Teori Hukum
Teori Hukum
Diajukan Oleh:
Abdul Aziz Muslim S.H. (190211050110)
اج ا لِ تَ ْس ُك نُ وا إِ لَ ْي َه ا ْ َن َخ لَ َق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْن ُف ِس ُك ْم أ
ً َز َو ْ َو ِم ْن آيَاتِ ِه أ
ٍ
َ ات لِ َق ْو م َي َت َف َّك ُر
ون ٍ ك آَل ي ِٰ ِ
َ َ إِ َّن ف ي ذَ ل9ۚ ًَو َج َع َل َب ْي نَ ُك ْم َم َو َّد ةً َو َر ْح َم ة
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang.Sesungguhnyapada yang demikianitubenar-benarterdapattanda-
tandabagikaum yang berfikir (QS. Ar-Ruum: 21)1
Di samping itu, Nabi Muhammad SAW juga banyak berbicara tentang anjuran
menikah. Di antaranya adalah sabda beliau :
س ِمنِّي ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
َ فَ َم ْن َرغ,اح ُسنَّتي َو ُسنَّةُ األَنْبيَاء م ْن َق ْبل ْي
َ ب َع ْن ُسنَّتي َفلَْي ُ النِّ َك
1
Kementrian Agama RI & LIPI. Seksualitas Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains.Widya Cahaya,
Jakarta. 2015. Hlm. 41
Artinya : Nikah itu adalah sunahku dan sunah para nabi sebelum aku. Maka
barangsiapa yang tidak suka dengan sunahku, berarti bukan dari golonganku.
(HR. Bukhori dan Muslim)
Ketika sepasang sejoli bersepakat untuk melangsungkan ikatan suci ini, ketika
itu pula mereka berharap bahwa ikatan tersebut adalah ikatan yang kekal, yang bisa
menjadi wadah untuk berbagi dan saling melengkapi satu samalain, baik dalam susah
maupun senang, dalam sedih maupun bahagia.
Namun, semuanya tak semulus yang diinginkan. Ibarat bahtera besar yang
ingin menyeberangi sebuah lautan, ada saja hambatan dan rintangan yang
menimpanya. Semakin jauh ke tengah lautan, semakin besar pula badai yang
menerjang. Begitu pula dengan sebuah rumah tangga. Pernikahan yang tadinya
diharapkan menjadi sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat, terkadang ada saja
kendala yang membuat retak, bahkan pecahnya rumah tangga tersebut. Baik yang
disengaja, maupun tidak. Baik yang dibuat-buat, maupun yang terjadi sendirinya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji macam-macam aib dalam nikah.
2. Untuk mengkaji pendapat Imam Al-Mawardi dan Undang-Undang Perkawinan
terhadap status pernikahan serta konsekuesi dari adanya aib dalam sebuah pernikahan.
3. Untuk mengkaji Bagaimana Relevansi hukum fiqih dan Undang-undang
Perkawinan tentang adanya Konseksuensi terhadap status pernikahan dari adanya aib
dalam sebuah pernikahan.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretis, sebagai pengetahuan dan pendalaman wawasan tentang hukum-
hukum Islam, khususnya yang terkait dengan pernikahan terutama dalam masalah aib-
aib nikah dan konsekuensinya terhadap status pernikahan.
2. Secara Praktis
Bagi penulis: Sebagai penambahan wawasan dan pendalaman tingkat kepahaman
penulis mengenai masalah-masalah hukum islam, terutama yang berkaitan dengan
masalah pernikahan.
Bagi masyarakat: kontribusi ilmiah untuk menambah ilmu dan wawasan pengetahuan.
Selain itu diharapkan dapat mempermudah pelajar yang belum bisa mempelajari
langsung dari sumber asalnya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Landasan Teori
2
Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah, (Disertai Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 1994), hlm. 96.
BAB III
Lafat 'uyub merupakan bentuk jama‟ (plural) dari mufrod (tunggal) aib.
Sedangkan lafat aib sendiri menurut etimologi merupakan bentuk masdar (akar kata) dari
fi'il (kata kerja) يعيب- عاب,yang memiliki arti bahasa cacat atau cela. 3 Dalam kamus besar
bahasa Indonesia, kata cacat memiliki arti kekurangan yang menyebabkan nilai atau
mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau
akhlak).4 Sebagaimana dengan lafat fasakh, lafat 'aib pun kemudian oleh para fuqaha
dijadikan sebuah istilah yang menunjukan arti tertentu.
Sedangkan menurut Ali Hasbillah, aib adalah kekurangan pada fisik atau akal
pada salah seorang suami istri yang menjadi penghalang tercapainya tujuan pernikahan
dan tidak tercapainya kebahagian hidup suami istri.6
Dari beberapa pengertian tersebut, berarti lafat “uyub” (bentuk plural dari 'aib)
memiliki arti beberapa kekurangan (cacat) pada fisik atau akal pada salah seorang suami
istri yang menjadi penghalang tercapainya tujuan pernikahan. Dengan demikian, apabila
lafat 'uyub disandarkan pada lafat al-nikah, maka artinya dapat diringkas menjadi
beberapa kekurangan (cacat) dalam perkawinan. Dan yang dimaksud penulis dengan
'uyub al-nikah adalah mencakup di dalam pembahasannya mengenai kekurangan atau
3
A. W. Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), Cet.Ke-14, h. 989
4
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta; Balai Pustaka,
1988), Cet. Ke-1, h. 143
5
M. Musthafa Syilbi, Ahkam Al-Usrah fi Al-Islam , (Beirut; Daar Al-Nuhdhah AlArabiyah, 1977), h.
567
6
Ali Hasbillah, Al-Furqon Baina Al-Zawjaini, (ttp, Daar Al-Fikr, 1968), Cet. Ke-1, h. 120
cacat yang ada pada calon pasangan yang akan menikah maupun yang sedang membina
mahligai rumah tangga kemudian muncul cacat pada pasangan tersebut.
f. Al-'Aftq
Al-„aftq adalah menyatunyajalan keluar mani dan kencing.
g. Ar-Rataq
Ar-rataq disebut juga dengan vulva impervia coeunti, yaitu tersumbatnya
lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan dalam bersenggama, dalam
tinjauan etimologi bahasa Arab artinya adalah "tersumbat."10
h. Al-Qarn
i. Al-'Afal
Al-‘afal adalah daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu
mengeluarkan cairan.12 Ada tiga penafsiran mengenai pengertianal-'afal, yaitu :
9
Ali Hasbillah, Op. Cit, (ttp, Daar Al-Fikr, 1968), Cet. Ke-1, h. 120
10
A. W. Munawwir, Op. Cit, h. 471
11
Ibid., h. 1113
12
Habib Al-Mawardi, Hawi Al-Kabir, (tt, Daar Al-Fikr, tth), h, 467
2) Al-'afal adalah bengkaknya daging yang terdapat dalam farji, dan
menyebabkan penyempitan sehingga tidak bisa dilewati penis.
j. Al-Bukhur
Al-bukhur adalah bau busuk atau semisal bau yang tidak sedap pada kelamin
wanita.
k. Al-'Adzithah
Al-„adzithah adalah keluarnya hajat dari dubur ketika melakukan
persetubuhan. Yang terjadi pada istri disebut 'iz-yutah, sedangkan pada suami
disebut 'iz-yut.
l. An-Naasur
An-naasur berupa luka yang membengkak, tumbuh pada dubur dan mengalir
nanah.
2. Penyakit yang Tidak Berkaitan dengan Alat Reproduksi
a. Al-Junuun
Menurut etimologi bahasa Arab, lafat al-junuun memiliki arti زوال العقل
kegilaanan atau gila.13 Menurut terminologi artinya hilangnya akal yang
menyebabkan tidak dapat melaksanakan hak.14 Baik gila yang ringan maupun gila
yang parah, karena gila yang ringan, meskipun hanya sedikit (sebentar), tetap saja
dampaknya dapat menghalang-halangi penderitanya untuk memenuhi hak pada
saat itu. Selain itu gila yang sedikit, jika dibiarkan bisa jadi akan menjadi parah.
b. Al-Juzaam
Al-juzaam adalah kelemahan yang ada pada anggota tubuh dan hidung yang
bisa menjalar keanggota yang lain, sehingga dapat terjadi kerontokan, bahkan
terkadang menular pada keturunan dan pada orang yang mencampurinya. 15
Penyakit ini juga biasa disebut dengan kusta.
c. Al-Barash
13
A. W. Munawir, Op. Cit , h. 216
14
Habib Al-Mawardi, Op. Cit , (tt, Daar Al-Fikr, tth), h, 464
15
Ibid. , h. 468
Al-barash artinya munculnya keputih-putihan di kulit yang disertai hilangnya
darah kulit dan berikut dagingnya.16 Penyakit ini pun dapat menular pada
keturunan dan orang yang mencampurinya. Oleh sebab itu dapat menyebabkan
keengganan dan perasaan jijik bagi orang lain (pasangan), sehingga tidak dapat
memenuhi hasrat hubungan intim. Penyakit ini juga biasa disebut dengan lepra.
Namun, terkadang tak semua harapan sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebagai
Dzat Yang Maha Bijaksana, tentunya apa yang ditimpakan-Nya pada hamba-Nya
adalah yang terbaik untuk hamba tersebut. Sehingga tidak jarang, bahkan menjadi hal
yang biasa, adanya badai yang menghalangi jalannya bahtera rumah tangga. Dengan
16
Ibid. , h. 469
ini, ada pasangan yang mampu bertahan melewatinya, namun tak sedikit pula yang
memilih untuk menghentikan perjalanan. Inilah yang biasa kita sebut dengan
perceraian.
Islam telah mengatur hal ini dengan begitu rinci. Secara umum, sebuah ikatan
pernikahan bisa diputus atau dibatalkan dengan dua bentuk talak dan fasakh.
Dalam bab ini, penulis akan lebih memfokuskan pembahasan kepada bentuk
pembatalan yang kedua, yaitu fasakh. Karena inilah yang menjadi prioritas penulis
dalam tulisan ini.
Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secaraetimologi
berarti membatalkan.17 Atau juga fasakh berarti mencabut atau menghapuskan atau
membatalkan akad nikah dan melepaskan hubunganyang terjalin antara suami istri.
Manakala, menurut kamus besar BahasaIndonesia fasakh adalah hak pembatalan
ikatan pernikahan olehpengadilan agama berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau
suami ygdapat dibenarkan oleh pengadilan agama, atau karena pernikahan yangtelah
terlanjur menyalahi hukum pernikahan.
17
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Jakarta : Kencana,2006), h.190
18
Kamal Muchtar,Asas–Asas Hukum Islam Tentang Perkahwinan,(Jakarta:BulanBintang,1993), h.212.
19
Tihami,Fiqih Munakahat,(Jakarta : Rajawali Press, 2009),h.195-196
20
Imam Syafie, Ringkasan Kitab Al Umm,(Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), cet. 3,jilid 2, h. 481
4. Fuqaha dari kalangan Hanafiyyah tidak membedakan antaracerai dengan
talak dan cerai dengan fasakh. Mereka berkata :semua perceraian yang datang dari
pihak suami dan tidak adatanda-tanda datang dari perempuan, maka perceraian
dinamakantalak,dan semua perceraian yang asalnya dari pihak istri dinamakan fasakh.
b. Dasar Hukum
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidakdisuruh dan
tidak pula dilarang.21 Dasar pokok dari hukum fasakh ialah seorang atau kedua suami
istri merasa dirugikan oleh pihak yang laindalam perkawinannya karena ia tidak
memperoleh hak-hak yang telahditentukan oleh syariat sebagai seorang suami atau
sebagai seorang istri. Akibatnya salah seorang atau kedua suami istri tidak sanggup
lagi melanjutkan perkawinannya atau kalaupun perkawinan itu dilanjutkan juga
keadaan kehidupan rumah tangga diduga akan bertambah buruk, pihakyang dirugikan
bertambah buruk keadaannya, sedang Allah tidak menginginkan terjadinya keadaan
yang demikian firman Allah SWT:
ٍ ِ
ْ وه َّن بِ َم ْع ُر وف أ
َو ُ َج لَ ُه َّن فَ أ َْم س ُك
َ اء َف َب لَ غْ َن أ
َ س
َّ ِ
َ َِّو إ ذَ ا طَ ل ْق تُ ُم الن
َ ِ َو َم ْن َي ْف َع ْل َٰذ ل9ۚ ار ا لِ َت ْع تَ ُد وا
ك ِ ُ و اَل تُم ِس ُك9ۚوف
ً وه َّن ض َر ْ َ
ٍ س ِّر ح وه َّن بِ م ع ر
ُْ َ ُ ُ َ
ِت اللَّ ه
َ ْك ُر وا نِ ْع َم ُ َو اذ9ۚ ات اللَّ ِه ُه ُز ًو ا
ِ و اَل َت تَّ ِخ ُذ وا آي9ۚ َُف َق ْد ظَ لَ م َن ْف س ه
َ َ َ َ
ِ
َ َو َّات ُق وا اللَّ ه9ۚ ْح ْك َم ِة يَ ِع ظُ ُك ْم بِ ِه
ِ اب و ال ِ
َ ِ ََع لَ ْي ُك ْم َو َم ا أَ ْن َز َل َع لَ ْي ُك ْم م َن الْك ت
ِ ٍ ِ
)231 ( يم ٌ َن اللَّ هَ ب ُك ِّل َش ْي ء َع ل َّ اع لَ ُم وا أْ َو
Artinya : “Maka peliharalah (rujukilah) mereka istri-istri dengan carayang
ma‟ruf (baik), atau ceraikanlah mereka istri-istri dengancara yang ma‟ruf pula
janganlah kamu pelihara (rujuki) merekauntuk memberi kemudharatan karena
dengan demikian barartikamu menganiaya mereka.” ( َ QS. Al Baqarah; 231)
21
Amir Syarifuudin,op. cit,h.244
c. Sebab Terjadinya Fasakh
ii. Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah olehselain ayahnya.
Kemudian setelah dewasa ia berhakmeneruskan ikatan perkawinannya dahulu
ataumengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar balugh. Jikayang dipilih
mengakhiri ikatan suami istri, maka hal inidisebut fasakh.
i. Bila salah seorang suami istri murtad dan tidak mau kembalisama sekali,
maka akadnya batal (fasakh) karna kemurtadanyang terjadi belakangan.
ii. Jika suami yang tadinya masuk Islam, tetapi istri masih tetapdalam
kekafiran yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnyabatal (fasakh). Lain
halnya kalau istri orang ahli kitab, makaakadnya tetap sah seperti semula.
Sebab perkawinannyadengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.
22
Slamet Abidin,Fikih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1989), cet. I, h. 73
23
Amir Syarifuddin,op. cit, h. 245
24
Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah,Fiqih Wanita,(Jakarta : Pustaka Kauthar,1998), cet. 1, h. 434.
iv. Jika kedua pihak saling berli’an.25
d. Pelaksanaan Fasakh
Pada asasnya fasakh adalah hak suami dan istri, tetapi dalamperlaksanaannya
lebih banyak dilakukan oleh pihak istri daripada pihaksuami. Hal ini mungkin
disebabkan karena suami telah mempunyai haktalak yang diberikan agama
kepadanya. Dalam hal suami atau istri yangpada mereka telah ada bukti untuk
menfasakh perkawinan mereka,hakim tidak dapat menceraikan mereka selama
mereka rela dengan keadaan yang demikian dan tidak mengajukan gugatannya.
Kecuali alasan fasakh itu berhubungan dengan hak Allah, seperti karena suami
murtad,perkawinan antara orang–orang yang ada hubungan mahram, karena salahsatu
pihak menganiaya berat pihak yang lain dan sebagainya, maka hakim sewaktu-waktu
dapat memanggil kedua suami istri itu untuk di adili perkara mereka.
25
Ibid, h. 434
D. Pandangan Undang-Undang Perkawinan Tentang Fasakh Nikah
Karena Adanya Aib Nikah
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 terdapat beberapa pasal terkait yang
ada hubungannya tentang putusnya perkawinan karena alasan cacat badan (AIB), yaitu
dalam pasal 38 dan pasal 39 yang berbunyi :
a. Kematian.
b. Perceraian.
c. Atas keputusan pengadilan.
26
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
27
Ali Imron, Pemberlakuan Asas Berlaku Surat dalam Perkara Pembatalan Perkawinan di Undang-
undang Perkawinan. (Jurnal ilmiah Ilmu Hukum QISTIE), Vol. 9 No. 1 Mei 2016
28
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 74.
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan
istri itu tak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak melakukan kejahatan atau penganiyayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan stau penyakitdengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/istri.
e. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pada pasal 19 huruf (d), perceraian dijelaskan dapat terjadi karena salah satu
pihak mendapat aib dengan akibat tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai
suami/istri. Adapun yang disebut denga aib disini adalah aib (cacat) disini ialah aib
jasmani dan rohani yang tidak dapat dihilangkan atau dapat dihilangkan namun dalam
waktu yang lama, yang karena cacat tersebut tidak akan mencapai tujuan perkawinannya.
Pasal 19 huruf (d) ini dapat dipahami bahwa apabila terjadi pernikahan namun suami/istri
memiliki aib yang menghalangi terjalinnya kerukunan rumah tangga, maka pernikahannya
fasakh, oleh karena itu, apabila suami/istri yang telah melangsungkan perkawinan dengan
cara Islam dan sesuai dengan rukun dan syaratnya, tetapi dalam perjalan rumah tangganya,
salah satu pasangan memiliki aib maka hukum nikahnya fasakh.
29
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
E. Relevansi Antara Fiqih Imam Mawardi dan Undang-undang
Perkawinan Tentang Faskh Nikah Karena Adanya Aib Nikah
Dari analisa dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka bisa kita ambil beberapa
kesimpulan, diantaranya :
1. Meninjau kategori aib dalam sebuah pernikahan, maka dapat disimpulkan bahwa aib-
aib tersebut banyak sekali, bahkan tidak terbatas pada yang sudah penulis paparkan di
bab sebelumnya. Imam Al-Mawardi pun tidak memaparkan secara gamblang pada
kitabnya AlHawi Al-Kabir tentang hal ini. Beliau hanya memberikan beberapa contoh
aib atau penyakit yang bisa menimbulkan hukum fasakh dalam pernikahan, seperti
impoten, terpotongnya alat vital suami, tertutupnya kemaluan istri, gila, kusta, dan
lepra.
2. Ketika ada cacat atau penyakit yang dianggap aib oleh syariat dalam sebuah
pernikahan, maka konsekuensinya adalah adanya hak memilih bagi pasangan suami
istri tersebut antara meneruskan status pernikahannya atau mengakhirinya, baik
dengan talak, atau dengan fasakh.
3. Relevansi antara pandagan fiqih Imam Mawardi dan Undang-Undang Perkawinan
adalah adanya hubungan saling menjelaskan dan melengkapi. Dalam fiqih mengenai
fasakh nikah karena alasan aib dijelaskan sangat detail dan mendalam, sedangkan UU
Perkawinan , PP No. 9 Tahun 1975 dan KHI tidak mengatur secara tegas tentang
keadaan diri seseorang, tetapi jika kembali ke falsafah perkawinan yang menjadi asas
hukum perkawian nasional maka alasan adanya aib tersebut dapat dijadikan alasan
untuk mem-fasakhkan nikah.
B. Saran
1. Hendaknya setiap orang yang ingin melangsungkan pernikahan agar benar-benar
mengenali calon pasangannya, apakah terdapat cacat pada pasangannya atau tidak,
agar tidak ada penyesalan di hari kemudian.
2. Suami atau istri yang mendapati cacat atau penyakit pada pasangannya setelah
menikah hendaknya tidak tergesa-gesa dalam menentukan fasakh. Selagi masih bisa
disembuhkan atau dihilangkan, maka alangkah bagusnya untuk tidak memilih fasakh.
3. Bagi pasangan yang sudak tidak menemukan titik temu untuk mempertahankan
mahligai rumah tangganya karena ada aib pada diri pasangannya, hendaknya
melaksanakan cerai atau fasakh sesuai dengan prosedur yang telah diatur syariat, agar
ada kejelasan tentang hukumhukum terkait setelahnya, seperti hak asuh anak
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama RI & LIPI. Seksualitas Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains.Widya
Cahaya, Jakarta. 2015
Ichtiyanto, Hukum Islam dan Hukum Nasional, (jakarta: Ind-Hill Co, 1990)
Ichtijanto, Pembangunan Hukum dalam Prespektif Moral, dalam Kumpulan Karangan Politik
Pembangunan Hukum Nasional. (Yogyakarta: UII Press, 1992)
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (satuan studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah), (jakarta:
Bulan Bintang, 1992)
H.A.R.Gibb,modern trends in islam, Diterjemahkan oleh Machsun Husain, Cetakan ketiga,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993)
Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah, (Disertai Pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 1994)
A. W. Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997)