ERSHINE VILLANY
030.05.087
1
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
2
Puji dan syukur saya panjatkan kepada TUHAN Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya sehingga referat yang berjudul ‘Penanganan Cedera Kepala” ini dapat
terselesaikan.
Referat ini ditulis sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Anak di Rumah Sakit Otorita Batam pada periode 22 Maret 2010 – 29 Mei
2010.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Gumar Jaya Saleh r],
Sp.BS selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini.
Penulis juga menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam
penyusunan referat ini, oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga referat ini dapat
berguna bagi para pembacanya.
Batam,Mei 2010
Penulis
DAFTAR ISI
3
LEMBARPENGESAHAN……………………………………………………….......i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………... .....ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………......iii
BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………………. .1
BAB II : ……………………………………………………….... .2
ANATOMI KEPALA.........................................................................2
PATOFISIOLOGI...............................................................................5
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA..................................................10
PENGELOLAAN CEDERAKEPALA DI UGD...............................15
PRINSIP PENANGANAN CEDERA KEPALA...............................20
KOMPLIKASI CEDERA KEPALA..................................................30
PROGNOSIS CEDERA KEPALA.....................................................32
BAB I
PENDAHULUAN
4
Statistik dari negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa cedera kepala
mencakup 26% dan jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seorang
tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang kurang lebih 33%
kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut cedera kapitis. Di luar medan
peperangan lebih dari 50% dari cedera kapitis terjadi karena kecelakaan lalu lintas,
selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan
antara 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dan mereka
yang dimasukkan dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35
% meninggal dalam satu minggu dalam perawatan
Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat cedera kapitis,
maka 50% ternyata disebabkan oleh cedera secara langsung dan 50% yang tersisa
disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara
tidak langsung pada cedera.
Cedera kepala baik terbuka maupun tertutup dapat mengganggu fungsi otak, yang
pada akhirnya mungkin dapat menyebabkan kematian atau meninggalkan kecacatan.
Berbagai macam akibat dari cedera kepala telah dikenal, misalnya komosio serebri,
kontusio serebri, perdarahan epidura, perdarahan subdura, perdarahan intraserebral
dan laserasi serebri. Dengan istilah komosio dan kontusio masalah gangguan
kesadaran, sedangkan bentuk-bentuk perdarahan menyangkutkan masalah massa yang
pada penanganannya nanti bila memang diperlukan akan melibatkan ahli bedah saraf.
Dengan adanya Glasgow Coma Scale sebagai pengukur derajat gangguan kesadaran
yang telah dipakai sejak 20 tahun yang lalu dan bersifat kuantitatif, maka penilaian
gangguan kesadaran menjadi lebih obyektif. Dalam manajemen cedera kepala,
penilaian gangguan kesadaran dengan Glasgow Coma Scale ini memegang peran
utama.
5
Untuk keperluan klinis, berdasarkan skala ini cedera kepala dibedakan menjadi cedera
kepala ringan, sedang dan berat yang penanganannya akan diuraikan secara singkat
dalam makalah ini.
BAB II
6
ANATOMI KEPALA
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
pericranium. 3,4
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii 5,6. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis.
Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas
3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan
fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat
fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat
pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging
Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea
terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
7
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini
dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah
arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera
kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.5
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14
kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak
menjadi beberapa lobus.7 Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi
motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian
atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.
Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.
8
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.9
PATOFISIOLOGI
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan
atau tanpa fraktur tulang tengkorak.
Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural
dan intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu
gegar otak atau cedera struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang
ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan
jaringan
Jika terjadi trauma kepala dengan kekuatan/gaya akeselereasi, deselerasi dan
rotatorik akan menimbulkan lesi atau perdarahan di berbagai tempat sehingga timbul
gejala deficit neurologist berupa babinski yang positif dan GCS kurang dari 15
(Sindrom Otak Organik). Dari trauma kepala tersebut juga bisa terjadi pergerakan,
penekanan dan pengembangan gaya kompresi yang destruktif sehingga otak akan
membentang batang otak dengan sangat kuat dan terjadi blokade reversible terhadap
lintasan assendens retikularis difus serta berakibat otak tidak mendapatkan input
afferent yang akhirnya kesadaran hilang selama blockade tersebut berlangsung. Dari
trauma kepala tersebut juga bisa berdampak pada sistem tubuh yang lainnya.
9
1.Sistem Kardiovaskuler
Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup
aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T, P dan disritmia,
vibrilisi atrium serta ventrikel takhikardia. Akiba t adanya perdarahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh
darah arteriol berkontraksi. Aktivitas myokard berubah termasuk peningkatan
frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan pembacaan CVP
abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan
kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung
dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan
meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri
adalah edema paru.
2.Sistem Respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau
hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Terjadinya
pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang menigkat pada
mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apneu.
Konsenterasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran
darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi
vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan
alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid).
Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan
menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF
yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.
Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak terjadi
robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein yang
berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan. Edema
otak terjadi karena penekanan pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak
ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK yang dapat
menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata.
Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia dimana
10
ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
3.Sistem Genito-Urinaria
4. Sistem Pencernaan
Setelah trauma kepala ( 3 hari) terdapat respon tubuh yang merangsang
aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung untuk
terjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan
steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral,
namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam
lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena
adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang
11
mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani,
akan menyebabkan perdarah lambung.
5. Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cederaotak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh.
Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area
motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control vaolunter terhadap gerakan
dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang
berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.
Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok
neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior
lobus frontalis yang disebut girus presentral atau “strip motorik “. Di sini kedua
bagian saraf itu bersinaps dengannkelompok neuron – neuron motorik bawah yang
berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot – otot tertentu. Masing –
masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan.
Sehingga ,pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron
ini cidera.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus
otot dan penamilan postur abnormal, yang pada saatny dapat membuat komplikasi
seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur.
12
Cedera kepala Odema
TIK hematoma
Kelainan metabolisme
13
1. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
• Ada riwayat trauma kapitis
• Tidak pingsan
• Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat
simptomatik dan cukup istirahat.
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,
vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri
mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang
masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat
terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan
yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi
simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan
terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di
dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun
neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk
terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga
menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh
karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan
blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat
blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran
hilang selama blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan
“intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa
14
refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli
kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic brain syndrome”.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah
cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi
rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena
pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan
bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak
lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan
antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan
7-10 hari.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan
robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan
subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat
dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang
disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada
fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan
oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
15
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.
Komplikasi :
• Gangguan pendengaran
• Parese N.VII perifer
• Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya
harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi.
Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.
6. Epidural Hematoma
7. Subdural hematoma
16
perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu besar gejala permulaan
ringan. Darah akan membeku dan mengalami organisasi, kemudian akan
dilapisi oleh kapsel. Gumpalan darah lama akan mencair dan menarik cairan
dari sekitarnya sehingga menjadi lebih gembung. Inilah yang menimbulkan
gejala-gejala
menyerupai tumor serebri/ proses intrakranial yang meninggi.
Gejala klinis :
menyerupai tumor serebri dimana ditemukan peninggian
tekanan intrakranial.
Timbul pelan-pelan beberapa minggu sesudah trauma
Nyeri kepala timbul yang makin lama makin hebat disertai
mual muntah
Midriasis homolateral,gangguan visus.
Bisa ditemukan adanya tanda-tanda hiperefleksi, hemiparese.
Refleks patologi (+)
Adanya gangguan psikis seperti mudah tersinggung.
Hati-hati melakukan LP karena TIK meninggi.
8. Subarachnoid hematoma
Gejala klinis :
o timbulnya nyeri kepala di daerah suboksipital secara tiba-tiba
o Pusing, mual, muntah
o Kesadaran menurun hingga koma
o Kaku kuduk (+)
o Suhu tubuh meninggi
o Refleks patologi (+)
o Umumnya terjadi gejala diffus, sekali-sekali bisa
o timbul kejang atau gejala fokal
17
9. Intraserebral hematoma
Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di korteks yang
menimbulkan lesi desak ruang dan menimbulkan edema kolateral. Terbanyak pada
lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadang-
kadang pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya penderita tidak
tertolong, perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan menekan batang otak, bila
hematoma berasal dari vena biasanya dapat tertolong.
18
PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DI UNIT GAWAT DARURAT
c. Keasadaran menurun
• Perubahan orientasi tanpa deficit fokal
• Dilakukan pemeriksaan fisik, rawat luka, foto kepala
• Istrahat baring mobilisasi bertahap terapi simptomatik
• Observasi minimal 24 jam di RS bila curiga hematoma skennig
Otak
Kriteria Rawat:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
19
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-
jawabkan
10. CT scan abnormal
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untu
mengikuti perintah sederhana (SKG 9-12).
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap jam
2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan
neurologis.
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala
berat akan memperburuk pasien
4. Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan
bila perlu 1 tahun setelah cedera
20
3. Cedera Kepala Berat
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana
karena gangguan kesadaran.
21
6. Obat-obat Terapeutik:
• Bikarbonat sodium
• Fenitoin
• Steroid
• Mannitol
• Hiperventilasi
7. Tes Diagnostik
CT scan
22
GCS ≤ 8 surgery as indicated
yes
Insert ICP monitor
Maintain CPP
(Age appropriate)
Yes No
ICP
yes
Sedation & analgesia
Yes No
ICP
Drain CSF if
Ventriculotomy present
Consider careffuly
sepeating Yes No withdraw
CT scan ICP ICP
treatment
Neoromuscular blockade
Yes No
ICP
yes
Mannitol Hyperosmolar
therapy
yes No
ICP
yes
Mild hyperventilation
( Pa CO2 30-35 mmHg)
yes No
ICP
Yes
Second tier theraphy
23
PRINSIP PENANGANAN CEDERA KEPALA
1 . Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan riwayat kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada
orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari
tangga, jatuh di kamar
mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan
pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui
pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan
kesadaran lebih dahulu
sebelum jatuh.
2. Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan status
kesadaran pasien. Ini tiaras dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului
anamnesis yang teliti.
1. Status fungsi vital
24
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang
dinilai ialah :
a.Jalan nafas airway
b.Pernafasan breathing
c.Nadi clan tekanan darah cireulation
Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila
perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen.
Manipulasi leher hams berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal
(whiplash injury), jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk.
Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa :
a.Pernafasan Cheyne Stokes.
b.Pernafasan Biot/hiperventilasi.
c.Pernafasan ataksik.
3. Pemeriksaan Umum
25
3. Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal. Perdarahan
biasanya berakibat tenderness,guarding atau distensi abdominal. Namun
tanda-tanda ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada
pasien koma. Adanya bising usus biasanya pertanda tenang.
4. Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara
klinis. Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal
mungkin berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan
darah tersembunyi dalam jumlah besar.
5. Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin
bersamaan, dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya
hanya 2 hingga 5% dari pasien cedera kepala berat. Tulang belakang leher
paling sering dikenai.
6. Cedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang atau jaringan lunak
(otot, saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai
segera untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan.
Tindakan definitif pada kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda
hingga setelah tindakan terhadap masalah yang mengancam nyawa.
4. Pemeriksaan Neurologis
26
ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka
mata.
2. Pupil
27
pada pasien dengan cedera kepala mungkin akibat perfusi vaskular serebral
yang inadekuat. Keadaan ini mungkin akibat hipotensi sekunder terhadap
kehilangan darah atau oleh peninggian tekanan intrakranial pada tingkat
yang mengganggu aliran darah serebral. Kembalinya respons pupil mungkin
terjadi segera setelah perbaikan aliran darah bila masa perfusi yang inadekuat
tidak terlalu lama.
3. Gerakan Mata
Gerakan bola mata merupakan indeks yang paling penting untuk
penilaian aktivitas fungsional batang otak (formatio retikularis). Penderita
yang sadar penuh, dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan
intaknya sistem motorik okuler di batang otak.
4. Fungsi Motor
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0
5. Fungsi sensorik
Tujuan pemeriksaan sensorik
– Menetapkan adanya gangguan sensorik.
– Mengetahui modalitasnya.
– Menetapkan polanya.
28
– Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan
sensorik yang akhirnya dinilai
bersama sama dengan pemeriksaan motorik
Pemeriksaan Tambahan
A. RONTGEN
Peranan foto rontgen tengkorak banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun
beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto
Rontgen tengkorak dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto Rô
tengkorak biasa (AP dan Lateral) umumnya dilakukan pada keadaan :
Defisit neurologik fokal.
Liquorrhoe.
Dugaan trauma tembus/fraktur impresi.
Hematoma luas di daerah kepala.
Pada keadaan tertentu diperlukan proyeksi khusus, seperti proyeksi
tangensial pada dugaan fraktur impresi, proyeksi basis path dugaan fraktur
basis dan proyeksi khusus lain pada dugaan fraktur tulang wajah.
B. CT SCAN
29
Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah. Edema
mungkin fokal, multi fokal atau diffusa. Dengan edema serebral difusa,
mungkin sulit untuk memastikan densitas yang lebih rendah karena tidak ada
area otak normal sebagai pembandingnya.
Kontusi serebral tampak sebagai area densitas tinggi yang tak
homogen yang tersebar diantara area densitas rendah. Walau tidak selalu
mungkin membedakan antara hematoma subdural dan epidural pada CT scan,
yang terakhir ini khas dengan bentuk bikonveks atau lentikular, karena
perlekatan yang erat antara dura dengan tabula interna mencegah
hematoma mengalami penyebaran.
Hematoma subdural yang khas cenderung menjadi lebih difus
dibanding hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang konkaf yang
mengikuti permukaan otak. Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik
agak tidak pasti.
Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi dilobus
frontal dan temporal anterior, walau bisa terjadi dimana saja.
Infarksi iskemik akuta mungkin tampak sebagai area densitas rendah
dibanding otak sekitarnya. Infarksi dapat dideteksi CT scan dalam 24 jam dari
onsetnya, dan lebih dari 60% jelas tampak pada hari ketujuh.
6. Pembedahan (8)
Yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,
kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan
mencegah pendarahan ulang.
Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :
• Status neurologis
• Status radiologis
• Pengukuran tekanan intrakranial
30
• Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
• EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran Baris tengah dengan
GCS 8 atau kurang.
• Konstusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
• Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih
dari 25 mm Hg.
Hasil
1. EDH: bila cepat dioperasi mortality kurang dari 10%
2. SDH:
Serlig et al : operasi dalam 4 jam pertama mortality 30%
• operasi setelah 4 jam mortality 90%
Hasselberger et al :
• pasien koma kurang dari 2 jam mortality 47%
• pasien koma lebih dari 2 jasm mortality 80%
31
7. Terapi konservatif
32
mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.
barbiturat
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi
intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau
bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi
membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan
memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan
hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam
30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1
mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. menekan metabolism serebral,
menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler,
menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.
Kortikosteroid
Tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan tekanan
intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan
Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan signifikan
pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan outcome yang
signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%), perdarahan traktus
gastrointestinal (85%).
Nutrisi
33
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio serebral berat meningkat rata-
rata 40%.
3.Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan.
Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel.
Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema,
dimensia, ataksia, gangguan miksi.
34
4.Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan.
Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan
kontraktur, Bantuan dalam posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan
splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum,
benzodiasepin
5. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk
delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi
akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan
farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi,
antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
35
7. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1
bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif
terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.
William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang
dengan komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6
bulan. Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera kepala ringan
dan sedang dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya lesi intrakranial.
Pengukuran outcome:
Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering digunakan antara
lain:
36
Glasgow Outcome Scale (GOS) :
Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat, kecacaatan
sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan pekerjaannya),
ikembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).
Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak yang tidak efektif. Strategi
terapi masa yang akan datang lebih ditujukan pada fase hipoperfusi awal antara lain:
induksi hipertensi arterial, terapi farmakologi yang dapat memperbaiki peningkatan
resistensi mikrosirkulasi dan terapi hipotermi yang dapat memproteksi neuron akibat
iskemik.
37
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Cedera
sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel
otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat
keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan
awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei
primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting
untuk mencegah cedera otak sekunder dan
mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di
rumah sakit. Indikasi rawat antara lain
38
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
4. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,
Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.
Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.
740-59
39
40