Anda di halaman 1dari 16

6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rattus norvegicus Galur Wistar

Tikus putih (Rattus norvegicus) atau disebut juga disebut juga tikus

norwegia adalah salah satu hewan yang umum digunakan dalam eksperimental

laboratorium. Taksonomi tikus putih (Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut

(Sharp and Villano, 2013) :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Myomorpha

Famili : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus putih yang biasanya dijadikan percobaan terdiri atas lima macam

yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague-Dawley dan Wistar. Tikus

percobaan memiliki beberapa karakteristik diantaranya adalah nokturnal, yaitu

beraktivitas di malam hari dan tidur pada siang hari, tidak mempunyai gall blader

(kantung empedu), dan tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak

lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tidak mempunyai

kantong empedu (Pambudi, 2017).

Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih galur Wistar

(Gambar 2.1) berjenis kelamin jatan dengan berat badan sekitar 150-250 gram.
7

Tikus dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang

sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan

akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian

(Safitri, 2005).

Gambar 2.1 Tikus Putih Galur Wistar (Christianty, 2017).

2.2 Diabetes Melitus yang diinfeksi Staphylococcus aureus

2.2.1 Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik dengan gejala glukosa

darah yang tinggi (hyperglikemia). Gejala yang ditimbulkan adalah dehidrasi,

poliuria, banyak makan namun bobot menurun, gatal-gatal, dan mudah merasa

lelah (Lehninger, 2001). Salah satu penyebab diabetes melitus yaitu ditandai

dengan menurunnya hormon insulin yang diproduksi oleh sel β Langerhans dalam

kelenjar pankreas. Insulin merupakan hormon yang berperan dalam metabolisme

glukosa khususnya sebagai perantara masuknya glukosa di dalam darah ke sel-sel

jaringan tubuh lainnya seperti otot dan jaringan lemak (Garret and Grisham,

2002).

a. Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Suyono (2002) penyakit DM dapat digolongkan menjadi dua

kelompok berdasar fungsi organ pankreas sebagai penghasil insulin dan kerja
8

insulin, yaitu DM tipe 1 dan 2. Diabetes melitus tipe 1 bergantung pada

insulin, meningkatnya kadar glukosa dalam darah akibat kurangnya kelenjar

pankreas mensekresikan hormon insulin. Hormon insulin yang dihasilkan

tidak mencukupi untuk mengubah glukosa intraseluler. Hal ini disebabkan

karena sebagian besar sel β pankreas yang memproduksi insulin mengalami

kerusakan sehingga kadar insulin menjadi kurang atau tidak ada.

Diabetes melitus tipe 2 tidak bergantung pada insulin, jumlah insulin

normal tetapi sensitivitas reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel

menurun sehingga pengiriman glukosa ke dalam sel terhambat. Keadaan ini

menyebabkan meningkatnya kadar glukosa darah dan menurunnya kadar

glukosa intraseluler. Diabetes melitus tipe 2 dapat disebabkan oleh obesitas,

diet tinggi lemak, kurang gerak dan herediter (Gutrie and Gutrie, 2003).

Selain DM tipe 1 dan 2 juga terdapat tipe DM gestasional, terjadi pada

saat kehamilan, terdapat kemungkinan akan normal kembali namun toleransi

glukosa yang terganggu dapat terjadi setelah kehamilan (Gutrie and Gutrie,

2003).

b. Gejala Klinis

Gejala DM dibedakan menjadi akut dan kronis. Gejala akut DM

adalah poliuria (banyak urinasi), polidipsia (banyak minum) dan polifagia

(banyak makan). Sedangkan gejala kronik DM yaitu kesemutan, kulit terasa

panas, kram, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah

dan lepas, dan kemampuan seksual menurun (Fatimah, 2014).


9

c. Patogenesis

Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya

kekurangan insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat

terjadi melalui 3 jalan, yaitu: 1) Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh

dari luar (virus, zat kimia, dan lainnya); 2) Penurunan sensitivitas reseptor

glukosa pada kelenjar pankreas; 3) Kerusakan reseptor insulin di jaringan

perifer (Fatimah, 2014).

d. Patofisologi

Diabetes melitus dibagi menjadi 2 kategori utama berdasarkan sekresi

insulin endogen untuk mencegah munculnya ketoasidosis, yaitu (1) Diabetes

melitus tergantung insulin (IDDM = insulin dependent diabetes mellitus) atau

tipe I, dan (2) Diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM = non-

insulin dependent diabetes mellitus) atau tipe 2. Diabetes melitus tipe 1

diperantarai oleh degenerasi sel β Langerhans pankreas akibat infeksi virus,

pemberian senyawa toksin, diabetogenik (streptozotosin (STZ), aloksan), atau

secara genetik (wolfram sindrome) yang mengakibatkan produksi insulin

sangat rendah atau berhenti sama sekali. Hal tersebut mengakibatkan

penurunan pemasukan glukosa dalam otot dan jaringan adipose (Nugroho,

2006).

Secara patofisiologi, penyakit ini terjadi lambat dan membutuhkan

waktu yang bertahun-tahun, biasanya terjadi sejak muda. Penurunan berat

badan merupakan ciri khas dari penderita DM tipe 1 yang tidak terkontrol.

Gejala yang sering mengiringi DM tipe 1 yaitu poliuria, polidipsia, dan


10

polifagia. Peningkatan volume urin terjadi disebabkan oleh diuresis osmotik

(akibat peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemik) dan benda-

benda keton dalam urin. Lebih lanjut, diuresis osmotik tersebut akan

mengakibatkan kondisi dehidrasi, kelaparan dan shock. Gejala haus dan lapar

merupakan akibat dari kehilangan cairan dan ketidakmampuan tubuh

menggunakan nutrisi (Nugroho, 2006).

Pada DM tipe 1, kadar glukosa darah sangat tinggi, tetapi tubuh tidak

dapat memanfaatkannya secara optimal untuk membentuk energi. Oleh

karena itu, energi diperoleh melalui peningkatan katabolisme protein dan

lemak. Seiring dengan kondisi tersebut, terjadi perangsangan lipolisis serta

peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol darah. Dalam hal ini terjadi

peningkatan produksi asetil-KoA oleh hati, yang pada gilirannya diubah

menjadi asam asetoasetat dan pada akhirnya direduksi menjadi asam β

hidroksibutirat atau mengalami dekarboksilasi menjadi aseton. Pada kondisi

normal, konsentrasi benda-benda keton relatif rendah karena insulin dapat

menstimulasi sintesis asam lemak dan menghambat lipolisis. Hanya

dibutuhkan kadar insulin yang kecil untuk menghambat lipolisis (Nugroho,

2006).

Pada kondisi DM tipe 2, insulin masih cukup untuk mencegah

terjadinya benda-benda keton sehingga jarang dijumpai ketosis. Namun

demikian, koma hiperosmolar non-ketotik dapat terjadi. Diabetes melitus tipe

2 tersebut cenderung terjadi pada individu usia lanjut dan biasanya didahului

oleh keadaan sakit atau stres yang membutuhkan kadar insulin tinggi. Pada
11

DM tipe 2, kehadiran insulin tidak cukup untuk mencegah glukosuria. Seiring

dengan itu, terjadi kehilangan cairan dan elektrolit tubuh yang diikuti dengan

dehidrasi berat. Lebih lanjut, terjadi penurunan ekskresi glukosa dan pada

akhirnya menghasilkan peningkatan osmolaritas serum (hiperosmolaritas) dan

glukosa darah (hiperglikemik). Secara patofisiologi, DM tipe 2 disebabkan

karena dua hal yaitu: 1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin,

peristiwa tersebut dinamakan resistensi insulin; dan (2) Penurunan

kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin sebagai respon terhadap

beban glukosa (Nugroho, 2006).

Sebagian besar DM tipe 2 diawali dengan kegemukan karena

kelebihan makan. Sebagai kompensasi, sel β pankreas merespon dengan

mensekresi insulin lebih banyak sehingga kadar insulin meningkat

(hiperinsulinemia). Konsentrasi insulin yang tinggi mengakibatkan reseptor

insulin berupaya melakukan pengaturan sendiri (self regulation) dengan

menurunkan sensitivitas reseptor atau down regulation. Hal ini membawa

dampak pada penurunan respon reseptornya dan lebih lanjut mengakibatkan

terjadinya resistensi insulin (Nugroho, 2006).

Di lain pihak, kondisi hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan

penurunan sensitivitas reseptor insulin pada tahap postreseptor, yaitu

penurunan aktivasi kinase reseptor, translokasi glukosa transporter dan

aktivasi glycogen synthase. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya resistensi

insulin. Dua kejadian tersebut terjadi pada permulaan proses terjadinya DM

tipe 2. Secara patologis, pada permulaan DM tipe 2 terjadi peningkatan kadar


12

glukosa plasma dibanding normal, namun masih diiringi dengan sekresi

insulin yang berlebihan (hiperinsulinemia). Hal tersebut mengindikasikan

telah terjadi defek pada reseptor maupun postreseptor insulin. Pada resistensi

insulin, terjadi peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan

glukosa sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah

(hiperglikemia). Seiring dengan kejadian tersebut, sel β pankreas mengalami

adaptasi diri sehingga responnya untuk mensekresi insulin menjadi kurang

sensitif, dan pada akhirnya membawa akibat pada defisiensi insulin.

Sedangkan pada DM tipe 2 akhir telah terjadi penurunan kadar insulin plasma

akibat penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin, dan

diiringi dengan peningkatan kadar glukosa plasma dibandingkan normal.

Tingginya kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 lebih sering

disebabkan karena terjadinya resistensi insulin pada jarigan perifer, sehingga

kebanyakan glukosa gagal dibawa masuk ke dalam sel (Nugroho, 2006;

Thevenod, 2008).

e. Peneguhan Diagnosa

Diabetes melitus ditegakkan berdasarkan ada tidaknya gejala. Bila

dengan gejala poliuria (banyak urinasi), polidipsia (banyak minum), dan

polifagia (banyak makan), maka pemeriksaan gula darah abnormal satu kali

sudah dapat menegakkan diagnosis DM. Sedangkan bila tanpa gejala, maka

diperlukan paing tidak dua kali pemeriksaan gula darah abnormal yang

berbeda. Kriteria hasil pemeriksaan gula darah abnormal adalah : (Rustama,

dkk., 2010)
13

1) Kadar gula darah sewaktu >200 mg/dl atau

2) Kadar gula darah puasa >126 mg/dl

3) Kadar gula darah 2 jam postprandial >200 mg/dl

Tes darah kapiler merupakan cara screening yang lebih cepat dan

murah. Pemerikaan ini dilakukan dengan cara menusuk ujung ekor untuk

diambil darahnya. Tes ini disebut gula darah stick. Pada alat stick yang

dipakai ini sudah terdapat bahan kimia yang bila ditetesi darah akan beraksi

dalam 1-2 menit. Setelah itu akan muncul hasil pengukuran gula darah pasien.

Pemeriksaan ini dapat dipakai untuk memeriksa gula darah puasa, 2 jam

sesudah makan maupun sewaktu atau acak (Rachmawati, 2015).

2.2.2 Staphylococcus aureus

Menurut Syahrurahman et al., (2010) klasifikasi Staphylococcus aureus

adalah:

Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Ordo : Eubacteriales

Famili : Micrococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat

(Gambar 2.2) berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok yang tidak

teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak

bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk
14

pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat

berwarna abu-abu sampai kuning keemasan berbentuk bulat, halus, menonjol, dan

berkilau (Jawetz and Adelberg’s, 2008).

Gambar 2.2 Staphylococcus aureus yang dilihat dari mikroskop elektron (Todar, 2008).

Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel bakteri. Peptidoglikan

diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin yang dihasilkan

oleh berbagai macam bakteri, misalnya alfa-hemolsin pada Staphylococcus

aureus dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung

(Rachmachandran, 2014).

Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui

kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai

zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa

protein, termasuk enzim dan toksin : (Pandia, dkk., 2015)

a. Katalase

Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap

proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus

Staphylococcus dari Streptococcus.


15

b. Koagulase

Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat,

karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan

enzim tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas

penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri

yang dapat menghambat fagositosis.

c. Hemolisin

Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona

hemolisis disekitar koloni bakteri. Hemolisin pada Staphylococcus aureus

terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisisn. Alfa

hemolisin adalah toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona

hemolisis disekitar koloni Staphylococcus aureus pada medium agar darah.

Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta

hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Staphylococcus yang

diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba

dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel

darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel

darah merah domba.

d. Leukosidin

Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan.

Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena

Staphylococcus patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia

dan dapat difagositosis.


16

e. Toksin eksfoliatif

Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan

matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan

intraepitelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif

merupakan penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS), yang

ditandai dengan melepuhnya kulit.

f. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)

Sebagian besar galur Staphylococcus aureus yang diisolasi dari

penderita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik.

g. Enterotoksin

Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap

suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam

keracunan makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat

dan protein.

2.3 Steptozotosin

Streptozotosin (STZ) berasal dari Streptomyces achoromogenes dapat

digunakan sebagai penginduksi DM tipe 1 dan 2 dengan dosis 100 mg/kg BB

secara intravena maupun intraperitoneal. Streptozotosin (STZ) menembus sel β

langerhans pada pankreas mampu mengubah sel β menjadi rusak melalui proses

pembentukan NO (nitric oxide) dan anion superoksida yang menghambat siklus

Krebs serta menurunkan konsumsi oksigen pada mitokondria sel. Penurunan

produksi ATP mitokondria mengakibatkan pengurangan secara drastis nukleotida


17

sel β pankreas yang menyebabkan kerusakan sel β pankreas. Streptozotosin (STZ)

mempengaruhi sel hidup pada semua siklus sel mamalia ( Tormo, et al., 2006).

Streptozotosin (STZ) merupakan salah satu stresor atau rangsangan bagi

hewan coba model DM yang lebih baik daripada aloksan karena rentang dosisnya

lebih lebar, selain itu tikus bisa mempertahankan hiperglikemia lebih lama.

Streptozotosin dengan pemberian berkala terbukti telah mempengaruhi fisiologis

dengan adanya pembengkakan pada kelenjar pancreas setelah 2-4 hari yang bisa

mengakibatkan perubahan produksi insulin atau peningkatan glukosa darah

sehingga menganggu proses fisiologis tikus. Adanya respon pada individu

terhadap perubahan pada tubuhnya akan dilakukan dengan menjalankan

homeostatis atau keseimbangan tubuh sebagai adaptasinya. Berat badan dan

denyut jantung dapat digunakan sebagai indikator fisiologis tikus yang terpapar

streptozotosin (Lenzen, 2008; Sherwood, 2001; Akbarzadeh, et al., 2007).

Sreptozotosin (STZ) mampu mempengaruhi glukosa darah melalui 3

mekanisme yakni antara lain : 1) Penumpulan atau hilangnya respon insulin tahap

pertama, sehingga sekresi insulin terlambat dan gagal mengembalikan lonjakan

gula darah prandial dalam waktu yang normal, 2) Penurunan sensitifitas insulin

sebagai respon terhadap glukosa sedemikian hingga menyebabkan hiperglikemia,

3) Gagal memberikan stimulasi terhadap respon insulin yang wajar (Firdaus, dkk.,

2016).

2.4 Limpa

Tubuh makhluk hidup memiliki kemampuan melawan berbagai jenis

organisme atau toksik yang dapat merusak jarinan dan organ tubuh. Kemampuan
18

ini disebut kekebalan yang merupakan hasil produktif dari jaringan limfoid di

dalam tubuh. Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan kedalam dua

kelompok yaitu organ limfoid primer dan sekunder. Organ limfoid primer

merupakan organ yang berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit dan

tempat pengaturan perkembangan limfosit. Sedangkan organ limfoid sekunder

merupakan organ imfoid-antigen dan pengontrolannya. Limpa adalah salah satu

organ limfoid sekunder. Limpa memilki kapsula dan trabekula yang mengandung

otot polos yang berperan memobilisasikan darah bila aktivitas fisiologis

meningkat. Fungsi utama organ limfoid adalah melindungi organisme terhadap

patogen atau antigen (bakteri, virus, dan parasit) yang masuk. Sistem limfoid

mencakup semua sel, jaringan, dan organ yang mengandung kumpulan sel imun.

Limpa berfungsi menyaring darah dan sebagai tempat penyimpanan eritrost

dan trombosit serta pelaksanakan eritropoiesis pada fetus. Karena itu, limpa

terbagi atas dua bagian: satu bagian untuk menyimpan eritrosit, penjeratan

antigen, dan eritropoiesis, yang disebut pulpa merah, dan bagian lain yang di

dalamnya terdapat imunitas yang disebut pulpa putih (Felistiani, 2017).

Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa merah dan pulpa

putih yang merupakan komponen utama limpa. Sebagian besar dari pulpa

limpa berwarna merah dan mengandung banyak darah yang disimpan

dalam jalinan retikuler. Pulpa merah terdiri dari arteriol pulpa, kapiler

selubung serta kapiler terminal, sinus venous atau venula, dan bingkai limpa.

Pulpa putih terdapat di dalam pulpa merah berbentuk oval dan berwarna putih

kelabu. Pulpa putih terdiri atas periarteriolar limphoid sheats (PALS), folikel
19

limfoid, dan zona marginal. Folikel limfoid umumnya tersusun atas sel

limfosit B, makrofag, dan sel debri. Pulpa putih terdiri atas jaringan limfoid

yang menyelubungi arteri sentralis dan nodulus limfatikus yang ditambahkan

pada selubung. Sel - sel limfoid yang mengelilingi arteri sentralis terutama

adalah limfosit T. Nodulus limfatikus terutama terdiri dari limfosit B

(Khasanah, 2009).

Zona marginal terletak di antara pulpa putih dan pulpa merah,

bersifat fagositik. Zona marginalis menyimpan banyak antigen darah dan

memegang peranan penting dalam aktivitas imunologik limpa. Pada

permukaan pulpa putih, retikulum membentuk beberapa lapis konsentris, yang

langsung berbatasan dengan lapis terakhir adalah daerah marginal. Di daerah

ini banyak terdapat makrofag dan populasi limfosit khusus. Semua unsur dari

sel darah, demikian juga antigen, mengadakan kontak dengan makrofag dan

limfosit setempat. Partikel yang mengambang dalam plasma darah difagositosis

secara efisien oleh makrofag, dan merupakan kondisi ideal untuk penampilan

antigen (Aughey and Frye, 2001).

2.5 Superoksida Dismutase (SOD)

Superoksida dismutase (SOD) adalah metalloenzim yang mengandung

atom tembaga, seng atau besi yang dibentuk dalam sitosol dan yang mengandung

mangan dibentuk didalam matrik mitokondria, cara kerjanya dengan

mengkatalisis dismutasi pada superoxide menjadi hidrogen peroksida dan

oksigen, hidrogen peroksida mudah untuk berdifusi melewati membran plasma.

Selanjutnya hidrogen peroksida diubah menjadi molekul air oleh enzim katalase
20

dan glutation peroksidase. Superoksida dismutase (SOD) merupakan enzim

antioksidan yang berefek sangat kuat dan merupakan pertahan tubuh pertama

dalam menghadapi radikal bebas. Aktivitas SOD dapat dijadikan acuan

pengukuran stres oksidatif dalam tubuh (Halliwell, 2006).

Stres oksidatif timbul akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen

dan mengakibatkan gangguan pada keseimbangan antara oksidan dan antioksidan

sel. Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas

dengan antioksidan, dimana jumlah radikal bebas lebih banyak bila dibandingkan

dengan antioksidan. Jika produksi radikal bebas melebihi dari kemampuan

antioksidan intrasel untuk menetralkannya maka kelebihan radikal bebas sangat

potensial menyebabkan kerusakan sel. Sering kali kerusakan ini disebut sebagai

kerusakan oksidatif, yaitu kerusakan biomolekul penyusun sel yang disebabkan

oleh reaksinya dengan radikal bebas (Halliwell, 2006).

Sehubungan dengan potensi toksisitas senyawa radikal bebas, tubuh

memiliki mekanisme sistem pertahanan alami berupa enzim antioksidan endogen

yang berfungsi menetralkan dan mempercepat degradasi senyawa radikal bebas

untuk mencegah kerusakan komponen makromolekul sel. Sistem ini dibagi dalam

dua kelompok besar yaitu: sistem pertahanan preventif seperti enzim superoksida

dismutase, katalase, dan glutation peroksidase dan sistem pertahanan melalui

pemutusan reaksi radikal seperti isoflavon, vitamin A, vitamin C, dan vitamin E.

Enzim superoksida dismutase sebagai salah satu enzim antioksidan intrasel

bekerja dengan cara membersihkan radikal bebas atau spesies oksigen reaktif

(ROS) dengan reaksi enzimatis dan mengubahnya menjadi produk yang lebih
21

stabil. SOD mengkatalisis reaksi dismutasi radikal bebas anion superoksida (O 2- )

menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen sehingga tidak berbahaya bagi

sel (Valko et al., 2007; Halliwell, 2006).

2.6 Nuclear Factor kappa Beta (NF-KB)

Nuclear Factor kappa Beta (NF-KB) merupakan famili faktor transkripsi

dengan spektrum kerja yang luas, antara lain menginduksi pertahanan sel,

proliferasi serta berperan dalam regulasi sistem imun dan respons inflamasi.

Aktivasi NF-KB pada sel normal akan mengaktifkan beberapa gen yang terlibat

dalam supresi kematian sel melalui jalur mitokondria maupun reseptor kematian.

Nuclear Factor kappa Beta (NF-KB) menginduksi ekspresi inhibitors of apoptosis

(IAPs) dan beberapa anggota famili anti-apoptosis Bcl-2. Nuclear Factor kappa

Beta (NF-KB) juga dapat memengaruhi aktivitas transkripsional p53 melalui

peningkatan gen antiapoptosis dan penekanan p53 sehingga menghambat proses

apoptosis yang diinduksi oleh p53. Selain itu, NF-KB mempromosikan progresi

siklus sel melalui pengaturan gen yang terlibat dalam siklus sel seperti cyclin D1,

D2, D3 dan cyclin E, c-myc dan c-mycb. Nuclear Factor kappa Beta (NF-KB)

diduga berhubungan pula dengan aktivitas pRb melalui cyclin D1. Mekanisme

anti-apoptosis NF-KB menimbulkan konsep umum bahwa aktivasi NFkB berperan

terhadap resistensi apoptosis (Ratnasari, dkk., 2016).

Anda mungkin juga menyukai