Anda di halaman 1dari 24

METODE DAN TEKNIK ANALISIS

FLORA DAN FAUNA DARAT

Drs. I Ketut Sundra, M.Si

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

i
KATA PENGANTAR
Metode dan Teknik Analisis Flora dan Fauna Darat merupakan upaya penerapan
metode untuk melakukan suatu pengukuran secara kuantitatif terhadap flora dan fauna
dilapangan. Cara cara ini dilakukan untuk memperoleh data secara akurat dan akuntabel
sehingga validasi data yang diperoleh bias dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta
memudahkan para peneliti untuk mengambil suatu kesimpulan
Metode dan Teknik Analisis Flora dan Fauna Darat banyak dilakukan oleh peneliti
peneliti lapangan yang bergerak dalam penelitian ekologi tumbuhan, pertanian dan
penelitian Gulma dengan menerapkan metode metode sederhana dan mudah dilakukan
dilapangan .
Penulisan ini diharapkan bisa digunakan oleh semua pihak. Tetapi penulis
menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna maka diperlukan kritik dan saran
untuk disempurnakan lebih lanjut

Denpasar, Agustus 2016

Peneliti

ii
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. Iii
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
II. KEANEKARAGAMAN HAYATI ……………………………………. 2
III. METODE DAN TEKNIK ANALISIS FLORA DARAT ………………. 3
3.1 Analisis Flora Darat ……………………………………………….. 3
3.2 Analisis Data Flora Darat …………………………………………… 12
IV. METODE DAN TEKNIK ANALISIS FAUNA DARAT ………………. 15
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 21

iii
I. PENDAHULUAN
Di dalam ekosistem, flora dan fauna merupakan komponen ekosistem utama yang dikenal
sebagai produsen (tumbuhan hijau) dan konsumen (fauna) terdiri dari herbivora (hewan pemakan
tumbuhan) dan karnivora (hewan pemakan daging) (Odum, 1977). Kedudukan flora dan fauna
dalam ekosistem alami selalu terjadi hubungan timbal balik secara berkesinambungan, sehingga
terjadi mata rantai untuk mewujudkan ekosistem menjadi stabil (klimaks). Hubungan yang
berkesinambungan antara kedua komponen tersebut dapat terjadi rantai pangan, jaring pangan dan
terjadi aliran energi secara kontinyu untuk menciptakan kesetabilan ekosistem (homeostasis).
Keragaman flora dan fauna dalam suatu ekosistem disebut sebagai sumberdaya hayati,
keduanya sebagai komponen penting untuk memainkan peranan penting dalam ekosistem. Negara
Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis dan memiliki dua musim yaitu musim hujan dan
kemarau, yang memiliki keanekaragaman jenis sumberdaya hayati (flora dan fauna) sehingga
dijuluki sebagai Negara Mega Biodiversity yang terbesar ke 4 dunia. Adapun jenis flora dan fauna
mulai dari tingkat rendah sampai tinggi yang hidup didaratan dapat hidup dari berbagai macam
habitat, mulai dari dataran rendah (wilayah pesisir) hingga dataran tinggi (pegunungan).
Keanekaragaman jenis sumberdaya hayati (flora dan fauna) ini perlu dilakukan
inventarisasi dan identifikasi secara menyeluruh yang disesuaikan dengan metode serta analisis
berdasarkan sifat dan karakteristik dari jenis-jenis tersebut. Dalam hal ini perlu melakukan
pengkajian teknik dan metode analisis secara detail dan mendalam. Disamping itupula secara
umum kedua komponen tersebut memiliki sifat dan karakter sangat berbeda yaitu tumbuhan
sebagai organisme statis (diam), sehingga dalam melakukan sensus juga memerlukan metode dan
teknik analisis yang berbeda dengan hewan yang bersifat dinamis (mudah bergerak). Sedangkan
secara khusus juga terjadi penerapan metode dan teknik analisis yang berbeda antara populasi
tumbuhan yang hidup pada habitat di dataran rendah dengan di dataran tinggi, demikian pula
berlaku juga untuk populasi hewan.

II. KEANEKARAGAMAN HAYATI


Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 29 tahun 2009 tentang Pedoman Konservasi
Keanekaragaman Hayati, Keanekaragaman Hayati merupakan keanekaragaman mahluk hidup di
muka bumi dan perananan-peranan ekologisnya yang meliputi keanekaragaman ekosistem,
keanekaragaman spesies dan keanekaragaman genetik. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun
1994, keanekaragaman Hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua
1
sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan) lainnya, serta
komplek-komplek Ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya, mencakup
keanekaragaman dalam spesies, antara spesies dengan ekosistem.
Berdasarkan definisi dari kedua hal tersebut diatas, keanekaragaman hayati terdiri atas tiga
tingkatan, yaitu keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman jenis, dan keanekaragaman genetik.
a. Keanekaragaman Ekosistem merupakan suatu kesatuan yang dibentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup (komponen biotik) dan lingkungannya (komponen abiotik).
Setiap ekosistem memiliki ciri-ciri lingkungan fisik, lingkungan kimia, tipe vegetasi/tumbuhan,
dan tipe hewan yang spesifik. Kondisi lingkungan makhluk hidup ini sangat beragam. Kondisi
lingkungan yang beragam tersebut menyebabkan jenis makhluk hidup yang menempatinya
beragam pula. Keanekaragaman seperti ini disebut sebagai keanekaragaman tingkat ekosistem.
Faktor abiotik yang mempengaruhi faktor biotik di antaranya adalah iklim, tanah, air, udara,
suhu, angin, kelembapan, cahaya, mineral, dan tingkat keasaman. Variasi faktor abiotik
menimbulkan kondisi berbeda pada setiap ekosistem. Untuk mengetahui adanya
keanekaragaman hayati pada tingkat ekosistem, dapat dilihat dari satuan atau tingkatan
organisasi kehidupan di tempat tersebut. Contoh: beberapa spesies Palmae (kelapa, siwalan,
dan aren berinteraksi dengan lingkungan abiotik yang berbeda sehingga terbentuk ekosistem
yang berbeda pula diantara ketiga spesies tersebut.

b. Keanekaragaman Spesies (Keanekaragaman Jenis )


Keanekaragaman spesies merupakan dua makhluk hidup mampu melakukan perkawinan dan
menghasilkan keturunan yang fertil (mampu melakukan perkawinan dan menghasilkan keturun-
an) maka kedua makhluk hidup tersebut merupakan satu spesies. Keanekaragaman hayati
tingkat jenis menunjukkan keanekaragaman atau variasi yang terdapat pada berbagai jenis atau
spesies makhluk hidup dalam genus yang sama atau familia yang sama. Pada berbagai spesies
tersebut terdapat perbedaan-perbedaan sifat. Contoh : interaksi antara kucing, harimau dan singa

c. Keanekaragaman Genetik
Keanekaragaman Genetik merupakan faktor pembawa sifat keturunan yang terdapat dalam
kromosom. Setiap susunan gen akan memberikan penampakan ( fenotipe ), baik anatomi
maupun fisiologi pada setiap organisme. Perbedaan susunan gen akan menyebabkan perbedaan
penampakan baik satu sifat atau secara keseluruhan. Perbedaan tersebut akan menghasilkan
variasi pada suatu spesies. Hal ini disebabkan adanya keanekaragaman gen atau struktur gen
pada setiap organisme. Keanekaragaman tingkat ini dapat ditunjukkan dengan adanya variasi
dalam satu jenis (spesies). Contoh : Variasi jenis kelapa hijau, kelapa hijau, kelapa kopoyor.
Demikian untuk variasi jenis padi : padi IR, Rojolele, padi C4, padi Srdani, Barito, Delangu.

III. METODE DAN TEKNIK ANALISIS FLORA DARAT

Untuk melakukan sampling yang dikerjakan secara rasional dan efisien, maka vegetasi
yang tumbuh dari pesisir sampai pegunungan harus dikelompokkan kedalam komunitas, populasi
atau tipe vegetasi yang terpisah secara tegas (discrete). Secara umum fisiognomi vegetasi atau
2
morfologi tumbuhan dapat dengan mudah untuk dikenali dari kalangan masyarakat, tetapi
informasi lebih detail tentang komponen spesies, arti penting relatif spesies (dominansi), kerapatan
(densitas), frekuensi, dan nilai penting dari populasi atau indivdu suatu jenis belum diketahui
secara menyeluruh. Untuk mengeksplorasikan data ekologi secara detail tentang parameter
vegetasi (kerapatan, frekuensi, dominansi, nilai penting dan indeks diversitas) tersebut diperlukan
kecermatan dalam memilih metode dan teknik analisis yang tepat, sehingga pengumpulan data
lapangan dapat dikumpulkan secara cepat dan efisien waktu serta hemat biaya tetapi akurasi data
dapat dipercaya.

3.1. ANALISIS FLORA DARAT


Dalam melakukan analisis vegetasi selalu mengkaitkan dua hal penting yaitu:
1. Metode atau cara pengumpulan data lapangan dan
2 Penerapan metode analisisnya.

Metode Pengumpulan Data Lapangan


Untuk pengumpulan data vegetasi di lapangan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
(1) Cara inventarisasi atau mencacah jenis yang diketemukan di lapangan (kualitatif) dan
(2) Dilakukan pengukuran (kuantitatif).

 Sistem Inventarisasi
Cara ini dapat dilakukan dengan mudah dan cepat dengan tujuan untuk melakukan
pengenalan jenis secara morfologis, tanpa melakukan pengukuran apapun. Cara ini dapat
dilakukan dengan melakukan penjelajahan di suatu area. Dari jenis-jenis yang diketemukan
langsung dicatat secara langsung untuk jenis-jenis yang sudah dikenali nama jenisnya, atau
dilakukan penyandraan dengan bantuan buku atlas tumbuhan atau herbarium yang sudah
diidentifikasi. Cara ini dilakukan dengan tujuan terbatas atau untuk pengenalan awal, sehingga
cara ini tidak memberikan gambaran penguasaan lingkungan oleh setiap jenis secara utuh dan
menyeluruh. Dengan demikian cara ini hanya dilakukan sebagai penelitian permulaan atau
observasi untuk memantapkan dalam penelitian berikutnya.

. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi adalah bertujuan untuk memperoleh data kuantitatif dari jenis atau komposisi
dan struktur vegetasi dan mendapatkan data kuantitatif mengenai peranan jenis dalam
ekosistem. Peranan setiap jenis biasanya dicerminkan dalam 2 pola yaitu:

a. Pola penyebaran (disajikan dalam bentuk nilai frequensi atau kekerapan jenis)
3
b. Pola kesesuaian terhadap pengaruh gabungan faktor-faktor lingkungan yang ada (disajikan
dalam bentuk nilai kerapatan atau densitas tumbuhan), dan
c. Pola dari derajat penguasaan atau pengendalian terhadap faktor-faktor lingkungan yang ada
(disajikan dalam bentuk nilai dominansi).

Jumlah nilai relatif dari ketiga parameter tersebut (frequensi relatif, densitas relatif dan
dominansi relatif) dari setiap jenis merupakan Indek Nilai Penting (Importance Value Index) dari
jenis-jenis bersangkutan. Nilai penting tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan tipe
assoiasi dari vegetasi penutup daerah penelitian. Untuk nilai penting tertinggi dari suatu jenis
merupakan jenis yang mempunyai nilai penting tertinggi, berarti jenis bersangkutan merupakan
jenis pionir atau sebagai perintis vegetasi yang sudah adaptif terhadap lingkungan dan secara
ekologi termasuk jenis tumbuhan yang klimaks (mantap). Disamping itupula nilai penting vegetasi
secara keseluruhan di suatu habitat dapat mengambarkan kondisi vegetasi secara keseluruhan
menyangkut kekerapan , kerapatan dan tingkat dominansi (besar kecilnya ) pohon atau semak yang
tumbuh di kawasan tersebut.
Dalam melakukan analisis vegetasi bahwa vegetasi yang dijadikan sampel pengukuran
dapat dilakukan dalam dua ketentuan pokok yaitu:
1. Pengukuran terhadap habitusnya yaitu vegetasi yang diukur berdasarkan perawakan-nya,
meliputi:
a Golongan herba (tanaman pendek, berbatang basah) contohnya; rumput-rumputan
(Gramineae) dan golongan teki (Cyperacea).
b Golongan semak (schrubs), yaitu tanaman berkayu dengan ketinggian 0,1 – 3 m,
c Golongan pohon, yaitu tumbuhan berkayu, tumbuh tegak dengan ketinggian > 3 m
2. Pengukuran terhadap tingkat kelas pertumbuhan:
a. Pohon ( trees ) : kelas tumbuhan yang memiliki diameter batang > 35 cm.
b. Tihang ( pole) : kelas tumbuhan dengan diameter batang 25 – 35 cm.
c. Pancang atau belta ( sapling) : kelas tumbuhan dengan diameter batang 10- 25 cm.
d. Anakan atau semai (seedling) : kelas tumbuhan dengan diameter batang < 10 cm.

 Metode Analisis Vegetasi


Banyak metode yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi kuantitatif mengenai
struktur dan komposisi dari masyarakat tumbuhan. Tetapi secara garis besarnya pengukuran dan
pengambilan contoh atau analisis vegetasi dapat dilakukan dengan dua metode yaitu:
A. Metode petak contoh ( plot) atau area (kwadrat), dan

4
B. Metode tanpa petak contoh ( Plot-less method).

A. Metode Petak Contoh atau Area (Kwadrat)


Pada metode petak contoh bahwa pengukuran peubah dasar dilakukan dengan cara
penaksiran berdasarkan petak contoh. Bila habitatnya berupa suatu daerah yang luas maka
diambilah seluas tertentu saja dari daerah itu yang disebut sebagai area minimal, dan dari daerah
contoh tersebut dihitung semua tumbuhan yang diamati. Pengukuran yang dilakuikan pada petak
contoh tersebut digunakan sebagai penaksir dari keadaan semua lokasi penelitian yang dilakukan.
Ketepatan analisis berdasarkan petak contoh ini adalah didasarkan atas 3 hal pokok yaitu:
a Populasi dalam tiap petak contoh yang diambil harus dapat dihitung dengan tepat.
b Luas atau satuan tiap petak contoh harus jelas dan pasti
C. Petak contoh yang diambil harus dapat mewakili seluruh area atau daerah penelitian
Adapun ukuran petak contoh yang disarankan (Odum, 1977, Samingan 1990) adalah :
a. Vegetasi golongan rumput-rumputan, ukuran plot 1m x 1m = 1 m2
b. Vegetasi golongan semak, ukuran plot 5m x 5m = 25 m2
c. Vegetasi golongan pohon , ukuran plot 20m x 20m = 400 m2
Sedangkan ukuran plot berdasarkan kelas tumbuhan maka ditetapkan ukuran plot sbb:
a. Kelas pohon dengan ukuran plot 20m x 20m = 400 m2
b. Kelas tiang (pole) ukuran plot 10m x 10m = 100 m2
c. Kelas pancang (sapling) ukuran plot 5m x 5m = 25 m2 dan
d. Kelas anakan (seedling) ukuran plot 2m x 2m = 100 m2 (Suin, 1999)
Sedangkan bentuk plot terdiri dari bermacam-macam bentuk, meliputi: bentuk bulat, persegi
panjang dan bentuk bujur sangkar. Dari ketiga bentuk ini ternyata bentuk bujur sangar adalah
paling peraktis, efisien dan mudah untuk mengerjakan di lapangan.

A.1 Macam-Macam Petak Contoh (Plot)


a). Metode Petak Tunggal
Dengan metode ini sampel diambil pada suatu petak tunggal yang besar dan di dalamnya
tersebar petak-petak kecil yang akan dianalis. Dengan demikian petak tunggal yang besar dianggap
sebagai wakil dari lokasi yang akan dianalisis. Metode ini dapat digunakan apabila keadaan
vegetasi tumbuhan di daerah penelitian relatif sama, dari segi topografi, pH tanah dan kadar air
tanahnya. Tata letak petak tunggal dan ukuran masing-masing plot seperti tersaji pada Gambar 1
dan 2.

5
Plot Herba/Anakan
Plot Semak/Pancang
Plot Tiang
Plot Pohon
Plot untuk pohon

20 m

Gambar 1. Tata Letak Metode Petak Tunggal

20 m

Plot Pohon

10 m
20m
Plot Tiang
5m

10 m 5m 1m Plot untuk
Semak/Pancang
1m Plot untuk
Anakan

Gambar 2. Contoh Plot dan Sub plot dari Petak Tunggal.


b). Metode Petak Ganda
Pada metode ini diterapkan yaitu pengambilan sampel dilakukan dengan membuat
banyak petak contoh yang tersusun secara sistematik dan tersebar merata. Misalnya akan
6
dilakukan analisis vegetasi pada kawasan hutan . Untuk itu diambil satu petak berukuran
1 km x 1 km . Pada area itu dibuat sebanyak 100 petak contoh yang berukuran 20 m x 20
m yang tersusun secara sistematik dan tersebar merata untuk pohon. Pada masing-masing
petak tersebut dapat dibuat sub-sub plot untuk analisis tiang, pancang maupun anakan.
Tata letak plot dan detail plot ini seperti terlihat pada Gambar 3

Plot pohon
Plot Pohon (20 m x 20 m)

Plot
herba/anakan
(1 m x 1 m)

Plot tihang
(10 m x 10 m)

Plot
semak/pancang
(5 m x 5 m)

Gambar 3. Petak Ganda dan Tata Letaknya

c). Metode Jalur (Transek )


Metode ini dapat diterapkan dengan tepat untuk menganalisis vegetasi suatu
wilayah yang luas dan keadaan komunitasnya belum diketahui keadaannya, dan pada

7
lokasi penelitian yang bervariasi ketinggian, keadaan tanah dan topografinya. Selain itu
pula dengan menerapkan metode ini akan dapat diketahui perubahan vegetasi pada suatu
daerah karena adanya perubahan faktor tanah ,iklim dan topografi. Penentuan titik awal
dapat ditetapkan tegak lurus dengan garis dasar seperti pantai, pinggiran hutan atau
terhadap kaki gunung. Dari garis dasar tresebut dapat dibuat suatu jalur yang lebarnya 10
m sebagai jalur tempat peletakan plot pohon, dan selanjutnya plot dapat dibuat pada jalur
itu. Untuk tata letak jalur atau transek, dapat disajikan pada Gambar 4.
20m

5m

20m
10 m
10m

Gambar 4. Tata Letak Jalur atau Transek

d). Metode Jalur Berpetak


Metode ini merupakan modifikasi dari metode jalur dan metode petak ganda. Bila
dibandingkan dengan metode jalur atau transek, maka terlihat bahwa pada metode garis

8
berpetak ini ada lompatan-lompatan, dapat melompat satu petak atau lebih dalam jalur
yang dibuat. Pada metode ini juga dibuat sama seperti pada metode jalur. Tata letak
metode garis berpetak ini dapat dilihat pada Gambar 5. Dari jenis-jenis metode seperti:
metode petak tunggal, petak ganda, jalur dan garis berpetak semuanya dapat dihitung:
kekerapan (frequensi), kerapatan (densitas), dan dominansi untuk masing-masing jenis
tumbuhan.
20 m

Plot Pohon`
(20m x 20m)
10m
20 m
5m Plot Tiang
10m (10m x 10m)
Plot Pancang/semak
1m (5m x 5m)

Plot Herba/Anakan
( 1m x 1m)

Gambar 5 Jalur Berpetak

9
B. Metode Tanpa Petak (Plot-Less Methods).
Pada metode ini tidak dibuat petak-petak contoh. Metode ini didasarkan pada
anggapan bahwa jumlah individu tumbuhan per satuan luas dapat dihitung rata-rata jarak
antar tumbuhan tersebut. Metode tanpa plot ini dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu:

a). Metode Kwadran (Point Quarter Method)


Metode ini sama dengan metode jalur (transek), diterapkan untuk melakukan penelitian
(pengumpulan data) vegetasi yang memiliki tingkat struktur berbeda dari zone depan
sampai belakang. Karakteristik zone vegetasinya biasanya ditandai oleh jenis tertentu yang
menjadi ciri khas pada zone tersebut. Misalnya pada hutan bakau (Mangrove) yang
memiliki zonasi mulai dari zone depan sampai belakang berturut-turut zona : Avicennia,
Sonneratia, Rhizophora dan Bruguiera/Exocaria. Demikian pula untuk vegetasi yang
tumbuh pada tingkat kemiringan secara bertingkat (0 – 500m, 500 – 1000 m, 1000-2000m
dst). Pada metode ini dibuat suatu seri titik-titik yang ditentukan di lapangan pada interval
jarak tertentu sepanjang garis lurus, atau bisa juga secara acak. Biasanya seri titik itu
dibuat dibuat berupa garis lurus searah dengan mata angin (kompas). Tititk-titik itu
merupakan suatu pusat padanya dibuat empat buah kuadran. Tumbuhan yang akan
dianalisis adalah satu pohon dari setiap kdran yang jaraknya terdekat dengan titik pusat.
Pada metode ini perlu dilakukan pengukuran terhadap pohon terdekat dengan titik pusat.
Untuk meudahkan pelaksanaan di lapangan bisa juga dilakukan pengukuran terhadap
keliling batang pohon setinggi + 135 cm atau setinggi dada. Dari pengukuran ini akan
digunakan untuk menghitung luas basal area. Tujuan pengukuran ini untuk menentukan
dominansi suatu vegetasi. Cara pengukuran ini sepereti tersaji pada Gambar 6

10
Garis Utama

Keterangan
a. Tentukan arah kompas
I b. Tentukan Interval
d4 IV d1 c. Tentukan kwadran
d. Tentukan Individu p ohon,
II Tihan,g, pancang yang
terdekat
III
d2, Selanjutnya :
d3
1. Ukur jarak d1, d2, d3, d4
2. Tentukan nama jenis
pohon/tihang/pancang yang
bersankutan.
3. Ukur diamter batang
IV I 4. Ukur tinggi pohon.

III II

Arah Kompas
Gambar 6. Tata Letak Metode Kwadran

b). Metode Acak Berpasangan (Random Pair Method)


Pada metode ini di daerah penelitiandibuat suatu garis lurus menurut arah kompas.
Pada sepanjang garis itu dengan interval tertentu diambil titik-titik pengu-kuran. Pada tiap
titik pengukuran dipilih tumbuhan yang terdekat. Selanjutnya tumbuhan kedua sebagai
pasangan dipilih tumbuhan yang terdekat dengan pohon pertama yang terletak pada sektor
lainnya, yaitu sebelah lain dari garis kompas yang dibuat pertama . jarak yang diukur
adalah jarak antara kedua tumbuhan tersebut. Dari hasil pengukuran tersebut dapat

11
dihitung kerapatan, frekuensi dan dominansinya. Metode acak berpasangan ini dapat
disajikan seperti pada Gambar 7.

A B C

C
A

Gambar 7. Metode Acak berpasangan

3. 2 ANALISIS DATA FLORA DARAT


Setelah data-data terkumpul baik dengan metode plot maupun tanpa plot selanjutnya
dilakukan analisis vegetasi dengan menghitung parameter-parameter vegetasi yaitu: frequensi,
densitas (kerapatan), dominansi, frequensi relative, densitas relative, dominansi relative, nilai
penting (importance value) dan keanekaragaman jenis. Cara analisis tersebut dilakukan dengan
dengan perhitungan sebagai berikut:

Jumlah plot/titik dimana spesies terdapat


a. Frekuensi =
Jumlah plot seluruhnya

Frekuensi suatu jenis


b. Frekuensi relatif = X 100 %
Jumlah frekuensi seluruh jenis

Jumlah individu tiap spesies


c. Densitas =
Luas area sampel
.
12
Jumlah individu tiap spesies
d Densitas relatif = X 100 %
Luas area sampel

Luas tajuk/Basal area


e. Dominansi =
Luas area sampel

 Luas tajuk (Crown Cover) = luas penutupan daun dari semak dan herba yang menutupi
tanah, dapat dihitung dengan rumus:
2
d1 + d2 d1 = diameter panjang tajuk
CC = ∏ d2 = Diameter lebar tajuk
4

 Basal area = luas lingkaran batang pohon yang diukur setinggi 135 cm.

Basal area = ∏ x r 2 r = jari-jari lingkaran batang pohon

r = jari jari

Basal area pohon = ¶r2


Keliling Batang = 2¶ r
r = jari jari

135cm

Luas tajuk/Basal area suatu jenis


f. Dominansi relatif = X 100 %
Luas tajuk/Basal area suatu jenis

g. Hitung Indek Nilai penting masing-masing jenis dengan ketentuan :


Frekuensi relatif + densitas relatif + dominansi relatif.
Jadi total nilai penting seluruh jenis sebesar 300 %.
h Indeks Keanekaragaman Jenis (Index Diversitas)

13
Indek keanekaragaman jenis adalah dipergunakan untuk mengetahui tingkat
keanekaragaman jenis flora di suatu kawasan. Nilai ini dapat dihitung dengan suatu formula yang
dihitung pertama kali oleh Shannon-Wiener, sehingga dikenal dengan Index Diversitas Shannon-
Wiener (Krebs, 1972) yang dinyatakan dengan rumus:

Keterangan
ni ni nI = Nilai penting suatu jenis
(H) = - ∑ log N = Nilai penting seluruh jenis
N N Indeks Diversitas ( H ) = nilai 0 – 3
Jika (H < 1,0 = sangat buruk (tidak mantap)
Jika 1,0 < H <1,5 = buruk (kurang mantap )
Jika 1,6 < H <2,0 = baik ( mantap )
Jika > 2,0 = baik sekali (mantap sekali )
1. Hitung Pola Penyebaran Jenis

Pola penyebaran individu suatu jenis dinyatakan dgn rumus :


Varian (Keragaman jenis) : Mean (rata-rata)(V/M)

∑X2 -( ∑X)2
Pola Penyebaran Jenis = N
N -1

Keterangan
X = Jumlah individu dari masing-masing jenis
N = Jumlah seluruh Jenis
X = Jumlah rata-rata individu dari jenis yang diketemukan
Pola penyebaran/distribusi suatu jenis vegetasi dapat ditetapkan dengan 3 ketentuan pokok
yaitu :
a. Jika V/M = 1 maka pola penyebaran vegetasinya bersifat acak
b. Jika V/M < 1 = maka pola penyebaran vegetasinya bersifat seragam
c. Jika V/M > 1 = maka penyebaran vegetasinya bersifat mengelompok

Contoh :
Dalam suatu penelitian diketemukan 5 jenis (N ) tumbuhan dan masing masing jenis tersebut terdiri
dari masing masing individu (X) sebagai berikut : X1 = 5 X2 = 10, X3 =15 X4 = 20 dan
X5= 25. Rata –rata individu ( X ) = 5+10+15+20+25 : 5 = 75:5 = 15
∑ X 2 = 52 + !02 + 152 + 202 + 252 = 1375. ( ∑ X ) 2 = ( 5+10+15+20+25 )2 = 5625

∑X2 -( ∑X)2 1375- ─5675 /5


Pola Penyebaran Jenis (V/M) = N =
N- 1 4

X 15

14
V/M = 0.51 jadi V/M < 1 Pola penyebaran jenis bersifat seragam

j. Indek Similaritas (Indeks Kesamaan )


Indeks similaritas (IS) adalah pertama kali dikenalkan oleh Sorensen, sehingga dikenal
dengan Indeks Similaritas Sorensen. Penetapan indeks ini adalah dipergunakan untuk mengetahui
prosentase tingkat kesamaan jenis yang hidup pada dua atau lebih area atau habitat yang berbeda.
Misalnya jenis-jenis yang hidup di tempat ternaung dan ditempat terang (terkena sinar matahari
langsung). Atau jenis yang hidup di daerah pesisir dengan daerah yang lebih tinggi. Untuk
menentukan besarnya indeks kesamaan ini dilakukan pengukuran yaitu:
a. Tentukan dua kawasan atau lebih, misalnya daerah ternaung dan terang.
b. Catat jumlah jenis pada kedua habitat tersebut
c. Hitung jenis-jenis yang sama dari kedua habitat yang berbeda
d. Hitung indeks kesamaan tersebut dengan rumus :
2W
Indeks Similaritas Sorensen ( ISS) = X 100 %
A + B
Keterangan :
W = Jumlah jenis terkecil yang sama dari dua aera yang berbeda
A = Jumlah jenis yang terdapat di habitat A
B = Jumlah jenis yang terdapat di habitat B

Dari hasil analisis vegetasi dicatat dalam tabel (list tabel ) seperti tercantum pada Tabel 4

Tabel 4.

No Nama Fre- Frek. Densi- Dens. Domi- Dom- Nilai Indeks


Jenis kuensi relatif tas Relatif nansi Relatif Penting Diversi-
(%) (%) (%) (%) tas

IV. METODE DAN TEKNIK ANALISIS FAUNA DARAT


Adanya pembangunan di suatu kawasan sudah tentunya akan memberikan suatu dampak
terhadap linkungan disekitarnya, khususnya terhadap fauna. Dampak yang ditimbulkan bisa terjadi
saat pra konstruksi, saat konstruksi maupun pasca konstruksi. Adapun isu dampak yang menjadi
15
perhatian dalam penyusunan dokumen AMDAL adalah lebih difokuskan pada dampak negatif
penting.

Adapun parameter yang perlu dicatat terhadap fauna yang akan terkena dampak adalah
menyangkut : Jenisnya, kemelimpahan, kondisi habitat, pola penyebaran, pola migrasi, satwa
yang dilindungi, kepadatan populasi, nilai penting satwa (segi ekonomi, agama, budaya ), dan peri
kehidupan hewan penting. Sedangkan teknik pengumpulan data di lapangan dapat dilakukan
dengan cara inventarisasi (pengamatan langsung) maupun dengan sensus terhadap jenis –jenis
yang akan terkena dampak langsung dan tidak langsung.
Adapun metode yang bisa diterapkan dalam analisis fauna adalah:
 Inventarisasi
Metode inventarisasi dapat diterapkan dengan dua cara yaitu : dengan cara langsung
(menjumpai langsung di lapangan) dan cara tidak langsung. Sesuai dengan karakter hewan
yang mudah berpindah-pindah sehingga metode inventarisasi yang lebih cocok diterapkan
adalah sistem inventarisasi tidak langsung. Beberapa parameter yang bisa dicatat dengan cara
tidak langsung meliputi: jejak, kotoran, bagian-bagian, suara dan bunyi satwa, tanda-tanda
habitat, bau-bauan yang ditinggalkan dan adanya sarang.

 Sensus.
Sensus ini dapat diterapkan dengan beberapa cara yaitu:
a. Mendengarkan suara (call count),
b. Mengenali jejak ( tract count)
c. Dengan penghalauan (Drive census)
d. Metode transek (line transect method)
e. Metode hitung kelompok
f. Metode penandaan, lepas dan tangkap kembali (capture, mark, release, recapture method).

Contoh-contoh hewan besar yang dapat ditandai antara lain :


a. Mamalia besar, seperti: banteng, kijang, kerbau. Cara menandai dapat dilakukan dengan cara
mencapnya dengan besi panas atau melobangi telinga., mengecat. Sedangkan untuk
menghitung besarnya populasi di alam dapat dilakukan dengan cara menangkap kembali.
Contoh: Rusa yang ditangkap = 100 ekor (F1), kemudian semuanya ditandai dengan tanda
khusus, setelah tertandai langsung dilepas. Selang beberapa waktu dilakukan penangkapan
kembali misalnya jumlah tangkapan kedua sebanyak l50 ekor (F2), sedangkan yang tertandai
sebanyak 50 ekor (F3). Dari hasil percobaan ini dapat dihitung besarnya populasi rusa dengan
rumus: N = (F1 x F2)/F3. Jadi besarnya populasi rusa = (100 x 150) /: 50 = 15.000 : 50 =
300 ekor rusa. .
16
b. Burung yaitu dengan mudah ditandai dengan mengisi cincin pada kakinya.
c. Sistem penandaan terhadap Mamalia kecil, Reptilia (kadal ) dan Amphibia yaitu dapat
dilakukan dengan memotong kuku pada ujungnya.
Dari hasil pengamatan dengan metode dan teknik analisis yang dilakukan secara tepat dan
benar sehingga hasinya dapat di interpretasi, dianalisis dan diprediksi, apakah kedudukan fauna
yang ada di wilayah atau di pinggir poyek tersebut dapat terkena dampak baik langsung maupun
tidak langsung.

4.1 Metode Pengumpulan Data Fauna Darat


Adanya pembangunan di suatu kawasan sudah tentunya akan memberikan suatu dampak
terhadap lingkungan disekitarnya, khususnya terhadap fauna. Dampak yang ditimbulkan bisa
terjadi saat pra konstruksi, saat konstruksi maupun pasca konstruksi. Adapun issue dampak yang
menjadi perhatian dalam penyusunan dokumen AMDAL adalah lebih difokuskan pada dampak
negatif penting.
Adapun parameter yang perlu dicatat terhadap fauna yang akan terkena dampak adalah
menyangkut : Jenisnya, kemelimpahan, kondisi habitat, pola penye-baran, pola migrasi, satwa
yang dilindungi, kepadatan populasi, nilai penting satwa (segi ekonomi, agama, budaya ), dan peri
kehidupan hewan penting. Sedangkan teknik pengumpulan data fauna di lapangan yang paling
mudah dapat dilakukan dengan cara sensus.

Macam-macam Sensus
Sensus terhadap fauna darat dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu cara langsung dan tidak
langsung
 Cara Langsung :
Cara ini dilakukan dengan penghitungan populasi satwa secara langsung dari apa yang
dilihat di lapangan. Dari hasil tersebut dicatat jumlah, nama jenis dan faktor-faktor lain sebagai
pendukungnya seperti: tingkah laku (behavior), habitat dan sebagainya.
 Secara Tidak Langsung.
Sensus secara tidak langsung ini adalah lebih cocok diterapkan sesuai dengan karakter hewan
yang mudah berpindah-pindah (mobile). Cara ini dilakukan untuk menghitung satwa berdasarkan
tanda-tanda khas (jejak) yang ditinggalkan. Adapun jejak satwa yang dapat digunakan dalam
sensus secara tidak langsung meliputi:
 Bekas tapak kaki (jejak) di tanah,
 kotoran (faeces),
 Bagian-bagian satwa yang ditinggalkan (sisa-sisa makanan, bekas gigitan, bulu maupun
bau-bauan yang ditinggalkan)
17
 Sarang dan suara.
 Metode Sensus.
Sensus ini dapat diterapkan dengan beberapa cara yaitu:
a. Metode penandaan, lepas dan tangkap kembali (capture, mark, release, recapture method).
b Metode jejak satwa ( tract count)
c. Metode mendengarkan suara (call count),
d. Metode penghalauan (Drive census)
e. Metode jelajah (Cruising method)
f. Metode transek (Line Transect Method)
g. Metode hitung kelompok (Concentration count)

a. Metode penandaan, lepas dan tangkap kembali (Capture, Mark, Release, Recapture
Method).
Metode ini dapat diterapkan selain untuk menduga besarnya populasi satwa, tetapi juga cukup
efektif dalam hal penyelidikan :
a. Perpindahan (emigrasi) dan masuknya (imigrasi) margasatwa.
b. Kecepatan pertumbuhan individu maupun populasi

Teknik penandaan satwa dapat dilakukan sbb:


a. Untuk hewan besar : banteng, kijang, kerbau, dilakukan dengan cara : mengecat tubuh,
melobangi telingan atau dengan mencapnya dengan besi panas.
b. Untuk hewan-hewan kecil seperti burung, dapat dilakukan dengan memberikan cincin pada
jari kaki.
c. Untuk hewan kecil seperti : Reptilia (Kadal), Amphibia (katak) yaitu dilakukan dengan
cara memotong kuku pada bagian ujungnya.
d. Perkiraan besarnya populasi dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan :
Mxn N = Besarnya populasi yang dicari
N = M = Jumlah satwa yang tertangkap
n = Jumlah satwa tertangkap kembali dan tertandai
m

Contoh: Rusa yang ditangkap = 100 ekor (M), kemudian semuanya ditandai dengan tanda khusus,
setelah tertandai langsung dilepas. Selang beberapa waktu dilakukan penangkapan
kembali misalnya jumlah tangkapan kedua sebanyak l50 ekor (n), sedangkan yang
tertandai sebanyak 50 ekor (m). Dari hasil percobaan ini dapat dihitung besarnya
populasi rusa :

18
(N) = (100 x 150) / 50 = 15.000 : 50 = 300 ekor rusa.
b. Metode Penghalauan (Drive Census)
Cara kerja :
a. Tentukan lokasi, sebaran jalur penghalau, arah penghalau dan jarak antara pencatat dengan
jalur.
b. Siapkan tenaga kerja dan ditempatkan pada pos-pos yang telah ditentukan
c. Tenaga pencatat hendaknya menghadap ke arah penghalau, dan satwa (misalnya gajah) yang
dicatat adalah jumlah gajah yang lewat di kanan atau kiri pencatat dan juga penghalau.
d. Cara menghitung populasi :

Rumus untuk menghitung besarnya


UNIT A x B UNIT populasi satwa (gajah)
P UNIT
1= 2
Q Ax B
P = Q
Keterangan
P = Besarnya populasi rusa yang akan
UNIT dicari
A = Luas area seluruh yang diteliti
5 B = Jumlah rusa yang diiketemukan pada
unit-unit sampel
Q = Luas unit sampel seluruhnya

UNIT UNIT

3 4

Rumus untuk menghitung


Cara Kerja Sistem Peghalauan Contoh
Keterangan Menghitung jumlah satwa
X1, X2, X3 = Penghalau (misalnya rusa). Misalnya
P1 dan P2 = Pencatat jumlah rusa yang
diketemukan dari 5 unit
sampel sebanyak 100 ekor
(B). Luas unit sampel dalam 5
titik (Q) = 5 ha (1 unit = I ha).
P1 Sedangkan luas kawasan
seluruhnya (A) = 150 ha.
X1
Jadi jumlah populasi satwa di
X2 kawasan
tersebut (P) =150 x 100:
X3
P2 5
P = 3.000 ekor 19
c. Metode Jelajah ( Cruising Method )

Cara Kerja
a. Tentukan letak/penyebaran dan arah jalur sampel
b. Tentukan terlebih dahulu titik permulaan jalur
c. Peneliti berjalan sepanjang jalur sampel dan mencatat semua satwa yang terlihat baik di kanan
maupun kiri.
d. Catat jarak antara satwa yang terlihat (kanan atau kiri) dengan peneliti
e. Hitung populasi satwa pada unit sampel yang diteliti dengan rumus:

Keterangan :
A = Luas sampel
A x Z
X = Panjang jalur rintis
P (Populasi ) =
Y = Jarak rata-rata tempat terlihatnya rusa
X x Y
Z = Jumlah rusa yang terlihat

Lebar Jalur

Sampel 1 Sampel 4 P Contoh


0,4
1,6 Km2 1,6 Km2 A Pada suatu pengamatan ditentukan
km
N luas areal sampel ( A) = 1,6 km2.
J
A Panjang jalur rintis (X) = 10 km.
N
0,4 km G Sedangkan jarak rata-rata satwa yang

J terlihat kanan-kiri oleh peneliti ( Y )


Sampel 2 Sampel 5 A = 0,04 km. Jumlah satwa yang terlihat
L
1,6 Km2 1,6 Km2 U ( Z )sebanyak 1.000 ekor.
R
Jadi perkiraan jumlah populasi satwa
S
0,4 Km A
M 1,6 x 1.000
P (P) = = 4.000 ekor
E
Sampel 3 L 10 x 0,4
Sampel 6
1,6 Km2 1,6 Km2

20
Dari hasil pengamatan dengan metode dan teknik analisis yang dilakukan secara tepat dan
benar sehingga hasinya dapat di interpretasi, dianalisis dan diprediksi, apakah kedudukan fauna
yang ada di wilayah atau di pinggir poyek tersebut dapat terkena dampak baik langsung maupun
tidak langsung.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R. I N. Suryadiputra, Zairion and Sulistiono. 1993. Metode dan Teknis


Analisis Biota Perairan. PPLH-LEMLIT Institut Pertanian Bogor.
Fitter, R. and R. Manuel. 1995. Collins Photo Guide Lake, Rivers, Streams and
Ponds of Britain and North-West Europe. Harper Collins Publishers.
London.
Hardjosuwarno, S. 1983. Metode Ekologi Tumbuhan. Suatu Petunjuk Singkat Kerja
lapangan untuk Ekologi Tumbuhan dan Metodologi Pengukuran Lingkungan.
Program Pascasarjana, Fak. Biologi-UGM. Yogyakarta.
Hardjosuwarno, S. 1990. Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi, UGM. Yogyakarta.
Keputusan Kepala BAPEDAL No. 09 Tahun 2000 Tentang Pedoman Penyusunan
AMDAL. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Ludwig, J.A and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology. A primer on Methods and
Computing. John Wiley & Sons, New York.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. WB. Saunders Company. Philadelphia,
London.
Peraturan Menteri Negara lingkungan hidup Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman
Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah. Kementerian Negara lingkungan
Hidup Jakarta.
Restu, I.W. 2004. Metode dan Teknik Analisis Komponen Flora dan Fauna Air.
PPLH - LEMLIT UNUD Denpasar
Suin, N.M. 1999. Metode Ekologi. Ditjen Perguruan Tinggi. Dep. Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.
Sundra, I.K. 1994. Penuntun Praktikum Ekologi Tumbuhan. Program Studi Biologi,
UNUD. Denpasar.
Sundra, I K. 2004. Metode dan Teknik Analisis Flora dan Fauna Darat. PPLH-LEMLIT
UNUD Denpasar.

21

Anda mungkin juga menyukai