produktif dalam kehidupan

profesionalnya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa tingkat kecemasan berbicara

memberi pengaruh yang besar terhadap keberhasilan seseorang.

Tingkat kecemasan berbicara ini sangat berkaitan dengan self-efficacy seseoang

sekaligus berkaitan dengan kemampuan komunikasi matematik. Seseorang yang

memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung mampu mengurangi tingkat

kecemasannya berbicaranya. Lebih lanjut berdampak terhadap kemampuan


47

seseorang tersebut dalam berdiskusi secara aktif dan kreatif, responsif, dan

komunikatif dalam menyampaikan ide-ide nya terkhusus dalam bidang akademis.

Hal ini senada dengan hasil penelitian Indi (2009) yang menyebutkan bahwa

semain tinggi self-efficacy mahasiswa maka akan semakin rendah tingkat

kecemasannya berbicara di depan umum, dan sebaliknya semakin rendah self-

efficacy mahasiswa maka tingkat kecemasan berbicara di depan umum akan

semakin tinggi.

NCTM (2000) menyebutkan bahwa standar kemampuan yang seharusnya dikuasai


oleh siswa adalah sebagai berikut:
1. Mengorganisasi dan mengkonsilidasi pemikiran matematika dan

mengkomunikasikan kepada siswa lain.

2. Mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren dan jelas kepada siswa


lain, guru, dan lainnya.
3. Meningkatkan atau memperluas pengetahuan matematika siswa dengan cara
memikirkan pemikiran dan strategi siswa lain.
4. Menggunakan bahasa matematika secara tepat dalam berbagai ekspresi
matematika.
Komunikasi matematik mencakup komunikasi tertulis maupun lisan atau verbal

(LACOE, 2004). Komunikasi tertulis dapat berupa penggunaan kata-kata, gambar,

tabel, dan sebagainya yang menggambarkan proses berpikir siswa. Komunikasi

lisan dapat berupa pengungkapan dan penjelasan verbal suatu gagasan

matematika. Di sisi lain, proses komunikasi yang terjalin dengan baik dapat

membantu siswa membangun pemahamannya terhadap ide-ide matematika dan

membuatnya lebih mudah dipahami. Hal ini menunjukkan bahwa proses

komunikasi akan bermanfaat bagi siswa untuk meningkatkan pemahamannya

mengenai konsep-konsep matematika.


48

Dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematik seseorang, seseorang

tersebut harus mampu memunculkan self-efficacy dalam dirinya. Dengan self-

efficacy yang tinggi seseorang akan mampu mengatasi kecemasan berbicaranya

dalam menyampaikan ide-ide matematik, mampu menguasai situasi dan

menghasilkan hasil (outcomes) yang positif, yakin dan percaya bahwa mereka

dapat mengontrol hasil dari usaha yang telah dilakukannya. Lebih lanjut, dengan

self-efficacy yang tinggi mengurangi kemungkinan seseorang menghindari

pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk tugas-tugas yang menantang

seperti matematika. Menurut Goetz (2004), mengembangkan komunikasi

matematik tidak berbeda jauh dengan mengembangkan kemampuan komunikasi

pada umumnya.

Schunck (1995) menyebutkan bahwa ada beberapa strategi yang dapat dilakukan

untuk meningkatkan self-efficacy, diantaranya:

1. Mengajarkan siswa suatu strategi khusus sehingga dapat meningkatkan


kemampuannya untuk fokus pada tugas-tugasnya.
2. Memandu siswa dalam menetapkan tujuan, khususnya dalam membuat
tujuan jangka pendek setelah mereka mebuat tujuan jangka panjang.
3. Memberikan reward untuk performa siswa.
4. Mengkombinasikan strategi training dengan menekankan pada tujuan dan
memberi feedback pada siswa tentang hasil pembelajarannya.
5. Memberikan support atau dukungan pada siswa. Dukungan yang positif
dapat berasal dari guru seperti pernyataan “kamu dapat melakukan ini”,
orang tua dan peers.
6. Meyakinkan bahwa siswa tidak terlalu aroused dan cemas karena hal itu
justru akan menurunkan self-efficacy siswa.
7. Menyediakan siswa model yang bersifat positif seperti adult dan peer.
Karakteristik tertentu dari model dapat meningkatkan self-efficacy siswa.
Modelling efektif untuk meningkatkan self-efficacy khususnya ketika
siswa mengobservasi keberhasilan teman peer nya yang sebenarnya
mempunyai kemampuan yang sama dengan mereka.
49

Dapat disimpulkan scara umum bahwa,self-efficacyyang dimiliki seseorang

memberi pengaruh yang besar terhadap kemampuan komunikasi matematik. Hal

ini dimaksudkan bahwa semakin tinggi self-efficacyseseorang terhadap

kemampuan yang dimilikinya baik dalam merumuskan konsep, menyampaikan

ide, dan mempertajam ide untuk meyakinkan orang lain, maka semakin tinggi

pula kemampuan komunikasi matematiknya. Sebaliknya semakin rendah self-

efficacyseseorang maka semakin rendah pula kemampuan komunikasi

matematiknya.

C. Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) merupakan salah satu sarana untuk

membantu dan mempermudah dalam kegiatan belajar mengajar sehingga akan

terbentuk interaksi yang efektif antara peserta didik dengan pendidik, sehingga

dapat meningkatkan aktifitas peserta didik dalam peningkatan prestasi belajar.

Widjajanti (2008:1) mengatakan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) merupakan

salah satu sumber belajar yang dapat dikembangkan oleh pendidik sebagai

fasilitator dalam kegiatan pembelajaran. LKPD yang disusun dapat dirancang dan

dikembangkan sesuai dengan kondisi dan situasi kegiatan pembelajaran yang akan

dihadapi. Sementara itu, menurut Depdiknas (2008) LKPD adalah lembaran-

lembaran berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Trianto (2009 :

222) mendefinisikan bahwa LKPD adalah panduan peserta didik yang digunakan

untuk melakukan kegiatan penyelidikan dan pemecahan masalah. Lembar

kegiatan biasanya berupa petunjuk, langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu

tugas. Keuntungan penggunaan LKPD adalah memudahkan pendidik dalam


50

melaksanakan pembelajaran, bagi peserta didik akan belajar mandiri dan belajar

memahami serta menjalankan suatu tugas tertulis.

LKPD termasuk media cetak hasil pengembangan teknologi cetak yang berupa

buku dan berisi materi visual, seperti yang diungkapkan oleh Azar Arsyad (2004 :

29). Menurut Surachman yang dikutip oleh Sumarni ( 2004 : 15 - 16), LKPD

merupakan jenis hand out yang dimaksudkan untuk membantu peserta didik

belajar secara terarah. Menurut Hendro Darmodjo dan Jenny R. E. Kaligis (1992 :

40), LKPD merupakan sarana pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam

meningkatkan keterlibatan atau aktivitas peserta didik dalam proses belajar-

mengajar. Pada umumnya, LKPD berisi petunjuk praktikum, percobaan yang bisa

dilakukan di rumah, materi untuk diskusi, teka teki silang, tugas portofolio, dan

soal-soal latihan, maupun segala bentuk petunjuk yang mampu mengajak peserta

didik beraktivitas dalam proses pembelajaran.

Menurut Hidayah secara umum LKPD merupakan perangkat pembelajaran

sebagai pelengkap atau sarana pendukung Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP). LKPD berupa lembaran kertas yang berupa informasi maupun soal-soal

(pertanyaan-pertanyaan) yang harus dijawab oleh peserta didik. LKPD ini sangat

baik digunakan untuk menggalakkan keterlibatan peserta didik dalam belajar baik

dipergunakan dalam penerapan metode terbimbing maupun untuk memberikan

latihan. LKPD merupakan stimulus atau bimbingan guru dalam pembelajaran

yang akan disajikan secara tertulis, sehingga dalam penulisannya perlu

memperhatikan kriteria media grafis sebagai media visual untuk menarik

perhatian peserta didik. Paling tidak LKPD sebagai media kartu. Sementara isi
51

pesan LKPD harus memperhatikan unsur-unsur penulisan media grafis, hirarki

materi dan pemilihan pertanyaan-pertanyaan sebagai stimulus yang efisien dan

efektif.

Menurut Dhari dan Haryono (1998: 22) yang dimaksud dengan LKPD adalah

lembaran yang berisi pedoman bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan yang

terprogram. Setiap LKPD yang berisikan antara lain uraian singkat materi, tujuan

kegiatan, alat atau bahan yang diperlukan dalam kegiatan, langkah kerja

pertanyaan – pertanyaan untuk didiskusikan, kesimpulan hasil diskusi, dan latihan

ulangan. Jadi, LKPD bisa diartikan lembaran-lembaran yang digunakan peserta

didik sebagai pedoman dalam proses pembelajaran, serta berisi tugas yang

dikerjakan oleh peserta didik baik berupa soal maupun kegiatan yang akan

dilakukan peserta didik.

LKPD adalah lembar – lembar berisi tugas yang harus dikerjakan oleh peserta

didik. Lembar kegiatan biasanya berupa petunjuk dan langkah – langkah untuk

menyelesaikan tugas (Poppy, 2009 : 32). Untuk pembuatan LKPD ada dua hal

yang harus dikerjakan, yaitu mengikuti langkah – langkah penyusunan dan

memperhatikan aturan – aturan penyusunan LKPD sebagai media hands – out

pembelajaran.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa LKPD merupakan

lembaran yang berisi uraian singkat materi dan soal-soal yang disusun langkah

demi langkah secara teratur dan sistematis yang harus dikerjakan oleh peserta

didik dalam kegiatan pembelajaran, sehingga mempermudah pemahaman

terhadap materi pelajaran yang didapat. LKPD merupakan bahan cetak yang
52

didesain untuk latihan, dapat disertai pertanyaan untuk dijawab, daftar isian atau

diagram untuk dilengkapi. LKPD harus disusun dengan tujuan dan prinsip yang

jelas dikarenakan sangat berperan dalam meningkatkan aktivitas belajar peserta

didik.

Selain itu, penggunaan LKPD dalam pembelajaran dapat membantu guru untuk

mengarahkan peserta didiknya menemukan konsep-konsep melalui aktivitasnya

sendiri. LKPD termasuk media pembelajaran berbasis cetakan. Teks terprogram

merupakan salah satu jenis media cetakan yang banyak digunakan dalam kegiatan

pembelajaran. Buku teks terprogram menyajikan informasi secara terkendali,

dalam arti bahwa peserta didik hanya memiliki akses untuk melihat dan membaca

teks yang diinginkan langkah demi langkah. Teks informasi ini merupakan

stimulus yang diharapkan dapat menimbulkan respons belajar peserta didik.

LKPD sebagai media pembelajaran berbasis cetakan memiliki kelebihan dan

kelemahan. Kelebihan LKPD sebagai teks terprogram adalah:

a) Peserta didik dapat belajar dan maju sesuai dengan kecepatan masing-

masing.

b) Selain dapat mengulang materi dalam media cetakan, peserta didik akan

mengikuti urutan pemikiran secara logis.

c) Perpaduan teks dan gambar dalam halaman cetak sudah merupakan hal

yang biasa, hal ini dapat menambah daya tarik serta dapat memperlancar

pemahaman informasi yang disajikan dalam dua format, verbal dan

visual.

d) Khusus pada teks terprogram, peserta didik akan berpartisipasi

berinteraksi dengan aktif karena harus memberi respon terhadap


53

pertanyaan dan latihan yang disusun, peserta didik dapat segera

mengetahui benar atau salah jawaban.

e) Meskipun isi informasi media cetak harus diperbaharui dan direvisi

sesuai dengan perkembangan dan temuan-temuan baru dalam bidang

ilmu, materi tersebut dapat direproduksi dengan ekonomis dan

didistribusikan dengan mudah (Azhar Arsyad, 2009 : 38 - 39).

Sedangkan untuk kelemahan LKPD sebagai media cetakan yaitu :

a) Tidak dapat menampilkan gerak dalam halaman media cetakan.

b) Biaya pencetakan akan mahal jika menampilkan ilustrasi, gambar atau

foto yang berwarna-warni.

c) Proses pencetakan media sering kali memakan waktu beberapa hari

sampai berbulan-bulan,tergantung pada peralatan percetakan dan

kerumitan informasi pada halaman cetakan. d. Pembagian unit-unit

pelajaran dalam media cetakan harus dirancang sedemikian rupa

sehingga tidak terlalu panjang dan peserta didik menjadi bosan.

d) Jika tidak dirawat dengan baik, media cetakan cepat rusak atau hilang.

(Azhar Arsyad, 2009 : 39 - 40). 1)

1. Tujuan dan Manfaat penggunaan LKPD

Tujuan penggunaan LKPD dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:

a) Memberi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang perlu dimiliki oleh

peserta didik.

b) Mengecek tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah

disajikan.
54

c) Mengembangkan dan menerapkan materi pelajaran yang sulit

disampaikan secara lisan.

d) Membantu peserta didik dalam memperoleh catatan materi yang

dipelajari melalui kegiatan pembelajaran (Achmadi, 1996:35).

Dari tujuan di atas maka LKPD yang telah dirancang memiliki kegunaan bagi

para peserta didik antara lain :

a) Memberikan pengalaman kongkret bagi peserta didik.

b) Membantu variasi belajar.

c) Membangkitkan minat dan motivasi peserta didik.

d) Meningkatkan retensi belajar mengajar.

e) Memanfaatkan waktu secara efektif dan efisien (Hadi Sukamto,

1992/1993 : 2)

Melalui LKPD guru akan memperoleh kesempatan untuk memancing peserta

didik agar secara aktif terlibat dengan materi yang dibahas. Salah satu metode

yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang optimal dari pemanfaatan

LKPD adalah dengan menerapkan metode SQ3R (survey, Question, Read, Recite,

Review atau mensurvei, membuat pertanyaan, membaca, meringkas, dan

mengulang).

a) Pada kegiatan survey, peserta didik membaca secara sepintas keseluruhan

materi, termasuk membaca ringkasan materi jika ringkasan diberikan.

b) Pada tahap question, peserta didik diminta untuk menuliskan beberapa

pertanyaan yang harus mereka jawab sendiri pada saat membaca materi

yang diberikan.
55

c) Pada tahap read, peserta didik dirangsang untuk memperhatikan

pengorganisasian materi, membubuhkan tanda-tanda khusus pada materi

yang diberikan. Misalnya peserta didik diminta membubuhkan tanda

kurung pada ide utama, menggaris bawahi rincian yang menunjang ide

utama, dan menjawab pertanyaan yang sudah disiapkan pada tahap

question. d) Recite menuntut peserta didik untuk menguji diri mereka

sendiri pada saat membaca dan peserta didik diminta untuk meringkas

materi dalam kalimat mereka sendiri.

d) Review, dimaksudkan agar peserta didik dapat melihat kembali materi

yang sudah selesai dipelajari sesaat setelah selesai mempelajari materi

tersebut. Dalam pengembangan LKPD kita harus berusaha memasukkan

unsur-unsur secara terintegrasi.

Sedangkan manfaat yang diperoleh dengan penggunaan LKPD dalam proses

pembelajaran adalah sebagai berikut:

a) Mengaktifkan peserta didik dalam proses pembelajaran

b) Membantu peserta didik dalam mengembangkan konsep

c) Melatih peserta didik dalam menemukan dan mengembangkan

keterampilan proses

d) Sebagai pedoman guru dan peserta didik dalam melaksanakan proses

pembelajaran.

e) Membantu peserta didik memperoleh catatan tentang materi yang

dipelajari melalui kegiatan belajar

f) Membantu peserta didik untuk menambah informasi tentang konsep yang

dipelajari melalui kegiatan belajar secara sistematis


56

2. Macam – Macam LKPD

Ada dua macam LKPD yang dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah,

yaitu:

a) LKPD tak berstruktur.

LKPD tak berstruktur adalah lembaran yang berisi sarana untuk materi

pelajaran, sebagai alat bantu kegiatan peserta didik yang dipakai untuk

menyampaikan pelajaran. LKPD merupakan alat bantu mengajar yang dapat

dipakai untuk mempercepat pembelajaran, memberi dorongan belajar pada

tiap individu, berisi sedikit petunjuk, tertulis atau lisan untuk mengarahkan

kerja pada peserta didik.

b) LKPD berstruktur.

LKPD berstruktur memuat informasi, contoh dan tugas-tugas. LKPD ini

dirancang untuk membimbing peserta didik dalam satu program kerja atau

mata pelajaran, dengan sedikit atau sama sekali tanpa bantuan pembimbing

untuk mencapai sasaran pembelajaran. Pada LKPD telah disusun petunjuk

dan pengarahannya, LKPD ini tidak dapat menggantikan peran guru dalam

kelas. Guru tetap mengawasi kelas, memberi semangat dan dorongan belajar

dan memberi bimbingan pada setiap peserta didik . Lembar kerja dapat

digunakan sebagai pengajaran sendiri, mendidik peserta didik untuk mandiri,

percaya diri, disiplin, bertanggung jawab dan dapat mengambil keputusan.

LKPD dalam kegiatan belajar mengajar dapat dimanfaatkan pada tahap

penanaman konsep (menyampaikan konsep baru) atau pada tahap penanaman

konsep (tahap lanjutan dari penanaman konsep). Pemanfaatan lembar kerja


57

pada tahap pemahaman konsep berarti LKPD dimanfaatkan untuk

mempelajari suatu topik dengan maksud memperdalam pengetahuan tentang

topik yang telah dipelajari pada tahap sebelumnya yaitu penanaman konsep.

Dalam membuat LKPD agar tepat dan akurat, maka harus dipenuhi syarat – syarat

sebagai berikut:

a) Susunan Kalimat dan kata-kata diutamakan:

(1) Sederhana dan mudah dimengerti;

(2) Singkat dan jelas;

(3) Istilah baru hendaknya diperkenalkan terlebih dahulu.

b) Gambar dan ilustrasi hendaknya dapat:

(1) Membantu peserta didik memahami materi;

(2) Menunjukkan cara dalam menyusun sebuah pengertian;

(3) Membantu peserta didik berpikir kritis;

(4) Menentukan variabel yang akan dipecahkan dalam kegiatan

pembelajaran.

c) Tata letak hendaknya:

(1) Membantu peserta didik memahami materi dengan menunjukkan urutan

kegiatan secara logis dan sistematis;

(2) Menunjukkan bagian-bagian yang sudah diikuti dari awal hingga akhir;

(3) Desain harus menarik. (Depdikbud, 1996/1997:25- 26)

3. Syarat – Syarat Pembuatan LKPD


58

Menurut Darmojo dan Kaligis (1994), LKPD yang baik haruslah memenuhi

berbagai persyaratan misalnya: syarat didaktik, syarat konstruksi dan syarat

teknis.

a) Syarat didaktik.

Syarat didaktik mengatur tentang penggunaan LKPD yang bersifat

universal, dapat digunakan dengan baik untuk peserta didik yang lamban

atau yang pandai. LKPD lebih menekankan konsep, dan yang terpenting

dalam LKPD ada variasi stimulus melalui berbagi media dan kegiatan

peserta didik . LKPD diharapkan mengutamakan pada pengembangan

kemampuan komunikasi sosial, emosional, moral dan estetika.

Pengalaman yang dialami peserta didik ditentukan oleh tujuan

pengembangan pribadi peserta didik . Sebagai salah satu bentuk sarana

berlangsungnya proses belajar-mengajar haruslah memenuhi persyaratan

didaktik, artinya suatu LKPD harus mengikuti asas belajar-mengajar yang

efektif, yaitu:

(1) Memperhatikan adanya perbedaan individual, sehingga LKPD yang

baik itu adalah yang dapat digunakan baik oleh peserta didik yang

lamban, yang sedang maupun yang pandai;

(2) Pada proses untuk menemukan konsep-konsep sehingga LKPD dapat

berfungsi sebagai petunjuk jalan bagi peserta didik untuk mencari

tahu;

(3) Memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan

peserta didik;
59

(4) Dapat mengembangkan kemampuan komunikasi sosial, emosional,

moral, dan estetika pada diri peserta didik;

(5) Pengalaman belajarnya ditentukan oleh tujuan pengembangan

pribadi peserta didik (intelektual,emosional dan sebagainya), bukan

ditentukan oleh materi bahan pelajaran.

b) Syarat konstruksi.

Syarat konstruksi adalah syarat-syarat yang berkenaan dengan penggunaan

bahasa, susunan kalimat, kosa kata, tingkat kesukaran, dan kejelasan yang

pada hakikatnya haruslah tepat guna dalam arti dapat dimengerti oleh

peserta didik, seperti:

(1) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan

peserta didik;

(2) Menggunakan struktur kalimat yang jelas;

(3) Memiliki taat urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat

kemampuan peserta didik;

(4) Menghindari pertanyaan yang terlalu terbuka;

(5) Tidak mengacu pada buku sumber yang diluar kemampuan

keterbacaan peserta didik;

(6) Menyediakan ruangan yang cukup untuk memberi keleluasaan pada

peserta didik untuk menulis maupun menggambarkan pada LKPD;

(7) Menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek;

(8) Lebih banyak menggunakan ilustrasi daripada katakata, sehingga

akan mempermudah peserta didik dalam menangkap apa yang

diisyaratkan LKPD;
60

(9) Memiliki tujuan belajar yang jelas serta manfaat dari pelajaran itu

sebagai sumber motivasi;

(10) Mempunyai identitas untuk memudahkan administrasinya.

c) Syarat teknis.

(1) Tulisan: (a) Menggunakan huruf cetak dan tidak menggunakan huruf

latin atau romawi; (b) Menggunakan huruf tebal yang agak besar,

bukan huruf biasa yang diberi garis bawah; (c) Menggunakan tidak

lebih dari 10 kata dalam satu baris; (d) Menggunakan bingkai untuk

membedakan kalimat perintah dengan jawaban peserta didik; dan (e)

Mengusahakan agar perbandingan besarnya huruf dengan besarnya

gambar serasi.

(2) Gambar Gambar yang baik untuk LKPD adalah yang dapat

menyampaikan pesan/isi dari gambar tersebut secara efektif kepada

penguna LKPD. Yang lebih penting adalah kejelasan isi atau pesan

dari gambar itu secara keseluruhan.

(3) Penampilan Penampilan adalah hal yang sangat penting dalam sebuah

LKPD. Apabila suatu LKPD ditampilkan dengan penuh kata-kata,

kemudian ada sederetan pertanyaan yang harus dijawab oleh peserta

didik, hal ini akan menimbulkan kesan jenuh sehingga membosankan

atau tidak menarik. Apabila ditampilkan dengan gambarnya saja, itu

tidak mungkin karena pesannya atau isinya tidak akan sampai. Jadi

yang baik adalah LKPD yang memiliki kombinasi antara gambar dan

tulisan.
61

Pengembangan LKPD diharapkan dapat digunakan untuk membantu proses

pembelajaran. Sehingga pembelajaran tidak perlu terlalu banyak menyajikan

materi di kelas. Dengan demikian LKPD merupakan suatu media yang berupa

lembar kegiatan yang membuat petunjuk dalam melaksanakan proses

pembelajaran untuk menemukan suatu fakta ataupun konsep.

Mengenai format LKPD yang dikembangkan, Suyanto dan Sartinem (2009: 12)

telah mengembangkan suatu LKPD yang memperhatikan bekal ajar awal peserta

didik dengan prinsip eksplisitisme dan ketuntasan serta menerapkan pendekatan

keterampilan proses dengan format: judul, tujuan pembelajaran, wacana-wacana

materi berupa pendahuluan, topik pembelajaran, kegiatan pralaboratorium/

penyajian masalah oleh guru yang harus dipecahkan peserta didik, dan Kegiatan

Laboratorium yang berupaa instruksi melaksanakan kegiatan kerja yang telah

direncanakan.

D. Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR)

“Mathematics must be connected to reality” dan “mathematics as human activity”

merupakan filosofi dasar dari pendidikan matematika realistik yaitu sebuah teori

belajar mengajar dalam pendidikan matematika yang pertama kali dikenalkan dan

dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal.

Dalam filosofinya bahwa matematika haruslah dekat, terkoneksi dan harus relevan

dengan situasi peserta didik dengan kata lain bahwa sifat realistik harus

terintegrasi dalam pembelajaran matematika. Namun prinsip dasar yang harus

dipahami mengenai kerealistikan matematika adalah bukan hanya terbatas pada

istilah “real word” yang secara umum diartikan sebagai dunia nyata. Pada
62

dasarnya penggunaan kata realistik berasal dari bahasa Belanda yaitu “zich

realiseren” yang berarti untuk dibayangkan atau to imagine.

Panhuizen (Wijaya,2012) mengemukakan bahwa penggunaan kata realistik tidak

sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata tetapi lebih

mengacu pada fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam menempatkan

penekanan penggunaan suatu situasi yang dapat dibayangkan (imagineable) oleh

siswa.

Salah satu permasalahan terbesar pada pembelajaran matematika modern ialah

menyajikan matematika sebagai produk jadi, siap pakai, abstrak dan diajarkan

secara mekanistik. Guru mendiktekan rumus dan prosedur pada peserta didik.

Akibatnya, dari hasil pengamatan terlihat bahwa di dalam kelas peserta didik

menggunakankan prosedur tanpa memahaminya.

Di lain pihak, Menghadirkan situasi yang dapat dibayangkan pada saat

pembelajaran matematika bagi peserta didik merupakan salah satu langkah

krusial dalam menciptakan kebermaknaan matematika. Freudental (Wijaya,2012)

menyatakan bahwa proses belajar siswa hanya akan terjadi jika

pengetahuan(knowledge) yang dipelajari bermakna bagi siswa. Proses

pembelajaran yang dilaksanakan dalam suatu konteks akan menjadi bermakna

bagi peserta didik. Senada dengan hal ini, Elaine B. Johnson dalam bukunya

bejudul “Contextual Teaching&Learning” mengemukakan bahwa “ketika murid

dapat mengaitkan isi mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu

pengetahuan alam, atau sejarah dengan pengalaman mereka sendiri, mereka

menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar”.


63

Webster’s New World Dictionary (Johnson,2014) mengartikan makna sebagai

arti penting atau maksud dari sesuatu. Pandangan para ahli mengenai pentingnya

menghadirkan kebermaknan dalam pembelajaran adalah relavan dengan

kebutuhan alamiah syaraf manusia. Otak berusaha memberi arti bagi suatu

informasi baru dengan cara menghubungkannya dengan pengetahuan dan

keterampilan yang sudah ada, otak berusaha menghubungkan tugas-tugas baru

dengan tugas-tugas yang telah ada (Johnson,2014).

Beberapa pandangan para ahli ini menunjukkan bahwa menghadirkan masalah

realistik yang biasa juga disebut permasalahn kontekstual dalam pembelajaran

matematika adalah aktivitas penting yang akan membantu peserta didik

menemukan makna dalam pembelajaran matematika. Permasalahan realistik

seperti yang telah disinggung sebelumnya adalah bukan hanya melibatkan

masalah ril yang dapat ditemukan langsung dalam keseharian peserta didik

melainkan juga menghadirkan hal-hal yang dapat dengan mudah dibayangkan dan

mudah diakses oleh pikiran peserta didik. Permainan, alat peraga, cerita atau

bahkan konsep matematika formal adalah beberapa hal yang dapat berperan

sebagai masalah realistik dalam matematika. Wijaya (2012) dalam gagasannya

menyatakan bahwa penggunaan masalah realistik dalam Pendidikan Matematika

Realistik memiliki posisi yang jauh berbeda dengan penggunaan masalah realistik

dalam pendekatan mekanistik. Dalam Pendidikan Matematika Realistik,

permasalahan realistik digunakan sebagai fondasi dalam membangun konsep

matematika atau biasa juga disebut sebagai sumber untuk pembelajaran.

Sedangkan dalam pendekatan mekanistik, permasalahan realistik ditempatkan


64

sebagai bentuk aplikasi suatu konsep matematika sehingga sering juga disebut

sebagai kesimpulan dalam proses pembelajaran.

Fungsi dan peranan konteks dalam pembelajaran matematika yang dikemukakan

oleh Treffers dan Grofee (Wijaya,2012) adalah sebagai berikut:

1. Pembentukan konsep (concept forming)

Fungsi paling fundamental dari konteks dalam Pendidikan Matematika

Realistik adalah memberikan siswa suatu akses yang alami dan motivatif

menuju konsep matematika. Konteks harus memuat konsep matematika tetapi

dalam suatu kemasan yang bermakna bagi siswa sehingga konsep matematika

tersebut dapat dibangun atau ditemukan kembali secara alami oleh siswa.

2. Pengembangan model (model forming)

Konteks berperan dalam mengembangkan kemampuan siswa untuk

menemukan betbagai strategi untuk menemukan atau membangun konsep

matematika. Strategi tersebut bisa berupa rangkaian model yang berfungsi

sebagai alat untuk menerjemahkan konteks dan juga alat untuk mendukung

proses berpikir.

3. Penerapan (applicability)

Pada posisi ini peran konteks bukan lagu untuk mendukung penemuan dan

pengembangan konsep matematika tetapi untuk menunjukkan bagaimana suatu

konsep matematika ada di realita dan digunakan dalam aktivitas keseharian.

4. Melatih kemampuan khusus (specific abilities) dalam suatu situasi terapan

berupa kemampuan melakukan identifikasi, generalisasi, dan pemodelan.


65

Berdasarkan keempat fungsi dan peranan keterlibatan konteks dalam

pembelajaran matematika, maka adalah suatu keharusan bagi praktisi pendidikan

dalam hal ini adalah guru matematika untuk dapat meningkatkan kapasitas dalam

mengembangkan konteks pada suatu konsep matematika. Adapun beberapa hal

yang dapat dilakukakan dalam mengembangkan konteks adalah sebagai berikut:

1. Konteks disusun seatraktif mungkin dan dapat mengoptimalkan minat siswa

untuk belajar matematika. Pemilihan konteks dapat disusaikan dengan

tingkatan siswa. Menghadirkan aneka permainan dan cerita-cerita fiktif

merupakan alternative konteks yang bisa disajikan untuk siswa SD tingkat

awal. Sedangkan untuk siswa SD tingkat atas dan siswa SMP mungkin

menghadirkan permasalahan-permasalahan actual kekinian yang dekat dengan

aktivitas keseharian mereka adalah alternatif yang bisa dipilih.

2. Guru perlu memikirkan pemilihan situasi yang relevan untuk suatu konsep

matematika yang sering dijumpai. Selanjutnya situasi yang telah ditetapkan ini

digunakan untuk membangun konsep yang bersangkutan.

3. Menghindari isu-isu yang besifat sensitif yaitu hal-hal yang berkaitan dengan

kehidupan pribadi siswa.

4. Memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki siswa dan menghindari

keberpihakan terhadap suatu gender.

Selain prinsip pelibatan masalah realistik pada pembelajarannya, prinsip

selanjutnya dari PMR adalah bahwa matematika haruslah terintegrasi sebagai

aktivitas manusia sehingga dalam pembelajaran matematika, peserta didik berhak

diberikan akses untuk menemukan kembali ide dan konsep dasar. Menurut

Freudenthal matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai produk


66

jadi yang siap pakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam

mengkonstruksi konsep matematika.

Bersinergi dengan hal ini, Van den Hoven berpendapat bahwa untuk

merealisasikan pembelajaran matematika realistik dibutuhkan beberapa unsur,

yaitu:

a. Motivating and involving students

b. Using concrete materials and contextual situations

c. Orchestrating interactive instruction and group work

d. Productive activities (student learn mathematics)

e. Activities fitting into a bigger picture: cumulative learning

Pendidikan matematika realistik juga memiliki tiga prinsip untuk desain dan

pengembangan pendidikan matematika (Asikin, 2010). Ketiga prinsip tersebut

adalah:

1) Penemuan terbimbing (guided reinvention) dan matematisasi progresif

(progressive mathematization)

Menurut prinsip reinvention bahwa dalam pembelajaran matematika

perlu diupayakan agar siswa mempunyai pengalaman dalam

menemukan sendiri berbagai konsep, prinsip atau prosedur, dengan

bimbingan guru. Seperti yang dikemukakan oleh Hans Freudenthal

(1990:37) bahwa matematika merupakan aktivitas insani dan harus

dikaitkan dengan realitas. Dengan demikian, ketika siswa melakukan

kegiatan belajar matematika maka dalam dirinya terjadi proses

matematisasi. Terdapat dua macam proses matematisasi, yaitu


67

matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi

horizontal merupakan proses penalaran dari dunia nyata ke dalam

simbol-simbol matematika. Sedangkan matematisasi vertikal

merupakan proses penalaran yang terjadi di dalam sistem matematika

itu sendiri, misalnya: penemuan cara penyelesaian soal, mengkaitkan

antar konsep-konsep matematis atau menerapkan rumus-rumus

matematika.

2) Fenomenologi didaktis (didactical phenomenology)

Yang dimaksud fenomenologi didaktis adalah para siswa dalam

mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip atau materi lain yang

terkait dengan matematika bertolak dari masalah-masalah kontekstual

yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi, atau setidaknya dari

masalah-masalah yang dapat dibayangkan siswa sebagai masalah nyata.

3) Mengembangkan model-model sendiri (self-developed model)

Yang dimaksud mengembangkan model adalah dalam mempelajari

konsep-konsep, prinsip-prinsip atau materi lain yang terkait dengan

matematika, dengan melalui masalah-masalah konteksual, siswa perlu

mengembangkan sendiri model-model atau cara-cara menyelesaikan

masalah tersebut. Model-model atau cara-cara tersebut dimaksudkan

sebagai wahana untuk mengembangkan proses berpikir siswa, dari

proses berpikir yang paling dikenal siswa, ke arah proses berpikir yang

lebih formal. Jadi dalam pembelajaran guru tidak memberikan

informasi atau menjelaskan tentang cara penyelesaian masalah, tetapi


68

siswa sendiri yang menemukan penyelesaian tersebut dengan cara

mereka sendiri.

Ketiga prinsip di atas oleh de Lang (1987:75) dijabarkan dalam 5 karakteristik,

yakni:

1) Penggunaan konteks sebagai titik awal pembelajaran matematika.

Pembelajaran matematika dimulai dari masalah-masalah yang nyata

(real) yang dekat dengan siswa atau sering dijumpai siswa sehari-hari.

Dari masalah nyata tersebut kemudian siswa menyatakan ke dalam

bahasa matematika, selanjutnya siswa menyelesaikan masalah itu

dengan alat-alat yang ada dalam matematika, kemudian siswa

membahasakan lagi jawaban yang diperoleh ke dalam bahasa sehari-

hari. Dengan langkah-langkah yang ditempuh tersebut diharapkan siswa

akan dapat melihat kegunaan matematika sebagai alat bantu untuk

menyelesaikan masalah-masalah kontekstual. Dalam belajar siswa akan

lebih mudah memahami konsep jika ia tahu manfaat atau kegunaannya.

Karena sesuatu yang bermakna akan lebih mudah dipahami siswa dari

pada yang tidak bermakna. Dalam hal ini yang dimaksud bermakna

adalah informasi yang baru saja diterima mempunya kaitan dengan

informasi yang sudah diketahui siswa sebelumnya. Dengan penekanan

pada aspek aplikasi, pembelajaran matematika akan lebih bermakna.

2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif.

Model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif.

Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan dari pengetahuan dan


69

matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat

formal.

3) Pemanfaatan hasil konstruksi peserta didik.

Peserta didik memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi

pemecahan masalah sehingga diharapkan akan muncul strategi yang

bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan

untuk pengembangan konsep matematika. Dalam hal ini, guru berperan

sebagai fasilitator dan motivator, guru membimbing peserta didik untuk

mengkontruksi sendiri pengetahuannya.

4) Interaktivitas.

Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan

juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar

peserta didik akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika peserta

didik saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.

Dalam proses pembelajaran diharapkan terjadi interaksi antara guru

dengan peserta didik. Selain itu diharapkan terjadi pula interaksi antara

peserta didik dengan peserta didik yaitu dalam mengkontruksi

pengetahuannya mereka saling berdisksusi, mengajukan argumentasi

dalam menyelasaikan masalah. Jika siswa menemui kesulitan peserta

didik menanyakan kepada guru sehingga terjadi interaksi antara peserta

didik dengan guru.

5) keterkaitan.

Pendidikan Matematika Realistik menempatkan keterkaitan antar

konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam


70

proses pembelajaran. Melalui keterkaitan, satu pembelajaran

matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari

satu konsep matematika secara bersamaan. Dalam hal ini pokok

bahasan dalam materi pelajaran tidak berdiri sendiri tetapi terintegrasi

dengan yang lainnya, misalnya mengkaitkan antar penjumlahan dengan

perkalian, perkalian dengan pengukuran, dsb.

Dalam pembelajaran, proses yang diharapkan terjadi adalah pertama siswa dapat

membuat model situasi yang dekat dengan siswa, kemudian dengan proses

generalisasi dan formalisasi model situasi diubah kedalam model tentang masalah

(model of). Selanjutnya, dengan proses matematisasi horizontal model tentang

masalah berubah menjadi model untuk (model for). Setelah itu, dengan proses

matematisasi vertikal model untuk berubah menjadi model pengetahuan

matematika formal.

Proses pembelajaran tersebut oleh de Lange (1987: 72) digambarkan dalam suatu

diagram sebagai berikut:

Situasi Nyata

Matematisasi dalam Matematisasi dan Refleksi


Aplikasi

Abstrak dan Formalisasi

Gambar 2.2 Proses Pembelajaran oleh de Lange


71

Menurut Ahmad Fauzan (2003), pendekatan PMR dicirikan oleh beberapa hal

sebagai berikut:

1) Matematika dipandang sebagai kegiatan maniusia sehari-hari sehingga

memecahkan masalah-masalah kontekstual merupakan hal yang esensial

dalam pembelajaran.

2) Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing

mathematics).

3) Siswa diberikan kesempatan untuk menemukan konsep-konse matematika

di bawah bimbingan orang dewasa (guru).

4) Proses pembelajaran berlangsung secara interaktif dimana siswa menjadi

fokus dari semua aktivitas di kelas. Kondisi ini mengubah otoritas guru

yang semula sebagai validator, menjadi seorang pembimbing dan

motivator.

Dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik guru

mengarahkan siswa untuk menggunakan berbagai situasi dan kesempatan untuk

menemukan kembali konsep-konsep matematika dengan caranya sendiri, konsep

matematika diharapkan muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari

penyelasaian yang berkaitan dengan konteks dan secara perlahan siswa

mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih tinggi.

Konteks dalam PMRI merujuk pada situasi dimana soal ditempatkan, sedemikian

hingga siswa dapat menciptakan aktivitas matematik dan melatih ataupun

menerapkan pengetahuan matematika yang dimilikinya. Konteks dapat pula


72

berupa matematika itu sendiri, sepanjang siswa dapat merasakannya sebagai

sesuatu hal yang riil.

Aspek-aspek pembelajaran matematika melalui pendekatan Matematika Realistik

adalah:

1. Pendahuluan

a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “real” bagi

siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, serta

sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.

b. Menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan motivasi kepada

siswa.

2. Pengembangan

a. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik

secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.

b. Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan

memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami

jawaban temannya, setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan

ketidaksetujuannya dan mencari alternatif penyelesaian yang lain.

3. Penutup/Penerapan

a. Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau

terhadap hasil pelajaran.

b. Memberikan tindak lanjut berupa PR atau tugas.

Berikut ini diberikan salah satu contoh pemecahan masalah untuk siswa kelas VIII

SMP.
73

Uraian Kegiatan Pembelajaran Prinsip PMRI


Standar Kompetensi: Memahami dan menyelesaikan
sistem persamaan linear dua variabel dan
menggunakannya dalam pemecahan masalah
Kompetensi Dasar: Menyelesaikan sistem persamaan
linear dua variabel
Indikator:
1. Menentukan penyelesaian SPLDV dengan
substitusi, eleminasi dan grafik.
2. Membuat model matematika dari masalah sehari
hari yang melibatkan SPLDV.
Materi Pokok: Sistem Persamaan Linier Dua Variabel
Langkah-langkah Pembelajaran:
1. Memotivasi siswa (memfokuskan perhatian siswa)
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran
3. Memberikan apersepsi
4. Memberikan masalah: Memberikan masalah
Irma dan Ratna teman sekelas. Mereka mempunyai kontekstual
uang tabungan yang akan digunakan untuk
membeli kaos dan celana panjang. Pada waktu
liburan sekolah mereka belanja ke supermarket
membeli kaos dan celana panjang jeans. Semua
kaos berharga sama dan semua celana panjang
jeans berharga sama. Irma membeli 3 kaos dan 2
jeans seharga Rp. 280.000,00. Ratna membeli 4
kaos dan 3 jeans kaos dengan harga total Rp
400.000,00. Berapa harga satu kaos dan satu celana
jeans?
Untuk menyelesaikan masalah tersebut maka dalam Guided
pembelajaran dibuat masalah yang lebih sederhana: reinvention/matematisasi
(1) a. Berapa kemungkinan harga masing-masing progresif
barang itu?
b. Adakah kemungkinan harga yang lain?
Jelaskan
c. Mungkinkah harga kaos Rp 95.000,00?
Jelaskan
(2) a. Berapa harga 6 kaos dan 4 jeans? Fenomena didaktis
b. Berapakah harga pembelian kaos dan jeans
yang kamu ketahui lainnya?
Kamu dapat menuliskan model dari pembelian
Irma. Jika K menyatakan harga kaos dan J
menyatakan harga jeans, maka model
matematikanya adalah 3K + 2 J = 280.000
Persamaan tersebut dinamakan persamaan linear
dua variabel.
(3) a. Bagaimana model untuk pembelian 6 kaos
dan 4 jeans?
74

b. Bagaimana hubungan dengan persamaan


awalnya?
(4) Periksalah apakah untuk K = 60.000 dan J
=50.000 persamaan bernilai benar? Carilah tiga
pasangan lain, apakah juga bernilai benar? Nilai K
dan J yang membuat persamaan linear menjadi
bernilai benar dinamakan penyelesaian (solusi)
dari persamaan
(5) Ratna membeli 4 kaos dan 3 jeans kaos dengan Pengembangan model
harga total Rp 400.000,00 sendiri
a. Tulislah persamaan untuk pembelian Ratna
b. Carilah 3 penyelesaian persamaan itu tanpa
memperhatikan pembelian Irma.
(6) Lihat kembali penyelesaian untuk pembelian Irma Guided
dan Ratna. reinvention/matematisasi
Gunakan informasi-informasi itu untuk progresif
menemukan harga satu kaos dan satu jeans.
(untuk mengarahkan pada penyelesaian informal)
(7) Mempresentasikan ide-ide penyelesaian Interaktivitas
(8) Dina menyelesaikan dengan ide substitusi, Rini
dengan ide eleminasi, Dimas dengan ide grafik.
(Untuk mengarahkan pada cara penyelesaian
formal.
(9) Membuat rangkuman cara penyelesaian secara Interaktivitas/integrasi
substitusi, eleminasi maupun garfik
(10) Penilaian: Penilaian otentik.
Penilaian menggunakan pengamatan dilakukan
selama proses pembelajaran dan kinerja siswa

Dari contoh di atas nampak bahwa dalam pembelajaran dengan PMRI dimulai

dengan masalah kontekstual, masalah nyata yang berkaitan dengan kehidupan

sehari-hari. Kemudian dilanjutkand engan langkah-langkah guided

reinvetion/matematisasi progresif, kontribusi siswa, pengembangan model sendiri,

interwining dan interaktifitas sampai dengan dilaksanakannya penilaian outentik

(penilaian yang sebenarnya). Jika hal ini dilaksanakan secara kontinu pada

pembelajaran matematika di kelas maka akan melatih siswa menguasai

keterampilanketerampilan dalam memecahkan masalah, karena siswa sudah


75

terbiasa melaksanakan pembelajaran PMRI. Dengan demikian akan meningkatkan

kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika.

Dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika di SMP tidaklah

cukup hanya diberikan sejumlah besar pengetahuan kepada para siswa, akan tetapi

para siswa perlu memiliki keterampilan untuk membuat pilihan-pilihan dan

menyelesaikan berbagai masalah dengan menggunakan penalaran yang logis.

Keterampilan pemecahan masalah perlu diberikan kepada siswa SMP agar mereka

dapat memecahkan masalah yang dihadapi baik masalah yang berkaitan dengan

materi matematika maupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Keterampilan menyelesaikan masalah tersebut akan dicapai siswa jika dalam

pembelajaran guru mengkondisikan siswa untuk dapat mengkontruksi

pengetahuannya dan memfasilitasi siswa untuk melakukan aktivitas belajar yang

melibatkan pemecahan masalah, yakni pembelajaran dengan pendekatan

Pendidikan Matematika Realistik. Karena prinsip-prinsip dan karakteristik dari

pendekatan PMR adalah berfokus pada pemecahan masalah. Hal tersebut akan

mengkondisikan siswa untuk selalu berusaha memecahkan masalah tidak hanya

sekedar mengetahui atau menghafal rumus-rumus matematika, sehingga

kemampuan siswa dalam pemecahan masalah akan meningkat. Dengan demikian,

implementasi PMRI di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu inovasi

pendidikan yang menyangkut produk dan proses, karena berhubungan dengan

pengembangan dan penggunaan kurikulum baru dan perubahan praktik

pembelajaran matematika di sekolah.


76

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian tinjauan teoritis dan kerangka pikir di atas, maka hipotesis

penelitian ini adalah:

H0 = LKPD dengan pendekatan PMR efektif dalam meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah dan self efficacy siswa

H1 = LKPD dengan pendekatan PMRtidak efektif dalam meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah dan self efficacy siswa

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang mendukung pengembangan bahan ajar berupa LKPD adalah

penelitian yang dilakukan oleh Pusfarini (2016). Adapun judul penelitian yang

dilakukan oleh Pusfarini tersebut adalah dengan judul “Pengembangan Lembar

Kerja Peserta Didik (LKPD) Model Pembelajaran Berbasis Masalah Yang

Mengakomodasi Gender Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kreatif

Siswa Smp Pada Materi Sains”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan ajar yang dikembangkan berupa

modul materi sains dengan model pembelajaran berbasis masalah yang

mengakomodasi gender siswa SMP pada materi sains telah teruji dengan isi dan

konstruk memenuhi persyaratan substantif-pedagogis, teknis, dan utility dengan

kategori baik yang dipersiapkan untuk menumbuhkan keterampilan berpikir

kreatif siswa. LKPD yang dikembangkan efektif digunakan dalam implementasi

pembelajaran berbasis masalah dengan tingkat keefektifan tinggi (N-Gain =0,68)

terutama pada topik Indera Pendengaran dan Sistem Sonar pada Makhluk hidup.
77

F. Kerangka Pikir

Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu tujuan dari pendidikan

matematika sehingga pemecahan masalah harus menjadi fokus pada pembelajaran

matematika untuk setiap level sekolah. Kemampuan pemecahan masalah adalah

kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam memahami, memilih

pendekatan dan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan model untuk

menyelesaikan masalah. Indikator yang menunjukkan kemampuan pemecahan

masalah antara lain: (1) menunjukkan pemahaman masalah, (2) mengorganisasi

data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah, (3)

Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk, (4) memilih

pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat, (5) mengembangkan

strategi pemecahan masalah, (6) membuat dan menafsirkan model matematika

dari suatu masalah, dan (7) menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

Latihan atau pembiasaan yang berkesinambungan adalah hal yang sangat

substansial dalam usaha menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah

peserta didik. Hal ini mengindikasikan bahwa rancangan pembelajaran dan juga

komponen-komponen penting dalam pembelajaran salah satunya adalah bahan

ajar haruslah mengakomodasi dan memfasilitasi peserta didik untuk dapat belajar

mengekplorasi permasalahan yang dikenalkan pada awal pembelajaran.

Pendidikan Matematika Realistik (PMR) adalah sebuah teori pembelajaran

matematika dengan filosofi bahwa matematika haruslah dekat, terkoneksi dan

harus relevan dengan situasi peserta didik dengan kata lain bahwa sifat realistik

harus terintegrasi dalam pembelajaran matematika. PMR dengan tahapan (a)


78

pemahaman masalah kontekstual, (b) mendeskripsikan dan menyelesaikan

masalah kontekstual, (c) membandingkan dan mendiskusikan jawaban, dan (d)

penarikan kesimpulan dinyatakan sebagai sebuah strategi yang relevan dengan

tahapan-tahapan penting dalam proses latihan menumbukembangkan pemecahan

masalah.

Rasa percaya diri peserta didik akan kemampuannya dalam menghadapi masalah-masalah

yang ditemui adalah komponen yang juga perlu dihadirkan dalam upaya

menumbuhkembangkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik. Self Efficacy

adalah keyakinan dan kepercayaan individu terhadap kemampuan dirinya untuk

mengorganisasi, melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilkan

sesuatu dan mengimplementasikan tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu.

Self efficacy mempengaruhi bagaimana individu berpikir, merasa, memotivasi

diri, dan bertindak. Bandura (2003) menyatakan bahwa perasaan positif yang tepat

tentang self efficacydapat mempertinggi prestasi, meyakini kemampuan,

mengembangkan motivasi internal, dan memungkinkan siswa untuk meraih tujuan

yang menantang.

Self efficacy terkait dengan penilaian seseorang akan kemampuan dirinya dalam

menyelesaikan suatu tugas tertentu. Perasaan negatif tentang self efficacydapat

menyebabkan siswa menghindari tantangan, melakukan sesuatu dengan lemah,

fokus pada hambatan, dan mempersiapkan diri untuk outcomes yang kurang baik.

Dalam memecahkan masalah matematika yang relatif dianggap sulit, individu

yang mempunyai keraguan tentang kemampuannya akan mengurangi usahanya

bahkan cenderung akan menyerah. Individu yang mempunyai self efficacy tinggi

menganggap kegagalan sebagai kurangnya usaha, sedangkan individu yang


79

memiliki self efficacy rendah menganggap kegagalan berasal dari kurangnya

kemampuan.

Pada proses latihan pemecahan masalah, kemampuan peserta didik dalam

memecahkan masalah-masalah yang diajukan dalam pembelajaran akan sangat

berpotensi memberikan pengalaman keberhasilan pada peserta didik baik secara

individu maupun kelompok. Selain itu, dalam proses latihan pemecahan masalah,

interaksi yang terjadi antara peserta didik maupun guru juga berpotensi untuk

menciptakan apresiasi dan motivasi melalui dukungan verbal terhadap pencapaian

pada tahap-tahap pemecahan masalah yang sedang dieksplorasi. Artinya, proses

latihan pada pemecahan masalah juga berpeluang untuk dapat berkontribusi pada

proses pengembangan self efficacy peserta didik.

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) merupakan salah satu sarana yang dapat

mengintegrasikan skenario pembelajaran yang relevan dengan gagasan-gagasan

yang telah dipaparkan. LKPD dapat membantu dan mempermudah kegiatan

belajar mengajar sehingga akan terbentuk interaksi yang efektif antara peserta

didik dengan pendidik, sehingga dapat meningkatkan aktifitas peserta didik dalam

peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan juga self efficacy peserta didik..
80

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian dan pengembangan atau Research and

Development (R&D). Penelitian ini mengikuti alur Akker (2006:233) dengan 2

tahap yaitu preliminary (tahap pendahuluan) dan tahap prototyping (pembuatan

produk)melaluiformative evaluation (uji formatif) yang meliputi self-evaluation

(uji oleh diri sendiri), expert reviews (uji pakar), one-to-one (uji satu-satu), small

group (uji kelas kecil) kemudian uji terbatas. Produk yang akan dikembangkan

pada penelitian ini adalah media berbasis strategi scaffoldingyang dibuat

berdasarkan karakteristik scaffolding dan karakteristik matematika pada materi


81

Himpunan kelas VII SMP dengan pendekatan inquiry untuk meningkatkan

kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian belajar.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di SMP IT Ar-Raihan semester genap tahun pelajaran

2016/2017. Subjek dari penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII SMPIT

Ar-raihan Bandar Lampung tahun pelajaran 2016/2017. Pemilihan subjek di-

karenakan karakteristik sesuai dengan penelitian pengembangan yang ingin

dilakukan dan untuk efisiensi waktu.

C. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian pengembangan menurut Akker meliputi 2 tahap yaitu

preliminary dan tahap prototyping melalui uji formatif.

Tahap-tahap prosedur di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Tahap Preliminary

Tahap ini dibagi menjadi 2 tahapan yakni tahap persiapan dan tahap

pendesainan.

1. Pada tahap persiapan, peneliti terlebih dahulu melakukan analisis materi

dan tujuan pembelajaran, menghubungi guru Matematika beberapa

sekolah dan mencari informasi tentang media dan pendekatan yang

digunakan dalam pembelajaran Matematika. Peneliti juga mengumpulkan

dokumentasi berupa rancangan silabus, RPP dan nilai peserta didik tahun
82

sebelumnya. Selain itu peneliti menyiapkan penjadwalan dan

mempersiapkan prosedur dalam penelitian ini.

2. Pada tahap pendesainan, peneliti melakukan pendesainan media LKPD.

Project yang telah dihasilkan dinamakan prototype 1.

b. Tahap Uji Formatif

Alur desain uji formatif yang akan dilaksanakan pada penelitian ini dapat

dilihat pada gambar 3.1 berikut ini

Low Resistance to Revision High Resistance to Revision

Revise Revise
Expert Review

Self-Evaluation Small Group Field Test


Revise

One-to-one
83

Gambar 3.1 Alur desain uji formatif

1. Uji yang dilakukan oleh peneliti

Pada tahap ini dilakukan penilaian oleh diri sendiri terhadap hasil desain

media pembelajaran (prototype 1).

2. Uji pakar

Hasil desain pada prototype pertama yang dikembangkan atas dasar uji

oleh peneliti, diberikan kepada pakar. Tahap ini dinamakan sebagai uji

validitas untuk dievaluasi. Saran-saran dari pakar digunakan untuk revisi

desain media pembelajaran. Adapun tanggapan dan saran dari pakar

terhadap desain yang telah dibuat ditulis pada lembar validasi sebagai

bahan untuk revisi.

3. Uji perorangan

Pada tahap ini akan dilakukan uji coba kepada 3 orang peserta didik untuk

hasil prototype 1, dengan cara menganalisis aktifitas siswa menggunakan

media pembelajaran untuk dapat mengetahui kekurangan media

pembelajaran tersebut. Hasil validasi dan saran, serta hasil uji coba yang

diperoleh pada tahap ini akan dijadikan bahan untuk merevisi hasil

prototype 1, hasil revisi dinamakan prototype 2.

4. Uji kelas kecil

Pada tahap ini prototype 2 diujicobakan pada kelas kecil yang terdiri dari 9

orang peserta didik non objek penelitian. Peserta didik tersebut diberikan

pembelajaran menggunakan media pembelajaran yang telah dibuat pada


84

prototype 2. Selama pembelajaran tersebut, kesembilan peserta didik

diobservasi dan diminta untuk memberikan komentar terhadap media

pembelajaran tersebut. Berdasarkan hasil komentar peserta didik inilah

prototype 2 direvisi dan diperbaiki lagi dan hasil revisinya dinamakan

prototype 3. Hasil dari prototype 3 ini diharapkan menghasilkan media

pembelajaran yang valid dan praktis.

5. Uji terbatas

Pada tahap ini prototype 3 akan diujicobakan pada objek

penelitian.Prototype 3 ini diharapkan telah memenuhi kriteria kualitas.

Akker (Inayat, dkk. 2014:107) mengemukakan bahwa tiga kriteria

kualitas yaitu: validitas, kepraktisan, dan efektivitas (memiliki efek

potensial). Prototype 3 terhadap peserta didik yang diukur melalui tes

kemampuan komunikasi matematis peserta didik.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam

penelitian.Instrumenyangdigunakan dalam penelitian ini,yaitu:

1. Lembar Validasi Media Pembelajaran

Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data mengenai pendapat para

ahli (validator) terhadap media pembelajaran yang disusun sehingga menjadi

acuan/ pedoman dalam merevisi media pembelajaran yang disusun.

2. LKPD berbasis Pendidikan Matematika Realistik

LKPD berbasis Pendidikan Matematika Realistik dikembangkan berdasarkan

prinsip-prinsip Pendidikan Matematika Realistik.


85

3. Lembar Angket Kemandirian Belajar

Instrumen ini disusun untuk mengukur self efficacy peserta didik. Instrumen

ini dibuat untuk melihat self efficacy peserta didik sebelum dan sesudah

mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan produk yang telah

dikembangkan. Jenis angket yang diberikan adalah angket tertutup, yaitu

angket yang sudah disediakan jawabannya, adapun alasan penulis

menggunakan angket tertutup adalah (1) angket tertutup memberikan

kemudahan kepada responden dalam memberikan jawaban, (2) angket

tertutup lebih praktis, dan (3) keterbatasan biaya dan waktu penelitian. Peserta

didik diberi opsi jawaban dengan skala 5.

4. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Peserta Didk

Instrumen ini disusun untuk mendapatkan data mengenai kemampuan

pemecahan masalah matematis peserta didik, yang disusun berdasarkan SK,

KD dan memperhatikan indikator kemampuan pemecahan masalah matematis.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untukmemperolehdata maka dibutuhkanbeberapa macamteknik pengumpulandata

agarbukti-buktiataufaktayang diperolehberfungsisebagaidata yang objektif

danvalid.Karenaitu dalampengumpulan data ini digunakan angket, tes, dan

dokumentasi.

1. Angket Validasi Pakar

Data validasi para pakar kemudian dianalisis secara deskriptif dengan

mengkaji hasil penilaian para ahli terhadap perangkat pembelajaran. Hasil


86

kajian digunakan sebagai masukan untuk merevisi perangkat pembelajaran

yang digunakan.

2. Angket Kemandirian Belajar Peserta Didik

Data kemandirian belajar peserta didik diperoleh dengan memberikan angket

sebelum dan setelah dikenai produk.

3. Tes Kemampuan pemecahan masalah matematis

Data diperoleh melalui tes kemampuan pemecahan masalah matematis yang

diberikan sebelum dan setelah dikenai produk.

4. Dokumentasi

Dokumentasi diambil untuk melihat pembelajaran dengan LKPD berbasis

PMR., Dokumentasi dapat berupa video atau foto.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini adalah menggunakan analisis data

statistika deskriptif yaitu untuk menguji validasi perangkat dan instrumen yang

digunakan, data self efficacy dan hasil tes kemampuan pemecahan masalah

matematis.

a. Data Validasi Perangkat dan Instrumen

Analisis data hasil validasi perangkat pembelajaran dilakukan dengan

menelaah hasil validasi oleh pakar yang berupa deskripsi strategi scaffolding

yang ditinjau dari isi, tampilan dan bahasa.

b. Data Angket Kemandirian Belajar (Kuesioner)


87

Angketkemandirian belajaryang digunakan adalahangketberupa checklist

(daftar cek). Pengukuran skor untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

dilakukan menggunakan skala likert dengan skala 5.

Tabel 3.1
Ukuran Alternatif Jawaban Kuesioner
Bobot Nilai
Pilihan Jawaban
Pertanyaan Positif Pertanyaan Negatif
Selalu 5 1
Sering 4 2
Kadang-kadang 3 3
Hampir tidak Pernah 2 4
Tidak pernah 1 5
Angket kemandirian belajar peserta didik tersebut akan diberikan di awal

dan akhir pertemuan. Besarnya peningkatan dan tingkat efektivitas akan

dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (g), yaitu:

( S f )−( Si )
( g )=
S m−Si

Keterangan:

(g) = gain ternormalisasi

(Sf) = nilai posttest

(Si) = nilai pretest

Sm = nilai maksimum

Hasil perhitungan gain diintepretasikan dengan menggunakan klasifikasi

Hake. Tingkat efektifitas berdasarkan rata-rata nilai gain ternormalisasi

dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Nilai Rata-rata Gain Ternormalisasi dan Klasifikasinya

Rata-rata Gain Klasifikasi Tingkat Efektifitas


88

Ternormalisasi
(g) ≥ 0,70 Tinggi Efektif
0,30 ≤ (g) < 0,70 Sedang Cukup Efektif
(g) < 0,30 Rendah Kurang Efektif
Sumber (Hake, 1999:1)

c. DataHasil Tes Kemampuan Pemecahan masalah Matematis

Data hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematis yang mengacu

pada indikator-indikator yang telah dibuat diberikan pada awal dan akhir

pertemuan. Untuk mengukur besarnya peningkatan kemampuan pemecahan

masalah matematis dan tingkat efektivitasnya dilakukan dengan cara

membandingkan rata-rata gain ternormalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi. Dkk. (1996). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka


Setia.

Akker J., Nieveen, N., dan McKenney, S. (2006). Education Design Research.
London and Newyork: Routledge.

Ansari, B. I. 2004. Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan


Komunikasi Matematik Siswa SMU Melalui Strategi Think-Talk-Write.
Disertasi Doktoral pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Arsyad, Azhar.2009. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press.

Bandura, Albert. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H.
Freeman and Company.
89

De Lange, J. 1987. Mathematics, Insight, and Meaning, Utrecht : OW & Co.

Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya. Jakarta. Direktorat


Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Dikdasmen.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


Pusat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dhari, HM. Dan Haryono, AP. 1988. Perangkat Pembelajaran. Malang:


Depdikbud.

Dhari, HM. Dan Haryono, AP. 1998. Metodelogi Pembelajaran. Malang:


Depdikbud.

Echols, J. M dan Shadily, H. 2003. An English-Indonesian Dictionary. PT.


Gramedia: Jakarta

Ellison, J.G. 2009. Incresing Problem Solving Skill in Fifth Grade Advanced
Mathematics Student. Journal of Curriculum and Instruction, 3(1): 1-17

Ghufron, Nur. Risnawitai, Rini.2014. Teori-teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz


Media Pembelajaran MTK.

Gist, M.E. dan Mitchell, T.R. 1992. Self-efficacy: A Theoretical Analysis of Its
Determinants and Malleability. Academy of Management Review, 17 (2).
29 halaman.

Hadi, Sutarto. (2005). Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya.


Banjarmasin: Tulip.

Hamzah dan Muhlisrarini. 2014. Perencanaan dan Strategi Pembelajaran


Matematika. Jakarta: Rajawali Pers.

Hans Freudenthal. 1990. Pengembangan Matematika SD. Jakarta: Dirjen Dikti


Departemen Pendidikan Nasional.

Hendro Darmodjo, Jenny R.E Kaligis. 1992. Pendidikan IPA II. Jakarta :
Depdikbud, Dirjend Dikti Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.

Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran


Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.

Hudojo, Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Matematika.


Surabaya: Usaha Nasional.
90

Indi, A. D. A. (2009). Hubungan antara Self-Efficacy dengan Kecemasan


Berbicara di Depan Umum Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara. Skripsi USU.

Judge, T. A., & Bono, J. E. 2000. Five Factor Model of Personality and
Transformasional Leadership. Journal of Applied Psychology.

Kasman. 2008. Keefektifan Media Compact Disk (VCD) Disertai Lembar Kerja
Siswa Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
SiswaKelas X. Skripsi. Perpustakaan Jurusan Matematika.

Kustandi, C. dan Sutjipto, B. 2013. Media Pembelajaran. Bogor: Penerbit Ghalia


Indonesia.

Mourtos, N. J et al. 2004.Defining, Teaching, dan Assessing problem


solvingskills.Presented by 7thUICEE Annual Conference on Engineering
Eduction.Mumbai, India, 9 – 13 February 2004.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston:


NCTM.

Poppy Kamalia Devi, dkk. (2009). Pengembangan Perangkat Pembelajaran


untuk Guru SMP. Bandung: PPPPTK IPA.

Program for International Student Assessment (PISA). 2012. International report.


Online.

Santrock. 2011. Life-Span Development: Perkembangan Masa-Hidup. Edisi 13.


Jilid 1. Alih Bahasa: Widyasinta Benedictine. Jakarta: Erlangga.

Schunck, D.H. (1995). Self-Efficacy and Education and Instruction. In J.E.


Maddux (Ed,.), Self-Efficacy, Adaptation, and Adjusment: Theory,
Research, and Application (pp.281-303) New York: Plenum.

Schunk, D.H. dan Pajares, F. (2001).”The Development of Academic Self-


Efficacy”, dalam “Development of Achievement Motivation” (ed A.
Wigfield and J. Eccles). San Diego: Academic Press.

Sembiring, R.K., Hadi, S, & Dolk, M, 2008. Reforming mathematics learning in


Indonesian classrooms through RME. ZDM-The International Journal on
Mathematics Education.

Shadiq, F. 2005. Pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika.


Modul.Yogyakarta: PPPG matematika.

Sugiharto, Dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Pres.


91

Suherman, Erman. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.


Bandung: FMPIA UPI.

Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Metematika


Kontemporer(edisi revisi). Bandung: UPI.

Sulistiyaningsih, dkk. 2013. Kemandirian Belajar dan Prestasi Belajar


Matematika siswa SMPN 27 Purworejo. Jurnal. Program Studi
Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Purworejo:
Purworejo.

Suyanto, Eko dan Sartinem. 2009. Pengembangan Contoh Lembar Kerja Fisika
Siswa dengan Latar Penuntasan Bekal Awal Ajar Tugas Studi Pustaka
dan Keterampilan Proses untuk SMA Negeri 3 Bandar Lamung.
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2009. Bandar Lampung: Unila.

Suyitno, Amin. 2004. Dasar-dasar Proses Pembelajaran Matematika I. Hand Out


Perkuliahan Mahasiswa S1 Prodi Pendidikan Matematika
FMIPAUNNES.

Tirtarahardja, U. & Sulo, L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka


Cipta

Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS). 2011.


International Mathematics Report. (Online).

Trianto. 2009.Pembelajaran Inovatif Berorientasi kontruktivistik. Jakarta: Bumi


Aksara

Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,


Landasan, dan Implementasinya Pada Kuriklum Tingkat Satuan
Pendidikana (KTSP. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasi


dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penerbit: Bumi
Aksara.

Vohs, K. D. dan Baumeister, R. F. 2011. Handbook of Self-Regulation second


edition. New York: The Guilford Press.
Wardhani, Sri. 2005.Pembelajaran Penilaian Aspek Pemehaman Konsep,
Penalaran dan Komunikasi,Pemecahan Masalah. Materi Pembinaan.
Matematika SMP. Yogyakarta: PPPG Matematika.

Wijaya, Ariyadi.2012. Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif


Pendekatan pembelajaran Matematika”. Yogyakarta: Graha Ilmu.

----------------------------------------------
92

Achmad. 1996. Tujuan Lembar Kerja Siswa. (online). Tersedia


http://lenterakecil.com [12 agustus 2016].

Anjani,2013. PeningkatanKemampuanKomunikasi Matematis


MenggunakanPendekatanKontekstualDengan TeknikScaffolding. Skripsi.
Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia di repository.upi.edu.
[diakses 23 September 2015]

Aryan, B. S. 2008. Membangun Keterampilan Komunikasi Matematika dan Nilai


Moral Siswa Melalui Model Pembelajaran Bentang Pangajen. [Online].
http://rbaryans.wordpress.com/2008/10/28/membangun-keterampilan-
komunikasi-matematika-dan-nilai-moral-siswa-melalui-model-
pembelajaran-bentang-pangajen/. Tanggal akses: 12 Agustus2016

Asikin, M. 2010. Daspros Pembelajaran Matematika 1. [Online].


Tersedia:http://www.scribd.com/doc/13425097/4/BAGIAN-5-RME-
REALISTIC-MATHEMATICS-EDUCATION.

Bandura, Albert. (1986). Self-Efficacy (Efikasi Diri). (http://treepjkr.


multiply.com/reviews/item/22 didownload tanggal 10 Maret 2016).

Bandura, Albert, 2008. Self efficacy. 1-14. Online. Available at:


http://www.uky.edu/~eushe2/Bandura/BanEncy.html. (diakses tanggal 10
Maret 2016).

Baron & Bryne. (1997). Self-Efficacy (Efikasi Diri).


(http://treepjkr.multiply.com/reviews/item/22 didownload tanggal 17 Juli
2016).

Executive Summary Principles and Standards for School Mathematic. 2004.


http://www.nctm.org/uploadedFiles/Standards_and_Positions/PSSM_Exec
utiveSummary.pdf [diakses 26 Mei 2015]

Fauzan, Ahmad. 2003. Rute Belajar dalam RME: Suatu Arah untuk Pembelajaran
Matematika. Makalah, disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan
Matematika di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 27-28 Maret
2003.

Goetz, J. (2004). Top Ten Thoughts about Communication in Mathematics.


[Online].http://www.kent.k12.wa.us/KSD/15/Communication_in_math.h
tm.2004. Tanggal akses: 21 Juli 2016.
Hake, R. 1999. Analizing Change/Gain Scores.[Online]. Tersedia di
http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf
[Diakses 15 Oktober 2015]

Inayati, dkk. 2014. Pengembangan perangkat pembelajaran Materi Segitiga dan


Segiempat dengan pendekatan RME. Jurnal Prodi Matematika [online].
2014, vol. 2, no. 2. Tersedia di
93

http://ejournal.ikippgrimadiun.ac.id/id/ejournal/term/33/_/taxonomy
%3Aterm%3A732 [Diakses 15 September 2015]

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online. 2015.


http://kbbi.web.id/komunikasi [diakses 26 Mei 2015]

LACOE (Los Angeles County Office of Education). Communication.


http://teams.lacoe.edu. 2004. Tanggal akses: 13 Juli 2016

McCroskey, J. (1984). The Communication Apprehension Perspective. [Online].


http://www.Kompas.com/Kesehatan/news/0302/28/020443.htm. Tanggal
akses: 11 Agustus 20016

McKenzie, J. 1999. Scaffolding for Success. The Educational Technology Journal,


Vol. 9, No. 4, Desember 1999. Tersedia di
http://fno.org/dec99/scaffold.html [di akses 10 September 2015]

McLeod, S. 2010. Zone of Proximal Development. Tersedia:


http://www.simplypsychology.org/Zone-of-Proximal-Development.html.
[diakses 24 Agustus 2015]

Nakata, Y. Toward a Framework for Self-Regulated Language-Learning. Canada.


Jurnal Vol. 27, No 2, Spring 2010. Tersedia di
http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ924054.pdf [diakses 23 April 2015]

National Council for Teachers of Mathematics. 2000. CSSU Math Frameworks.


Tersedia di www.standard.nctm.org[diakses Agustus 2015]

Nodoushan, M.A.S,. Self-regulated learning (SRL): Emergence of the RSRLM


model. Iran. Jurnal internasional Vol. 6(3), 2012 (pp. 1-16). Tersedia di
http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED533138.pdf [diakses 25 April 2015]

Prabawanto,2013. PeningkatanKemampuanPemecahanMasalah,
Komunikasi,DanSelf-Efficacy Matematis Mahasiswa Melalui
PembelajaranDenganPendekatanMetacognitiveScaffolding. Disertasi.
Universitas Pendidikan Indonesia. Tersedia di repository.upi.edu.
[diakses 23 September 2015]

Pujiastuti. 2014. Pembelajaran Inquiry Co-Operation Model Untuk Meningkatkan


Kemampuan Pemecahan Masalah, Komunikasi, dan Self-Esteem
Matematis Siswa SMP. Disertasi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Tersedia di repository.upi.edu. [diakses 23 September 2015]

Rosyidah. 2010. Hubungan antara kemandirian belajar dengan hasil belajar


matematika pada siswa MTsN Parung Bogor. Skripsi. Universitas Islam
NegeriJakarta: Jakarta. Tersedia di
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/21624/1/ROSY
IDAH-FITK.pdf[diakses 24 April 2015]
94

Sukamto, Hadi. 1993. Kegunaan Lembar Kerja Siswa. [Online]. Tersedia


http://lenterakecil.com [12 agustus 2016].

Sumarmo, U. 2006.Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika Pada


siswa sekolah menengah. Tersedia di
https://iissipit.files.wordpress.com/2012/01/mklh-ketbaca-mat-nov-06-
new.pdf [diakses 26 Mei 2015]

Sumarmo, U. 2010. Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana


dikembangkan pada peserta didik. Tersedia di http://math.sps.upi.edu/?
p=61 [diakses 25 April 2015]

Tahar I, dan Enceng. 2006. Hubungan Kemandirian Belajar dan Hasil Belajar
Pada Pendidikan Jarak Jauh. Jurnal Pendidikan Terbuka dan JarakJauh,
Volume. 7, Nomor 2, September 2006.Tersedia di
http://lppm.ut.ac.id/htmpublikasi/tahar.pdf[diakses 24 April 2015]

Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1998. Realistic Mathematics Education Work in


Progress.[Online].Tersedia: http://www.fi.uu.nl/en/indexpuicaties.html.

Widjajanti, E. 2008. Kualitas Lembar Kerja Siswa. Makalah ini disampaikan


dalam Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat dengan judul
“PELATIHAN PENYUSUNAN LKS MATA PELAJARAN KIMIA
BERDASARKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN
BAGI GURU SMK/MAK di Ruang Sidang Kimia FMIPA UNY pada
tanggal 22 Agustus 2008. Di akses dari
http://staff.uny.ac.id/system/files/pengabdian/endang-widjajanti-lfx-
msdr/kualitas-lks.pdf.

Anda mungkin juga menyukai