ANESTESI UMUM
Oleh:
Raissa Nabilla Putri 2040312036
Preseptor:
dr. Boy Suzuki, Sp.An
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya sehingga makalah yang berjudul “General Anestesia” ini dapat penulis
selesaikan. Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan
klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas Padang. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
banyak membantu menyusun makalah ini, khususnya kepada dr. Boy Suzuki, Sp.An
selaku preseptor dan juga kepada rekan-rekan dokter muda.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai
masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menambah pengetahuan dan pemahaman
serta dapat meningkatkan pelayanan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis
harapkan. Akhir kata, semoga CSS ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL ................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan .................................................................................... 2
1.5 Manfaat Penulisan ................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 Definisi .................................................................................................... 3
2.2 Indikasi dan Kontraindikasi ..................................................................... 4
2.3 Stadium dan Komponen dalam Anestesi Umum ..................................... 5
2.4 Jenis Anestesi Umum .............................................................................. 7
2.5 Teknik Anestesi Umum ........................................................................... 7
2.6 Evaluasi Pre-Operatif Anestesi Umum.................................................... 9
2.7 Persiapan Pre-Operatif Anestesi Umum .................................................. 14
2.8 Prosedur dan Monitoring Intra Operatif .................................................. 23
BAB 3 PENUTUP .................................................................................................. 48
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 48
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 49
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Batasan Masalah
Clinical Science Session ini membahas mengenai anesthesia umum secara
keseluruhan.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah anestesi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “an” (tidak,
tanpa) dan “aesthetos” (persepsi, kemampuan untuk merasa). Secara umum, anestesi
dapat diartikan sebagai suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Cabang dari berbagai ilmu yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian
anestesi maupun pemberian analgesik, pengawasan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan hidup dasar,
perawatan intensif pasien gawat (emergensi), terapi inhalasi dan penanggulangan
nyeri menahun, disebut dengan “anestesiologi”.5
Terminologi anestesi pertama kali digunakan oleh Oliver Wendell Holmes
pada tahun 1864 sebagai sebutan untuk amnesia, analgesia, dan narkosis sehingga
memungkinkan operasi tanpa nyeri. Perkembangan ilmu anestesi dimulai pada
pertengahan abad ke-19 dan semakin maju pada abad berikutnya. Dahulunya,
peradaban kuno menggunakan opium poppy, daun koka, akar mandrak (dudaim,
genus Mandragora), alkohol, dan bahkan melakukan flebotomi untuk
menidaksadarkan pasien sehingga memungkinkan ahli bedah untuk mengoperasi. 1,2
Anestesi pada suatu operasi pada prinsipnya memiliki beberapa tahapan
diantaranya pra anestesi yang mencakup persiapan fisik dan mental pasien,
perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi, dan
premedikasi, kemudian tahapan anestesi dan pemeliharaan, serta tahap pemulihan
dan perawatan pasca anestesi.5
Anestesi umum merupakan suatu istilah yang digunakan untuk beberapa
respon farmakologi kompleks yang meliputi amnesia, kehilangan kesadaran, dan
imobilitas yang diinduksi oleh golongan obat anestetik umum.1 Anestesi umum dapat
diartikan sebagai suatu tindakan meniadakan nyeri secara sentral yang disertai
dengan hilangnya kesadaran yang aman, reversible, mengoptimalkan respon
fisiologis, dan menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki
tiga komponen yaitu hilangnya kesadaran, analgesia, dan relaksasi otot.2
Anestesi umum bekerja di sistem saraf pusat dan mampu memberikan efek
analgesia (hilangnya rasa nyeri) atau efek anestesia (analgesia yang disertai
hilangnya kesadaran). Anastesi umum menimbulkan efek anestesia pada seluruh
tubuh sehingga dapat digunakan untuk operasi di region tubuh manapun, misalnya
pada abdomen, toraks, dan otak. Teknik anestesi umum digunakan pada operasi yang
3
membutuhkan relaksasi untuk periode waktu yang lama, operasi yang menyebabkan
kehilangan darah dalam jumlah yang banyak atau yang mengganggu jalan napas, dan
operasi pada pasien yang tidak kooperatif. Teknik anestesi umum sering dilakukan
pada operasi-operasi mayor, seperti operasi jantung, prosedur knee and hip
replacement, dan berbagai tipe operasi untuk menatalaksana kanker. Sebagain besar
operasi tersebut bersifat life saving dan tidak mungkin dilakukan tanpa anestesi
umum.3,6
4
2.3 Stadium dan Komponen dalam Anestesi Umum
Guedel, pada tahun 1937 mengklasifikasikan stadium anestesi berdasarkan
efek eter, dimana pengklasifikasian ini disebut dengan klasifikasi Guedel. 2
Klasifikasi Guedel meliputi:2
1. Stadium I (Analgesia)
Stadium ini dimulai dari saat pemberian obat anestesi sampai hilangnya
kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata. Pada stadium ini
pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesia (hilangnya rasa
sakit). Pada pembedahan ringan seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar,
tindakan dapat dilakukan pada stadium ini.
2. Stadium II (delirium/ eksitasi, hiperrefleksi)
Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan delirium. Pada stadium ini terlihat
adanya eksitasi dan gerakan yang involunter (tidak menurut kehendak), pasien
tertawa, berteriak, menangis, pernapasan tidak teratur, pernapasan jadi ireguler
kadang-kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia
urin dan inkontinensia alvi, muntah, serta terjadi aritmia dan dilatasi pada pupil.
3. Stadium III (Pembedahan)
Stadium ini dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan
hilang. Pada stadium ini, otot skeletal akan refleks dan pernapasan jadi teratur
sehingga pembedahan dapat dinilai. Stadium pembedahan ini dibagi menjadi 4
plana, yaitu:
- Plana 1: Mata berputar kemudian terfiksasi
Pernapasan teratur dan spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang involunter, pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, serta relaksasi otot lurik yang
sempurna belum tercapai.
- Plana 2: Refleks kornea dan refleks laring hilang
Pernapasan teratur dan spontan, perut dan volume dada tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak dan terfiksasi ditengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang dan refleks
laring hilang, sehingga pada tahap plana 2 ini tindakan intubasi dapat
dilakukan.
- Plana 3: dilatasi pupil dan refleks cahaya hilang
Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi
tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada,
relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
5
- Plana 4: kelumpuhan otot interkostal dan pernapasan menjadi dangkal
Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,
pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani tidak ada,
refleks kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot
sangat menurun).
4. Stadium IV (paralisis medulla oblongata)
Pada stadium ini, anestesi menjadi terlalu dalam, terjadi depresi berat pada
semua sistem tubuh, termasuk batang otak. Stadium ini dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibandingkan pada stadium III plana 4. Pada
stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan
akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat
diatasi dengan pernapasan buatan.
Anestesi umum sebagai salah satu teknik anestesi yang sering digunakan,
memiliki beberapa keuntungan dan kekurangan. Keuntungan dari anestesi umum
diantaranya:
1. Pasien tidak sadar, sehingga dapat mencegah ansietas pasien selama operasi
2. Efek dari amnesia yang meniadakan memori buruk pasien akibat ansietas dan
berbagai kejadian intraoperatif sehingga kemungkinan trauma psikologis pada
pasien dapat dihindari
3. Memungkinkan dilakukannya prosedur pembedahan yang membutuhkan waktu
yang lama
4. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien
6
2. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik dan rumit
3. Tidak dapat mendeteksi gangguan sistem saraf pusat
4. Risiko komplikasi paska bedah lebih besar
5. Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama
7
2. Anestesi umum dengan face mask (sungkup muka)
Pemakaian face mask pada anestesi umum memungkinkan untuk memasukkan
gas-gas anestesi dari sistem pernapasan ke pasien tanpa adanya kontak alat dengan
trakea. Sungkup muka dapat terbuat dari karet atau plastik. Mask yang transparan
akan memudahkan untuk dilakukannya pemantauan pada mulut pasien untuk
mengetahui ada atau tidaknya muntah atau sekresi.
Teknik Face Mask ini dapat dilakukan pada tindakan yang singkat (0,5-1 jam)
tanpa membuka rongga perut, keadaan umum pasien cukup baik (status fisik ASA I
atau ASA II), dan lambung pasien harus kosong sebelum teknik ini dilakukan.
8
a. Indikasi anestesi umum dengan insersi LMA
- Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ETT untuk airway
management. Tetapi perlu diingat, bahwa LMA bukanlah suatu pengganti
ETT ketika pemakaian ETT menjadi suatu indikasi.
- Pada penatalaksanaan difficult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan
- Untuk airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan
diri
b. Kontraindikasi anestesi umum dengan insersi LMA
- Pasien-pasien dengan risiko aspirasi isi lambung (penggunaan pada
emergensi menjadi pengecualian)
- Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernapasan, karena seal
yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada
tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan
inspirasi puncak harus dijaga kurang dari 20cm H2O untuk meminimalisir
kebocoran cuff dan pengembangan lambung
- Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu
lama
- Pasien-pasien dengan refleks jalan napas atas yang intack karena insersi. Hal
ini disebabkan karena keadaan ini dapat memicu terjadinya laringospasme
Teknik anestesi umum dengan insersi LMA ini dapat menjadi pilihan karena
memiliki keuntungan yaitu teknik ini tidak melewati pita suara sehingga kurang
iritatif dan traumatik terhadap saluran napas pasien. Namun, pada teknik anestesi
umum dengan insersi LMA ini jalan napas tak sepenuhnya dapat terlindungi serta
tidak dapat dilakukan pemasangan pipa nasogastrik karena esofagus terhalang oleh
LMA.
9
- Riwayat operasi dan jenis anestesi yang pernah dialami, berapa kali dan
selang waktunya, serta apakah pasien mengalami komplikasi saat itu.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang dapat mempengaruhi jalannya anestesi
misalnya merokok, alkohool, obat-obat penenang atau narkotik.
2. Pemeriksaan Fisik
- Tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, frekuensi napas).
- Tinggi badan dan berat badan untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan
yang diperlukan dan jumlah urin selama pembedahan dan pasca pembedahan.
- Pemeriksaan Rule of Thumb:
• Airway: Evaluasi jalan napas, apakah bebas atau ada sumbatan.
• Breathing: Periksa frekuensi napas, pola pernapasan, simetris atau tidak.
• Blood: Periksa perfusi pada akral, tekanan darah, dan denyut nadi, tanda
tandapenyakit jantung dan kardiovaskular; dispnea atau ortopnea, sianosis,
maupun hipertensi.
• Brain: Periksa keadaan umum dan kesadaran pasien (non-trauma), pada
pasien dengan trauma kapitis periksa tingkat kesadaran dengan menggunakan
Glassgow Coma Scale (GCS) atau bisa dengan parameter lain yaitu
menggunakan AVPU.
Tabel 1. Glassgow Coma Scale (GCS)
Variabel Nilai
Spontan 4
10
Nilai GCS = (E+M+V)
Tingkat kesadaran :
1) Composmentis (GCS 14-15)
2) Apatis (GCS 12-13)
3) Somnolen (GCS 10-11)
4) Delirium (GCS 9-7)
5) Stupor/ spoors Coma (GCS 4-6)
6) Koma (GCS 3)
• Bladder dan bowel: Periksa apakah terdapat kelainan BAK dan BAB, mulai
dari frekuensi hingga jam terakhir pasien BAK dan BAB.
• Bone: Periksa apakah terdapat fraktur dan udem.
- Pemeriksaan abdomen untuk menilai adanya distensi, massa, asites yang dapat
membuat tekanan intraabdominal meningkat sehingga dapat menyebabkan
regurgitasi.
- Hal-hal yang menjadi penyulit intubasi, seperti penggunaan gigi palsu, gigi yang
longgar dan sumbing harus dicatat, adanya mikronagnatia (jarak pendek antara
dagu dan tulang hyoid), gigi seri bagian atas yang menonjol, lidah besar,
jangkuan gerak sendi temporomandibular terbatas atau leher pendek.
11
Kelas 3 Terlihat: palatum durum,
palatum mole
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemerikasan laboratorium yang wajib dilakukan mencakup darah
rutin, elektrolit, dan klinis klinik. Hal ini penting untuk persiapan preoperatif
seperti ketersediaan darah pada pasien dengan Hb rendah, atau bahkan bisa
untuk penjadwalan ulang operasi untuk mengkoreksi dulu nilai-nilai yang
masih tidak dalam rentang normal. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan
sesuai kondisi pasien, seperti USG, foto toraks, EKG, CT-Scan, dan lain
sebagainya. Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit.
- Hematologi: hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrit
- Hemostasis: PT, APTT
- Kimia klinik: total protein, albumin, globulin, bilirubin, kalsium, ureum,
kreatinin, GDS, SGOT, SGPT
- Elektrolit: natrium, kalium, klorida
- Urine: protein, reduksi, sedimen
- Foto thoraks
- EKG: terutama pada pasien diatas 40 tahun karena ditakutkan adanya iskemia
miokard
- Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru
Evaluasi preoperatif merupakan suatu pengkajian secara keseluruhan terhadap
fungsi pasien yang meliputi fungsi fisik, biologis, dan psikologis untuk mencapai
keberhasilan operasi. Tahapan preoperatif dimulai pada keputusan awal akan
12
dilakukannya intervensi bedah, efektif dilakukan 1-2 hari sebelum operasi, dan
berakhir ketika pasien dikirim ke ruang operasi.7
Evaluasi preoperatif berfungsi sebagai acuan dalam perencanaan teknik
anestesi. Evaluasi preoperatif yang efektif terdiri dari riwayat kesehatan dan
pemeriksaan fisik, yang wajib mencakup riwayat pengobatan pasien terbaru, riwayat
alergi, dan riwayat anestesi sebelumnya. Selanjutnya, pemeriksaan penunjang
seperti hasil pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, atau konsultasi dari
bidang kedokteran lainnya juga harus dievaluasi.1 Tahapan preoperatif yang tidak
memadai serta persiapan yang tidak adekuat dapat menimbulkan akibat seperti
penundaan, pembatalan, komplikasi, serta peningkatan biaya operasi. Pemulihan
yang baik membutuhkan rehabilitasi yang baik juga seperti penghentian merokok,
suplementasi nutrisi, olahraga, dan penyesuaian obat-obatan.1
Tujuan dari evaluasi preoperatif adalah untuk mengidentifikasi pasien yang
harus mendapatkan tatalaksana medis tertentu agar memiliki hasil yang baik setelah
operasi. Evaluasi preoperatif dapat mengubah rencana teknik anestesi yang
direncanakan sebelumnya. Tujuan lain dari evaluasi preoperatif yaitu untuk memberi
tahu pasien mengenai risiko dan manfaat dari teknik anestesi yang direncanakan.
Evaluasi preoperatif memberikan kesempatan bagi dokter anestesi untuk
menjelaskan rencana anestesi kepada pasien termasuk rencana post operatif,
memberikan dukungan psikososial terhadap pasien, dan memperoleh persetujuan
anestesi dari pasien.1
Pasien yang telah dievaluasi akan dikelompokkan ke dalam klasifikasi
American Society of Anesthesiologist (ASA). Sistem klasifikasi ini tidak hanya
menilai risiko perioperatif, tetapi juga mempertimbangkan faktor lain, seperti jenis
operasi, kelemahan fisik, serta keadaan yang mempengaruhi.
13
penyalahgunaan alkohol, pasien dengan implan
pacemaker, penurunan fraksi ejeksi moderat,
pasien ESRD yang rutin dialisis, bayi prematur
dengan Postconceptional Age <60 minggu,
riwayat infark miokard, Cardiovascular
Accident (CVA), Transient Ischemic Attack
(TIA), Coronary Artery Disease (CAD) > 3
bulan
ASA IV Pasien dengan Riwayat infark miokard, Cardiovascular
penyakit sistemik Accident (CVA), Transient Ischemic Attack
berat yang (TIA), Coronary Artery Disease (CAD) > 3
mengancam bulan, sedang mengalami iskemia jantung atau
kehidupan gangguan katup berat, sepsis, DIC, penyakit
ginjal aku atau ESRD yang tidak melakukan
dialisis secara teratur
ASA V Pasien terminal Ruptur aneurisma torakal/ abdominal, trauma
yang diduga tidak masif, perdarahan intrakranial dengan adanya
dapat bertahan massa, iskemik usus akibat penyakit jantung
tanpa dilakukan signifikan atau disfungsi multipel organ
operasi
ASA VI Pasien yang
dinyatakan mati
otak yang
organnya
digunakan untuk
donor
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
pasien agar pasien dalam kondisi yang optimal, sedangkan pada operasi cito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
14
b. Persiapan fisik
Menginformasikan dan menginstruksikan pasien untuk melakukan:
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok, meminum
minuman keras dan obat-obatan tertentu minimal 2 minggu sebelum
anestesi atau minimal dimulai sejak pertama kali di poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan aksesoris
3) Tidak menggunakan kosmetik seperti cat kuku atau cat bibir
4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:
Tabel 4. Rekomendasi puasa
5) Diharuskan agar pasien ditemani oleh salah satu keluarga atau orangtua
atau teman dekatnya untuk menjaga kemungkinan penyulit yang tidak
diinginkan
6) Membuat surat persetujuan medik
7) Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian khusus
kamar operasi
15
minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan aksesoris
3) Tidak menggunakan kosmetik seperti cat kuku atau cat bibir
4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:
Tabel 5. Rekomendasi puasa
16
• Memberikan efek antisialoque (sulfas atropin, glikopirolat, dan
skopolamin)
• Mencegah terjadinya risiko aspirasi lambung dengan mengurangi
cairan lambung dan menaikkan pH cairan lambung (ranitidin,
antasida, dan PPI)
• Mencegah Postoperative Nausea and Vomiting (PONV), misalnya
ondansetron, tropisetron, granisetron, ramosetron, dan metoklopramid
• Mencegah reaksi alergi (deksametason)
• Mencegah refleks yang tidak diinginkan (lidokain)
• Sebagai profilaksis seperti untuk mencegah infeksi, mencegah
trombosis vena dalam, mencegah gagal ginjal, dan mencegah
komplikasi jantung
• Mengurangi sekresi saluran napas
• Menyebabkan amnesia
Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat
disembunyikan oleh pasien. Rasa takut atau nyeri akan mengaktifkan saraf
simpatis untuk menimbulkan perubahan dalam berbagai derajat yang
mengenai setiap sistem dalam tubuh. Banyak dari perubahan ini
disebabkan oleh suplai darah ke jaringan, sebagian karena stimulasi eferen
simpatis yang ke pembuluh darah dan sebagian karena meningkatnya
katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergik dari rasa takut timbul di
korteks serebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedatif yang
mencegah kemmpuan untuk menjadi takut bila ada penyebab takut yang
sesuai. Tanda akhir dari reaksi adrenergik terhadap rasa takut adalah
meningkatnya detak jantung dan tekanan darah.11
Premdikasi harus diberikan berdasarkan keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah kunjungan anestesi dilakukan. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus
selalu memperhitungkan baik itu umur pasien, berat badan, derajat
kecemasan, riwayat anestesi sebelumnya (terutama pada anak), riwayat
reaksi terhadap obat premedikasi sebelumnya (bila pasien pernah
dianestesi sebelumnya), riwayat penggunaan obat-obat tertentu yang
kemungkinan dapat mempengaruhi jalannya anestesi (misalnya MAO
inhibitor, kortikosteroid, antibiotik tertentu), perkiraan lama operasi, jenis
operasi (terencana, darurat pasien rawat inap atau rawat jalan), maupun
rencana obat anestesi yang akan digunakan.
17
Jenis-jenis obat premedikasi:2,6,8
1) Memberikan efek analgesia (opioid)
• Morfin
- Dosis morfin untuk premedikasi: 0,05-0,2 mg/kgBB IM, dosis
anestesi intraoperatif 0,1-1 mg/kgBB IM dan 0,03- 0,15 mg/kgBB
IV.
- Onset kerja morfin: 15-30 menit (IM dan IV), mencapai puncak
45-90 menit dengan durasi kerja selama 4 jam.
- Dapat digunakan sebagai analgetik, euphoria, dan sedasi.
- Gejala lain setelah pemberian morfin dapat berupa mual, muntah,
kekeringan pada mulut, dan gatal.
• Fentanil
Merupakan agonis opioid sintetik yang strukturnya mirip
dengan meperidin dan memiliki efek analgesik 75-125 kali lebih
poten dibandingkan morfin. Fentanil lebih larut di dalam lemak
dibandingkan morfin sehingga onsetnya lebih cepat.
- Dosis fentanil: 2-150 µg/kgBB IV (anestesi intraoperatif), 0,5-1,5
µg/kgBB IV (analgesia postoperatif).
- Onset kerja dalam waktu 5 menit dengann durasi kerja selama 30
menit-1 jam.
• Sufentanil
Merupakan analog thenyl dari fentanil. Kekuatan analgetik
dari sufentanil adalah 5-10 kali dari fentanil. Efek samping yang
biasa terjadi adalah spasme otot skeletal pada pemberian injeksi
intratekal.
- Dosis untuk premedikasi: 2-5 µg/kgBB IV, 0,25-30 µg/kgBB IV
untuk anestesi intraoperatif.
- Onset kerja dalam waktu 1-2 menit dengan durasi kerja selama 15
menit.
18
• Atropin
- Dosis premedikasi: 0,01-0,02 mg/kgBB (IV atau IM) hingga pada
dosis dewasa yang umum sekitar 0,4-0,6 mg/kgBB (IV).
- Onset kerja dalam waktu 1 menit dengan durasi kerja atropin selama
30-60 menit.
19
5) Mencegah aspirasi lambung
Aspirasi lambung dapat terjadi selama induksi, pada ruang operasi,
atau pada saat transfer pasien. Aspirasi juga dapat disebabkan oleh
bronkospasme. Oleh karena itu, puasa sangat dianjurkan dan merupakan
aspek penting sebelum dilakukannya operasi.
Tabel 6. Rekomendasi puasa untuk mengurangi risiko aspirasi
Jenis minuman Waktu puasa minimal (untuk semua umur)
Air putih 2 jam
ASI 4 jam
Makanan bayi 6 jam
Susu formula 6 jam
Makanan berat 6 jam
20
omeprazol melewati sawar darah otak. Efek pada
gastrointestinal menyebabkan nyeri perut, mual, atau
muntah.
21
serta memberikan efek sedasi maksimal jika diberikan dalam
dosis yang besar atau ketika dikombinasikan dengan obat lain.
- Dosis premedikasi: 0,07-0,15 mg/kgBB IM
- Dosis sedasi: 0,01-0,1 mg/kgBB IV
- Dosis induksi: 0,1-0,4 mg/kgBB IV
Secara intravena efek kerja midazolam adalah 30-60 detik.
Efek puncaknya 3-5 menit dan durasi kerja selama 15-80 menit.
Midazolam 0,5 mg/kgBB secara oral diberikan 30 menit
sebelum induksi anestesi. Midazolam pada dosis 0,15-0,27
mg/kgBB secara IV dapat menurunkan Tekanan Intrakranial
(TIK). Midazolam dosis 0,15 mg/kgBB IV dapat menurunkan
ventilasi. Apnea dapat terjadi pada pemberian injeksi yang cepat
dengan dosis >0,15 mg/kgBB IV. Midazolam dosis 0,2
mg/kgBB secara IV dapat menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan laju jantung.
• Lorazepam
Menghasilkan efek amnesia yang lebih dominan dari
golongan lainnya dengan masa kerjanya juga lebih lama
dibandingkan yang lainnya.
- Dosis premedikasi: 0,053 mg/kgBB secara oral atau 0,03-
0,05 mg/kgBB secara IM
- Dosis sedasi: 0,03-0,04 mg/kgBB IV
Onset kerja lorazepam jika pemberian secara IM adalah 2-4
jam, 1-2 menit pada pemberian secara IV. Durasi kerja dari
lorazepam adalah 6-10 jam. Onset kerja lorazepam lebih lama
daripada midazolam dan diazepam.
Golongan barbiturat
• Thiopental
Obat ini dimetabolisme dihati tiap jam. Pada penyuntikan
thiopental, mula-mula timbul hiperalgesia diikuti dengan
analgesia bila dosis terus ditingkatkan, tetapi barbiturat bukan
analgesik yang kuat.
- Dosis sedasi: 0,5-1,5 mg/kgBB IV
- Onset kerja: 30-45 detik
- Durasi kerja: 5-10 menit secara IV
22
• Methohexical
Metabolismenya lebih dari thiopental karena kelarutannya
di dalam lemak lebih sedikit.
- Dosis sedasi: 0,2-0,4 mg/kgBB secara IV
- Onset kerja: 5-6 menit
- Durasi kerja: 3-9 jam
• Pentobarbital
- Dosis premedikasi: 2-4 mg/kgBB oral dan IM. Pada anak
3-5 mg/kgBB secara rektal
- Onset kerja: 20-60 menit (oral dan rektal), 10-20 menit
(IM), dan 5 menit (IV).
- Durasi kerja: 1-4 jam secara oral dan rektal.
23
2. T: Tube (pipa endotrakeal, LMA)
a. Pipa endotrakeal
Endotracheal Tube (ETT) mengantarkan gas anestetik langsung ke
dalam trakea. ETT dikerjakan pada pasien yang memiliki
kemungkinan kontaminasi pada jalan napas, posisi pembedahan
yang sulit, pembedahan di mulut atau muka, serta pembedahan
yang lama.
b. Laryngeal Mask Airway (LMA)
Laryngeal Mask Airway diindikasikan sebagai alternatif dari
ventilasi face mask atau intubasi ETT. Pada pasien-pasien dengan
risiko aspirasi isi lambung dan pasien-pasien yang membutuhkan
dukungan ventilasi mekanik jangka waktu lama, maka LMA tidak
diindikasikan. LMA terdiri dari 2 macam yaitu sungkup laring
standar dengan satu pipa napas dan sungkup laring dengan dua pipa
yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung
distalnya berhubungan dengan esofagus. Untuk jenis LMA dapat
berupa:
• LMA proScal, yang memungkinkan lewatnya saluran lambung
untuk mendekompresi lambung
• I-Gel, yang menggunakan gel occlude
• LMA intubasi Fastrach, yang dirancang untuk memfasilitasi
intubasi endotrakeal melalui LMA
• LMA CTrach, yang menggabungkan kamera untuk
memfasilitasi intubasi endotrakeal
24
Gambar 3. Ukuran LMA2
b. Oropharyngeal Airway
Alat ini akan menahan pangkal lidah dari dinding belakang faring.
Berguna pada pasien yang masih bernapas spontan, dan dapat
membantu pada saat dilakukan pengisapan lendir, serta mencegah
pasien menggigit pipa endotrakeal (ETT).
25
c. Nasopharyngeal Airway
Alat ini digunakan pada pasien yang menolak menggunakan alat
bantu jalan napas orofaring atau apabila secara teknis tidak
mungkin memasang alat bantu jalan napas orofaring (misalnya pada
pasien dengan trismus, rahang menutup kuat, dan cedera berat di
daerah mulut).
4. T: Tape (plester)
Plester digunakan untuk memfiksasi pipa endotrakeal setelah tindakan
intubasi agar tidak terlepas.
5. I: Inducer (stilet/ forceps Magill)
Stilet (Mandren) digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakeal dan sebagai alat bantu saat insersi ETT. Sedangkan forceps
intubasi (Magill) digunakan dengan tujuan untuk memanipulasi pipa
endotrakeal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.
6. C: Connection
Merupakan penghubung antara mesin respirasi/ anestesi dengan ETT
7. S: Suction
Berfungsi untuk membersihkan jalan napas dengan cara menyedot
lendir, ludah, dan lainnya.
26
Berikut ini algoritma untuk pasien dengan penyulit jalan napas
berdasarkan ASA.
Induksi Anestesi
27
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, dan
intramuskular atau rektal.
1. Induksi intravena
A. Golongan barbiturat
Barbiturat menekan RAS (reticular activating system) di batang otak, yang
mengontrol kesadaran. Mekanisme kerja utama barbiturat diyakini melalui
pengikatan dengan reseptor asam γ-aminobutyric tipe A (GABA). Barbiturat
mempotensiasi aksi GABA dalam meningkatkan durasi pembukaan saluran ion
khusus klorida. Pada dosis klinis barbiturat lebih kuat mempengaruhi fungsi
sinaps dari pada akson serabut saraf. Mekanisme kerjanya pada sistem saraf
pusat terbagi menjadi dua kategori yaitu 1) Meningkatkan kerja sinaptik
neurotransmiter inhibitor (GABA), Memblokade aksi sinaptik neurotransmiter
eksitasi (glutamat dan asetilkolin) Contoh obat yang tergolong barbiturat adalah
tiopental, metoheksital, fenobarbital.
Farmakokinetik
a) Absorbsi
Kembalinya kesadaran setelah pemberian induksi anestesi intravena
dosis tunggal (thiopental) mencerminkan proses redistribusi dari obat
tersebut dari otak ke jaringan inaktif.
b) Distribusi
Durasi dosis dari indukasi thiopental, tiamin, dan metoheksital
ditentukan oleh redistribusi bukan oleh metabolisme atau eliminasi.
Tiopental walaupun sangat terikat dengan protein (80%), namun
memiliki kelarutan lemak dan fraksi nonionisasi yang tinggi (60%)
sehingga berperan dalam penyerapan di otak yang cepat (dalam 30
detik). Redistribusi menurunkan konsentrasi plasma dan otak hingga
10% dari level puncak dalam 20-30 menit. Profil farmakokinetik ini
berkorelasi dengan pengalaman klinis dimana pasien biasanya
kehilangan kesadaran dalam waktu 30 detik dan bangun dalam waktu
20 menit. Dosis induksi minimal dari thiopental tergantung pada berat
badan dan usia. Pada lansia, proses redistribusi berjalan lebih lambat
sehingga diperlukan dosis yang lebih kecil.
Pada barbiturat yang kurang larut dalam lemak, waktu paruh
distribusinya lebih lama dan durasi kerja setelah dosis tidur. Pemberian
28
ulang barbiturat yang sangat larut dalam lemak (seperti infus thiopental
untuk “koma barbiturat” dan perlindungan otak) menjenuhkan
kompartemen perifer, meminimalkan efek redistribusi dan memberikan
durasi tindakan yang lebih tergantung pada eliminasi.
c) Eliminasi
Pada prinsipnya barbiturat merupakan biotransformasi melalui oksidasi
hati menjadi metabolit yang tidak aktif dan larut dalam air dan
diekskresikan melalui ginjal, kecuali metoheksital yang diekskresikan
melalui feses. Metoheksital dibersihkan oleh hati lebih cepat daripada
thiopental.
d) Ekskresi
Kecuali untuk zat-zat yang tidak terikat protein dan kurang larut dalam
lemak seperti fenobarbital, ekskresi pada ginjal hanya terjadi pada
produk akhir biotransformasi hati yang larut dalam air. Untuk
metoheksikal akan diekskresikan melalui feses.
Thiopental,
Sedasi IV 2,5 0,5-1,5
thiamylal
29
Barbiturat dapat menyebabkan terjadinya apnea pada pasien karena
barbiturat menekan pusat ventilasi meduler, sehingga respons ventilasi
terhadap hiperkapnea dan hipoksia berkurang. Pada saat bangun,
volume tidal dan laju pernapasan menurun. Sedasi dalam barbiturat
sering menyebabkan obstruksi jalan napas atas dan apnea pada
pemberian dosis induksi. Selain itu, barbiturat menekan refleks dari
jalan napas secara tidak komplit terhadap respon laringoskopi dan
intubasi sehingga dapat terjadi bronkospasme (pada pasien asma)
maupun laringospasme pada pasien yang masih teranestesi dangkal.
3. Serebral
Barbiturat dapat menyebabkan vasokontriksi atau menyempitkan
pembuluh darah otak sehingga terjadi penurunan aliran darah otak,
volume darah otak, dan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang
berkurang sampai batas yang lebih besar daripada tekanan darah arteri
dapat menyebabkan tekanan perfusi otak (CPP) meningkat. Selain itu,
barbiturat dapat menyebabkan depresi pada sistem saraf pusat mulai
dari sedasi ringan hingga tidak sadar, tergantung dosis yang diberikan.
Tingkatan depresi SSP pada pemberian anestesi umum golongan
barbiturat dengan teknik TIVA mulai dari sedasi ringan hingga
hilangnya kesadaran tergantung dari dosis yang diberikan. Golongan
barbiturat dapat menurunkan konsumsi alkohol otak hingga 50% dari
normal.
4. Renal
Barbiturat dapat mengurangi aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus. Keadaan ini terkait secara proporsioanl dengan penurunan
tekanan darah.
5. Imunologis
Tiobarbiturat yang mengandung belerang dapat menyebabkan
terjadinya pelepasan sel mast in vitro, sedangkan oksibarbiturat tidak.
Reaksi alergi anafilaksis atau anafilaktoid sangat jarang terjadi.
6. Hepatic
Dapat mengakibatkan aliran darah hati menurun. Paparan kronis
terhadap barbiturat menyebabkan induksi enzim hati dan peningkatan
laju metabolisme. Barbiturat mendorong pembentukan asam
aminolevulinic yang merangsang pembentukan porfirin (mediator
pembentukan heme). Hal ini dapat memicu terjadinya porfiria
intermiten akut. Di sisi lain, pengikatan barbiturat ke sistem enzim
30
sitokrom P-450 mengganggu biotransformasi obat lain (misalnya
antidepresan trisiklik).
B. Ketamin
Ketamin dikenal baik dapat menghambat saluran N-metil-d- aspartat
(NMDA) dan saluran kationik teraktivasi hiperpolarisasi neuronal (HCN1),
serta memiliki banyak efek di seluruh sistem saraf pusat. Ketamin lebih
unggul dibanding agen anestetik lainnya karena memiliki keunggulan yaitu
dapat menimbulkan efek hipnotik dan analgesia sekaligus. Pada sistem saraf
pusat, ketamin memiliki banyak efek diantaranya dapat menghambat refleks
polisinaptik di medulla spinalis dan neurotransmitter eksitasi di area tertentu
pada otak, serta dapat memutus hubungan thalamus (penghubung impuls
sensoris dari sistem aktivasi retikuler ke korteks serebri) dengan korteks
limbus (berperan pada sensasi waspada), secara klinis disebut juga sebagai
anestesi disosiasi dimana pasien tampak sadar (mata terbuka, refleks
menelan dan kontraksi otot) tetapi tidak mampu mengolah dan merespon
input sensorisnya.
Secara fungsional, ketamin dapat mendisosiasi impuls sensorik dari
korteks limbik (yang terlibat dengan sensasi). Sehingga ketamin juga
memiliki efek terhadap suasana hati, dan saat ini ketamin banyak digunakan
sebagai terapi pada pasien-pasien dengan depresi berat yang resisten
terhadap pengobatan, terutama pada pasien dengan ide bunuh diri.
Pemberian ketamin dengan dosis kecil secara IV juga digunakan untuk
melengkapi anestesi umum dan untuk mengurangi kebutuhan opioid selama
dan setelah prosedur pembedahan. Pemberian infus ketamin dosis rendah ini
biasanya didahului dengan premedikasi benzodiazepin. Dosis ketamin yang
digunakan untuk induksi anestesi yaitu 1-2 mg/kgBB IV, dimana ketamin
memiliki durasi sekitar 10-20 menit setelah dosis tunggal induksi, dengan
tambahan waktu 60-90 menit untuk pulih sadar dengan orientasi yang utuh.
Efek analgesik mulai timbul pada dosis anestetik antara 0,1-0,5 mg/kgBB
IV dan konsentrasi plasma antara 85-160 ng/ml. Dosis rendah dengan infus
sebesar 4 µg/kgBB/menit IV telah dilaporkan dapat menghasilkan efek
analgesik post operatif yang sama dengan infus morfin 2 mg/jam IV yang
refrakter terhadap pendekatan analgesik konvensional.
Farmakokinetik
a) Absorbsi
31
Ketamin dapat diberikan secara oral, nasal, rektal, subkutan, dan
epidural, tetapi dalam praktik klinis biasanya secara umum ketamin
diberikan secara intravena atau intramuskuler. Kadar plasma puncak
biasanya dicapai dalam 10 hingga 15 menit setelah injeksi
intramuskuler..
b) Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak dan kurang terikat dengan protein
dibandingkan dengan thiopental, sehingga uptake-nya oleh otak dan
proses redistribusinya berlangsung cepat Ketamin sangat larut dalam
lemak dan, bersama dengan peningkatan aliran darah otak dan keluaran
jantung yang diinduksi ketamin, menghasilkan penyerapan otak yang
cepat dan redistribusi berikutnya (waktu paruh distribusi adalah 10-15
menit). Kebangkitan atau terminasi terjadi disebabkan oleh redistribusi
dari otak ke kompartemen perifer.
c) Metabolisme
Ketamin dimetabolisme menjadi beberapa metabolit, salah satunya
(norketamin) yang mempertahankan aktivitas atau masih memiliki efek
anestesi. Penyerapan hati yang besar (rasio ekstraksi hati 0,9)
menyebabkan waktu paruh yang relatif singkat (2 jam).
d) Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin akan diekskresikan ke dalam
ginjal.
2. Respirasi
32
Dorongan ventilasi minimal (ventilator drive) dipengaruhi oleh dosis
induksi ketamin, meskipun dengan pemberian bolus IV yang cepat
ataupun kombinasi ketamin dengan opioid dapat menghasilkan apnea.
Ketamin rasemik merupakan bronkodilator yang kuat sehingga baik
pada pasien asma, namun ketamin menghasilkan bronkodilasi yang
minimal. Refleks jalan napas atas sebagian besar tetap utuh, tetapi
obstruksi jalan napas parsial dapat terjadi, dan pada pasien dengan
peningkatan risiko aspirasi (kondisi lambung penuh) harus diintubasi
selama anestesi umum dengan ketamin. Peningkatan salivasi yang
terkait dengan ketamin dapat dilemahkan dengan premedikasi
menggunakan agen antikolinergik seperti glikopirolat.
3. Serebral
Ketamin diduga dapat meningkatkan konsumsi oksigen otak, aliran
darah otak, dan tekanan intrakranial. Efek ini tampaknya menghalangi
penggunaannya pada pasien dengan lesi intrakranial yang menempati
ruang seperti pasien dengan trauma kepala. Namun, publikasi atau
penelitian terbaru menemukan bukti yang meyakinkan bahwa saat
dikombinasikan dengan benzodiazepin (atau agen lain yang bekerja
pada sistem reseptor GABA yang sama) dan ventilasi terkontrol (dalam
teknik yang mengecualikan nitro oksida), ketamin tidak menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Aktivitas mioklonik
dikaitkan dengan peningkatan aktivitas listrik subkortikal, yang tidak
terlihat pada EEG permukaan. Efek samping psikotomimetik yang tidak
diinginkan (misalnya mimpi dan delirium yang mengganggu) selama
kemunculan dan pemulihan lebih jarang terjadi pada anak-anak, pada
pasien yang menggunakan benzodiazepin, atau pada mereka yang
menerima ketamin yang dikombinasikan dengan propofol dalam teknik
anestesi intravena total (TIVA).
C. Etomidat
Etomidat menekan sistem pengaktif retikuler dan meniru efek
penghambatan GABA. Secara khusus, etomidat terutama isomer R (+)
tampaknya berikatan dengan subunit dari reseptor GABA dan meningkatkan
afinitas reseptor untuk GABA. Etomidat mungkin memiliki efek disinhibisi
pada bagian-bagian sistem saraf yang mengontrol aktivitas motorik
ekstrapiramidal. Disinhibisi ini menawarkan penjelasan potensial untuk efek
gerakan mioklonus 30% - 60% dengan induksi anestesi etomidat. Dosis
33
induksi etomidat adalah 0,2-0,4 mg/kgBB. Dosis ini menghasilkan durasi
efek hipnosis sekitar 5-15 menit, dengan sedikit perubahan pada status
kardiovaskular pada pasien yang sehat maupun dengan penyakit katup atau
penyakit jantung sistemik. Etomidat dapat menimbulkan nyeri pada saat
penyuntikkan dan angka kejadian PONV yang tinggi.
Farmakokinetik
a) Absorbsi
Etomidat hanya tersedia dan hanya dapat diberikan secara IV dan
digunakan terutama untuk induksi anestesi umum. Terkadang juga
digunakan untuk sedasi dalam sesaat sebelum melakukan blokade
retrobular.
b) Distribusi
Meskipun sangat terikat protein, etomidat dicirikan oleh onset aksi yang
sangat cepat dikarenakan etomidat sangat larut dalam lemak dan fraksi
non ionisasinya tinggi pada pH fisiologis. Proses redistribusi berperan
dalam lamanya durasi etomidat. Redistribusi bertanggunjawab untuk
menurunkan konsentrasi plasma ke tingkat pencerahan.
c) Metabolisme
Enzim mikrosomal hati dan esterase plasma dengan cepat
menghidrolisis etomidat menjadi metabolit tidak aktif.
d) Ekskresi
Produk akhir hidrolisis etomidat terutama diekskresikan dalam urin.
3. Serebral
34
Etomidat dapat menurunkan laju metabolism otak, aliran darah otak,
dan tekanan intrakranial. Karena hanya sedikit mempengaruhi
kardiovaskular, maka tekanan perfusi otak dipertahankan dengan baik.
Mual dan muntah pasca operasi lebih sering terjadi setelah pemberian
etomidat daripada propofol atau barbiturat. Etomidat tidak memiliki
efek analgesik.
4. Endokrin
Dosis induksi etomidat secara sementara akan menghambat enzim yang
terlibat dalam sintesis kortisol dan aldosteron. Ketika diberikan untuk
sedasi di ICU, infus jangka panjang dari etomidat dan efek etomidat
dilaporkan menghasilkan penekanan pada adrenokortikal yang
konsisten sehingga akan meningkatkan angka kematian pada pasien
yang sakit kritis (terutama sepsis).
D. Benzodiazepin
Benzodiazepin mengikat reseptor yang sama dalam sistem saraf pusat
seperti barbiturat namun ke lokasi yang berbeda. Ikatan benzodiazepin
dengan reseptor GABA dapat meningkatkan frekuensi pembukaan saluran
ion klorida yang terkait. Flumazenil (sebuah imidazobenzodiazepin)
merupakan antagonis reseptor benzodiazepin spesifik yang secara efektif
membalikkan sebagain besar efek sistem saraf pusat dari benzodiazepin.
Midazolam memiliki keunggulan dibandingkan diazepam dan
lorazepam untuk induksi anestesi, karena memiliki onset yang lebih cepat.
Kecepatan onset midazolam ketika digunakan untuk induksi anestesi
ditentukan oleh dosis, kecepatan injeksi, tingkat premedikasi sebelumnya,
usia, status fisik ASA, dan kombinasi obat anestetik lain yang digunakan.
Pada pasien yang sehat yang telah diberikan premedikasi sebelumnya,
midazolam 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan injeksi 5-15 detik akan
menginduksi pasien dalam waktu 28 detik. Pasien dengan usia lebih dari 55
tahun dan dengan status fisik ASA III memerlukan pengurangan dosis
midazolam sebesar 20% atau lebih untuk induksi anestesi.
Farmakokinetik
a) Absorbsi
Benzodiazepin biasanya diberikan secara oral dan IV (atau lebih jarang,
secara IM) untuk memberikan sedasi (atau yang lebih jarang untuk
menginduksi umum). Diazepam dan lorazepam diserap dengan baik
35
dari saluran pencernaan, dengan kadar plasma puncak biasanya dicapai
dalam 1 dan 2 jam, masing-masing. Injeksi midazolam dan lorazepam
diabsorbsi dengan baik setelah injeksi IM, dengan level puncak dicapai
masing-masing pada 30 menit dan 90 menit, sedangkan diazepam IM
terasa menyakitkan dan tidak dapat diserap.
b) Distribusi
Diazepam relatif larut dalam lemak dan siap menembus sawar darah
otak. Meskipun midazolam larut dalam air pada pH rendah, cincin
imidazolnya mendekati pH fisiologis yang meningkatkan kelarutannya
di dalam lemak. Redistribusi cukup cepat pada benzodiazepin
(distribusi awal waktu paruhnya 3-10 menit). Seperti pada barbiturat,
redistribusi berperan dalam terminasi efek obat. Midazolam dapat
digunakan sebagai agen induksi, yang dapat menyamai onset cepat dan
durasi pendeknya propofol atau bahkan thiopental. Midazolam sangat
terikat dengan protein (90-98%).
c) Metabolisme
Benzodiazepin bergantung pada hati untuk biotransformasi menjadi
produk akhir glukuronid yang larut dalam air. Metabolit fase I
diazepam aktif secara farmakologis. Ekstraksi hati yang lambat dan
volume distribusi yang besar (Vd) menyebabkan eliminasi waktu paruh
yang panjang untuk diazepam (30 jam). Meskipun lorazepam juga
memiliki rasio ekstraksi hati yang rendah, kelarutan lemaknya yang
lebih rendah membatasi Vd-nya, menghasilkan waktu paruh eliminasi
yang lebih pendek (15 jam). Vd midazolam serupa dengan diazepam,
tetapi eliminasi waktu paruhnya pendek (2 jam) karena tingginya rasio
ekstraksi hepatiknya. Meskipun demikian, durasi klinis lorazepam
seringkali cukup lama karena peningkatan afinitas reseptor. Perbedaan
antara lorazepam dan diazepam menggarisbawahi rendahnya utilitas
paruh farmakokinetik individu dalam memandu praktik klinis.
Midazolam memiliki waktu paruh eliminasi terpendek karena
peningkatan rasio ekstraksi hepatik.
d) Ekskresi
Metabolit benzodiazepin di ekskresikan terutama dalam urin. Sirkulasi
enterohepatik menghasilkan puncak sekunder dalam konsentrasi plasma
diazepam 6-12 jam setelah pemberian.
36
1. Kardiovaskular
Benzodiazepin memiliki efek depresi kardiovaskular pada ventrikel kiri
yang minimal, minimal meskipun pada dosis anestesi umum, kecuali
jika diberikan bersama dengan opioid. Jika diberikan tunggal, akan
menurunkan tekanan darah arteri, cardiac output, dan resistensi
pembuluh darah perifer yang ringan, serta terkadang dapat
meningkatkan denyut jantung.4,13 Midazolam IV menurunkan tekanan
darah dan tahanan pembuluh darah perifer yang lebih besar dari
diazepam. Variasi perubahan denyut jantung selama sedasi dengan
midazolam disebabkan oleh penurunan tonus vagal.
2. Respirasi
Benzodiazepin menekan respons ventilasi terhadap CO2. Depresi ini
biasanya tidak signifikan kecuali obat-obatan diberikan secara intravena
atau diebrikan dengan depresan pernapasan lainnya. Meskipun apnea
relatif jarang pada induksi dengan benzodiazepin, pemberian dosis kecil
IV dapat menyebabkan respiratory arrest. Ventilasi harus selalu
diawasi pada semua pasien yang mendapatkan benzodiazepin IV dan
peralatan resusitasi harus selalu tersedia.
3. Serebral
Benzodiazepin menurunkan kebutuhan dan konsumsi oksigen otak,
aliran darah otak, dan tekanan intrakranial, tetapi tidak sebesar
barbiturat. Dosis sedasi sering menghasilkan amnesia anterograde.
Selain itu, juga dapat menimbulkan relaksasi otot ringan yang bekerja
pada tingkatan corda spinalis bukan pada neuromuscular junction. Pada
pemberian dosis rendah, dapat menimbulkan efek anti cemas, amnesia,
dan sedasi, sedangkan pada dosis besar akan menimbulkan efek stupor
sampai hilangnya kesadaran. Benzodiazepin tidak memiliki efek
analgesik dan bila dibandingkan dengan propofol dan thiopental,
memiliki efek yang lebih lambat dan durasi yang lebih lama.
Dibandingkan dengan propofol atau etomidat, induksi dengan
benzodiazepin dikaitkan dengan tingkat kehilangan kesadaran yang
lebih lambat dan pemulihan yang lebih lama. Benzodiazepin tidak
memiliki efek analgesik langsung.
37
Obat Penggunaan Jalur Dosis (mg/kgBB)
Premedikasi Oral 0,2-0,5
E. Propofol
Induksi propofol anestesi umum melibatkan neurotransmisi penghambat
yang dimediasi oleh pengikat reseptor GABA A. Propofol secara alosterik
meningkatkan afinitas pengikatan GABA untuk reseptor GABA A. Aktivasi
reseptor menyebabkan hiperpolarisasi membran saraf. Propofol (seperti
kebanyakan anestesi umum) mengikat berbagai saluran ion dan reseptor.
Farmakokinetik
a) Propofol hanya tersedia untuk pemberian intravena untuk induksi
anestesi umum dan untuk sedasi sedang hingga dalam.
b) Propofol memiliki onset aksi yang cepat. Kebangkitan dari dosis bolus
tunggal juga cepat karena waktu paruh distribusi awal yang sangat
singkat (2-8 menit).
c) Pemulihan dari propofol lebih cepat dan disertai dengan lebih sedikit
"mabuk" daripada pemulihan dari metoheksikal, tiopental, ketamin,
atau etomidat. Hal ini membuatnya menjadi pilihan anestesi untuk
operasi rawat jalan.
d) Farmakokinetik propofol tidak dipengaruhi oleh obesitas, sirosis, atau
gagal ginjal.
e) Penggunaan infus propofol untuk sedasi jangka panjang pada anak-anak
yang sakit kritis atau pasien bedah saraf dewasa muda telah dikaitkan
dengan kasus lipemia sporadis, asidosis metabolik, dan kematian, yang
disebut sindrom infus propofol.
38
a) Efek kardiovaskular utama dari propofol adalah penurunan tekanan
darah arteri karena penurunan resistensi vaskular sistemik
(penghambatan aktivitas vasokonstriktor simpatis), preload, dan
kontraktilitas jantung..
b) Propofol secara nyata merusak respons barorefleks arteri normal
terhadap hipotensi. Perubahan denyut jantung dan curah jantung
biasanya bersifat sementara dan tidak signifikan pada pasien yang sehat,
tetapi mungkin parah pada pasien pada usia ekstrem, mereka yang
menerima penghambat β-adrenergik
c) Propofol adalah depresan pernapasan berat yang biasanya menyebabkan
apnea setelah dosis induksi.
d) Propofol mengurangi aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan
intrakranial. Pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial,
propofol dapat menyebabkan penurunan CPP (<50 mm Hg) yang kritis.
F. Fospropofol
Merupakan produk yang larut dalam air yang dimetabolisme in vivo
menjadi propofol, fosfat, dan formaldehid. Zat ini dirilis di Amerika Serikat
(2008) dan negara-negara lain berdasarkan studi yang menunjukkan bahwa
itu menghasilkan amnesia yang lebih lengkap dan sedasi sadar yang lebih
baik untuk endoskopi daripada midazolam plus fentanil. Fospropofol
memiliki onset yang lebih lambat dan pemulihan yang lebih lambat daripada
propofol.
G. Dexmedetomidine
Merupakan agonis α2-adrenergik yang dapat digunakan untuk
ansiolisis, sedasi, dan analgesia. Agen ini dapat digunakan untuk
premedikasi dengan pemberian nasal 1-2 mcg/kgBB atau oral 2,5-4
mg/kgBB pada anak-anak dimana obat ini sangat baik dibandingkan dengan
midazolam oral. Paling umum, dexmedetomidine digunakan untuk sedasi
prosedural (misalnya selama prosedur kraniotomi terjaga atau intubasi
fiberoptik), sedasi ICU (misalnya pasien berventilasi pulih dari operasi
jantung), atau sebagai suplemen untuk anestesi umum untuk mengurangi
kebutuhan opioid intraoperatif atau untuk mengurangi kemungkinan
munculnya delirium (paling sering pada anak-anak) setelah anetsesi
inhalasi.
39
Dexmedetomidine juga telah digunakan untuk mengobati penghentian
alkohol dan efek samping dari keracunan kokain. Biasanya, sedasi
dexmedetomidine intravena pada orang dewasa yang terjaga dimulai dengan
dosis pemuatan 1 mcg/kgBB yang diberikan lebih dari 5-10 menit diikuti
dengan infus pemeliharaan 0,2-1,4 mcg/kgBB/jam. Agen ini memiliki
redistribusi yang sangat cepat dan waktu paruh eliminasi yang relatif
singkat. Dimana zat ini dimetabolisme dihati oleh sistem CYP450 dan
melalui glukuronidasi dan hampir semua metabolit diekskresikan dalam
urin.
2. Anestesi Inhalasi
Berdasarkan kemasannya, obat anestesi umum inhalasi ada 2 macam,
yaitu:12,13
a. Obat anestesi umum inhalasi yang berupa cairan yang mudah
menguap
40
• Derivat halogen hidrokarbon: halotan, trikhloroetilen,
chloroform
• Derivat eter: dietil eter, metoksifluran, enfluran, isofluran
b. Obat anestesi umum berupa gas
• Nitrous oksida (N2O)
• Siklopropan
A. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar
dan tidak mudah meledak atau terbakar meskipun dicampur dengan oksigen.
Tidak iritatif dan mudah rusak bila terkena cahaya. Dosis untuk induksi
inhalasi adalah 2-4%, dosis untuk induksi anak 1.5 – 2%. Pada induksi
inhalasi kedalaman yang cukup terjadi setelah 10 menit. Dosis untuk
pemeliharaan adalah 1 – 2%, dan dapat dikurangi bila digunakan juga N2O
atau narkotik. Pemeliharaan pada anak 0.5 – 2%. Waktu pulih sadar sekitar
10 menit setelah obat dihentikan dengan Koefisien partisis darah/gas yaitu
2:3, dan MAC yaitu 0,74.
1) Farmakokinetik
• Absorbsi : Obat anestesi inhalasi di absorbsi di paru, setelah itu di
distribusikan ke seluruh tubuh.
• Metabolisme : Metabolisme obat anestesi inhalasi secara oksidasi
dan reduksi di dalam retikulum endoplasma hepar.
• Eksresi : Eliminasi sebagian besar secara ekshalasi lewat paru,
sebagian kecil melalui urin. Hasil metabolisme sebagian besar
diekskresi lewat urin sebagian kecil diekskresi lewat paru.1,9
41
• Menurunkan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus
pengeluaran urin, secara sementara.
3) Penggunaan klinik
Halotan digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam
pemeliharaan anestesia umum. Disamping efek hipnotik, halotan juga
mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi otot ringan. Pada bayi dan
anak-anak yang tidak kooperatif, halotan digunakan untuk induksi bersama-
sama dengan N2O secara inhalasi. Diperlukan alat penguap (vaporizer)
khusus halotan, misalnya fluotec, halomix, copper kettle, dragger dan lain-
lainnya.
4) Kontraindikasi
• Pasien dengan gangguan fungsi hati dan gangguan irama jantung.
• Operasi kraniotomi.
5) Keuntungan
Induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa jalan nafas,
pemulihannya relatif cepat, tidak menimbulkan mual muntah dan tidak
meledak atau cepat terbakar.
6) Kelemahan
Batas keamanannya sempit (mudah terjadi kelebihan dosis), analgesia
dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.
B. Enfluran
Berbentuk cair, tidak mudah terbakar, tidak berwarna, tidak iritatif,
lebih stabil dibandingkan halotan, induksi lebih cepat dibanding halotan,
tidak terpengaruh cahaya dan tidak bereaksi dengan logam. Enfluran
merupakan golongan eter halogeneted dengan koefisien partisi darah/gas
yaitu 1,8 dan MAC yaitu 1,7. Dosis induksi, konsentrasi yang diberikan
pada udara inspirasi adalah 2-3% bersama dengan N2O. Dosis pemeliharaan
dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar antara 1- 2,5%,
sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.
1) Farmakodinamik
Setelah diabsorbsi dari paru ke dalam darah, enfluran akan
didistribusikan ke seluruh tubuh. Kelarutan enfluran dalam lemak lebih
rendah dibandingkan halotan. Ekskresi melalui paru dan sebagian kecil
melalui urin.
2) Efek pada sistem organ
• Menyebabkan depresi yang berujung kepada hipnotik, perubahan
42
EEG bentuk epileptiform, dan meningkatkan aliran darah otak
dan tekanan intrakranial. Tidak dianjurkan pemakaiannya pada
pasien yang mempunyai riwayat epilepsi.
• Menimbulkan depresi kontraktilitas miokard, disritmia jarang
terjadi, tidak meningkatkan sensitifitas miokard terhadap
katekolamin. Hipotensi dapat terjadi akibat menurunnya curah
jantung. Selain itu dapat meningkatkan kepekaan jantung
walaupun terhadap katekolamin ringan.
• Menurunkan frekuensi nafas dan depresi fungsi mukosiliar.
• Menurunkan aliran darah ginjal, menurunkan laju filtrasi
glomerulus dan akhirnya menurunkan urin output/diuresis.
• Gangguan fungsi hati ringat yang sifatnya reversible
• Menimbulkan depresi tonus otot uterus, namun respon uterus
terhadap oksitosin tetap baik selama dosis enfluran rendah.
3) Penggunaan klinik
Diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus enfluran.
4) Kontraindikasi
Hati-hati pada gangguan fungsi ginjal
5) Keuntungan
Induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa jalan nafas,
pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak menimbulkan mual muntah,
dan tidak menimbulkan menggigil serta tidak mudah meledak atau terbakar.
6) Kelemahan
Batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis), analgesia dan
relaksasinya kurang, sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain dan
bisa menimbulkan hipotensi.
C. Isofluran (Forane)
Isofluran adalah cairan tidak berwarna dan berbau tajam, menimbulkan
iritasi jalan nafas jika dipakai dengan konsentrasi tinggi menggunakan
sungkup muka. Isofluran tidak mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya
dan proses induksi dan pemulihannya relatif cepat. Koefisien partisi
darah/gas yaitu 1,4 dengan MAC yaitu 1,2. Dosis induksi, konsentrasi yang
diberikan pada udara inspirasi adalah 2-3% bersama dengan N2O. Untuk
pemeliharaan dengan pola nafas spontan konsentrasinya berkisar antara 1-
2,5%, sedangkan untuk nafas kendali berkisar antara 0,5-1%.
43
1) Efek terhadap sistem organ
• Efek depresinya pada otot jantung dan pembuluh darah lebih
ringan dibanding dengan obat anesetesi volatil yang lain.
• Dapat menimbulkan efek berupa iritasi refleks jalan nafas atas.
• Menurunkan tonus otot rangka melalui mekanisme depresi pusat
motorik pada serebrum, sehingga dengan demikian berpotensiasi
dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi.
2) Kelebihan
• Induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa jalan
nafas, pemulihannya lebih cepat dari halotan, tidak menimbulkan
mual muntah, dan tidak menimbulkan menggigil serta tidak
mudah meledak atau terbakar.
• Penurunan konsumsi oksigen otak sehingga isofluran merupakan
obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi, karena tidak
berperngaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi
serebral dan efek metaboliknya yang menguntungkan pada teknik
hipotensi kendali.
• Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama anestesi.
Sehingga obat pilihan untuk obat anestesi pasien yang menderita
kelainan kardiovaskuler.
3) Kelemahan
Batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis), analgesia dan
relaksasinya kurang, sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain.
D. Desfluran
Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek
klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan
anestesi volatil lain, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-
6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan (23.5°C).
1) Efek terhadap sistem organ
• Menurunkan resistensi vaskular sistemik, menyebabkan turunnya
tekanan darah.
• Menyebabkan menurunnya volume tidal dan meningkatnya
frekuensi nafas sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan
CO2. Desfluran bersifat iritatif, sehingga tidak ideal untuk
induksi.
44
2) Penggunaan klinik
Digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharaan
anestesia umum. Disamping efek hipnotik, desfluran juga mempunyai efek
analgetik yang ringan dan relaksasi otot ringan.1,8
3) Kontraindikasi
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced
hyperthermia”, hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
4) Kelemahan
Batas keamanannya sempit (mudah terjadi kelebihan dosis),
analgesia dan relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan
dengan obat lain.
E. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter, bentuk cairan, tidak berwarna, tidak
eksplosif, tidak berbau, stabil di tempat biasa (tidak perlu tempat gelap) .
Obat ini tidak bersifat iritatif terhadap jalan nafas sehingga baik untuk
induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cepat
dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini. Untuk
induksi, konsentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 3,0-5,0%
bersama-sama dengan N2O. Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan,
konsentrasinya berkisar antara 2,0-3,0%, sedangkan untuk nafas kendali
berkisar antara 0,5- 1%.
1) Efek terhadap sistem organ
• Efek depresinya pada SSP hampir sama dengan isofluran.
• Relatif stabil dan tidak menimbulkan aritmia.
• Tahanan vaskuler dan curah jantung sedikit menurun, sehingga
tekanan darah sedikit menurun. Menyebabkan penurunan laju
jantung.
• Menimbulkan depresi pernapasan dan dapat memicu
bronkhospasme.
• Menurunkan aliran darah ke hepar paling kecil dibandingkan
dengan enfluran dan halotan.
2) Kontraindikasi
Hati-hati pada pasien yang sensitif terhadap “drug induced
hyperthermia”, hipovolemik berat dan hipertensi intrakranial.
45
3) Keuntungan
Induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa jalan nafas,
pemulihannya paling cepat dibandingkan dengan agen volatil lain.
4) Kelemahan
Batas keamanan sempit (mudah terjadi kelebihan dosis), analgesia dan
relaksasinya kurang sehingga harus dikombinasikan dengan obat lain
46
tinggi). Oleh karena N2O hanya bersifat analgesia lemah, maka dalam
penggunaannya selalu dikombinasikan dengan obat lain.
Monitoring Pasca-Operatif
Setelah perawatan pasca bedah kembali ke ruang perawatan, ICU, atau
dapat rawat jalan. Semua pasien yang tidak memerlukan ICU harus dipantau di
ruang pulih. Untuk pemantauan standard itu sesuai dengan kriteria Alderette,
dan pemantauan khusus sesuai dengan berdasarkan penemuan prabedah.
Penyebab utama tingginya morbiditas pasca anestesia yaitu analgesia
yang tidak adekuat dan hipoksia. Selian itu waspai juga PONV. Kemungkinan
penyebab hipoksia pasca anestesi adalah efek pelumpuh otot belum
sepenuhnya hilang, depresi nafas akibat opoid, kesadaran belum sepenuhnya
pulih lidak jatuh ke belakang, sekresi jalan meningkat sedangkan refleks batuk
menurun, nyeri yang memacu aktivitas simpatis, edema pada jalan nafas,
sumbatan jalan nafas oleh darah atau hematoma jaringan lunak leher, dan
kelumpuhan pita suara.
47
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
General anesthesia atau anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri
secara sentral yang disertai dengan hilangnya kesadaran yang aman dan reversible,
mengoptimalisasi respon fisiologis, dan menciptakan keadaan operasi yang kondusif.
Anestesia umum memiliki 3 komponen yaitu hilangnya kesadaran, analgesia dan
relaksasi otot.
Jenis anestesi umum terdiri atas anastesi inhalasi yang berupa gas atau cairan,
anastesi intravena yang dilakukan dengan menyuntikan obat anestesia parenteral
langsung kedalam pembuluh darah vena, anestesi kombinasi dengan menggunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesia intravena maupun obat anestesia inhalasi
atau kombinasi teknik anestesia umum dengan anestesia regional untuk mencapai
trias anestesia secara optimal. Teknik anestesi umum bisa berupa TIVA,
menggunakan face mask, endotrakeal tube, dan laryngeal mask airway. Untuk
mencapai tujuan yang diharapkan perlu dilakukan tindakan monitoring pada pasien
baik sebelum operasi, selama operasi, maupun setelah operasi.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Chronic Pain Management. In: Clinical
Anesthesiology, 6th ed. Lange Medical Books/ McGraw-Hill, 2018.
2. Miller R, Pardo MC. Basic of anesthesia. 9th Edition. New York: Elsevier; 2020.
3. Brown EN, Lydic R, Schiff ND. General Anesthesia, Sleep, and Coma. N Engl J
Med. 2019;363(27):2638-50.
4. Diao S, Ni J, Shi X, Liu P, Xia W. Mechanisms of Action of General
Anesthetics. Front Biosci. 2018;19(1):747-57.
5. Kukreja P, Macbeth L, Feinstein J. Local Anesthetic Additives for Regional
Anesthesia: a Review of Current Literature and Clinical Application. Current
Anesthesiology Reports. 2019:1-7.
6. American Society of Anethesiologist (ASA). Relative Value Guide: A Guide for
Anesthesia Values. 2019.
7. Dewi, Aina Rahayu; Pramana YH. Pengaruh pendidikan Kesehatan terhadap
Tingkat Kecemasan Pasien Praoperasi Bedah Mayor Ortopedi di RSUD Dr.
Soedarso Pontianak. J Untan. 2019;001(1)
8. American Society of Anesthesiology. ASA Physical Status Classification
System. 2019.
9. Pollad B, Kitchen G. Handbook of Clinical Anesthesia. 4th ed. US: CRC Pres;
2018.
10. Detsky ME, Jivraj N. The Rational Clinical Examination Systematic Review.
JAMA. 2019;321(5):493-503.
11. Longnecker ED, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Preparing For
Anesthesia: Premedication, Anesthesiology. McGraw-Hill Companies: Inc;
2018.
12. Hemmings, Egan. Pharmacology and Physiology for Anesthesia 2nd ed.
Philadelphia: Elsevier. 2018.
13. Mashour, Kristin. Oxford Textbook of Neuroscience and Anesthesiology.
Oxford. 2019.
49