Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS VEGETASI STRATA SEMAK DI BUKIT COGONG

KABUPATEN MUSI RAWAS

Oleh

Ratih Agustin1, Merti Triyanti2, Hj. Ivoni Susanti3


1
Alumni Program Studi Pendidikan Biologi, STKIP-PGRI Lubuklinggau
2
Dosen Pembimbing Utama, 3Dosen Pembimbing Pembantu
Email: ratih.agustin12@yahoo.com

Program Studi Pendidikan Biologi


Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
STKIP-PGRI Lubuklinggau

ABSTRACT
This study aims to find out the Importance Value Index (INP), Diversity Index
(H ') and abiotic environmental factors (soil temperature, air temperature, soil pH, air
humidity and soil moisture) bush strata vegetation in Bukit Cogong Musi Rawas
District. The research method used is the method without plot (Plotless) centered on the
point (Point Centered Quarter Method). The results of the research on the highest A, B
and C index of Important Value Index (INP) were Clidemia hirta 90.55%, 82.03% and
76.34%. The lowest INPs in the A, B and C Study Areas were Sauropus androgynus
(1.04%), Ficus septicum (3.03%), Capsicum frutescens (2.82%). Diversity Index (H ') of
bush strata vegetation in Bukit Cogong Musi Rawas District is Area Study A 2.13, Area
Study B 1.77, and Study Area C 1.61. The air temperature in the Cogong forest forests
protection area ranges from 28.30C-300C with air humidity 86% -93%. While the soil
temperature ranged from 27.30C-29.60C with soil moisture ranged from 0.8 to 1.7 and
soil pH ranged from 6.3 to 6.7.

keywords: vegetation analysis, bush strata, cogong hill

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui Indeks Nilai Penting (INP), Indeks


Keanekaragaman (H’) dan faktor lingkungan abiotik (suhu tanah, suhu udara, pH
tanah, kelembaban udara dan kelembaban tanah) vegetasi strata semak di Bukit Cogong
Kabupaten Musi Rawas. Metode penelitian yang digunakan adalah metode tanpa plot
(Plotless) yang berpusat pada titik (Point Centered Quarter Method). Hasil penelitian
pada Area Kajian A, B dan C Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi adalah Clidemia hirta
sebesar 90.55 %, 82.03 % dan 76.34 %. INP terendah pada Area Kajian A, B dan C
adalah Sauropus androgynus (1.04 %), Ficus septicum (3.03 %), Capsicum frutescens
(2.82 %). Indeks Keanekaragaman (H’) vegetasi strata semak di Bukit Cogong
Kabupaten Musi Rawas adalah Area Kajian A 2.13, Area Kajian B 1.77, dan Area
Kajian C 1.61. Suhu udara di areal perlindungan hutan kemasyarakatan Bukit Cogong
berkisar 28,30C-300C dengan kelembaban udara 86%-93%. Sedangkan suhu tanah
berkisar 27,30C-29,60C dengan kelembaban tanah berkisar 0,8-1,7 dan pH tanah
berkisar 6,3-6,7.

Kata kunci: analisis vegetasi, strata semak, bukit cogong

1
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki hutan seluas 120 juta Ha, 58 juta Ha adalah kawasan hutan
produksi (48 %), 33,5 juta Ha kawasan hutan lindung (28 %), 20,5 juta Ha kawasan
hutan konservasi (17 %) dan 8 juta Ha kawasan hutan yang dapat dikonservasi atau 7 %
(Alam dan Hajawa, 2007:59). Luas 120 juta Ha hutan Indonesia juga termasuk bagian
dari hutan Sumatera Selatan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.76/Kpts-
II/2001 tanggal 15-03-2001 hutan Sumatera Selatan memiliki luas ± 4.416.837 Ha. Luas
kawasan hutan ini mencakup 40,43 % dari luas Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan
hutan tersebut terdiri dari kawasan hutan konservasi, hutan lindung, dan kawasan hutan
produksi. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas dari kawasan
hutan lindung Sumatera Selatan adalah 577.327 Ha. Luas kawasan hutan lindung
tersebut termasuk juga luas dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Musi
Rawas yang seluas 89.511 Ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: 76/Menhut-II/2001 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di
Wilayah Provinsi Sumatera Selatan adalah Bukit Cogong dijadikan sebagai Hutan
Lindung yang ada di Kapubaten Musi Rawas.
Bukit Cogong (HLBC) terdiri atas tiga bukit yaitu Bukit Gatan (± 567 Ha),
Bukit Botak (± 53 Ha), dan Bukit Besar (± 1.222 Ha). Bukit Besar disebut juga Bukit
Cogong II dan merupakan bukit terbesar diantara ketiga bukit tersebut. Bukit Cogong II
terletak di Kabupaten Musi Rawas (Kec. Suku Tengah Lakitan (STL). Ulu Terawas dan
Kec. Tugumulyo) dan Kota Lubuklinggau (Kec. Lubuklinggau Utara I). Bukit Cogong
II terbagi menjadi tiga wilayah yaitu Hutan Pemanfaatan, Hutan Perlindungan dan
Hutan Konservasi. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas memberikan kepada Kelompok
Tani untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar 290 Ha sebagai Hutan Kemasyarakatan
(HKm). Hutan Kemasyarakatan Bukit Cogong terdiri dari Hutan Pemanfaatan (205 Ha)
dan Hutan Perlindungan (85 Ha) (Cahyono, 2013:31).
Hutan Perlindungan Bukit Cogong II merupakan ekosistem hutan yang terdiri dari
komunitas pohon, komunitas tiang, komunitas pancang, komunitas semak, komunitas
herba, komunitas liana. Menurut Hilwan (2014:6) ekosistem hutan merupakan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Hubungan ini
terlihat dengan adanya variasi dalam jumlah masing-masing jenis tumbuhan dan
terbentuknya struktur masyarakat tumbuh-tumbuhan tersebut. Terbentuknya pola
keanekaragaman dan struktur spesies vegetasi hutan merupakan proses yang dinamis,
erat hubungannya dengan kondisi lingkungan, baik biotik maupun abiotik.
Hutan memiliki vegetasi, menurut Yatim (1999:774) vegetasi adalah kumpulan
dari tumbuh-tumbuhan. Vegetasi mempunyai komposisi dan struktur yang akan

2
diketahui dan dianalisis yang sering disebut dengan analisis vegetasi. Sedangkan
menurut Heddy (2012:45) untuk mengetahui analisis vegetasi tersebut dapat
menggunakan metode-metode, seperti metode Bitterlich, metode pasangan acak,
metode kuarter.
Salah satu penyusun vegetasi adalah semak. Menurut Yatim (1999:774) semak
adalah lapisan yang tumbuhan berumpun dengan batang pendek dengan tinggi dibawah
1,5 meter. Sedangkan menurut Mandiri (2012:142) semak juga merupakan tumbuhan
berkayu yang tingginya lebih dari satu meter, tetapi lebih rendah dari pada perdu dan
hanya dahan-dahan utamanya saja yang berkayu.
Hutan Lindung Bukit Cogong banyak terdapat vegetasi seperti pohon, semak,
tiang, pancang, herba dan liana. Namun vegetasi semak belum teridentifikasi struktur
dan komposisi vegetasinya. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian dengan
judul Analisis Vegetasi Strata Semak di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2017 di Hutan
Perlindungan Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas yaitu, Bukit Cogong II (Bukit
Besar). Penentuan analisis vegetasi strata semak menggunakan metode tanpa plot
(Plotless) yang terpusat di titik (point-centered quarter method) atau metode kuadran.
Dalam metode ini, empat jarak diukur tiap-tiap titik sampling. Pada setiap titik dibuat
empat kuadran (quarter) dengan membuat garis saling tegak lurus. Kemudian diukur
jarak semak terdekat ke titik sampling dari masing-masing kuadran, kemudian dirata-
rata (Wiryono, 2012:106).
Alat-alat yang digunakan adalah kantong plastik, meteran (pita ukur), tali rafia,
jangka sorong, pasak, Soil Tester, Thermometer, Hygrometer, Log book dan tabel
pengamatan. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta Bukit
Cogong, semua jenis vegetasi strata semak yang ditemukan di lokasi penelitian.
Sampel penelitian diambil 3 area kajian, yaitu area kajian A (daerah pangkal),
area kajian B (daerah tengah), dan area kajian C (daerah ujung). Sampel penelitian
ditetapkan dengan metode Purposive sampling. Metode ini merupakan metode
penentuan sampel secara sengaja yang dianggap representatif (Fachrul, 2012:13) atau
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012:124). Secara
keseluruhan luas area penelitian yaitu 17 ha atau 170.000 m2 yang diambil 20% dari
keseluruhan luas seluruh lokasi penelitian (Irawati, 2014:11) dan luas area hutan
perlindungan seluruhnya yaitu 85 ha atau 850.000 m2. Sehingga luas masing-masing
area kajian 56.666 m2. Pada masing-masing area kajian diletakkan 10 stand. Pada
setiap stand penelitian diletakkan garis transek utama sepanjang 560 m dengan jarak

3
antar stand yaitu 6,6 m dan dibuat 10 titik sampling yang memotong garis transek utama
yang masing-masing berjarak 56 m. Pada setiap titik sampling ditentukan empat garis
atau kuadran.
Pada setiap kuadran ditentukan satu jenis semak yang mempunyai jarak terdekat
dengan titik sampling. Semak yang dipilih kemudian dicatat jenisnya, diukur diameter
batangnya dengan jangka sorong diatas permukaan tanah (Hairiah, 2011:8), dan jarak
semak tersebut terhadap titik sampling. Pencatatan jenis semak dilakukan dengan
bantuan seorang pengenal semak setempat yaitu Bapak Nibuansyah selaku ketua
kelompok tani kehutanan dan buku acuan yaitu buku Flora karangan G.C.C.J. Van
Steenis (2013). Masing-masing stand diukur keadaan abiotiknya, yaitu suhu tanah dan
suhu udara diukur dengan termometer, pH tanah dan kelembaban tanah diukur dengan
soil tester dan kelembaban udara diukur dengan higrometer. Pengukuran faktor
lingkungan abiotik di setiap stand dilaksanakan pada saat penelitian.
Parameter vegetasi semak yang dianalisis adalah Densitas, Densitas Relatif,
Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif, Indeks Nilai Penting (INP)
dan Indeks Keanekaragaman (H’). Parameter vegetasi semak yang diperoleh saat
penelitian adalah nama spesies, jarak spesies ke titik sampling, keliling batang dan
diameter. Menurut Rasidi (2004:5.9) dan Fachrul (2012:51), rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut:
𝒅𝒊𝒂𝒎𝒆𝒕𝒆𝒓
Jari-jari = 𝟐

Basal area = 3.14 x r2


𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒌
Rata-rata jarak = 𝟒 𝒙 𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒍𝒊𝒏𝒈
𝒖𝒏𝒊𝒕 𝒂𝒓𝒆𝒂
Densitas mutlak (DT) = (𝒓𝒂𝒕𝒂−𝒓𝒂𝒕𝒂 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒌)2

Parameter vegetasi terdiri atas:


𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒋𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒊
1) Densitas tiap spesies (Ki) = 𝟒𝒙𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒙 𝑫𝑻
𝑫𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒊
2) Densitas Relatif (KRi) = 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒅𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕 𝒋𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒊
3) Frekuensi (Fi) = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒍𝒊𝒏𝒈
𝑭𝒓𝒆𝒌𝒖𝒆𝒏𝒔𝒊 𝒊
4) Frekuensi Relatif (FRi) = 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒇𝒓𝒆𝒌𝒖𝒆𝒏𝒔𝒊 𝒙 𝟏𝟎𝟎%

5) Dominansi (Di) = 𝑹𝒂𝒕𝒂 𝒃𝒂𝒔𝒂𝒍 𝒂𝒓𝒆𝒂 𝒋𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒊 𝑿 𝒅𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒊


𝑫𝒐𝒎𝒊𝒏𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒊
6) Dominansi Relatif (DRi) = 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒅𝒐𝒎𝒊𝒏𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒙 𝟏𝟎𝟎%

4
7) INP = KRi + FRi + DRi
Perhitungan indeks keanekaragaman dapat dihitung menurut Shannon Wiener, yaitu:
𝒏𝒊 𝒏𝒊
H’ = − ∑ {( 𝑵 ) 𝒍𝒏 ( 𝑵 )}

Keterangan:
H’ = indeks keanekaragaman Shannon
ni = jumlah individu dari suatu spesies
N = jumlah total individu

HASILDAN PEMBAHASAN
1. Indeks Nilai Penting Spesies Semak pada Area Kajian A

Gambar 1. Grafik Rerata INP Strata Semak di Area Kajian A

2. Indeks Nilai Penting Spesies Semak pada Area Kajian B

Gambar 2. Grafik Rerata INP Strata Semak di Area Kajian B

3. Indeks Nilai Penting Spesies Semak pada Area Kajian C

Gambar 3. Grafik Rerata INP Strata Semak di Area Kajian C

5
4. Indeks Keanekaragaman Vegetasi Strata Semak pada Area Kajian A, B dan C
Tabel 1. Tabel Indeks Keanekaragaman Vegetasi Strata Semak
pada Area Kajian A, B dan C

5. Faktor Lingkungan Abiotik yang diukur pada Area Kajian A, B dan C

Tabel 2. Tabel Hasil Pengukuran Faktor Lingkungan Abiotik


pada Area Kajian A, B dan C

Area Kajian A terdapat 14 jenis untuk strata semak dengan Indeks Nilai Penting
(INP) tertinggi adalah tumbuhan Seduduk Lanang
(Clidemia hirta) sebesar 121,08 %. Tumbuhan C.
hirta merupakan tumbuhan tahunan yang tangguh,
perakaran kuat, batangnya keras bila ditebas akan
tumbuh tunas-tunas baru. Tumbuhan ini akan
tumbuh pada tanah yang lembab atau agak kering,
lokasi terbuka atau ternaungi, yang mana Gambar 4. Clidemia hirta
berbunga sepanjang tahun (Faisal, 2011:47).
Sedangkan rerata INP terkecil pada Area Kajian A terdapat pada tumbuhan Katu
(Sauropus androgynus) yaitu sebesar 1,04 %.
Tumbuhan S. androgynus merupakan tumbuhan
yang berasal dari India dan Srilanka. Tumbuhan S.
androgynus berupa tumbuhan yang tumbuh
menahun, batang ramping sehingga sering ditanam
beberapa batang sekaligus sebagai tanaman pagar Gambar 5. Sauropus androgynus

6
yang tingginya sekitar 1-2 m. Batang tumbuhan ini tumbuh tegak, saat masih muda
berwarna hijau, setelah tua menjadi kelabu keputihan, berkayu dan memiliki
percabangan yang jarang (Susila, 2012:21).
Rerata Indeks Keanekaragaman (H’) pada Area Kajian sebesar 1,67 dan pada
kesepuluh stand termasuk kedalam kategori sedang melimpah. Indeks Keanekargaman
(H’) tertinggi adalah Stand 7 yang memiliki sepuluh jenis tumbuhan strata semak.
Sedangkan yang terkecil adalah stand 4 yang memiliki empat jenis tumbuhan strata
semak. Menurut Indriyanto (2012:146), keanekaragaman sedang melimpah berarti
komunitas didalam ekosistem hutan disusun oleh banyak spesies yang berinteraksi antar
spesies seimbang.
Pertumbuhan Clidemia hirta tidak terlepas dari berbagai faktor, misalnya habitat
dan lingkungan abiotik. Menurut Palijama (2012:139) Clidemia hirta hidup pada tempat
yang ternaungi (teduh) dan memiliki pH tanah yang bersifat asam. Pada Area Kajian A,
memiliki suhu udara berkisar 280C-290C dikarenakan pengukuran dilakukan di tempat
yang terbuka sehingga suhu udaranya tinggi. Sedangkan pH tanah pada Area Kajian A
berkisar 6,3-6,7 yang berarti asam, menurut Binggeli (2005:4-5) C.hirta hidup pada pH
yang asam. Sama halnya pada tumbuhan Sauropus androgynus yang juga hidup pada
kondisi yang ternaungi (teduh) (Tul’aini, 2015:15). Akan tetapi pada Area Kajian A
tumbuhan S. androgynus tidak berada dalam kondisi yang teduh (ternaung) melainkan
panas (tidak ternaung). Ini menyebabkan sedikitnya tumbuhan S. androgynus hidup
pada Area Kajian A yaitu hanya satu jenis.
Hambatan yang ada pada Area Kajian A adalah peneliti menemukan batu-batu
besar seperti pada stand 2 , kemudian stand 4 ditemukan jurang yang cukup dalam
sehingga untuk lanjut ke stand 5 peneliti mengambil jalur seberang sungai.
Strata semak pada Area Kajian B terdapat 12 jenis dengan rerata Indeks Nilai
Penting (INP) tertinggi yang sama dengan Area Kajian A yaitu tumbuhan Seduduk
Lanang (Clidemia hirta) dengan rerata INP sebesar 142,98 %. Tumbuhan C. hirta
merupakan tumbuhan yang termasuk kedalam ordo Myrtales, family Melastomataceae.
C. hirta merupakan tumbuhan yang sering dijumpai di tepi hutan, semak belukar, di tepi
jurang, daerah terbuka. Memiliki daun yang lebat sehingga sinar matahari yang
mengenai permukaan tanah sedikit dan menyebabkan kelembaban tanah tinggi.
Tumbuhan berdaun lebar yang cenderung tumbuh dengan habitat ternaungi (Palijama,
2012:139). Dapat hidup pada tanah yang kering dapat berkembangbiak dengan biji dan
tumbuh secara berumpun. Memiliki kandungan kimia seperti saponin, terpen, dan
alkaloid pada buah (Manalu, 2014:6). Daunnya mengandung tannin hidrolisa yang
bersifat toksik bagi hati dan ginjal hewan ternak apabila memakannya. Faktor ini juga

7
menyebabkan pertumbuhan C. hirta semakin cepat dan banyak. Pada Area Kajian B
paling banyak ditemukan C. hirta. C. hirta sangat berpengaruh serius yang dapat
menyebabkan kanopi tanaman sekitar tidak muncul dan dapat tumbuh pada lahan yang
tidak terurus. C. hirta dapat bertahan hidup terhadap kekeringan selama 6 bulan
meskipun tunas pucuk mati (Hafiz, 2014:1579-1580).
Sedangkan rerata Indeks Nilai Penting (INP) terkecil
pada Area Kajian B terdapat pada tumbuhan Awar-Awar
(Ficus septicum) yaitu sebesar 3,03 % dan terdapat satu
individu. Tumbuhan F. septicum berupa semak tinggi yang
tingginya mencapai 1-5 meter. Daunnya tunggal, tersusun
spiral, tepi rata, berbulu (Rahadiantoro dan Siahaan,
Gambar 6. Ficus septicum
2016:28).
Area Kajian B memiliki rerata H’ sebesar 1,26 dan pada stand 1-8 dikategorikan
tingkat keanekaragaman tumbuhannya sedang melimpah sedangkan stand 9 dan 10
dikategorikan sedikit melimpah karena pada kedua stand tersebut banyak ditemukan
tumbuhan paku. Menurut Azizah (2017:2698) semakin stabil keadaan suatu komunitas
maka semakin tinggi nilai keanekaragaman jenisnya
Menurut Binggeli (2004:4-5) Tumbuhan Clidemia hirta dapat tumbuh pada pH
tanah yang bersifat asam dan pada Area Kajian B pH tanah bekisar 6,3-6,7 (asam).
Sehingga C. hirta dapat tumbuh dengan cepat yang menyebabkan tumbuhan tersebut
dominan pada Area Kajian B. Sedangkan tumbuhan Ficus septicum tumbuh pada
ketinggian 1.200 m dpl dan banyak ditemukan di hutan terbuka, tepi jalan dan, semak
belukar (Hasan, 2016:6) serta dapat juga pada lahan kering (Krisdianto dan Balfas,
2016:13). Suhu udara yang diperlukan untuk pertumbuhan tumbuhan tersebut berkisar
280C -290C (Muhidin, 2006:34). Pada Area Kajian B memiliki suhu udara berkisar
28,30C -300C. hal ini membuktikan bahwa pada Area Kajian B mencukupi untuk syarat
tumbuh dari pertumbuhan Ficus septica namun pada Area Kajian B hanya sedikit
ditemukan. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan atau kompetisi yang terjadi
diantara tumbuhan.
Hambatan yang ditemukan pada Area Kajian B adalah banyak ditemukan
tumbuhan jelatang. Tanaman ini cukup membahayakan apabila terkena tubuh
seseorang. Selain itu juga ditemukan jurang-jurang kecil dan peneliti harus berhati-hati
dalam menjangkau stand demi stand pada Area Kajian B.
Area Kajian C terdapat 10 jenis untuk strata semak dengan Indeks Nilai Penting
(INP) tertinggi juga ditempati oleh tumbuhan Seduduk Lanang (Clidemia hirta) sebesar
144,74 %. INP tumbuhan C. hirta di Area Kajian C lebih besar dibandingkan Area

8
Kajian A dan B. Hal ini disebabkan oleh tumbuhan C. hirta dapat menghasilkan lebih
dari 500 buah yang berwarna biru-hitam pertahun. Masing-masing buah mengandung
lebih dari 100 biji dan hidup pada pH yang asam dengan kondisi cuaca yang teduh
(Binggeli, 2005:4-5). Penyebaran biji dapat dilakukan dari burung pemakan buah
manusia dan dari buah yang jatuh ketanah. Penyebaran melalui biji dan didukung oleh
manusia ataupun hewan dapat menyebabkan pertumbuhan C. hirta dapat tumbuh
semakin cepat dan dibantu dengan kondisi pH tanah, kelembaban tanah serta cahaya
yang sangat mendukung membuat C. hirta untuk tumbuh cepat dan mendominasi
tempat yang ditempati. Ini disebabkan karena banyaknya unsur N yang diserap sehingga
pertumbuhannya cepat (Palijama, 2012:139). Menurut Wirabuana (2015:78) suhu udara
yang mendukung untuk Clidemia hirta adalah 20,74 0C - 25,7 0C dengan kelembaban
udara 72,6 % - 85,6 %. Sedangkan suhu udara pada Area Kajian C adalah 28,30C -
300C dan kelembaban udara sebesar 86 % - 92,3 %. Terdapat perbedaan suhu udara dan
kelembaban udara yang disebabkan oleh faktor lingkungan yang mana saat pengukuran
pada Area Kajian C cuacanya sangat terik (panas). Menurut Binggeli (2005:4-5) C.
hirta dapat hidup pada pH asam sedangkan pH tanah pada Area Kajian C berkisar 6,3-
6,5. Menurut Tim Dosen Kimia Dasar FTP (2012:18) nilai pH < 7 bersifat asam. Hal ini
membuktikan bahwa C. hirta dapat tumbuh subur pada Area Kajian C.
Sedangkan rerata INP terkecil pada Area Kajian
C terdapat pada tumbuhan Cabe Rawit (Capsicum
frutescens) yaitu sebesar 2,82 %. Tumbuhan Capsicum
frutescens berasal dari Ancon dan Huaca Prieta di Peru.
C. frutescens merupakan salah satu jenis sayuran yang
telah membudaya dikalangan petani (Tendy, 2016:400).
C. frutescens merupakan tumbuhan yang tingginya
mencapai 50-150 cm hidupnya dapat mencapai 2 Gambar 7. Capsicum frutescens

sampai 3 tahun. Bunganya muncul berpasangan atau bahkan lebih di bagian ujung
ranting, posisi tegak, mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti
bintang. Buah berbentuk bulat dan ada juga yang panjang kerucut dengan warna biji
kuning pucat (Djarwaningsih, 2005:294).
Rerata Indeks Keanekaragaman (H’) pada Area Kajian C sebesar 0,99 dan
termasuk kedalam kategori sedikit melimpah. Pada stand 1, 2, 6, 9 dan 10 termasuk
kedalam kategori sedang melimpah. Sedangakan pada stand 3, 4, 5, 7, dan 8 termasuk
kedalam kategori sedikit melimpah. Menurut Indriyanto (2012:146) suatu komunitas
dikatakan memiliki keanekargaman yang rendah atau sedikit jika komunitas itu disusun
oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit spesies saja yang dominan. Sedangkan

9
menurut Azizah (2017:2698) sedikit atau rendahnya tingkat keanekaragaman jenis
tumbuhan baik pohon, tiang ataupun semak menunjukkan bahwa di kawasan tempat
berada tumbuhan tersebut rentan terhadap gangguan. Pada Area Kajian C banyak sekali
ditemukan tumbuhan tingkat pohon seperti bayur.
Pada Area Kajian C, suhu udara berkisar 28,30C - 300C. Sedangkan Capsicum
frutescens dapat hidup dalam suhu udara berkisar 160C - 230C (Tendy, 2016:400). Pada
saat pengukuran faktor abiotik didapatkan hasil suhu udara yang tinggi (panas), hal ini
dipengaruhi oleh faktor cuaca yang sangat terik (panas). Hal ini menunjukkan bahwa
suhu udara pada Area Kajian C tidak sesuai dengan syarat tumbuh tumbuhan C.
frutescens. Sehingga menyebabkan tumbuhan C. frutescens pada Area Kajian C sedikit.
Hambatan yang ditemukan pada Area kajian C yaitu lebih banyak ditemukan
semak belukar (rimbun) sehingga peneliti mengajak seseorang untuk membuka jalan
agar bias menjakau stand demi stand pada Area Kajian C. Selain itu pada Area Kajian C
di stand 4 dan 5 ditemukan sarang kumbang yang sangat besar. Hal tersebut yang
membuat peneliti harus berhati-hati ketika berjalan agar tidak mengganggu sarang
kumbang tersebut.

KESIMPULAN
Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi strata semak di Bukit Cogong Kabupaten
Musi Rawas pada Area Kajian A memiliki INP tertinggi adalah Clidemia hirta sebesar
121,08 % dan INP terendah adalah Sauropus androgynus sebesar 1,04 %. Sedangkan
pada Area Kajian B memiliki INP tertinggi adalah Clidemia hirta sebesar 142,98 % dan
INP terendah adalah Ficus septicum sebesar 3,03 %. Sedangkan pada Area Kajian C
memiliki INP tertinggi adalah Clidemia hirta sebesar 144,74 % dan INP terendah
adalah Capsicum frutescens sebesar 2,82 %. Indeks Keanekaragaman (H’) vegetasi
strata semak di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas pada Area Kajian A memiliki
rerata H’ sebesar 1,67 dan berkategori sedang melimpah, pada Area Kajian B memiliki
rerata H’ sebesar 1,26 dan berkategori sedang melimpah, pada Area Kajian C memiliki
rerata H’ sebesar 0,99 dan berkategori sedikit melimpah. Faktor lingkungan abiotik
pada areal perlindungan hutan kemasyarakatan (HKm) Bukit Cogong Kabupaten Musi
Rawas dengan suhu udara berkisar 28,30C-300C, kelembaban udara berkisar 86%-93%,
pH tanah berkisar 6,3-6,7, dan suhu tanah berkisar 27,30C-290C serta kelembaban tanah
berkisar 8%-17%.

SARAN
Bagi peneliti, selanjutnya diharapkan melakukan pengukuran ketinggian tempat
penelitian dari permukaan laut dan penggolongan tipe tanah serta melakukan teknik

10
pengukuran faktor lingkungan abiotik sesuai panduan sehingga dapat diketahui peranan
faktor lingkungan abiotik terhadap tumbuhan semak khususnya. Bagi Masyarakat,
perlunya menimbulkan rasa kesadaran dan tanggung jawab dalam memelihara
ekosistem hutan yang ada di Bukit Cogong II Kabupaten Musi Rawas sehingga
ekosistem yang ada di hutan tersebut tetap terjaga. Bagi KPHP Lakitan, perlu adanya
pemeliharaan, perlindungan dan pelestarian ekosistem hutan sehingga spesies semak
dapat terjaga ekosistemnya dan tetap ada.

DAFTAR PUSTAKA
Alam, S dan Hajawa. 2007. Peranan Eucalyptus spp. [Artikel Online]
Sumberdaya Hutan dalam [https://jurnal.usu.ac.id]. hal 44-
Perekonomian dan Dampak 49.
Pemungutan Rente Hutan
Terhadap Kelestarian Hutan di Hafiz, A. Purba E. & Damanik, B. S. J.
Kabupaten Gowa. Jurnal 2014. Efikasi Beberapa Herbisida
Perennial, 3 (2), hal 59-66. Secara Tunggal dan Campuran
Terhadap Clidemia Hirta (L.) D.
Azizah, P.N. 2017. Analisis Vegetasi di Don. di Perkebunan Kelapa
Kawasan sekitar Mata Air Sawit. Jurnal Online
Ngembel, Kecamatan Pajangan, Agroekoteknologi, 2 (4), ISSN
Kabupaten Bantul. Jurnal Riset 2337-6597, hal 1578-1583.
Daerah, XVI (1), hal 2685-2702.
Hairiah, K. dkk. 2011. Pengukuran
Binggeli, P. 2005. Crop Protection Cadangan Karbon dari Tingkat
Compendium – Clidemia hirta Lahan ke Bentang Lahan.
(L.) D. Don. [Artikel Online] Petunjuk Praktis. Edisi kedua.
[www.mikepalmer.co.uk]. hal 1- Bogor, World Agroforestry
12 Centre, ICRAF SEA Regional
Office, University of Brawijaya
Cahyono, E. 2013. Valuasi Ekonomi (UB), Malang, Indonesia xxp.
Hutan Lindung Bukit Cogong
Kabupaten Musi Rawas Provinsi Hasan, F. N. 2016. Mengenal Ciptaan
Sumatera Selatan. Tesis. Allah mengenai Daun Awar-
Bengkulu. Universitas Bengkulu. Awar. [Artikel Online].
Program Studi Pascasarjana [https://ibs-mutiaraquran.com]
Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan (s-2). Fakultas Heddy, S. 2012. Metode Analisis Vegetasi
Pertanian. dan Komunitas. Jakarta: Rajawali
Press.
Djawaningsih, T. 2005. Review: Hilwan, I. dkk. 2014. Keanekaraaman
Capsicum spp. (Cabai): Asal, Jenis Tumbuhan Bawah pada
Persebaran dan Nilai Ekonomi. Tegakan Sengon Buto
Jurnal Biodiversitas, 6 (4), hal (Enterolobium cyclocarpum
292-296. Doi: 10. Griseb.) dan Trembesi (Samanea
13057/biodiv/d060417. saman Merr.) di Lahan Pasca
Tambang Batubara PT Kitadin,
Fachrul, M. F. 2012. Metode Sampling Embalut, Kutai Kartanagara,
Bioekologi. Jakarta: Bumi Kalimantan Timur. Jurnal
Aksara. Silvikultur Tropika, 4 (1), ISSN:
2086-8227, hal 6-10 .
Faisal, R. Siregar, E. B. M. & Anna, N.
2011. Inventarisasi Gulma pada Indriyanto. 2012. Ekologi Hutan. Jakarta:
Tegakan Tanaman Muda PT Bumi Aksara.

11
Irawati, H. 2014. Analisis Vegetasi Strata
Pohon di Sepanjang Sempadan Sugiyono. 2012. Metode Penelitian
Sungai Code Yogyakarta. Jurnal pendidikan. Yogyakarta: UGM
BIOEDUKATIKA, 2 (1), hal 10-
15. Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: 76/Menhut-II/2001
Krisdianto dan Balfas, J. 2016. Struktur tentang Penunjukkan Kawasan
Anatomi dan Kualitas Serat Kayu Hutan dan Perairan di Wilayah
dan Akar Gantung Beringin Provinsi Sumatera Selatan
(Ficus benjamina Linn,). Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Susila A. D, dkk. 2012. Tanaman Sayuran
21 (1). ISSN 0853-4217, hal 13- Indigenous. Pusat Kajian
19. Hortikultura Tropik: Institut
Pertanian Bogor.
Mandiri. T. K. T. 2012. Pedoman
Bertanam Buah Naga. Bandung: Tendy, P. N. 2016. Pengaruh Konsentrasi
CV. Nuansa Aulia. Penyiraman Air Limbah Tempe
Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Manalu, V. C. Afifuddin Y. & Marpaung Cabai Rawit (Capsicum
L. 2014. Ekspolarasi Tumbuhan frutescens, L.) Sebagai Bahan
Beracun di Cagar Alam Dolok Penyusunan Petunjuk Praktikum
Tinggi Raja Kabupaten Mata Pelajaran Biologi untuk
Simalungun Sumatera Utara. SMA Kelas XII pada Materi
[Artikel]. Prodi Kehutanan Pertumbuhan dan Perkembangan.
Fakultas Kehutanan Universitas Jurnal Prosiding Seminar
Sumatera Utara. hal 1-10 Nasional II, hal 398-409.
Muhidin, L. A. Setiawan, L. & Suprapti, Tim Dosen Kimia Dasar FTP. 2012. Teori
Mc. 2006. Pengrajin Tradisional Asam dan Basa. Universitas
Daerah Nusa Tenggara Barat. Brawijaya.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jendral Tul’aini, dkk. 2015. Respon Tanaman
Kebudayaan, Direktorat Sejarah Katuk (Sauropus androgynus L.)
dan Nilai Tradisional, Proyek pada berbagai tingkat Intensitas
Inventarisasi dan Pembinaan Naungan dan Jumlah Buku Bibit.
Nilai-Nilai Budaya. Undergraguated Thesis.
Universitas Bengkulu.
Palijama, W. Riry, J & Wattimena A. Y.
2012. Komunitas Gulma pada Wirabuana, P. Y. A. P. 2015. Distribusi
Pertanaman Pala (Myristica dan Asosiasi Tumbuhan Bawah
fragrans. H) Belum clidemia hirta di Kawasan Resort
Menghasilkan dan Menghasilkan Cibodas Taman Nasional
di Desa Hutumuri Kota Ambon. Gunung Gede Pangrango. Tesis.
Jurnal Agrologia, 1 (2) ISSN Program Pascasarjana Program
2301-7287, hal 134-142. Studi Ilmu Kehutanan Fakultas
Kehutanan. Universitas Gadjah
Rahadiantoro, A. & Siahaan, F. A. 2016. Mada Yogyakarta.
Keragaman Jenis Pohon Familia
Moraceae di Hutan Sekitar Wiryono. 2009. Ekologi Hutan. Bengkulu:
Waru-Waru- Telogo Dowo, UNIB Press.
Pulau Sempu. Jurnal
Proceeding Seminar Nasional Yatim, W. 1999. Kamus Biologi.
Biodiversitas VI, hal 23-30. Bandung: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Rasidi, S. 2004. Ekologi Tumbuhan.
Jakarta: Universitas Terbuka.

12

Anda mungkin juga menyukai