Anda di halaman 1dari 23

TEORI-TEORI HUKUM

KONSEKUENSI TERHADAP STATUS PERNIKAHAN DI


KARENAKAN ADANYA AIB NIKAH
(Studi Komparasi Fiqih Imam Mawardi dan Undang-Undang Perkawinan)

Dosen Pengampu : Dr. H. Mispansyah, SH., MH

Diajukan Oleh:
Abdul Aziz Muslim S.H. (190211050110)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI
BANJARMASIN
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah sesuatu yang hampir tak terpisahkan dari kehidupan
makhluk hidup, tidak hanya di kalangan manusia, bahkan hewan dan tumbuhan pun
membutuhkan pernikahan. Dengan pernikahanlah masing-masing mempertahankan
populasinya. Hanya saja, ada beberapa aturan yang membedakan antara pernikahan
manusia, hewan, dan tumbuhan. Lebih tepatnya, di kalangan hewan dan tumbuhan,
lebih pas untuk menggunakan istilah perkawinan.

Selain sebagai kebutuhan biologis dan psikologis, Islam juga memandang


pernikahan sebagai perkara yang bernilai ibadah di sisi-Nya. Bahkan pernikahan
sebagai penyempurna dari separuh agama.

Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan bahwa penciptaan pasangan suami istri


(laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri) merupakan salah satu tanda
kebesaran dan ke-mahakuasa-an Allah, sebagaimana dapat dibaca dalam surah Ar-
Ruum /30:21

‫اج ا لِ تَ ْس ُك نُ وا إِ لَ ْي َه ا‬ ْ ‫َن َخ لَ َق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْن ُف ِس ُك ْم أ‬
ً ‫َز َو‬ ْ ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أ‬
ٍ
َ ‫ات لِ َق ْو م َي َت َف َّك ُر‬
‫ون‬ ٍ ‫ك آَل ي‬ ِٰ ِ
َ َ ‫ إِ َّن ف ي ذَ ل‬9ۚ ً‫َو َج َع َل َب ْي نَ ُك ْم َم َو َّد ةً َو َر ْح َم ة‬
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang.Sesungguhnyapada yang demikianitubenar-benarterdapattanda-
tandabagikaum yang berfikir (QS. Ar-Ruum: 21)1

Di samping itu, Nabi Muhammad SAW juga banyak berbicara tentang anjuran
menikah. Di antaranya adalah sabda beliau :

‫س ِمنِّي‬ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
َ ‫ فَ َم ْن َرغ‬,‫اح ُسنَّتي َو ُسنَّةُ األَنْبيَاء م ْن َق ْبل ْي‬
َ ‫ب َع ْن ُسنَّتي َفلَْي‬ ُ ‫النِّ َك‬

1
Kementrian Agama RI & LIPI. Seksualitas Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains.Widya Cahaya,
Jakarta. 2015. Hlm. 41
Artinya : Nikah itu adalah sunahku dan sunah para nabi sebelum aku. Maka
barangsiapa yang tidak suka dengan sunahku, berarti bukan dari golonganku.
(HR. Bukhori dan Muslim)

Berdasarkan dalil-dalil ini, tak diragukan bahwa pernikahan adalah perkara


suci dan terpuji yang bisa mendatangkan rahmat dan ridha-Nya. Sehingga terciptalah
sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, baik di dunia, maupun di
akhirat kelak.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tujuan dari ditetapkannya pernikahan


pada umumnya adalah untuk menghindarkan manusia dari praktik perzinaan dan seks
bebas. Itu pula sebabnya mengapa pernikahan harus dilaksanakan dengan terang-
terangan di depan para saksi yang adil dan tidak secara sembunyi-sembunyi. Dengan
keterus-terangan inilah, maka nasab pun terjaga dan reproduksi pun berjalan aman.

Ketika sepasang sejoli bersepakat untuk melangsungkan ikatan suci ini, ketika
itu pula mereka berharap bahwa ikatan tersebut adalah ikatan yang kekal, yang bisa
menjadi wadah untuk berbagi dan saling melengkapi satu samalain, baik dalam susah
maupun senang, dalam sedih maupun bahagia.

Namun, semuanya tak semulus yang diinginkan. Ibarat bahtera besar yang
ingin menyeberangi sebuah lautan, ada saja hambatan dan rintangan yang
menimpanya. Semakin jauh ke tengah lautan, semakin besar pula badai yang
menerjang. Begitu pula dengan sebuah rumah tangga. Pernikahan yang tadinya
diharapkan menjadi sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat, terkadang ada saja
kendala yang membuat retak, bahkan pecahnya rumah tangga tersebut. Baik yang
disengaja, maupun tidak. Baik yang dibuat-buat, maupun yang terjadi sendirinya.

Perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, ketidakharmonisan antara


menantu dan mertua, ini diantara contoh penghambat langgengnya sebuah pernikahan
yang bisa dikatakan disengaja atau dibuat-buat. Adapun hambatan yang tidak
disengaja adalah semisal gilanya salah seorang pasangan suami-istri, impotennya
seorang suami, dan lain-lain, yang mana perkara-perkara ini yang akan membuka
celah kepada pasangan suami-istri tersebut untuk memilih; bertahan atau mengakhiri
mahligai rumah tangganya.
Maka dari itu, di sini penulis ingin mengangkat tema tentang aib-aib nikah
dari beberapa sumber, namun lebih memfokuskan pengkajian materi pada kitab al-
Hawi al-Kabir karya Imam al-Mawardi dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
dengan judul “Konsekuensi Terhadap Status Pernikahan di Karenakan Adanya Aib
Nikah dan Hukum Yang Terlahir Pasca Faskh Nikah”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi masalah tersebut, agar pembahasannya tidak terlalu


meluas, maka penulis akan membatasi permasalahannya pada bab yang menerangkan
tentang aib-aib nikah ini sebagai berikut :

1. Apa saja aib dalam nikah?


2. Bagaimana pandangan Imam Al-Mawardi dan Undang-Undang Perkawinan
tentang status pernikahan serta konsekuensi dari adanya aib dalam sebuah
pernikahan?

3. Bagaimana Relevansi hukum fiqih dan Undang-undang Perkawinan tentang adanya


Konseksuensi terhadap status pernikahan dari adanya aib dalam sebuah pernikahan?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji macam-macam aib dalam nikah.
2. Untuk mengkaji pendapat Imam Al-Mawardi dan Undang-Undang Perkawinan
terhadap status pernikahan serta konsekuesi dari adanya aib dalam sebuah pernikahan.
3. Untuk mengkaji Bagaimana Relevansi hukum fiqih dan Undang-undang
Perkawinan tentang adanya Konseksuensi terhadap status pernikahan dari adanya aib
dalam sebuah pernikahan.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretis, sebagai pengetahuan dan pendalaman wawasan tentang hukum-
hukum Islam, khususnya yang terkait dengan pernikahan terutama dalam masalah aib-
aib nikah dan konsekuensinya terhadap status pernikahan.
2. Secara Praktis
Bagi penulis: Sebagai penambahan wawasan dan pendalaman tingkat kepahaman
penulis mengenai masalah-masalah hukum islam, terutama yang berkaitan dengan
masalah pernikahan.
Bagi masyarakat: kontribusi ilmiah untuk menambah ilmu dan wawasan pengetahuan.
Selain itu diharapkan dapat mempermudah pelajar yang belum bisa mempelajari
langsung dari sumber asalnya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Landasan Teori

1. Kitab Al-Hawi Al-Kabir, Kitab ini merupakan kitab syarh (penjabaran)


dari kitab Al Mukhtasar Al-Muzanni karya Imam Al-Muzani. Al-Muzani
menulis kitab Mukhtashar dengan tujuan mempermudah seseorang yang ingin
mempelajari ilmu dari perkataan Imam Asy-Syafi‟i yang terdapat pada kitab
Al-Umm agar mudah dipahami dan dihafalkan.
Namun Al-Mawardi menilai bahwa kitab karangan Al-Muzani ini
perlu dilengkapi kembali dengan penjelasan-penjelasan yang lebih detail, serta
menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami. Demikian juga beliau
membuat susunannya menjadi lebih rapi sehingga pembaca mendapatkan
kepuasan setelah menelaah kitab tersebut.
Karena itulah Al-Mawardi menamai karangannya ini dengan nama Al-
Hawi Al-Kabir. Artinya sebuah wadah besar yang di dalamnya terdapat
banyak penuturan para ulama terkait berbagai masalah fiqih. Dan penamaan
Al-Kabir yang berarti besar itu memang hakiki, karena tebalnya mencapai 22
jilid dengan kurang lebih 7.448 halaman.
Sedangkan kitab Mukhtashar karya Imam Al-Muzani sebagai kitab
yang diberi syarah hanya satu jilid dengan 448 tebal halaman saja. Tentu
maksudnya diberikan syarah yang banyak ini agar dapat memuaskan rasa
ingin tahu sang pembaca

2. Teori Perundang-undangan, Menurut Hamid s atamani Teori


perundang-undangan adalah cabang sisi dari ilmu pengetahuan perundang-
undangan yang bersifat kognitif dan berorientasi kepada mengusahakan
kejelasan dan kejernihan pemahaman khususnya pemahaman yang bersifat
dasar di bidang perundang-undangan.
3. Teori maqasid Al-Syari’ah dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu
Ishaq al-Syathibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan
dan kesejahteraan manusia. Tidak satu pun hukum Allah yang tidak
mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan
membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Hukum-hukum Allah
dalam Alqur’an mengandung kemaslahatan.2

Teori Maqasid Al-Syari’ah hanya dapat dilaksanakan oleh pihak


pemerintah dan masyarakat yang mengetahui dan memahami bahwa yang
menciptakan manusia adalah Allah SWT.Demikian juga yang menciptakan
hukum-hukum yang termuat di dalam AlQur’an adalah Allah SWT.
Berdasarkan pemahaman tersebut, akan muncul kesadaran bahwa Allah SWT
yang paling mengetahui berkenaan hukum yang dibutuhkan oleh manusia,
baik yang berhubungan dengan kehidupannya di dunia maupun di akhirat.
Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut, akan melahirkan
keyakinan untuk menerapkan hukum Allah., bila mengininkan terwujudnya
kemaslahatan bagi kehidupan manusia.

2
Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah, (Disertai Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 1994), hlm. 96.
BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


A. Pengertian Aib Nikah

Lafat 'uyub merupakan bentuk jama‟ (plural) dari mufrod (tunggal) aib.
Sedangkan lafat aib sendiri menurut etimologi merupakan bentuk masdar (akar kata) dari
fi'il (kata kerja) ‫ يعيب‬- ‫ عاب‬,yang memiliki arti bahasa cacat atau cela. 3 Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, kata cacat memiliki arti kekurangan yang menyebabkan nilai atau
mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau
akhlak).4 Sebagaimana dengan lafat fasakh, lafat 'aib pun kemudian oleh para fuqaha
dijadikan sebuah istilah yang menunjukan arti tertentu.

Aib menurut terminologi, Musthafa Syilbi menyatakan, yang dimaksud aib


adalah kekurangan pada badan atau pada akalnya salah satu dari suami istri yang
menyebabkan kehidupan rumah tangga tidak berkembang (tidak memiliki keturunan) atau
kerisauan yang tidak pernah ada ketenangan.5

Sedangkan menurut Ali Hasbillah, aib adalah kekurangan pada fisik atau akal
pada salah seorang suami istri yang menjadi penghalang tercapainya tujuan pernikahan
dan tidak tercapainya kebahagian hidup suami istri.6

Dari beberapa pengertian tersebut, berarti lafat “uyub” (bentuk plural dari 'aib)
memiliki arti beberapa kekurangan (cacat) pada fisik atau akal pada salah seorang suami
istri yang menjadi penghalang tercapainya tujuan pernikahan. Dengan demikian, apabila
lafat 'uyub disandarkan pada lafat al-nikah, maka artinya dapat diringkas menjadi
beberapa kekurangan (cacat) dalam perkawinan. Dan yang dimaksud penulis dengan
'uyub al-nikah adalah mencakup di dalam pembahasannya mengenai kekurangan atau
3
A. W. Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), Cet.Ke-14, h. 989
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta; Balai Pustaka,
1988), Cet. Ke-1, h. 143
5
M. Musthafa Syilbi, Ahkam Al-Usrah fi Al-Islam , (Beirut; Daar Al-Nuhdhah AlArabiyah, 1977), h.
567
6
Ali Hasbillah, Al-Furqon Baina Al-Zawjaini, (ttp, Daar Al-Fikr, 1968), Cet. Ke-1, h. 120
cacat yang ada pada calon pasangan yang akan menikah maupun yang sedang membina
mahligai rumah tangga kemudian muncul cacat pada pasangan tersebut.

Sedangkan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin menerangkan bahwa aib


adalah segala keadaan yang menghilangkan tujuan utama nikah. Dan dipahami bersama
bahwa tujuan utama menikah diantaranya adalah mut‟ah (kenikmatan), khidmah
(pelayanan), dan injab (tidak mandul). Tiga hal ini adalah tujuan yang paling utama. Jika
ada keadaan yang menghalangi tiga hal di atas, maka itu termasuk cacat. Oleh karena itu,
jika seorang istri menjumpai suaminya ternyata mandul atau suami mendapati istrinya
mandul maka ini termasuk aib. Atau suami baru tahu ternyata istrinya buta maka ini juga
aib, karena pasangan yang buta akan mengurangi dua tujuan nikah,mut‟ah (kenikmatan)
dan khidmah (pelayanan).

B. Macam-Macam Aib atau Penyakit dalam Nikah


1. Penyakit yang Berkaitan dengan Alat Reproduksi
a. Al-'Unnah
Al-unnah adalah kelemahan pada penis yang menghalang-halangi
kemampuannya untuk bersetubuh (impotent), kata impotent berasal dari bahasa
Inggris yang berarti tidak berdaya, tak bertenaga, mati pucuk (lemah zakar). Di
dalam bahasa Arab disebut ‫ )'عنة‬unnah) dan juga bisa disebut (‫('عنين‬inniin yang
berarti lemah syahwat, yang tak mampu bersetubuh dengan perempuan.7
Menurut terminologi, Abdul Al-Rahman Al-Jaziri memperinci 'unnah ini
bahwa seseorang yang dikatakan impotent adalah orang yang tidak sanggup
bersenggama dengan istrinya (tepat pada qubulnya), meskipun kemaluannya itu
sudah intisyar (bangun tegak) ketika ia belum mendekati istrinya. Seseorang yang
hanya sanggup bersetubuh dengan wanita lain, atau hanya sanggup bersenggama
dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan, atau
sanggup bersetubuh dengan istrinya, namun hanya pada duburnya dan tidak
sanggup pada kemaluannya, maka orang yang memiliki salah satu dari beberapa
kecenderungan tersebut itulah yang disebut impotent terhadap istrinya.8
b. Al-Khisha'
Al-khisha’ adalah cacat yang berupa kehilangan atau pecahnya buah zakar.
c. Al-Jabb
7
Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet. Ke-
1, h. 89
8
Abdurrahman Al-Jaziri, Perkawinan Dalam Syari‟at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 169
Al-jabb adalahcacat berupa terputusnya kelamin (anggota reproduksi).9
d. Al-I'tiradh
Al-i‟tiradh adalah lemah syahwat, baik karena sakit atau karena sudah tua.
e. Al-Ifdha

Al-ifdha adalah terbelahnya pembatas antara tempat masuknya penis dan


tempat keluarnya kencing, sehingga menjadi pecah, namun suami masih dapat
melakukan penetrasi.

f. Al-'Aftq
Al-„aftq adalah menyatunyajalan keluar mani dan kencing.
g. Ar-Rataq
Ar-rataq disebut juga dengan vulva impervia coeunti, yaitu tersumbatnya
lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan dalam bersenggama, dalam
tinjauan etimologi bahasa Arab artinya adalah "tersumbat."10

Menurut terminologi Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa ar-rataq adalah


daging yang tumbuh pada kelamin wanita dan menghalangi masuk (penetrasi) nya
penis

h. Al-Qarn

Al-qarn disebut jugavulva anteriore panie ana.11 Menurut etimologi adalah


"tanduk," menurut terminologi adalah tulang yang menghalangi rahim, serta
menghalangi penetrasinya penis, berupa benjolan tulang atau daging yang tumbuh
pada kelamin wanita dan mirip tanduk domba.

i. Al-'Afal

Al-‘afal adalah daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu
mengeluarkan cairan.12 Ada tiga penafsiran mengenai pengertianal-'afal, yaitu :

1) Menurut Ibn Umar dan Al-Syaibani,al-'afal adalah daging yang melingkar,


tumbuh dalam rahim setelah hilangnya keperawanan.

9
Ali Hasbillah, Op. Cit, (ttp, Daar Al-Fikr, 1968), Cet. Ke-1, h. 120
10
A. W. Munawwir, Op. Cit, h. 471
11
Ibid., h. 1113
12
Habib Al-Mawardi, Hawi Al-Kabir, (tt, Daar Al-Fikr, tth), h, 467
2) Al-'afal adalah bengkaknya daging yang terdapat dalam farji, dan
menyebabkan penyempitan sehingga tidak bisa dilewati penis.

3) Al-'afal merupakan permulaan rataq (daging yang menyumbat). Pada


penyakit ini mungkin saja suami istri dapat melakukan hubungan intim dan
mungkin juga tidak sama sekali.

j. Al-Bukhur
Al-bukhur adalah bau busuk atau semisal bau yang tidak sedap pada kelamin
wanita.
k. Al-'Adzithah
Al-„adzithah adalah keluarnya hajat dari dubur ketika melakukan
persetubuhan. Yang terjadi pada istri disebut 'iz-yutah, sedangkan pada suami
disebut 'iz-yut.
l. An-Naasur
An-naasur berupa luka yang membengkak, tumbuh pada dubur dan mengalir
nanah.
2. Penyakit yang Tidak Berkaitan dengan Alat Reproduksi
a. Al-Junuun

Menurut etimologi bahasa Arab, lafat al-junuun memiliki arti ‫زوال العقل‬
kegilaanan atau gila.13 Menurut terminologi artinya hilangnya akal yang
menyebabkan tidak dapat melaksanakan hak.14 Baik gila yang ringan maupun gila
yang parah, karena gila yang ringan, meskipun hanya sedikit (sebentar), tetap saja
dampaknya dapat menghalang-halangi penderitanya untuk memenuhi hak pada
saat itu. Selain itu gila yang sedikit, jika dibiarkan bisa jadi akan menjadi parah.

b. Al-Juzaam

Al-juzaam adalah kelemahan yang ada pada anggota tubuh dan hidung yang
bisa menjalar keanggota yang lain, sehingga dapat terjadi kerontokan, bahkan
terkadang menular pada keturunan dan pada orang yang mencampurinya. 15
Penyakit ini juga biasa disebut dengan kusta.

c. Al-Barash

13
A. W. Munawir, Op. Cit , h. 216
14
Habib Al-Mawardi, Op. Cit , (tt, Daar Al-Fikr, tth), h, 464
15
Ibid. , h. 468
Al-barash artinya munculnya keputih-putihan di kulit yang disertai hilangnya
darah kulit dan berikut dagingnya.16 Penyakit ini pun dapat menular pada
keturunan dan orang yang mencampurinya. Oleh sebab itu dapat menyebabkan
keengganan dan perasaan jijik bagi orang lain (pasangan), sehingga tidak dapat
memenuhi hasrat hubungan intim. Penyakit ini juga biasa disebut dengan lepra.

C. Konsekuensi Aib Nikah Terhadap Status Pernikahan


Adanya aib atau cacat dalam pernikahan, baik pada diri suami maupun istri,
tentunya menimbulkan beberapa hukum dan permasalahan yang kembali kepada
status pernikahan itu sendiri.
Dalam hal ini, Islam dengan syumuliyahnya telah mengatur sedemikian rupa
yang kesemuanya untuk kemaslahatan bersama, baik kedua suami-istri tersebut,
maupun untuk pihak keluarga masing-masing. Hal ini membuktikan bahwa syariat
Islam adalah solusi dari semua problematika kehidupan, baik di dunia terlebih untuk
kehidupan akhirat.
Di sini penulis akan memaparkan beberapa hal-hal yang terkait, atau
konsekuensi dari adanya aib atau cacat dalam sebuah pernikahan terhadap status
pernikahan tersebut, khususnya tentang fasakh. Karena ketika terdapat aib atau cacat
dalam pernikahan, secara otomatis setiap suami atau istri yang bersangkutan
mendapat hak untuk memilih; melanjutkan status pernikahan yang ada, atau
membatalkannya (fasakh).
Untuk lebih jelasnya, penulis akan paparkan hal tersebut dengan beberapa
poin-poin berikut.

1. Macam-Macam Bentuk Pemutusan Hubungan Perkawinan


Ketika melangsungkan akad, setiap pasangan suami istri tentu mengharapkan
terjalinnya keluarga yang harmonis, yang bisa menciptakan suasana sakinah, penuh
mawaddah, dan rahmah.

Namun, terkadang tak semua harapan sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebagai
Dzat Yang Maha Bijaksana, tentunya apa yang ditimpakan-Nya pada hamba-Nya
adalah yang terbaik untuk hamba tersebut. Sehingga tidak jarang, bahkan menjadi hal
yang biasa, adanya badai yang menghalangi jalannya bahtera rumah tangga. Dengan

16
Ibid. , h. 469
ini, ada pasangan yang mampu bertahan melewatinya, namun tak sedikit pula yang
memilih untuk menghentikan perjalanan. Inilah yang biasa kita sebut dengan
perceraian.

Islam telah mengatur hal ini dengan begitu rinci. Secara umum, sebuah ikatan
pernikahan bisa diputus atau dibatalkan dengan dua bentuk talak dan fasakh.

Dalam bab ini, penulis akan lebih memfokuskan pembahasan kepada bentuk
pembatalan yang kedua, yaitu fasakh. Karena inilah yang menjadi prioritas penulis
dalam tulisan ini.

2. Fasakh, Dasar Hukum, Faktor, dan Pelaksanaannya


a. Pengertian Fasakh

Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secaraetimologi
berarti membatalkan.17 Atau juga fasakh berarti mencabut atau menghapuskan atau
membatalkan akad nikah dan melepaskan hubunganyang terjalin antara suami istri.
Manakala, menurut kamus besar BahasaIndonesia fasakh adalah hak pembatalan
ikatan pernikahan olehpengadilan agama berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau
suami ygdapat dibenarkan oleh pengadilan agama, atau karena pernikahan yangtelah
terlanjur menyalahi hukum pernikahan.

Adapun fasakh dalam arti terminologi terdapat beberapa rumusan :

1. Fasakh ialah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-halyang


dianggap berat oleh suami atau istri atau keduanyasehingga mereka tidak sanggup
untuk melaksanakan kehidupansuami isteri dalam mencapai tujuannya.18

2. Fasakh nikah yaitu pembatalan perkawinan oleh istri karenaantara suami


istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapatdisembuhkan, atau si suami tidak
dapat memberibelanja/nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya. 19

3. Menurut ImamAsy-Syafi‟i, pemutusan hubungan pernikahan(fasakh)


adalah semua pemutusan ikatan suami isteri yang tidakdisertai dengan talak, baik
talak satu, dua,ataupun tiga.20

17
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Jakarta : Kencana,2006), h.190
18
Kamal Muchtar,Asas–Asas Hukum Islam Tentang Perkahwinan,(Jakarta:BulanBintang,1993), h.212.
19
Tihami,Fiqih Munakahat,(Jakarta : Rajawali Press, 2009),h.195-196
20
Imam Syafie, Ringkasan Kitab Al Umm,(Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), cet. 3,jilid 2, h. 481
4. Fuqaha dari kalangan Hanafiyyah tidak membedakan antaracerai dengan
talak dan cerai dengan fasakh. Mereka berkata :semua perceraian yang datang dari
pihak suami dan tidak adatanda-tanda datang dari perempuan, maka perceraian
dinamakantalak,dan semua perceraian yang asalnya dari pihak istri dinamakan fasakh.

b. Dasar Hukum

Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidakdisuruh dan
tidak pula dilarang.21 Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua suami
istri merasa dirugikan oleh pihak yang laindalam perkawinannya karena ia tidak
memperoleh hak-hak yang telahditentukan oleh syariat sebagai seorang suami atau
sebagai seorang istri. Akibatnya salah seorang atau kedua suami istri tidak sanggup
lagi melanjutkan perkawinannya atau kalaupun perkawinan itu dilanjutkan juga
keadaan kehidupan rumah tangga diduga akan bertambah buruk, pihakyang dirugikan
bertambah buruk keadaannya, sedang Allah tidak menginginkan terjadinya keadaan
yang demikian firman Allah SWT:

ٍ ِ
ْ ‫وه َّن بِ َم ْع ُر وف أ‬
‫َو‬ ُ ‫َج لَ ُه َّن فَ أ َْم س ُك‬
َ ‫اء َف َب لَ غْ َن أ‬
َ ‫س‬
َّ ِ
َ ِّ‫َو إ ذَ ا طَ ل ْق تُ ُم الن‬
َ ِ‫ َو َم ْن َي ْف َع ْل َٰذ ل‬9ۚ ‫ار ا لِ َت ْع تَ ُد وا‬
‫ك‬ ِ ُ ‫ و اَل تُم ِس ُك‬9ۚ‫وف‬
ً ‫وه َّن ض َر‬ ْ َ
ٍ ‫س ِّر ح وه َّن بِ م ع ر‬
ُْ َ ُ ُ َ
ِ‫ت اللَّ ه‬
َ ‫ْك ُر وا نِ ْع َم‬ ُ ‫ َو اذ‬9ۚ ‫ات اللَّ ِه ُه ُز ًو ا‬
ِ ‫ و اَل َت تَّ ِخ ُذ وا آي‬9ۚ ُ‫َف َق ْد ظَ لَ م َن ْف س ه‬
َ َ َ َ
ِ
َ‫ َو َّات ُق وا اللَّ ه‬9ۚ ‫ْح ْك َم ِة يَ ِع ظُ ُك ْم بِ ِه‬
ِ ‫اب و ال‬ ِ
َ ِ َ‫َع لَ ْي ُك ْم َو َم ا أَ ْن َز َل َع لَ ْي ُك ْم م َن الْك ت‬
ِ ٍ ِ
)231 ( ‫يم‬ ٌ ‫َن اللَّ هَ ب ُك ِّل َش ْي ء َع ل‬ َّ ‫اع لَ ُم وا أ‬ْ ‫َو‬
Artinya : “Maka peliharalah (rujukilah) mereka istri-istri dengan carayang
ma‟ruf (baik), atau ceraikanlah mereka istri-istri dengancara yang ma‟ruf pula
janganlah kamu pelihara (rujuki) merekauntuk memberi kemudharatan karena
dengan demikian barartikamu menganiaya mereka.” ( َ QS. Al Baqarah; 231)

Sabda Rasulullah SAW:

‫ال ضرر وال ضرارا‬


Artinya : "Tidak boleh ada kemudharatan dantidak boleh saling menimbulkan
Kemudharatan.”

21
Amir Syarifuudin,op. cit,h.244
c. Sebab Terjadinya Fasakh

Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhi syarat-syarat ketikaberlangsung


akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian danmembatalkan
kelangsungan perkawinan.22

1) Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah:

i. Apabila akad sudah sempurna dan selesai, kemudiandiketahui bahwa sang


istri yang dinikahinya ternyatasaudara susuannya, maka akadnya harus
difasakh.

ii. Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah olehselain ayahnya.
Kemudian setelah dewasa ia berhakmeneruskan ikatan perkawinannya dahulu
ataumengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar balugh. Jikayang dipilih
mengakhiri ikatan suami istri, maka hal inidisebut fasakh.

2) Fasakh yang datang setelah akad :

i. Bila salah seorang suami istri murtad dan tidak mau kembalisama sekali,
maka akadnya batal (fasakh) karna kemurtadanyang terjadi belakangan.

ii. Jika suami yang tadinya masuk Islam, tetapi istri masih tetapdalam
kekafiran yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnyabatal (fasakh). Lain
halnya kalau istri orang ahli kitab, makaakadnya tetap sah seperti semula.
Sebab perkawinannyadengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.

3) Fasakh disebabkan karena hal-hal :

i. Syiqaq yaitu adanya pertengkaran antara suami istri yangtidak mungkin


didamaikan.23

ii. Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yangbukan


jodohnya.Misalnya pernikahan budak denganmerdeka, penzina dengan orang
terpelihara dan sebagainya.

iii. Jika istri disetubuhi oleh ayah atau kakeknya karena


faktorketidaksengajaan maupun menzinahinya.24

22
Slamet Abidin,Fikih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1989), cet. I, h. 73
23
Amir Syarifuddin,op. cit, h. 245
24
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah,Fiqih Wanita,(Jakarta : Pustaka Kauthar,1998), cet. 1, h. 434.
iv. Jika kedua pihak saling berli’an.25

v. Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapaorang saksi yang


dapat dipercaya sehingga tidak sangguplagi memberi nafkah, baik pakaian,
tempat tinggal maupunmas kawinnya belum dibayarkan sebelum campur.

vi. Tidak terpenuhinya tujuan pokok dalam pernikahan, seperti mut‟ah


(kenikmatan), khidmah (pelayanan), dan injab (tidak mandul) dengan sebab
adanya penyakit atau cacat pada suami atau istri, baik yang berhubungan
dengan alat reproduksi, maupun tidak, tetapi membahayakan bagi keselamatan
pasangannya. Mengenai hal ini, telah penulis paparkan di sub bab sebelumnya.

d. Pelaksanaan Fasakh

Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dengan proses peradilan.


Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan atau terjadinya
perceraian. Karena itu pihak penggugat dalamperkara fasakh ini haruslah mempunyai
alat-alat bukti dapat menimbulkankeyakinan bagi hakim yang mengadilinya.
Keputusan hakim didasarkan kepada kebenaran alat-alat bukti tersebut. Dibandingkan
dengan perceraiandengan proses pengadilan yang lain, maka alat-alat bukti dalam
perkarafasakh sifatnya lebih nyata dan jelas. Misalnya dalam hal salah seorangdari
suami istri yang impotent, maka surat keterangan dokter dapatdijadikan salah satu dari
alat-alat bukti yang diajukan. Demikian pulahalnya alat-alat bukti tentang suami yang
tidak memberi nafakah,suaminya atau istrinya murtad dan sebagainya.

Pada asasnya fasakh adalah hak suami dan istri, tetapi dalamperlaksanaannya
lebih banyak dilakukan oleh pihak istri daripada pihaksuami. Hal ini mungkin
disebabkan karena suami telah mempunyai haktalak yang diberikan agama
kepadanya. Dalam hal suami atau istri yangpada mereka telah ada bukti untuk
menfasakh perkawinan mereka,hakim tidak dapat menceraikan mereka selama
mereka rela dengan keadaan yang demikian dan tidak mengajukan gugatannya.
Kecuali alasan fasakh itu berhubungan dengan hak Allah, seperti karena suami
murtad,perkawinan antara orang–orang yang ada hubungan mahram, karena salahsatu
pihak menganiaya berat pihak yang lain dan sebagainya, maka hakim sewaktu-waktu
dapat memanggil kedua suami istri itu untuk di adili perkara mereka.

25
Ibid, h. 434
D. Pandangan Undang-Undang Perkawinan Tentang Fasakh Nikah
Karena Adanya Aib Nikah

Pembatalan perkawinan juga mempunyai dasar hukum yang tegas di Indonesia


yang diatur dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
bahwa : ‘perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan’. Selain pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 di atas, juga
diatur dalam pasal 24 disebutkan bahwa : “Barang siapa yang masih terikat dirinya dengan
salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal
2 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini.26

Ketentuan normatif tentang pembatalan perkawinan yang terdapat dalam Undang-


undang perkawinan ditemukan celah atau kesenjangan anatara apa yang das sollen (yang
ideal) dengan apa yang das sein (kenyataannya).27 Adapun mengenai tata cara pengajuan
pembatalan perkawinan yaitu terdapat juga dalam KHI BAB XI tentang pembatalan
perkawinan yaitu dalam pasal 74 : “Permohonan pembatalan dapat diajukan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat
perkawinan dilangsungkan”. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan
Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.28

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terdapat beberapa pasal terkait yang
ada hubungannya tentang putusnya perkawinan karena alasan cacat badan (AIB), yaitu
dalam pasal 38 dan pasal 39 yang berbunyi :

Perkawinan dapat putus karena :

a. Kematian.
b. Perceraian.
c. Atas keputusan pengadilan.

Pasal 39 dengan rumusan :

26
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
27
Ali Imron, Pemberlakuan Asas Berlaku Surat dalam Perkara Pembatalan Perkawinan di Undang-
undang Perkawinan. (Jurnal ilmiah Ilmu Hukum QISTIE), Vol. 9 No. 1 Mei 2016
28
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 74.
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan
istri itu tak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.

Ayat (2) UU Perkawinan Pasal 39 di jelaskan rinci dalam PP pada Pasal 19


dengan rumusan :

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :29

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak melakukan kejahatan atau penganiyayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan stau penyakitdengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri.
e. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pada pasal 19 huruf (d), perceraian dijelaskan dapat terjadi karena salah satu
pihak mendapat aib dengan akibat tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai
suami/istri. Adapun yang disebut denga aib disini adalah aib (cacat) disini ialah aib
jasmani dan rohani yang tidak dapat dihilangkan atau dapat dihilangkan namun dalam
waktu yang lama, yang karena cacat tersebut tidak akan mencapai tujuan perkawinannya.
Pasal 19 huruf (d) ini dapat dipahami bahwa apabila terjadi pernikahan namun suami/istri
memiliki aib yang menghalangi terjalinnya kerukunan rumah tangga, maka pernikahannya
fasakh, oleh karena itu, apabila suami/istri yang telah melangsungkan perkawinan dengan
cara Islam dan sesuai dengan rukun dan syaratnya, tetapi dalam perjalan rumah tangganya,
salah satu pasangan memiliki aib maka hukum nikahnya fasakh.

29
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
E. Relevansi Antara Fiqih Imam Mawardi dan Undang-undang
Perkawinan Tentang Faskh Nikah Karena Adanya Aib Nikah

Relevansi antara fiqih Imam Mawardi dan Undang-undang Perkawinan,


kaitannya dengan fasakh nikah karena adanya aib nikah, terdapat keterkaitan hubungan
yang saling menjelaskan dan saling melengkapi. Adapun hubungan tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut :

Dalam fiqih, pembahasan mengenai fasakh perkawinan karena aib dijelaskan


lebih detail dan mendalam, apabila salah seorang memiliki aib maka secara otomatis
terjadi fasakh. Imam Mawardi berpendapat bahwa jika salah satu pihak memiliki aib maka
itu dapat dijadikan alasan menuntut fasakh, karena dengan adanya aib salah satu pasangan
tidak mampu lagi memenuhi tujuan perkawinan, baik tujuan utama yaitu untuk
berketurunan ataupun untuk memenuhi kebutuhan biologis. Imam Mawardi dalam
membolehkan memfasakhkan nikah ini atas dasar untuk menghilangkan kemudharatan
bagi suami/istri, namun beliau berpendapat bahwa pasangan suami/istri itu memiliki hak
untuk menentukan apakah ingin melanjutkan hubungannya atau memilih untuk fasakh.
Apabila salah satu pasangan tidak sanggup untuk melanjutkan hubungan perkawinan
karena takut akan kemudharatan maka jalan keluarnya adalah fasakh itu sendiri. Hal ini
bertujuan untuk memperoleh kemaslahatan dari kedua belah pihak.

Sedangkan dalam undang-undang perkawinan yang termuat dalam Undang-


undang No. 1 Tahun 1974, PP No. 9 tahun 1975 dan KHI tidak mengatur secara tegas
tentang keadaan diri orang, seperti penyakit-penyakit yang di deritanya sehingga dapat
dijadikan alasan pembatalan perkawinan, tetapi jika kembali ke falsafah perkawinan yang
menjadi asas hukum perkawinan nasional yaitu bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang kekal bahagia maka alasan-alasan adanya aib yang
membahayakan pada suami/istri dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari analisa dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka bisa kita ambil beberapa
kesimpulan, diantaranya :

1. Meninjau kategori aib dalam sebuah pernikahan, maka dapat disimpulkan bahwa aib-
aib tersebut banyak sekali, bahkan tidak terbatas pada yang sudah penulis paparkan di
bab sebelumnya. Imam Al-Mawardi pun tidak memaparkan secara gamblang pada
kitabnya AlHawi Al-Kabir tentang hal ini. Beliau hanya memberikan beberapa contoh
aib atau penyakit yang bisa menimbulkan hukum fasakh dalam pernikahan, seperti
impoten, terpotongnya alat vital suami, tertutupnya kemaluan istri, gila, kusta, dan
lepra.
2. Ketika ada cacat atau penyakit yang dianggap aib oleh syariat dalam sebuah
pernikahan, maka konsekuensinya adalah adanya hak memilih bagi pasangan suami
istri tersebut antara meneruskan status pernikahannya atau mengakhirinya, baik
dengan talak, atau dengan fasakh.
3. Relevansi antara pandagan fiqih Imam Mawardi dan Undang-Undang Perkawinan
adalah adanya hubungan saling menjelaskan dan melengkapi. Dalam fiqih mengenai
fasakh nikah karena alasan aib dijelaskan sangat detail dan mendalam, sedangkan UU
Perkawinan , PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI tidak mengatur secara tegas tentang
keadaan diri seseorang, tetapi jika kembali ke falsafah perkawinan yang menjadi asas
hukum perkawian nasional maka alasan adanya aib tersebut dapat dijadikan alasan
untuk mem-fasakhkan nikah.
B. Saran
1. Hendaknya setiap orang yang ingin melangsungkan pernikahan agar benar-benar
mengenali calon pasangannya, apakah terdapat cacat pada pasangannya atau tidak,
agar tidak ada penyesalan di hari kemudian.
2. Suami atau istri yang mendapati cacat atau penyakit pada pasangannya setelah
menikah hendaknya tidak tergesa-gesa dalam menentukan fasakh. Selagi masih bisa
disembuhkan atau dihilangkan, maka alangkah bagusnya untuk tidak memilih fasakh.
3. Bagi pasangan yang sudak tidak menemukan titik temu untuk mempertahankan
mahligai rumah tangganya karena ada aib pada diri pasangannya, hendaknya
melaksanakan cerai atau fasakh sesuai dengan prosedur yang telah diatur syariat, agar
ada kejelasan tentang hukumhukum terkait setelahnya, seperti hak asuh anak
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama RI & LIPI. Seksualitas Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains.Widya
Cahaya, Jakarta. 2015
Ichtiyanto, Hukum Islam dan Hukum Nasional, (jakarta: Ind-Hill Co, 1990)

Ichtijanto, Pembangunan Hukum dalam Prespektif Moral, dalam Kumpulan Karangan Politik
Pembangunan Hukum Nasional. (Yogyakarta: UII Press, 1992)

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (satuan studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah), (jakarta:
Bulan Bintang, 1992)
H.A.R.Gibb,modern trends in islam, Diterjemahkan oleh Machsun Husain, Cetakan ketiga,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993)
Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah, (Disertai Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 1994)
A. W. Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997)

M. Musthafa Syilbi, Ahkam Al-Usrah fi Al-Islam , (Beirut; Daar Al-Nuhdhah AlArabiyah,


1977)
Ali Hasbillah, Al-Furqon Baina Al-Zawjaini, (ttp, Daar Al-Fikr, 1968),

Habib Al-Mawardi, Hawi Al-Kabir, (tt, Daar Al-Fikr)

Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah,Fiqih Wanita,(Jakarta : Pustaka Kauthar,1998)

Anda mungkin juga menyukai